JURNAL HUKUM JUSTITIA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ICHSAN GORONTALO
DAFTAR PUSTAKA
Adi, Rianto, 2004, Metode Penelitian Sosial & Hukum, Jakarta: Granit, 2004. Ateng Syafrudin, Perencanaan Administrasi Pembangunan Daerah, Bandung: Mandar Maju, 1993. Burhan Ashofa, Metodee Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, 1996. Dann Sughanda, Masalah Otonomi dan Hubungan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia,
Bandung: Sinar Baru, 1991. Haw. Widjaja, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001.
H.B. Sutopo, Pengantar Penelitian Kwalitatif, Surakarta: UNS Press, 1990. Rony Hanintijo, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990. Soerjono Soekamto, Metode Penelitian Kwalitatif, Bandung: Tarsito, 1990. Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta: Rineka Cipta, 1992.
Fakultas Hukum – UNISAN 121
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. II, No. 2 Maret 2015
Victor M. Situmorang, Hukum Administrasi Pemerintahan Di Daerah, Jakarta: Sinar Grafika, 1993. W. Arthur Lewis, Perencanaan Pembangunan, Jakarta: Rineka Cipta, 1994.
122 Fakultas Hukum - UNISAN
Pemerintahan Daerah
PELAKSANAAN HAK ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH DI KOTA GORONTALO
Mawardi De La Cruz Fakultas Hukum Universitas Ichsan Gorontalo
Abstract The changing demands and the local government system development make the Regional Representatives Council continuously demanded by the people they represent so that ability to move the wheels of government, development and sociality can exercise their rights in accordance with the existing law. This study aims to deseribe the implementation of the rights of Regional Representative Council members in the filing of the local regulations draft and factors that its influence in Gorontalo City. The method of study used was a qualitative research by using the approach in the form of data obtained directly from respondents through interview, observation and documentation. The technique of data analysis used was deseriptive, it is intended to obtain a good, clear description and can provide the data as detailed possible about the object studied. The results of this study indicate that the implementation of the rights of Regional Representative Council members in the filing of local regulations draft in Gorontalo city is not going well as what is mandated in Article 44 Paragraph (1) of Act No. 32 of 2004, and it is influenced by several factors that impact on the implementation of the right to file a local regulations draft by Regional Representative Council members in Gorontalo city which includes factors of human resources, budget, facilities and infrastructure, social, political and community participation and looks great influence in the implementation of these rights is the human resources of the Regional Representative Council members in Gorontalo city that cannot support. Keyword : ideal model, human resources, local regulation
I. PENDAHULUAN
Demi efisiensi dan efektifitas serta untuk mencapai hasil maksimal dalam penyelenggaraan Negara maka Negara Indonesia dibagi dalam daerah besar dan kecil. Pikiran itu tercermin dalam Pasal
18 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah- daerah Propinsi dan daerah Propinsi dibagi atas Kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap Propinsi, Kabupaten dan Kota itu mempunyai pemerintah daerah yang diatur dengan Undang-undang. Di daerah-daerah yang bersifat otonom akan diadakan badan perwakilan daerah. Marbun (1993), hal tersebut jelas bahwa pengaturan satu pemerintah daerah saling berhubungan dan posisi hubungan
Fakultas Hukum – UNISAN 123
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. II, No. 2 Maret 2015
dalam sistem Negara Republik Indonesia. Lebih lanjut pada Pasal 18 ayat (3) UUD 1945 disebutkan bahwa pemerintah daerah propinsi, daerah kabupaten dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. Dengan demikian jelas bahwa pembentukan DPRD di daerah kabupaten dan kota sesuai dengan yang tercantum dalam UUD 1945. Hal tersebut berarti dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah juga mengikutsertakan seluruh rakyat untuk mewujudkan demokrasi dan demokratisasi di daerah dengan melalui wakil-wakilnya di DPRD. Bambang Yudoyono (2003), substansi sasaran vital yang ingin dicapai melalui perubahan system pemerintahan daerah ini adalah : Pertama, pembangunan sistem, iklim dan kehidupan politik yang demokrasi; kedua, penciptaan pemerintah yang bersih dan berwibawa serta bernuansa desentralisasi; ketiga, pemberdayaan masyarakat agar mampu berperan serta secara optimal dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah; keempat penegakan supermasi hukum.
Sekretaris Negara RI, (1995:271) pada sidang kedua BPUPKI tanggal 14 juli 1945 kita telah menyetujui bentuk negara kesatuan (Eenheidstaat).Oleh kerena itu, dibawa negara Indonesia tidak ada negara bawahan, tidak ada onderstaat, akan tetapi hanya ada daerah-daerah pemerintahan belaka. Pembagian daerah Indonesia dan bentuknya pemerintahan daerah ditetapkan dengan undng-undang.
Untuk mewujudkan sasaran tersebut, DPRD perlu mengupayakan langkahlangkah konkrit yang dapat mendorong perannya secara optimal dalam konteks pemerintahan daerah. Estiningsih (2005), ada tiga sendi sebagai pilar penyangga otonomi. Sendi-sendi tersebut adalah Pertama, sharring of power (pembagian kewenangan); kedua, distribution of income (pembagian pendapatan); ketiga empowering (kemandirian/pemberdayaan pemerintah daerah). Untuk mewujudkan sasaran tersebut kepada DPRD, di samping diberikan fungsi-fungsi, juga diberikan tugas, wewenang dan hak-hak yang sama seperti DPR dalam lingkup sebagai lembaga legislatif daerah. Dengan pemberian tugas, wewenang dan hak-hak secara luas kepada DPRD tersebut, perlu adanya langkah-langkah konkrit yang mampu mendorong agar dapat berperan secara optimal dalam pemerintahan daerah.
Selanjutnya The Liang Gie (1967:56) Desentralisasi perlu diselenggarakan oleh Negara Republik Indonesia karena bentuk negara kesatuan yang di anutnya mencakup berbagai faktor yaitu geografis, ekonomis, politis, ekonomis, sosiologis, historis dan kultur yang berbeda-beda dari wilayah ke wilayah.
Dalam kajian Hukum Tata Negara, format negara kesatuan dan format negara Federal (Negara Serikat) adalah format kenegaraan yang memberi gambaran mengenai pembagian kekuasaan negara secara vertikal. Dalam konteks ini, pembagian kekuasaan negara di lihat dari sudut susunan atau tingkatan pemerintahan, selanjutnya Carl J. Friedrich (dalam Miriam Budiarjo, 1992:138) menyebut dengan istilah pembagian kekuasaan secara teritorial (territorial divisian of power ).
Tuntutan perubahan dan perkembangan sistem pemerintahan daerah menjadikan DPRD secara terus menerus dituntut oleh masyarakat yang diwakilinya agar kemampuan menggerakkan roda pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan di negara ini sesuai dengan kaidah demokrasi. Tuntutan rakyat tersebut didasarkan kemauan mereka agar DPRD dapat melaksanakan haknya sesuai dengan undang-undang yang ada sehingga juga hal ini dapat melaksanakan fungsinya berdasarkan undang-undang.
124 Fakultas Hukum - UNISAN
Pemerintahan Daerah
Mochtar Koesomahatmadja (1990 : 15-16) tidak ada perbedaan sifat antara urusan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat dan Daerah Otonom. Apa yang dapat dikerjakan oleh
masyarakat hukum yang satu pada prinsipnya dapat saja dilakukan oleh masyarakat hukum yang lain”. Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang dapat
mengakomodasi hak dan fungsi dari lembaga perwakilan rakyat yang ada di daerah atau DPRD dan hal ini salah satunya tercantum pada Pasal 44 yang mencantumkan beberapa ayat-ayatnya sebagai berikut : (1) Anggota DPRD mempunyai hak : mengajukan rancangan Perda, mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, memilih dan dipilih, membela diri, imunitas, protokoler, dan keuangan dan administratif. Kemudian pada ayat yang berikut atau ayat yang (2) Kedudukan protokoler dan keuangan pimpinan dan anggota DPRD diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Kuntjoro Purbopranoto (1981:67) Kodratnya negara kesatuan adalah adanya organisasi yang dibentuk sebagai daerah swatantra di dalamnya, namun hak otonominya itu tidak boleh melampui volume yang akan menjadikan daerah swatantra itu sebagai suatu negara bagian seperti halnya di zaman federasi.
Peyelenggaraan Pemerintahan di Daerah yang dapat di kontrol oleh lembaga perwakilan rakyat daerah atau DPRD melalui tugas dan fungsinya maupun hak-hak yang dimiliki lembaga tersebut sesuai dengan Undang – undang yang ada seperti apa yang sudah tercantum diatas bahwa ada 2 pasal dan beberapa ayat dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang ngatur mengenai hak-hak lembaga perwakilan rakyat daerah tersebut sehinga lembaga ini dapat menjadi peyeimbang ataupun kontrol dari peyelenggaraan pemerintahan di daerah khususnya pada peyelenggaraan pemerintahan yang berada pada Kota Gorontalo Propinsi Gorontalo yang nantinnya akan menjadi lokasi penelitian terkait dengan pelaksanaan hak dari lembaga perwakilan rakyat daerah atau DPRD Kota Gorontalo yang menyangkut dengan peyelenggaraan pemerintahan Kota Gorontalo.Hak Dewan Perwakilan Rakyat Daerah merupakan bentuk pelaksanaan salah satu dari fungsi kontrol yang dimiliki oleh istitusi ini terhadap segala bentuk peyelenggaraan pemerintah yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah namun apa yang akan dikaji dalam penelitian ini lebih menitik beratkan ke pada hak Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang meyangkut dengan pasal 44 Undang- Undang Nomor 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah seperti apa yang telah tercantum di atas. Sebagaimana amanat dari pasal 44 tersebut bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Daerah berhak untuk mengontrol pelaksanaan atau peyelengaraan Pemerintah melalui hak mengajukan rancangan perda, hak mengajukan pertanyaan, hak menyatakan usul dan pendapat, hak memilih dan dipilih, hak membela diri, hak imunitas, hak protokoler, hak keuangan dan administrasi yang berkaitan dengan kebijakan penting dan strategis oleh Kepala Daerah.
DPRD Kota Gorontalo sebagai bagian dari penyelenggara pemerintahan daerah Kota Gorontalo juga ikut serta dalam mewujudkan pemerintahan yang baik dengan upaya meningkatkan pelaksanaan hak-hak anggota Dewan Perwakilan rakyat daerah, belum berjalan dengan baik sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 44 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Penggunaan hak anggota DPRD seyogyanya dilaksanakan dengan baik oleh seluruh anggota DPRD sebagai mitra pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Namun demikian pelaksanaan hak-hak anggota yang terkait dengan hak mengajukan rancangan peraturan daerah sebagai wujud penguatan hak anggota
Fakultas Hukum – UNISAN 125
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. II, No. 2 Maret 2015
DPRD pasca amandemen UUD1945 belum berjalan maksimal sehingga pada umumnya rancangan peraturan daerah masih didominasi rancangannya oleh pihak eksekutif. Sehingga penelitian ini bertujuan untuk mengetauhi bagaimana pelaksanaan hak anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di Kota Gorontalo.
II. METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian Penelitian hukum ini dilaksanakan pada Kantor DPRD, Bagian Hukum dan masyarakat daerah di Kota Gorontalo. Tipe penelitian adalah penelitian deskriptif kualitatif yang menggunakan pendekatan dengan melakukan pengkajian terhadap peraturan daerah yang telah ada di Kota Gorontalo, yang bertujuan untuk memberikan gambaran secara mendalam tentang implementasi hak anggota DPRD dalam mengajukan rancangan Peraturan Daerah di Kota Gorontalo, yang ada kaitannya dan relevansi dalam topik masalah yang akan diteliti. Penelitian ini akan meneliti data primer dalam bentuk data yang diperoleh secara langsung dari responden yang telah ditetapkan sebagai sampel dan populasi dengan cara wawancara, observasi lapangan dan dokumentasi peraturan daerah yang telah diberlakukan di Kota Gorontalo.
B. Objek Penelitian Objek penelitian ini adalah Walikota Gorontalo selaku pihak dalam pembentukan peraturan daerah, Badan Legislasi Daerah DPRD Kabupaten Merauke selaku pihak dalam pembentukan peraturan daerah. Jajaran pemerintahan daerah dalam bidang hukum, Bagian Hukum Setda Kabupaten Merauke. Stakeholder yang terbagi dalam Elemen-elemen masyarakat seperti LSM, Ormas, Praktisi Hukum dan Para Akademisi dari sektor pendidikan, kesehatan, kebudayaan serta masyarakat sebagai objek utama dalam penelitian ini.
C. Teknik Penentuan Informan Teknik penentuan informan dalam penelitian ini adalah akan mencari keabsahan dalam temuan penelitian ini, peneliti juga akan menerapkan teknik perpanjangan kehadiran peneliti di lapangan dengan bentuk observasi yang mendalam, pembahasan sejawat, analisis kasus negatif, pelacakan kesesuaian hasil dan pengecekan kredibilitas informan untuk menjamin validitas temuan.
D. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data menggunakan metode pengumpulan data primer dan data sekunder, data primer yang diperoleh langsung dari para responden yang telah ditetapkan sebagai populasi dan sampel dengan cara wawancara langsung dengan menggunakan pedoman wawancara (Interview Guide) , penggunaan dokumen, direkam dan dicatat. Sedangkan data sekunder, yaitu data yang diperoleh dengan cara penelusuran literature yang terdiri dari ketentuan-ketentuan mengenai kewenangan pembentukan peraturan daerah dan penelusuran literatur yang terdiri dari ketentuan mengenai mekanisme pembentukan peraturan daerah.
126 Fakultas Hukum - UNISAN
Pemerintahan Daerah
E. Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah analisis data kualitatif, yaitu suatu tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan, dan juga perilakunya yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh. Penggunaan metode deskriptif ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran yang baik, jelas dan dapat memberikan data sedetail mungkin tentang objek yang diteliti.
III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Hak Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Dalam Penyelenggaraan Pemerintah Daerah di Kota Gorontalo Hasil penelitian yang penulis lakukan dibeberapa tempat seperti Kantor DPRD Kota Gorontalo, yaitu 5 (lima) orang anggota dewan dari tim Balegda (disebut sebagai sampel key informan), dan 1 (satu) orang dari Bagian Hukum Setda Kota Gorontalo (disebut sebagai sampel key informan), serta 16 (enam belas) responden dari berbagai elemen masyarakat dan masyarakat umum dari berbagai bidang pekerjaan di Kota Gorontalo (disebut sebagai populasi). Senada dengan hal tersebut maka penulis akan melihat, apakah pelaksanaan hak anggota DPRD khususnya pada pengajuan rancangan peraturan daerah di Kota Gorontalo, sesuai dari bunyi Pasal 44 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2004, serta penjelasannya dapat diketahui bahwa setiap anggota DPRD berhak untuk mengajukan rancangan peraturan baik lisan maupun tertulis di setiap rapat-rapat pembahasan rancangan peraturan daerah tersebut.
Lahirnya Peraturan Daerah merupakan wujud nyata dari Pemerintah Daerah untuk dapat mempermudah jalannya roda pemerintahan dalam rangka menuju penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bertanggung jawab atau yang dikenal dengan Good Governance.
Hal diatas merupakan hal yang layak dan seharusnya pemerintah mewujudkan secara serius titik berat otonomi daerah tingkat II, karena kalau dilihat dari efektifnya untuk memudahkan jalannya proses pelaksanaan pemerintahan dalam tingkat mewujudkan pembangunan yang baik dan berkesinambungan antara satu dengan yang lainnya, maka hal itu terlihat pada daerah tingkat II merupakan wilayah yang lebih dekat dengan rakyat.
Desentralisasi dibidang pemerintahan atau otonomi adalah menyerahkan kewenangan untuk mengatur dan menyelenggarakan pemerintahan kepada daerah. Penyerahan ini berarti memberikan kesempatan kepada aparat daerah, termasuk wakil-wakil rakyatnya untuk berpartisipasi didalam merencanakan dan melaksanakan berbagai kebijaksanaan pembangunan.
Salah satu tahap awal dan penting dalam bidang hukum, khususnya program pembentukan peraturan perundang-undangan adalah tahap perencanaan. Tahap perencanaan ini adalah perencanaan penyusunan perda dilakukan dalam suatu Program legislatif Daerah (Prolegda). Program legislatif daerah ini adalah upaya penyusunan rencana dan prioritas pembentukan peraturan perundang- undangan dalam kurun waktu tertentu, baik lima tahunan maupun satu tahunan.
Pemerintah daerah dan DPRD dapat menyusun Prolegda yang memuat rencana dan prioritas pembentukan Perda untuk kurun waktu lima tahunan dan satu tahunan. Prioritas ditentukan berdasarkan pengkajian atau inspirasi dan kebutuhan daerah masing-masing serta memperlihatkan perubahan kenegaraan dan kemasyarakatan relatif cepat.
Fakultas Hukum – UNISAN 127
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. II, No. 2 Maret 2015
Penyusunan program legislasi daerah dapat dilakukan melalui dua tahap yaitu tahap pertama pada Pemerintah daerah dengan meminta masukan dari dinas-dinas daerah atau perangkat daerah lainnya mengenai raperda yang diperlukan untuk memperlancar kerja masing-masing dinas yang bersangkutan dan tahap kedua di DPRD, masukan dapat diperoleh dari komisi-komisi, fraksi, maupun aspirasi masyarakat yang disampaikan kepada DPRD.
B. Produk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Gorontalo Penelitian ini menunjukkan bahwa hasil pembentukan Peraturan Daerah yang telah dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Gorontalo dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2012 sebanyak 91 buah Perda, dan semuanya telah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Gorontalo, dan haya 3 buah perda yang merupakan pengajuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Gorontalo. Pada umumnya Perda-perda tersebut merupakan pengajuan dari Pemerintah Kota Gorontalo.
Andi Mustari Pide (1999:24-25) pada konsep Negara Federasi, kekuasaan dalam negara selanjutnya dibagi antara pemerintah negara federal dengan pemerintah negara-negara bagian yang berfederesi sedemian rupa, sehingga pemerintah federal mengendalikan kekuatan dalam suatu lingkungan tertentu. Sementara pemerintah negara-negara bagian mengendalikan kekuasaan tertentu yang lain, tanpa pengawasan pemerintah federal. Pembagian kekuasaan negara kepada negara federal dan kepada negara-negara bagian di tetapkan dalam suatu konstitusi, terutama kekuasaan pemerintah federal terhadap hal hubungan luar negeri, mencetek uang, dan militer. Sementara sisanya menjadi wewenang negara-negara bagian.
Amrah Muslimin (1982:4) mengartikan dekonsentrasi sebagai pelimpahan wewenang dari pemerintah kepada alat-alat pemerintah pusat yang ada di daerah. Hubungan antara DPRD dengan eksekutif dalam penyusunan peraturan daerah Kota Gorontalo diwujudkan dengan kegiatan interaksi dan negosiasi dalam rapat pembahasan raperda tersebut. DPRD memegang dua peranan dalam waktu yang sama yakni bertindak sebagai wakil rakyat dan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Dengan kata lain, peranan yang pertama ialah selaku wakil rakyat dan sebagai penyalur serta pelindung kepentingan rakyat di daerah yang diwakilinya, dalam hal ini juga anggota DPRD seakan-akan berhadapan dengan eksekutif. Peranan yang kedua yaitu selaku pembentuk legitimasi bagi eksekutif melalui berbagai peraturan yang dihasilkan. Hubungan DPRD dan eksekutif sangatlah erat dalam penyusunan peraturan daerah.
Desentralisasi sebagai suatu sistim pemerintahan atau sering di sebut sebagai asas pemerintahan, mengandung beberapa pengertian. Van der pot (dalam Bagir Manan, 1994:21), membedakan desentralisasi dalam arti desentralisasi territorial dalam arti desentralisasi fungsional, desentralisasi teritorial menjelma dalam bentuk badan yang di dasarkan pada wilayah (gebeidscorporaties) , sedangkan desentralisasi fungsional menjelma dalam bentuk badan-badan yang di dasarkan pada tujuan-tujuan tertentu (doelcorporaties).
Di dalam negara kesatuan ada dua sistim pemerintahannya, yaitu suatu sistim yang memusatkan semua urusan-urusan, tugas, fungsi dan wewenang. Pelaksanaan tugas pemerintahan kepada pemerintah pusat. Sistim ini di kenal dengan istilah sistim sentralisasi. Sistim lainnya yang berupaya untuk mendesentralisasikan semua urusan, tugas, fungsi, dan wewenang, pelaksanaan
128 Fakultas Hukum - UNISAN
Pemerintahan Daerah
pemerintah besar dan kecil di daerahnya.Kemudian diistilahkan dengan desentralisasi (Miftah Toha dalam jurnal CIDES, 1997:158)
Proses penyusunan Peraturan Daerah Kota Gorontalo dilakukan melalui Proses pembahasan dan pembicaraan yang melibatkan Pansus sebagai wakil dari DPRD dan Bagian Hukum serta leading sector sebagai wakil pemerintah daerah. Bagian Hukum dan Leading sector inilah yang diajukan ke DPRD.
Sriyono (1999:5) Tanpa informasi yang memadai dan mudah diperoleh para anggota DPRD maka akan mengalami kesulitan dalam membahas berbagai masalah dengan mitra kerjanya (pihak pemerintah daerah). Pihak eksekutif memiliki peralatan yang lengkap dan data-data yang mendukung, hal ini bisa dimaklumi karena pemerintah mempunyai perangkat sampai pada tingkat paling bawah. Masalah yang disebut masyarakat adalah ketegantungan DPRD kepada pemerintah di sektor data, anggota DPRD tidak memiliki otonomi dalam membiayai seluruh kegiatannya, dengan demikian dapat dimengerti kiranya anggota DPRD kekurangan dana untuk menghipun pemikiran, sarana, dan pendapat para ahli dari luar Dewan.
Dari pihak DPRD sendiri, kegiatan yang dilakukan sebagai bahan yang dapat dijadikan pertimbangan dan sebagai bahan perbandingan pada saat pembicaraan dengan pihak Pemda adalah mengadakan kunjungan kerja/ studi banding ke daerah-daerah yang mempunyai Perda yang sejenis.
Selain terjadi hubungan antara DPRD dan eksekutif, dalam proses pembahasan raperda ini juga harus memperhatikan keterlibatan masyarakat. Keterlibatan masyarakat ini dalam Undang- undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 139 ayat (1) menyebutkan bahwa “masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan
rancangan Perda”. Selain aturan yang termuat dalam Undang-undang Pemerintahan daerah tersebut, dalam
Peraturan Tata Tertib DPRD Kota Gorontalo disebutkan bahwa dalam pembicaraan Tahap III, harus melibatkan masyarakat untuk memberikan masukan secara lisan dan tertulis berkaitan dengan materi muatan yang harus dibuat dalam Peraturan Daerah yang sedang dibahas.
Kedua aturan tersebut penting untuk menjamin partisipasi masyarakat dalam penyusunan peraturan daerah. Partisipasi masyarakat merupakan unsur penting yang nantinya akan terlibat langsung dengan pelaksanaan peraturan daerah ketika sudah diundangkan dan dinyatakan berlaku.
Selain masyarakat yang berkepentingan, unsur dari masyarakat yang juga dilibatkan yakni dari kalangan kampus dan akademisi untuk memberikan masukan-masukan terkait dengan peraturan daerah ini baik teknis maupun substansi dari peraturan daerah tersebut.
IV. KESIMPULAN
Pelaksanaan hak anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Gorontalo yang berhubungan dengan pembentukan regulai di daerah khususnya untuk daerah Kota Gorontalo terlihat jelas kalo memang masih perlu adaya perhatian yang khusus atau sebaik-baiknya dari berbagai pihak baik itu secara keseluruhan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Gorontalo, Pemerintah Kota Gorontalo, dan masyarakat Kota Gorontalo itu sendiri maupun komponen-komponen yang terkait dengan pembentukan Peraturan Daerah Kota Gorontalo. Hal ini terlihat belum berjalan secara
Fakultas Hukum – UNISAN 129
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. II, No. 2 Maret 2015
maksimal sehingga apa yang terlihat dalam pembentukan Peraturan Daerah Kota Gorontalo oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Gorontalo yang merupakan salah satu haknya yang termasuk dalam amanat Undang-Undang 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini tampak tidak maksimal bahkan jauh dari harapan.
V. SARAN
Diharapkan agar pelaksanaan hak anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah seyogyanya dilaksanakan secara efektif mungkin dan diharapkan adanya partisipasi dari masyarakat dan komponen yang secara sinergi untuk dapat menyadari atau memahami dan berpartisipasi pembntukan peraturan tersebut yang dapat mempengaruhi pelaksanaan hak anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Gorontalo dan penyeleanggaraan pemerintahan yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
Amran Muslimin, Aspek-Aspek Hukum Otonomi Daerah, Bandung: Alumni, 1982. Andi Suryaman Mustari Pide, Otonomi Daerah dan Kepala Daerah Memasuki Abad XXI, Jakarta:
Gaya Media Pratama, 1999. Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994. Kuntjoro Purbopranoto, Beberapa Catatan Hukum Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara, Bandung: Alumni, 1981. Miriam Budianrdjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1992. Miftah Toha, Beberapa Masalah Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah, dalam Jurnal CIDES Profil
Indonesia, Jakarta, 1997. Marbun B.M., DPRD: Pertumbuhan, Masalah dan Masa Depannya, Jakarta: Erlangga, 1993. Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan (Kumpulan Karya Tulis),
Bandung: Alumni, 2002. Sekretaris Negara RI, Risalah Sidang BPUPKI – PPKI, Disunting Oleh Safruddin dkk, Jakarta: Setneg RI, 1995. Soesilo Bambang Yudoyono, Otonomi Daerah, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003. Sriyono, Fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam Penyelenggaraan Otonomi
Daerah di Bekasi, Jawa Barat, 1999. The Liang Gie, Kumpulan Pembahasan Terhadap Undang-Undang Tentang Pengaturannya Tahun 1986 -1997, Jakarta: Sekolah Tinggi Hukum Militer, 1977. ___________(I), Pertumbuhan Pemerintah Daerah di Negara RI, Jilid I, Jakarta: Gunung Agung, 1997.
130 Fakultas Hukum - UNISAN
Pelemahan Asas Legalitas
PELEMAHAN ASAS LEGALITAS DENGAN DIANUTNYA AJARAN SIFAT MELAWAN HUKUM MATERIL DAN ADANYA HUKUM YANG HIDUP
Fuad Nur Fakultas Hukum Universitas Ichsan Gorontalo [email protected]
Abstract The principle of legality is a fundamental principle of the law enforcement, especially criminal law, this principle can be seen in Article 1 (1) of the Criminal Code. The principle of legality is always voiced by legal experts and practitioners of law to be upheld in order to create legal certainty so that people can know clearly where the real action is forbidden and not forbidden so that people can be careful not to do anything that could result in the law. Over time the principle of legality is considered less satisfy the justice of the people that came against the teachings of the nature of material law and adopts living law in the community with the characteristics of unwritten law. Consequently, the principle of legality is no longer fully apply in criminal law enforcement in Indonesia and sometimes overruled in order to prioritize the sense of justice in the midst of society. Keyword : the principle of legality, living law
I. PENDAHULUAN
Ketika Indonesia secara tegas dikatakan sebagai negara hukum, maka ada ketidakjelasan makna, apakah negara hukum yang dimaksud adalah rechtsstaat ataukah the rule of law. Mengingat antara rechtsstaat dengan the rule of law memiliki prinsip penegakan hukum yang berbeda. Jika rechtsstaat lebih menonjolkan prinsip kepastian hukum maka the rule of law bertahan dengan prinsip keadilannya.
Dalam kaitannya dengan negara hukum rechtsstaat dikenal suatu asas yang sangat fundamental, yaitu asas legalitas, dimana asas legalitas selalu disuarakan oleh para pakar hukum untuk ditegakkan demi tercapainya salah satu tujuan hukum yaitu kepastian hukum (rechtszekerheid). Dengan adanya kepastian hukum itulah masyarakat dapat mengetahui dengan jelas perbuatan mana yang sebenarnya dilarang atau tidak dilarang sebagaimana tertuang dalam suatu peraturan perundang- undangan sehingga masyarakat pun dapat berhati-hati terhadap segala tindakan yang dapat berakibat hukum.
Dengan sangat konkret asas legalitas diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dimana Pasal 1 ayat (1) KUHP itu menurut rumusannya dalam bahasa Belanda berbunyi : “Geen feit is strafbaar dan uit kracht van eene daaraan voorafgegana wettelijke strafbepaling”, yang artinya; “tidak ada suatu perbuatan dapat dihukum, kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut undang- undang yang telah ada terlebih dahulu dari pada perbuatannya itu sendiri”.
Fakultas Hukum – UNISAN 131
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. II, No. 2 Maret 2015
(Lamintang, 1997:118). Sehingga Von Feuerbach, seorang sarjana hukum Jerman merumuskan suatu adigum “Nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali.” artinya tiada delik, tiada pidana tanpa peraturan lebih dahulu.
Selain KUHP sebagaimana terlihat dalam Pasal 1 ayat (1) tersebut di atas yang menggunakan prinsip kepastian hukum di bawah asas legalitasnya, lahir juga Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tepatnya dalam Pasal 5 ayat (1) yang berb unyi: “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat”, serta dalam Pasal 10 ayat (1) undang-undang yang sama ditegaskan bahwa: “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan
dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Hal itu menunjukkan bahwa selain kepastian hukum, peradilan di Indonesia juga menekankan pada rasa keadilan. Dengan kata lain dalam penegakan hukum modern, asas kepastian hukum tidak tidak boleh dijadikan satu-satunya dasar putusan hakim, karena ada keharusan bahwa putusan hakim didasarkan juga pada asas keadilan dan kemanfaatan.
Dalam penegakannya, asas legalitas memang dihadapkan pada realitas masyarakat Indonesia yang heterogen. Sehingga KUHP menyisahkan bidang perbuatan yang oleh masyarakat dianggap sebagai perbuatan yang dilarang, sementara undang-undang tertulis tidak mengatur larangan itu. Itu terlihat jelas dengan adanya hukum yang tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat pastinya tidak diatur dalan KUHP. Kelemahan Asas legalitas atau biasa juga dikenal dengan istilah asas nullum delictum tersebut telah dikemukakan oleh Utrecht (R. Soesilo, 1995:27), ada beberapa keberatan terhadap asas nullum delictum yang di antaranya sebagai berikut:
“Pertama-tama dapat dikemukakan bahwa azas nullum delictum itu kurang melindungi kepentingan-kepentingan kolektif (collectieve belangen). Akibat azas nullum delictum itu hal hanyalah
dapat dihukum mereka yang melakukan suatu perbuatan yang oleh hukum (peraturan yang telah ada) disebut secara tegas sebagai suatu pelanggaran ketertiban umum. Jadi, ada kemungkinan seorang yang melakukan suatu perbuatan yang pada hakekatnya merupakan kejahatan, tetapi tidak disebut oleh hukum sebagai suatu pelanggaran ketertiban umum, tinggal tidak dihukum.”
Dari pernyataan Utrecht diatas kita juga bisa mengambil contoh, yaitu hidup bersama antara laki-laki dan wanita tanpa ikatan suami istri yang biasa juga masyarakat Indonesia istilahkan sebagai kumpul kebo, dimana hidup bersama ini dianggap sebagian besar masyarakat sebagai suatu kejahatan yang harus mendapat sanksi, namun dalam hukum pidana sendiri bukanlah suatu kejahatan maka tidak ada sanksi bagi pelakunya. Persetubuhan antar sesama dewasa atas dasar suka sama suka tanpa ada paksaan dan tidak ada pula di antara keduanya yang terikat tali perkawinan maka hal yang demikian tidak ada aturannya dalam KUHP, baik yang terjadi karena rayuan atau pun didahului dengan penipuan. Oleh karena, jika disandarkan pada asas legalitas maka perbuatan tersebut tidak termasuk kejahatan yang dapat dihukum menurut KUHP. Disitulah titik lemah KUHP karena tidak semua pasal- pasalnya dapat mengakomodir rasa keadilan masyarakat yang sesuai dengan nilai-nilai yang hidup di tengah-tengah masyarakat.
Dalam hukum pidana, untuk mengatakan suatu perbuatan termasuk tindak kejahatan, maka harus didasarkan pada peraturan yang mengatur tentang pidananya terlebih dahulu. Sesuai asas nullum
132 Fakultas Hukum - UNISAN
Pelemahan Asas Legalitas
delictum (asas legalitas) bahwa ketentuan undang-undang pidananya ada terlebih dahulu dari perbuatannya. Semisal pula persetubuhan antara jejaka dengan gadis atas dasar suka sama suka tanpa ikatan perkawinan dapat merupakan suatu tindakan kejahatan, apabila tindakan itu dilakukan dengan gadis yang belum cukup umur dapat dipidana bersarkan Pasal 287 KUHP. Kemudian jika perbuatan tersebut dilakukan dengan perempuan yang belum dewasa merupakan kejahatan dalam Pasal 293 KUHP atau Pasal 294 KUHP. KUHP memberikan perlindungan terhadap perempuan yang belum dewasa dari perbuatan di luar nikah.
Realitas di atas menunjukkan bahwa di Indonesia ada hukum yang tidak tertulis tapi menjadi hukum yang hidup (living law) pada suatu masyarakat seperti hukum adat atau hukum kebiasaan yang ditaati sebagai hukum asli dari masyarakat tertentu. Ini juga menunjukkan bahwa karakter asas legalitas dan hukum yang hidup dalam masyarakat sangat berbeda karena asas legalitas menghendaki hukum pidana harus tertulis dengan mengedepankan prinsip-prinsip kepastian hukumnya sedangkan hukum yang hidup dalam masyarakat tidaklah tertulis karena bersumber dari rasa keadilan suatu masyarakat.
Asas legalitas ini sangat menarik untuk dikaji mengingat asas legalitas ini banyak berbenturan dengan prinsip-prinsip hukum lainnya terutama dalam penegakan hukum (law enforcement) di Indonesia yang masyarakatnya dikenal heterogen (majemuk) karena terdiri dari berbagai macam agama, etnis, suku dan budaya. Olehnya itu maka dalam karya tulis ini penulis berkeinginan mengkaji bagaimana konsekuensi dari dianutnya ajaran sifat melawan hukum materil terhadap asas legalitas dalam penegakan hukum di Indonesia? Bagaimana kedudukan hukum yang hidup (living law) dalam masyarakat dan pengaruhnya terhadap eksistensi asas legalitas dalam penegakan hukum di Indonesia?
II. PEMBAHASAN
A. Konsekuensi Dianutnya Ajaran Sifat Melawan Hukum Materil Terhadap Asas Legalitas
A.1 Pemberlakukan Asas legalitas Asas legalitas diciptakan oleh Paul Johan Anslem von Feurbach (1775-1833), seorang sarjana
hukum pidana Jerman dalam bukunya Lehrbnuch des Peinlichen Recht (1801). Menurut Bambang Poernom, apa yang dirumuskan oleh Feurbach mengandung arti yang sangat mendalam, yang dalam bahasa latin berbunyi : Nulla poena sine lege; nulla poena sine crimine; nullum crimen sine poena legali . Ketiga prasa tersebut kemudian dikembangkan oleh Feurbach menjadi adigum nullum delictum, nulla poena sine praevia legi poenali. (O.S. Hiariej, 2009:7). Di antara para ahli hukum pidana terdapat kesamaan pandangan tentang pengertian asas legalitas adalah “tiada perbuatan dapat dipidana
kecuali atas dasar kekuatan ketentuan pidana menurut undang-undang yang sudah ada terlebih dahulu”. Ketentuan ini, sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP adalah definisi baku dari asas legalitas (O.S. Hiariej, 2009:20)
Menurut Molejatno asas legalitas berdasar Pasal 1 ayat (1) KUHP mengandung 3 (tiga) pengertian, yaitu :
1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undangan.
2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi.
3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut. (Moeljatno, 2000:25)
Fakultas Hukum – UNISAN 133
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. II, No. 2 Maret 2015
Adanya hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut ditegaskan dalam Pasal 28I ayat (1) UUD NRI 1945 dan ini dasar fundamental mutlaknya asas legalitas diberlakukan di Indonesia. Selain asas legalitas diakui dalam dunia hukum di Indonesia, asas legalitas juga diakui dalam dunia hukum internasional berupa traktat yang mengikat, seperti yang secara tegas tercantum dalam Declaration Universal of Human Rights, yaitu Deklarasi Universal PBB tentang Hak Asasi Manusia Pasal 11 (2), ditegaskan bahwa:
“Tidak seorangpun boleh dipersalahkan melakukan pelanggaran hukum karena perbuatan atau kelalaian yang tidak merupakan suatu pelanggaran hukum menurut undang-undang nasional atau internasional, ketika perbuatan itu dilakukan. ” (Kejaksaan Agung RI, 2010: 37).
Prinsip yang sama juga tercantum di dalam Pasal 15 ayat (1) International Convention on Civil and Political Rights atau ICCR dan Pasal 22 ayat (1) dan Pasal 24 ayat (1) Statuta Roma tentang International Criminal Court atau ICC. (Tjandra Sridjaja Pradjonggo, 2010:76). Di Indonesia, konstitusi memberikan kedudukan tinggi terhadap asas legalitas, tepatnya pada Pasal 28I ayat (1) UUD NRI 1945 secara tegas diamanatkan bahwa “Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. Hanya perbuatan
yang diberi label terlarang yang pelakunya dapat dipidana. Pengertian sifat melawan hukum yang demikian disebut dengan melawan hukum formil, karena larangan perbuatan tersebut telah diterangkan atau ditentukan secara jelas dalam undang-undang pidana.
