Pengaruh Metode Penurunan Kadar Air, Suhu dan Lama Penyimpanan terhadap Kualitas Madu Randu

PENGARUH METODE PENURUNAN KADAR AIR,
SUHU DAN LAMA PENYIMPANAN TERHADAP
KUALITAS MADU RANDU

OLEH
HOTNIDA C. H. SIREGAR

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2002

ABSTRAK
HOTNIDA C. H. SIREGAR. Pengaruh Metode P e n m a n Kadar Air, Suhu dan
Lama Penyimpanan terhadap Kualitas Madu Randu. Dibimbing oleh D. T. H.
Sihombing sebagai Ketua, serta Muladno dan Kasno masing-masing sebagai
Anggota.
Madu Indonesia pada umumnya mengandung kadar air yang tinggi sehingga
rentan terhadap fermentasi. Salah satu cara pencegahan fermentasi adalah
menurunkan kadar air madu menjadi sekitar 17-18%. Pusat Perlebahan Nasional
(Pusbahnas) Parungpanjang menurunkan kadar air madu melalui pemanasan tidak
langsung (suhu sekitar 57 "C) dengan alat dehidrator vakum (metode dehidrasi) dan

melalui penguapan dengan alat dehumidifier (metode dkhumidifikasi). Penelitian ini
membandingkan kualitas madu yang telah mengalami pikes dehidrasi dengan yang
mengalami proses dehumidifikasi. Selain 'itu, penelitian ini juga bertujuan mencari
kondisi penyimpanan yang paling cocok bagi madu yang berbeda metode penurunan
kadar airnya, karena kondisi i>enyimpanan mempengaruhi kualitas madu.
Masyarakat Indonesia biasanya menyimpan madu di ruangan terbuka atau di
refrigerator selama lebih dari enam bulan.
Tujuh puluh kilogram madu randu yang berasal dari lebah Apis mellifera dan telah
disimpan pada suhu kamar selama tujuh bulan digunakan dalam penelitian ini.
Kadar air madu tersebut 2 1,6% dan diturunkan menjadi 17- 18% melalui dua metode
penurunan kadar air, yaitu dehidrasi dan dehumidifikasi. P e n m a n kadar air
dilakukan di Pusbahnas Parungpanjang, Jawa Barat. Madu yang telah diturunkan
kadar airnya disimpan pada suhu ~ a n (sekitar
g
28 "C) dan refrigerator (3 "C)selama
dua dan empat bulan di Laboratorium Non Ruminansia dan Satwa Harapan, Fakultas
Peternakan, IPB, Bogor. Kualitas madu dianalisis pada awal dan akhir periode
penyimpanan, juga ketika sebelwn diturunkan kadar airnya (madu segar). Parameter
kualitas yang dianalisis adalah kadar air, h i d r o k s i m e t i l ~ l(HMF), gula
pereduksi, aktivitas enzim diastase, keasaman, dan jumlah kharnir. Analisis

dilakukan di Balai Besar Industri Hasil Pertanian (BBIHP), Bogor.
Penelitiarl dilakukan dengan dua rancangan percobaan. Rancangan pertama
adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan metode p e n m a n kadar air sebagai
perlakuan utamanya, yakni dehidrasi dan dehumidifikasi; sedangkan madu segar
dijadikan kontrol. Masing-masing perlakuan terdiri atas empat ulangan. Rancangan
kedua adalah Rancangan Faktorial 2) dalam acak lengkap. Perlakuannya meliputi
tiga faktor yaitu (1) metode penurunan kadar air yang terdiri atas dua level yakni
dehidrasi dan dehumidifikasi; (2) suhu penyimpanan dengan dua level suhu yakni
suhu ruang (28 "C) dan refrigerator (3 "C);serta (3) lama penyimpanan dengan dua
level yaitu dua dan empat bulan. Tiap kombinasi faktor terdiri atas empat ulangan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa metode dehidrasi tidak nyata
pengaruhnya terhadap keasaman madu segar, namun meningkatkan kadar HMF dan
gula pereduksi, serta menurunkan aktivitas enzim diastase dan jurnlah kharnir madu
segar. Metode dehumidifikasi juga tidak nyata pengaruhnya terhadap keasarnan
madu segar, tetapi meningkatkan kadar HMF, gula pereduksi, dan aktivitas enzim
diastase, serta menurunkan jurnlah khamir madu segar. Apabila dibandingkan
dengan kualitas madu pada awal penyirnpanan (madu awal); madu yang disimpan
pada suhu 3 "C (1) kadar airnya ti& berbeda nyata; (2) kadar HMFnya lebii

pada suhu 3 "C (1) kadar airnya tidak berbeda nyata; (2) kadar HMFnya lebih

rendah, (3) kadar gula pereduksinya lebih tinggi; (4) aktivitas enzim diastase,
keasaman, dan jumlah khamir madu dehidrasinya tidak berbeda nyata; serta (5)
aktivitas enzim diastase madu dehurnidifikasinya lebih rendah, sedangkan keasaman
dan jumlah khamir madu dehurnidifikasinya lebih tinggi.
Kualitas semua madu yang disimpan pada suhu 3 "C ternyata masih memenuhi
standar kualitas madu menurut SNI 0 1-3 545- 1994.

SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul

PENGARUH METODE PENURUNAN KADAR AIR, SUHU DAN LAMA
PENYIMPANAN TERHADAP KUALITAS MADU RANDU
adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum pemah dipublikasikan.
Semua surnber data dan informasi yang digunakan telah dinyatalcan secara jelas dan
dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, 15 Juni 2002

Hotnida C. H. Siregar


PENGARUH METODE PENURUNAN KADAR AIR,
SUHU DAN LAMA PENYIMPANAN TERHADAP
KUALITAS MADU RANDU

HOTNIDA C. H. SIREGAR

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ternak

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2002

Judul Tesis

Pengaruh Metode Penurunan Kadar Air, Suhu dan
Lama Penyimpanan terhadap Kualitas Madu Randu.

Nama


Hotnida C. H. Siregar

Nomor Pokok

94047

Program Studi

Ilmu Ternak

Menyetujui

1. Komisi pembimbing

Prof. Dr. D. T. H. ~ihombindMSc.
Ketua

Dr. Ir. Muladno, MSA
Anggota


Ir. Kasno, MSc.
Anggota

2. Ketua Program Studi

p@&$b~r/$yafrida

---

-

1 9 A U G 2002

Manuwoto, MSc.

