Wacana Kuratorial

3.2.1.2 Kurator sebagai Pengarang

Berkaitan dengan potensi pameran sebagai ruang mediasi dan produksi wacana, posibilitas lain seputar posisi kurator sebagai pengarang (curator as author - O’Neil, 2007) juga mulai mengemuka dibicarakan dalam forum kekuratoran global. Hal ini juga berjalan beriringan dengan konvergensi praktik kekuratoran dan artistik, dimana keduanya seringkali berjalan tumpang tindih. Hal ini menjadikan praktik kekuratoran mengintervensi produksi kultural yang sebelumnya merupakan privilese seniman. Bekerja di level mediasi dan produksi, posisi kurator lambat laun juga mulai direkognisi sebagai arbiter, sebagai penentu arah dan ‘penengah’ konflik dalam praktik seni rupa kontemporer. Dalam kontes seni rupa kontemporer Indonesia yang dibatasi dalam penelitian ini, legitimasi kepengarangan kurator dalam pameran seni dan posisi kurator sebagai arbiter baik sebagai penentu arah atau penengah konflik, dapat dinyatakan, juga mulai ditengarai gejalanya.

Berjalan beriringan dengan afirmasi wacana seni kontemporer di dalam negeri, posisi kurator pun secara gradual direkognisi dan dilegitimasi oleh medan. Indikasi ini bisa dilihat dari BSRJ IX 1993, dimana posisi kurator disini diragukan, dan pada BSRY 1999, dimana posisinya mulai dibutuhkan. Pada BSRY 1999, kurator bahkan berperan hingga melakukan arbitrase, sebagai penengah konflik di antara sejumlah kubu yang bersitegang kala itu di Yogyakarta. Beriringan dengan legitimasi dan rekognisi tersebut, lambat laun kurator mengemban kuasa untuk menentukan arah perkembangan kesenian. Kurator tidak selalu harus menjadikan pameran sebatas medium pembacaan yang objektif (hal ini hanya menjadi sebuah pilihan), melainkan mulai menempatkannya sebagai ruang-ruang dimana subjektivitasnya sebagai individu dapat terotorisasi di dalamnya. Untuk Berjalan beriringan dengan afirmasi wacana seni kontemporer di dalam negeri, posisi kurator pun secara gradual direkognisi dan dilegitimasi oleh medan. Indikasi ini bisa dilihat dari BSRJ IX 1993, dimana posisi kurator disini diragukan, dan pada BSRY 1999, dimana posisinya mulai dibutuhkan. Pada BSRY 1999, kurator bahkan berperan hingga melakukan arbitrase, sebagai penengah konflik di antara sejumlah kubu yang bersitegang kala itu di Yogyakarta. Beriringan dengan legitimasi dan rekognisi tersebut, lambat laun kurator mengemban kuasa untuk menentukan arah perkembangan kesenian. Kurator tidak selalu harus menjadikan pameran sebatas medium pembacaan yang objektif (hal ini hanya menjadi sebuah pilihan), melainkan mulai menempatkannya sebagai ruang-ruang dimana subjektivitasnya sebagai individu dapat terotorisasi di dalamnya. Untuk

Pada awal dekade 2000an praktik seni rupa berdiri di atas konteks yang jauh lebih majemuk dibandingkan dekade 1990an. Pada dekade ini, praktik seni berdiri di atas landasan kehidupan negara dan sosial yang tak kunjung membaik pasca polemik 1998, namun menariknya praktik seni rupa tidak serta merta mengalami kemunduran. Faktor seperti apresiasi pasar global yang mulai mengemuka, gerilya inisiatif independen seniman muda, dan keterbukaan patronase privat menjadi tumpuan lain.