Sedangkan perbuatan lain yang tidak ditentukan atau tidak diterangkan dalam undang-undang, walaupun masyarakat menganggap perbuatan itu tercela atau melanggar hukum materiil, sepanjang tidak dilarang oleh peraturan perundang-undangan apapun, maka tidak dapat dipidana. Hal ini telah ditentukan secara tegas dalam dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP sebagaimana disebut di atas sebagai dasar asas legalitas.
Kelemahan asas legalitas yang biasa juga diistilahkan sebagai asas nullum delictum sebagaimana telah dikemukakan oleh E. Utrecht dalam pendahuluan di atas dianggap sebagian juga sebagai kelemahan mendasar dan E. Utrecht menganggap bahwa asas legalitas tersebut kurang memberikan perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan kolektif, karena memungkinkan pembebasan pelaku perbuatan yang sejatinya merupakan kejahatan, tapi tidak tercantum dalam peraturan perundang-undangan.
A.2 Ajaran Sifat Melawan Hukum Materil dalam Tindak Pidana Dalam kepustakaan hukum pidana, terdapat 2 (dua) fungsi dari ajaran sifat melawan hukum
materiil, yaitu:
1. Ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif, yaitu suatu perbuatan, meskipun oleh peraturan perundang-undangan tidak ditentukan sebagai melawan hukum,
tetapi jika menurut penilaian masyarakat perbuatan tersebut bersifat melawan hukum, perbuatan yang dimaksud tetap merupakan perbuatan yang bersifat melawan hukum.
2. Ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif, yaitu suatu perbuatan, meskipun menurut peraturan perundang-undangan merupakan perbuatan yang bersifat
melawan hukum, tetapi jika menurut penilaian masyarakat perbuatan tersebut tidak bersifat
134 Fakultas Hukum - UNISAN
Pelemahan Asas Legalitas
melawan hukum, perbuatan yang dimaksud adalah perbuatan yang tidak bersifat melawan hukum. (Wiyono R, 2009:32-33)
Sifat melawan hukum mutlak untuk setiap tindak pidana. Roeslan Saleh mengatakan, “memidana sesuatu yang tidak bersifat melawan hukum tidak ada artinya.” Sementara itu, Andi Zainal
Abidin mengatakan, “salah satu unsur esensial delik adalah sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid) dinyatakan dengan tegas atau tidak di dalam suatu pasal undang-undang pidana, karena alangkah janggalnya kalau seseorang dipidana yang melakukan perbuatan yang tidak melawan hukum. (Chairul Huda, 2008:51)
Menurut ajaran wederrechtelijkheid dalam arti formal suatu perbuatan hanya dapat dipandang sebagai bersifat wederrechtelijk apabila perbuatan tersebut memenuhi semua unsur yang terdapat di dalam rumusan suatu perbuatan delik menurut undang-undang. Sedangkan menurut ajaran wederrechtelijkheid dalam arti materiil, apakah suatu perbuatan itu dapat dipandang sebagai bersifat wederrechtelijkheid atau tidak, masalahnya bukan saja harus ditinjau sesuai dengan ketentuan- ketentuan hukum yang tertulis, melainkan juga harus ditinjau menurut asas-asas hukum umum dari hukum yang tidak tertulis. (Lamintang, 1997 : 336)
Dalam sitem peradilan pidana, berkaitan dengan unsur sifat melawan hukum sebagai unsur mutlak suatu tindak pidana, pada awalnya badan peradilan Indonesia yang direpresentasikan oleh Mahkamah Agung berpegang teguh pada ajaran sifat melawan hukum formal. Dengan pendirian ini, badan peradilan tertinggi di Indonesia ini cenderung kaku pada rumusan ketentuan undang-undang, namun pendirian demikian itu tidak bertahan lama, pendirian badan peradilan tertinggi tersebut telah berubah secara revolusioner. Perubahan pendirian ini terjadi di tahun 1966 dalam kaitan dengan pemeriksaan kasasi perkara korupsi, ditandai dengan tidak dianut sepenuhnya ajaran sifat melawan hukum formal dan dianutnya pula ajaran sifat melawan hukum materil.
Sebagaimana Mahkamah Agung dalam satu putusan kasasinya, menyatakan bahwa sifat melawan hukum suatu tindak pidana dapat hilang selain karena ketentuan undang-undang, bisa juga karena asas-asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum. Dinyatakan pula bahwa asas-asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum itu antara lain: (a) faktor tidak dirugikannya negara, (b) kepentingan umum tetap dapat dilayani, (c) dan terdakwa sendiri tidak memperoleh keuntungan. (Muladi, 2009:16)
Perubahan pendirian ajaran sifat melawan hukum seperti itu, dengan mengakomodasi norma- norma hukum tidak tertulis sebagai sumber hukum pidana, di satu sisi dapat dipandang sebagai suatu yang normal dalam dinamika pemikiran hukum dan dalam kehidupan sebuah bangsa dan Negara. Namun di sisi lain, perubahan itu dapat pula dipandang sebagai awal kemunduran besar-besaran dalam upaya membangun sebuah bangsa yang berkeadilan, sejahtera, dan bermartabat. (Muladi, 2009:16)
B. Kedudukan Hukum yang Hidup dalam Masyarakat dan Pengaruhnya terhadap Eksistensi Asas Legalitas dalam Penegakan Hukum di Indonesia
B.1 Ajaran Sifat Melawan Hukum Materil dan Pelemahan terhadap Asas Legalitas Menurut Barda Nawawi Arief (Tjandra Sridjaja Pradjonggo, 2010:78-79) bahwa terjadi
pergeseran asas legalitas di Indonesia, dalam hal ini asas legalitas makin melemah. Asas legalitas dalam KUHP Indonesia bertolak dari ide atau ni lai dasar “kepastian hukum”. Dalam realitasnya, asas
Fakultas Hukum – UNISAN 135
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. II, No. 2 Maret 2015
legalitas ini mengalami berbagai bentuk pelunakan atau penghalusan atau pergeseran atau perluasan dan menghadapi berbagai tantangan, antara lain:
1. Bentuk pelunakan atau penghalusan pertama terdapat di dalam KUHP sendiri, yaitu dengan adanya Pasal 1 ayat (2);
2. Dalam praktek yurisprudensi dan perkembangan teori, dikenal adanya sifat melawan hukum yang materiil;
3. Dalam hukum positif dan perkembangannya di Indonesia, asas legalitas tidak semata-mata diartikan sebagai “nullum delictum sine lege”, tetapi juga sebagai “nullum delictum sine ius ” atau tidak semata-mata dilihat sebagai asas legalitas formal, tetapi juga asas legalitas materiil, yaitu dengan mengakui hukum pidana adat, hukum yang hidup atau hukum yang tidak tertulis sebagai sumber hukum.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa suatu negara yang menganut asas “nullum delictum” dalam arti yang sebenarnya tidak mungkin menganut ajaran sifat melawan hukum yang materiil dalam fungsinya yang positif. Bahkan apabila mengikuti pendapat Barda Nawawi Arief di atas, dianutnya ajaran sifat melawan hukum dalam pengertian materiil yang negatif juga merupakan pergeseran atau melemahkan asas legalitas.
Roeslan Saleh meng emukakan: “Menurut ajaran melawan hukum, yang disebut melawan hukum materiil tidaklah hanya sekedar bertentangan dengan hukum tertulis, tetapi juga bertentangan dengan hukum tidak tertulis. Sebaliknya, ajaran melawan hukum formil berpendapat bahwa melawan hukum adalah bertentangan dengan hukum tertulis saja. Jadi menurut ajaran materiil, di samping memenuhi syarat-syarat formil, yaitu memenuhi semua unsur yang disebut dalam rumusan delik, perbuatan harus benar-benar dirasakan masyarakat sebagai tidak boleh atau tidak patut. (Wiyono R, 2009:32)
Dalam suatu yurisprudensi yang menjelaskan penggunaan ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif sebagai alasan pembenar di antaranya Putusan Mahkamah Agung tanggal 8 Januari 1966 Nomor 42 K/Kr/1965, yang di antara pertimbangannya menyebutkan:
“Suatu tindakan pada umumnya dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya berdasarkan suatu ketentuan dalam perundang-undangan, melainkan juga berdasarkan asas-asas keadilan atau asas-asas hukum yang bersifat umum, sebagai misal tiga faktor:
1. Negara tidak dirugikan
2. Kepentingan umum dilayani, dan
3. Terdakwa tidak mendapat untung. (Tjandra Sridjaja Pradjonggo, 2010:183) Putusan Mahkamah Agung dengan mempertimbangkan tentang sifat melawan hukum materiil
dalam fungsinya yang negatif yang merupakan alasan peniadaan pidana, dapat dilihat pula dalam Keputusan Mahkamah Agung Nomor 72 K/Kr/1970 tanggal 27 Mei 1972, yang dalam salah satu pertimbangannya menyatakan:
“Bahwa meskipun Undang-Undang Nomor 17/1964 tersebut merupakan suatu formil delict, namun hakim secara materiil harus memperhatikan juga adanya kemungkinan keadaan dari tertuduh-tertuduh atas dasar mana mereka tak dapat dihukum (materiele wederrechtelijkheid )”.
136 Fakultas Hukum - UNISAN
Pelemahan Asas Legalitas
Selanjutnya dalam pertimbangan berikutnya Mahkamah Agung dalam mempertimbangkan tentang keberatan Pemohon Kasasi menyatakan:
“Menimbang, bahwa walaupun perbuatan-perbuatan yang dituduhkan pada terdakwa telah terbukti semuanya, akan tetapi Mahkamah Agung berpendapat, bahwa perbuatan-perbuatan tersebut,
bukanlah merupakan tindak pidana penadahan, karena sifat melawan hukum tidak ada sama sekali”. (Adami Chazawi, 2007:69)
Pada pertimbangan yang terakhir ini yang dimaksud dengan sifat melawan hukum yang tidak ada itu, tiada lain adalah bukan sifat melawan hukum formil, akan tetapi sifat melawan hukum materiil
sebagaimana yang dimaksud pada pertimbangan sebelumnya dengan kalimat “….adanya kemungkinan keadaan dari tertuduh-tertuduh atas dasar mana mereka tak dapat dihukum (materiele
wederechtelijkheid)” tersebut di atas. Maka putusan Mahkamah Agung di atas adalah bukti konkret penerapan paham sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif. (Adami Chazawi, 2007:69)
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan pakar hukum, berkisar apakah melawan hukum materiil hanya dapat digunakan dalam fungsinya yang negatif, atau justru penggunaan dalam fungsinya yang positif dapat digunakan secara terbatas. Sehingga mengandung pengertian membolehkan sifat melawan hukum materiil digunakan sebagai alasan penghapus pidana di luar undang-undang ataukah digunakan untuk memidana seseorang yang melakukan suatu perbuatan yang secara formal sebenarnya bukanlah suatu tindak pidana. Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ditemui beberapa unsur sebagai berikut:
a. Secara melawan hukum;
b. Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;
c. Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) menyatakan: bahwa yang dimaksud dengan “secara melawan
hukum” mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila
perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.
Seperti halnya dengan pembuktian unsur secara melawan hukum dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 12 huruf e UU Antikorupsi, perbuatan-perbuatan yang dilakukan harus dibuktikan bersifat melawan hukum. Hal tersebut disebabkan perbuatan-perbuatan itu tidak dengan sendirinya selalu mengatakan terlarang untuk dilakukan. Sebagai contoh, beberapa proyek yang nilainya sekitar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) yang kesemuanya dimenangkan oleh pemborong dari keluarga pejabat pemilik proyek, meskipun melalui tender dan bukan penunjukan langsung. Untuk menentukan perbuatan tersebut bersifat melawan hukum, sangat bergantung pada situasi yang melingkupi, keadaan yang menyertai, dan konsepsi melawan hukum itu sendiri. Apabila sifat melawan hukum itu dimaknai dalam pengertian formil yang dalam hal ini menyandarkan pada asas legalitas, maka perbuatan tersebut bukanlah tergolong korupsi karena pelaksanaannya telah sesuai prosedur atau sesuai dengan undang- undang. Namun, apabila disandarkan pada sifat melawan hukum materiil yang dalam fungsinya yang
Fakultas Hukum – UNISAN 137
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. II, No. 2 Maret 2015
positif maka perbuatan tersebut bisa jadi bersifat melawan hukum karena bisa jadi ada unsur kolusi di dalamnya.
Menurut Andi Hamzah (2005:141), penerapan melawan hukum materiil secara positif berdasarkan penjelasan Pasal 2 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi harus ditafsirkan sedemikian rupa sehingga tidak terlampau luas ruang lingkupnya. Pengertian bertentangan dengan norma-norma yang hidup di dalam pergaulan masyarakat, harus dilakukan penelitian lebih dulu bagaimana pendapat tokoh masyarakat, alim ulama, kepala adat dan seterusnya mengenai patut tidak patutnya suatu perbuatan yang dipandang melawan hukum materiil itu.
Lain halnya yang ditegaskan Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Hukum dan HAM RI, m elalui “Pengkajian tentang Asas-asas Pidana Indonesia, dalam Perkembangan Masyarakat Kini dan Mendatang” berposisi dan mengklaim bahwa:
“Sebagaian besar pihak, baik para ahli hukum pidana dari kalangan akademisi maupun praktisi, hingga kini mengharapkan agar ajaran perbuatan melawan hukum materiil tidak dipergunakan dalam fungsi positifnya, artinya apabila perbuatan dari pelaku ternyata tidak memenuhi rumusan deliknya atau tidak ada pelanggaran terhadap peraturan tertulisnya ataupun bila perbuatannya tidak ada pengaturannya dalam undang- undang, sehingga formil perbuatannya adalah tidak “wederrechtelijk”, meskipun materiil perbuatannya adalah melawan hukum atau dipandang tercela, maka terhadap pelaku tidak dapat dikenakan atau dijatuhkan pidana mengingat berl akunya asas legalitas tersebut.” (Tjandra Sridjaja Pradjonggo, 2010:80)
B.2 Hukum Hidup dalam Masyarakat dan Pelemahan terhadap Asas Legalitas Hukum tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat menjadi pertimbangan dianutnya ajaran
sifat melawan hukum materil dalam fungsinya yang positif karena dalam hukum yang hidup ada nilai- nilai keadilan dalam suatu masyarakat. Hukum yang hidup yang dimaksud adalah hukum adat yang eksis dalam masyarakat walau pun terkadang nilai-nilai keadilan dalam hukum yang hidup tersebut tidaklah tertulis dan hal tersebut bertentangan sebagaimana disyaratkan oleh asas legalitas.
Hukum yang hidup di tengah masyarakat secara yuridis diakui dan dihormati akan eksistensinya dalam konstitusi Indonesia seperti yang ditegaskan dalam Pasal 18B ayat (2) Undang- Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa:
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak- hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang- undang.”
Ditegaskan pula pada Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan
memahami nilai- nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Dimana dalam penjelasan pasal ini dinyatakan bahwa: “Ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim dan hakim konstitusi sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyaraka t”. Bahkan jika ada suatu perkara yang telah sampai ke pengadilan dimana perbuatannya memiliki sifat melawan hukum materil dalam fungsi
sebagai positif, maka Pasal 10 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan pula bahwa ”Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
138 Fakultas Hukum - UNISAN
Pelemahan Asas Legalitas
suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.
Dalam Undang-undang Kekuasaan Kehakiman tersebut di atas dapat pula dimaknai bahwa hukum yang hidup dalam masyarakat khususnya pidana adat (materil/substansi) pada wilayah-wilayah tertentu di tanah air juga mendapat perhatian hakim di Indonesia, termasuk soal yang berkaitan dengan “perbuatan tercela” atau sifat perbuatan melawan hukum secara materil dalam masyarakat adat di
Indonesia, karenanya diperlukan suatu sikap ketelitian yang akurat, bahkan kehati-hatian untuk menentukan suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tercela menurut ukuran masyarakat Indonesia, sehingga bisa memuaskan rasa keadilan masyarakat.
Hukum adat tidak lain ketentuan hukumnya atau nilai-nilainya tidak tertulis tetapi tetap hidup dan diakui dalam masyarakat dan berlaku sebagai hukum pada daerah tertentu. Bahkan suatu kewajiban patuh terhadap hukum yang hidup yang tidak tertulis, sebagaimana ditegaskan pula dalam Bab IV Kewajiban Dasar Manusia Pasal 67 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, bahwa:
“Setiap orang yang ada di wilayah negara Republik Indonesia wajib patuh pada peraturan perundang-undangan, hukum tak tertulis, dan hukum internasional mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia.” Di Indonesia yang masih mengakui secara ketat eksistensi dan kehidupan hukuman adat, dalam
arti terdapatnya beberapa perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana adat (delik adat), persoalan ada tidaknya suatu perbuatan tercela bagi suatu masyarakat masih menjadi pusat pembicaraan dan perhatian ahli hukum pidana Indonesia, sehingga sebagian besar berpendapat masih berlakunya keberadaan substansi hukum pidana (adat) menurut Pasal 5 (3) sub b Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 jo. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1962 meskipun Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP) menyatakan pencabutan Undang-Undang Darurat tersebut.
Dasar hukum berlakunya hukum pidana adat di Indonesia termaktub pada Pasal 5 (3) sub b Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 jo. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1962 yang sebagian kalimatnya berbunyi:
“…..bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingannya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukum pengganti, bilamana hukuman adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak yang terhukum dan penggantian yang dimaksud dianggap sepadan oleh hakim dengan besar kesalahan yang terhukum; bahwa bilamana hukuman yang dijatuhkan itu menurut pikiran hakim melampaui padanya dengan hukuman kurungan atau yang dimaksud di atas, atas kesalahan terdakwa dapat dikenakan hukuman pengganti setinggi 10 tahun penjara, dengan pengertian bahwa adat yang menurut paham hakim tidak selaras lagi dengan zaman mesti diganti seperti tersebut di atas dan bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana dan yang ada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana yang sama dengan hu kuman bandingnya yang paling mirip kepada perbuatan pidana itu”. (Andi Zainal Abidin dan Rachmad Baro, 1997:13)
Fakultas Hukum – UNISAN 139
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. II, No. 2 Maret 2015
Lebih jelasnya bisa dilihat dalam konsiderans (menimbang poin b) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, menegaskan:
“Bahwa hukum acara pidana sebagai yang termuat dalam Het Herziene Inlandsch Reglement (Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44) dihubungkan dengan dan Undang-Undang Nomor 1 Drt
Tahun 1951 (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Nomor 81) serta semua peraturan pelaksanaannya dan ketentuan yang diatur dalam perundang-undangan lainnya sepanjang hal itu mengenai hukum acara pidana, perlu dicabut, karena sudah tidak sesuai dengan cita- cita hukum nasional”. Jadi pencabutan undang-undang darurat hanyalah sepanjang mengenai ketentuan hukum acara
pidananya saja atau sebatas proseduralnya saja, tidak terhadap subtansi dari undang-undang darurat tersebut. Sehingga dengan eksisnya hukum adat Indonesia, termasuk tindak pidana adat (delik adat), suatu perbuatan yang dipandang tercela (melawan hukum materil) menurut masyarakat adat setempat, meskipun perb uatan pelaku adalah formil tidak “wederrechtelijk”, tidaklah dengan begitu saja pelaku dapat dikatakan tidak dapat dipidana karena menurut hukum adat itu suatu kejahatan.
Hadirnya Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 maupun Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 sebagai hukum positif memberikan peluang untuk tidak memberlakukan asas legalitas secara mutlak, dimana kedua undang-undang tersebut memberikan landasan hukum diterapkannya pidana adat atau hukum yang tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat yang memiliki nilai-nilai hukum dan sesuai rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, guna menuntut atau memidana tersangka/terdakwa yang melakukan suatu perbuatan yang tidak diatur dalam undang-undang, sepanjang menurut hukum pidana adat atau hukum yang tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat perbuatan tersebut dapat atau patut dipidana.
Jadi berdasarkan Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 maupun Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 itu pula sehingga undang-undang pidana dan hukum pidana adat yang tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat sebenarnya mempunyai kedudukan yang sama, sebagaimana dipahami bahwa sumber hukum formal di negara ini adalah terdiri dari hukum tertulis dan hukum tidak tertulis.
Masyarakat Indonesia yang masih banyak memegang teguh hukum adat dan jika di kemudian terjadi perbuatan yang bertentangan dengan hukum adat dan tetap diproses pada lembaga formal, maka pastinya akan berpengaruh pada putusan hakim. Seperti halnya putusan Mahkamah Agung R.I. yang telah sedemikian jauh menafsirkan pengertian zina sehingga zina menurut hukum adat pun dapat dipidana, sebagaimana dalam pertimbangan hukum putusannya Nomor 93 K/Kr/1976 tanggal 19 Nopember 1977, yang menyatakan sebagai berikut.
“Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus perbuatan yang menurut hukum adat dianggap sebagai perbuatan pidana yang mempunyai bandingnya dalam KUHP. Delik adat zina
merupakan perbuatan terlarang mengenai hubungan kelamin antara pria dan wanita, terlepas dari tempat umum atau tindak perbuatan tersebut dilakukan seperti diisyaratkan oleh Pasal 281 KUHP, ataupun terlepas dari persyaratan apakah salah satu pihak itu kawin atau tidak seperti dimaksud oleh
Pasal 284 KUHP” (Adami Chazawi, 2005:60).
140 Fakultas Hukum - UNISAN
Pelemahan Asas Legalitas
Putusan Mahkamah Agung di atas mempertimbangkan akan eksistensi hukum yang hidup pada masyarakat dan bahkan putusan Mahkamah Agung tersebut sudah menjadi yurisprudensi yang diikuti oleh pengadilan-pengadilan di seluruh Indonesia. Selanjutnya Loebby Loqman (2004:29) memberi contoh dan menjelaskannya sebagai berikut: seperti yang ditemui di daerah Lo’nga dalam kompetensi Pengadilan Negeri Banda Aceh, dimana para pelaku (laki dan wanita yang sudah dewasa menurut hukum) melakukan hubungan intim layaknya suami-isteri di suatu pondok kandang kerbau dan di kebun cengkeh pada tahun 1971 yang mengakibatkan kehamilan pada si wanita. Sehingga perbuatan mereka itu dipandang sebagai bertentangan dengan hukum adat dan hukum agama setempat. Dan ternyata perbuatan lelaki dan wanita yang belum menikah dan layaknya hubungan suami-istri itu tidak ada bandingannya/ padanannya/ekuivalensinya dengan KUHP, hanya memiliki kemiripan dengan
tindak pidana “zinah” menurut Pasal 284 KUHP, sehingga berdasarkan putusan Mahakamah Agung Nomor 93 K/Kr/1976 tanggal 19 Nopember 1977 kedua pelakunya (laki dan wanita) itu terbukti
melakukan tindak pidana adat : “zinah” dan dapat diberlakukan sesuai Pasal 5 ayat (3) b Undang- Undang Darurat Nomor 1/Drt/1951. Contoh lain, Mahkamah Agung R.I dalam putusannya tanggal 15 Mei 1991 Nomor 1644.K.Pid/1988 di tingkat kasasi memutuskan:
“Judex facti salah menerapkan hukum, karena menjatuhkan pidana ganda (dua kali) terhadap terdakwa dalam persoalan/perbuatan yang sama. Pemohon kasasi (terdakwa) dijatuhi sanksi pidana
adat dan sanksi pidana menurut KUHP. Judex facti dinyatakan salah menerapkan hukum, karena tidak menghormati Hukum Adat yang masih hidup dan masih berlaku serta masih ditaati pelaksanaannya di daerah pemohon kasasi.
Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri dan membenarkan keberatan pemohon kasasi butir 1 dan 2. Hukuman adat yang telah dijatuhkan oleh Kepala Adat tersebut adalah sepadan dengan kesalahan terhukum, sehingga menurut Pasal 5 (3) b Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951, “terdakwa tidak dapat dijatuhi hukuman oleh pengadilan.” Putusan Mahkamah Agung RI tersebut lahir dari permohonan kasasi dari Penasehat Hukum terdakwa yang bernama Tauwi berusia 18 tahun, murid SMA yang telah divonis oleh
“Pengadilan Adat Tolaki” karena terbukti yaitu melakukan tindak pidana kesusilaan, dan dijatuhi sanksi Adat Prohala, yaitu Tauwi diwajibkan menyerahkan seekor kerbau dan satu piece kain kaci kepada Sitti. Namun oleh kepolisian Kendari tetap memprosesnya, dilimpahkan ke Kejaksaan Kendari dan didakwa dengan dakwaan alternatif yaitu Pasal 53 jo Pasal 285 KUHP atau Pasal 281 KUHP ataupun Pasal 5 (3) UU Darurat Nomor 1 Tahun 1951.
Pengadilan Negeri Kendari berpendapat bahwa terdakwa terbukti melakukan tindak pidana adat “memperkosa” berdasarkan Hukum Adat yang hidup di dalam masyarakat, dan perbuatan terdakwa dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana adat berdasarkan Pasal 5 (3) UU Darurat Nomor 1 Tahun
1951, yang mirip dan ada bandingannya di dalam Pasal 285 KUHP. Di dalam amar putusannya Pengadilan Negeri Kendari menyatakan “menghukum terdakwa selama empat bulan penjara”. Ketika Penasehat Hukum terdakwa melakukan banding, maka putusan
Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara pun menguatkan putusan pengadilan sebelumnya. Namun oleh Mahkamah Agung, Judex facti dinyatakan salah menerapkan hukum, karena tidak menghormati
Fakultas Hukum – UNISAN 141
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. II, No. 2 Maret 2015
Hukum Adat yang masih hidup dan masih berlaku serta masih ditaati pelaksanaannya (Andi Zainal Abidin dan Rachmad Baro, 1997:31-34)
III. KESIMPULAN Berdasarkan pemaparan kedua hal di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Konsekuensi dari dianutnya ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif dan negatif memberi pengaruh kepada asas legalitas yang tidak lagi sepenuhnya diterapkan dalam penegakan hukum pidana di Indonesia.
2. Hukum yang hidup (living law) atau hukum tidak tertulis secara konstitusional diakui dan juga memiliki kedudukan tinggi dalam suatu masyarakat. Meskipun itu sifatnya tidak
tertulis tapi sesuai rasa keadilan suatu masyarakat menjadi pertimbangan dalam penegakan hukum pidana. Hal tersebut dapat pula menjadikan asas legalitas dengan prinsip kepastian hukumnya dikesampingkan demi mendahulukan rasa keadilan di tengah-tengah masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicalprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence) , Jakarta: Kencana, 2009. Adami Chazawi, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005. Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Kaidah-Kaidah Hukum Yusrisprudensi, Jakarta: Kencana, 2005. Ahmad Rivai, Penemuan Hukum dalam Persfektif Hukum Progresif, Jakarta: Sinar Grafika, 2010. Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2004. Andi Zainal Abidin dan Rachmad Baro, Perbandingan Asas-asas Hukum Adat Pidana Indonesia
dengan Asas-asas Hukum Pidana Eropa Barat dan Texas , Ujung Pandang: Umitoha, 1997. Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru . Jakarta: Kencana, 2010. Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan , Jakarta: Kencana, 2008. Fajrimei A. Gofar, Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP 2005, Jakarta: ELSAM, 2005. Gatot Supramono, Segi-segi Hubungan Luar Nikah, Jakarta: Djambatan, 1988. Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif, alih bahasa Raisul Muttaqien,
Bandung: Nusa Media, 2008. Kejaksaan Agung RI, Seminar Criminal Justice System di Negara Hukum Indonesia, Jakarta, 2010. Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial, alih bahasa oleh M. Khozim Bandung:
Nusa Media, 2009. Loebby Loqman, Perkembangan Asas Legalitas dalam Hukum Pidana Indonesia, Semarang, 2004. Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2000. P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru, 1997. R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003. R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Garafika, 2009.
142 Fakultas Hukum - UNISAN
Pelemahan Asas Legalitas
R. Soesilo, Kitab Udang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal , Bogor: Politeia, 1995. R. Wiyono, Pembahasan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Edisi Kedua), Jakarta: Sinar Grafika, 2009. Satjipto Rahardjo, 2009. Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, Genta Publishing, Yogyakarta. Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000. Tjandra Sridjaja Pradjonggo, Sifat Melawan Hukum dalam Tindak Pidana Korupsi, Surabaya:
Indonesia Lawyer Club, 2010.
Fakultas Hukum – UNISAN 143
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. II, No. 2 Maret 2015
144 Fakultas Hukum - UNISAN
Tindak Pidana Money Politic
PENERAPAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA MONEY POLITIC PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF DI KOTA GORONTALO
Darmawati Fakultas Hukum Universitas Ichsan Gorontalo [email protected]
Asriadi Zainuddin Institut Agama Islam Negeri Sultan Amai Gorontalo
Abstract
The Application of Criminal Law to Act Crime Money Politics at Legislative Election in Gorontalo City was still weak and had Law Number 8 Year 2012 just enough minimized occurrence criminal acts legislative elections in 2014 than 2009. From second periods legislative elections according to data can got from police station of Gorontalo city, there are reports six cases act crime in legislative elections which could be delegated to office of the district prosecutor general of Gorontalo and only three cases wa s not court session. Factors weak’s Application Criminal Law to Act Crime Money Politics at Legislative Election in Gorontalo City was internal factor that is election supervisor in election, a police as investigator and the prosecutor as the prosecutor must be more professional and proportional, external factors regulatory and society. Keyword : Money politic, legislative election, Gorontalo.
I. PENDAHULUAN
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) khususnya pasal 1 ayat (3) menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negarahukum. Hal ini berarti bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum yang demokratis yang berlandaskan pada Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945, sehingga harus menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia dan seluruh warga negaranya di dalam hukum dan pemerintahan. Maka setiap tindak pidana baik kejahatan atau pelanggaran yang terjadi seharusnya diproses melalui jalur hukum. Hukum dipandang sebagai satu-satunya penyelesaian terhadap suatu tidak pidana. Biasanya tindak pidana disinonimkan dengan delik, yang berasal dari bahasa latin yakni kata delictum. Dalam kamus lengkap bahasa Indonesia (Bambang Marhijanto, 2009:82) diartikan bahwa delik adalah perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang tindak pidana atau suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, yang mana larangan tersebut disertai dengan ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu.
Fakultas Hukum – UNISAN 145
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. II, No. 2 Maret 2015
Hal ini berhubungan erat dengan asas legalitas pasal 1 ayat (1) KUHP dimana suatu perbuatan tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada.Eksistensi suatu Negara disebut sebagai Negara hukum antara lain tercermin dari beberapa hal yang biasanya disebut sebagai ciri Negara hukum (Rechtsstaat), yang terdapat pula dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu:
1. Adanya jaminan Hak Asasi Manusia,
2. Adanya pemisahan kekuasaan,
3. Pemerintah dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya harus berdasarkan atas hukum, baik hukum yang tertulis maupun tidak tertulis,
4. Adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka. Tujuan dibentuknya Negara sebagaimana tercantum dalam UUD NRI Tahun 1945 alinea IV
adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Tujuan tersebut akan tercapai salah satunya adalah melalui pembangunan demokrasi secara berkesinambungan.
Demokrasi Indonesia dalam kaitannya dengan Indonesia sebagai Negara hukum adalah bagaimana melindungi masyarakatnya dalam hak asasi manusia pasal 28A setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya, termasuk pula dalam masalah Pemilu setiap warga Negara berhak untuk bebas memilih publik pigur yang bisa dijadikan wakil rakyat dan berhak untuk dipilih menjadi pemimpin rakyat.
Dalam BAB VIIB Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 22E ayat (2) dijelaskan pula mengenai tujuan Pemilu adalah diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Berdasarkan pasal tersebut di atas maka dibentuklah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pasal 1 angka 1 menyatakan pemilihan umum selanjutnya disebut Pemiluadalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang pada umumnya dilaksanakan setiap lima tahun sekali.Untuk itu setiap wargaNegara yang telah menjadi peserta pemilihan umum memiliki hak dan kewajiban serta dijamin oleh undang-undang untuk menentukan pilihannya atau aspirasinya lewat pemilihan umum. (http://www.inilah.com/rubrik-politik(Senin-21 Desember 2009).
Konsep Negara hukum yang berkedaulatan rakyat terdapat pula dalam pasal 1 ayat (2) yaitu kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD NRI 1945. Makna dari kedaulatan rakyat tersebut adalah rakyat memiliki kedaulatan, tanggung jawab, hak dan kewajiban untuk secara demokratis memilih pemimpin yang akan membentuk pemerintah guna mengurus dan melayani seluruh lapisan masyarakat.Sekilas kita bisa mencermati bahwa begitu banyaknya aturan baik yang sifatnya umum maupun yang bersifat khusus dalam Pemilu namun untuk mendapatkan pemilihan umum yang berkualitas adalah sangat sulit dewasa ini,sebab pelaksanaan pemilihan umum yang berkualitas selalu dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor-faktor tersebut memiliki implikasi-implikasi
146 Fakultas Hukum - UNISAN
Tindak Pidana Money Politic
yang khas terkait perilaku memilih masyarakat sebagaimana sistem Pemilu itu sendiri. (Joko J. Prihatmoko, 2008:32-33). Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Minimnya tingkat kesadaran masyarakat dalam berdemokrasi,
b. Kurangnya kesadaran politik dari para pemimpin atau anggota legislatif,
c. Tingkat pendidikan yang rendah,
d. Pengaruh ekonomi, sosial dan budaya masyarakat,
e. Tingkat kematangan partai,
f. Kondisi geografis. Sejarah perkembangan peraturan pelaksanaan pemilihan umum dari tahun ketahun mengalami
kemajuan, seiring dengan perkembangan demokrasi itu sendiri. Sebelum pemilihan umum yang bersifat nasional dalam perkembangannya di Indonesia telah melaksanakan Pemilu yang bersifat lokal, dilaksanakan pada tahun 1951 di Minahasa dan Yogyakarta. Sedangakan pemilihan umum yang bersifat nasional pertama kali pada tahun 1955 pada jaman orde lama dan Pemilu legislatif pada masa orde baru pertama kali diadakan pada tahun 1971. (Dedi Mulyadi, 2013:117-118).
Kemudian pemilihan umum legislatif pada masa orde reformasi dimulai pada tahun 1999. Berkaitan dengan Pemilu tersebut, perubahan UUD 1945 yang dilakukan selama tahun 1999 sampai 2002, disampaikan menetapkan semua anggota DPR, DPD, DPRD dan Presiden dipilih melalui Pemilu setiap lima tahunan yang bermakna membentuk pemerintahan demokratis, kuat dan memperoleh dukungan rakyat, juga melambangkan pembaruan Pemilu.
Sedangkan pemilihan umum terbaru pada tahun 2014 yang merupakan pemilihan umum yang ke sebelas (XI), tercatat sebagai Pemilu ke empat di era Repormasi di Indonesia pada umumnya, dan khususnya di Propinsi Gorontalo sendiri adalah pemilihan umum legislatif yang ke tiga (III), semenjak tahun 2004 hinga Pemilu legislatif sekarang tahun 2014. (Verriyanto Madjowa, 2015:3).
KUHP sebagai hukum umum (lex generalis) sebenarnya bisa dipakai sebagai dasar hukum untuk menindak pelanggaran atau kejahatan yang berkaitan dengan pemilihan umum.Dasar hukum tersebut dimuat dalam Buku kedua Bab IV Kejahatan Terhadap Melakukan Kewajiban Dan Hak Kenegaraan dalam pasal 148 sampai dengan 153. Namun demikian para pembuat undang-undang punya paradigma dan pola pikir (frame of mind) yang artinya dalam KUHP tidak cukup potensial untuk menjerat tindak pidana pelanggaran atau kejahatan dalam rangkaian pemilihan umum legislatif.
Selain itu terdapat undang-undang yang secara tegas mengatur tentang tindak pidana pelanggaran atau kejahatan Pemilu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 (lex specialis) tentang pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD. Pasal 301 ayat (3) setiap orang yang dengan sengaja pada hari pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta Pemilu tertentu dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
Namun dalam konsepsi penerapan hukum pidana pemilihan umum di Indonesia meskipun sudah berlangsung selama sebelas kali (XI) atau kurang lebih 55 tahun lamanya berlangsung, bukan berarti sudah berjalan aman, kondusif, serta jujur dan adil. Sebab pemilihan umum masih saja mengalami kecurangan atau pelanggaran bahkan kejahatan yang dilakukan oleh para kader, simpatisan
Fakultas Hukum – UNISAN 147
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. II, No. 2 Maret 2015
partai, atau tim sukses dari calon legislatif (Caleg), serta yang bersangkutan menghalalkan segala cara dan tidak memperhatikan peraturan yang berlaku. Maka sangat perlu dikritisi dan dikaji lebih mendalam tentang bagaimana penerapan hukum pidana Pemilu.
Kemurnian hasil Pemilu adalah suatu hal yang tidak dapat dipisahkan di dalam demokrasi.Oleh sebab itu untuk menjamin pemilihan umum yang jujur dan adil yang sangat penting adalah bagaimana pengawasan dari penyelenggara Pemilu tersebut. Pemberianpengetahuan dan perlindungan bagi para pemilih atau masyarakat pada umumnya agar menjadi peserata Pemilu yang cerdas serta jauh dari intimidasi, penyuapan (money politics), penipuan dan berbagai praktik curang lainnya yang akan mempengaruhi kemurnian hasil pemilihan umum itu sendiri.