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 17 Juni 1962 sebagai anak kedua dari
pasangan Bapak Jansen T. P. Siregar (almarhum) dan Ibu Rusmina S. Silalahi.
Penulis menyelesaikan jenjang pendidikan formal di SD Yayasan Badan Pendidikan

Kristen (YBPK) Jakarta pada tahun 1974, SMP YBPK pada tahun 1977, dan SMA
Negeri 1 Jakarta pada tahun 1981. Penulis melanjutkan pendidikan ke Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor dan memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
tahun 1986. Pada tahun 1994, Penulis memperoleh kesempatan tugas belajar di
Program Studi Iimu Temak, Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor dengan
beasiswa Tim Manajemen Program Doktor (TMPD) dari Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Penulis pernah bekerja sebagai staf pengajar di Fakultas Peternakan, Universitas
HKBP Nornmensen, Medan dari tahun 1986 sampai 1989; sebagai staf editor pada
penerbit PT. Kelapa Cengkir Raya, Jakarta dari tahun 1989 sampai 1990. Semenjak
tahun 1990 hingga sekarang, Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

PRAKATA
Puji syukur Penulis panjatkan pada Bapa di surga atas perkenannya sehingga tesis
ini dapat diselesaikan. Topik yang dipilih adalah Pengaruh Metode Penurunan
Kadar Air, Suhu dan Lama Penyimpanan terhadap Kualitas Madu Randu.
Penulis berterima kasih kepada Prof. Dr. D. T. H. Sihombing, MSc., Dr. Muladno,
dan Ir. Kasno, MSc. selaku pembimbing, atas luitik dan saran yang menambah
wawasan Penulis serta dorongan yang sangat berguna bagi penyelesaian penelitian

dan penulisan tesis; Bapak Moh. Chandra Wijaya beserta staf Pusat Perlebahan

Nasional Parungpanjang yang telah mengijinkan Penulis menggunakan fasilitas di
Pusbahnas serta membantu pelaksanaan penelitian;

Dr. Rudy Priyanto atas

bantuannya dalam menganalisis data; rekan-rekan di Laboratorium Non Ruminansia
dan Satwa Harapan atas dorongan semangatnya: Sherly dan Dessy atas semua

bantuan dan kebersamaan selama penelitian. Penulis juga berterima kasih kepada
Ibu dan suami tercinta yang telah mendukung dalam doa, moral, dan material, serta
kepada putri dan putra tersayang Tamaria dan Jogi atas kesabaran mereka selama
Penulis meneliti dan menulis tesis ini. Penulis tidak lupa berterima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu kelancaran studi, penelitian, dan penulisan tesis.
Semoga informasi yang disajikan dalam tesis ini bermanfaat bagi kemajuan ilmu
pengetahuan sehingga semua bimbingan, bantuan, dan dorongan yang telah diberikan
tidak sia-sia.

Halaman


...
.................................................................. 111
DAFTAR GAMBAR ...............................................................
iv
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................. v
1
PENDAHULUAN ..................................................................
Latar Belakang ...................................................................
1
Tujuan Penelitian .................................................................
2
Hipotesis ...............................................................:.........
2
Manfaat Penelitian ..............................................................
2
TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................
3
Madu ..............................................................................
3

Komposisi Madu ................................................................
DAFTAR TABEL

Air .............................................................................
Karbohidrat ..................................................................
Asam ..........................................................................
Protein. Asam Amino. dan Enzim ........................................
Mineral ........................................................................
Hidroksimetilfurfura! (HMF) ..............................................
Vitamin ........................................................................

Penyimpanan Madu ............................................................
Karbohidrat ......................................................................
Hidroksimetilfurfural (HMF) ..................................................
Aktivitas Enzim .................................................................
Keasaman ........................................................................
Warna .............................................................................
Kristalisasi ........................................................................
Fermentasi .......................................................................


...................................................
............................................................

9
10
10
10
11
12
12
13

Penurunan Kadar Air Madu

16

Standar Mutu Madu

18

MATERI DAN METODE PENELITIAN

......................................

.................................................
Materi Penelitian ...............................................................
Metode Penelitian ...............................................................
Strategi Penelitian ...........................................................
Tahap Penurunan Kadar Air ................................................
Tahap Penyimpanan .........................................................
Pengujian Kualitas Madu ...................................................
Tempat dan Waktu Penelitian

20
20
20
21
21
21
23
23

Halarnan

...........................................................
HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................
Pengaruh Metode Penurunan Kadar Air terhadap Kualitas Madu ........
Rancangan Penelitian

Pengaruh Suhu clan Lama Penyimpanan terhadap Kualitas Madu
Hasil Dehidrasi dan Dehurnidifikasi ..........................................
Kadar Air .....................................................................
Kadar Hidroksimetilfurfual (HMF) .......................................
Kadar Gula Pereduksi .......................................................
Aktivitas Enzim Diastase ...................................................
Keasaman .....................................................................
Jumlah Khamir ..........................:....................................

...................................................
Kesimpulan ......................................................................
Saran ..............................................................................
DAFTAR PUSTAKA .............................................................
LAMPIRAN ........................................................................

KESIMPULAN DAN SARAN

28

DAFTAR TABEL
No.

Halaman

Teks
Komposisi Madu dari Amerika Serikat dan Indonesia

................

Hubungan Keseimbangan antara Rh Udara dan Kadar Air Madu
Clover ........................................................................

....................................
Perkiraan Paruh-hidup Enzim Diastase dan Invertase ................
Pengaruh Temperatur terhadap Kristalisasi Madu .....................
Kepekaan Madu terhadap Fermentasi ...................................

Jenis-jenis Karbohidrat dalam Madu

Pengaruh Suhu Penyimpanan terhadap Perkembangan Kharnir
dalam Madu ................................................................
Suhu dan Waktu Pemanasan untuk Membunuh Kharnir dalam
Madu .........................................................................

...............
Parameter Kualitas Madu dan Metode Analisisnya ...................
Perlakuan dan Ulangan yang Diukur dalam Rancangan I ............
Perlakuan dan Ulangan yang Diukur dalam Rancangan I1 ............

Persyaratan Mutu Madu Menurut FA0 dan Indonesia

Rataan Kadar Air (KA), HMF, Gula Pereduksi (GP), Aktivitas
Enzim Diastase (ED), Keasaman, dan Jumlah Khamir dari
Madu Segar, Dehidrasi, dan Dehumidifikasi ...........................
Rataan Kadar Air Madu Dehidrasi dan Dehumidifikasi yang
Disimpan pada Suhu 3 dan 28 "C Selama Dua dan Empat Bulan

...

Rataan Kadar HMF Madu Dehidrasi dan Dehumidifikasi yang
Disimpan pada Suhu 3 dan 28 "C Selma Dua dan Empat Bulan

...

Rataan Kadar Gula Pereduksi Madu Dehidrasi dan Dehumidifikasi
yang Disimpan pada Suhu 3 dan 28 "C Selama Dua dan Empat
Bulan .........................................................................
Rataan Aktivitas Enziln Diastase Madu Dehidrasi dan
Dehumidifikasi yang Disimpan pada Suhu 3 dan 28 "C Selama
Dua dan Empat Bulan ......................................................
Rataan Keasaman Madu Dehidrasi dan Dehumidifhsi yang
Disimpan pada Suhu 3 dan 28 "C Selama Dua dan Empat Bulan ...
Rataan Jumlah Khamil: Madu Dehidrasi dan Dehumidifikasi yang
Dishpan pada Suhu 3 dan 28 "C Selama Dua dan Empat Bulan ....

5

DAFTAR GAMBAR
Teks

Halaman

Reaksi Pembentukan HMF, Asam Levulinat, dan Asam Format
dari Monosakarida (Heksosa) dalarn Suasana Asam .................

9

Dehidrator Vakurn di Pusbahnas Parungpanjang .....................

16

...........................
Bagan Alat Dehidrator ...................................................
Bagan Alat Dehumidifier ................................................
Metode Cawan Tuang ....................................................

Dehumidifier di Pusbahnas Parungpanjang

Pengaruh Metode Penterhadap Kadar Air Madu

17

22
22
28

Kadar Air dan Suhu Penyimpanan

..............................................