Landasan konteks yang majemuk serta ragam praktik artistik yang lebih luas pada pemaparan di atas kemudian memberikan beragam alternatif keberpihakan: beberapa memilih untuk merayakan pasar, beberapa masih mementingkan isu sosial, dan beberapa terlarut dalam perenungan identitas diri yang dihimpit beragam referen identitas menyusul keterbukaan informasi yang baru mungkin berlaku pada pemerintahan Reformasi. Ragam keberpihakan ini tentunya mengemuka menjadi tema-tema baru dalam karya seniman Indonesia terutama pada generasi baru, pun pada praktik kekuratoran. Berhadapan dengan konteks yang lebih majemuk ini, kurator-kurator menentukan keberpihakannya masing- masing, dan mewujudkannya dalam pameran-pameran yang dapat diaksesnya. Pun dalam Countrybution, dan CPOB privilese ini juga diekseskusi.

Keberpihakan kurator dalam Countrybution dan CPOB tercermin menjadi putusan- putusan kuratorial yang sangat bertolak belakang. Perbedaan ini tentu akan dipengaruhi subjektivitas para kuratornya. Dalam Countrybution, retorika kuratorial yang menjadi ‘elusif’, kritis, dan reflektif tentunya dipengaruhi dari subjektivitas Wiyanto selaku individu yang mempercayai bahwa progres dapat dicapai dengan memberdayakan potensi katalisasi dari sikap-sikap kritis. Pun dalam retorika kuratorial CPOB 2003, premis art with an accent memperlihatkan manifestasi kongkrit dari pencarian Supangkat dalam menemukan perbedaan esensial antara praktik seni rupa kontemporer Timur dengan Barat yang sejatinya sudah Ia pertanyakan semenjak awal keterlibatan dan interaksinya degan medan seni rupa regional Asia Pasifik. Meski subjektivitas dan keberpihakan kurator untuk dimanifestasikan dalam pameran sudah mulai dilegitimasi oleh medan, kurator-kurator ini tidak serta merta menjadi sewenang-wenang. Kadar yang cukup akan pemahanan konteks dan faktor-faktor yang berkelindan di wilayah pelataran tetap menjadi prasayarat sebelum subjektivitas tersebut dapat diwujudkan dalam pameran.

3.2.2 Diversifikasi Praktik Seni Rupa Kontemporer Indonesia

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, dalam bienal-bienal yang diselenggarakan sepanjang dekade 1990an dan 2000an awal muncul beberapa gejala tentang kemunculan inovasi-inovasi estetik yang cenderung baru dalam perkembangan praktik seni rupa kontemporer Indonesia. Dengan menginterpretasi gejala ini secara lebih seksama, akan terlihat sebuah proses diversifikasi, atau perluasan keragaman, dari praktik seni rupa kontemporer Indonesia yang sebelumnya diidentifikasi secara spesifik dan ‘singular’ menjadi kian beragam dan sepenuhnya berada pada kondisi plural. Perkembangan ini kemudian menjadikan praktik seni kontemporer Indonesia menjadi benar-benar sezaman dengan Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, dalam bienal-bienal yang diselenggarakan sepanjang dekade 1990an dan 2000an awal muncul beberapa gejala tentang kemunculan inovasi-inovasi estetik yang cenderung baru dalam perkembangan praktik seni rupa kontemporer Indonesia. Dengan menginterpretasi gejala ini secara lebih seksama, akan terlihat sebuah proses diversifikasi, atau perluasan keragaman, dari praktik seni rupa kontemporer Indonesia yang sebelumnya diidentifikasi secara spesifik dan ‘singular’ menjadi kian beragam dan sepenuhnya berada pada kondisi plural. Perkembangan ini kemudian menjadikan praktik seni kontemporer Indonesia menjadi benar-benar sezaman dengan

