Wacana Seni Rupa Kontemporer dalam Penye

Ganjar Gumilar & Agung Hujatnika

Program Studi Magister Seni Rupa, Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung, Jl. Ganesha No. 10, Bandung 40132, Indonesia

E-mail: ganjar.gumilar25@gmail.com

Abstrak. Posisi wacana seni rupa kontemporer Indonesia pada awal dekade 1990an dapat dinyatakan cenderung problematik menyusul ambivalensi sikap medan yang di satu sisi mendukung dan melihat adanya potensi darinya, sementara di sisi lain cenderung menganulir signifikansinya. Seiring perkembangannya wacana ini dapat secara gradual membangun relevansi dan kesesuaian konteksnya di dalam negeri, dengan pertama-tama terbantu oleh elevasi rekognisi yang diperoleh para eksponennya di forum seni rupa regional dan global, kemudian dibantu dengan upaya medan dalam mendistribusikan wacana ini di dalam negeri. Dalam proses distribusi dan mediasi di dalam negeri, bienal-bienal lokal dan nasional menjadi salah satu ruang dimana misi tersebut dilakukan, dan dengan mengamati dinamika penyelenggaraanya proses tersebut dapat menjadi terpetakan. Penelitian ini kemudian hendak melakukan pemetaan dan pembacaan pada proses tersebut, dengan berpijak pada metode kajian kuratorial dan sejarah pameran. Dengan menjadikan pameran sebagai objek analisis utamanya, pembacaan diharapkan dapat menjangkau aspek-aspek pewacanaan lain di samping estetika sebagaimana umumnya menjadi aspek utama dalam analisa sejarah. Dengan menganalisa performa kuratorial bienal- bienal yang diselenggarakan pada periode 1993-2003, dapat ditarik kesimpulan bahwa bienal-bienal ini berhasil menjalankan fungsinya sebagai platform persuasi wacana seni kontemporer hingga sepenuhnya diterima oleh medan dan menjadi arus utama. Pameran-pameran ini menjadi ruang terjadinya proses adopsi, artikulasi, dan kontekstualisasi wacana seni kontemporer. Dalam proses ini pun akan teramati bagaimana wacana seni rupa kontemporer Indonesia yang semula diidentifikasi secara spesifik melalui sensibilitas sosial politik yang umumnya dikerjakan melalui media instalasi, menjadi sepenuhnya plural dan merespon beragam aspek ketimpangan kemanusiaan dan kebudayaan. Dapat pula dinyatakan bahwa awal dekade 2000an menjadi momentum dimana praktik seni rupa kontemporer Indonesia telah sepenuhnya menjadi ‘sezaman’ dengan dinamika peradaban di dalam negeri.

Kata Kunci: kajian kuratorial, sejarah pameran, wacana seni rupa kontemporer, bienal Abstract. In the early 1990s, practice of contemporary art in Indonesia was thought

of as somewhat problematic following artscene’s mixed reaction which on the one hand encourage and saw its potentials and at the other hand tend to nullify its significance. In advance, this discourse gradually attained its contextual relevance prompted by achieved International recognition by Indonesian contemporary artists followed by artscene’s initiatives to promote and distribute this discourse in national level. In these attempt, local and national biennales held a prominent role, and through careful examination on its dynamic, theses process could be demystified. This thesis aims to demystify this process, by utilizing curatorial studies and exhibition history. This alternate approach enables this research to widen its scope of analysis aside from aesthetic discourse which is already ‘established’ in ‘conventional’ art history. Through careful examination towards each of its curatorial performance, it may well be argued that biennales serve as a platform to of as somewhat problematic following artscene’s mixed reaction which on the one hand encourage and saw its potentials and at the other hand tend to nullify its significance. In advance, this discourse gradually attained its contextual relevance prompted by achieved International recognition by Indonesian contemporary artists followed by artscene’s initiatives to promote and distribute this discourse in national level. In these attempt, local and national biennales held a prominent role, and through careful examination on its dynamic, theses process could be demystified. This thesis aims to demystify this process, by utilizing curatorial studies and exhibition history. This alternate approach enables this research to widen its scope of analysis aside from aesthetic discourse which is already ‘established’ in ‘conventional’ art history. Through careful examination towards each of its curatorial performance, it may well be argued that biennales serve as a platform to