34

Pengaruh Suhu dan Lama Penyimpanan terhadap Kadar HMF
Madu ......................................................................

36

Pengaruh Metode Penurunan Kadar Air dan Lama Penyimpanan
terhadap Kadar Gula Pereduksi .......................................

37

Pengaruh Metode Penurunan Kadar Air dan Suhu Penyimpanan
terhadap Aktivitas Enzim Diastase ....................................

40

Pengaruh Suhu dan Lama Penyimpanan terhadap Keasaman Madu

41

No

Teks

Halaman

.....................
Strategi Penelitian .........................................................
Suhu dan Kelembaban Relatif (Rh) Selma Penyimpanan Madu ...

Hubungan Lndeks Bias dengan Kadar Air Madu

Kualitas Madu Penelitian Segar, Awal dan Akhir Penyimpanan,
serta Menurut SNI 0 1-3 545- 1994 ......................................
Analisis Statistik dari Kualitas Madu Dehidrasi dan Dehumidifikasi
Analisis Statistik dari Kadar Air Madu Selama Penyimpanan ......
Analisis Statistik dari Kadar HMF Madu Selama Penyimpanan

....

Analisis Statistik dari Kadar Gula Pereduksi Madu Selama
Penyimpanan ........................................,.....................
Analisis Statistik dari Aktivitas Enzim Diastase Madu Selama
Penyimpanan ..............................................................
Analisis Statistik dari Keasman Madu Selama Penyimpanan

......

Analisis Statistik dari Jurnlah Khamir Madu Selama Penyimpanan
Uji Kontras antara Parameter Kualitas Madu Awal dan Kualitas
Madu yang Disimpan pada Suhu 3 "C .................................

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Madu telah dikenal manusia sejak zaman purbakala sebagai bahan obat-obatan

dan digunakan dalam upacara agama, serta sampai meluas sebagai bahan makanan
dan kosmetik. Sampai sekarang, madu masih merupakan bahan makanan yang
dikelilingi mitos tentang khasiatnya sebagai obat untuk berbagai penyakit. Beberapa
peneliti telah membuktikan khasiat madu sebagai obat melalui penelitian yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Bahkan, Molan (1992) telah inencoba

mengumpulkan dan mengintisarikan berbagai penelitian dari seluruh dunia rnengenai
aktivitas antibakteri dalam madu.
Penge~libangan ilmu pengetahuan melalui upaya penelitian mengungkapkan
bahwa madu mengandung unsur-unsur yang dibutuhkan oleh tubuh. Zat-zat yang
terkandung dalam madu sangat kompleks dan sampai saat ini telah teridentifikasi
sekitar 181 jenis zat (Sihombing, 1997). Jumlah ini mungkin masih akan terus
bertambah bersamaan dengan perkembangan di bidang teknik laboratorium.
Kandungan zat makanan yang banyak ini dapat mengungkapkan keanekaragaman
khasiat madu.
Hal yang sering ditanyakan konsumen mengenai madu adalah cara penyimpanan
yang dapat mempertahankan kualitas madu. Madu pada dasarnya merupakan bahan
makanan yang relatif tahan lama atau tidak mudah rusak dibandingkan dengan hasil
temak lain seperti daging, susu, dan telur. Akan tetapi, s m a seperti bahan makanan
alami lainr~ya,madu juga mengalami p e n m a n kualitas selama penyimpanan.
Kadar air madu Indonesia yang cukup tinggi (umurnnya lebih dari 20%) membuat
madu Indonesia rentan terhadap fermentasi yang dapat merusak madu. Beberapa
cara yang biasa digunakan untuk menurunkan kadar air, antara lain pemanasan
langsung (dimasak) maupun

tidak

langsung

(dehidrasi) dan penguapan

(dehurnidifikasi). Peralatan yang digunzkan dalam pemanasan talc langsung adalah
dehidrator vakum, sedangkan dehumidifier digunakan dalam penguapan.
Pemanasan madu, selain menurunkan kadar air madu, juga dapat membunuh

khamir penyebab fermentasi. Pemanasan harus dilakukan secara terkontrol, karena
apabila tidak, malah akan menurunkan kualitas madu. Penurunan kadar air melalui
penguapan memang lebih aman dari kerusakan madu, namun tidak dapat membunuh

khamir penyebab fermentasi. Khamir penyebab fermentasi ini sensitif terhadap
perubahan temperatur, terutarna temperatur rendah, sehingga manipulasi terhadap
temperatur penyimpanan dapat menghambat perkembangan khamir. Inilah yang
dijadikan dasar oleh sebagian orang untuk menyimpan madu dalam re9igerator.
Sampai saat ini belum ada yang membandingkan pengaruh metode penurunan kadar
air terhadap kualitas dan daya simpan madu pada berbagai suhu penyimpanan.
Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaruh metode p e n m a n
kadar air (dehidrasi dan dehumidifikasi), suhu penyimpanan (suhu kamar dan suhu
refiigerator), dan lama penyimpanan (dua dan empat bulan) terhadap kualitas madu.
Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai metode
penurunan kadar air, suhu, dan lama penyimpanan yang terbaik dalam
mempertahankan kualitas madu.
Hipotesis Penelitian

1. Metode dehumidifikasi menghasilkan madu yang kualitasnya lebih baik daripada
metode dehidrasi.

2. Ada perbedaan kualitas madu pada akhir penyimpanan setelah diberikan
beberapa perlakuan.

3. Madu yang disimpan pa& suhu refiigerator selarna dua dan empat bulan belum
mengalami perubahan kualitas.

TINJAUAN PUSTAKA
Madu
Definisi madu menurut Standarisasi Nasional Indonesia (SNI) 0 1-3545- 1994
adalah cairan manis yang dihasilkan oleh lebah madu dari berbagai sumber nektar
(Pusat Standarisasi Industri, 1994). Sertifikat madu di Selandia Baru mendefinisikan
madu sebagai bahan cair, kental ataupun mengkristal yang dihasilkan lebah madu
dari nektar bunga atau dari sekresi bagian tanaman selain bunga yang oleh lebah
dikunpulkan, diubah atau dicarnpur dengan bahan-bahan dari lebah itu sendiri, lalu
disimpan atau dibiarkan menjadi matang &am sisiran madu (Matheson, 1984).
Madu diproduksi oleh beberapa jenis lebah seperti lebah tidak bersengat
(Meliponi~ae),bumble bee (Bombus sp.), dan tawon; namun yang dimaksud dengan
lebah madu adalah Apis sp. Hanya tiga spesies Apis yang banyak dikenal di
Indonesia, yakni A. cerana, A. mellifera, dan A. Dorsata.