Proses diversifikasi ini akan lebih jauh berkorespondensi dengan butir-butir pemikiran Terry Smith (2011) yang sebelumnya diutarakan. Kembali sedikit mengulas, dengan menimbang sifat kontekstual dari praktik seni kontemporer Smith memilah penjelasannya ke dalam 3 arus perkembangan yang mengandung kekhasan kontekstual masing-masing. Koridor pertama adalah Becoming Contemporary in EuroAmerica yang membahas perkembangan seni kontemporer di Barat dari periode late modern hingga dekade 2000an yang dipaparkan dalam analisis diakronik. Koridor kedua dalam Transnasional Transition, yang membahas kemunculan seni rupa kontemporer di wilayah Perifer yang dominan ‘lahir’ dari polemik dan problematika poskolonial. Koridor ketiga berisi pembahasan ragam tema dan subject matter dalam perkembangan termutakhir keduanya. Pada koridor ini Smith cenderung melebur dan tidak lagi memilah praktik seni kontemporer Pusat dan Perifer. Elaborasi yang demikian pun kian menegaskan penekanannya tentang sifat dari seni kontemporer itu sendiri yang membicarakan beragam polemik yang dihadapi dunia untuk dibicarakan di seluruh penjuru dunia.

Praktik seni rupa kontemporer Indonesia pada awal dekade 1990an cenderung diidentifikasi melalui sensibilitas sosial politik dan eksplorasi media instalasi. Hal ini kemudian menempatkan perkembangan seni rupa kontemporer Indonesia untuk mengikuti arus / koridor ke dua, yakni Transnational Transition. Identifikasi Smith yang khas dijangkarkan pada konteks poskolonial dan dilema negara-bangsa pun menjadi relevan, kemunculan gejala seni rupa kontemporer di dalam negeri pun hadir dari keterdesakan dan himpitan sosial sebagai ekses dari represi dan kesewenangan pemangku kuasa.

Dalam kondisi yang lebih mutakhir, setidaknya semenjak awal dekade 2000an seni rupa kontemporer Indonesia telah menunjukkan tingkat keberagaman tema yang amat plural, merespon rentang problematika kemanusiaan yang lebih luas dari polemik-polemik poskolonial. Pada periode ini pula seniman tidak lagi terbatas membicarakan problematika nasional, melainkan telah pula berorientasi pada yang global tanpa melupakan kepekaan-kepekaan lokal dan vernakular. Pun, generasi seniman-seniman baru ini terlihat lebih jujur mengedepankan personalitas diri dan menggeluti ketertarikan pribadinya, bergerak mencerminkan secara internal ke dalam personalitas diri masing-masing. Tentu hal ini berbeda dengan generasi seniman sebelumnya yang cenderung berangkat dari permasalahan-permasalahan personal. Perkembangan yang demikian, akan terlihat selaras dengan identifikasi Smith pada arus / koridor ke tiga dalam Contemporary Concern. Hal ini kemudian menunjukkan perkembangan praktik seni rupa kontemporer Indonesia yang telah mapan dari segi keragaman wacana estetik.

Proses diversifikasi yang disinggung sebelumnya dapat dilihat sebagai ‘transisi’ atau perkembangan dari karakter tipikal seni rupa kontemporer negara poskolonial, sebagaimana diidentifikasi dalam Transnational Transition, untuk kemudian menjadi plural dan berorientasi global sebagaimana diidentifikasi dalam Contemporary Concerns.

Untuk menjelaskan proses diversifikasi ini, perlu dijelaskan sebelumnya konteks sosial politik yang menyangga proses ini. Seperti dijelaskan sebelumnya, karakter Untuk menjelaskan proses diversifikasi ini, perlu dijelaskan sebelumnya konteks sosial politik yang menyangga proses ini. Seperti dijelaskan sebelumnya, karakter