Keywords: curatorial studies, exhibition history, contemporary art discourse, biennale

1 Latar Belakang

Saat ini, penempatan label ‘kontemporer’ dalam praktik seni rupa Indonesia dapat dinyatakan tidak lagi mengandung kontradiksi. Praktik seni rupa kontemporer adalah frasa yang telah menjadi lazim beredar. Wacana mengenai praktik seninya pun telah menjadi diskursus yang sentral posisinya dalam aktivitas medan. Kondisi-kondisi ‘sezaman’ dan plural yang seringkali menjadi parameter identifikasinya pun dapat dinyatakan telah sepenuhnya tercermin dalam praktik seni rupa Indonesia saat ini. Mengikuti apa yang Smith (2011) kemukakan, seni rupa kontemporer Indonesia telah menjadi representasi dari dinamika peradaban, dimana beragam problematika kemanusiaan dan kebudayaan dibicarakan bersama- sama secara bersamaan.

Tidak begitu saja wacana seni kontemporer menduduki posisi yang demikian di Indonesia. Selayaknya sebuah wacana baru, wacana ini telah menempuh proses persuasi yang dapat dinyatakan cukup rumit dan panjang. Sebelum dapat diterima dan lazim diperbincangkan medan seperti saat ini, wacana seni kontemporer menempati posisi yang bertolak-belakang pada periode-periode sebelumnya. Di awal dekade 1990an, posisi wacana ini dapat dinyatakan cenderung problematik. Respon medan dalam menghadapinya memperlihatkan kesan yang ambivalen. Kesan ini akan terasa dari reaksi medan terhadap pameran dan peristiwa seni yang menguji-cobakan wacana tersebut. Setidaknya dengan meninjau bagaimana penyelenggaraan Binal Experimental Arts 1992 dan Biennale Seni Rupa Kontemporer Jakarta 1993 diterima oleh medan, tarik-menarik antara sikap afirmatif dan kontraproduktif ini akan terilustrasikan.

Respon yang diperoleh BEA 1992 dapat dinyatakan cenderung afirmatif. Munculnya karya-karya yang sarat dengan eksperimen kreatif pada peristiwa ini kemudian dilihat berpotensi memberikan warna baru pada perkembangan seni rupa Yogyakarta, sebagai alternatif pengembangan seni lain yang hadir dari ‘kenakalan’ dan ‘keliaran’ seniman mudanya. Dampak diskursif yang ditimbulkan BEA 1992 bahkan secara tidak langsung hingga terasa pengaruhnya pada kebijakan pengembangan program seri Bienal Yogyakarta pasca edisi 1992. BEA sendiri memang diselenggarakan untuk merespon penyelenggaraan Bienal Seni Lukis Yogyakarta 1992 yang dinilai terlalu berpihak pada wacana seni lukis ‘resmi’ dan tidak sepenuhnya mencerminkan perkembangan termutakhir dari praktik seni rupa kontemporer Yogyakarta. Melalui advokasi yang dilakukan BEA 1992, kebijakan- kebijakan penyelenggaraan Bienal Yogyakarta pasca edisi 1992 kemudian beranjak cenderung mulai lebih afirmatif pada wacana seni kontemporer.

Respon yang sepenuhnya berlainan justru diperoleh BSRJ 1993. Wacana seni kontemporer dan posmodernisme yang ditempatkan sebagai proposisi utama kuratorial pameran mendapatkan kritik yang berjalan kontraproduktif terhadap proses persuasi wacana tersebut. Alih-alih menjadi kelanjutan advokasi yang dilakukan BEA 1992, penyelenggaraan BSRJ IX 1993 seolah menganulir relevansi hadirnya wacana seni kontemporer di dalam negeri. Kritik intensif pada yang mengiring penyelenggaraan BSRJ IX 1993 pun cenderung tidak banyak menghasilkan

kesimpulan yang menjelaskan (Hujatnika, 2001). Alih-alih memberikan kontribusi definitif seputar seni rupa kontemporer, BSRJ IX 1993 justru meninggalkan banyak pertanyaan pasca penyelenggaraanya. Kegamangan ini pun seolah dibiarkan menggantung kemudian untuk menyurut dan tidak lagi dibicarakan di tahun-tahun berikutnya.