Dari ketiga spesies

tersebut, hanya A. dorsata yang sampai saat ini belum dapat dibudidayakan karena
keganasannya. Lebah madu membentuk satu koloni yang terdiri atas tiga strata atau
kasta, yaitu puluhan ribu lebah pekerja, seekor lebah ratu, dan beberapa ribu lebah
pejantan. Lebah pekerja bertugas mencari pakan serta merawat telur, larva, dan ratu;

ratu bertugas menghasilkan telur; lebah pejantan bertugas mengawini atau menunasi
ratu (Sihombing,1997).
Madu yang diproduksi lebah madu sebenarnya merupakan makanan bagi koloni.
Madu melimpah pada musim berbunga dan disimpan dalam sel sarang sebagai
persediaan makan pada musim paceklik. Lebah memproduksi madu dengan bahan
nektar yang merupakan cairan mengandung gula yang disekresikan oleh kelenjar
nektari tanaman (Sihombing, 1997).
Nektar memiliki kandungan kimia yang berbeda antara satu tanaman dengan
tanaman lain dan antara satu musim dengan musim yang lain. Kadar gula nektar

bervariasi antara 5-80%. Pada umumnya, nektar dikategorikan berdasarkan jenis
gula dominannya, yakni (1) nektar yang kandungannya didominasi sukrosa, (2)
nektar yang kandungannya didominasi glukosa dan fi-uktosa, (3) nektar yang
kandungan glukosa, fi-uktosa, dan sukrosanya seimbang.

Perbedaan komposisi

nektar ini mempengaruhi komposisi dan sifat madu yang dikasilkan (Hooper, 1976).
Sumber nektar di Indonesia antara tanarnan randu,rambutan, durian, lengkeng, kopi,

coklat, kaliandra, dan karet. Masih banyak lagi jenis tanaman yang merupakan
surnber pakan lebah madu, seperti yang diinventarisasi oleh Tantra dan Suwanda
(1977).
Selain nektar, lebah madu juga menggunakan nambur madu (honeydew) sebagai
bahan baku madu, terutarna di daerah hutan berdaun jarum (coniferous forest).
Nambur madu merupakan ekskreta serangga yang mengisap cairan jloem,
misalnya Aphidina, Coccina, dan Cicadina. Nambur madu memiliki bahan kering
5-18% dengan kandungan gula 10-95% dari bahan kering (White, 1979; Sihombing,
1997).

Nektar atau nambur madu dikumpulkan dari berbagai tanaman oleh lebah-lebah
pekerja (forager) dan disimpan dalam kantung madunya (honey sac). Kantung madu
bukan organ pencerna, melainkan tempat penampungan sementara makanan cair.
Nektar dalam kantung madu tercampur dengan saliva lebah yang berasal dari
kelenjar hipofaringeal dan kelenjar saliva, sehingga nektar tersebut memiliki kadar
gula yang lebih rendah dan enzim yang lebih banyak daripada nektar asal. Enzim
saliva tersebut adalah enzim diastase

yang merombak karbohidrat kompleks

(polisakarida) menjadi karbohidrat yang lebih sederhana. Apabila kantung madu
telah terisi penuh, forager kembali ke sarang (Achmadi, 1991).
Forager yang telah masuk ke sarang mentransfer isi kantung madunya kepada

lebah pekerja yang bertugas dalam sarang. Pada aktivitas transfer ini terjadi lagi
penambahan enzim yang berasal dari saliva, yaitu enzim invertase dan glukosa
oksidase. Enzim invertase menguraikan sukrosa menjadi glukosa dan fiuktosa;
sedangka enzim glukosa oksidase mengoksidasi glukosa menjadi asam glukonat dan
hidrogen peroksida. Aktivitas transfer juga berfhgsi m e n d a n kadar air nektar.
Jika kadar air telah mencapai 50-60%, nektar dimasukkan ke sel madu dan dikipasi
sampai kadar air sekitar 20%, lalu sel disegel dengan malam (wax) dan dibiarkan
(dimatangkan). Hasil akhir proses pematangan ini adalah madu (Maurizio, 1979).
Madu yang matang biasanya mengandung sedikit air (sekitar 20%), sehingga tidak
rentan terhadap fermentasi karena pada kadar air yang rendah, aktivitas khamir
(yeast) penyebab fermentasi madu dapat ditekan (White, 1979).

Madu biasanya digolongkan berdasarkan sumber nektarnya

Apabila surnber

nektar didominasi oleh satu jenis tanaman (bunga), maka madu yang dihasilkan
digolongkan madu monoflora. Madu randu, madu lengkeng, madu karet, dan madu
kaliandra merupakan contoh madu monoflora. Jika sumber nektar dari berbagai jenis
tanaman, maka madu yang dihasilkan dikategorikan sebagai madu multiflora,
misalnya madu Nusantara, madu Sumba, dan madu Kalimantan. Madu yang berasal
dari nambur madu disebut madu honeydew. Perbedaan sumber nektar merupakan
salah satu faktor yang mempengaruhi karakteristik madu.
Komposisi Madu

Sampai saat ini telah ditemukan sekitar 181 jenis zat yang dikandung madu
(Gojmerac, 1980), narnun hanya beberapa jenis zat yang diperhatikan dalarn
menentukan dan membandingkan komposisi madu. Sebagai contoh, perbandingan
komposisi madu yang berasal dari Amerika dan dari Indonesia disajikan pada
Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi Madu dari Amerika Serikat dan Indonesia
Amerika ~erikat'
Komposisi

1ndonesia2

Satuan
Rataan

Air
Fruktosa
Glukosa
Sukrosa
Asam bebas
Laktone
Asam total
Abu
Nitrogen
PH
Nilai Diastase

Kisaran nilai

Rataan

Kisaran nilai

'No
%
'No

Yo
a
a
a
'No

Yo
Diastase
Number
(DN)
mg/kg
madu

Sumber

: 1. White(1979)

2. Kartini (1986)

Keterangan : a

satuan untuk Amerika Serikat adalah %, sedanmiliekivalen (mek)/kg
td = tidak dianalisis
=

untuk Indonesaia adalah

Perbedaan yang paling menonjol antara madu Amerika Serikat dan Indonesia adalah
kadar air serta kadar ffuktosa, glukosa, dan sukrosanya.
Air

Kadar air madu sangat beragam, tergantung pada kadar air surnber nectar dan
iklim. Bila kadar air nectar tinggi, kadar air madu yang dihasilkan cenderung tinggi
pula (Maurizio, 1979). Madu bersifat higroskopis atau menarik air dari sekitarnya.
Martin (1958) menunjukkan keseimbangan antara kelembaban nisbi (Relative
humidity=Rh) lingkungan dengan kadar air madu (Tabel 2).
Tabel 2. Hubungan Keseimbangan antara Rh Udara dan Kadar Air Madu Clover
Kelembaban nisbi (Rh)

Kadar air madu

(%I

("A)

52
58
66
76
81

16,l
17,4
21,5
28,9
33,9

'

Sumber : Martin (1 958)

Kelembaban nisbi (Rh) daerah tropis umumnya lebih tinggi daripada Rh daerah
subtropis, sehingga kadar air madu di daerah tropis biasanya juga lebih tinggi, seperti
yang tampak pada Tabel 1 (17,2 versus 22,9%).
Kadar air mempellgaruhi viskositas madu. Viskositas menunjukkan kekentalan
dari aliran madu yang biasa disebut body. Pengaruh peningkatm satu persen kadar
air sarna dengan pengaruh peningkatan temperatur 33% "C dalam menurunkan
viskositas madu (Root, 1980).

Kadar air madu juga sangat berpegaruh terhadap kristalisasi dan fermentasi.
Kadar air yang rendah akan menjaga madu dari kerusakan untuk jangka waktu relatif
lama (Gojmerac, 1980).
Karbohidrat
Karbohidrat merupakan fiaksi terbesar dari madu, yakni sekitar 80%. Sebagian
besar dari karbohidrat ini (85-95%) berupa monosakarida (fiuktosa dan glukosa),
selebihnya berbentuk disakarida, oligosakarida, dan polisakarida (Tabel 3).