Mendekati paruh akhir dekade 1990an kondisi negara yang tak kunjung membaik tak lagi dapat ditolerir oleh masyarakat. Dalam keterdesakan tersebut kekecewaan publik meledak menuntut adanya perubahan. Kekecewaan ini pun melanda seniman yang mencoba memberikan perubahan melalui karya. Kesangsian pada potensi dan daya penataan sosial dari seni pun mulai mengemuka di kalangan seniman. Skeptisisme pun kian terasa menjelang keruntuhan Orde Baru. Dalam hingar-bingar advokasi sosial yang menuntut terciptanya perubahan tersebut, mayoritas seniman memilih untuk langsung ‘turun ke jalan’ dan terlibat di kegiatan-kegiatan LSM, meninggalkan eksplorasi artistiknya yang mereka geluti sebelumnya. Skeptisisme ini yang kemudian menyebabkan eksplorasi karya seni yang sifatnya politis untuk terhenti sebelum dapat menjadi ‘politically correct’ (Supangkat, 1999).

Terhentinya eksplorasi karya-karya bernuansa politis ini, meski kala itu menjadi diskursus estetik utama, justru tidak menyebabkan perkembangan seni rupa kontemporer Indonesia menjadi stagnan. Hal yang berkebalikan justru terjadi. Beragam diskursus estetik baru dengan karakter yang berbeda satu per satu muncul menawarkan kualitas partikularnya masing-masing. Untuk beberapa unit perkembangan yang dominan mengemuka, akan kemudian dijelaskan pada penjelasan selanjutnya.

3.2.2.1 Lukisan Kontemporer

Fenomena pertama yang mengisi ruang kosong yang ditinggalkan sensibilitas kritik politik dan instalasi adalah kemunculan ‘lukisan kontemporer’. Setelah sebelumnya ditinggalkan karena diragukan kemutakhirannya, pada akhir dekade 1990an medium konvensional ini kembali muncul digemari. Kembali hadirnya media ini pun bahkan dapat dinilai turut berkontribusi pada proses diversifikasi ini. Jika diperbandingkan dengan kecenderungan lukisan sebelumnya, perkembangan baru lukisan ini menunjukkan kualitas partikular yang khas dan berbeda.

Perbedaan pertama adalah penanganan lukisan sebagai media representasi. Irianto (1999) meninjau, karena representasi bersifat fleksibel dan elastis, lukisan yang dikerjakan dalam kerangka ini kemudian berpotensi untuk menampung beragam pernyataan dan keberpihakan. Hal ini kemudian berdampak pada keragaman tema yang muncul dalam lukisan-lukisan baru tersebut. Tema seperti kritik budaya popular, perenungan identitas, representasi diri, dan lain-lain muncul dibahas Perbedaan pertama adalah penanganan lukisan sebagai media representasi. Irianto (1999) meninjau, karena representasi bersifat fleksibel dan elastis, lukisan yang dikerjakan dalam kerangka ini kemudian berpotensi untuk menampung beragam pernyataan dan keberpihakan. Hal ini kemudian berdampak pada keragaman tema yang muncul dalam lukisan-lukisan baru tersebut. Tema seperti kritik budaya popular, perenungan identitas, representasi diri, dan lain-lain muncul dibahas

Penelitian ini meninjau bahwa terdapat sejumlah faktor yang berkontribusi pada kembali muncul dan digemarinya kembali medium lukisan pada akhir dekade 1990an ini. Faktor pertama adalah tersedianya ‘ruang kosong’ dalam aktivitas medan seni rupa semenjak eksplorasi karya-karya politis ‘dirampungkan’ karena dianggap impoten dalam memberikan daya sosial. Eksplorasi lukisan sendiri sebetulnya masih diperjuangkan oleh beberapa seniman bahkan dari awal dekade 1990an namun terpinggirkan signifikansinya karena dianggap mengingkari semangat zaman yang kala itu heroik memperjuangkan keadilan sosial. Atas konsistensi mereka dalam terus mengembangkannya, eksplorasi yang mulai matang ini pun bertemu dengan medan yang siap menerima tawaran-tawaran baru seniman, sebagai dampak dari merebaknya skeptisisme yang berjalan kontraproduktif pada wacana seni rupa kontemporer ‘awal’ tersebut.