Jika pemilihan umum dimenangkan dengan cara-cara yang curang seperti itu maka sulit dikatakan bahwa para legislator terpilih merupakan wakil-wakil rakyat.Hal ini terkait dengan banyaknya jenis tindak pidana Pemilulegislatif serta kendala dilapangan yang dihadapi oleh aparat penegak hukum, penyelenggara Pemilu baik KPU dan BAWASLU serta pengawasan masyarakat. Maka dengan sendirinya tindak pidana Pemilu legislatif baik pelanggaran ataupun kejahatanakan berlalu begitu saja, karena pihak pelapor dikatakan tidak memiliki banyak bukti atau malah sebaliknya banyak bukti pendukung tetapi pokok permasalahan yang dilaporkan sudahh daluarsa (verjaring).
Oleh karena itu, permasalahan yang hendak dikaji dalam tulisan ini adalah Bagaimana penerapan hukum pidana terhadap tindak pidana money politics pemilihan umum legislatif di kota Gorontalo dan Faktor-faktorapa yang menyebabkan lemahnya penerapan hukum pidana terhadap tindak pidana money politics pemilihan umum legislatif di kota Gorontalo?
II. METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah jenis penelitian normatif empiris yang pada dasarnya menggabungkan antara pendekatan hukum normatif dengan adanya penambahan berbagai unsur empiris (Amiruddin dan Zainal Asikin, 2004:118).
B. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Propinsi Gorontalo, tepatnya dilakukan di Polres Gorontalo Kota dan Kejaksaan Negeri Gorontalo serta tempat lain yang dapat dijadikan sebagai sumber data dan informasi terkait.
C. Jenis dan Sumber Data Adapun jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Data Primer adalah data yang diperoleh dari lokasi penelitian melalui penelitian lapangan dengan cara wawancara (interview) kepada pihak yang berkompeten, dalam hal ini adalah
petugas kepolisian yang tergabung dalam sentra penegakkan hukum terpadu (GAKKUMDU) dan jaksa penuntut umum yang bertugas menangani tindak pidana pemilihan umum legislatif.
148 Fakultas Hukum - UNISAN
Tindak Pidana Money Politic
2. Data Sekunder adalah data yang diperoleh melalui studi kepustakaan yakni melalui literatur/buku-buku, dokumen-dokumen, serta peraturan-peraturan yang ada relevansinya
dengan materi yang dibahas. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat seperti UUD 1945, Peraturan perundang-undangan, dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana(KUHP).
2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai hukum primer seperti rancangan UU, hasil penelitian, dan pendapat pakar hukum.
3. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum, kamus bahasa
Indonesia, koran dan internet.
D. Tekhnik Pengumpulan Data Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Observasi, yakni pengamatan langsung dilokasi penelitian.
2. Wawancara, adalah pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti dengan cara membuat pedoman wawancara dan dilakukan terhadap narasumber secara langsung sebagai sumber
informasi agar dapat diketahui tanggapan, pendapat, keyakinan, perasaan, motivasi serta cita-cita dari narasumber yang berkaitan dengan bagaimana penerapan hukum pidana terhadap tindak pidana money politics Pemilu legislatif di kota Gorontalo.
3. Studi kepustakaan/dokumen, yaitu dengan mengumpulkan bahan dari berbagai sumber atau literatur yang relevan dengan permasalahan yang akan diteliti.
E. Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. (Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, 2010:183-185).
III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Penerapan Hukum Pidana Tehadap Tindak Pidana Money Politic Pemilihan Umum Legislatif
Tindak pidana pemilu yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang dituangkan kedalam Bab XI (dua puluh dua),mengenai ketentuan pidana meliputi pasal-pasal yang diatur mulai dari pasal 273 sampai dengan pasal 321.
Perihal kepidanaan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dibagi dalam dua kategori yaitu berupa tindak pidana Pemilu yang digolongkan sebagai pelanggaran mulai dari Pasal 273 sampai dengan Pasal 291 (sembilan belas pasal), sedangkan tindak pidana Pemilu yang digolongkan kejahatan mulai dari Pasal 292 sampai dengan Pasal 321(dua puluh empat pasal). Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah beserta segala sifat yang menyertainya. Sebagaimana yang terdapat dalam pasal 260 tindak pidana Pemilu adalah
Fakultas Hukum – UNISAN 149
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. II, No. 2 Maret 2015
tindak pidana pelanggaran dan/atau kejahatan terhadap tindak pidana Pemilu sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
Selain itu juga terdapat perubahan pengaturan ketentuan pidana, dimana dalam Undang- Undang ini dilakukan penghapusan atas ketentuan pidana minimum. Penghapusan ketentuan pidana minimum ini menurut Pansus (panitia khusus) Pemilu dilakukan dalam rangka memberikan asas kepastian hukum dan memudahkan bagi hakim dalam memberikan putusan.
Tindak pidana pemilu legislatif menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 menurut ketentuan pidana dibagi kedalam dua bagian yaitu pelanggaran dan kejahatan. Dalam hal ini penulis mengangkat atau membahas tentang kejahatan money politics Pemilu legislatif. Seperti yang terjadi pada Pemilu legislatif bulan AprilTahun 2014 yaitu money politic yang dilakukan oleh oknum Caleg dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), diterapkan atau dikenakanPasal 301 ayat (3) yaitu setiap orang yang dengan sengaja pada hari pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta Pemilu tertentu dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
Hal ini membuktikan bahwa semua perbuatan baik pelanggaran atau kejahatan sudah dituangkan kedalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012. Namun pelanggaran ataupun kejahatan tersebut tidak dapat dipungkiri tetap saja muncul dalam setiap pesta demokrasi, atau dalam bursa pemilihan umum, khususnya Pemilu legislatif sebab sebagian masyarakat atau oknum berpandangan bahwa aturan itu dibuat untuk dilanggar, padahal pendapat atau opini tersebut adalah salah besar.
Terkait dengan kejahatan money politic Pemilu dalam penerapan hukumnya diperlukan kerja sama yang baik antara penyelenggara Pemilu dalam hal ini pengawas Pemilu dan penegak hukum. Siapa sajakah yang dapat melaporkan ketika ada pelanggaran atau kejahatan pemiluyaitu : warga Negara Indonesia yang mempunyai hak pilih, pemantau Pemilu, dan/atau peserta Pemilu. Selanjutnya dimana pelanggaran tersebut di laporkan yaitu : Bawaslu, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan dan pengawas Pemilu lapangan dimasing-masing Desa/Kelurahan.Sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 250 ayat (1) huruf d tindak pidana Pemilu diteruskan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 250 ayat (2) Laporan tindak Pidana Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diteruskan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia paling lama 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam sejak diputuskan oleh Bawaslu, Bawaslu Propinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, dan/atau Panwaslu Kecamatan.
Selanjutnya apa isi laporan tersebut yaitu : laporan tentang tindak pidana kejahatan money politics Pemilu legislatif yang disampaikan ke Panwaslu memuat nama dan alamat pelapor, waktu tindak pidana dilakukan (tempus delicti), tempat kejadian perkara (locus delicti), nama dan alamat pelanggar, nama dan alamat saksi-saksi, uraian kejadian, kapan laporan disampaikan ke Panwaslu.Mengenai locus delicti dalam KUHP di Indonesia tidak ada ketentuan apa-apa. Lain misalnya dengan KUHP Jerman dimana dalam pasal 3 ditentukan bahwa tempat perbuatan pidana
adalah dimana terdakwa berbuat atau dalam hal kelakuan negatif, di mana seharusnya terjadi.Tentang tempus delicti juga tidak ada ketentuan dalam KUHP. Menurut Pompe (Moeljatno, 2009:86) biasanya tentang locus delicti ini ada dua aliran yaitu : aliran yang menentukan di satu tempat yaitu tempat di
150 Fakultas Hukum - UNISAN
Tindak Pidana Money Politic
mana terdakwa berbuat, dan aliran yang menentukan di beberapa tempat yaitu mungkin tempat kelakuan dan mungkin pula tempat akibat.
Selanjutnya dalam mnerima laporan tindak pidana money politic Panwaslu melakukan mekanisme sebagai berikut :
a. Panwaslu menerima laporan secara lisan dan/atau tertulis ;
b. Panwaslu menuangkan laporan kejahatan pemilu yang disampaikan oleh pelapor kedalam formulir penerimaan laporan ;
c. Laporan yang telah dituangkan dalam formulir laporan ditandatangani oleh pelapor dan pihak Panwaslu ;
d. Panwaslu memberikan tanda terima laporan kepada pihak pelapor. Selanjutnya bagaimana Panwaslu memproses laporan : Setelah menerima laporan kejahatan
money politics Panwaslu melakukan penanganan laporan melalui proses sebagai berikut :
1. Penerimaan laporan atau temuan oleh pengawas Pemilu
2. Pengawas Pemilu mengidentifikasi dan mengklasifikasi laporan atau temuan
3. Hasil identifikasi dan klasifikasi dugaan tindak pidana Pemilu
4. Setelah menerima laporan atau temuan adanya dugaan tindak pidana Pemilu pengawas Pemilu segera berkoordinasi dengan sentra Gakkumdu
5. Pengawas Pemilu melakukan pengkajian awal
6. Dalam pengkajian awal dapat berkoordinasi kepada Sentra Gakkumdu untuk mendapat masukan
7. Pengawas Pemilu menyampaikan laporan atau temuan ke sentra Gakkumdu dalam jangka waktu paling lama 1 x 24 jam sejak diterimanya laporan atau temuan model SG-1
8. Staf sekretariat sentra Gakkumdu menerima surat penyampaian laporan atau temuan dugaan tindak pidana Pemilu dan dicatat dalam buku register
9. Staf sekretariat sentra Gakkumdu memberikan tanda bukti penerimaan laporan atau temuan kepada pengawas Pemilu model SG-2
10. Staf sekretariat sentra Gakkumdu menyiapkan copy sentra Gakkumdu model SG-1 dan menyampaikan kepada ketua dan anggota SG dalam jangka waktu paling lama 1 x 24 jam
terhitung sejak diterimanya laporan atau temuan dari pengawas Pemilu
11. Staf sekretariat sentra Gakkumdu menyiapkan rapat pembahasan sentra Gakkumdu
12. Rapat pembahasan terhadap model SG-1 dan lampiran laporan atau temuan dipimpin oleh anggota SG dari unsur pengawas Pemilu
13. Pimpinan rapat membuka rapat pembahasan dan menyampaikan materi laporan atau temuan dugaan tindak pidana pemilu kepada anggota SG dengan dibantu pencatatan staf
sekretariat SG
14. Hasil rapat pembahasan dituangkan dalam berita acara pembahasan SG-3 dengan ditanda tangani oleh seluruh anggota SG
15. Model SG-3 dicatat dalam register dan di arsipkan
Fakultas Hukum – UNISAN 151
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. II, No. 2 Maret 2015
16. Model SG-3 disampaikan kepada pengawas pemilu dan pembina SGsesuai tingkatannya serta tembusan kepada ketua SG pusat secara berjenjang, paling lama 1 x 24 jam terhitung
sejak diterimanya laporan atau temuan oleh staf sekretariat SG
17. Pengawas Pemilu wajib mempertimbangkan rekomendasi sentra Gakkumdu yang tertuang yang tertuang dalam model SG-3
18. Pengawas Pemilu menindak lanjuti rekomendasi sentra Gakkumdu sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Dengan demikian alur penanganan terhadap tindak pidana Pemilu khususnya money politic yaitu menurut peraturan perundang-undangan yang ada yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 berlangsung dalam sistem peradilan pidana.Penyelesaian diluar sistem ini adalah bertentangan dengan hukum karena tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Tabel 1 Data Laporan Tindak Pidana KejahatanMoney Politics Pemilu Legislatif di Tangani Polres Gorontalo Kota Periode Tahun 2009 dan Tahun 2014
No. Nomor LP/Tanggal
Jenis Perkara/Pasal
Keterangan
Kejahatan Money GTLO/Tanggal 05 Februari
1 LP/01/II/2009/RES
TINDAK PIDANA
PEMILU Pasal 274
Politics
Jo 87 huruf D
2 LP/02/II/2009/RES
Kejahatan Money GTLO/Tanggal 10 Februari
TINDAK PIDANA
PEMILU Pasal 274
Politics
Jo 87 huruf D
3 LP/10/III/2009/RES
Kejahatan Money GTLO/07 Maret 2009
TINDAK PIDANA
PEMILU Pasal 274
Politics Pelaksana
huruf C, D Jo 87
Kampanye
huruf C, D, E.
4 LP/11/IV/2009/RES
Kejahatan Money GTLO/Tanggal 07 April 2009 PEMILU Pasal 286
TINDAK PIDANA
Politics Pada Saat Pemungutan Suara
5 LP/12/IV/2009/RES
Kejahatan Money GTLO/Tanggal 07 April 2009 PEMILU Pasal 286
TINDAK PIDANA
Politics Pada Saat Pemungutan Suara
6 LP/01/IV/2014/RES GTLO
Kejahatan Money KOTA/Tanggal 11 April 2014 PEMILU Pasal 301
TINDAK PIDANA
Politics
Ayat (2)
152 Fakultas Hukum - UNISAN
Tindak Pidana Money Politic
Tabel 2 Data Tindak Pidana KejahatanMoney Politics Pemilu Legislatif yang Sempat di Limpahkan Ke Kejaksaan Negeri Gorontalo Periode Tahun 2009 dan Tahun 2014
No.
Jenis Perkara/Pasal
Pelanggaran/Kejahatan
Keterangan
1 TINDAK PIDANA
Pileg Tahun PEMILU Pasal 274 Jo 87
Kejahatan Money
Politics 2009
huruf D
2 TINDAK PIDANA
Pileg Tahun PEMILU Pasal 274 huruf C, Politics Pelaksana
Kejahatan Money
D Jo 87 huruf C, D, E
Kampanye
3 TINDAK PIDANA
Kejahatan Money
Pileg Tahun PEMILU Pasal 301 ayat (2) Politics 2014
Dari data diatas terkait dengan penerapan hukum pidana terhadap tindak pidana money politic Pemilu legislatif di kota Gorontalo bahwa ada 6 (enam) kasus tindak pidana Pemilu yang terjadi dalam
2 periode Pemilu legislatif yaitu Tahun 2009 ada 5 (lima) kasus dan Tahun 2014 ada 1(satu) kasus. Pada tahun 2009 ada 5 (lima) kasus berupa laporan di kepolisian tetapi hanya ada 2 (dua) kasus yang sempat dilimpahkan di pihak kejaksaan dikarenakan untuk 3 (tiga) kasus penyidikannya di SP3 (penyidikan dihentikan) sedangkan pada tahun 2014 hanya ada 1 (satu) kasus dilimpahkan ke kejaksaan akan tetapi tidak sampai di meja hijaukan disebabkan oleh alat bukti yang tidak cukup karena dari 13 (tiga belas) orang saksi tidak ada yang siap untuk dimintai keterangan saksinya dan selain alat bukti yang belum cukup penyidik dan penuntut umum diperhadapkan oleh waktu yang relatif singkat sehingga kasus tersebut menjadi daluarsa(verjaring) sehingga tidak bisa dilakukan penuntutan.
Berkaitan dengan tindak pidana money politics Pemilu legislatif menurut bapak Emil Pakay, selaku Penyidik Polri (wawancara, tanggal 16 Januari 2015) menyatakan bahwa untuk tindak pidana money politics di Kota Gorontalo perlu penerapan hukum secara tegas dan lebih intensif lagi. Sebab permasalahan tersebut dapat mengakibatkan setiap peserta tidak dapat bersaing secara normal atau sesuai dengan sumber daya manusia yang dimiliki, sehingga akibatnya kualitas tidak memenuhi zaman dan lebih fatal lagi lembagayang di tempati tidak akan berkembang atau maju.
Lebih lanjut dikatakan bahwa keberadaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 masih ada beberapa pasal yang perlu di revisi lagi terutama tentang batas-batas waktu tertentu dalam proses penyidikan ataupun penuntutan. Sementara itu menurut bapak Bindrod Situngkir, selaku Penyidik Polri mengemukakan bahwa tindak pidana money politics Pemilu legislatif di Kota Gorontalo masih sering terjadi dan sudah membudaya bukan hanya di Kota Gorontalo saja tetapi di Indonesia itu sendiri. Sedangkan penerapan hukumnya sangatlah sulit disebabkan oleh waktu penyidikannya yang sangat singkat. Namun dalam Pemilu legislatif tahun 2014 dengan adanya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 kata beliau sudah cukup meminimalisir segala tindakan atau perbuatan baik pelanggaran maupun kejahatan dalam Pemilu legislatif. Akan tetapi meskipun dengan hadirnya undang-undang
Fakultas Hukum – UNISAN 153
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. II, No. 2 Maret 2015
baru tersebut hingga sekarang ini di kota Gorontalo diungkapkannya belum ada tindak pidana Pemilu yang kasusnya sampai di sidangkan.
Upaya penegakkan hukum terhadap tindak pidana Pemilu adalah sebagai cara untuk mencapai Pemilu yang jujur, dan adil dilaksanakan dengan menggunakan hukum pidana, berupa pidana penjara dan kurungan/denda. Penggunaan sanksi pidana sebagai instrument penegakkan hukum merupakan penerapan hukum pidana dalam upaya menanggulangi kejahatan sebagai bagian dari politik hukum.Kebijakan hukum pidana mengandung arti bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan yang baik). Menurut Barda Nawawi Arief (Dedi Mulyadi, 2013:275) dalam menyelesaikan permasalahan pemilu harus dimulai dari empat tahap kebijakan hukum penting diantaranya :
1. Tahap Formulasi/Legislasi
2. Aplikasi/yudikasi
3. Eksekusi/administratifdan
4. Tahap evaluasi Bapak Achmad Husin Madya, selaku Penuntut Umum, menyatakan bahwa menyangkut
penerapan hukum pidana yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu legislatif sudah sangat berguna dalam menanggulangi tindak pidana Pemilu khususnya di kota Gorontalo. Namun dalam proses penuntutannya tetap saja terbentur dengan waktu yang singkat dan tidak siapnya saksi-saksi untuk dimintai keterangannya sehubungan debgan tindak pidana money politic. Hal senada juga dikemukakan oleh Bapak Buchari Taslim Tuasikal, yang mengungkapkan bahwa berkaitan dengan penerapan hukum pidana terhadap tindak pidana Pemilu baik pelanggaran maupun kejahatan menurutnya dengan adanya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 sudah cukup meminimalisir terjadinya tindak pidana Pemilu legislatif dibandingkan dengan undang-undang sebelumnya khususnya di kota Gorontalo. Namun hingga sekarang belum ada satu kasus tindak pidana Pemilu yang di proses hingga ke pengadilan.
Berdasarkan hasil pengamatan Penulis diatas maka Penulis dapat mengatakan bahwa secara umum penerapan hukum pidana terhadap tindak pidana Pemilu legislatif baik pelanggaran maupun kejahatan dalam hal ini money politics di kota Gorontalo pada umumnya sudah berjalan sesuai dengan peraturan undang-undang yang berlaku di Indonesia.Sebab tindak pidana Pemilu legislatif di Tahun 2014 itu sudah bisa terminimalisirkan di bandingkan dengan tindak pidana Pemilu legislatif yang terjadi pada Tahun 2009.Akan tetapi jika dilihat dari penyelesaian kasus tindak pidana pemilu yang ada selama ini, tidak banyak kasus yang sampai ke tingkat Pengadilan dan bahkan tidak ada yang sampai ke tingkat Pengadilan khususnya di kota Gorontalo. Hal ini disebabkan oleh masalah waktu dalam penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang terhitung singkat atau cepat.Sementara dengan waktu yang ada penyidik maupun penuntut umum kewalahan karena diperhadapkan dengan alat bukti yang cukup namun ketika diminta dihadirkan untuk dimintai keterangan saksi dalam hal ini setiap saksi-saksi tidak ada yang memenuhi panggilan sehingga dengan waktu yang terbatas membuat tindak pidana Pemilu tersebut menjadi daluarsa (verjaring).
Tindak pidana Pemilu khususnya money politics tidak mudah untuk dihilangkan, sebab sudah menjadi kebudayaan disetiap lapisan masyarakat, baik peserta Pemilu maupun masyarakat itu
154 Fakultas Hukum - UNISAN
Tindak Pidana Money Politic
sendiri.Tidak dapat dipungkiri disetiap bursa pemilihan baik pemilihan eksekutif, yudikatif maupun legislatif bahkan pemilihan untuk mendapatkan jabatan yang bergengsi lainnya itu selalu diwarnai dengan politik uang.Sebab tujuan para oknum tersebut dalam mencalonkan diri semata-mata hanya ingin mencari kedudukan atau kekuasaan semata bukan bertujuan demi kemajuan dan kesejateraan bangsa.
B. Faktor-Faktor yang Menyebabkan Lemahnya Penerapan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Money Politics Pemilihan Umum Legislatif Faktor-faktor yang menyebabkan lemahnya penerapan hukum pidana terhadap tindak pidana money politics Pemilu legislatif yaitu faktor internal dan eksternal. Pertama faktor internal yaitu faktor yang berasal dari bagian penegak hukum itu sendiri yaitu polisi dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan dan jaksa sebagai penuntut umum selaku pengacara Negara dan pihak yang memiliki kewenangan untuk melakukan eksekusi.Kedua adalah faktor eksternal yaitu yang menyangkut regulasi yaitu peraturan perundang-undangan yang berlaku dan masyarakat sebagai bagian dari himpunan subyek atau budaya hukum itu sendiri.
Untuk lebih jelasnya Penulis menguraikan faktor-faktor yang menyebabkan lemahnya penerapan hukum pidana terhadap tindak pidana money politicsPemilu legislatif. Maka disini penulis akan melakukan analisis kualitatif disertai data deskriptif yang berasal dari responden yang dilakukan melalui penelitian dan hasil wawancara untuk dijadikan sebagai bahan acuan analisis pada Skripssi ini.
1. Faktor Internal
1.1 Panwaslu Panitia pengawas pemilihan umum (Panwaslu) adalah merupakan suatu lembaga yang diberi wewenang oleh undang-undang dalam hal ini Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tepatnya pada pasal 1 Bab I Ketentuan Umum,yaitudibentuk oleh BAWASLU Propinsi yang bertugas untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Pemilu yang berada pada tingkatannya. Pada tingkatannya panitia pengawas pemilihan umum tersebut masing-masing berjumlah 3 (tiga) orang yang terbagi atas Ketua merangkap sekaligus Divisi Umum, Divisi Pengawasan dan Humas serta Divisi Hukum yang pada dasarnya memiliki tugas pokok dan fungsi sesuai dengan Devisinya yang dilengkapi dengan Kepala Sekretariat beserta Staf Sekretariat.
Menurut Bapak Singgih Priyono anngota Divisi Hukum Panwaslu kota Gorontalo meskipun personil inti mereka pada dasarnya hanya ada berjumlah 3 (tiga) orang namun setiap hal yang berhubungan dengan tindak pidana Pemilu baik pelanggaran maupun kejahatan selalu ada penindakan yang tegas dimulai dari penerimaan laporan/temuan, kajian laporan atau temuan dan penerusan laporan hingga ke penyidik. Hal senada diutarakan oleh Bapak Rauf Ali, S.Pd selaku Ketua Panwaslu Kota Gorontalo dengan harapan harus ada dukungan dan partisipasi aktif dari masyarakat.
1.2 Polisi Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan
Fakultas Hukum – UNISAN 155
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. II, No. 2 Maret 2015
dalam negeri (Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002).Pada asasnya melalui visi KUHAP dibedakan secara limitatif antara istilah penyidik atau opsporingdan penyelidik atau interrogation. Dengan tegas Bab I tentang ketentuan umum pasal 1 angka 1 jo Pasal 6 ayat (1) KUHAP, Bab I Pasal 1 angka 10 dan 11 Undang-Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 disebutkan bahwa penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Sedangkan mengenai pengertian penyidikan menurut pandangan doktrina ilmu pengetahuan hukum pidana seperti
de Pinto (Lilik Mulyadi, 2007:54-55), menyatakan bahwa menyidik atau opsporing diartikan sebagai pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh undang-undang segera setelah mereka dengan jalan apapun mendegar kabar sekadar beralasan bahwa terjadi sesuatu pelanggaran hukum.
Sedangkan apabila kita mengacu pada ketentuan Pasal 1 angka 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disebutkan bahwa penyidikan itu serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut acara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Melalui proses penyidikan hendaknya diperoleh keterangan tentang aspek-aspek sebagai berikut :
1. Tindak pidana yang telah dilakukan.
2. Tempat tindak pidana dilakukan (locus delicti).
3. Waktu tindak pidana dilakukan (tempus delicti.)
4. Cara tindak pidana dilakukan.
5. Dengan alat apa tindak pidana dilakukan.
6. Latar belakang sampai tindak pidana itu dilakukan.
7. Siapa pelakunya. Menurut ketentuan Bab I pasal 1 angka 5 KUHAP, penyelidikan itu merupakan serangkaian
tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang- undang. Tampak jelas hubungan erat antara tugas dan fungsi penyidik dan penyelidik.
Menurut Bapak Anib Bastian, untuk memberikan efek jera terhadap pelaku tindak pidana Pemilu perlu dilakukan penyidikan dan penyelidikan yang lebih ekstra cepat dan intensif serta professional dan kerja sama yang baik dengan penyelenggara Pemilu dalam hal ini Panwaslu dan KPU mengigat waktu penindakannya hanya berkisar 14 hari dan sebelum waktu 14 hari berakhir penyidik harus segera melimpahkan kasus tersebut ke kejaksaan. Hal inimenurutnya kejahatan money politic tidak seharunya dianggap hal sepeleh sebab dari hal inilah yang bisa membuat rusaknya tatanan atau sistem pemerintahan yang ada di Indonesia, khususnya di parlemen nanti akan tercipta calon-calon koruptor karena sudah pasti mereka akan melakukan segala hal atau cara agar bisa mengembalikan modal besar yang telah mereka keluarkan untuk bisa duduk menjadi anggota legislatif.
Menurut Bapak Anib Bastian, terdapat 2 hal yang menjadi pedoman bagi setiap penyidik didalam melakukan tugas penyidikan suatu perkara, yaitu :
156 Fakultas Hukum - UNISAN
Tindak Pidana Money Politic
a. Penyidik harus profesional yaitu menguasai hukum dan perundang-undangan, mahir melakukan penyidikan berdasarkan hukum, menguasai taktik dan teknik serta strategi
penyidikan, melaksanakan penyidikan dengan pola Scientific Crime Investigation (SCI), mandiri dan independendan objektif atas dasar pembuktian serta selalu berprinsif untuk menegakkan hukum.
b. Penyidik harus proporsional yaitu konsisten dan konsekuen dalam menerapkan hukum, tidak diskriminatif, tidak memihak dan adil, dan menganut sebagai penyidik pengayom,
pelindung dan pelayanan masyarakat. Pada umumunya tujuan dari penerapan hukum pidana adalah untuk memberikan efek jerah terhadap pelaku tindak pidana, akan tetapi jika hal yang dianggap sepeleh ini akan dibiarkan berlarut- larut disetiap bursa pemilihan tidak ada penindakan yang tegas dan profesional maka tindak pidana Pemilu akan selalu ada disetiap pesta demokrasi baik Pemilu legislatif, dan pemilihan kepala daerah. Kenyataan yang dapat Penulis lihat dari beberapa fenomena kasus yang terjadi di lapangandalam realitas kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara yang kita jalani saat ini khususnya dibidang hukum dan penerapan hukum, apa yang menjadi harapan masyarakat terhadap Polri tersebut masih jauh dari kenyataan.Hal tersebut terjadi karena masyarakat masih berpendapat bahwa Polri masih kurang profesional menjalankan tugas dan kewajibannya didalam penerapan hukum, yang di indikasikan dengan antara lain :
a. Masih banyaknya kasus tindak pidana Pemilu terutama kejahatan money politic di setiap periode pemilihan.
b. Lambannya Polri dalam melaksanakan proses penyidikan.
c. Masih dapatnya Polri di intervensi pihak lain dalam pelaksanaan penegakkan hukum,sehingga penerapan hukum tersebut masih bersifat diskriminatif.
Penerapan hukum pidana yang tidak efektif tentu tidak akan mampu menghilangkan tindak pidana money politic dalam Pemilu legislatif di Propinsi Gorontalo khususnya di kota Gorontalo. Penyelesaian tindak pidana Pemilu diatur dalam Pasal 261 ayat (1) Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia menyampaikan hasil penyidikannya disertai berkas perkara kepada penuntut umum paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya laporan. Pasal 261 ayat (2) dalam hal hasil penyidikan belum lengkap, dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi. Pasal 261 ayat (3) Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak tanggal penerimaan berkas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara tersebut kepada penuntut umum.
1.3 Jaksa Ujung tombak dari proses penerapan hukum pidana terhadap tindak pidana money politics Pemilu legislatif adalah penuntut umum selaku eksekutor yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 6 KUHAP, Bab I bagian pertama Pasal 1 angka 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004. Menurut Bapak Buchari Taslim Tuasikal, selaku Kasi Pidum pada Kejaksaan negeri Gorontalo
Fakultas Hukum – UNISAN 157
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. II, No. 2 Maret 2015
menyatakan bahwa proses penuntutan didalam perkara tindak pidana Pemilu legislatif dalam hal ini money politic selalu terbentur dengan hal waktu yang dirasa sangat pendek atau singkat jika dibandingkan dengan penanganan atau proses penuntutan kasus tindak pidana umum lainnya, sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Beliau menyatakan kasus yang terjadi pada Pemilu legislatif bulan April 2014 dalam hal penuntutannya dilakukan melalui rapat penegakkan hukum terpadu (Gakkumdu) terkadang masih lemahnya alat bukti karena kurangnya kesadaran masyarakat dalam hal permintaan keterangan sebagai saksi dan terbentur oleh waktu yang sangat terbatas sehingga daluarsa (verjaring).
Dalam kasus tersebut dari 13 orang yang tercatat sebagai saksi dalam kejadian tindak pidana Pemilu tidak ada satu orang saksi yang siap untuk dimintai keterangannya. Hal ini terjadi karena mereka sebagai saksi dalam perkara tersebut ikut menerima dua lembar uang kertas pecahan Rp. 50.000,00,- (lima puluh ribu rupiah) yang dibagikan beserta stiker oknum caleg tersebut. Sehingga pada saat penanganan kasus tersebut sudah pada tahap selanjutnya penuntut umum harus mencari alat bukti lain sedangkan hal tersebut berbenturan dengan batas waktu didalam beracara yang ditentukan oleh undang-undang Pemilu.
Kemudian menurut Bapak Achmad Husin Madya, selaku Jaksa Fungsional pada Kejaksaan negeri Gorontalo, Menyatakan bahwa hal-hal yang menyebabkan lemahnya penuntutan adalah karena saksi yang tidak bersedia untuk dimintai keterangan sehubungan dengan tindak pidana Pemilu, pelapor maupun terlapor tidak koperatif serta proses penyelidikan dan penyidikan yang tidak professional. Sebab menurutnya penerapan hukum itu terwujud karena adanya tiga hal yaitu adanya aturan hukum yang berkeadilan, sumber daya manusia aparat penegak hukum yang professional dan bersih, dan adanya masyarakat yang sadar hukum selama ketiga hal tersebut terpenuhi maka penerapan hukum dapat berjalan sebagaimana mestinya. Seperti halnya jawaban diatas menurutnya harus ada sinkronisasi antara undang-undang yang mengatur, sumber daya aparat penegak hukum yang professional, dan masyarakat yang sadar akan hukum.
2. Faktor Eksternal
2.1 Regulasi Peraturan perundang-undangan merupakan hal yang utama untuk menerapkan hukum dalam setiap tindak pidana Pemilu.Menurut Bapak Anib Bastian, menyatakan bahwa aturan atau regulasi yang sudah ada pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 ini kelemahannya selain ketidaksiapan saksi, penyidik juga diperhadapkan pada waktu untuk menyelesaikan tindak pidana Pemilu hingga ke tahapan selanjutnya terlampau cepat atau singkat, yaitu waktu yang ditentukan untuk menyampaikan hasil penyidikannya disertai berkas perkara kepada penuntut umum paling lama 14 (empat belas) hari setelah diterimanya laporan dari Panwaslu. Ketika hasil penyidikannya belum lengkap dalam waktu 3 (tiga) hari penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik kepolisian disertai petunjuk tentang hal yang harus dilengkapi. Dalam waktu 3 (tiga) hari sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik harus sudah menyampaikan berkas perkara tersebut kepada penuntut umum. Hal ini menurutnya sangat dibutuhkan jiwa profesionalisme yang tinggi yang bersifat proporsional serta dukungan dari masyarakat.
158 Fakultas Hukum - UNISAN
Tindak Pidana Money Politic
Hasil wawancara dengan Bapak Buchari Taslim Tuasikal, selaku Kasi Pidum Kejaksaan Negeri Gorontalo, menurutnya bahwa kendala utama yang dialami oleh jaksa selain ketidakhadiran saksi atau ketidaksiapan saksi untuk dimintai keterangan didalam melakukan penuntutan yaitu disebabkan oleh lemahnya aturan undang-undang Pemilu atau regulasi itu sendiri. Sehingga dalam penindakan ketahap selanjutnya yaitu proses pelimpahan berkas ke pengadilan untuk dilakukan penuntutan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 261 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 kepada pengadilan negeri paling lama 5 (lima) hari sejak menerima berkas perkara namun ketika berkas tersebut tidak lengkap terpaksa akan di kembalikan kepada penyidik untuk dilengkapi hanya dalam waktu 3 (tiga) hari. Sedangkan menurutnya hal ini sangat berbeda jauh jika dibandingkan dengan penangan kasus tindak pidana pada umumnya, sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 138 ayat (2) KUHAP penyidik memiliki waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal penerimaan berkas penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas kepada penuntut umum setelah itu dilimpahkan ke pengadilan. Jika dilihat dari selisih waktu sangat berbeda jauh, sehinggah dalam penerapan hukum terhadap tindak pidana Pemilu itu sendiri lemah terkadang sudah memiliki cukup bukti namun waktunya sudah daluarsa(verjaring).
2.2 Masyarakat Hasil wawancara dengan Bapak Buchari Taslim Tuasikal, selaku Kasi Pidum Kejaksaan Negeri Gorontalomengatakan bahwa kaitannya dengan faktor yang menyebabkan lemahnya penerapan hukum pidana terhadap tindak pidana money politics Pemilu legislatif adalah kurangnya kesadaran dari masyarakat untuk melaporkan atau memberitahukan tindak pidana Pemilu legislatif dilingkungan mereka serta ketidak siapan mereka sebagai saksi untuk dimintai keterangan sehubungan dengan tindak pidana money politic tersebut.
Kepedulian serta kesadaran masyarakat untuk memberikan informasi masih sangat kurang justru ada kecenderungan untuk turut menutup-nutupi. Sikap masyarakat yang enggan memberikan informasi atau memberikan kesaksian mengenai tindak pidana Pemilu tersebut menunjukkan adanya budaya hukum di masyarakat yang belum mendukung sepenuhnya penerapan hukum terhadap tindak pidana money politic Pemilu legislatif di Kota Gorontalo. Sehingga dikatakan bahwa faktor masyarakat khususnya budaya hukum masyarakat merupakan faktor yang menyebabkan lemahnya penerapan hukum terhadap tindak pidana Pemilu legislatif dalam hal ini kejahatan money politic itu sendiri.
IV. KESIMPULAN Berdasarkan pemaparan kedua hal di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Bahwa penerapan hukum pidana terhadap tindak pidana khususnya kejahatan money politic pemilihan umum legislatif di Kota Gorontalo terhitung masih lemah, hal ini tercermin
terhadap data yang diperoleh penulis ketika melakukan penelitian di lapangan baik di Polres Gorontalo Kota dan Kejaksaan Negeri Gorontalo di dalam 2 (dua) periode pemilihan umum legislatif baik pada Pemilu legislatif pada tahun 2009 dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 dan Pemilu legislatif tahun 2014 dengan memakai undang-undang yang baru yaitu Undang-Undang No.8 Tahun 2012. Terdapat ada 6 (enam) kasus tindak pidana Pemilu yang penerapan hukumnya itu terbilang lemah sebab dari ke 6 (enam) kasus
Fakultas Hukum – UNISAN 159
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. II, No. 2 Maret 2015
tersebut tidak ada satu kasus pun yang sampai di meja hijaukan atau di proses dalam persidangan. Dari 6 (enam) kasus yang ada tercatat hanya ada 3 (tiga) kasus tindak pidana Pemilu yang sempat di limpahkan ke Kejaksaan Negeri Gorontalo yaitu 2 (dua) kasus kejahatan money politics pada tahun 2009, dan 1 (satu) kasus kejahatan money politics pada tahun 2014. Namun dengan adanya undang-undang baru yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang pemilihan umum legislatif yaitu pemilihan anggota DPR RI, DPD, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota terbilang hanya dapat meminimalisir tindak pidana money politics pemilihan umum legislatif sebab dari data 5 (lima) kasus tindak pidana Pemilu yang terjadi di tahun 2009 menurun di tahun 2014 menjadi 1 (satu) kasus. Dari semua data yang ada proses penerapan hukumnya hanya diproses sampai di kejaksaan saja dan tidak dilakukan penuntutan sebab alat bukti yang belum cukup dan diperhadapkan dengan waktu yang cukup singkat sehingga menjadi daluarsa (verjaring).
2. Bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi sehingga lemahnya penerapan hukum pidana terhadap tindak pidana money politic pemilihan umum legislatif di Kota Gorontalo antara lain adalah faktor internal yaitu Panwaslu, Polisi, dan Jaksa, serta faktor eksternal yaitu
regulasi atau aturan dan masyarakat atau kebudayaan masyarakat. Diantara kedua faktor tersebut yang paling sangat mempengaruhi lemahnya penerapan hukum pidana adalah regulasi atau aturan dan masyarakat sebab kedua hal ini merupakan komponan penting dalam hal waktu dalam penyelidikan, penyidikan dan penuntutan serta alat bukti yang bersumber dari masyarakat.
V. SARAN
Berdasarkan kesimpulan diatas, maka penulis merekomendasikan beberapa hal sebagai berikut:
1. Dalam rangka penerapan hukum pidana terhadap tindak pidana pemilihan umum khususnya money politic pemilihan umum legislatif di Indonesia pada umumnya dan khususnya di Propinsi Gorontalo tepatnya kota Gorontalo diharapkan agar kepada pembuat undang- undang dalam hal ini anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) ataupun pemerintah agar bisa memperbaiki atau merevisi kembali tentang peraturan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 terutama masalah waktu penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan agar lebih diperpanjang lagi. Agar supaya pemilihan umum legislatif kedepan yaitu di tahun 2019 dan seterusnya nanti mengalami kemajuan yang pesat terutama pemlihan umum yang jujur dan adil sehingga bisa menghasilkan wakil-wakil rakyat yang amanah, berkualitas, dan mengutamakan kepentingan rakyat serta menjunjung tinggi nilai agama dan jiwa persatuan demi kemajuan bangsa dan Negara.
2. Melaksanakan pembinaan fungsi secara kontinue dan konsekuen oleh satuan atas kepada satuan bawah dalam berbagai bentuk kegiatan seperti : Pelatihan/coaching clinic, kursus
dan pendidikan pengembangan, dengan pembinaan fungsi tersebut diharapkan mentalitas dan kemampuan dari para penyidik dan penuntut umum dapat tetap terpelihara. Dalam menghadapi/menangani perkara tindak pidana yang diindikasikan bernuansa politik, Polri tetap bersikap professional dan proporsional dengan berupaya seoptimal mungkin untuk memenuhi proses pembuktian secara ilmiah dan menghindari keterpengaruhan dari
160 Fakultas Hukum - UNISAN
Tindak Pidana Money Politic
kepentingan-kepentingan politik pihak-pihak tertentu. Serta agar keterlibatan masyarakat yang sadar akan hukum yang berlaku di Indonesia berpartisifasi aktif guna mewujudkan keadilan sehingga pelaku tindak pidana money politic Pemilu legislatif jera dan tercipta sistem pemerintahan yang baik dan maju.
DAFTAR PUSTAKA
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012. Bambang Marhijanto, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Masa Kini, Surabaya: Terbit Terang, 2009. Burhan Ashofa, Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta, 2007. Dedi Mulyadi, Perbandingan Tindak Pidana Pemilu Legislatif Dalam Perspektif Hukum di Indonesia,
Bandung: PT Refika Aditama, 2013. Joko J. Prihatmoko, Mendemokratiskan Pemilu Dari Sistem Sampai Elemen Teknis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008. Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoretis, Praktik dan Permasalahannya, Bandung: PT Alumni, 2007. Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012. ________, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009. Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar Celeban Timur, 2010. Pipin Syarifin, Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: Pustaka Setia, 2000. Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010. Verrianto Madjowa, Pemilihan Umum Gorontalo 1955-2014, Banana dan Perkumpulan Untuk Pemilu
dan Demokrasi (Perludem), 2015.
Fakultas Hukum – UNISAN 161
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. II, No. 2 Maret 2015
162 Fakultas Hukum - UNISAN
Keadilan Restoratif
IMPLEMENTASI PENDEKATAN KEADILAN RESTORATIF DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK
Redwin Darwis [email protected]
Abstract Crimes involving children, causing a phenomenon in itself considering the child is an individual who is still in the development stage so that his emotions are still very unstable, but sometimes the law enforcement process against children as criminals likened to the process as an adult as well as law enforcement paradigm is to punish child, not to develop. This study aims to determine the relevance and application of restorative justice opportunities by diversion in juvenile criminal law enforcement. The research was conducted in the police, attorney general, and court by using a type of normative research, data collection is done with interviews and documentation then analyzed qualitatively, hereinafter described to address in this study. The results showed that the application of diversion is very relevant in juvenile criminal law enforcement in Indonesia. Chance or possibility of the application of restorative justice by way of diversion in juvenile criminal law enforcement is wide open, because in addition to laws and internal regulations of the law enforcement (both the Supreme Court, Attorney General, Police and Prison Ministry of Justice and Human Rights) organize and requires the efforts of restorative justice through diversion in performing law enforcement functions. The conclusion is very relevant versioned application and implementation of restorative justice opportunities by way of diversion is very open in juvenile criminal law enforcement in Indonesia. Keyword : restorative justice, juvenile criminal law enforcement.
I. PENDAHULUAN
Fakta-fakta sosial yang belakangan ini terjadi dalam kehidupan bermasyarakat adalah permasalahan yang terkait anak, dimana dalam kehidupan sosial yang sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor tersebut kita dihadapkan lagi dengan permasalahan penanganan anak yang diduga melakukan tindak pidana. Menurut Darwan Prinst (1997:98):
“Anak adalah merupakan tumpuan harapan masa depan bangsa, negara, masyarakat, ataupun keluarga, oleh karena kondisinya sebagai anak, maka diperlukan perlakuan khusus agar dapat
tumbuh dan berkembang secara wajar bai k fisik, mental dan rohaninya”. Bertolak dari hal tersebut, pada hakekatnya pengaturan mengenai anak telah diatur secara tegas
dalam konstitusi Indonesia yaitu berkaitan dengan pengaturan Hak Asasi Manusia yang diatur dalam Pasal 28B angka 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (selanjutnya disebut UUD
Fakultas Hukum – UNISAN 163
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. II, No. 2 Maret 2015
NRI 1945) yang mengatur mengenai hak tumbuh kembang anak serta mendapatkan perlindungan. Peraturan perundang-undangan lain yang telah dibuat oleh Pemerintah Indonesia untuk memberikan perlindungan hak terhadap anak antara lain : Undang-Undang Republik Indonesia (selanjutnya disebut UU RI) Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan anak, UU RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU RI Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, UU RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dimana secara substansinya undang-undang tersebut mengatur hak-hak anak yang berupa, hak hidup, hak atas nama, hak pendidikan, hak kesehatan dasar, hak untuk beribadah menurut agamanya, hak berekspresi, berpikir, bermain, berkreasi, beristirahat, bergaul dan hak jaminan sosial (Darwan Prinst, 1997:98). Maidin Gultom (2008:1) mengemukakan bahwa :
“Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa di masa yang akan datang, yang memiliki
peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara seimbang. Masa kanak-kanak merupakan periode penaburan benih, pendirian tiang pancang, pembuatan pondasi, yang dapat disebut juga sebagai periode pembentukan watak, kepribadian dan karakter diri seorang manusia,
agar mereka kelak memiliki kekuatan dan kemampuan serta berdiri tegar dalam meniti kehidupan”. Tindak pidana yang dilakukan anak selalu menuai kritikan terhadap para penegak hukum yang
oleh banyak kalangan dinilai tidak mengindahkan tata cara penanganan terhadap anak yang bermasalah dengan hukum, dan ada kesan kerap kali mereka diperlakukan sebagai orang dewasa dalam “bentuk kecil” yang melakukan tindak pidana (Maidin Gultom, 2008:1). Menurut Romli Atmasasmita dan
Wagiati Soetodjo (2006:17), motivasi intrinsik dan ekstrinsik dari kenakalan anak adalah : “1. Yang termasuk motivasi intrinsik dari pada kenakalan anak-anak adalah :
a. Faktor intelegensia
b. Faktor usia
c. Faktor kelamin
d. Faktor kedudukan anak dalam keluarga.
2. Yang termasuk motivasi ekstrinsik adalah :
a. Faktor rumah tangga
b. Faktor pendidikan dan sekolah
c. Faktor pergaulan anak
d. Faktor media”. Berbagai faktor tersebut memungkinkan bagi anak untuk melakukan kenakalan dan kegiatan
kriminal yang dapat membuat mereka terpaksa berhadapan dengan hukum dan penegakan hukum pidana. Proses penghukuman yang diberikan kepada anak lewat penegakan hukum pidana formal dengan memasukkan anak ke dalam penjara ternyata tidak berhasil menjadikan anak jera dan menjadi pribadi yang lebih baik untuk menunjang proses tumbuh-kembangnya. Bahkan Menurut M. Joni dan Zulchaina Z. Tanamas (1999:1) “Penjara justru seringkali membuat anak semakin profesional dalam melakukan tindak kejahatan”.
Anak yang berhadapan dengan hukum akan sangat terkait dengan aturan hukum yang mengaturnya, dimana pada awalnya aturan yang berlaku di Indonesia saat ini tidak dapat terlepas dari
164 Fakultas Hukum - UNISAN
Keadilan Restoratif
instrumen internasional yang terkait dengan pemenuhan hak-hak anak sendiri. Konvensi Hak Anak yang disahkan pada tanggal 20 November 1989 dan tercantum dalam Resolusi PBB No.44/25 (Convention on the Rights of the Child) yang oleh Pemerintah Republik Indonesia disahkan dengan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia (selanjutnya disebut Keppres RI) Nomor 36 Tahun 1990 tersebut memiliki makna yang sangat besar dalam konteks perlindungan anak termasuk pula terhadap anak yang bermasalah dengan hukum. Setelah dilakukannya ratifikasi atas Konvensi Hak-Hak Anak oleh Pemerintah Indonesia dengan mengeluarkan Keppres RI Nomor 36 Tahun 1990, maka secara hukum menimbulkan kewajiban kepada Indonesia (sebagai negara peserta) untuk mengimplementasikan hak-hak anak tersebut dengan menyerapnya ke dalam hukum nasional (M. Joni dan Zulchaina Z. Tanamas, 1999:1), dimana dalam hal ini tertuang dalam UU RI Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan UU RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak hingga yang baru-baru ini yaitu UU RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh, dan komprehensif termasuk pula terkait dengan anak yang berhadapan dengan hukum sebagai akibat anak yang bermasalah dengan hukum, undang-undang ini meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas- asas sebagai berikut (Pasal 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak) :
a. Perlindungan;
b. Keadilan;
c. Non diskriminasi;
d. Kepentingan yang terbaik bagi anak;
e. Penghargaan terhadap pendapat anak;
f. Kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak;
g. Pembinaan dan pembimbingan anak;
h. Proporsional;
i. Perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir; dan j. Penghindaran pembalasan. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dapat dikemukakan
merupakan perwujudan atau penampungan dari kaidah hukum internasional, yaitu Konvensi Hak Anak mengenai peradilan khusus untuk anak-anak yang bermasalah dengan hukum / children in conflict with law (M. Joni dan Zulchaina Z. Tanamas, 1999:74). Ada 3 instrumen internasional dalam Konvensi Hak Anak yang dianggap penting tentang perlindungan anak yang bermasalah dalam hukum yaitu (Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992:111) :
1. The United Nations Guidelines for the Prevention of Juvinile Deliquency (the Riyadh Guidelines)
2. The United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvinile Justice (the Beijing Rules)
3. The United Nations Rules for the Protection of Juvinile Dep Rived for Liberty. Keseluruhan instrumen internasional tersebut tidak lepas dari tujuan utama dan pemikiran dari
peradilan anak untuk mewujudkan kesejahteraan sosial (Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992:111).
Fakultas Hukum – UNISAN 165
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. II, No. 2 Maret 2015
Dikaji dari sisi hukum perhatian pemerintah terhadap anak juga sudah terwujud sejak lama dengan dikeluarkannya UU RI Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak sampai dengan keluarnya, UU RI Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, UU RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Undang- undang ini mengatur tentang hukum pidana anak yang secara umum diatur dalam Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHP). Undang-undang ini mengatur pula tentang perlindungan hak-hak anak yang menjadi tersangka dalam tindak pidana karena peradilan pidana untuk anak bukanlah semata sebagai penghukuman tetapi untuk perbaikan kondisi, pemeliharaan dan perlindungan anak serta mencegah pengulangan tindakan dengan menggunakan pengadilan yang konstruktif (Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992:111).
Kejahatan yang melibatkan anak, menimbulkan suatu fenomena tersendiri mengingat anak adalah individu yang masih dalam tahap perkembangan sehingga emosinya masih sangat labil. Hal ini secara tidak langsung menyebabkan diperlukannya perhatian khusus dalam menangani kasus kejahatan anak. Meskipun melakukan kejahatan, mereka tetaplah seorang anak yang memiliki hak-hak yang lebih daripada pelaku kejahatan orang dewasa pada umumnya. Anak memiliki sifat khusus yang tidak dapat disamakan dengan orang dewasa, oleh karenanya perlu pula adanya instrumen hukum yang benar-benar dapat melindungi kepentingan dan masa depan anak agar tujuan pemidanaan anak benar- benar bersifat mendidik (Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992:111).
Hal tersebut di atas adalah tugas segenap komponen bangsa untuk melakukan upaya perlindungan anak dalam kaitan mencapai cita-cita atau tujuan negara yang amat mulia sebagaimana tertuang dalam alinea ke-4 Pembukaan UUD NRI 1945. Anak adalah sebagai bagian dari tumpah darah Indonesia yang juga memiliki hak yang sifatnya mendasar yakni perlindungan hukum yang mengatur jaminan pelaksanaan dan pemenuhan hak-hak dasarnya (P. Hadisuprapto, 1997:83). Javier Perez de Cuellar menyampaikan petuah bijak dalam upaya perlindungan anak dengan kalimat :
“Cara suatu masyarakat memperlakukan anak, tidak hanya mencerminkan kualitas rasa iba, hasrat untuk melindungi dan memperhatikan anak, namun juga mencerminkan kepekaan akan
rasa keadilan, komitmen pada masa depan dan peranan penting anak sebagai generasi masa depan” (P. Hadisuprapto, 1997:83).
Usaha pemberian perlindungan hak-hak anak secara internasional telah dimulai di Eropa dan Amerika Serikat sejak akhir abad ke-19 dengan adanya pengadilan khusus bagi anak-anak. Perbuatan anak yang menyimpang di Belanda diselesaikan dengan mengacu pada Kinder Wetten Tahun 1901 dan di Amerika telah dibentuk Juvenile Court pada tahun 1899 dengan mendasarkan pada asas “parent patriae ” atau mengedepankan perlindungan dan bantuan bagi anak yang melakukan kejahatan dan bukannya hukuman (Bagir Manan, 1997:5).
Selanjutnya secara terorganisir upaya perlindungan anak telah dilakukan melalui instrumen hukum internasional antara lain dalam (Barda Nawawi Arif, 1997:67-71) :
1. Deklarasi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (selanjutnya disebut PBB) Nomor : 1386 Tanggal 20 November 1959 tentang Hak-hak Anak (Declaration of the Right of the Child );
166 Fakultas Hukum - UNISAN
Keadilan Restoratif
2. Deklarasi Majelis Umum PBB Nomor : 40/33 Tanggal 20 November 1985 tentang Standar Minimum Ketentuan Acara Pengadilan Anak (UN Standard Minimum Rules for the
Administration of Juvenile Justice ),
3. Deklarasi Majelis Umum PBB Nomor : 40/85 Tanggal 3 Desember 1986 tentang Penanggulangan Anak Pelaku Perbuatan Pidana (Declaration of the Prefention of Juvenile
Deliquency ), dan
4. Konvensi Hak Anak (Convention of the Right of the Child) yang kemudian dituangkan ke dalam Resolusi PBB Nomor : 44/25 Tanggal 5 Desember 1989 yang telah diratifikasi
Pemerintah RI tanggal 26 Januari 1990 di New York sebagaimana kemudian dituangkan dalam Keppres RI Nomor 36 Tahun 1990.
Praktik pengadilan anak di Indonesia sebelum berlakunya UU RI Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, praktis secara formil hanya berlaku ketentuan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.06-UM.01.06 tentang Tata Tertib Persidangan dan Tata Ruang Sidang serta Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1987 yang pada pokoknya mengamanatkan bahwa pada penanganan sidang anak diperlukan pendalaman hakim terhadap unsur- unsur tindak pidana yang didakwakan maupun unsur lingkungan serta keadaan jiwa anak serta ditunjuknya hakim yang khusus menangani anak. Kemudian sejak Tahun 1981 ketentuan hukum formil tersebut diganti perannya oleh UU RI Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana “selanjutnya disebut KUHAP” (Barda Nawawi Arif, 1997:67-71).
Selaku instrumen hukum formil dalam penegakan hukum pidana materiil dalam perkara anak, KUHAP ternyata belum mengatur secara spesifik apabila tersangka atau terdakwanya adalah anak. Nasib anak yang menjadi terdakwa bergantung dan bertumpu pada kebaikan hati hakim pemeriksa perkara dan hanya dipayungi dalam segi ketentuan hukum pidana materiilnya yakni dengan Pasal 45,
46 dan 47 KUHP dalam hal penghapusan, pengurangan atau pemberatan pidana saja. Padahal UU RI Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak telah berlaku dan mengatur tentang hak-hak anak atas perlindungan dan pemeliharaan sejak di dalam kandungan ibunya dan perlindungan terhadap lingkungan hidup yang membahayakan atau menghambat pertumbuhannya secara wajar (Moch. Faisal Salam, 2005:1).
Selanjutnya dalam perkembangan hukumnya berlakulah UU RI Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang secara khusus telah mengatur hal-hal berkaitan dengan hukum acara pidana anak sejak tahapan penyidikan, penuntutan, pengadilan, upaya paksa, eksekusi dan upaya hukum terhadap perkara anak nakal. Perangkat legal tersebut adalah suatu bentuk konkrit dalam perlindungan hukum bagi anak agar kepentingannya dapat terlindungi dan tujuan pemidanaan yang positif bagi anak yang berhadapan dengan hukum (Moch. Faisal Salam, 2005:1). Tegas di dalam konsideran Butir a UU RI Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak tersebut dinyatakan sebagai berikut :
“Bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial utuh, serasi, selaras, dan
seimbang” (Moch. Faisal Salam, 2005:2).
Fakultas Hukum – UNISAN 167
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. II, No. 2 Maret 2015
Sudah secara umum diketahui bahwa permasalahan anak di Indonesia sangatlah berat dan kompleks. Satu dan lain yakni persoalan yang serius dan mendesak untuk memperoleh perhatian adalah penanganan anak yang berhadapan dengan hukum atau anak yang berkonflik dengan hukum (Moch. Faisal Salam, 2005:2). Perlu ditelaah bersama bahwa persoalan pemidanaan anak sangat serius karena :
1. Dalam proses peradilan cenderung terjadi pelanggaran hak asasi manusia bahkan banyak bukti menunjukkan ada praktek kekerasan dan penyiksaan terhadap anak yang masuk dalam mesin peradilan;
2. Perspektif anak belum mewarnai proses peradilan;
3. Penjara yang menjadi tempat penghukuman anak terbukti bukan merupakan tempat yang tepat untuk membina anak mencapai proses pendewasaan yang diharapkan;
4. Selama proses peradilan anak yang berhadapan dengan hukum kehilangan hak-hak dasarnya seperti komunikasi dengan orang tua, hak memperoleh pendidikan, dan hak
kesehatan; serta
5. Stigma buruk yang melekat pada anak setelah selesai proses peradilan sehingga akan menyulitkan dalam perkembangan psikis dan sosial kedepannya” (Moch. Faisal Salam,
2005:2). Berdasarkan penelitian UNICEF Tahun 2010, lebih dari 4000 (empat ribu) anak tiap tahunnya diajukan ke pengadilan pidana dan tanpa dukungan dari lembaga sosial dan pengacara, sehingga 9 (sembilan) dari 10 (sepuluh) anak diantaranya mendekam di penjara atau di rumah tahanan. Lebih menyedihkan, sebagian besar anak-anak ini berada di dalam lembaga penahanan dan pemenjaraan untuk orang dewasa dan pemuda. Berdasarkan hasil penelitian UNICEF tersebut penanganan delikuen anak di Indonesia masih berorientasi kepada pemidanaan dan jumlahnya sangat mengkhawatirkan karena arus perkembangan sosial, informasi dan teknologi tidak seimbang dengan pendidikan dan penanganan anak yang integral sehingga jumlahnya dimungkinkan akan terus bertambah (www. unicef.org/indonesia/uni-jjs1_2final.pdf).
Begitu banyaknya anak Indonesia yang berhadapan dengan hukum, hingga akhirnya menghantarkan sebagian dari mereka harus tinggal di penjara atau tahanan. Hasil telaah dan pemantauan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (selanjutnya disebut KPAI) menunjukkan 3 (tiga) hal penyebab utama yakni :
a. Ada doktrin yang sangat kuat hidup dalam masyarakat kita, dengan pandangan bahwa semua anak yang salah harus dihukum, dan hukuman dimaksud artinya diproses peradilan sebagaimana layaknya orang dewasa. Orang dewasa, khususnya dari keluarga korban, akan terpuaskan apabila seorang anak yang melakukan kesalahan dihukum seberat-beratnya dengan memasukkannya ke dalam penjara. Hukuman alternatif (informal) dengan cara mediasi oleh para pihak yang berkepentingan khususnya pihak pelaku dan pihak korban yang lebih dikenal sebagai model Restorative Justice belum dipahami dan diterima sebagai peradilan terbaik bagi anak, demikian juga model pengalihan hukuman (diversi) belum dipahami dan diterima sebagai pilihan penghukuman terbaik bagi anak. Hukum formal masih menjadi pilihan utama masyarakat.
168 Fakultas Hukum - UNISAN
Keadilan Restoratif
b. Kultur aparat penegak hukum di Indonesia yang lebih memilih proses peradilan formal pada anak, daripada jalan lain yang sesungguhnya juga dimungkinkan melalui proses
Restorative Justice (keadilan dengan metode pemulihan hubungan) dan diversi (pengalihan hukuman). Aparat penegak hukum akan lebih suka mengambil jalan formal, daripada jalan informal, yang selain belum ada aturan yang jelas, dirasakan terlalu rumit dan membutuhkan waktu lebih lama, juga tidak tertutup kemungkinan akan munculnya faktor lain dibalik keputusan aparat penegak hukum untuk tidak membawa anak yang berhadapan dengan hukum ke peradilan formal.
c. Faktor regulasi negara yang memang mengkriminalisasi anak, yakni ketentuan peradilan anak sebagaimana tercermin dalam UU RI Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
Undang-undang ini lebih terasa roh untuk mengadili, daripada roh untuk melindungi anak. Selama UU RI Nomor 3 Tahun 1997 dipertahankan, selama itu pula anak-anak dengan mudahnya akan diproses secara hukum, ditahan, dipenjara, karena banyak pasal yang mempermudah anak dipenjarakan” (www.kpai.go .id/analisa-sistem-peradilan-pidana-anak-
di-indonesia.html). Perlindungan anak merupakan suatu usaha untuk menciptakan kondisi yang melindungi anak agar dapat melaksanakan hak dan kewajibannya. Berdasarkan konsep parens patriae, yaitu negara memberikan perhatian dan perlindungan kepada anak-anaknya sebagaimana layaknya orang tua kepada anak-anaknya, maka penanganan anak-anak yang berhadapan dengan hukum dilakukan demi kepentingan terbaik bagi anak serta berpijak pada nilai-nilai luhur pandangan hidup Bangsa Indonesia yakni Pancasila (www.kpai.go .id/analisa-sistem-peradilan-pidana-anak-di-indonesia.html).
Negara-negara di dunia mencari alternatif tentang penyelesaian terbaik mengenai cara penanganan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum yaitu sebagai pelaku tindak pidana, selain itu diupayakan pula adanya suatu pengaturan internasional yang mengatur pelaksanaan peradilan anak serta menjadi standar perlakukan terhadap anak yang berada dalam penegakan hukum pidana seperti diantaranya adalah The Beijing Rules yang biasa digunakan sebagai standar minimum PBB mengenai administrasi peradilan anak. Hak-hak anak didalam penyidikan wajar mendapat perhatian khusus demi peningkatan pembinaan dan pengembangan serta kesejahteran anak (www.kpai.go .id/analisa-sistem- peradilan-pidana-anak-di-indonesia.html).
Beberapa tanggapan yang mengatakan banyak penyidik yang tidak memberikan perhatian secara khusus terhadap tersangka anak dalam peristiwa-peristiwa itu menunjukkan hukum masih belum berpihak pada anak-anak padahal sebagai subyek hukum anak-anak mestinya mendapatkan perlakuan dan perlindungan yang sama dengan orang dewasa bahkan seharusnya anak-anak juga berhak mendapatkan bantuan penasehat hukum/pengacara. Sejak jaman dahulu dalam praktik penyidikan terhadap anak-anak juga sering menjadi korban penekanan dan perlakuan kekerasan agar anak memberikan pengakuan sesuai yang dikehendaki para penyidik, anak-anak seringkali tidak mendapatkan perlindungan hukum karena terampas oleh praktik-praktik kekerasan yang dilakukan oleh penyidik. Proses penanganan dimana dalam hal ini terkait dengan menangani permasalahan anak yang bermasalah dengan hukum terdapat permasalahan penegak hukum tidak sertamerta menyalahkan dan memberi cap atau stigma negatif pada anak yang melakukan tindak pidana. Indonesia telah
Fakultas Hukum – UNISAN 169
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. II, No. 2 Maret 2015
memiliki peraturan-peraturan mengenai prosedur penuntutan dalam peradilan anak (www.kpai.go .id/analisa-sistem-peradilan-pidana-anak-di-indonesia.html).
Polisi dalam suatu penegakan hukum pidana adalah awal dari proses tersebut di banyak negara. Polisi mempunyai suatu otoritas legal yang disebut sebagai diskresi, dimana dengan otoritas tersebut polisi berhak meneruskan atau tidak meneruskan suatu perkara. Kemungkinan polisi melakukan atau menggunakan otoritas diskresi ini sangat besar. Beberapa negara melalui otoritas diskresi, setelah melalui pemeriksaan awal Polisi dapat menentukan bentuk pengalihan (diversi) terhadap suatu perkara anak (www.kpai.go .id/analisa-sistem-peradilan-pidana-anak-di-indonesia.html).
Diskresi adalah kewenangan yang dimiliki polisi untuk menghentikan penyidikan perkara dengan membebaskan tersangka (anak), ataupun melakukan pengalihan (diversi) dengan tujuan agar anak terhindar dari proses hukum lebih lanjut. Diversi dapat dikatakan sebagai pengalihan tanpa syarat kasus-kasus anak (yang diduga melakukan tindak pidana) dari proses formal. Program ini bertujuan menghindari anak mengikuti proses peradilan yang dapat menimbulkan label/cap/stigma sebagai penjahat, namun hal ini belum diatur secara tegas dalam suatu aturan atau norma terkait dengan penanganan anak yang bermasalah dengan hukum sehingga hal ini akan terkait kental dengan kapasitas dan kompetensi dari penyidik dan penuntut umum dalam penanganan anak yang bermasalah dengan hukum (www.kpai.go.id/analisa-sistem-peradilan-pidana-anak-di-indonesia.html). Bertitik tolak dari pemaparan di atas, maka diperlukan adanya suatu pemahaman baru yang dapat menjadi jalan keluar bagi masalah delikuensi anak di Indonesia, dimana seharusnya aparat penegak hukum lebih bijak dalam memahami dan memaknai kasus-kasus anak nakal, tidak semua tindak pidana menurut ketentuan perundang-undangan (KUHP) serta aturan yang khusus mengkaji mengenai kejahatan yang dilakukan oleh anak bisa sertamerta diterapkan kepada seorang anak sesuai dengan instrumen internasional yang tetap harus dipegang untuk implementasinya disesuaikan dengan keadaan di Indonesia.
Keadaan yang terjadi saat ini telah berkembang seiring dengan konsep berpikir manusia yang berkembang sehingga apabila seorang anak melakukan tindak pidana dalam hal proses yang diberlakukan terhadap seorang anak hendaknya lebih menekankan sarana non-penal yang dapat diambil namun haruslah tetap berorientasi dengan koridor hukum yang berlaku sehingga sarana non- penal dapat diterapkan pada kasus-kasus tertentu dengan syarat tertentu pula serta adanya peningkatan sumber daya manusia dari aparat penegak hukum sehingga proses penangan anak yang bermasalah dengan hukum sesuai dengan instrumen internasional dan hukum positif di Indonesia demi masa depan anak yang lebih baik.
Berdasarkan pemaparan tersebut diatas, maka permasalahan yang hendak diuraikan dalam tulisan ini yaitu Bagaimana relevansi penerapan diversi dalam penegakan hukum pidana anak? Dan Bagaimana peluang atau kemungkinan penerapan keadilan restoratif dengan cara diversi dalam penegakan hukum pidana anak?
II. METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Makassar khususnya di Instansi Kantor Pengadilan Negeri Makassar, Kantor Kejaksaan Negeri Makassar dan Kantor Kepolisian Resort Kota Besar (Polrestabes)
170 Fakultas Hukum - UNISAN
Keadilan Restoratif
Makassar. Penentuan lokasi penelitian didasarkan atas pertimbangan bahwa di beberapa instansi tersebut tersedia data yang diperlukan sebagai bahan analisis, data tersebut diperoleh dengan mengumpulkan dokumen-dokumen perkara anak nakal.
B. Tipe Penelitian Tipe penelitian dalam penelitian ini adalah tipe penelitian hukum normatif yaitu meneliti ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan penulisan ini.
C. Teknik Pengumpulan Data Untuk mengumpulkan data yang diperlukan, maka dipergunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:
1. Penelusuran Literatur, yaitu metode atau teknik pengumpulan data yang didapatkan melalui kajian buku-buku, jurnal-jurnal ilmiah dan media elektronik (browsing internet).
2. Wawancara, yaitu metode atau teknik pengumpulan data yang didapatkan secara langsung dari nara sumber yang berkompeten terkait dengan permasalahan yang penulis kaji.
D. Jenis dan Sumber Data Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder:
1. Data primer adalah sejumlah data perkara anak nakal yang diperoleh langsung dari Kantor Pengadilan Negeri Makassar, Kantor Kejaksaan Negeri Makassar dan Kantor Kepolisian
Resort Kota Besar (Polrestabes) Makassar dan pada tokoh masyarakat.
2. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari beberapa literatur baik itu berupa buku- buku, jurnal-jurnal ilmiah dan artikel-artikel yang dimuat di media elektronik.
E. Analisis Data Sesuai dengan permasalahan yang ingin dijawab dan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, maka data yang terkumpul baik data primer maupun data sekunder dianalisis secara kualitatif, selanjutnya dideskripsikan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini.
III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Relevansi Penerapan Diversi dalam Penegakan Hukum Pidana Anak Konsep diversi dalam penegakan hukum pidana anak merupakan sebuah konsep baru di Indonesia. Namun, pada tataran penerapan dalam penegakan hukum pidana, hal tersebut bukanlah merupakan sesuatu yang baru, karena hal tersebut biasa dipraktikkan oleh penegak hukum namun dengan penamaan atau menggunakan peristilahan yang lain. Sebelum melihat lebih jauh relevansi penerapan diversi dalam penegakan hukum pidana anak, maka terlebih dahulu penulis akan memaparkan bagaimana konsep diversi tersebut tertuang atau diatur didalam hukum pidana materil (walaupun dengan menggunakan peristilahan yang lain).
1. Konsep Diversi dalam Hukum Pidana Materil Anak Jika berbicara mengenai hukum pidana materil anak, maka pengaturannya dapat dilihat didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11
Fakultas Hukum – UNISAN 171
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. II, No. 2 Maret 2015
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, kedua aturan tersebut dapat dipaparkan sebagai berikut :
a. KUHP (Ferawati, tanpa tahun:8-9) Konsep diversi merupakan pemberian kewenangan bagi penegak hukum anak, setelah
dengan pertimbangan yang layak, maka penegak hukum akan mengambil tindakan-tindakan kebijakan dalam menangani atau menyelesaikan masalah pelanggar anak dengan tidak mengambil jalan formal, antara lain menghentikan atau tidak meneruskan/melepaskan dari proses peradilan pidana atau mengembalikan/menyerahkan kepada masyarakat dan bentuk- bentuk kegiatan pelayanan sosial lainnya, seperti penyerahan kepada orang tua/wali, pembinaan sosial, pemberian peringatan/nasihat/konseling, pengenaan denda ataupun memberi ganti rugi kepada korban.
Menyimak hal-hal yang terdapat dalam diversi tersebut, jika suatu perkara anak dikenakan diversi maka: - tidak dilakukan penuntutan, sehingga penuntutan dihentikan; - pemeriksaan perkara di pengadilan dihentikan; - anak tidak menjalani putusan pidana. Dengan demikian, perlu ditelaah lebih lanjut di dalam KUHP tentang bagaimana
ketentuan tidak dilakukan penuntutan; bagaimana pemeriksaan perkaranya dihentikan; bagaimana anak tidak menjalani putusan (pidana). Substansi penghentian penuntutan dalam KUHP, sangat berbeda dengan substansi penghentian penuntutan dalam konsep diversi, dengan dasar tujuan untuk kepentingan menghindari efek negatif proses penuntutan terhadap anak. Konsep diversi dalam penghentian penuntutan untuk melindungi pelaku, sedangkan penghentian penuntutan dalam KUHP adalah pembayaran denda atas perbuatan yang dilakukan oleh pelaku. KUHP tidak menentukan pemeriksaan perkara dapat dihentikan dengan alasan demi kepentingan perlindungan anak. Konsep diversi dalam bentuk penghentian pemeriksaan pengadilan tidak terdapat dalam KUHP. Di dalam KUHP terdapat ketentuan tentang pidana bersyarat sebagaimana diatur dalam Pasal 14 a KUHP.
Ketentuan Pasal 14 a KUHP ini walaupun sama-sama dalam bentuk tidak menjalani pidana, tetapi sangat berbeda dengan konsep diversi. Putusan pidana bersyarat merupakan hasil putusan akhir yang merupakan pertanggung jawaban pidana dari pelaku tindak pidana, dan pelaku tidak menjalani pidana ini karena dengan adanya putusan pidana bersyarat. Lain dengan tidak menjalani putusan di dalam diversi, yaitu karena demi perlindungan anak dan kesejahteraan anak.
b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Didalam Pasal 1 angka 6 undang-undang ini, diatur bahwa Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Sedangkan
172 Fakultas Hukum - UNISAN
Keadilan Restoratif
Pasal 1 angka 7 lebih lanjut mengatur mengenai diversi. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.
Tujuan diversi diatur didalam Pasal 6 undang-undang ini, yakni diversi bertujuan:
a. mencapai perdamaian antara korban dan Anak;
b. menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan;
c. menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan;
d. mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan
e. menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak. Bahkan Pasal 7 sangat sangat menekankan bagi para penegak hukum agar mengupayakan diversi. Berikut uraian lengkap pasalnya : (1) Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di pengadilan negeri wajib diupayakan Diversi. (2) Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan: - diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan - bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
Selain Pasal 1, Pasal 6, dan Pasal 7 di atas, di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur lebih lengkap mengenai diversi, utamanya didalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 15, dan masih banyak lagi pasal yang saling berkaitan terkait dengan penerapan diversi dalam undang-undang ini. Kedua aturan tersebut (KUHP dan Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak)
masih digunakan hingga saat ini, dan dijadikan dasar oleh penegak hukum dalam melakukan tugasnya terhadap anak yang terlibat dengan masalah hukum.
2. Konsep Diversi dalam Hukum Pidana Formil Anak Jika berbicara mengenai hukum pidana formil anak, maka dapat dilihat dari tahap penyidikan terhadap anak, tahap penuntutan terhadap anak, dan tahap pemeriksaan pengadilan anak, ketiga tahapan tersebut dapat dipaparkan sebagai berikut :
a. Tahap Penyidikan Terhadap Anak Mencermati ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), dapat diketahui bahwa terdapat beberapa kewenangan pihak penyidik (kepolisian) dalam penanganan kasus anak nakal, sebagai berikut:
- Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh Anak sebelum genap berumur 18 (delapan belas) tahun dan diajukan ke sidang pengadilan setelah Anak yang bersangkutan
melampaui batas umur 18 (delapan belas) tahun, tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, Anak tetap diajukan ke sidang Anak (Pasal 20 UU SPPA).
- Dalam hal Anak belum berumur 12 (dua belas) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja
Fakultas Hukum – UNISAN 173
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. II, No. 2 Maret 2015
Sosial Profesional mengambil keputusan untuk: (i) menyerahkannya kembali kepada orang tua/Wali; atau (ii) mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 (enam) bulan (Pasal 21 ayat 1 UU SPPA).