Tabel 3. Jenis-jenis Karbohidrat dalam Madu
Jenis karbohidrat
Monoskarida
Disakarida

Oligosakarida dan polisakarida

Nama
Glukosa, fiuktosa
Sukrosa, maltosa, isomaltosa, nigerosa,
turanosa, maltulosa, kojibiosa, leukrosa,
neotrehalosa, gentibiosa, laminaribiosa,
isomaltulosa
Melezitosa,
erlosa,
kestosa,rafinosa,
dekstrantriosa, 6-a-glukosilsukrosa, panosa,
isomaltotriosa,
34-isomaltosilglukosa,
isopanosa, maltotriosa, isomaltotetranosa,
isomaltopentaosa,centosa,rabogalaktomenan

Sumber : White (1 979)

Sifat higroskpois madu dikarenakan madu merupakan larutan jenuh gula. Fruktosa
mempakan gula yang paling bertanggung jawab akan sifat higroskopis madu karena
fivktosa lebih mudah larut dibandingkan glukosa (White, 1992a).

Asam
Madu bersifat asam dengan pH 3,245. pH madu yang rendah ini mendekati pH
cuka, tetapi kandungan gula yang tinggi membuat madu terasa manis, bukan kecut
seperti cuka

athe he so; 1984). pH madu dipengaruhi oleh kandungan asam organik

dan anorganik. Asam organik yang dominan dalam madu adalah asam glukonat
yang merupakan hasil perombakan glukosa oleh enzim. Asam organik lainnya yang
terdapat dalam madu adalah asam asetat, butirat, sitrat, format, laktat, maleat, malat,
oksalat, piroglutamat, 2- atau 3-fosfogliserat, a atau P gliserofosfat, glukosa-6-fosfat
(White,1979). Asam-asam organik ini sangat menentukan citarasa (flavor), aroma,
dan daya tahan madu terhadap mikroorganisme (Root, 1980;

Molan, 1992;

Sihombing, 1997)
Asam organik dalam madu sangat sedikit dan pada umumnya merupakan asam
lemah sehingga pH madu lebih dipengaruhi oleh asam organik yang dibentuk dari
mineral yang dikandung madu (Rodwell, 1983; Achmadi, 1991).

Protein, Asam Amino, dan Enzim
Protein dalam madu berasal dari sisa-sisa larva, polen, dan dari lebah itu sendiri.
Protein madu terdapat dalam bentuk albumin, globulin, porotease, pepton, histon,
albumosa, alburninoid, nukleoprotein, dan asam-aam amino esensial (White, 1979).

Asam am,ino bereaksi perlahan-lahan dengan gula dan membentuk senyawa

berwama kuning atau coklat.

Reaksi ini diperkirakan merupakan penyebab

perubahan warna madu menjadi coklat dan gelap pada suhu tinggi atau pada
penyimpanan yang lama (White, 1992a).
Sebagian protein dan asam amino ini bertanggung jawab terhadap sifat koloidal
madu (Matheson, 1984). Protein juga menyebabkan kecenderungan membentuk
gelembung udara kecil dan buih pada madu (Sukartiko, 1986).
Enzim pada dasarnya adalah protein dan terdenaturasi oleh beberapa faktor luar
seperti suasana terlalu asam, terlalu basa, serta terkena panas atau logam berat
(Rodwell, 1983). Yoirish (1959) menyatakan bahwa madu merupakan bahan
makanan dengan kandungan enzim tertinggi. White (1992a) berpendapat bahwa
enzim dalam madu berasal dari nektar, polen, dan kelenjar ludah lebah. Jenis enzim
yang penting dalam madu adalah diastase, invertase, glukosaoksidase, dan enzim
yang aktif dalam fermentasi.
Diastase berperan dalarn mengubah polisakarida menjadi karbohidrat yang lebih
sederhana.

Invertase memecah sukrosa menjadi glukosa dan fi-uktosa.

Glukosaoksidase mengoksidasi glukosa menjadi asam glukonat dan hidrogen
peroksida pada madu yang diencerkan (Matheson, 1984; Molan, 1992). Achmadi
(199 1) menyatakan bahwa enzim tertentu mengkatalisis gula menjadi alkohol dan
asam organik ketika madu terfermentasi.
Mineral

Yoirish (1959) menyatakan bahwa madu merupakan bahan makanan yang bersifat
alkali karena mengandung unsur mineral alkali. Sifat alkali madu dapat mengurangi
akumulasi asarn bebas yang mengakibatkan gangguan fisiologis dan menurunkan
daya tahan tubuh.
Semakin tinggi kandungan mineral, biasanya semakin gelap warna madunya
(Gojmerac, 1980).

Hasil penelitian Kartini (1986) menunjukkan juga bahwa

semakin tinggi kadar abu madu, semakin tinggi pula pHnya.
Potensi anti bakteri madu meningkat sepuluh kali apabila terdapat 0,83 mmollliter
mineral besi (Fe), tembaga (Cu), kromium (Cr), kobalt (Co), atau mangan (Mn)
(Molan, 1992).
Hidroksimetilfurfural (HMF)

HMF merupakan hasil dekomposisi glukosa, fruktosa, dan monosakarida lain
yang memiliki enam atom C dalam suasana asam dan dipercepat dengan bantuan

panas. Reaksi ini selanjutnya menghasilkan asam format dan levulinat (Gambar 1;
Achmadi, 199 1).

-

H-C-C-H

panas

L H+

I1 II-

C6HI206 ---.)HOCH2- C

-3H20

C

v0

H2C CHI
CHO ---fH3C

-CI

I1

t

COOH

+

HCOOH

0

Gambar 1. Reaksi Pembentukan HMF, Asam Levulinat, dan Asam Format dari
Monosakarida (Heksosa) dalam Suasana Asam (Achmadi, 1991)
Oksigen dari udara akan mengoksidasi HMF sehingga membentuk warna gelap.
Pada tahun 1908, pengukuran HMF dilakukan untuk menguji pernalsuan dengan gula
invert, karena penambahan gula invert akan meningkatkan HMF. Pada tahun yang
sarna pula diketahui bahwa HMF juga terbentuk akibat pemanasan madu. Bahkan,
madu yang barn dipanen pun mengandung HMF dalam jumlah keci1,yakni 0,06-0,2
mg/100 g madu (White, 1979).
Vitamin
Kandungan vitamin dalam madu sangat sedikit, sehingga tidak signifikan (nyata)
secara nutrisi bila dihubungkan dengan jumlah madu yang biasa dikonsumsi.
Beberapa jenis vitamin yang ditemukan dalam madu adalah asam askorbat (vitamin
C), niasin, piridoksin (B6), asam pantotenat, riboflavin (B2), tiamin (BI), biotin,

menadion (K), dan asam folat (White, 1079). Menurut Winarno (1982), kadungan
tiamin (BI) madu sekitar 0,l mg1100 g madu, sedangkan riboflavin sekitar 0,02
mg/ 100 g madu.
Penyimpanan Madu
Penyimpanan madu dilakukan untuk tujuan pengumpulan atau menunggu saat
pemasaran. Beberapa perubahan yang cukup kompleks terjadi selama penyimpanan
madu. Perubahan tersebut merupakan obyek yang menarik untuk diteliti. Beberapa
penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa perubahan yang umum terjadi
adalah perubahan fraksi karbohidrat, kadar HMF,aktivitas enzim, dan keasaman
madu.