Faktor kedua yang kemudian berkontribusi pada fenomena ini berasal dari interaksi regional forum seni rupa kontemporer Asia Pasifik. Mendekati penghujung dekade 1990an, pameran-pameran internasional cenderung menghindari resiko dalam menghadirkan konten-konten kuratorial yang lebih revolusioner dan memilih untuk mengembangkan apa yang telah mereka dikerjakan. Hal ini kemudian berdampak pada pola pelibatan seniman yang cenderung memanggil seniman-seniman yang telah direkognisi secara internasional. Pameran-pameran ini pun cenderung kembali hanya menampilkan instalasi. Tertutupnya kesempatan dan hadirnya tuntutan ini pun justru mendorong aktivasi medan seni rupa kontemporer nasional yang kala itu mulai lebih akomodatif dan terbuka. Di sisi lain, tuntutan media instalasi pada forum internasional ini pun justru membuka peluang eksplorasi medium lain untuk berlaga di dalam negeri, dan salah satunya adalah lukisan.

Faktor lain yang menyusul belakangan adalah aktivitas pasar yang mulai kembali melirik potensi ekonomi dari lukisan-lukisan kontemporer ini. ‘Gelembung’ pasar memang baru terjadi di pertengahan dekade 2000an, namun gejala-gejala awalnya sudah dapat dilihat dari akhir dekade sebelumnya. Beberapa galeri komersil pada periode tersebut mulai terbuka pada karya-karya seni kontemporer. Pada praktik komersialisasi ini, lukisan - baik sebagai media utama ataupun derivatif para seniman kontemporer - tetap menjadi media utama dalam aktivitas jual beli tersebut.

3.2.2.2 Sensibilitas Budaya Global dan Popular Art

Koridor diversifikasi lain yang terjadi pada awal dekade 2000an adalah hadirnya karya-karya yang memperlihatkan rujukan pada budaya global dan sensibilitas popular art. Koridor eksplorasi ini dapat dinyatakan bersifat khas seniman-seniman generasi baru yang mulai aktif pada periode tersebut. Bagi generasi ini, seni dan kebudayaan tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang adiluhung, berjarak, eksklusif, dan ‘mulia’, melainkan dekat dengan keseharian, menyatu dengan gaya hidup, inklusif, ‘massal’, dan di tataran tertentu terkesan ‘trivial’. Meski dinyatakan demikian, bukan berarti bahwa generasi ini apatis pada dinamika sosial dan lingkungan sekitar. Karya-karya mereka masih menyimpan potensi kritik kebudayaan yang signifikan, namun diungkapkan tidak secara eksplisit dan tidak dalam retorika kritik yang mengundang kontroversi. Cakupan tema yang direspon pun cenderung lebih lebar, untuk melingkupi kritik kapitalisme dan gaya hidup, permasalahan identitas, problematika urban dan perkotaan, polemik persinggungan kebudayaan, dan lain-lain. Dari segi penggayaan, generasi ini pun memperlihatkan sensibilitas popular art yang cukup signifikan.

Satu karakter penciptaan yang cukup mengemuka dari generasi muda ini adalah sentralitas praktik penciptaan pada individualitas seniman. Pencerminan ke dalam diri dalam upaya pencarian dan pengukuhan identitas terlihat menjadi problematika yang mengemuka. Individualitas ini pun terlihat pada kejujuran mereka untuk mengangkat permasalahan-permasalahan personal, untuk nantinya dilihat resonansinya pada lingkup sosial yang lebih besar. Tak jarang, individualitas ini pun melegitimasi mereka untuk mengangkat hal-hal yang terkesan trivial, namun melaluinya mereka memantik penyadaran pada ketimpangan-ketimpangan keseharian yang seringkali dilewatkan. Penelitian ini meninjau, mengemukanya problematika identitas dan sentralitas diri ini mendapatkan pengaruh dari perbedaan konteks kultural dan sosiopolitik yang menyangga kehidupan seniman- seniman generasi muda ini.

