Pendahuluan 19. Kajian Dampak Tsunami terhadap Perkembangan Tataruang di Aceh

SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID PEER Cycle 3 No.ISSN: 2477­6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015 193 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai changing processes at two important cities in Aceh, namely Banda Aceh and Meulaboh. The two cities were severely affected by the 2004 tsunami. The study was done by comparing spatial planning documents composed before and after the tsunami. One of the aspects investigated in this study is the spatial structure, in terms of increased number of Central Bussiness District CBD or changes of the location of the CBD. Second aspect studied in this research was spatial pattern of the land use planning before and after the tsunami. It was found that Banda Aceh has adopted the tsunami mitigation by changing large area of coastal settlements around two sub­districts, i.e. Meuraxa and Kutaradja sub­districts. Evacuation routes have been assigned to a number of roads to accomodate sudden increase of traffics during emergency periods. Similar things were seen in Meulaboh. However, there is no clear land use dedicated for tsunami structural mitigation, such as green belt or city protection. Keywords: landuse, housing, mitigation, tsunami.

1. Pendahuluan

Penataan ruang memiliki peranan penting pada saat proses rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana besar seperti yang pernah terjadi di Aceh pada tahun 2004 lalu. Tsunami yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2015 dilanjutkan dengan proses rehabilitasi dan rekonstruksi untuk memulihkan keadaan yang hancur khususnya di kawasan pantai. Arahan hukum yang lebih tegas terkait mitigasi bencana dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah RTRW selanjutnya ditetapkan dalam Undang­ Undang UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Wilayah dan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Kawasan Pantai dan Pulau­Pulau Kecil yang kemudian direvisi dengan UU No. 1 Tahun 2014. Dari segi penataan ruang, ada dua tantangan berat yang dihadapi oleh Aceh pada saat rehabilitasi dan rekonstruksi pasca tsunami tersebut yaitu 1 menata ulang kawasan pantai dengan berfokus pada mitigasi bencana tsunami di masa yang akan datang, 2 menemukan formula relokasi peduduk pantai yang tepat yang mampu menjawab aspirasi masyarakat, ketersediaan lahan, dan mengurangi risiko bencana tsunami di masa yang akan datang. Upaya menata ulang kawasan pantai tersebut telah diinisiasi oleh Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh­ Nias BRR Aceh­Nias dengan memperkenalkan konsep sabuk hijau Green Belt dimana pada awalnya ditetapkan zona yang berjarak 500 meter dari garis pantai tidak akan diperkenankan dibangun kembali pemukiman penduduk. Proses Top­Down yang diadopsi pada tahap awal tersebut tertera dari cetak biru blue print Rehab­Rekon Aceh Nias yang diterbitkan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bappenas Indonesia Bappenas 2005; Matsumaru et al. 2012. Proses top­down ini mendapat masalah ketika komunikasi dengan para korban yang selamat dari tsunami diadakan melalui beberapa pertemuan. Pada akhirnya, konsep partisipatif yang diadopsi pada proses lanjutan penetapan lokasi relokasi penduduk ternyata di banyak tempat berakhir dengan gagalnya konsep sabuk hijau yang diperkenalkan pada tahap awal rehab­rekon oleh BRR Aceh­Nias. Kondisi relokasi warga setelah tsunami Tahun 2004 yang tidak dapat direlokasi ke kawasan yang jauh dari pantai tidak saja terjadi di Aceh, namun juga terjadi di Thailand dan Srilanka Sridhar 2006; Phapasit et al. 2006; Ratanyake et al., 2012. Sebelas tahun proses SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID PEER Cycle 3 No.ISSN: 2477­6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015 194 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh pada akhirnya memperlihatkan bahwa sejumlah pemukiman kembali tumbuh di kawasan yang sama di sekitar pantai yang terdampak oleh tsunami seperti ditemukan di Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Jaya, dan Aceh Barat. Namun demikian beberapa contoh baik best­practices juga ditemukan di beberapa lokasi seperti di Neuheun Aceh Besar, Gampong Padang Seuraheet Aceh Barat, dan relokasi penduduk Pulo Raya di Aceh Jaya. Ketiga lokasi tersebut berhasil direlokasi ke kawasan yang relatif jauh dari garis pantai. Proses rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh yang telah memasuki tahun ke­11 meninggalkan beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan upaya mitigasi bencana tsunami melalui penataan ruang dan kawasan pantai. Penelitian ini bertujuan untuk melihat progress pemulihan Aceh pasca 11 tahun rehabilitasi dan rekonstruksi tsunami dari aspek penataan ruang dan perkembangan populasi penduduk di kawasan pantai.

2. Lokasi Studi