Karbobidrat
Menurut White (1979), pembahan yang terjadi pertama kali adalah peningkatan
kadar disakarida pereduksi (maltosa) akibat penggabungan monosakarida pereduksi
(glukosa dan fiuktosa). Peristiwa ini dibuktikan oleh Krauze dan Krauze (1991)
yang menyimpan madu selama dua tahun pada suhu ruang.

Madu tersebut

mengalami p e n m a n kadar glukosa, fiuktosa, dan sukrosa; tetapi kadar disakarida
selain sukrosa meningkat. Chai et al. (1988) juga menunjukkan bahwa temperatur
penyimpanan mempengaruhi laju p e n m a n monosakarida pereduksi tersebut.
Mereka menyimpan madu pada temperatur 5,20, dan 35 OC selama satu tahun; pada
akhir penyimpanan ternyata p e n m a n kadar glukosa dan fivktosa semakin besar
dengan semakin tingginya temperatur penyimpanan.
Perubahan selanjutnya yang mungkin terjadi adalah peningkatan kadar
karbohidrat berantai panjang (oligosakarida) (White, 1979;

Sihombing, 1997).

Peningkatan oligosakarida disebabkan oleh dua mekanisme, yakni aktivitas enzim

dan reaksi pembalikan oleh suasana asam. Enzim pemecah sukrosa, yaitu invertase,
juga merupakan enzim transglukosidase yang membentuk oligosakarida sewaktu
memecah sukrosa. Bila dalam larutan madu terdapat monosakarida bebas dan asam,
maka monosakarida tersebut diubah menjadi disakarida dan oligosakarida (White,
1979; Achrnadi, 199 1).

Hidroksimetilfurfural (HMF)
Bosch dan Serra (1986) melaporkan bahwa kadar HMF madu di daerah panas
(17-21 "C) meningtat dua kdi lebih cepat setelah disimpan selama enam bulan
dibandiigkan madu di daerah dingin (14-18 "C ) dengan lama penyimpanan yang
sama. Ghostidar dan Chakrabarti (1992) juga meneliti pengaruh suhu dan lama
penyirnpanan terhadap kadar HMF. Penelitian mereka menunjukkan bahwa kadar

HMF meningkat sejalan dengan bertambahnya lama clan suhu penyimpanan.
Berbeda dari kedua hasil penelitian ini, Chai et al. (1988) menunjukkan bahwa
penyimpanan madu selama satu tahun pada suhu 5 "C ternyata menurunkan kadar
HMF madu tersebut.

Aktivitas Enzim
White (1979) menyatakan bahwa suhu dan lama penyimpanan mempengaruhi
aktivitas enzim (Tabel 4).

Tabel 4. Perkiraan Paruh-hidup Enzim Diastase dan Invertase
Temperatur
PC)
10

20
25
30
32
35
40
50

60
63
70
71
80

Paruh-hidup enzim
Diastase

Invertase

12.600 hari
1.480 hari
540 hari
200 hari
126 hari
78 hari
3 1 hari
5,38 hari
1,05 hari
16,2jam
5,3 jam

9.600 hari
820 hari
250 hari
83 hari
48 hgari
28 hari
9,6 hari
4,7 hari
3,O jam
47 menit
39 menit
8,6 menit
1,28 hari

4,s jam

1,2jam

Sumber : White (1979)

Pernyataan White (1979) tersebut didukung oleh hasil penelitian Chai et al. (1988),
Kim (1988), serta Krauze dan Krauze (1991).

Mereka menyimpulkan bahwa

aktivitas enzim diastase (Diastase Number=DN) terus menurun selama penyimpanan
dan semakin tinggi suhu penyimpanan, semakin besar penuruna. DN. Lebih lanjut,
Krauze dan Krauze (1991) menyatakan bahwa penurunan aktivitas enzim
glukosaoksidase, katalase, dan invertase lebih banyak dibandingkan enzim diastase
pada madu honeydew yang disimpan selama dua tahun pada suhu ruang.

Keasarnan
Kadar keasaman madu dipengaruhi oleh faktor suhu dan lama penyimpanan.
Chai et al. (1988) merlunjukkan bahwa kadar asam bebas semakin meningkat
bersama peningkatan suhu penyimpanan dari 5, 20, sampai 35 "C. Sebaliknya,
Ghazali dan Sin (1986) serta Ghazali et al. (1995) menyatakan bahwa keasaman
madu (titratable acidity dm pH) tidak dipengaruhi oleh pemanasan dan suhu
penyimpanan, melainkan oleh lama penyimpanan.
Perubahan karbohidrat, HMF,aktivitas enzim, dan keasaman yang terjadi selama
penyimpanan hanya dapat dideteksi melalui uji laboratorium. Gejala yang terlacak
oleh panca indera adalah perubahan warna, kristalisasi, dan fermentasi.

Warna

S e l m a penyimpanan, warna madu akan semakin gelap (White,1979). Ghazali
dan Sin (1986) melaporkan bahwa suhu penyimpanan juga mempengaruhi warna
madu. Warna madu yang disimpan selama 18 minggu pada suhu 50 "C ternyata
enam kali lebih gelap dibandingkan madu yang disimpan pada 28 "C dalam waktu
yang sama.
Perubahan warna madu tersebut dapat disebabkan oleh reaksi mailard antara
nitrogen amino (misalnya asam amino, polipeptida, serta protein) dan gula pereduksi
atau oleh kombinasi komponen polifenol dengan zat besi, maupun

oleh

ketidakstabilan fruktosa dalam larutan asam (karamelisasi)(Sihombing, 1997). Hasil
akhir dari reaksi-reaksi ini adalah senyawa berwarna coklat yang mempergelap
warna madu.
Kristalisasi

Kristalisasi adalah peristiwa pembentukan glukosa menjadi kristal glukosa
monohidrat dan kristal tersebut lalu memisahkan diri dari air dan fiuktosa. Hal ini
terjadi karena madu merupakan larutan yang lewat jenuh dan tidak stabil. Kristal
yang terjadi dapat berupa endapan di dasar wadah atau koagulasi yang me!ayang rata
di seluruh wadah madu dan menyebabkan madu tarnpak keruh (Dyce, 1979;
Achmadi, 1991;White, 1992a).
Kristalisasi madu dipengaruhi oleh suhu penyimpanan (Dyce, 1979; Tabouret et
al., 1992), seperti disajikan pada Tabel 5 yang menunjukkan hubungan antara
perubahan suhu penyimpanan dan proses kristalisasi.
Tabel 5. Pengaruh Temperatur terhadap Kristalisasi Madu
Suhu penyimpanan

PC)
-1

di bawah 4,s
di bawah 10
14
15
16

27
Sumber : Dyce (1979)

Proses kristalisasi
Tidak terjadi kristalisasi walaupun telah disimpan selama dua tahun
Hampir tidak terjadi kristalisasi
Kristalisasi sangat terhambat
Temperatur optimal untuk kristalisasi madu
Temperatur optimal untuk kristalisasi madu berkadar air rendah
Sebagian besar madu tidak mengkristal; kristal yang terbentuk besar
dan kasar
Madu tetap dalam keadaan cair