Generasi seniman kontemporer 2000an cenderung hidup dalam kondisi sosial politik yang cenderung stabil dan minim gejolak. Generasi ini berkembang dewasa dalam kehidupan kemasyarakatan yang terbuka. Kebebasan berpendapat dan keterbukaan akses informasi pun sudah dinikmati mereka sedari dini. Hal ini memang kemudian menjadikan generasi ini menjadi cenderung berjarak dengan dinamika sosial politik nasional, tercermin dari sedikitnya respon pada permasalahan tersebut dalam karya-karya mereka. Dapat dinyatakan, absennya mereka dalam mengalami polemik politik pada dekade 1990an berdampak menjadi hal ini. Bagi mereka yang mengalami pun, biasanya tengah berada dalam tahap tumbuh kembang adolesen sehingga intimasi dengannya menjadi opsional.

Faktor lain yang juga mendukung munculnya individualitas pada generasi seniman kontemporer 2000an adalah akses informasi yang menyediakan ragam referen kebudayaan bagi mereka. Rentang informasi yang mencakup kebudayaan popular Barat dan Asia pun kian menjembatani rujukan tersebut. Stasiun televisi MTv yang mengudara semenjak 1995 adalah yang pertama memfasilitasi rujukan ini. Seiring dengan perkembangan teknologi, mulai lazimnya internet di masyarakat pun kian memperluas proses tersebut.

Dalam situasi negara yang terbuka dan akses pada budaya luar yang seketika, generasi seniman kontemporer 2000an dapat dinyatakan adalah yang paling rentan terpapar krisis identitas. Mereka dikepung sengkarut beragam rujukan kultural, mulai dari ideologi nasional, budaya popular global, dan dinamika kebudayaan lokal. Dorongan untuk mendalami individualitas untuk mendapatkan rekognisi sosial pun kian membuat krisis tersebut menjadi kian kompleks. Faktor-faktor ini yang kemudian lambat laun membangun kecenderungan generasi yang individual, berorientasi pada yang global, namun menariknya tetap sensitif pada permasalahan yang hadir di lingkup lokal. Dalam polemik identitas tersebut, seringkali lahir penyadaran-penyadaran yang sifatnya idiosinkretik dan amat kontekstual, yang pada akhirnya kian memperkaya keragaman kosakata idiom estetik seni rupa kontemporer Indonesia.

3.2.2.3 Kolektif Seni dan Inisiatif Alternatif

Salah satu nilai dan spirit berkesenian yang diwariskan oleh seniman-seniman senior yang aktif pada forum internasional pada generasi muda ini adalah semangat militansi berkarya (Irianto, 1999), untuk meyakini apa yang tengah ditekuni terlepas dari minimnya dukungan dari lingkungan sekitar. Selain kian menguatkan generasi muda pada keyakinan personalnya, semangat militan ini juga membangun daya tahan dan konsistensi keterlibatan mereka. Salah satu strategi yang mencerminkan semangat militan ini adalah gerilya kolektif-kolektif independen, yang kemudian justru menjadi tumpuan alternatif medan dalam menjaga tingkat aktivitasnya ketika berdiri di atas konteks negara yang tengah dirundung krisis multidimensi pada awal dekade 2000an.