- Kepolisian sebagai penyidik dapat menghentikan penyidikan (Pasal 7 UU No. 8 Tahun 1981);
- Penyelidik dan penyidik Kepolisian dapat melakukan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab yang dilaksanakan jika memenuhi syarat-syarat, yaitu:
a) Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;
b) Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan;
c) Harus patut, masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya;
d) Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan
e) Menghormati Hak Asasi Manusia (Pasal 7 UU No. 8 Tahun 1981). Ketentuan-ketentuan tersebut sebenarnya dapat menjadi peluang bagi penyidik untuk
melakukan diversi terhadap kasus anak. Dalam melakukan penyidikan terhadap perkara Anak, Penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran dari Pembimbing Kemasyarakatan setelah tindak pidana dilaporkan atau diadukan. (Pasal 27 ayat 1 UU SPPA). Norma ini dapat menggerakkan perintah (gebod), yaitu kewajiban untuk melakukan sesuatu, sehingga penyidik wajib memperhatikan pertimbangan Pembimbing Kemasyarakatan dan sekaligus menerapkan saran Pembimbing Kemasyarakatan, misalnya agar anak diasuh oleh orang tuanya atau saran agar dilakukan perdamaian.
b. Tahap Penuntutan Terhadap Anak Dengan menyimak ketentuan dalam kebijakan formulasi penuntutan terhadap anak dalam UU Kejaksaan Republik Indonesia, tidak terdapat ketentuan yang mengatur tentang kewenangan kejaksaan untuk melakukan diversi dalam perkara Anak Nakal. Kejaksaan mempunyai kewenangan pemghentian penuntutan, sebatas dengan alasan-alasan apabila tidak cukup bukti-buktinya, peristiwanya bukan merupakan tindak pidana, dan perkara dihentikan karena perkara tersebut ditutup demi hukum.
Namun pengaturan ini sebaliknya diatur dalam Pasal 5 UU SPPA, didalam undang- undang ini diatur bahwa : (1) Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif. (2) Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: - penyidikan dan penuntutan pidana Anak yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini;
- persidangan Anak yang dilakukan oleh pengadilan di lingkungan peradilan
umum; dan
174 Fakultas Hukum - UNISAN
Keadilan Restoratif
- pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan/atau pendampingan selama proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah menjalani pidana atau tindakan.
(3) Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b wajib diupayakan Diversi.
c. Tahap Pemeriksaan Pengadilan Anak (Ferawati, tanpa tahun:14-15) Apabila melihat beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang berkaitan dengan tugas-tugas hakim sebagai berikut: - Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia (Pasal 1 ayat (1));
- Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, sehingga putusan hakim
dan hakim konstitusi sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat (Pasal 5 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 5 ayat (1));
- Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa, sehingga putusan yang dijatuhkan
sesuai dan adil dengan kesalahan yang dilakukannya (Pasal 8 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 8 ayat (2)).
Dengan mencermati beberapa ketentuan dalam Undang-Undang No. 48 Tahun 2009, memang tidak ada ketentuan yang mengatur pemberian kewenangan hakim untuk melakukan diversi dalam perkara anak. Namun demikian apabila melihat ketentuan: “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan
negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”, dan “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nili hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam m asyarakat”, maka sebenarnya konsep diversi untuk perlindungan anak tidak bertentangan dengan maksud penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
3. Relevansi Penerapan Diversi Menurut Jimly Asshiddiqie (1996:12-13), secara teoritis hukum dianggap relevan untuk diadopsi dalam pembaruan hukum jika memenuhi beberapa ukuran relevansi, yaitu relevansi yuridis, relevansi sosiologis, relevansi filosofis, relevansi teoritis. Relevansi yuridis yaitu jika kaidah tersebut tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah konstitusi atau tidak bertentangan dengan norma hukum yang tingkatnya lebih tinggi. Relevansi sosiologis, yaitu apabila kaidah hukum itu benar-benar diterima dan diakui oleh warga masyarakat. Relevansi filosofis, yaitu jika kaedah hukum tersebut tidak bertentangan dengan cita-cita hukum suatu masyarakat sebagai nilai positif tertinggi dalam falsafah hidup masyarakat itu. Falsafah hidup bangsa Indonesia ukurannya adalah falsafah Pancasila, yang merupakan sumber dari segala sumber hukum dalam konteks berkehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Fakultas Hukum – UNISAN 175
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. II, No. 2 Maret 2015
Relevansi teoritis, yaitu relevansi yang didasarkan dalam persfektif teori-teori atau ilmu hukum pidana dan sistem peradilan pidana (Ferawati, tanpa tahun:18-19), didalam relevansi teoritis ini bisa juga kita masukkan mengenai konsep diversi dalam rangka penegakan keadilan restoratif guna perkembangan hukum pidana anak di Indonesia.
Pendapat lainnya berkenanaan dengan pembaruan hukum pidana, juga dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief, antara lain sebagai: pembaruan hukum pidana pada hakikatnya harus ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach) dan sekaligus pendekatan yang berorientasi pada nilai (value oriented approach). Dari sudut pendekatan kebijakan, maka pembaruan hukum pidana pada hakikatnya, merupakan bagian dari kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum. Jika dilihat dari sudut pendekatan nilai, maka pembaruan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya melakukan peninjauan dan penilaian kembali (reorientasi dan reevaluasi) nilai-nilai sosio-politik, sosio- filosofis, sosio-kultural yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan substantif hukum pidana yang dicita- citakan (Barda Nawawi Arief, 2010:29). Didalam perkembangannya, hukum pidana dalam artian muatan substantif hukum yang dicita-citakan, tidak lagi berorientasi pada pembalasan semata, namun lebih kepada pembinaan, khususnya dalam perkara-perkara anak nakal atau anak yang berhadapan dengan hukum.
Bertolak dari makna dan hakikat pembaruan hukum pidana tersebut, jika konsep diversi hendak dijadikan bahan muatan (substansi) dalam kebijakan formulasi pembaruan hukum sistem peradilan pidana anak Indonesia, maka dilakukan pembahasan terlebih dahulu tentang kesesuaian konsep diversi dengan nilai-nilai sentral sosiopolitik, sosiofilosofis, sosiokultural masyarakat Indonesia. Selain itu dalam melakukan pembaruan hukum perlu juga melakukan kajian komparasi dengan negara-negara asing, dengan kajian komparasi ini akan diketahui apakah konsep diversi telah dipakai oleh negara- negara asing dan dalam hal ini Indonesia perlu adaptasi sebagai penyesuaian dengan negara-negara lain (Ferawati, tanpa tahun:19). Oleh karena itu, diperlukan sebuah pertimbangan yang matang dalam memformulasi sebuah konsep yang dijadikan bahan muatan (substansi) dalam rangka pembaruan hukum sistem peradilan pidana anak Indonesia, khususnya mengenai relevansi penerapan diversi dalam penegakan hokum pidana anak.
Kebijakan formulasi pelaksanaan putusan pengadilan anak dalam hubungannya dengan konsep diversi, antara lain sebagai berikut (Ferawati, tanpa tahun:15) : - Pelaksanaan pidana bersyarat sama dengan salah satu bentuk program diversi; - Pelaksanaan pidana denda, sama dengan pembayaran denda dalam konsep diversi; - Pelaksanaan sanksi tindakan kepada anak nakal, sama dengan pelaksanaan program diversi,
karena sanksi tindakan tersebut berupa pembinaan oleh orang tua, mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja ataupun diserahkan pada Kementerian Sosial/Organisasi Sosial Kemasyarakatan.
Penerapan peradilan khusus anak telah memberikan ruang untuk pelaksanaan diversi secara luas. Perubahan-perubahan pada peradilan umum menuju peradilan yang mengutamakan perlindungan anak dan diversi pada saat itu dapat kita lihat pada tabel berikut (Marlina, 2008:98) :
176 Fakultas Hukum - UNISAN
Keadilan Restoratif
Tabel 1 Restrukturisasi Peradilan Pidana Setelah Reformasi Hukum
Proses
Kebijakan
Penyebab Kejahatan Tindakan pencegahan Delikuensi Tindak Pidana Oleh Anak
Dekriminalisasi
Ditangkap Polisi
Diversi
Pengadilan
Proses Peradilan Anak
Penjara Deinstitutionalisation/Diskresi
Tabel 1 di atas mengambarkan terjadinya perubahan kebijakan peradilan pidana yang ditujukan untuk melindungi anak yang melakukan tindak pidana. Dengan penerapan konsep diversi bentuk peradilan formal yang ada selama ini lebih mengutamakan usaha memberikan perlindungan bagi anak dari tindakan pemenjaraan. Selain itu terlihat bahwa perlindungan anak dengan kebijakan diversi dapat dilakukan di semua tingkat peradilan mulai dari masyarakat sebelum terjadinya tindak pidana dengan melakukan pencegahan. Setelah itu jika ada anak yang melakukan pelanggaran maka tidak perlu diproses ke polisi (Marlina, 2008:99). Hal inilah yang perlu dipikirkan lebih lanjut, dimana perlindungan anak (dalam rangka membina) harus diutamakan ketimbang konsep pembalasan semata, karena seorang anak merupakan penerus cita-cita suatu bangsa dan masih memiliki waktu yang banyak untuk berubah, apalagi masa depan yang masih panjang.
Selanjutnya jika anak yang melakukan pelanggaran sudah terlanjur ditangkap oleh polisi, polisi dapat melakukan diversi tanpa meneruskan ke jaksa penuntut. Kemudian apabila kasus anak sudah sampai di pengadilan, maka hakim dapat melakukan peradilan sesuai dengan prosedurnya dan diutamakan anak dapat dibebaskan dari pidana penjara. Terakhir bila anak sudah terlanjur berada di dalam penjara, maka petugas penjara dapat membuat kebijakan diversi terhadap anak sehingga anak dapat di limpahkan ke lembaga sosial, atau sanksi alternatif yang berguna bagi perkembangan dan masa depan anak (Kenneht Folk, 2003:4 dalam Marlina, 2010:99). Jadi, banyak cara, dan banyak kesempatan untuk dapat menerapkan sebuah kebijakan diversi ini, tergantung status dan keadaan bagaimana suatu anak yang berhadapan dengan hukum tersebut dilakukan diversi.
Di Kota Makassar, paradigma hakim dalam menilai apakah anak tersebut layak untuk diupayakan diversi atau tidak adalah tergantung pada jenis tindak pidana yang dilakukannya. Namun mengenai implementasi Restorative Justice, maka sebenarnya para hakim di Pengadilan Negeri Makassar telah menerapkannya sejak lama, hal ini diungkapkan oleh Nathan Lambe, yang mengatakan sebagai berikut :
“Sebenarnya mengenai konsep restorative justice itu sudah terdapat pada Undang-Undang Pengadilan Anak (sebelum diundangkannya UU SPPA), ini terlihat dari pengaturan sanksi
tindakan yang diatur dalam dalam UU Pengadilan Anak yang mengatur bahwa salahsatu sanksi tindakan yang dapat diputus oleh hakim adalah anak yang berkonflik dengan hukum tersebut dikembalikan kepada orang tua, sanksi tindakan berupa pengembalian kepada orang tua tersebut merupakan salah satu wujud dari pendekatan restorative justice ” Hasil Wawancara
Fakultas Hukum – UNISAN 177
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. II, No. 2 Maret 2015
Penulis dengan Bapak Nathan Lambe (Salahsatu hakim anak pada Pengadilan Negeri Makassar). Anak bukanlah miniatur orang dewasa yang matang mental dan pikiran. Mereka belum mampu
mengambil keputusan bagi dirinya, bertanggung jawab, belum sadar terhadap peran, dan mengendalikan pikiran, hati serta emosi secara seimbang. Terlalu berat bagi seorang anak memikul tanggung jawab kecelakaan yang menewaskan, sementara orang dewasa berpikir terlebih dahulu sebelum bertindak, baru kemudian merasakan (Nur Hidayati, 2013:146). Hal ini yang membedakan kondisi psikologis, pemikiran, dan tindakan yang dilakukan oleh orang dewasa dan seorang anak, perbedaan inilah yang juga harus dipikirkan dalam menerapkan sebuah hukuman, khususnya konsep kebijakan yang lebih mendidik atau membina seorang anak ketika ia berhadapan dengan hukum.
Seorang anak sesuai sifatnya masih memiliki daya nalar yang belum cukup baik untuk membedakan hal-hal baik dan buruk. Tindak pidana yang dilakukan oleh anak pada umumnya adalah merupakan proses meniru ataupun terpengaruh bujuk rayu dari orang dewasa. Sistem peradilan pidana formal yang pada akhirnya menempatkan anak dalam status narapidana tentunya membawa konsekuensi yang cukup besar dalam hal tumbuh kembang anak. Proses penghukuman yang diberikan kepada anak lewat sistem peradilan pidana formal dengan memasukkan anak ke dalam penjara ternyata tidak berhasil menjadikananak jera dan menjadi pribadi yang lebih baik untuk menunjang proses tumbuh-kembangnya. Penjara justru seringkali membuat anak semakin profesional dalam melakukan tindak kejahatan (Nur Hidayati, 2013:146). Karena di penjara tersebutlah seorang anak di uji apakah ia dapat menjadi lebih baik, atau malah semakin buruk karena mempelajari sesuatu yang lebih jahat dari sesama rekannya (anak-anak) atau sesama nara pidana (yang tergolong orang dewasa).
Undang-Undang RI Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana anak diharapkan membawa kemajuan bagi perlindungan terhadap anak-anak. Sebagaimana Pasal 1 tersebut (Undang- Undang RI Nomor 11 tahun 2012) disebutkan Sistem peradilan pidana anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana. Sistem peradilan pidana anak (Pasal 2) dilaksanakan berdasarkan sistem: perlindungan, keadilan, non diskriminasi, penghargaan terhadap pendapat anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak, pembinaan dan pembimbingan anak, proporsional, perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya akhir, penghindaran pembalasan. Pendekatan restorative dan asas diversi sebagai roh U Undang-Undang RI Nomor 11 tahun 2012 untuk menyelesaikan secara manusiawi kasus hukum anak (M. Joni dan Zulchaina Z.Tanamas dalam Nur Hidayati, 2013:146). Tentu saja pendekatan konsep ini menjadi tidak berarti ketika penegak hukum tidak mau menjalankannya, jadi perlu ada penyamaan persepsi dahulu mengenai konsep ini dikalangan para penegak hukum, agar konsep ini dapat terimplementasi dengan baik.
Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System) adalah segala unsur sistem peradilan pidana yang terkait di dalam penanganan kasus-kasus kenakalan anak. Pertama, polisi sebagai institusi formal ketika anak nakal pertama kali bersentuhan dengan sistem peradilan, yang juga akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses lebih lanjut. Kedua, jaksa dan lembaga pembebasan bersyarat yang juga akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses ke pengadilan anak. Ketiga, Pengadilan Anak, tahapan ketika anak akan ditempatkan dalam pilihan-
178 Fakultas Hukum - UNISAN
Keadilan Restoratif
pilihan, mulai dari dibebaskan sampai dimasukkan dalam institusi penghukuman. Sehubungan dengan hal ini, Muladi yang menyatakan bahwa criminal justice system memiliki tujuan untuk (Nur Hidayati, 2013:147) :
(i) resosialisasi dan rehabilitasi pelaku tindak pidana; (ii) pemberantasan kejahatan; dan (iii)untuk mencapai kesejahteraan sosial. Berangkat dari pemikiran ini, maka tujuan sistem peradilan pidana anak terpadu lebih
ditekankan kepada upaya pertama (resosialiasi dan rehabilitasi) dan ketiga (kesejahteraan sosial). Namun upaya lain diluar mekanisme pidana atau peradilan dapat dilakukan dengan beberapa metode di antaranya metode Diversi dan Restorative Justice. Diversi adalah pengalihan penanganan kasus kasus anak yang diduga telah melakukan tindak pidana dari proses formal dengan atau tanpa syarat. Pendekatan diversi dapat diterapkan bagi penyelesaian kasus-kasus anak yang berkonflik dengan hukum. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah: untuk menghindari anak dari penahanan, untuk menghindari cap/label anak sebagai penjahat, untuk mencegah pengulangan tindak pidana yang dilakukan oleh anak, agar anak bertanggung jawab atas perbuatannya, untuk melakukan intervensi- intervensi yang diperlukan bagi korban dan anak tanpa harus melalui proses formal, menghindari anak mengikuti proses sistem peradilan, menjauhkan anak dari pengaruh dan implikasi negatif dari proses peradilan (Nur Hidayati, 2013:147). Melihat dari tujuan tersebut, maka sebenarnya diversi sangatlah relevan jika diterapkan terhadap perkara-perkara anak nakal atau anak yang berhadapan dengan hukum.
Sebagaimana dikemukakan Barda Nawawi Arief, bahwa tindakan diversi dapat dilakukan oleh pihak kepolisian, kejaksaan, pihak pengadilan maupun pembina lembaga pemasyarakatan. Penerapan diversi di semua tingkatan ini diharapkan mengurangi efek negatif (negative effect) keterlibatan anak dalam proses peradilan tersebut. Pada dasarnya suatu penegakan hukum akan berhasil dan berjalan maksimal jika tidak terlepas dari tiga pilar yang saling mempengaruhi, yakni memenuhi struktur (structure), substansi (substance), dan kultur hukum (legal culture). Restorative justice menurut faturrohman merupakan salah satu perubahan paradigma yang memberikan solusi terhadap penanganan masalah kenakalan anak, yang menganggap bahwa sistem peradilan pidana tidak memenuhi keadilan substantif, sehingga perlu menjadi bahan pertimbangan dalam penanganan masalah kenakalan anak, karena pendekatan ini melibatkan semua pihak dalam proses penyelesaian untuk duduk bersama bermusyawarah dengan tujuan yang hendak dicapai adalah untuk memulihakan
segala kerugian dari “luka” yang telah diakibatkan oleh peristiwa kenakalan anak. Serta perbaikan moral anak agar anak tidak lagi mengulangi perbuatannya, dan menghindari pemenjaraan yang dapat
mempengaruhi perkembangan anak secara fisik, mental serta kejiwaannya (Nur Hidayati, 2013:147). Solusi terbaik dalam penanganan masalah kenakalan anak adalah dengan mengedepankan pembinaan, sehingga hukuman yang diterimanya dapat memenuhi keadilan substantive bagi penegakan hukum pidana anak.
Sebagai alternatif, maka proses restorative justice mestilah lebih baik dari proses dan pola penanganan yang bisa berlaku saat ini. Karena itu, menjadi penting untuk menemukan dan mengenali kerangka pendekatan penanganan yang restoratif. Pertama, adanya keterlibatan para pihak secara
Fakultas Hukum – UNISAN 179
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. II, No. 2 Maret 2015
maksimal dan bermakna. Selain pelaku dan korban, keluarga pelaku dan korban serta masyarakat merupakan pihak-pihak yang telah dirugikan oleh korban. Kedua, ada kesempatan kepada pelaku untuk membuktikan kapasitas dan kualitas disamping mengatasi rasa bersalah secara konstruktif. Ketiga menitikberatkan pada kerugian yang ditimbulkan, memulihkan kerugian yang diderita korban serta mengurangi kerugian di masa depan dengan melakukan pencegahan kejahtan. Dan keempat, hukuman yang disepakati bagi pelaku mestinya mempertimbangkan aspek kesejahteraan dan kesepadanan. Kekhawatiran bahwa dengan restorative justice pelaku tidak mendapat nilai pembelajaran, sesungguhnya berangkat dari kebisaaan dan pemahaman bahwa hukuman mesti memenjarakan (Nur Hidayati, 2013:147-148). Memenjarakan seorang anak tidaklah menyelesaikan sebuah masalah, namun berpotensi untuk menjadikan masalah baru yang skopnya lebih besar, karena tidak ada jaminan bahwa dengan memenjarakan seorang anak, maka watak dan perilakunya dapat berubah menjadi kearah yang lebih baik.
Kunci pendekatan restorative justice sendiri adalah membangun hubungan langsung dan nyata antara kejahatan dengan respon. Dalam bahasa teknis bisa dikatakan bahwa yang menjadi ukuran bukanlah hukumannya, melainkan bagaimana hukuman itu disepakati para pihak serta proses monitoring terhadap hukuman itu. Dengan demikian, yang disasar oleh pendekatan ini bukanlah pelaku jera atas perbuatannya, melainkan terbangunnya kesadaran untuk bertanggungjawab atas perbuatannya dan kemampuan untuk mengendalikan perilaku di masa yang akan datang. Ini berbeda dengan pendekatan retributif yang mengandalkan efek jera. Praktiknya memang anak-anak jera, tapi jeranya anak-anak lebih kepada masuk penjara dan bukan untuk tidak melakukan perbuatan tindak kriminal. Sehingga yang dituntut adalah kecerdasan melakukan tindak kriminal tanpa pernah tertangkap (Nur Hidayati, 2013:148). Pemikiran seperti inilah yang perlahan harus ditinggalkan dibenak para penegak hukum, penegak hukum jangan terlena dengan sistem yang kurang tepat dalam penanganan masalah bagi anak yang berhadapan dengan hukum, sistem yang kurang tepat ini yang selama ini berjalan harus mulai diperbaharui melalui kebijakan-kebijakan yang mempertimbangkan masa depan anak (membina) daripada melakukan pembalasan yang tidak menjamin adanya efek jera dan perbaikan diri dikemudian hari.
Pada dasarnya Diversi mempunyai relevansi dengan tujuan pemidanaan anak, yang mana nampak dari hal-hal sebagai berikut (Kusno Adi, 2009:129 dalam Abintoro Prakoso, 2013:222) :
1. Diversi sebagai proses pengalihan dari proses yustisial ke proses non yustisial, bertujuan menghindarkan anak dari penerapan hukum pidana yang seringkali menimbulkan
pengalaman yang pahit berupa stigmatisasi (cap negatif) berkepanjangan, dehumanisasi (pengasingan dari masyarakat) dan menghindarkan anak dari kemungkinan terjadinya prisionisasi yang menjadi sarana transfer kejahatan terhadap anak.
2. Perampasan kemerdekaan terhadap anak baik dalam bentuk pidana penjara maupun dalam bentuk perampasan yang lain melalaui meknisme peradilan pidana, memberi pengalaman
traumatis terhadap anak, sehingga anak terganggu perkembangan dan pertumbuhan jiwanya. Pengalaman pahit bersentuhan dengan dunia peradilan akan menjadi bayang- bayang gelap kehidupan anak yang tiak mudah dilupakan.
180 Fakultas Hukum - UNISAN
Keadilan Restoratif
3. Dengan Diversi tersebut maka anak terhindar dari penerapan hukum pidana yang dalam banyak teori telah didalilkan sebagai salah satu faktor kriminogen, berarti juga
menghindarkan anak dari kemungkinan menjadi jahat kembali (residive), menghindarkan masyarakat dari kemungkinan menjadi korban akibat kejahatan.
4. Dengan Diversi akan memberikan 2 (dua) keuntungan sekaligus terhadap individu anak. Pertama; anak tetap dapat berkomunikasi dengan lingkungannya sehingga tidak perlu beradaptasi sosial pasca terjadinya kejahatan. Kedua; anak terhindar dari dampak negatif
prisionisasi yang seringkali merupakan sarana transfer kejahatan Dari keempat relevansi diversi dengan tujuan pemidanaan anak di Indonesia yang telah disebutkan di atas, maka secara tegas dapat dikatakan bahwa konsep diversi ini merupakan konsep yang saat ini dibutuhkan dalam membina anak yang berhadapan dengan hukum, sehingga anak bisa lebih memperbaiki diri lagi dan menyadari bahwa setiap yang dilakukannya memiliki konsekuensi atau tanggungjawab yang harus ia laksanakan. Sehingga dengan demikian, ia akan menyesali semua perbuatan salahnya dan berupaya untuk tidak melakukan hal tersebut (sesuatu yang salah) lagi dikemudian hari.
Untuk mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan anak diperlukan dukungan kelembagaan dan peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin pelaksanaannya (BPHN, 2013:74), secara tegas undang-undang mengatur tentang hukuman bagi pelaku kriminal terhadap anak, dalam UU Perlindungan Anak Pasal 77 sampai dengan Pasal 90 (Ahmad Kamil dan M. Fauzan, 2010:88) begitupula halnya ketika seorang anak tersebut berkonflik dengan hukum, maka sebagian hak-hak yang melekat padanya masih dilindungi oleh hukum, khususnya hak untuk diperlakukan tidak sama dengan orang dewasa, oleh karena itu diperlukan kebijakan diversi. Namun demikian, tidak selamanya setiap anak yang berkonflik dengan hukum harus dikenakan diversi, diversi ini sifatnya kasuistis, jadi hanya pada kasus-kasus tertentu saja.
Anak tetaplah anak, dengan segala ketidakmandirian yang ada mereka sangatlah membutuhkan perlindungan dan kasih sayang dari orang dewasa disekitarnya. Anak mempunyai berbagai hak yang harus diimplementasikan dalam kehidupan dan penghidupan mereka (Nashriana, 2011:13). Kalaupun seorang anak yang berkonflik dengan hukum tidak dapat dikenakan diversi oleh karena kasus atau tindak pidana yang dibuatnya tergolong berat, maka ada beberapa hak anak yang harus penuhi dan itupun diatur oleh hukum, hak-hak tersebut yakni (Fulthoni dkk, 2012:38) :
- penahanan dilakukan dengan setelah sungguh-sungguh mempertimbangkan kepentingan anak, dan atau kepentingan masyarakat;
- alasan penahanan harus dinyatakan secara tegas dalam surat perintah penahanan; - tempat tahanan anak harus dipisahkan dari tempat tahanan orang dewasa; - selama anak ditahan, kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial anak harus tetap dipenuhi. Hak diberikan kepada anak yang memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan. Sistem peradilan pidana anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif (Mohammad Taufik Makarao dkk, 2013:69). oleh karena itu, hak-hak tersebut harus tetap dipenuhi oleh para penegak hukum ketika menghadapi anak yang berkonflik dengan hukum.
Fakultas Hukum – UNISAN 181
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. II, No. 2 Maret 2015
B. Peluang atau Kemungkinan Penerapan Keadilan Restoratif dengan Cara Diversi dalam Penegakan Hukum Pidana Anak Implementasi diversi bagaimanapun juga harus dilakukan secara selektif setelah melalui berbagai pertimbangan sebagaimana dikemukakan Ferli Hidayat bahwa kenakalan anak dapat dipertimbangkan dari kategori kenakalan atau kejahatan yang dilakukannya dalam tiga kategori yaitu tingkat ringan, sedang, dan berat. Secara umum anak-anak yang melakukan kenakalan ringan sedapat mungkin diversi dilakukan. Untuk kejahatan berat maka diversi bukanlah pilihan. Kejahatan yang tergolong ringan sebagai petty crime, seperti pencurian ringan, penyerangan ringan tanpa menimbulkan luka, atau kerusakan ringan pada harta benda. Kenakalan atau kejahatan yang tergolong sedang adalah tipe kejahatan yang di dalamnya terdapat kombinasi antara semua kondisi. Semua kondisi menjadi pertimbangan untuk menentukan ketepatan untuk dilakukan diversi atau tidak dilakukan diversi. Untuk kejahatan berat seperti penyerangan seksual dan penyerangan fisik yang menimbulkan luka parah (Nur Hidayati, 2013:148). Jadi dari konsep diversi ini, tidaklah mesti setiap anak dan semua kasus pidana yang dilakukan oleh anak harus diterapkan kebijakan diversi, penerapan kebijakan diversi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum perlu juga dilihat sebarapa berat perbuatan pidana yang ia lakukan. Hal ini lebih dahulu harus diketahui, agar ide kebijakan diversi ini tidak bertentangan dengan keadilan substantif hukum pidana.
1. Penerapan Diversi dalam Persidangan Anak (http://pn-bangil.go.id/data/?p= 207) Peradilan anak bertujuan memberikan yang paling baim bagi anak, tanpa mengorbankan kepentingan masyarakat dan tegaknya wibawa hukum. Anak sebagai generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional. Dalam rangka mewujudkan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas dan mampu memimpin serta memelihara kesatuan bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bedasarkan Pancasila dan UUD 1945 diperlukan pembinaan secara tersu-menerus demi kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial, serta perlindungan dari segala kemungkinan yang membahayakan anak dan bangsa dimasa depan (Maidin Gultom, 2012:192).
Menurut ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), Diversi hanya dapat dilaksanakan kepada anak yang diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun, dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana (residive). Hal ini sangat perlu diperhatikan untuk memperkecil potensi pemaksaan dan intimidasi pada semua tahap proses diversi. Seorang anak tidak boleh merasa tertekan atau ditekan agar menyetujui program-program diversi. Kesepakatan Diversi harus mendapatkan persetujuan korban dan/atau keluarga Anak Korban serta kesediaan Anak dan keluarganya, kecuali untuk tindak pidana yang berupa pelanggaran, tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban, atau nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat.
Terkait penerapannya dalam pemeriksaan dipersidangan diatur dalam Pasal 52 UU SPPA yang menyebutkan : Ketua pengadilan wajib menetapkan Hakim atau majelis hakim untuk menangani perkara Anak paling lama 3 (tiga) hari setelah menerima berkas perkara dari Penuntut Umum.
182 Fakultas Hukum - UNISAN
Keadilan Restoratif
Hakim wajib mengupayakan Diversi paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan oleh ketua pengadilan negeri sebagai Hakim. Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari. Proses Diversi dapat dilaksanakan di ruang mediasi pengadilan negeri. Dalam hal proses Diversi berhasil mencapai kesepakatan, Hakim menyampaikan berita acara Diversi beserta kesepakatan Diversi kepada ketua pengadilan negeri untuk dibuat penetapan. Dalam hal Diversi tidak berhasil dilaksanakan, perkara dilanjutkan ke tahap persidangan.
Mencermati pengaturan tentang penerapan diversi diatas menarik untuk dibahas beberapa hal sebagai berikut :
1.1 Pemanggilan untuk pelaksanaan Diversi Dalam ayat (2) ditentukan bahwa “Hakim wajib mengupayakan Diversi paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan oleh ketua pengadilan negeri sebagai Hakim”. Dengan demikian
maka pada saat berkas perkara diterima oleh hakim anak, maka dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari harus segera melaksanakan Diversi. Hal ini membawa konsekuensi bahwa hakim selekas mungkin menetapkan hari Diversi dan didalam penetapan hari diversi agar memerintahkan Penuntut Umum untuk menghadirkan Anak, Orang tua/wali, Penasihat Hukum, Anak Korban, Orang Tua/Wali korban (Apabila saksi korban masih anak-anak harus didampingi oleh orang tua/walinya), Petugas Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial, Tenaga Kesejahteraan Sosial, Perwakilan Masyarakat (RT/RW/Kepala Desa/Tokoh Masyarakat/Agama). Sedangkan untuk saksi-saksi lainnya dipanggil kemudian jika Diversi gagal dan persidangan dilanjutkan.
Kehadiran korban pada saat sidang pertama adalah untuk kepentingan pelaksanaan Diversi, bukan untuk didengar keterangannya dipersidangan sebagai saksi korban sebagaimana pemeriksaan perkara pidana umumnya dalam tahap pembuktian. Oleh karena itu apabila pada sidang pertama pihak-pihak yang dipanggil diatas telah hadir maka hakim anak dapat langsung melaksanakan diversi hingga terhitung paling lama 30 (tiga puluh) hari kedepan. Pelaksanaan diversi dapat dilaksanakan di ruang mediasi Pengadilan Negeri tersebut.
1.2 Mengenai Penahanan Selanjutnya terkait dengan penahanan, apakah dalam proses diversi penahanan terhadap anak tetap diperhitungkan?, karena jika demikian maka masa penahanan akan habis dan Anak dapat dikeluarkan demi hukum. Jawabannya tentu tidak!, karena berdasakan ketentuan Pasal 7 UU SPPA secara limitatif telah ditentukan bahwa diversi hanya dapat diterapkan kepada anak yang diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana (residive). Ketentuan tersebut apabila dihubungkan dengan syarat penahanan terhadap anak yang diatur didalam pasal 32 ayat (1) dan ayat (2) yang menyebutkan
bahwa : Penahanan terhadap Anak tidak boleh dilakukan dalam hal Anak memperoleh jaminan dari orang tua/Wali dan/atau lembaga bahwa Anak tidak akan melarikan diri, tidak akan menghilangkan atau merusak barang bukti, dan/atau tidak akan mengulangi tindak pidana.
Fakultas Hukum – UNISAN 183
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. II, No. 2 Maret 2015
Penahanan terhadap Anak hanya dapat dilakukan dengan syarat sebagai berikut:
1. Anak telah berumur 14 (empat belas) tahun atau lebih; dan
2. Diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih.
Dengan demikian jika kembali pada persoalan terkait proses Diversi dan penahanan, maka dapat dipastikan bahwa proses Diversi hanya dapat dilakukan terhadap Anak yang tidak ditahan, karena Anak yang dapat ditahan adalah yang diduga melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih, sedangkan proses Diversi hanya diterapkan terhadap Anak yang diancam dengan pidana penjara dibawah 7 (tujuh) tahun
(Penjelasan Pasal 7 ayat 2 huruf a : Ketentuan “pidana penjara di bawah 7 tahun mengacu pada hukum pidana”).
Hal lainnya yang dapat saja terjadi adalah sebagaimana yang diatur didalam Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia (PERMA) Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan bahwa hakim anak wajib mengupayakan diversi dalam hal anak didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara dibawah 7 (tujuh) tahun dan didakwa pula dengan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih dalam bentuk surat dakwaan subsidaritas, alternatif, kumulatif, maupun kombinasi (gabungan). Misalnya dakwaan subsidaritas Primair : Pasal 354 ayat (1) KUHP (ancaman penjara 8 tahun), Subsidair : Pasal 351 ayat (2) KUHP (ancaman penjara 5 tahun), Lebih Subsidair : Pasal 351 ayat (1) KUHP (ancaman penjara 2 tahun 8 bulan).
Pertanyaan yang timbul adalah bagaimana dengan penahanannya?, karena pasal yang didakwakan memenuhi syarat penahanan, sedangkan disisi lain diversi wajib dilaksanakan. Hal ini tidak diatur lebih lanjut didalam PERMA, namun demikian karena diversi wajib dilaksanakan, maka dalam pemeriksaan dipersidangan hakim dapat menggunakan kewenangannya untuk tidak melakukan penahanan terhadap anak.
1.3 Jangka Waktu Pelaksanaan Diversi Mengenai jangka waktu pelaksanaan Diversi dipersidangan, diatur dalam Pasal 53 UU SPPA yang menyebutkan bahwa diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari. Dalam prakteknya, bisa saja setelah lewat 30 (tiga puluh) hari atau setelah persidangan berlangsung ternyata pihak korban dan Anak memperoleh kesepakatan untuk berdamai, bagaimana sikap hakim terhadap hal itu?. Menurut Sofian Parerungan, hakim terlebih dahulu melihat bentuk perdamaian yang dibuat, jikalau sifatnya hanya memaafkan kesalahan Anak namun menginginkan proses hukum tetap berjalan, maka sikap hakim adalah tetap melanjutkan persidangan. Adapun pemberian maaf dari korban/keluarganya akan dipertimbangkan sebagai hal-hal yang meringankan Anak dalam menjatuhkan hukumannya. Apabila dalam perdamaiannya pihak korban meminta agar proses pemeriksaan perkaranya dihentikan, maka adalah lebih bijak jika perkara tersebut dihentikan oleh hakim dan hakim menyampaikan Berita Acara Diversi beserta Kesepakatan Diversi kepada Ketua Pengadilan
184 Fakultas Hukum - UNISAN
Keadilan Restoratif
Negeri untuk diterbitkan Penetapan. Hal ini kiranya sejalan dengan jiwa UU SPPA yang megendepankan restoratif justice melalui diversi.
1.4 Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Mengenai Hasil Diversi Hal lainnya yang menarik untuk dibahas adalah mengenai Penetapan Ketua Pengadilan Negeri mengenai hasil Diversi. Hal ini diatur dalam Pasal 12 yang menyebutkan bahwa :
Hasil kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dituangkan dalam bentuk kesepakatan Diversi. Hasil kesepakatan Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh atasan langsung pejabat yang bertanggungjawab di setiap tingkat pemeriksaan ke pengadilan negeri sesuai dengan daerah hukumnya dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak kesepakatan dicapai untuk memperoleh penetapan. Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam waktu paling lama
3 (tiga) hari terhitung sejak diterimanya kesepakatan Diversi. Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada Pembimbing Kemasyarakatan, Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim dalam waktu paling lama
3 (tiga) hari sejak ditetapkan. Setelah menerima penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Penyidik menerbitkan penetapan penghentian penyidikan atau Penuntut Umum menerbitkan penetapan penghentian penuntutan.
Dari ketentuan diatas, khususnya ayat (2) jelas bahwa hasil Diversi harus disampaikan oleh atasan langsung yang bertanggung jawab disetiap tingkat pemeriksaan (artinya dalam proses penyidikan, penuntutan maupun pemeriksaan dipersidangan) kepada Pengadilan Negeri untuk diterbitkan Penetapan dan secara institusional pejabat yang berwenang menerbitkan Penetapan adalah Ketua Pengadilan Negeri didaerah hukumnya.
Dalam tingkat penyidikan dan penuntutan, Penyidik dan Penuntut Umum harus menyampaikan hasil diversi kepada Ketua Pengadilan Negeri yang untuk selanjutnya Ketua Pengadilan Negeri akan menerbitkan penetapan dan berdasarkan penetapan tersebut, maka Penyidik akan menerbitkan penetapan penghentian penyidikan, sedangkan Penuntut Umum akan menerbitkan penetapan penghentian penuntutan.
Sedikit melihat kembali pengaturan tentang SP3, dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP yang me nyatakan: “Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau k eluarganya”.