Meski sebagian fragmen medan mengafirmasi potensi wacana seni kontemporer, secara umum respon yang diberikan cenderung terlihat apatis. Apresiasi pun diberikan sebatas kontribusinya untuk memberikan alternatif arah pengembangan yang sifatnya komplementer / melengkapi wacana seni arus utama. Kenyataan saat ini dimana seni kontemporer benar-benar menjadi substitusi wacana yang sifatnya lebih relevan tentunya masih sulit untuk dibayangkan. Penyikapan disinyalir menjadi demikian karena beberapa kondisi yang terjadi khas pada awal dekade 1990an. Kondisi ini sedikit banyak mendapatkan pengaruh dari konteks sosial politik pada masa tersebut.

Dekade 1990an adalah dekade terakhir dari masa pemerintahan Orde Baru yang terkenal represif, militeris, tertutup, dan terpusat. Kebebasan berekspresi dan berpendapat adalah sebuah kemewahan kala itu. Pemerintah berupaya dengan amat ketat mengorkestrasi wacana yang beredar di publik, tak terkecuali mengenai wacana seni. Pada masa Orde Baru, strategi kebudayaan yang diterapkan diupayakan untuk menjadi etalase pencitraan kesuksesan Pembangunan. Seni diarahkan untuk secara romantis memperlihatkan keharmonisan sosial dan memperlihatkan keindahan. Media ‘resmi’ yang diutamakan pun adalah media- media konvensional terutama seni lukis. Karena sifatnya yang represif tersebut pula, karya-karya yang mengandung potensi penyadaran sosial kemudian benar- benar ditekan. Fenomena ini di kemudian hari di kenal dalam istilah depolitisasi seni, dimana seni kemudian dilucuti muatan sosial-politiknya. Alur edaran wacana seni resmi tidak hanya tersirkulasi di kalangan birokrat, namun dampak rembesannya dapat dilihat pada kebijakan akademi seni negeri, lembaga-lembaga kebudayaan pemerintah, hingga pada praktik pasar.

Hal lain yang juga mendukung kemapanan bangunan wacana seni lukis resmi adalah apresiasi pasar yang amat positif terhadapnya. Pada periode-periode ini, medan seni rupa Indonesia tengah merayakan gelembung (boom) seni lukis. Dengan dilandasi kondisi-kondisi ini, karakter karya seni kontemporer yang eksperimental dan mengandung potensi kritik sosial politik tentunya berseberangan dengan arus utama wacana yang diacu medan kala itu. Faktor-faktor ini yang kemudian menyebabkan seni rupa kontemporer sulit untuk berkembang di awal dekade 1990an.

Dengan sikap-sikap medan yang demikian, seni rupa kontemporer beserta para eksponennya mesti terlebih dahulu menempuh proses inkubasi di forum regional Dengan sikap-sikap medan yang demikian, seni rupa kontemporer beserta para eksponennya mesti terlebih dahulu menempuh proses inkubasi di forum regional

Beriringan dengan mulai diperolehnya rekognisi oleh para proponen seni kontemporer di forum regional, menyusul diikuti dengan afirmasi medan yang lambat laun menerima, serta mulai berdiri pada landasan sosial politik yang lebih leluasa pada Reformasi, wacana seni kontemporer kemudian berkembang kian umum dalam praktik seni rupa Indonesia. Pergeseran ini terjadi sepanjang pertengahan dekade 1990an hingga awal dekade 2000an. Eksperimentasi artistik yang sebelumnya dianggap radikal mulai dilegitimasi, potensi representasi sosialnya mulai lebih leluasa termediasi, dan pernyataan artistiknya mulai dapat dikomodifikasi. Di tataran tertentu, hal wacana seni rupa kontemporer bahkan cenderung ‘dirayakan’ dan kesangsian-kesangsian sebelumnya lambat-laun mulai pudar.