Jika dikaitkan dengan konteks ‘youth culture’ Indonesia secara umum, kolektivisme dapat dinyatakan merupakan fenomena yang sifatnya khas berada dalam generasi ini. Dengan terbukanya akses informasi serta ‘dilegitimasinya’ personalitas, lahir beragam ketertarikan yang berbeda antar tiap individu. Perbedaan dan keragaman individual kemudian benar-benar dirayakan, dan di dalamnya pengakuan eksistensi diri mulai menjadi sebuah ‘kebutuhan’ dalam mengaktualisasikan diri. Interaksi sosial ini pun penting posisinya dalam mendorong individu agar konsisten menekuni apa yang mereka percayai, semenjak boleh jadi lingkungan sekitar tidak menunjukkan semangat yang sama dan dapat saja memiliki ketertarikan yang sama sekali berbeda. Melalui strategi komunal dan berkerumun, kebutuhan-kebutuhan sosial ini kemudian disiasati. Meski tidak selalu menjadi hal yang mereka respon, aspek ’sosial’ tetap menjadi hal yang signifikan bagi generasi muda Indonesia meski bekerja pada level dan mekanisme yang berbeda.

Lahirnya ‘kolektivisme’ ini dapat dinyatakan turut berkontribusi pada diversifikasi praktik seni rupa kontemporer. Inisiatif ini kemudian mendorong kelahiran ragam tema baru, memperluas strategi eksplorasi media, serta mendekatkan strategi mediasi karya.

Dalam konteks eksplorasi medium, kehadiran kolektif seni juga bantu menjadi katalis pendorong kematangan eksplorasi atasnya. Khusus pada konteks seni media misalnya yang kala itu banyak menggunakan media fotografi dan videografi yang masih cenderung mahal dan asing, kolektif seni tentu membantu melerai minimnya ketersediaan pengetahuan dan keahlian serta keterbatasan instrumen. Pun dalam Dalam konteks eksplorasi medium, kehadiran kolektif seni juga bantu menjadi katalis pendorong kematangan eksplorasi atasnya. Khusus pada konteks seni media misalnya yang kala itu banyak menggunakan media fotografi dan videografi yang masih cenderung mahal dan asing, kolektif seni tentu membantu melerai minimnya ketersediaan pengetahuan dan keahlian serta keterbatasan instrumen. Pun dalam

Dalam konteks mediasi karya seni pada publik, kehadiran kolektif seni juga memberikan alternatif lain terhadap strategi mediasi umum yang sebelumnya dilakukan melalui perantaraan ruang-ruang galeri yang dinilai kurang menjangkau masyarakat umum. Melalui inisiatif kolektif ini seni kemudian dipresentasikan langsung menjemput masyarakat melalui ruang-ruang publiknya. ‘Penjemputan’ ini juga sering didampingi secara bersamaan dengan interaksi-interaksi lain yang diwujudkan dalam program pendamping seperti lokakarya, diskusi publik, dan strategi edukasi lainnya. Perluasan mediasi karya ini juga kemudian ditempuh melalui cara lain, dengan membuat derivat-derivat karya dalam bentuk produk dan suvenir. Melalui cara ini generasi seniman muda dapat menumbuhkan apresiasi publik pada kesenian serta memperlebar konsumsi seni dengan menumbuhkan maket alternatif di samping melalui perantaraan galeri komersil. Dapat dinyatakan, strategi mediasi yang khas generasi muda ini juga kian mengarahkan terciptanya seni yang populis dan intim dengan publiknya.

3.2.2.4 Seni Media

Fenomena lain yang juga terjadi pada awal dekade 2000an seiring dengan keterbukaan informasi dan semarak budaya visual adalah mulai masuknya teknologi digital di Indonesia. Salah satu aspek teknologi yang kemudian menjadi tersedia adalah piranti rekaman citra (baik diam maupun bergerak) dan teknologi manipulasi citraan. Piranti-piranti ini pun pada perkembangannya kian menjadi terjangkau bagi publik. Produksi citra, pada konteks budaya digital ini, menjadi hal yang ‘merakyat’ (kolokial) dimana hampir siapa saja dapat membuatnya. Didukung dengan mulai bergesernya kebudayaan secara umum pada budaya visual, mulai muncul kebutuhan-kebutuhan untuk merekayasa citraan, baik untuk kepentingan hiburan, promosi perusahaan, dan lain-lain. Kebutuhan ini kemudian mendukung signifikansi teknologi ini dalam kebudayaan. Pada konteks budaya yang demikian, visualitas telah benar-benar menjadi hal yang akrab dengan publik.