Mencermati 3 (tiga) alasan SP3 yang diatur didalam KUHAP diatas, maka menurut Sofian Parerungan, penyidik dapat menerbitkan SP3 atas alasan penyidikan dihentikan demi hukum karena telah tercapai diversi diantara pihak korban dan terdakwa anak, karena seyogianya hukum memang menghendaki demikian.
Selanjutnya berdasarkan KUHAP, ada 2 (dua) alasan sebagai dasar Penuntut Umum melakukan penghentian penuntutan yaitu penghentian penuntutan karena alasan tekhnis dan penghentian penuntutan karena alasan kebijakan (Setya Wahyudi, 2011:208 dalam Sofian Parerungan). Wewenang
Fakultas Hukum – UNISAN 185
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. II, No. 2 Maret 2015
tidak menuntut karena alasan tehknis yaitu karena adanya 3 (tiga) keadaan sebagaimana diatur dalam Pasal 140 ayat 2 huruf a KUHAP, sebagai berikut :
1. Kalau tidak cukup bukti-buktinya;
2. Kalau peristiwanya bukan merupakan tindak pidana;
3. Kalau perkara ditutup demi hukum. Wewenang tidak menuntut karena alasan kebijakan oleh karena Jaksa diberi wewenang untuk mengesampingkan perkara. Wewenang tersebut dijalankan demi kepentingan umum, kepentingan
individu dan asas opportunitas. Dalam KUHAP tidak dijelaskan secara eksplisit, namun dalam penjelasan Pasal 77 KUHAP tersirat bahwa wewenang Jaksa Agung itu diakui, yaitu untuk menyampingkan perkara (Setya Wahyudi, 2011:208 dalam Sofian Parerungan).
Dengan melihat alasan-alasan penyampingan perkara maka dapatlah dimungkinkan dilakukan penyampingan perkara anak atas alasan diversi demi kepentingan umum maupun kepentingan individu, bilamana masyarakat menyatakan tidak perlu diselesaikan secara formal melalui proses peradilan dan korban telah memaafkan serta mendapatkan ganti kerugian maka adalah wajar bila perkara anak tersebut dihentikan penuntutannya.
Terkait dengan itu, oleh karena UU SPPA telah mengatur tentang penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan atas dasar diversi, sehingga dengan demikian berdasarkan asas lex specialist maka pengaturan tentang penghentia penyidikan dan penghentian penuntutan dalam KUHAP dapat dikesampingkan.
Penetapan Ketua Pengadilan Negeri mengenai Diversi dalam tahap pemeriksaan dipersidangan diatur dalam Pasal 52 ayat (2) “Hakim wajib mengupayakan Diversi paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan oleh ketua pengadil an negeri sebagai Hakim”. Ayat (3) “Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari”. Ayat (5) “Dalam hal proses Diversi
berhasil mencapai kesepakatan, Hakim menyampaikan berita acara Diversi beserta kesepakatan Div ersi kepada ketua pengadilan negeri untuk dibuat penetapan”. Dalam ayat (5) mengatur bahwa hakimlah yang menyampaikan hasil Diversi kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk diterbitkan Penetapan.
Selanjutnya bagaimana dengan isi/substansi dari penetapan yang diterbitkan oleh Ketua Pengadilan Negeri?. Penetapan yang dimaksud merupakan hal yang baru dan berbeda dengan penetapan-penetapan yang ada sebelumnya karena menyangkut status perkara a quo. Menurut Sofian Parerungan, isi/substansi Penetapan pada pokoknya menetapkan agar para pihak melaksanakan hasil Diversi, kepada pejabat yang menangani perkara tersebut agar segera menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) atau Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) atau Penetapan penghentian pemeriksaan terhadap perkara a quo dan memerintahkan Panitera untuk mengirimkan salinan penetapan tersebut kepada pihak-pihak yang bersangkutan (Penyidik, Penuntut umum, Hakim, Pembimbing kemasyarakatan).
Persoalan lainnya yang dapat saja muncul adalah, bagaimana jika hasil kesepakatan Diversi tidak dilaksanakan sementara perkara tersebut telah dihentikan prosesnya, misalnya pelaku harus membayar sejumlah ganti kerugian kepada korban tetapi pelaku kemudian tidak mampu membayar, apakah perkara tersebut dapat dibuka kembali proses hukumnya?, menggunakan instrumen hukum
186 Fakultas Hukum - UNISAN
Keadilan Restoratif
perdata atas dasar wanprestasi tentu akan menyita waktu yang cukup lama, sehingga bisa jadi menggangu psikologis anak karena selalu dikaitkan dengan persidangan. Berdasarkan ketentuan pasal
13 huruf b menyatakan bahwa proses peradilan dilanjutkan jika kesepakatan diversi tidak dilaksanakan. Pasal 14 ayat (3) menyebutkan Dalam hal kesepakatan Diversi tidak dilaksanakan dalam waktu yang ditentukan, Pembimbing Kemasyarakatan segera melaporkannya kepada pejabat yang bertanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1), selanjutnya dalam ayat (4) Pejabat yang bertanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib menindaklanjuti laporan dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari. Hanya saja yang menjadi persoalan adalah bagaimana mekanismenya jika persidangan dibuka kembali?, hal ini perlu diatur lebih jauh dalam Peraturan Pemerintah tentang Prosedur Pelaksanaan Diversi ataupun dalam petunjuk teknis dari masing-masing tingkatan, baik penyidikan, penuntutan maupun pemeriksaan dipersidangan.
Pertanyaan selanjutnya, kepada siapa biaya perkara dibebankan, apakah kepada Anak atau kepada negara?, hal ini juga belum jelas diatur, menurut pendapat Sofian Parerungan, melihat tujuan dari Undang-undang ini yang berorientasi pada perlindungan hak-hak anak, maka seyogianya jikalau tercapai Diversi, maka negaralah yang patut dibebani untuk membayar biaya perkara a quo. Pendapat lainnya menyatakan bahwa oleh karena proses diversi belum menyentuh materi persidangan, sehingga mengenai pembebanan biaya perkara tidak perlu dicantumkan didalam penetapan diversi. Hal ini masih menjadi perdebatan dikalangan hakim.
Khusus praktik penegakan hukum pidana anak di Pengadilan Negeri Makassar, Nathan Lambe menjelaskan bahwa: “Kami dari para hakim Pengadilan Negeri Makassar sudah sejak bulan Juli 2014 lalu telah
mengupayakan diversi terhadap kasus-kasus tindak pidana yang dilakukan oleh anak yang tergolong tindak pidana ringan, dan sejauh ini sudah banyak yang selesai dan berhasil, hal ini kami lakukan karena kami taat pada undang-undang, karena UU SPPA yang baru
mengamanatkan demikian “upaya diversi pada perkara-perkara anak” (Hasil Wawancara Penulis dengan Bapak Nathan Lambe / Salahsatu hakim anak pada Pengadilan Negeri
Makassar).
2. Faktor Penghambat terhadap Upaya Implementasi Ide Diversi Problematika tindak pidana yang dilakukan oleh anak kini semakin meningkat di masyarakat, baik di negara maju maupun negara sedang berkembang. Perkembangan masyarakat yang berawal dari kehidupan agraris menuju kehidupan industrial telah membawa dampak signifikan terhadap kehidupan tata nilai sosiokultural pada sebagian besar masyarakat. Nilai-nilai yang bersumber dari kehidupan industrial semakin menggeser nilai-nilai kehidupan agraris dan proses tersebut terjadi secara berkesinambungan sehingga pada akhirnya membawa perubahan dalam tata nilai termasuk pola-pola perilaku dan hubungan masyarakat. Perkembangan seperti ini juga sedang berlangsung di Indonesia dengan menyatunya tata nilai yang bercirikan masyarakat industrial, maka perbenturan antara nilai- nilai lokal tradisional dengan nilai-nilai modernisme tidak dapat terhindarkan. Pada akhirnya, dampak yang paling terasa sebagai akibat dari perubahan sosial yang sangat cepat menuju kehidupan industrial adalah penyimpangan perilaku anak-anak atau remaja (Muhammad Aenur Rosyid dkk, tanpa tahun:1).
Fakultas Hukum – UNISAN 187
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. II, No. 2 Maret 2015
Saat ini remaja banyak yang berkonflik dengan hukum, mulai dari aksi geng motor, pencurian, pengrusakan, hingga tindak asusila saat ini remajapun bisa melakukannya.
Kenakalan anak setiap tahun selalu meningkat, apabila dicermati perkembangan tindak pidana yang dilakukan anak selama ini, baik dari kualitas maupun modus operandi yang dilakukan, kadang- kadang tindakan pelanggaran yang dilakukan anak dirasakan telah meresahkan semua pihak khususnya para orang tua. Fenomena meningkatnya perilaku tindak kekerasan yang dilakukan anak seolah-olah tidak berbanding lurus dengan usia pelaku. Oleh karena itu, berbagai upaya pencegahan dan penanggulangan kenakalan anak, perlu segera dilakukan (Ediwarman, 2006:8 dalam Muhammad Aenur Rosyid). Keadaan-keadaan yang terdapat pada anak sebagai pelaku kejahatan berbeda-beda. Oleh karena itu, faktor-faktor yang dapat menjadi pertimbangan implementasi diversi perlu dicermati. Beberapa faktor situasi yang menjadi pertimbangan implementasi diversi, dapat dikemukakan sebagai berikut (Nur Hidayati, 2013:148) :
a) Tingkat keseriusan perbuatan (ringan, sedang atau berat. Latar belakang perbuatan timbul dapat menjadi pertimbangan),
b) Pelanggaran yang sebelumnya dilakukan
c) Derajat keterlibatan anak dalam kasus
d) Sikap anak terhadap perbuatan tersebut. Jika anak mengakui dan menyesali, hal ini dapat menjadi pertimbangan.
e) Reaksi orang tua dan/atau keluarga terhadap perbuatan tersebut,
f) Usul yang diberikan untuk melakukan perbaikan atau meminta maaf pada korban,
g) Dampak perbuatan terhadap korban,
h) Pandangan korban tentang metode penanganan yang ditawarkan.
i) Dampak sanksi atau hukuman yang sebelumnya pernah diterima oleh pelaku anak. j) Apabila demi kepentingan umum, maka proses hukum harus dilakukan. Diversi dapat dimplementasikan dalam beberapa bentuk. Secara garis besar, terdapat tiga bentuk diversi, yaitu (Nur Hidayati, 2013:148-149) : (i) Diversi dalam bentuk peringatan, ini akan diberikan kepada polisi untuk pelanggaran
ringan. Sebagai bagian dari peringatan, si pelaku akan meminta maaf pada korban. Peringatan seperti ini telah sering dilakukan.
(ii) Diversi informal, yang diterapkan terhadap pelanggaran ringan di mana dirasakan kurang pantas jika hanya sekedar memberi peringatan kepada pelaku, dan kepada pelaku
diperlukan rencana intervensi yang lebih komperhensif. Pihak korban harus diajak untuk memastikan pandangannya tentang diversi informal dan apa yang mereka inginkan di dalam rencana tersebut. Diversi informal harus berdampak positif kepada korban, keluarga, dan anak. Yaitu dipastikan bahwa pelaku anak akan cocok diberikan diversi informal. Rencana diversi informal ini, anak akan bertanggung jawab, mengakui kebutuhan-kebutuhan korban dan anak, dan kalau mungkin orang tua dimintai pertanggungjawaban atas kejadian tersebut,
(iii) Diversi formal, yang dilakukan jika diversi informal tidak dapat dilakukan, tetapi tidak memerlukan intervensi pengadilan. Beberapa korban akan merasa perlu mengatakan pada
188 Fakultas Hukum - UNISAN
Keadilan Restoratif
anak betapa marah dan terlukanya mereka, atau mereka ingin mendengarkannya langsung dari anak. Karena permasalahannya muncul dari dalam keluarga anak, maka ada baiknya ada anggota keluarga lainnya yang hadir untuk mendiskusi-kan dan menyusun rencana diversi yang baik untuk semua pihak yang terkena dampak dari perbuatan itu. Proses diversi fomal di mana pelaku dan korban bertatap muka, secara internasional ini disebut sebagai “Restroatif Justice”.
Sebagaimana pendapat yang dikemukakan Ferli Hidayat terdapat faktor-faktor penghambat terhadap upaya implementasi ide diversi dalam sistem peradilan pidana anak Indonesia saat ini. Faktor- faktor tersebut yaitu (Nur Hidayati, 2013:149) :
1) Hambatan Internal. Walaupun keadilan Restoratif Justice dan Diversi sudah mulai dikenal sebagai alternatif penanganan anak berhadapan dengan hukum dari peradilan pidana dan mulai mendapatkan dukungan banyak pihak masih banyak hambatan yang dihadapi oleh sistem peradilan anak yaitu:
(i) Kebutuhan yang semakin meningkat tidak sebanding dengan sumber daya (baik personel maupun fasilitas)
(ii) Pemahaman yang berbeda dalam penanganan anak berhadapan dengan hukum dan korban di antara aparat penegak hukum
(iii) Kurangnya kerja sama antara pihak yang terlibat (aparat penegak hukum dan pekerja sosial anak),
(iv) Permasalahan etika dan hambatan birokrasi dalam penukaran data dan informasi antara aparat penegak hukum (v) Koordinasi antara aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim, Advokat, Bapas, Rutan, Lapas) masih tersendat karena kendala ego sektoral
(vi) Belum ada persamaan persepsi antar-aparat penegak hukum mengenai penanganan anak berhadapan dengan hukum untuk kepentingan terbaik bagi anak
(vii) Terbatasnya sarana dan prasarana penanganan anak berhadapan dengan hukum selama proses pengadilan (pra dan pasca putusan pengadilan)
(viii) Kurangnya kebijakan formulasi untuk melaksanakan proses rehabilitasi sosial anak nakal dalam hal ini Departemen sosial atau Organisasi sosial kemasyarakat yang bergerak dibidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja sehingga dapat dikirim ke panti sosial
untuk dibina secara khusus diberi pemulihan mental dan perilaku (ix) Kurangnya perlindungan anak yang melakukan tindak pidana namun kehendak demikian
tidaklah mudah dilakukan karena kerena ketentuan dalam sistem pemasyakatan anak saat ini tidak memberi peluang yang demikian
(x) Pandangan penegak hukum sisem peradilan pidana anak masih berpangkal pada tujuan pembalasan atas perbuatan jahat pelaku anak, sehingga hakim akan menjatuhkan pidana
semata-mata diharapkan agar anak jera.
2) Hambatan Eksternal. Bahwa dalam menerapkan sistem Restoratif Justice dan Diversi masih banyak hambatan eksternal yang ditimbulkan yaitu:
Fakultas Hukum – UNISAN 189
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. II, No. 2 Maret 2015
a. Ketiadaan payung hukum. Belum adanya payung hukum menyebabkan tidak semua pihak memahami implementasi keadilan restorative dengan tujuan pemulihan bagi pelaku,
korban, dan masyarakat. Akibatnya sering ada pihak- pihak yang mengintervensi jalanya proses mediasi. Banyak pihak yang belum memahami prinsip dalam ketentuan pasal 16 ayat (3) Undang-Undang tentang perlindungan anak yang menyebutkan bahwa penangkapan, penahanan, penjatuhan hukuman pidana bagi anak adalah upaya terakhir. Selain itu Undang- Undang tentang Pengadilan Anak saat ini tidak memberikan ruang yang cukup bagi implementasi ide diversi. Namun demikian sebenarnya jika melihat pada Undang-Undang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Perlindungan Anak, dan Keputusan Presiden tentang Pengesahan Hak-Hak Anak, terdapat ketentuan yang mengarah dan menghendaki implementasi diversi. Patut disayangkan karena penegak hukum cenderung melalaikan hal tersebut.
b. Inkonsistensi penerapan peraturan. Belum adanya payung hukum sebagai landasan dan pedoman bagi semua lembaga penegak hukum, inkonsistensi penerapan peraturan di lapangan dalam penanganan anak berhadapan dengan hukum masalah yang paling
sederhana dapat dilihat pada beragamnya batasan yang menjadi umur minimal seorang anak pada peraturan-peraturan yang terkait. Akibatnya aparat penegak hukum membuat putusan yang tidak konsisten dalam kasus anak berhadapan engan hukum yang memiliki kemiripan unsur-unsur perbuatan,
c. Kurangnya dukungan dan kerja sama antar lembaga. Masalah ini merupakan hambatan yang lain yang masih banyak terjadi dalam menegakkan suatu ketentuan hukum, termasuk penanganan anak berhadapan dengan hukum banyak kalangan professional hukum yang
masih menganggap mediasi sebagai metode pencarian keadilan kelas dua dengan berpandangan bahwa mediasi tidak berhasil mencapai keadilan sama sekali karena tidak lebih dari hasi kompromi pihak-pihak yang terlibat, padahal saat ini hakim adalah satu-satu pihak yang bisa memediasi perkara anak yang berhadapan dengan hukum tidak seperti mediasi perdata yang memper-bolehkan non-hakim menjadi mediator di pengadilan,
d. Pandangan masyarakat terhadap perbuatan tindak pidana. Ide diversi masih terhalang adanya pandangan masyarakat yang cenderung dendam dan ingin melakukan pembalasan terhadap pelaku kejahatan, termasuk pada pelaku anak.
Dari sejumlah hambatan yang telah dipaparkan di atas, maka secara khusus beberapa hambatan yang dihadapi oleh para hakim di Pengadilan Negeri Makassar adalah sebagai berikut :
- kurangnya pemahaman hakim terkait beberapa pasal yang terdapat didalam UU SPPA; - kurangnya fasilitas yang disiapkan oleh negara terkait dengan kemauan negara dalam
mengoptimalkan penerapan diversi dalam penegakan hukum pidana anak; - kurangnya pemahaman orang tua terkait pertimbangan hakim dalam memutus anaknya
yang tersangkut masalah hukum (Hasil Wawancara Penulis dengan Bapak Nathan Lambe / Salahsatu hakim anak pada Pengadilan Negeri Makassar).
190 Fakultas Hukum - UNISAN
Keadilan Restoratif
3. Peluang Penerapan Diversi dalam Penegakan Hukum Pidana Anak Mengenai penerapan diversi di Kepolisian Resort Kota Besar (Polrestabes) Makassar, maka dapat dilihat dari dua sudut pandang. Pertama, sebelum berlakunya UU SPPA, sebelum berlakunya UU SPPA maka yang berlaku adalah masih UU Pengadilan Anak, pada saat masih berlakunya UU Pengadilan Anak maka upaya-upaya seperti diversi sudah beberapa kali dilakukan walaupun dalam pemakaian istilah yang berbeda (seperti perdamaian dan lain sebagainya), dan upaya-upaya tersebut dilakukan karena adanya permintaan dari pihak-pihak yang berperkara, jadi dari pihak Polrestabes Makassar tidak akan melakukan upaya-upaya perdamaian tersebut kalau sebelumnya tidak ada permintaan dari para pihak yang berperkara (atau dengan kata lain bukan berasal dari inisiatif pihak kepolisian) itupun dilakukan atas perkara-perkara tertentu saja (delik aduan), namun hal tersebut tidak berlaku untuk delik-delik umum, setelah dilakukan perdamaianpun itu dilaporkan terlebih dahulu ke pimpinan (dalam hal ini Kepala Polrestabes Makassar). Kalau pimpinan menyetujuinya, barulah kasus tersebut di tutup, namun jika pimpinan tidak menyetujuinya, maka perkara tersebut berlanjut, atau berkasnya dilimpahkan ke kejaksaan (Hasil Wawancara Penulis dengan Ibu Inspektur Satu / IPTU Afryanti F. salahsatu Staf di Kantor Kepolisian Resort Kota Besar Makassar).
Kedua, pada saat UU SPPA sudah berlaku, pihak kepolisian dalam menangani perkara anak yang berkonflik dengan hukum, maka diupayakan diversi, oleh karena itu ketika perkara anak tersebut (dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu) hendak dilakukan upaya diversi, maka pihak kepolisian mengundang pihak-pihak terkait untuk melaksanakan upaya diversi tersebut. Jika upaya diversi berhasil, maka pihak kepolisian meminta penetapan ke pengadilan (secara langsung) tanpa melalui kejaksaan, penetapan tersebut untuk mengesahkan upaya diversi yang sudah dijalankan agar perkara tersebut bisa berhenti atau tidak berlanjut ke tahap selanjutnya. Namun ketika upaya tersebut tidak berhasil (gagal), maka pihak kepolisian sebagaimana umumnya yaitu perkara tersebut berlanjut, atau berkasnya dilimpahkan ke kejaksaan (Hasil Wawancara Penulis dengan Ibu Inspektur Satu / IPTU Afryanti F. salahsatu Staf di Kantor Kepolisian Resort Kota Besar Makassar).
Sedangkan penerapan diversi di Kejaksaan Negeri Makassar, sangat jarang dilaksanakan baik sebelum berlakunya UU SPPA (sebelum berlakunya UU SPPA maka yang berlaku adalah masih UU Pengadilan Anak) maupun setelah berlakunya UU SPPA, hal ini dikarenakan banyak pertimbangan yang harus dipertimbangkan oleh pihak kejaksaan, baik aspek yuridis, aspek sosiologis, maupun aspek kepentingan umum, karena, selain itu pihak kejaksaan juga terkendala masalah teknis (seperti susahnya mempertemukan para pihak untuk dilakukan upaya diversi, dan lain sebagainya), jadi upaya maksimal yang dilakukan oleh pihak Kejaksaan Negeri Makassar hanyalah tetap melimpahkan perkaranya ke pengadilan untuk diadili namun tuntutannya hanya diberikan sanksi tindakan, atau bisa juga dengan mempercepat proses perkara agar cepat disidangkan sehingga anak yang berkonflik dengan hukum ini tidak terlalu lama menjadi tahanan kejaksaan (Hasil Wawancara Penulis dengan Ibu Patryani / Salahsatu Staf di Kantor Kejaksaan Negeri Makassar).
Banyak manfaat yang diperoleh dari pelaksanaan program diversi bagi pelaku anak, yang dirinci dalam beberapa uraian. Hal ini dapat dikemukakan sebagai berikut (Made Ayu Citra Maya Sari, 2012:7) :
Fakultas Hukum – UNISAN 191
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. II, No. 2 Maret 2015
1. Helps juveniles learn from their mistake through early intervention (membantu anak-anak belajar dari kesalahannya melalui intervensi selekas mungkin);
2. Repairs the harm caused to families, victims and the community (memperbaiki luka- luka karena kejadian tersebut, kepada keluarga, korban dan masyarakat);
3. Incorporates parents, guardians and lessons from everyday life (kerjasama dengan pihak orang tua, pengasuh dan diberi nasehat hidup sehari-hari);
4. Equips and encourages juveniles to make responsible decisions (melengkapi dan membangkitkan anak-anak untuk membuat keputusan untuk bertanggung jawab);
5. Creates mechanism to collect restitution for victims (berusaha untuk mengumpulkan dana untuk restitusi kepada korban);
6. Holds yovith accountable for their actions & provides learning opportunities regarding cause and effect (memberikan tanggungjawab anak atas perbuatannya, dan memberikan
pelajaran tentang kesempatan untuk mengamati akibat-akibat dan efek kasus tersebut);
7. Allows eligible offenders the opportunity to keep their record clean (memberikan pilihan bagi pelaku untuk berkesempatan untuk menjaga agar tetap bersih atas cacatan kejahatan);
8. Reduces burden on court system and jails (mengurangi beban pada peradilan dan lembaga penjara);
9. Curbs juvenile crime (pengendalian kejahatan anak/remaja). Memaknai hukum sebagai perangkat peraturan yang mengatur masyarakat (Sabian Utsman,
2010:87), maka konsep diversi ini juga telah dituangakn dalam seperangkat aturan yang mendasarinya yakni UU SPPA. Oleh karena itu, system pengadilan bagi anak harus menjunjung tinggi hak-hak dan keselamatan serta memajukan kesejahteraan fisik dan mntal para anak. Menghilangkan kebebasan anak haruslah merupakan pilihan terakhir dan untuk masa yang minimum serta dibatasi pada kasus-kasus luar biasa, tanpa mengesampingkan kemungkinan pembebasan lebih awal (M. Nasir Djanil, 2013:68). Disamping itu secara khusus perlu pula dipertimbangkan tujuan apakah yang ingin dicapai dengan pengenaan sanksi terhadap anak nakal, dalam arti apakah tujuan yang dicapai itu sama dengan tujuan penjatuhan sanksi pelaku kejahatan dewasa. Untuk itu, dalam kebijakan penerapan sanksi atas anak nakal perlu dipertimbangkan pula jenis-jenis sanksi yang paling sesuai, dalam arti kenakalan anak dan pelaku anak manakah, serta bentuk konflik apakah yang ingin diatasi oleh pemidanaan yang berupa pengimbalan, pembinaan, dan penyelesaian konflik (Setya Wahyudi, 2011:53).
IV. KESIMPULAN Berdasarkan pemaparan kedua hal di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Penerapan diversi sangat relevan dalam penegakan hukum pidana anak di Indonesia. Memang konsep diversi dalam penegakan hukum pidana anak merupakan sebuah konsep
baru di Indonesia. Namun, pada tataran penerapan dalam penegakan hukum pidana, hal tersebut bukanlah merupakan sesuatu yang baru, karena hal tersebut biasa dipraktikkan oleh penegak hukum namun dengan penamaan atau menggunakan peristilahan yang lain.
2. Peluang atau kemungkinan penerapan keadilan restoratif dengan cara diversi dalam penegakan hukum pidana anak sangat terbuka lebar, karena selain peraturan perundang-
undangan dan peraturan internal para penegak hukum (baik Mahkamah Agung, Kejaksaan
192 Fakultas Hukum - UNISAN
Keadilan Restoratif
Agung, Polri, dan Lembaga Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM) mengatur dan mengharuskan adanya upaya keadilan restoratif melalui diversi dalam menjalankan fungsi penegakan hukumnya, juga selama ini praktik yang dilakukan oleh para penegak hukum sebelum diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, khususnya di Polrestabes Makassar, Kejaksaan Negeri Makassar, dan Pengadilan Negeri Makassar.
V. SARAN
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka penulis dapat merekomendasikan 2 (dua) hal sebagai berikut :
1. Agar para penegak hukum (khususnya pihak kepolisian, kejaksaan, dan para hakim) dapat mengupayakan secara konsisten prinsip restorative justice melalui diversi (dalam kasus-
kasus tertentu) yang selama ini sudah dipraktikkan walaupun dengan menggunakan istilah yang berbeda.
2. Agar masyarakat umum (khususnya para orang tua) dapat mengawasi pergaulan anak- anaknya, karena walaupun para penegak hukum mengupayakan diversi dalam menghadapi
anak yang berkonflik dengan hukum, namun lebih baik lagi jika anak-anak tersebut tidak sampai berkonflik dengan hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Abintoro Prakoso, Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak, Surabaya: Erlangga, 2013. Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia, Jakarta:
Rajawali Pers, 2010. Bagir Manan, Pemikiran-Pemikiran dalam RUU Tentang Peradilan Anak Dalam Kumpulan Makalah Peradilan Anak Di Indonesia , Bandung: CV. Mandar Maju, 1997. Barda Nawawi Arif, 1997, Masalah Perlindungan Hukum Bagi Anak Dalam Kumpulan Makalah Peradilan Anak Di Indonesia , Bandung: CV. Mandar Maju, 1997. _________________, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Jakarta: PT. Kencana Prenada Media Group, 2010. BPHN, Buku Saku Perlindungan Anak, Jakarta: Pusat Penyuluhan Hukum BPHN, 2013. Darwan Prinst. Hukum Anak Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997. Ediwarman, Peradilan Anak di Persimpangan Jalan dalam Prespektif Victimology (belajar dari kasus
Raju) , Jurnal Mahkamah:Pekan baru, Vol.18 No. 1, April 2006. Ferawati, Kebijakan Formulasi Terhadap Konsep Diversi Dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia , Artikel, Padang: Universitas Andalas, tanpa tahun. Fulthoni dkk, Anak Berkonflik Dengan Hukum, Buku Saku Panduan Paralegal, Jakarta: ILRC, 2012. Jimly Asshiddiqie, Pembaruan Hukum Pidana Indonesia Studi tentang Bentuk-bentuk Pidana dalam
Tradisi Hukum Fiqih dan relevansinya Bagi Usaha Pembaruan KUHP Nasional , Bandung: Angkasa, 1996.
Fakultas Hukum – UNISAN 193
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. II, No. 2 Maret 2015
Kenneht Folk. Early Intervention: Diversion and Youth Conferencing, A national review of current approach to diverting juvenile from the Criminal Justice System . Australia Government Attorney- general’s Departement, Canberra, Commonwealth of Australia, Desember 2003.
KPAI, Analisa Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia (www.kpai.go .id/analisa-sistem-peradilan- pidana-anak-di-indonesia.html). Kusno Adi, Diversi Sebagai Upaya Alternatif Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Oleh Anak, Malang: UMM Press, 2009. M. Joni dan Zulchaina Z. Tanamas, Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam Perspektif Konvensi Hak Anak , Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999. M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, Catatan Pembahasan UU Sistem Peradilan Pidana Anak, Jakarta: Sinar Grafika, 2013. Made Ayu Citra Maya Sari, Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, Artikel Hukum dan Sistem Peradilan Pidana, Pascasarjana Universitas Udayana, 2012. Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Penegakan hukum Pidana Anak di Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2008. _____________, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dan Perempuan, Bandung: Refika Aditama, 2012. Marlina, Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice dalam Hukum Pidana, Medan: USU Press, 2010. ______, Penerapan Konsep Diversi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak, Jurnal Equality Volume 13 Nomor 1 Februari 2008 Moch. Faisal Salam, Hukum Acara Peradilan Anak Di Indonesia, Bandung: CV. Mandar Maju, 2005. Mohammad Taufik Makarao dkk, Hukum Perlindungan Anak dan Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga, Jakarta: Rineka Cipta, 2013. Muhammad Aenur Rosyid dkk, Alternatif Model Penanganan Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum Melalui Family Group Conferencing, (Artikel tanpa tahun), Universitas Brawijaya Malang. Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: Penerbit Alumni, 1992. Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak Di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2011. Nur Hidayati, Peradilan Pidana Anak Dengan Pendekatan Keadilan Restoratid dan Kepentingan
Terbaik Bagi Anak. Jurnal Pengembangan Humaniora, Volume 13 Nomor 2, Agustus 2013. P. Hadisuprapto, Kumpulan Makalah Peradilan Anak di Indonesia, Bandung: CV. Mandar Maju, 1997. Sabian Utsman, Menuju Penegakan Hukum Responsif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010. Setya Wahyudi, Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak di
Indonesia, Yogyakarta: Genta Publishing, 2011. Sofian Parerungan, Penerapan Diversi Dalam Persidangan Anak, (Artikel) dimuat dalam website Pengadilan Negeri Bangil, lihat http://pn-bangil.go.id/data/?p=207 UNICEF, Data Anak Yang Dipidanakan, (www.unicef.org/indonesia/uni-jjs1_2final.pdf). Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, Bandung: PT. Refika Aditama, 2006.
194 Fakultas Hukum - UNISAN
Perlindungan Hukum Nasional
URGENSI PERLINDUNGAN HUKUM NASIONAL TERHADAP KOPI TORAJA SEBAGAI PRODUK INDIKASI ASAL MILIK INDONESIA
Ibnu Munzir Notaris di Kabupaten Maros, Propinsi Sulawesi Selatan [email protected]
Abstract Legal protection of the Toraja coffee brand as an indication of source of the products belonging to Tana Toraja and North Toraja through national legal instruments governing the protection broadly in terms of product registration procedures Indication of Geographical Indications of Source into the product, so the product has a strong legal protection force, so it is not simply utilized by other countries that make Indonesia loss materially and non-material. Keyword : Legal protection, indication of source product, Toraja Coffee brand.
I. PENDAHULUAN
Hak Kekayaan Intelektual (HKI) merupakan suatu hak eksklusif yang dimiliki oleh seorang penemu atau yang melakukan suatu inofasi terhadap sesuatu hal tertentu yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Oleh karena itu tidak semua orang dapat menikmati hak eksklusif tersebut, bahkan jika ada seseorang yang menikmati/memanfaatkan produk tertentu untuk kepentingan banyak orang, maka ia harus membayar sejumlah royalty kepada si pemilik hak tersebut. HKI seseorang harus dilindungi karena akan bermanfaat bukan hanya bagi dirinya, melainkan pada seluruh umat manusia. Semakin derasnya arus perdagangan bebas, yang menuntut makin tingginya kualitas produk yang dihasilkan terbukti semakin memacu perkembangan teknologi yang mendukung kebutuhan tersebut. Seiring dengan hal ini, pentingnya peranan hak kekayaan intelektual dalam mendukung perkembangan teknologi kiranya telah semakin disadari.
Karya-karya di bidang HKI dihasilkan berkat kemampuan intelektual manusia melalui pengorbanan tenaga, waktu, pikiran perasaan, dan hasil intuisi/ilham/hati nurani (Iswi Hariyani, 2010:16), Hal inilah yang membedakan HKI dengan hak-hak milik lainnya yang diperoleh dari alam (Rachmadi Usman, 2003:2). Salah satu bagian dari sistem HKI yang diadopsi dari perjanjian TRIPS yaitu Indikasi Geografis. Indikasi geografis adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari ke dua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan (Tomi Suryo Utomo, 2010:217). Sedangkan indication of source product (produk indikasi asal) merupakan bagian dari indikasi geografis.
Produk indikasi asal adalah hasil pertanian, bahan pangan, hasil kerajinan tangan, atau barang lainnya, termasuk bahan mentah dan/atau hasil olahan, baik yang berasal dari hasil pertanian maupun yang berasal dari hasil tambang, berasal dari daerah tertentu dan memiliki kekhususan dan belum
Fakultas Hukum – UNISAN 195
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. II, No. 2 Maret 2015
terdaftar (Ibnu Munzir, 2013:72) di negara asal dari produk tersebut. Oleh karena itu dibutuhkan suatu perjanjian agar masalah yang timbul dapat diselesaikan sesuai dengan prosedur (Birkah Latif dan
Kadarudin “2”, 2013:21). Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber daya alam yang melimpah dan kaya akan
produk potensi indikasi geografis. Dari segi sumber daya alam banyak produk daerah yang telah lama dikenal dan mendapatkan tempat di pasar internasional sehingga memiliki nilai ekonomi yang tinggi sebagai contoh : Java Coffee lada, Gayo Coffee, Toraja Coffee Tembakau Deli, Muntok White Pepper. Keterkenalan produk tersebut seharusnya diikuti dengan perlindungan hukum untuk melindungi komoditas tersebut dari praktek persaingan usaha yang tidak sehat (www.scribd.com), agar dalam
berinteraksi antarsesama tidak menimbulkan konflik atau sengketa (Birkah Latif dan Kadarudin “1”, 2013:89).
Kopi Toraja adalah kopi yang diproduksi di Tana Toraja dan Toraja Utara. Penggemar kopi di Indonesia, bahkan mayoritas konsumen kopi di dunia, mengetahui kopi Toraja. Kopi yang berasal dari Kabupaten Tana Toraja dan Toraja Utara (kabupaten di Indonesia) itu memiliki cita rasa tinggi, sehingga terkenal di pasar internasional. Kopi tumbuh di banyak kabupaten di Sulawesi Selatan seperti di Tana Toraja, Toraja Utara dan Enrekang. Namun kopi dari Tana Toraja dan Toraja Utara memiliki karakteristik dan cita rasa tinggikarena faktor alamnya. Keadaan alam Tana Toraja bergunung-gunung, berada pada ketinggian 300 meter sampai 2.889 meter di atas permukaan laut. Faktor alam tersebutlah yang membedakan rasa kopi Tana Toraja dengan kopi yang lain.Dengan cita rasanya yang tinggi itu, harga kopi yang berasal dari Tana Toraja dan Toraja Utara lebih mahal dibandingkan kopi lain, yang tumbuh di berbagai daerah di Indonesia. Bahkan, kopi tersebut telah lama masuk ke pasar internasional (Apksa: www.google.com). Kopi Toraja sangat terkenal di dunia, sehingga Jepang kemudian mendaftarkannya sebagai merek dagang di negaranya.
Indonesia dan Jepang terikat dalam suatu Perjanjian Internasional salah satunya adalah perjanjian TRIPs, Maka peraturan perundang-undangan Indonesia pun juga harus mengacu pada perjanjian TRIPs (Adrian Sutedi, 2009:1). Dalam Perjanjian TRIPs diatur mengenai indikasi geografis yang berkaitan dengan pemakaian merek. Dalam Article 22 (1) persetujuan TRIPs dikemukakan bahwa:
“Geographical indications are, for the purposes of this Agreement, indications which identify a goods as originating in the territory of a member, or a region or locality in that territory, where a given quality, reputation, or other characteristic of the good is essentially attributable to its geographycal origin ”. Yang dimaksud dengan indikasi geografis berdasarkan persetujuan ini adalah tanda yang
mengidentifikasi suatu wilayah negara anggota, atau kawasan atau daerah di dalam wilayah tersebut sebagai asal barang, dimana reputasi, kualitas, dan karakteristik barang yang bersangkutan sangat ditentukan oleh faktor geografis tersebut. Berdasarkan ketentuan tersebut dapat dimengerti bahwa asal suatu barang (termasuk jasa) yang melekat dengan reputasi, karakteristik, dan kualitas suatu barang yang dikaitkan dengan wilayah tertentu dilindungi secara yuridis (O.K. Saidin, 2010:386). Dan dalam persetujuan TRIPs dilarang kepada produsen untuk memakai label atau tanda (atau juga merek) terhadap barang yang diproduksinya, yang tidak sesuai dengan indikasi geografis. Misalnya
196 Fakultas Hukum - UNISAN
Perlindungan Hukum Nasional
mencantumkan label Kopi Toraja pada merek tetapi produk yang diperdagangkan bukanlah merupakan kopi Toraja.