White (1979) menambahkan bahwa laju kristalisasi semakin cepat dengan semakin
besar rasio glukosa terhadap air (dextroselwater=DNV). Pembentukan kristal mulai
terjadi pada D/W sekitar 1,76. Lebih lanjut, Bogdanov et al. (1987) melaporkan
bahwa apabila kadar glukosa kurang dari 27,8% dan rasio DIW kurang dari 1,69,
maka madu tersebut tidak mengkristal. Assil et al. (1991) menggunakan rasio
fiuktosa terhadap glukosa (levuloseldextrose=L/D) untuk menduga kecenderungan
kristalisasi, yakni pada rasio L/D lebih kecil dari 1,12, madu mulai mengkristal.
Kristalisasi madu dapat dicegah melalui pemanasan sampai 77 "C selama lima
menit, lalu disaring --dmdengan cepat didinginkan sampai 57 "C. Pada temperatur

57 "C ini, madu dimasukkan ke wadah dan langsung ditutup (Townsend, 1979).
Cara lain adalah dengan memanaskan madu secara berulang selama 30 menit pada
suhu 60-66 "C (Gojmerac, 1980).
Dyce (1979) menyatakan bahwa madu yang telah dipanaskan akan membentuk
kristal yang besar dan kasar, demikian pula dengan madu

yang lambat laju

kristalisasinya. Di beberapa negara (misalnya Selandia Baru dan Kanada), madu
yang baru dipanen dengan sengaja dikristalisasi agar tidak terbentuk kristal yag besar
dan kasar selama penyimpanan. Proses pengknstalan yang banyak dipakai sampai
saat ini adalah metode Dyce, yang menghasilkan kristal halus dan melayang rata

.

Madu yang dihasilkan dikenal sebagai madu kristal (crystallized atau granulated
honey). Menurut Matheson (1384), madu kristal ini meskipun secara fisik berbeda
dengan madu czir, secara kimia d m nutrisi tetap sama .
Fermentasi
Fennentasi merupakan proses biokimia yang umum terjadi pada madu yang
disimpan.

Penyebabnya

adalah

sejenis

khamir

(yeast)

dari

genus

Zygosaccharomyces yang tahan terhadap konsentrasi gula tinggi, sehingga dapat
hidup dan berkembang dalam madu. Sel khamir akan mendegradasi gula dalam
madu (khususnya glukosa dan fi-uktosa) men.ai alkohol (etanol).

Bila alkohol

bereaksi dengan oksigen (02), alkohol tersebut akan membentuk asam asetat yang
mempengaruhi kadar keasaman, rasa, dan aroma madu. Pada akhir proses fermentasi

akan terbentuk karbon dioksida (COz) dan air (White, 1979; Achmadi, 1991).
Madu yang terfermentasi &an bertambah encer dengan rasa dan aroma yang

masam. Madu tersebut &an mengeluarkan gas dan menghasilkan suara mendesis

ketika tutup wadahnya dibuka. Bahkan, tutup botol madu dapat terlepas dan madu
berbau seperti tape apabila proses fermentasi telah berlangsung lama (White, 1992a).
Aktivitas sel khamir dalam madu sangat dipengaruhi oleh kadar air madu. Madu
berkadar air tinggi (lebih dari 18%) sangat rentan terhadap fermentasi, karena kadar
air di atas 18% merangsang perturnbuhan dan perkembangan sel khamir.
Sebaliknya, sel khamir tidak aktif (inaktif) pada kadar air 18% atau lebih rendah
(White, 1992a).

Tabel 6 memperlihatkan hubungan antara kadar air dengan

kepekaan madu terhadap fermentasi.
Tabel 6. Kepekaan Madu terhadap Fermentasi
Kadar air
Kurang dari 17,1%

Kepekaan terhadap fermentasi
Tahan terhadap fermentasi berapapun jumlah sel khamirnya
Tahan terhadap fermentasi jika jumlah sel khamir kurang dari
1.000 seVg madu
Tahan terhadap fermentasi jika jumlah sel khamir kurang dari
10 sellg madu
Tahan terhadap fermentasi jika jumlah sel khamir kurang dari
1 sellg madu

Lebih dari 20,0%

Selalu peka terhadap fermentasi

Sumber : White (1992a)

Kristalisasi juga dapat menjadi pencetus proses fermentasi. Sewaktu mengkristal,
glukosa melepaskan air ke larutan madu sehingga kadar air pada kristal glukosa
monohidrat turun menjadi 9,1% dan kadar air pada larutan madu meningkat.
Peningkatan kadar air l m + m madu rnenciptakan kondisi yang ideal bagi
pertumbuhan khamir (Dyce, 1979).
Selain kandungan air madu, suhu penyimpanan juga mempengaruhi aktivitas sel
khamir dalam madu. Pada peyimpanan sekitar suhu ruang, khamir berkembang biak
sangat cepat.

Penurunan temperatur penyimpaan sampai mendekati 0 "C tidak

membunuh khamir karena khamir dapat membentuk ascospora yang tahan terhadap
temperatur rendah, narnun aktivitas perkembangbiakan vegetatilkya terhambat
sehingga fermentasi terhenti (Root, 1980).

Graham (1992) memperlihatkan

pengaruh suhu penyimpanan terhadap perkembangan sel khamir (Tabel 7).

Tabel 7. Pengaruh Suhu Penyimpanan terhadap Perkembangan Khamir
dalam Madu
Suhu penyimpanan
("C)

Perkembangan khamir
Khamir tidak dapat tumbuh
Kisaran minimal untuk proses fermentasi madu
Kisaran maksimal untuk proses ferrnentasi madu
Temperatur penting untuk mengawasi perkembangan khamir
Terjadi perubahan kimia dan flavor madu secara cepat

11
13-21
27
71

75
Sumber : Graham (1 992)

Fermentasi dapat dicegah dengan menghambat aktivitas khamir melalui
penurunan kadar air madu di bawah 17,1% atau dengan menyimpan madu pada
suhu di bawah 11 "C, selain itu juga dengan membunuh khamir melalui pemanasan
madu. Temperatur dan lama pemanasan yang dianjurkan dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Suhu dan Waktu Pemanasan untuk Membunuh Khamir dalam Madu
Suhu pemanasan

Waktu pemanasan

("c)

(menit)

51,7
54,4
57,2
60,O
62,8

470,O
170,O
60,O
22,O
7,s
7,o
2,s

65,8

68,3
Sumber : White ( 1 992a)

Semakin tinggi suhu pemanasan, semakin singkat waktu yang dibutuhkan untuk
membunuh khamir. Pemanasan yang berlebihan dapat menurunkan kualitas madu
yang ditandai dengan penurunan aktivitas enzim diastase dan peningkatan kadar

HMF (Sukartiko, 1986; White, 1992a).
Ghazali et al. (1995) membandingkan kualitas fisik dan kimia madu yang tidak
dipanaskan dengan madu yang dipanaskan. Pemanasan madu dilakukan dengan

microwave sampai 71 "C dan dilanjutkan dengan penyimpanan madu selama 16
minggu pada suhu 3 clan 28 "C. Ternyata, hanya madu yang tidak dipanasi dan
disirnpan pada suhu 28 "Cyang mengalami fermentasi.