Dalam konteks seni rupa, perkembangan teknologi yang menawarkan keleluasaan rekayasa citraan tentunya disambut dan dirayakan. Akses pada teknologi citraan ini kemudian menghasilkan ragam seni media seperti fotografi dan videografi. Tidak terbatas pada media ini, modus media yang memadukan antara media yang cenderung baru dengan media-media konvensional juga dikembangkan oleh para seniman, dalam strategi intermedia. Didorong dengan semangat kolektif dan kolaborasi generasi muda, eksplorasi media ini kian dikembangkan dalam ragam eksplorasi yang hampir tak terbatas, menuju kolaborasi lintas profesi dan lintas disiplin. Dalam semangat seni media ini, seni rupa kontemporer dapat dinyatakan berkembang kian terbuka dalam proses eksperimentasinya. Wujud kolaborasi ini bahkan menyambangi teritori yang sebelumnya tidak pernah disentuh. Kolaborasi dengan medan artistik lain seperti desain, fesyen, craft, fotografi, dan videografi telah dianggap lazim pada periode ini. Tidak terbatas pada disiplin yang serumpun, Dalam konteks seni rupa, perkembangan teknologi yang menawarkan keleluasaan rekayasa citraan tentunya disambut dan dirayakan. Akses pada teknologi citraan ini kemudian menghasilkan ragam seni media seperti fotografi dan videografi. Tidak terbatas pada media ini, modus media yang memadukan antara media yang cenderung baru dengan media-media konvensional juga dikembangkan oleh para seniman, dalam strategi intermedia. Didorong dengan semangat kolektif dan kolaborasi generasi muda, eksplorasi media ini kian dikembangkan dalam ragam eksplorasi yang hampir tak terbatas, menuju kolaborasi lintas profesi dan lintas disiplin. Dalam semangat seni media ini, seni rupa kontemporer dapat dinyatakan berkembang kian terbuka dalam proses eksperimentasinya. Wujud kolaborasi ini bahkan menyambangi teritori yang sebelumnya tidak pernah disentuh. Kolaborasi dengan medan artistik lain seperti desain, fesyen, craft, fotografi, dan videografi telah dianggap lazim pada periode ini. Tidak terbatas pada disiplin yang serumpun,

Seperti pada kemunculan lukisan kontemporer pada beberapa waktu sebelumnya, kehadiran seni media pada dekade 2000an juga menjadi sarana yang cair dan fleksibel untuk mengakomodir kebutuhan seniman. Seni media dapat dinyatakan bahkan telah mampu ‘melampaui’ representasi visual yang lazim menjadi perantaraan seni rupa, dengan melebarkan potensinya untuk dapat merepresentasikan ‘pengalaman’. Wacana dan tema yang direspon melalui media ini pun amat beragam. Seni media kemudian dapat memfasililtasi pencarian peluang-peluang baru eksperimentasi artistik hingga di tataran yang ‘radikal’.

Pengaruh lain yang diberikan aplikasi teknologi digital di Indonesia adalah munculnya strategi intermedia. Selain eksperimentasi ‘radikal’ yang dikerjakan melalui seni media, seniman-seniman yang sebelumnya bekerja dengan media ‘konvensional’ kemudian melihat peluang eksperimentasi lanjutan yang dapat dikembangkan melalui bantuan teknologi. Serupa dengan periode sebelumnya ketika wacana instalasi mulai mengemuka, beberapa seniman kontemporer melihat potensi pelebaran eksperimentasi artistik melalui instrumentalisasi piranti dan teknologi yang digunakan dalam seni media. Tawaran ini pun kemudian digarap lebih lanjut dalam pencarian peluang-peluang eksplorasi baru.