Oleh karena itu, permasalahan yang hendak diuraikan dalam tulisan ini yaitu Apa yang menjadi urgensi dari Produk Kopi Toraja sehingga harus dilindungi? Bagaimanakah perlindungan hukum nasional terhadap Kopi Toraja sebagai produk indikasi asal?
II. PEMBAHASAN
A. Urgensi Perlindungan Produk Kopi Toraja Ada beberapa jenis kopi yang sangat terkenal di Indonesia salah satunya adalah kopi Toraja.
Negara Indonesia adalah termasuk negara agraris yang kaya akan hasil buminya dimana selain kopi, teh, dan sawit juga sangat diburu oleh bangsa eropa sejak dulu. Kopi Toraja merupakan kopi yang berasal dari Tana Toraja. Kopi ini sangat terkenal, kopi Toraja adalah kopi yang memiliki kandungan asam rendah dan memiliki badan yang berat. Kopi Sulawesi dan Kopi Sumatera memiliki rasa khas yang hampir serupa, seperti rasa tanah dan hutan, rasa tersebut muncul karena terpengaruh pemrosesan setelah biji kopi dipetik. Kopi Toraja saat ini sudah dipatenkan di Jepang dan Amerika Serikat oleh pengusaha lokal di negara tersebut, sehingga penjualan kopi Toraja di ke dua negara tersebut harus melalui ke dua perusahaan itu (http://www.toraja highland.com).
Keterkenalan Kopi Toraja dimanfaatkan oleh perusahaan Key Coffee Inc. dari Jepang dengan mendaftarkan Merek “Toarco Toraja” dengan nomor pendaftaran 75884722 di Jepang Pada tanggal 14
Januari 1977 . Merek tersebut selain menampilkan kata “Toraja” juga rumah adat Toraja sebagai latar merek. Hal ini terjadi karena tidak adanya undang-undang nasional yang mengatur tentang indikasi geografis dan indikasi asal pada saat didaftarkannya merek kopi Toraja oleh perusahaan Key Coffee Inc . pada tahun 1977 di Jepang. Tapi sebenarnya kopi Toraja dapat dilindungi sebagai Indikasi Asal melalui perjanjian-Perjanjian Internasional dan hukum nasional yang lahir sebelum dan sesudah adanya pendaftaran merek Kopi Toraja oleh perusahaan Key Coffee Inc. pada tahun 1977 di Jepang, misalnya Paris Convention (1883), Madrid Agreement (1891), Lisbon Agreement (1958), TRIPs Agreement (1994), Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek dan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis yang mengatur tentang perlindungan indikasi asal (www.scribd.com). Seharusnya perjanjian-perjanjian tersebut ditaati, karena ketaatan terhadap suatu perjanjian internasional sangat penting dilakukan agar terciptanya tertib hukum (Birkah Latif dan Kadarudin “2”, 2013:55).
B. Perlindungan Hukum Nasional Terhadap Produk Kopi Toraja
B.1 Perlindungan Indikasi Geografis dan Indikasi Asal Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Dalam Perjanjian TRIPs, Indikasi Geografis dan merek masing-masing adalah rezim yang independen. Meskipun demikian ada beberapa persamaan antara Indikasi Geografis dan Merek yaitu:
a) Indikasi Geografis dan Merek, ke duanya melindungi Masyarakat dari penyesatan;
b) Indikasi Geografis dan Merek, ke duanya memiliki fungsi sebagai tanda pembeda;
c) Indikasi Geografis dan Merek, ke duanya memiliki Jangka waktu perlindungan yang berkelanjutan.
Fakultas Hukum – UNISAN 197
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. II, No. 2 Maret 2015
Dari persamaan inilah kemungkinan pembuat undang-undang merek Indonesia menggabungkan Indikasi Geografis ke dalam undang-undang merek. Indikasi Geografis dalam undang-undang merek terdapat pada Bab VII Pasal 56 sampai dengan Pasal 60 Undang-Undang Merek. Selain pada Bab VII, Indikasi Geografis dijelaskan pula pada Bab II Pasal 6 ayat (1) huruf (c) Undang-Undang Merek yang menjelaskan tentang penolakan permohonan pendaftaran merek oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia apabila ada merek yang sama (baik persamaan pada pokoknya maupun persamaan pada keseluruhannya) dengan Indikasi Geografis yang sudah dikenal.
Menurut Penulis seharusnya Pasal 6 ayat (1) huruf (c) Undang-Undang Merek tidak hanya mengatur perlindungan terhadap Indikasi Geografis yang sudah dikenal tetapi juga harus mengatur perlindungan terhadap Indikasi Asal, (kemudian setelah diganti Pasal 6 ayat (1) huruf (c) berbunyi “mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Indikasi Geografis dan Indikasi Asal yang sudah dikenal”), maka undang-undang ini dapat juga menjangkau perlindungan indikasi Asal terhadap pendaftaran merek, karena banyaknya Indikasi Asal diberbagai wilayah Indonesia, yang dapat disalahgunakan oleh pihak lain dalam mendaftarkannya sebagai merek.
Pada Pasal 56 ayat (1) dijelaskan bahwa Indikasi Geografis dilindungi sebagai suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari ke dua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan. Dalam penjelasan pasal ini juga disebutkan bahwa “Indikasi Geografis adalah suatu indikasi atau identitas dari suatu barang yang berasal dari suatu tempat, daerah atau wilayah tertentu yang menunjukkan adanya kualitas, reputasi dan karakteristik termasuk faktor alam dan faktor manusia yang dijadikan atribut dari barang tersebut. tanda yang digunakan sebagai Indikasi Geografis dapat berupa etiket atau label yang dilekatkan pada barang yang dihasilkan. Tanda tersebut dapat berupa nama tempat, daerah atau wilayah, kata, gambar, huruf, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut. pengertian nama tempat dapat berasal dari nama yang tertera dalam peta geografis atau nama yang karena pemakaian secara terus-menerus sehingga dikenal sebagai nama tempat asal barang yang bersangkutan. Perlindungan Indikasi Geografis meliputi barang-barang yang dihasilkan oleh alam,
b arang hasil pertanian, hasil kerajinan tangan, atau hasil industri tertentu lainnya”. Indikasi Geografis menurut Frederick Abbott (Achmad Zen Purba, 2011:76) memiliki dua fungsi yaitu:
1. Fungsi promosi produk yang mempunyai karakter tertentu yang membawa manfaat ke wilayah tempat produk tersebut dibuat (manufactured) atau dipasarkan. Dengan demikian
Indikasi Geografis melindungi produsen di wilayah tersebut terhadap penggunaan yang tidak sah (unauthorized) dari goodwill yang diciptakan oleh kualitas produk itu oleh pesaingnya.
2. Indikasi Geografis adalah sumber informasi penting untuk konsumen pada pasar yang sangat beragam dalam kaitan dengan asal, kualitas, serta reputasi produk yang bersangkutan.
Dalam Pasal 56 ayat (2) Indikasi Geografis mendapat perlindungan setelah terdaftar atas dasar permohonan yang diajukan oleh 3 (tiga) unsur, unsur yang pertama adalah lembaga yang mewakili
198 Fakultas Hukum - UNISAN
Perlindungan Hukum Nasional
masyarakat di daerah yang memproduksi barang termasuk didalamnya pihak yang mengusahakan barang yang merupakan hasil alam atau kekayaan alam (misalnya: perusahaan perkebunan yang memproduksi kopi Toraja), produsen barang hasil pertanian (misalnya: petani kopi), pembuat barang- barang hasil kerajinan tangan atau hasil industri (misalnya: pembuat ukiran Toraja atau ukiran Jepara), pedagang yang menjual barang tersebut (misalnya: perusahaan yang mengekspor kopi Toraja).
Unsur ke dua adalah lembaga yang diberi kewenangan untuk itu, lembaga dalam hal ini adalah instansi pemerintah (misalnya dinas perkebunan berkoordinasi dengan bupati / walikota setempat), koperasi (misalnya: koperasi yang menjual barang hasil pertanian atau kerajinan tangan dari Indikasi Asal), asosiasi (Misalnya Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis Tana Toraja dan Toraja Utara) serta lembaga resmi lainnya.
Unsur ke tiga adalah kelompok konsumen barang tersebut, bahwa yang dimaksud dengan kelompok konsumen dalam pasal ini adalah kelompok pemakai atau kelompok yang sering mengkonsumsi barang hasil Indikasi Asal dari suatu daerah yang berpotensi menjadi Indikasi Geografis. Penulis berpendapat bahwa tidak serta-merta kelompok konsumen tersebut dapat mendaftarkannya di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dikarenakan ada beberapa persyaratan yang harus terpenuhi dalam hal pendaftaran sebagai Indikasi Geografis. Oleh karena itu, kelompok tersebut harus berkoordinasi dengan pemerintah setempat untuk mendapatkan data-data yang diperlukan dalam pemenuhan persyaratan menjadi Indikasi Geografis. Hal ini terdapat dalam Pasal 6 ayat (3) PP Indikasi Geografis, misalnya: uraian mengenai karakteristik dan kualitas yang membedakan barang tertentu dengan barang lain yang memiliki kategori sama, uraian mengenai lingkungan geografis serta faktor alam dan faktor manusia yang memberikan pengaruh terhadap atau karakteristik dari barang yang dihasilkan, uraian tentang batas-batas daerah dan/atau peta wilayah yang dicakup oleh Indikasi Geografis, uraian mengenai sejarah dan tradisi yang berhubungan dengan pemakaian Indikasi geografis.
Beberapa persyaratan itulah yang harus dipenuhi oleh kelompok konsumen apabila ingin mendaftarkan suatu produk menjadi Indikasi Geografis. Beberapa persyaratan itu juga tidak akan terpenuhi jika tidak dikoordinasikan dengan pemerintah setempat. Hal ini menjadi perbincangan hangat dalam penetapan kelompok konsumen sebagai salah satu unsur yang berhak mendaftarkan suatu produk menjadi Indikasi Geografis.
Menurut Miranda Risang Ayu (2006:167), kewenangan untuk mengajukan permohonan pandaftaran bagi konsumen tidak tepat, karena pertama, konsumen tidak berkepentingan untuk memproduksi atau memasarkan produk, tetapi sebaliknya, hanya sebagai orang yang mengkonsumsi produk dengan kualitas yang sesuai dengan harapannya. Konsumen tidak berkepentingan untuk mengubah diri menjadi penjual produk, tetapi mengharapkan jaminan ketepatan dan kualitas produk untuk dibeli. Jadi, pemosisian konsumen seperti ini tidak sesuai dengan adanya unsur konsumen dalam sistem perlindungan Indikasi Geografis, karena konsumen adalah penerima perlindungan pasif, bukan aktif.
Alasan Ke dua adalah jika sampai ada konsumen yang mendaftarkan suatu Indikasi Geografis yang ternyata masih merupakan jerih payah suatu kelompok produsen, kelompok produsen tentu akan sangat dirugikan. Ini bertentangan dengan moralitas sejarah perlindungan merek dan Indikasi
Fakultas Hukum – UNISAN 199
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. II, No. 2 Maret 2015
Geografis sendiri, yang juga dimaksudkan untuk mengaitkan tanda yang tertera pada suatu produk dengan kelompok produsen tertentu, yang memang adalah penghasil dari produk tersebut. Jika pun konsumen diharuskan untuk memiliki andil dalam proses perlindungan suatu Indikasi geografis, tampaknya lebih tepat jika andil itu bukan dalam bentuk hak untuk mengajukan aplikasi pendaftaran, tetapi hak untuk berpartisipasi mengajukan keberatan, jika ternyata pendaftaran itu akan merugikan kepentingan masyarakat umum. Konsumen juga berhak mengajukan pengaduan atau gugatan jika suatu indikasi sampai membingungkan, menyesatkan atau menimbulkan kerugian yang lebih besar lagi, baik secara individual maupun secara bersama-sama.
Suatu permohonan Indikasi geografis dapat ditolak oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia jika bertentangan dengan moralitas agama, kesusilaan, ketertiban umum, atau dapat memperdayakan atau menyesatkan masyarakat mengenai sifat, ciri, kualitas, asal sumber, proses pembuatan, dan/atau kegunaannya. Kemudian dapat juga ditolak jika tidak memenuhi syarat untuk didaftar sebagai Indikasi Geografis (misalnya tidak memiliki ciri dan kualitas pada suatu produk yang dihasilkan). Hal tersebut dapat dilihat pada Pasal 56 ayat (4) Undang-Undang Merek. Demikian halnya kekuatan hukum perlindungan Indikasi Geografis terdaftar dapat pula dilihat pada Pasal 56 ayat (7) Undang-Undang Merek yang menyatakan bahwa Indikasi Geografis yang telah terdaftar mendapat perlindungan hukum selama ciri dan kualitas yang dihasilkan masih ada.
Pasal 57 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Merek menyatakan bahwa Setelah suatu produk terdaftar sebagai Indikasi Geografis, pemegang hak atas Indikasi Geografis dapat mengajukan gugatan terhadap pemakai Indikasi Geografis yang tanpa hak berupa permohonan ganti rugi dan penghentian penggunaan serta pemusnahan etiket Indikasi Geografis yang digunakan secara tanpa hak tersebut. Untuk mencegah kerugian yang lebih besar pada pihak yang haknya dilanggar, hakim dapat memerintahkan pelanggar untuk menghentikan kegiatan pembuatan, perbanyakan, serta memerintahkan pemusnahan etiket Indikasi Geografis yang digunakan secara tanpa hak tersebut.
Seperti yang dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa Undang-Undang Merek membedakan antara Indikasi Geografis dan Indikasi Asal, Indikasi Asal terdapat pada Pasal 59 dan Pasal 60. Indikasi Asal dilindungi sebagai suatu tanda yang memenuhi ketentuan Pasal 56 ayat (1), tetapi tidak didaftarkan atau semata-mata hanya menunjukkan asal suatu barang atau jasa.
Berdasarkan uraian pasal di atas, penulis memberikan 2 (dua) penggolongan terhadap Indikasi Asal yaitu:
1. Indikasi Asal yang berpotensi didaftarkan sebagai Indikasi Geografis; dan
2. Indikasi Asal yang tidak dapat didaftarkan sebagai Indikasi Geografis. Maksud dari golongan pertama adalah Indikasi Asal dapat didaftarkan sebagai Indikasi
Geografis karena suatu produk tersebut memiliki ciri khas (karakteristik) dan kualitas yang dihasilkan. Dengan kata lain bahwa hasil dari produk tersebut menjadi daya pembeda terhadap produk sejenis lainnya. misalnya: Kopi Toraja, alasannya karena Kopi Toraja memiliki ciri khas dan kualitas yang dihasilkan yang menjadi pembeda terhadap kopi yang lainnya.
Maksud dari golongan ke dua adalah Indikasi Asal tidak dapat didaftarkan sebagai Indikasi Geografis karena hanya semata-mata menunjukkan asal suatu barang atau jasa dan tidak memiliki ciri
200 Fakultas Hukum - UNISAN
Perlindungan Hukum Nasional
khas dan kualitas yang menjadi daya pembeda terhadap produk sejenis. Misalnya: Tahu Sumedang, alasannya karena setiap orang dapat membuat tahu dari kedelai atau membuat Tahu Sumedang. Oleh karena itu, tahu sumedang tidak memiliki ciri khas dan kualitas yang dihasilkan, hanya semata-mata menunjukkan asal suatu barang saja.
B.2 Perlindungan Indikasi Geografis Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis Perlindungan Indikasi Geografis dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis terdiri dari 28 pasal. Penulis akan mengerucutkan hanya beberapa pasal saja dalam kajian pembahasan tesis ini, dan hanya akan memberikan gambaran umum tentang tahapan- tahapan pendaftaran Indikasi geografis. Gambaran tersebut diuraikan sebagai berikut:
1. Tahap Pertama: Pengajuan Permohonan Setiap pemohon (lihat Pasal 5 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 tentang
Indikasi Geografis) pendaftaran Indikasi Geografis dapat mengajukan permohonan dengan memenuhi persyaratan-persyaratan yaitu:
1) Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia oleh Pemohon atau melalui kuasanya dengan mengisi formulir dalam rangkap 3 (tiga) kepada Direktorat Jenderal Hak
Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.
2) Melampirkan surat kuasa khusus, apabila permohonan diajukan melalui kuasa
3) Melampirkan bukti pembayaran biaya
4) Melengkapi dan melampirkan buku persyaratan yang terdiri atas:
a. Nama Indikasi Geografis yang dimohonkan pendaftarannya;
b. Nama barang yang dilindungi oleh Indikasi Geografis;
c. Uraian mengenai karakteristik dan kualitas yang membedakan barang tertentu dengan barang lain yang memiliki kategori sama, dan menjelaskan tentang hubungannya
dengan daerah tempat barang tersebut dihasilkan;
d. Uraian mengenai lingkungan geografis serta faktor alam dan faktor manusia yang merupakan satu kesatuan dalam memberikan pengaruh terhadap kualitas atau
karakteristik dari barang yang dihasilkan;
e. Uraian tentang batas-batas daerah dan/atau peta wilayah yang dicakup oleh Indikasi Geografis;
f. Uraian mengenai sejarah dan tradisi yang berhubungan dengan pemakaian Indikasi Geografis untuk menandai barang yang dihasilkan di daerah tersebut, termasuk
pengakuan dari masyarakat mengenai Indikasi Geografis tersebut;
g. Uraian yang menjelaskan tentang proses produksi, proses pengolahan dan proses pembuatan yang digunakan sehingga memungkinkan setiap produsen di daerah tersebut
untuk memproduksi, mengolah, atau membuat barang terkait;
h. Uraian mengenai metode yang digunakan untuk menguji kualitas barang yang dihasilkan; dan
i. Label yang digunakan pada barang dan memuat Indikasi Geografis. Uraian tentang batas-batas daerah dan/atau peta wilayah yang dicakup
Fakultas Hukum – UNISAN 201
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. II, No. 2 Maret 2015
2. Tahap Ke Dua: Pemerikasaan adminisitratif Pada tahap ini Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia melakukan pemeriksaan secara cermat dari permohonan Indikasi Geografis selama 14 (empat belas) hari, dan apabila terdapat adanya kekurangan persyaratan, pemeriksa dapat mengkomunikasikan hal ini kepada pemohon untuk dilengkapi dalam tenggang waktu
3 (tiga) bulan dan apabila tidak dapat dilengkapi maka permohonan dianggap ditarik kembali dan diumumkan dalam berita resmi Indikasi Geografis.
3. Tahap Ke Tiga: Pemeriksaan Substantif Pada tahap ini pemeriksaan substantif dilakukan oleh Tim Ahli Indikasi Geografis apabila telah
memenuhi pemeriksaan Administratif. Tim Ahli yang terdiri dari para pemeriksa yang ahli pada bidangnya memeriksa isi dari pernyataan-pernyataan yang telah diajukan untuk memastikan kebenarannya dengan pengoreksian, setelah dinyatakan memadai maka akan dikeluarkan laporan pemeriksaan yang usulannya akan disampaikan kepada Direktorat Jenderal.
Jika permohonan ditolak, maka pemohon dapat mengajukan tanggapan terhadap penolakan tersebut, pemeriksaan substansi dilaksanakan paling lama 2 (dua) tahun.
4. Tahap Ke Empat: Pengumuman Dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari sejak tanggal disetujuinya Indikasi
Geografis untuk didaftar maupun ditolak, Direktorat Jenderal mengumumkan keputusan tersebut dalam Berita Resmi Indikasi Geografis selam 3 (tiga) bulan. Pengumuman akan memuat hal-hal antara lain: nomor permohonan, nama lengkap dan alamat pemohon, nama dan alamat kuasanya, tanggal penerimaan, Indikasi Geografis dimaksud, dan abstrak dari buku persyaratan.
5. Tahap Ke Lima: Oposisi Pendaftaran Setiap orang dapat mengajukan oposisi yang dapat dilihat dengan adanya persetujuan
pendaftaran Indikasi Geografis yang tercantum pada berita resmi Indikasi Geografis. Oposisi diajukan dengan membuat keberatan disertai dengan alasan-alasannya dan pihak pendaftar / pemohon Indikasi Geografis dapat mengajukan sanggahan atas keberatan tersebut.
6. Tahap Ke Enam: Pendaftaran Terhadap permohonan Indikasi Geografis yang disetujui dan tidak ada oposisi (keberatan) atau
sudah adanya keputusan final atas oposisi untuk tetap didaftar. Tanggal pendaftaran sama dengan tanggal ketika diajukan aplikasi. Direktorat Jenderal kemudian memberikan sertifikat pendaftaran Indikasi Geografis, sertifikat dapat diperbaiki apabila terjadi kekeliruan.
7. Tahap Ke Tujuh: Pengawasan terhadap pemakaian Indikasi Geografis Pada tahap ini Tim Ahli Indikasi Geografis mengorganisasikan dan memonitor pengawasan
terhadap pemakaian Indikasi Geografis di wilayah Republik Indonesia. Dalam hal ini berarti bahwa Indikasi Geografis yang dipakai tetap sesuai sebagaimana buku persyaratan yang diajukan.
8. Tahap Ke Delapan: Banding Permohonan banding dapat diajukan kepada Komisi Banding Merek oleh pemohon atau kuasanya terhadap penolakan permohonan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak putusan penolakan
diterima dengan membayar biaya yang telah ditetapkan.
202 Fakultas Hukum - UNISAN
Perlindungan Hukum Nasional
Perlindungan Indikasi Geografis Kopi Toraja bertujuan sebagai perlindungan terhadap produk, mutu dari produk, nilai tambah dari suatu produk dan juga sebagai pengembangan daerah khususnya pedesaan. Karena Indikasi Geografis merupakan salah satu komponen HKI yang penting dalam kegiatan perdagangan, khususnya memberikan perlindungan terhadap komoditas perdagangan yang terkait erat dengan nama atau tempat asal produk / barang.
B.3 Perlindungan Indikasi Geografis Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2009 tentang Perlindungan Wilayah Geografis Penghasil Produk Perkebunan Spesifik Lokasi (WGPPPSL)
Perlindungan Indikasi Geografis dalam Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2009 adalah turunan dari Pasal 24 ayat (4) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai wilayah geografis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) meliputi jenis tanaman perkebunan dan hubungannya dengan cita rasa spesifik hasil tanaman tersebut serta tata cara penetapan batas wilayah ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
Pada Pasal 24 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Perkebunan sangat melindungi wilayah geografis yang menghasilkan produk perkebunan yang bersifat spesifik dan melindungi kelestariannya melalui indikasi Geografis. Wilayah geografis yang telah ditetapkan untuk dilindungi kelestariannya dengan Indikasi Geografis dilarang untuk dialihfungsikan. Dialihfungsikan dalam pengertiannya bahwa wilayah yang telah dilindungi kelestariannya sebagai produk Indikasi Geografis (contoh Kopi Toraja) tidak dapat lagi dialihfungsikan menjadi produk lain selain Kopi Toraja.
Wilayah Geografis Penghasil Produk Perkebunan Spesifik Lokasi (WGPPPSL) dalam PP Nomor 31 Tahun 2009 merupakan daerah asal suatu produk perkebunan yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam dan/atau faktor manusia memberi indikasi tertentu yang tidak dapat dihasilkan wilayah lain (Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2009 tentang Perlindungan Wilayah Geografis Penghasil Produk Perkebunan Spesifik Lokasi). Dengan kata lain bahwa produk yang telah ditetapkan sebagai WGPPPSL tidak mempunyai kesamaan cita rasa dengan produk daerah lain.
Tujuan diselenggarakannya perlindungan WGPPPSL adalah menjaga kelestarian kawasan dan produk-produk budidaya suatu wilayah geografis yang memiliki mutu dan kekhasan cita rasa serta reputasi atau ketenaran yang baik, mempertahankan mutu dan cita rasa spesifik serta meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk budidaya, meningkatkan pendapatan masyarakat pada wilayah geografis penghasil produk budidaya spesifik, dan mengoptimalkan pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan (Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2009 tentang Perlindungan Wilayah Geografis Penghasil Produk Perkebunan Spesifik Lokasi).
Produk perkebunan yang dilindungi kelestariannya dapat berupa tanaman kopi, tembakau, kayu manis, lada, kakao, dan tanaman teh. Selain dari produk perkebunan tersebut maka tidak dapat dilindungi kelestariannya kecuali ditetapkan oleh menteri. Perlindungan WGPPPSL diberikan dalam bentuk penetapan WGPPPSL oleh bupati / walikota, yang diajukan oleh pemohon (pelaku usaha perkebunan, departemen / lembaga pemerintah baik provinsi maupun kabupaten / kota) dengan dilengkapi buku peta batas dan buku spesifikasi WGPPPSL yang telah disahkan oleh Menteri Pertanian.
Fakultas Hukum – UNISAN 203
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. II, No. 2 Maret 2015
Penetapan WGPPPSL diberikan apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Produk perkebunan yang dihasilkan mempunyai mutu yang khas, termasuk cita rasa spesifik,
2. Produk perkebunan mempunyai reputasi atau ketenaran baik lokal, nasional maupun internasional yang tidak dapat diperoleh pada wilayah lainnya,
3. Tanamannya diusahakan secara baik oleh pelaku usaha perkebunan Penetapan WGPPPSL yang diberikan oleh bupati / walikota dapat digunakan sebagai
rekomendasi untuk mendapatkan perlindungan Indikasi Geografis. Menurut penulis untuk mengembangkan perlindungan WGPPPSL berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2009, perlu adanya kerjasama antara Kementerian Pertanian dan Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Penulis juga menyimpulkan bahwa ada 2 (dua) bentuk perlindungan dalam WGPPPSL yaitu:
1. Penetapan WGPPPSL untuk dapat digunakan sebagai rekomendasi dalam mendapatkan perlindungan Indikasi Geografis, dan
2. Penetapan WGPPPSL sebagai perlindungan dalam hal Pelarangan terhadap alih fungsi lahan yang telah ditetapkan sebagai wilayah yang dilindungi kelestariannya dan telah
ditetapkan sebagai Indikasi Geografis.
III. KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat ditarik dari kedua pokok permasalahan adalah :
1. Urgensi perlindungan hukum nasional terhadap Produk Kopi Toraja dikarenakan keterkenalan Kopi Toraja dimanfaatkan oleh perusahaan Key Coffee Inc. dari Jepang
dengan mendaftarkan Merek “Toarco Toraja” dengan nomor pendaftaran 75884722 di Jepang Pada tanggal 14 Januari 1977. Merek tersebut selain menampilkan kata “Toraja”
juga rumah adat Toraja sebagai latar merek. Hal ini terjadi karena tidak adanya undang- undang nasional yang mengatur tentang indikasi geografis dan indikasi asal pada saat didaftarkannya merek kopi Toraja oleh perusahaan Key Coffee Inc. pada tahun 1977 di Jepang. Tapi sebenarnya kopi Toraja dapat dilindungi sebagai Indikasi Asal melalui perjanjian-Perjanjian Internasional dan hukum nasional yang lahir sebelum dan sesudah adanya pendaftaran merek Kopi Toraja oleh perusahaan Key Coffee Inc. pada tahun 1977 di Jepang, oleh karena itu Indonesia harus sesegara mungkin aktif dalam melindungi setiap produk-produk yang dimilikinya, salah satunya adalah Produk Kopi Toraja yang merupakan produk indikasi asal milik Indonesia.
2. Perlindungan hukum terhadap merek kopi Toraja sebagai produk indikasi asal milik Tana Toraja dan Toraja Utara melalui instrumen hukum nasional secara garis besar mengatur
perlindungan dalam hal tata cara pendaftaran produk Indikasi Asal menjadi produk Indikasi Geografis, agar produk tersebut memiliki kekuatan perlindungan hukum yang kuat, sehingga tidak dimanfaatkan begitu saja oleh negara lain yang membuat Indonesia rugi secara materil dan non materil.
204 Fakultas Hukum - UNISAN
Perlindungan Hukum Nasional
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Zen Umar Purba, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, Bandung: Alumni, 2011. Adrian Sutedi, Hak Atas Kekayaan Intelektual, Jakarta: Sinar Grafika, 2009. Anggaran Dasar Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG) Kopi Arabika Toraja Birkah Latif dan Kadarudin “1”, Pengantar Hukum Internasional. Makassar: Pustaka Pena Press,
2013. _________________________ “2”, Hukum Perjanjian Internasional. Makassar: Pustaka Pena Press,
2013. Buku Permohonan Pendaftaran Indikasi Geografis Kopi Arabika Toraja, Tahun 2012 http://www.scribd.com. Diakses pada tanggal 15 Maret 2014 http://www.torajahighland.com. Diakses pada tanggal 15 Maret 2014 Ibnu Munzir, Perlindungan Hukum Terhadap Kopi Toraja Sebagai Produk Indikasi Asal Milik Tana
Toraja Dan Toraja Utara Yang Terdaftar Sebagai Merek Dagang Di Indonesia Dan Jepang, Tesis Tidak Di Publikasikan. Makassar: Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin, 2013.
Iswi Hariyani, Prosedur Mengurus HKI (Hak Kekayaan Intelektual) Yang Benar: Membahas Secara Runtut Dan Detail Tentang Tata Cara Mengurus Hak Kekayaan Intelektual. Jakarta: Pustaka Yustisia, 2010.
Miranda Risang Ayu, Memperbincangkan Hak Kekayaan Intelektual: (Indikasi Geografis), Bandung, PT. Alumni, 2006. O.K. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual: (Inttellectual Property Rights), Jakarta; Raja Grafindo Persada, 2010. Rachmadi Usman, Hukum Hak Kekayaan Intellektual, Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia , Bandung: P.T Alumni, 2003. Tomi Suryo Utomo, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Era Global: Sebuah Kajian Kontemporer, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010. www.google.com apksa, wadah diskusi pengetahuan kekayaan alam kaltim, Diakses pada tanggal 15 Maret 2014
Fakultas Hukum – UNISAN 205
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. II, No. 2 Maret 2015
206 Fakultas Hukum - UNISAN
Hukum Keperawatan
KORELASI HUKUM ANTARA TUJUAN PENGATURAN DENGAN ASAS PRAKTIK DALAM UNDANG-UNDANG KEPERAWATAN
Nilawati Adam [email protected]
Abstract
Goal setting and practice principles of nursing has a legal relationship that is mutually crochet hooks in the Republic of Indonesia Law Number 38 Year 2014 on nursing. The legal relationship occurs in order to direct a person who works as a nurse into a professional medical personnel and have high integrity, as a nurse in addition to be responsible to the patients under her care, is also responsible for the exercise of the profession, especially to God as the giver of rights, including the right to adequate health care to all humanity. Keyword : legal relation, nurse, goal setting, practice principle
I. PENDAHULUAN
Hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik merupakan salah satu hak (hak asasi manusia) yang diatur dalam di dalam Pasal 12 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (1966), kovenan internasional tersebutpun telah di ratifikasi (di sahkan) oleh Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 2005 dengan di undangkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights . Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya ini merupakan turunan dari Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) atau Universal Declaration of Human Rights yang di deklarasikan pada tanggal 10 Desember 1948, karena sifatnya yang tidak mengikat (dalam hukum internasional di sebut soft law) karena dalam bentuk deklarasi (yang tidak memberikan sarana untuk di ratifikasi) sehingga dibuatlah aturan turunan yang mengikat (dalam hukum internasional di sebut hard law) karena dalam bentuk kovenan (memberikan sarana untuk di ratifikasi) agar negara dapat tunduk dan melaksanakan atau mengimplementasikan seluruh hak asasi yang termasuk ke dalam hak asasi manusia.
Hak asasi manusia merupakan pemberian dari Tuhan Yang Maha Esa kepada setiap manusia di dunia, sehingga hak asasi tersebut tidak dapat di rampas, di hilangkan atau di subtitusi oleh sesama manusia dan bahkan oleh negara sekalipun. Hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik bagi semua warga negara harus di penuhi oleh negara sebagai konsekuensi atas kewenangan yang di milikinya dan jaminan hak asasi yang dimiliki oleh warganegaranya. Oleh karena itu negara harus selalu hadir (aktif) dalam memenuhi hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya warga negaranya, hal tersebut biasa disebut oleh para pakar hak asasi manusia sebagai (positif rights).
Kesehatan sebagai hak asasi manusia yang diakui secara konstitusional dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai hak warga negara dan tanggung jawab negara.
Fakultas Hukum – UNISAN 207
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. II, No. 2 Maret 2015
Hak asasi bidang kesehatan ini harus diwujudkan melalui pembangunan kesehatan yang diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan individu, keluarga, dan masyarakat dengan menanamkan kebiasaan hidup sehat. Penyelenggaraan pembangunan kesehatan diwujudkan melalui pemberian pelayanan kesehatan yang didukung oleh sumber daya kesehatan, baik tenaga kesehatan maupun tenaga non- kesehatan. Perawat dalam melaksanakan pelayanan kesehatan berperan sebagai penyelenggara Praktik Keperawatan, pemberi Asuhan Keperawatan, penyuluh dan konselor bagi Klien, pengelola Pelayanan Keperawatan, dan peneliti Keperawatan. Pelayanan Keperawatan yang diberikan oleh Perawat didasarkan pada pengetahuan dan kompetensi di bidang ilmu keperawatan yang dikembangkan sesuai dengan kebutuhan Klien, perkembangan ilmu pengetahuan, dan tuntutan globalisasi. Pelayanan kesehatan tersebut termasuk Pelayanan Keperawatan yang dilakukan secara bertanggung jawab, akuntabel, bermutu, dan aman oleh Perawat yang telah mendapatkan registrasi dan izin praktik. Praktik keperawatan sebagai wujud nyata dari Pelayanan Keperawatan dilaksanakan secara mandiri dengan berdasarkan pelimpahan wewenang, penugasan dalam keadaan keterbatasan tertentu, penugasan dalam keadaan darurat, ataupun kolaborasi (Penjelasan Umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
38 Tahun 2014 tentang Keperawatan). Untuk menjamin pelindungan terhadap masyarakat sebagai penerima Pelayanan Keperawatan dan untuk menjamin pelindungan terhadap Perawat sebagai pemberi pelayanan keperawatan, diperlukan pengaturan mengenai keperawatan secara komprehensif yang diatur dalam undang-undang. Selain sebagai kebutuhan hukum bagi perawat, pengaturan ini juga merupakan pelaksanaan dari mutual recognition agreement mengenai pelayanan jasa Keperawatan di kawasan Asia Tenggara. Ini memberikan peluang bagi perawat warga negara asing masuk ke Indonesia dan perawat Indonesia bekerja di luar negeri untuk ikut serta memberikan pelayanan kesehatan melalui Praktik Keperawatan. Ini dilakukan sebagai pemenuhan kebutuhan Perawat tingkat dunia, sehingga sistem keperawatan Indonesia dapat dikenal oleh negara tujuan dan kondisi ini sekaligus merupakan bagian dari pencitraan dan dapat mengangkat harkat martabat bangsa Indonesia di bidang kesehatan. Atas dasar itu, maka dibentuk Undang-Undang tentang Keperawatan untuk memberikan kepastian hukum dan pelindungan hukum serta untuk meningkatkan, mengarahkan, dan menata berbagai perangkat hukum yang mengatur penyelenggaraan Keperawatan dan Praktik Keperawatan yang bertanggung jawab, akuntabel, bermutu, dan aman sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Undang-Undang ini memuat pengaturan mengenai jenis perawat, pendidikan tinggi keperawatan, registrasi, izin praktik, dan registrasi ulang, praktik keperawatan, hak dan kewajiban bagi perawat dan klien, kelembagaan yang terkait dengan perawat (seperti organisasi profesi, kolegium, dan konsil), pengembangan, pembinaan, dan pengawasan bagi perawat, serta sanksi administratif (Penjelasan Umum Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan).