Penurunan Kadar Aii Madu
Pemanenan madu terdiri atas beberapa tahap, yakni pembukaan tutup sel sarang,
pengekstraksian madu dari sel sarang, pengendapan agar gelembung udara dan
remukan sarang naik ke permukaan dan dapat diarnbil setelah satu atau dua hari,
penyaringan, serta penurunan kadar air (Sihombing, 1997).
Penunman kadar air madu sangat perlu dilakukan di Indonesia karena kadar air
madu di Indonesia sangat tinggi (Tabel I), sehingga rentan terhadap fermentasi
(Hadisoesilo, 1986; Kartini, 1986). Kadar air madu dapat diturunkan melalui
pemanasan langsung, tak langsung dengan dehidrator vakurn (Sukartiko, 1986), atau
penpapan dengan ciehumrd!fier(Febrinda, 1993).
Prinsip kej a alat dehidrator vakum adalah penurunan kadar air madu dalam
wadah vakum dengan menggunakan temperatur tinggi yang terkontrol (dapat diatur
suhu dan waktu pemanasannya) (Hadisoesilo, 1986). Dehidrator yang digunakan di
Pusat Perlebahan Nasional (Pusbahnas) Parungpanjang berasal dari Thailand dengan
kapasitas 50 kg madu (Gambar 2).

Gambar 2. Dehidrator Vakum di Pusbahnas Parungpanjang

Pengontrolan suhu dan waktu pernanasan pada alat dehidrator memperkecil
kemungkinan terjadinya pemanasan yang berlebihan (over heating) yang dapat
meningkatkan kadar HMF dan merusak enzim ddarn madu.

Railonsala (1990)

menyatakan bahwa akumulasi HMF dalam madu proporsional terhadap lama
pemanasan, yakni semakin lama madu dipanaskan, semakin tingpj

kadar HMFnya.

White (1992a) juga menyatakan bahwa semakin tinggi temperatur pemanasan per
satuan waktu (heat mitttime), semakin tinggi jumlah HMF madu.
Selain untuk menurunkan kadar air, pemanasan madu juga dapat membunuh
khamir penyebab fermentasi (Townsend, 1979). Pendapat ini didukung oleh hasil
penelitian Ghazali el 01. (1995). Mereka memanaskan madu sampai 71 "C dan
ternyata jumlah khamir menurun, sehingga madu tidak terfermentasi ketika madu
tersebut disimpan selamal6 minghw pada suhu ruang (sekitar 28 "C).

Dehumidifier (Gambar 3) merupakan alat yang berfungsi menurunkan
kelembaban udara dengan menggunakan listrik untuk mengkondensasi air dari udara.

DehumidJer

menurunkan kadar air madu berdasarkan

prinsip hubungan

keseimbangan antara Rh udara dan kadar air madu (Tabel 3). Rh udara diturunkan
lebih rendah daripada Rh keseimbangan kadar air awal madu agar kandungan air
madu menguap mencapai kadar yang diinginkan (Febrinda, 1993).

Gambar 3. Dehumidifier di Pusbahnas Parungpanjang

Dehumidifier di Parungpanjang ditempatkan pada ruang dehumi-i

bedcwm

6x3,s m2,dilengkapi dengan air conditioner (AC) dan exhaustfan. Ruangan ini

terbuat dari bahan partisi papan kayu lapis dan harus ditutup =lama proses
penurunan kadar air madu.
Standar Mutu Madu

Penetapan standar mutu bertujuan untuk melindungi konsumen dari produk
(madu) yang tidak memenuhi syarat dan menjaga produk (madu) yang baik dari
persaingan yang tidak sehat (pemalsuan madu). Setiap negara pengimpor madu pada
umurnnya memiliki standar mutu madu yang berbeda-beda, sebagai contoh dapat
dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Persyaratan Mutu Madu Menurut FA0 dan Indonesia
Persyaratan mutu
Komponen
Air
Sukrosa
Gula pereduksi
Dekstrin
Keasaman
Abu
Padatan tak larut
Aktivitas diastase

HMF
Rekasi Fiche
Reaksi Lund
Reaksi lugol
Polarimetri
Cemaran logam
1. Timbal
2. Tembaga
3. Arsen

FAOa

lndonesiab

maksimal 18%
maksimal3%
minimal 70%
maksimal5%
maksimal5 mekkg madu
0,l-0,25%
maksimal 0, 1%
8-10 skala Gothe
maksimal 40 ppm
negatif
0,6-3,0%
negatif
levorotari (-2 1) - (-2)0

maksimal22%
maksimal20%
minimal 60%
td
maksimal40 mekkg madu
maksimal0,5%
maksimal0,5%
minimal 3 DN
maksimal40 ppm
td
td
td
td
maksimal0,l ppm
maksimal5,O ppm
maksimal0,5 ppm

Sumber : a. Fasler (1979)
b. Pusat Standarisasi Industri (1994)
Keterangan: td = tidak dispesifikasi

Dustman et al. (1985) berpendapat bahwa level aktivitas sukrase (invertase, aglukosidase) merupakan indikator yang lebih baik untuk menentukan kualitas madu
diband'igkan HMF. Pengujian aktivitas sukrase memerlukan waktu yang sama
iamanya dengan pengujian HMF, tetapi hasilnya lebih akurat dan dapat diulang

(reproducible). Lebih lanjut, mereka mengusulkan analisis kadar HMF sebaiknya
dipertimbangkan hanya pada madu yang rendah kadar enzirnnya.
Thrasyvoulou (1986) menambahkan bahwa penggunaan kadar HMF clan aktivitas
diastase sebagai kriteria mutu madu tidak selalu tepat. Beberapa madu asli yang baru
dipanen dan tidak dipanasi tenyata dapat dianggap tidak baik kualitasnya karena
kadar enzimnya rendah; padahal madu tersebut sangat disukai konsumen. Selain itu,

madu yang berasal dari sumber yang sama pun memiliki laju penurunan aktivitas
diastase dan peningkatan kadar HMF yang berbeda akibat penyimpanan dan
pemanasan.
White (1992b) menyimpulkan bahwa penolakan terhadap madu yang berkualitas
baik sering terjadi karena standar toleransi HMF yang rendah, sehingga banyak madu
denganflavor dan aroma yang disukai harus diafkir atau dikategorikan sebagai madu
industri.

Padahal, penanganan (antara lain ekstraksi madu dari sisiran sarang,

penyaringan dan pembotolan madu) serta penyimpanan pada temperatur ruang sekali
pun dapat meningkatkan kadar HMF, terutama di daerah tropis dan subtropis.
Penggunaan diastase sebagai dasar untuk mengukur kualitas madu juga masih
dipertanyakan, bahkan dianggap tidak perlu karena kandungan dan aktivitas enzim
diastase madu secara alami sangat bervariasi. Madu dari daerah panas dan kering
biasanya mengandung diastase yang lebih rendah daripada madu dari daerah sejuk
dan basah. Selain itu, kandungan enzim dalam madu tidak cukup banyak untuk patut
dipertimbangkan secara nutrisi (White, 1992b).

MATERI DAN METODE PENELITLAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan

di Pusat Perlebahan Nasional (Pusbahnas) Parung

Panjang u