Di undangkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan, maka eksistensi salah satu profesi medis yang ada di Indonesia yakni Perawat telah mendapatkan legalitas hukum yang kuat sebagaimana profesi pendahulunya yakni profesi dokter. Hal ini (dengan diundangkannya undang-undang perawat) tentu merupakan hal yang menggembirakan bagi seluruh insan medis utamanya para perawat di seluruh Indonesia. Sudah sangat wajar memang jika profesi perawat mendapatkan legalitas hukum yang kuat sebagaimana profesi-profesi lain baik profesi
208 Fakultas Hukum - UNISAN
Hukum Keperawatan
medis (seperti kedokteran) dan profesi non medis (seperti advokat, hakim, jaksa, dan polisi), walaupun sebenarnya profesi medis seperti bidan juga harus mendapat perhatian lebih dari pemerintah dan juga utamanya bagi pembuat undang-undang (Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia) agar undang- undang tentang Kebidanan juga dapat di realisasikan, namun untuk menjaga konsistensi penulisan, penulis tidak terlalu jauh membahas mengenai hal tersebut.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan memang memiliki dua konsekuensi logis. Konsekuensi yang pertama, yakni seorang perawat sudah mendapatkan pengakuan secara yuridis oleh negara sebagai salah satu profesi medis di Indonesia dan memiliki landasan hukum yang kuat sehingga dapat menjalankan praktik medis sesuai dengan kapasitas dan keilmuannya. Konsekuensi yang kedua, yakni seorang perawat harus lebih professional dalam menjalankan fungsi dan kerja profesinya, karena ketidak profesionalan, maka seorang perawat dapat berhadapan dengan persoalan hukum walaupun harus melewati tahap-tahap tertentu. Menurut Sri Sumiati (2009:11 dalam Kadarudin dan Nilawati Adam, 2012:74-75) berlakunya Undang-Undang 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menggantikan undang-undang sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992, lebih komprehensif mengatur tentang adanya peluang bagi pengguna jasa atau barang untuk mengajukan gugatan / tuntutan hukum terhadap pelaku usaha apabila terjadi konflik antara pelanggan dengan pelaku usaha yang dianggap telah melanggar hak-haknya, terlambat melakukan / tidak melakukan / terlambat melakukan sesuatu yang menimbulkan kerugian bagi pengguna jasa / barang, baik kerugian harta benda atau cedera atau bisa juga kematian. Hal Ini memberikan arti bahwa pasien selaku konsumen jasa pelayanan kesehatan dapat menuntut / menggugat rumah sakit, dokter atau tenaga kesehatan lainnya jika terjadi konflik. Pada era global dewasa ini, tenaga medis merupakan salah satu profesi yang mendapatkan sorotan masyarakat, karena sifat pengabdiannya kepada masyarakat yang sangat kompleks.
Pada umumnya pasien yang datang di unit perawatan dalam keadaan mendadak dan tidak direncanakan. Hal ini menyebabkan keluarga dari pasien datang dengan wajah yang sarat dengan bermacam-macam stressor yaitu ketakutan akan kematian, ketidakpastian hasil, kekhawatiran akan biaya perawatan, situasi dan keputusan antara hidup dan mati, dan berbagai macam musibah yang kemungkinan akan terjadi (Nilawati Adam, 2012:93). Sehingga dengan demikian, maka pasien dan keluarga pasien menyerahkan sepenuhnya kepada para medis (termasuk perawat) untuk mengambil tindakan sesuai dengan keilmuan yang dimilikinya, jadi perawat di tuntut dalam menjalankan profesinya harus memiliki integritas yang tinggi dan memiliki rasa tanggung jawab moral, etik, dan keilmuan agar tindakannya tersebut membawa kebaikan bagi pasien dan keluarga pasien yang datang untuk menggunakan jasanya. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan mensyaratkan agar para perawat dalam menjalankan profesinya harus bersifat professional dan penuh rasa tanggung jawab, bukan saja terhadap dirinya (agar tidak menimbulkan persoalan hukum di masa mendatang) tetapi juga terhadap pasien (yang menggunakan jasa profesinya) dan keluarga pasien (yang sangat berharap kepada perawat agar memberikan tindakan yang terbaik sebagaimana disiplin keilmuan yang seorang perawat miliki), namun lebih dari itu semua walaupun sebenarnya tidak diatur di dalam undang-undang, seorang perawat juga memiliki tanggung jawab
Fakultas Hukum – UNISAN 209
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. II, No. 2 Maret 2015
untuk memenuhi hak asasi manusia pasien yang menggunakan jasanya di hadapan Tuhan Yang Maha Esa.
Keperawatan, perawat, pelayanan keperawatan, praktik keperawatan, dan asuhan keperawatan adalah hal-hal yang sangat urgent terkait dengan isu keperawatan, kesemuanya memiliki hubungan yang saling kait-mengait antara satu sama lain, dan hal tersebut telah diamini dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan. Keperawatan adalah kegiatan pemberian asuhan kepada individu, keluarga, kelompok, atau masyarakat, baik dalam keadaan sakit maupun sehat (Pasal 1 angka 1), perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan tinggi keperawatan, baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 1 angka 2), pelayanan keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu dan kiat Keperawatan ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok, atau masyarakat, baik sehat maupun sakit (Pasal 1 angka 3), praktik keperawatan adalah pelayanan yang diselenggarakan oleh Perawat dalam bentuk asuhan keperawatan (Pasal 1 angka 4), dan asuhan keperawatan adalah rangkaian interaksi Perawat dengan Klien dan lingkungannya untuk mencapai
tujuan pemenuhan kebutuhan dan kemandirian Klien dalam merawat dirinya (Pasal 1 angka 5). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan menuntut seorang perawat memiliki integritas yang tinggi serta bersungguh-sungguh dalam memberikan tindakan kepada penerima jasa profesinya sebagai bagian dari tanggung jawab profesi yang ia miliki, oleh karena itu tujuan pengaturan undang-undang keperawatan dengan asas di dalam menjalankan praktik keperawatan memiliki hubungan hukum yang sangat erat kaitannya dengan profesi perawat dalam menjalankan praktik keperawatan. Berdasarkan pemaparan tersebut diatas, maka permasalahan yang hendak diuraikan dalam tulisan ini yaitu Bagaimanakah perbedaan kedudukan perawat sebelum dan sesudah di undangkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan? dan Bagaimanakah hubungan hukum yang tercipta antara tujuan pengaturan undang- undang keperawatan dengan asas di dalam menjalankan praktik keperawatan di dalam Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan?
II. PEMBAHASAN
A. Kedudukan Perawat Sebelum dan Sesudah di Undangkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan Dokter (baik dokter umum, spesialis, super spesialis, dan dokter gigi), perawat, dan bidan merupakan tiga profesi dibidang medis yang saling bahu-membahu menjalankan praktik medis dengan memberikan pelayanan kesehatan bagi seluruh masyarakat di Indonesia. Dari sejumlah tenaga medis tersebut, menurut Kadarudin dan Nilawati Adam (2012:75) perawat atau tenaga keperawatan merupakan salah satu unsur tenaga medis yang berperan besar dalam melayani kesehatan di berbagai lapisan masyarakat, baik tingkat atas, menengah maupun masyarakat tingkat bawah. Melihat besarnya peranan perawat tersebut, maka haruslah ada pembatasan yang jelas mengenai hak dan kewajiban dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan perawat tersebut. Maka, dibuatlah Kode Etik Keperawatan, dimana kode etik tersebut merupakan suatu pernyataan kemprehensif dan profesi yang memberikan tuntutan bagi anggota untuk melaksanakan praktek profesinya, baik yang berhubungan dengan klien
210 Fakultas Hukum - UNISAN
Hukum Keperawatan
sebagai individu, keluarga, masyarakat, maupun terhadap teman sejawat, profesi dan diri sendiri, sebagai kontrol kualitas dalam praktek keperawatan.
Sebelum di undangkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan, kode etik perawat inilah yang menjadi satu-satunya dasar bagi perawat (khusus perawat) dalam mengukur tindakan keprofesionalan terhadap pasien-pasien yang menggunakan jasanya. Sedangkan dalam melakukan praktik keperawatan, seorang perawat berpedoman pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Permenkes RI) Nomor HK.02.02 / MENKES / 148 / I / 2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Perawat, yang secara keseluruhan mengenai peraturan praktik keperawatan terurai dalam VI Bab (16 Pasal) sampai dengan Pasal 20, yang garis besarnya adalah : perawat dalam menjalankan prakteknya dilaksanakan pada fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama, tingkat kedua dan tingkat ketiga, yang ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok dan masyarakat melalui kegiatan (a) pelaksanaan asuhan keperawatan, (b) pelaksanaan upaya promotif, preventif, pemulihan dan pemberdayaan masyarakat, serta (c) pelaksanaan tindakan keperawatan komplementer, maka perawat harus senantiasa berpegang pada kode etik perawat yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 (Kadarudin dan Nilawati Adam, 2012:76).
Padahal sejak dahulu secara tersirat maupun tersurat pengaturan mengenai pengakuan perawat sebagai salah satu profesi medis yang mandiri telah ada, aturan yang mengatur tentang kesehatan (termasuk perawat) di dunia internasional adalah:
(1) Sumpah Hippocrates (460-377 S.M.); (2) Deklarasi Jenewa / World Medical Association (WMA) (1948); (3) Declaration of Human Rights PBB (1968); (4) International Code of Medical Ethics / WMA (1949, 1968); (5) Konstitusi WHO (Jenewa, 1976); (6) Deklarasi Helsinki dari WMA. Sedangkan aturan yang mengatur tentang kesehatan (termasuk perawat) di Indonesia secara
garis besarnya masih mengacu kepada aturan umum yaitu: (1) Undang-Undang Dasar RI 1945 (Pasal 5);
(2) Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan; (3) Undang-Undang RI Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit; (4) Peraturan Pemerintah RI Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan; (5) Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 439 / Menkes / Per / VI / 2009 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Departemen Kesehatan; (6) Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 161 / Menkes / Per / I / 2010 tentang Registrasi
Tenaga Kesehatan. Bahkan aturan yang secara khusus mengatur tentang keperawatan terdapat pada : (1) Kode Etik Keperawatan yang dimiliki oleh organisasi perawat (PPNI); (2) Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor HK.02.02 / Menkes / 148 / I / 2010 tentang Izin
dan Penyelenggaraan Praktik Perawat; dan terakhir (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan.
Fakultas Hukum – UNISAN 211
Pada hakikatnya dokter, perawat, dan bidan merupakan profesi yang sama-sama menjalankan praktik medis, sehingga jika distrukturkan maka sebenarnya posisi ketiganya adalah sama, yang membedakannya hanyalah disiplin keilmuannya saja, karena disiplin keilmuannya yang berbeda maka kewenangan untuk menangani pasien juga berbeda. Namun stigma yang terbangun saat ini, bahkan kemunkinan jauh-jauh hari sebelumnya adalah dokter merupakan atasan dari perawat dan bidan, celakanya hal ini di amini oleh masyarakat awam, dan di dalam praktiknya seorang dokter juga lupa atau memang tidak mengetahui bahwa kedudukan mereka sama saja dengan perawat dan bidan, hanya peran saja yang berbeda. Hal ini (stigma yang terbangun) memang tidak bisa disalahkan sepenuhnya, karena memang jika menganalisis dengan menggunakan pendekatan sejarah, profesi dokter sudah terlebih dahulu ada dibandingkan profesi perawat dan bidan, hal tersebut senada juga jika menganalisis dengan menggunakan pendekatan normatif yuridis, karena undang-undang terkait dengan profesi dokter sudah ada di negeri ini, hal ini sangat berbeda dengan profesi medis lain seperti profesi perawat dan profesi bidan yang hingga pertengahan tahun 2014 belum juga di sahkan padahal rancangan undang-undangnya sejak jauh-jauh hari telah ada. Namun hal berbeda bisa kita dapatkan jika kita menganalisis kedudukan profesi dokter, profesi perawat, dan profesi bidan menggunakan pendekatan struktural, dimana ketiganya memiliki kedudukan yang sama dengan peran yang berbeda sesuai dengan disiplin keilmuan yang dimiliki. Namun tak bisa dipungkiri bahwa kenyataan yang ada (sebelum diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan) profesi perawat dan profesi bidan tidak bisa disejajarkan dengan profesi dokter.
Kondisi tersebut berpengaruh pada kesejahteraan dan hak-hak perawat belum sepenuhnya diperhatikan, sehingga sering timbul tuntutan hukum yang ditujukan kepada perawat. Tuntutan hukum tersebut lahir karena perawat melakukan asuhan keperawatan di luar wewenangnya Tuntutan hukum tersebut disebabkan pengaturan kewenangan dan pelimpahan wewenang yang tidak jelas serta tidak ada perlindungan hukum bagi perawat dalam menjalankan profesinya sehingga tindakan yang dilakukan oleh perawat dapat dikategorikan illegal termasuk kewajiban perawat menolong pasien gawat darurat masih menimbulkan kontroversi. Contoh permasalahan yang dihadapi perawat yaitu kasus perawat Misran. Kasus Misran berawal dari putusan Pengadilan Negeri Tenggarong yang dikuatkan dengan putusan banding Pengadilan Tinggi Samarinda berupa vonis tiga bulan penjara subsider denda sebesar Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah), yang diputuskan berdasarkan Pasal 82 ayat (1) huruf d UU Kesehatan juncto Pasal 63 ayat (1) UU Kesehatan 1992 karena memberikan pengobatan pada masyarakat di daerah yang tidak ada dokter, apoteker, dan apotik di luar kewenangannya, sementara Misran adalah petugas negara yang ditunjuk sebagai penanggung jawab pelayanan kesehatan (sebagai Kepala Puskesmas Pembantu yang telah bertugas selama 18 tahun tanpa masalah dalam melayani masyarakat (Samuel Febrianto, 2011 dalam Shanti Dwi Kartika, 2012). Selain itu, terhadap masalah tersebut diajukan judicial review terhadap UU Kesehatan dan dikabulkan sebagian oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 12/PUU VIII/2010 yang memutuskan bahwa Penjelasan Pasal 108 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan bertentangan dengan UUD RI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat (Shanti Dwi Kartika, 2012).
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. II, No. 2 Maret 2015
212 Fakultas Hukum - UNISAN
Hukum Keperawatan
Perawat mempunyai fungsi yang unik yaitu membantu individu agar dapat melaksanakan aktivitas sehari-hari secara mandiri dengan menggunakan kekuatan, kemauan, atau pengetahuan yang dimiliki (Cecep Triwibowo, 2010:13 dalam Shanti Dwi Kartika, 2012). Perawat merupakan salah satu tenaga kesehatan yang menjadi ujung tombak pembangunan kesehatan di Indonesia. Perawat memberikan sumbangsih bagi dunia kesehatan sebanyak (60%) dan berada di garis terdepan dalam pemberian pelayanan kesehatan selama 24 jam secara terus menerus kepada masyarakat. Namun dewasa ini, kinerja perawat rupanya masih di pandang sebelah mata oleh pemerintah. Perjuangan panjang perawat Indonesia untuk mendapatkan payung hukum lewat undang-undang keperawatan sebagaimana lazimnya negara lain terkesan terus dihambat (Endah Nurfitriani, 2011), dan akhirnya barulah pada 17 Oktober 2014 usaha perawat Indonesia untuk mendapatkan payung hukum lewat undang-undang keperawatan membuahkan hasil dengan di undangkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan.
Setelah diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan, maka secara yuridis profesi perawat sudah dapat disejajarkan dengan profesi dokter. Praktik keperawatan yang dilakukan oleh perawat sudah memiliki legalitas hukum yang kuat, sehingga perawat di dalam menjalankan profesinya tidak lagi perlu takut karena kewenangan perawat dan dokter masing-masing sudah diatur jelas di dalam undang-undang yang terkait dengan profesi masing-masing. Namun yang perlu diingat bahwa jangan sampai perawat bereforia yang berlebihan atas di undangkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan, karena undang-undang tersebut sangat menuntut keprofesionalan seorang perawat, perawat dituntut bertanggung jawab dan memiliki kepribadian yang berintegritas dalam menjalankan profesinya terhadap para pasien yang menggunakan jasanya, terelebih lagi keluarga pasien yang sangat berharap banyak bagi kesembuhan pasien tersebut, sehingga menuntut para perawat untuk bekerja ekstra hati- hati dan maksimal dalam melakukan tindakan medis.
Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan professional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan. Didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat baik sehat maupun sakit yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia (Huston C.J., 2000 dalam Solihin Niar Ramadhan dkk, 2014:6). Praktek keperawatan adalah tindakan mandiri perawat melalui kolaborasi dengan sistem klien dan tenaga kesehatan lain dalam memberikan asuhan keperawatan sesuai lingkup wewenang dan tanggung jawabnya pada berbagai tatanan pelayanan, termasuk praktik keperawatan individual dan berkelompok (Kozier, 2000 dalam Solihin Niar Ramadhan dkk, 2014:6). Praktek. Oleh sebab itu, maka seorang perawat yang menjalankan profesi perawat dengan melakukan tindakan medis tidak dapat bekerja sendiri, karena ia memerlukan seseorang yang memiliki disiplin ilmu lain dalam membantu pekerjaannya.
Semakin meningkatnya pendidikan dan kesadaran masyarat sebagai penerima jasa pelayanan keperawatan memberikan kepastian hukum pada perawat, pasien dan sarana kesehatan. Kepastian hukum berlaku untuk pasien dan perawat, sesuai dengan hak dan kewajiban masing-masing, dimana hak dan kewajiban perawat harus dilaksanakan secara seimbang (Petunjuk Pelaksanaan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1239 Tahun 2001 tentang Registrasi dan Praktik Perawat dalam Solihin Niar Ramadhan dkk, 2014:5), hal ini menimbulkan konsekuensi bahwa
Fakultas Hukum – UNISAN 213
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. II, No. 2 Maret 2015
kepastian hukum sebagaimana yang tercantum dalam Petunjuk Pelaksanaan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1239 Tahun 2001 tentang Registrasi dan Praktik Perawat baru dapat berlaku jika perawat menjalankan profesinya sesuai dengan porsi hak dan kewajiban yang dimilikinya.
Jika praktik keperawatan dilihat sebagai praktik professional maka harus ada otoritas atau kewenangan, ada kejelasan batasan, siapa melakukan apa. Karena diberi kewenangan maka perawat juga dapat digugat, perawat harus bertanggung jawab terhadap setiap keputusan dan tindakan yang dilakukan. Keluarnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2001 tentang Tenaga Kesehatan, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1239 Tahun 2001 tentang Registrasi dan Praktik Perawat, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 148 Tahun 2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Perawat, serta Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1769 Tahun 2011 tentang Registrasi Tenaga Kesehatan, lebih mengukuhkan perawat sebagai suatu profesi di Indonesia. dikeluarkannya Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 148 Tahun 2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Perawat serta Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan tersebut lebih menjelaskan lagi batasan kewenangan profesi perawat, sehingga perawat mempunya legitimasi dalam menjalankan praktik profesinya (Cecep Triwibowo, 2010:56 dalam Solihin Niar Ramadhan dkk, 2014:4). Oleh karena itu, dari sisi ini (yuridis) sebenarnya perawat telah memiliki kedudukan hukum yang kuat sebagai salah satu profesi di bidang medis di Indonesia.
Melihat pemaparan tersebut, maka sangat jelas berbeda kedudukan hukum seorang perawat sebelum dan sesudah berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan. Perbedaan yang sangat mencolok adalah pada sisi yuridis, tindakan seorang perawat belum jelas batasan kewenangannya, dan seorang perawat belum memiliki legitimasi dalam menjalankan praktik profesinya, sedangkan setelah berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan kedua hal tersebut telah terjawab, yakni batas kewenangan seorang perawat sangat jelas secara yuridis, dan seorang perawat telah memiliki legitimasi hukum dalam menjalankan praktik profesinya.
B. Hubungan Hukum Antara Tujuan Pengaturan dengan Asas Praktik di Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan. Kesehatan merupakan hak asasi manusia serta modal pembangunan untuk keberlangsungan hidup suatu negara (Karna Wijaya, 2007:44 dalam Shanti Dwi Kartika, 2012). Kebangkitan kesadaran akan hak-hak asasi manusia khususnya dalam bidang kesehatan dan semakin tingginya pengetahuan pasien akan berbagai masalah kesehatan, menyebabkan berubahnya pola hubungan paternal kearah hubungan sebagai partner (Danny Wiradharma, 1996:3) antara pasien dan petugas medis khususnya perawat. Kesehatan sebagai hak asasi manusia harus dilindungi oleh negara dan diberikan kepada seluruh masyarakat tanpa ada diskriminasi. Hak asasi manusia di bidang kesehatan ini diakui dan dilindungi oleh negara dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945), yaitu Pasal 28H ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 34 ayat (3) UUD RI
214 Fakultas Hukum - UNISAN
Hukum Keperawatan
Tahun 1945. Pasal 28H ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 merupakan landasan hukum hak konstitusional bagi setiap orang untuk memperoleh layanan kesehatan, sedangkan Pasal 34 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 merupakan landasan hukum kewajiban konstitusional negara untuk menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan (Shanti Dwi Kartika, 2012). Fasilitas pelayanan kesehatan yang merupakan kewajiban negara terhadap seluruh warga negaranya tanpa terkecuali merupakan hak ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat, sehingga negara di tuntut untuk secara aktif memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut sebagai bentuk tanggung jawabnya terhadap pelaksanaan hak asasi manusia.
Amanat konstitusi tersebut ditindaklanjuti dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Untuk mencapai tujuan negara dan melaksanakan amanat undang-undang tersebut, pemerintah melaksanakan pembangunan kesehatan dengan bantuan sumber daya kesehatan. Sumber daya kesehatan sebagai salah satu faktor pendukung penyediaan pelayanan kesehatan berkualitas terdiri dari sarana kesehatan, tenaga kesehatan, dan pembiayaan kesehatan termasuk perawat (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011 dalam Shanti Dwi Kartika, 2012). Undang-undang tentang kesehatan, undang-undang praktik kedokteran, undang-undang rumah sakit, hingga yang terbaru undang-undang keperawatan yang berisi tentang beberapa kewajiban yang harus dipenuhi merupakan amanat yang dipikul oleh pemerintah, karena hal tersebut merupakan pendelegasian kewenangan secara atribusi (murni) dari undang-undang.
Pengaturan keperawatan perlu diatur dengan undang-undang tersendiri agar kedudukan perawat sebagai profesi menjadi lebih kuat, diakui, dan diterima keberadaan dan keilmuannya; perawat terlindungi dari kondisi dan masalah etik apapun terkait dengan praktik asuhan keperawatan yang dilakukannya; perawat Indonesia diakui di negara lain; dan tidak terjadi multitafsir dari pemerintah daerah akibat keberagaman standar asuhan keperawatan sesuai persepsi masing-masing apabila dikaitkan dengan kebijakan otonomi daerah. Selain tujuan tersebut, urgensi pembentukan undang- undang ini untuk mengatur mekanisme fungsi, tanggung jawab, dan praktik keperawatan secara utuh dan sistematis; meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia melalui asuhan keperawatan; menjamin perlindungan terhadap masyarakat penerima pelayanan dan asuhan keperawatan serta perawat sebagai pemberi pelayanan dan asuhan keperawatan; serta mengatur keberfungsian dari kelembagaan keperawatan untuk melindungi masyarakat dan perawat (Shanti Dwi Kartika, 2012). Sehingga dari perspektif ini memang dibutuhkan suatu regulasi dalam bentuk undang-undang yang mengatur khusus mengenai profesi perawat.
Berdasarkan analisis aspek-aspek yang paling penting untuk pembentukan undang-undang keperawatan menyangkut aspek profesi, pendidikan dan kompetensi, praktik dan pelayanan, serta kelembagaan sebagai regulatory body. Aspek-aspek tersebut tercermin pada kondisi perawat Indonesia saat ini, yang berpengaruh pada peran serta dan eksistensi perawat Indonesia secara Internasional di era perdagangan bebas ini. Regulatory body bagi perawat yang mengatur sistem legislatif profesi tentang konsil, pendidikan, kompentensi, sertifikasi, registrasi, lisensi, dan praktik keperawatan secara tersendiri. Undang-undang keperawatan ini nantinya harus bisa mengatur keperawatan secara keseluruhan di seluruh Indonesia dengan memperhatikan kondisi masing-masing daerah yang ada
Fakultas Hukum – UNISAN 215
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. II, No. 2 Maret 2015
karena masing-masing daerah mempunyai permasalahan dan kebutuhan yang berbeda. Ini dimaksudkan agar ketentuan yang diatur dalam undang-undang keperawatan akan diimplementasikan sesuai dengan kondisi dan potensi di daerah sehingga tidak berbenturan dengan pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah di bidang kesehatan dan tidak bertentangan dengan Pasal 13 ayat (1) dan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengenai kesehatan sebagai salah satu urusan wajib pemerintahan yang dilimpahkan ke daerah (Shanti Dwi Kartika, 2012). Setelah berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan (berlaku pada saat diundangkan, yakni pada tanggal 17 Okrober 2014) yang terdiri dari 13 bab dan 66 pasal, dalam undang-undang tersebut mengamanatkan kepada pemerintah untuk membuat 3 Peraturan Presiden dan Pemerintah, 9 Peraturan Menteri Kesehatan, 3 Peraturan Kementrian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, selain itu undang- undang ini juga menjadi ujung tombak secara normatif bagi perawat dalam menjalankan profesinya, sambil menunggu dikeluarkannya peraturan pelaksanaan dalam bentuk peraturan presiden, peraturan pemerintah, dan peraturan menteri sebagai teknis pelaksanaan dan administrasi bagi profesi perawat di Indonesia.
Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan mengatur bahwa Praktik Keperawatan berasaskan:
a. Perikemanusiaan; yang dimaksud dengan “asas perikemanusiaan” adalah asas yang harus mencerminkan
pelindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk tanpa membedakan suku, bangsa, agama, status sosial, dan ras (Penjelasan Pasal 2 huruf a Undang-Undang Keperawatan).
b. Nilai ilmiah; yang dimaksud dengan “nilai ilmiah” adalah Praktik Keperawatan dilakukan berdasarkan
pada ilmu pengetahuan dan teknologi yang diperoleh, baik melalui penelitian, pendidikan maupun pengalaman praktik (Penjelasan Pasal 2 huruf b Undang-Undang Keperawatan).
c. Etika dan profesionalitas; yang dimaksud dengan “asas etika dan profesionalitas” adalah bahwa pengaturan Praktik Keperawatan harus dapat mencapai dan meningkatkan keprofesionalan Perawat dalam menjalankan Praktik Keperawatan serta memiliki etika profesi dan sikap professional (Penjelasan Pasal 2 huruf c Undang-Undang Keperawatan).
d. Manfaat; yang dimaksud dengan “asas manfaat” adalah Keperawatan harus memberikan manfaat
yang sebesar-besarnya bagi kemanusiaan dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat (Penjelasan Pasal 2 huruf d Undang-Undang Keperawatan).
e. Keadilan; yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah Keperawatan harus mampu memberikan pelayanan yang merata, terjangkau, bermutu, dan tidak diskriminatif dalam pelayanan
kesehatan (Penjelasan Pasal 2 huruf e Undang-Undang Keperawatan).
216 Fakultas Hukum - UNISAN
Hukum Keperawatan
f. Perlindungan; yang dimaksud dengan “asas pelindungan” adalah bahwa pengaturan Praktik Keperawatan
harus memberikan pelindungan yang sebesar-besarnya bagi Perawat dan masyarakat (Penjelasan Pasal 2 huruf f Undang-Undang Keperawatan).
g. Kesehatan dan keselamatan Klien. yang mak sud dengan ”asas kesehatan dan keselamatan klien” adalah Perawat dalam melakukan Asuhan Keperawatan harus mengutamakan kesehatan dan keselamatan Klien
(Penjelasan Pasal 2 huruf g Undang-Undang Keperawatan). Sedangkan pada Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan mengatur bahwa pengaturan keperawatan bertujuan :
a. Meningkatkan mutu Perawat;
b. Meningkatkan mutu Pelayanan Keperawatan;
c. Memberikan pelindungan dan kepastian hukum kepada Perawat dan Klien; dan
d. Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Namun tujuan-tujuan di dalam Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan yang telah disebutkan di atas tidak memiliki penjelesan lebih lanjut di dalam penjelasan undang-undang keperawata n, dan hanya tertera kalimat “cukup jelas”. Padahal tujuan-tujuan dimaksud tentang pengaturan tersebut harus memiliki penjelasan agar tidak sembarangan ditafsirkan bagi para pelaksana dari undang-undang tersebut, terlebih lagi 4 (empat) tujuan pengaturan keperawatan tersebut dapat terukur apabila ada penjelasan yang pasti terhadap setiap tujuan yang
diatur. Sebagai contoh, tujuan pertama dari pengaturan keperawatan adalah “meningkatkan mutu perawat”, hal ini masih menimbulkan tanda tanya baik bagi pembaca undang-undang maupun pelaksana dari undang-undang tersebut, pertanyaannya adalah apa yang dimaksud mutu perawat? Apa ukuran bahwa perawat memiliki mutu sesuai dengan yang diinginkan oleh undang-undang? Dan bagaimana cara/metode untuk mengukur ukuran perawat memiliki mutu sesuai dengan yang diinginkan oleh undang-undang? Pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang seharusnya dijelaskan dalam penjelasan undang-undang keperawatan.
Terkait dengan sub bab yang penulis akan kaji, maka sebenarnya secara subjektif komprehensif jika ditinjau dari pengaturan yang di atur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan memiliki hubungan hukum diantara keduanya (yakni tujuan pengaturan undang-undang keperawatan dengan asas di dalam menjalankan praktik keperawatan). Hubungan hukum tersebut dapat tercermin dalam keempat tujuan pengaturan keperawatan yang sebenarnya dapat dibagi menjadi dua kelompok besar yakni :
1. Meningkatkan mutu Perawat dan Pelayanan Keperawatan;
2. Memberikan pelindungan dan kepastian hukum kepada Perawat dan Klien sehingga dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
Kelompok pertama, meningkatkan mutu Perawat dan Pelayanan Keperawatan, hal ini memiliki hubungan hukum dengan asas praktik keperawatan yakni :
1. Nilai ilmiah; dan
2. Etika dan profesionalitas.
Fakultas Hukum – UNISAN 217
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. II, No. 2 Maret 2015
Hubungannya adalah ketika nilai ilmiah, etika dan profesionalitas di junjung tinggi oleh seorang perawat dalam menjalankan profesinya, maka hal ini berdampak pada peningkatan mutu perawat dan pelayanan keperawatan (sesuai dengan tujuan pengaturan keperawatan. Menurut Daldiyono (2007:175 dalam Ari Yunanto dan Helmi, 2010:7) yang disebut profesi adalah suatu bidang atau jenis pekerjaan yang memerlukan pendidikan khusus, sehingga tidak semua jenis pekerjaan dapat disebut profesi. Sedangkan etika adalah kebiasaan atau praktik. Sehingga memang benar jikalau sebuah profesi sangat memerlukan etika dan dituntut memiliki profesionalitas didalam menjalankan profesi, profesionalitas tersebut tercermin dari nilai ilmiah yang telah ia jalankan atau dengan kata lain profesionalitas seseorang dalam menjalankan profesinya sebagai seorang perawat diukur dari praktik keperawatan yang dilakukan berdasarkan pada ilmu pengetahuan dan teknologi yang diperoleh, baik melalui penelitian, pendidikan maupun pengalaman praktik (penjelasan dari nilai ilmiah).
Etika sangat berkaitan dengan moral, sedangkan moral menurut Alexandra Indriyanti Dewi (2008:17-18 dalam Desriza Ratman, 2012:7) dapat didefinisikan sebagai wejangan, patokan, kumpulan peraturan dan ketetapan, baik lisan maupun tulisan tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak menjadi yang baik, dengan sumber ajarannya adalah tradisi, adat kebiasaan, ajaran agama atau ideologi (Suseno, 2010:14). Sehingga etika dan moral sangatlah berkaitan satu sama lain, dan keduanya harus dimiliki oleh setiap orang yang menjalankan profesi apapun termasuk profesi perawat. Etika dan moral ini juga sangat menentukan bagi terlaksananya dengan nilai ilmiah yang merupakan salah satu asas di dalam praktik keperawatan.
Kelompok kedua, memberikan pelindungan dan kepastian hukum kepada perawat dan klien dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, hal ini memiliki hubungan hukum dengan asas praktik keperawatan yakni :
a. Perikemanusiaan;
b. Manfaat;
c. Keadilan;
d. Perlindungan;
e. Kesehatan dan keselamatan klien. Hubungannya adalah ketika perikemanusian, manfaat, keadilan, perlindungan, kesehatan dan
keselamatan pasien dijunjung tinggi oleh seseorang yang menjalankan profesinya sebagai seorang perawat, maka akan memberikan pelindungan dan kepastian hukum kepada perawat dan pasien dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, hal ini sesuai dengan tujuan pengaturan keperawatan. Dengan kata lain, seseorang yang menjalankan profesinya sebagai seorang perawat harus mencerminkan pelindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk tanpa membedakan suku, bangsa, agama, status sosial, dan ras. Keperawatan harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemanusiaan dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Keperawatan harus mampu memberikan pelayanan yang merata, terjangkau, bermutu, dan tidak diskriminatif dalam pelayanan kesehatan, pelayanan kesehatan individu dan masyarakat hendaknya mendapat porsi yang sama (Desriza Ratman, 2012:47), hal ini juga bermaksud agar tidak terjadi konflik, seperti pasien merasa tidak ditangani dengan pertimbangan rasa simpati ataupun rasa hormat (Sofwan Dahlan, 2010 dalam
218 Fakultas Hukum - UNISAN
Hukum Keperawatan
Desriza Ratman, 2012:13). Praktik Keperawatan harus memberikan pelindungan yang sebesar- besarnya bagi Perawat dan masyarakat, dan terakhir adalah perawat dalam melakukan Asuhan Keperawatan harus mengutamakan kesehatan dan keselamatan Klien.
III. KESIMPULAN
Berdasarkan pemaparan kedua hal tersebut di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Kedudukan hukum seorang perawat sebelum berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan sangatlah lemah dalam kaitannya
dengan profesi dan praktik medis, yakni batasan kewenangan seorang perawat tidak jelas secara yuridis, dan seorang perawat tidak memiliki legitimasi dalam menjalankan praktik profesinya, namun setelah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan terbit, maka batasan kewenangan seorang perawat jelas secara yuridis, dan seorang perawat telah memiliki legitimasi hukum dalam menjalankan praktik profesinya.
2. Hubungan hukum yang tercipta antara tujuan pengaturan undang-undang keperawatan dengan asas di dalam menjalankan praktik keperawatan di dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan adalah dengan mengelompokkannya menjadi dua kelompok. Kelompok pertama, meningkatkan mutu Perawat dan Pelayanan Keperawatan, hal ini memiliki hubungan hukum dengan asas praktik keperawatan yakni nilai ilmiah, etika dan profesionalitas. Kelompok kedua, memberikan pelindungan dan kepastian hukum kepada perawat dan klien dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, hal ini memiliki hubungan hukum dengan asas praktik keperawatan yakni perikemanusiaan, manfaat, keadilan, perlindungan, kesehatan dan keselamatan klien.
DAFTAR PUSTAKA
Alexandra Indriyanti Dewi, Etika dan Hukum Kesehatan, Cetakan I, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2008. Ari Yunanto dan Helmi, Hukum Pidana Malpraktik Medik, Tinjauan dan Perspektif Medikolegal, Yogyakarta: Andi Offset, 2010. Cecep Triwibowo, Hukum Keperawatan Panduan Hukum dan Etika bagi Perawat, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2010. Daldiono, Pasien Pintar dan Dokter Bijak, Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, 2007. Danny Wiradharma, Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran, Jakarta: Bina Rupa Aksara, 1996. Desriza Ratman, Surrogate Mother dalam Perspektif Etika dan Hukum, Bolehkah Sewa Rahim di
Indonesia? , Jakarta: Kompas Gramedia, 2012. _____________, Mediasi Non Litigasi Terhadap Sengketa Medik Dengan Konsep Win-Win Solution, Jakarta: Kompas Gramedia, 2012. Endah Nurfitriani RN, Urgensi Undang-Undang Keperawatan (http://enda hnurilmukeperawatan. blogspot.com/2011/11/urgensi-undang-undang-keperawatan.html). Diakses pada hari Kamis 19 Februari 2015, Pukul 09:00 WITA
Fakultas Hukum – UNISAN 219
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. II, No. 2 Maret 2015
Huston C.J., Leadhership Roles and Management Functions in Nursing : Theory and Application, Third Edition, Philadephia: Lippinchott, 2000. Kadarudin dan Nilawati Adam, Urgensi Pengesahan Rancangan Undang-Undang Keperawatan Menjadi Sebuah Undang-Undang, Terkait Dengan pelayanan Medis Perawat , Jurnal Aktualita Volume IV, Edisi Ke-2 April 2012. Kopertis Wilayah IX Sulawesi.
Karna Wijaya, Kedudukan Perawat dalam Hukum Indonesia (Perspektif Sosio Legal), Law Review Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Volume VII, Nomor 1 Juli 2007. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Profil Kesehatan Indonesia 2010, Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011. Kozier, Fundamentals of Nursing : Concept Theory and Practices. Philadelpia: Addison Wesley, 2000. Nilawati Adam, Analisis Mekanisme Koping Keluarga Yang Anggota Keluarganya Di Rawat Di
Instalasi Rawat darurat Rumah Sakit Umum Ibnu Sina YW UMI Kota Makassar Tahun 2010 , Jurnal Kesehatan Volume II, Edisi Ke-1 Maret 2012. Kopertis Wilayah IX Sulawesi.
Samuel Febrianto, Gugatan Mantri Misran Diputus MK Nanti Sore, http://www.tribunnews.com /2011/06/27/gugatan-mantri-misran-diputus-mk-nanti-sore Shanti Dwi Kartika, Urgensi Undang-Undang Tentang Keperawatan, Jurnal Negara Hukum Volume
3, Nomor 1 Juni 2012 Sri Sumiati, Kebijakan Perlindungan Hukum Pidana Terhadap Korban Tindak Pidana Di Bidang Medis (Tesis Dipublikasikan), Semarang: Universitas Diponegoro, 2009. Sofwan Dahlan, Materi Kuliah Magister Hukum Kesehatan Unika Soegijapranata, Semarang, 2010. Solihin Niar Ramadhan dkk, Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan, Bandung:
Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, 2014. Suseno, Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, 2010.
220 Fakultas Hukum - UNISAN
Ucapan Terima Kasih