Pada dekade 2000an, wacana seni rupa kontemporer dapat dinyatakan menjadi bahan perbincangan utama dan menjadi wacana mainstream seni rupa Indonesia. Pada periode ini pula seni rupa kontemporer Indonesia mula benar-benar memperlihatkan sifatnya yang plural. Praktik seni kontemporer ‘sebelumnya’ yang lazim diidentifikasi melalui eksplorasi media instalasi dan menunjukkan sensibilitas sosial politik berkembang kian majemuk. Dalam kondisi plural tersebut, praktik seni kontemporer Indonesia bergerak bebas menjangkau problematika kemanusiaan yang lebih luas, seperti permasalahan identitas, problematika budaya urban, kapitalisme dan konsumerisme, isu gender dan LGBT, bahkan secara cukup ‘radikal’ kembali ke permasalahan-permasalahan estetika. Media instalasi yang dominan pada ‘awal’ perkembangan seni kontemporer Indonesia pun mengalami perluasan, dimana media dan strategi baru berkesenian mulai diterapkan. Perluasan aplikasi media ini bahkan menjangkau hingga ‘daur ulang’ medium-medium konvensional yang sebelumnya dianggap usang dan ditinggalkan.

Transisi dari sikap ambivalen menuju afirmasi sepenuhnya pada wacana seni kontemporer tentu mendapatkan pengaruh dari beragam faktor. Dari sekian banyak posibilitas bahasan, penelitian ini memutuskan untuk bertolak dari fokus pada fenomena pameran, khususnya bienal. Inisiatif ini dikembangkan dari amatan awal terhadap potensi sebuah pameran sebagai ruang persuasi wacana dimana seni kontemporer dapat dibicarakan. Pengerucutan pada jenis pameran bienal pun dinilai cukup strategis karena tidak hanya format ini menjanjikan hadirnya kesinambungan, melainkan juga posisinya juga signifikan sebagai ‘monumen’ dan institusi temporer yang mengemban privilese untuk melegitimasi inovasi-inovasi estetik termutakhir, mensubtitusi peran museum yang cenderung absen di Indonesia.

Dengan menjadikan pameran sebagai objek analisis utama, penelitian ini dapat mencoba memberikan alternatif pada penelusuran kemajemukan perkembangan seni kontemporer melalui perspektif sejarah yang umumnya berpijak pada seniman dan bersandar pada analisa estetik. Dalam bingkai metode kajian kuratorial ini pembacaan fenomena diharapkan dapat menjangkau aspek-aspek pewacanaan yang lebih luas, seperti konteks sosial politik, alur interaksi medan, singgungan- singgungan sosiologis, dan lain-lain.

1.1 Bieal-bienal di Indonesia Pada Periode 1993 - 2003

Label dan format pameran bienal di Indonesia mengandung muatan sejarah penyelenggaraan yang cukup signifikan. Saat ini pun posisinya bagi medan telah menjadi pameran-pameran yang sifatnya ‘monumental’. Meski bekerja di level yang berbeda, dalam konteks global pun posisi bienal tentunya menjadi signifikan, terutama semenjak dekade 1990an. Format pameran bienal telah menjadi “… medium dimana melaluinya karya seni rupa kontemporer dapat menjadi dikenal …“ (Ferguson, Nairne, dan Greenberg, 1996). Posisi bienal-bienal global kemudian menggeser peran museum yang semestinya melayani fungsi mediasi tersebut. Tumpang tindih fungsi ini terjadi karena kinerja dan akselerasi museum yang dinilai kurang tanggap dalam menangkap percepatan perkembangan seni rupa kontemporer.

Peran yang kurang lebih serupa juga sudah difungsikan dalam bienal-bienal di Indonesia saat ini, dimana bienal kemudian berfungsi sebagai etalase dan katalis perkembangan inovasi estetik. Tidak berhenti pada konteks ini, fungsi-fungsi yang kian meluas juga diperankan melalui bienal. Selain menjalankan fungsi yang telah disebutkan, bienal-bienal di Indonesia berperan pula sebagai media advokasi medium-medium tertentu, sebagai perluasan strategi promosi pariwisata, hingga sebagai stimulus awal inisiasi medan-medan seni lokal baru.

Dalam catatan penelitian ini, label bienal atau biennale pertama kali diterapkan oleh seri pameran bienal Jakarta pada tahun 1982, dalam Pameran Bienal V - Dewan Kesenian Jakarta. Implementasi ini menyusul kemudian digunakan dalam seri bienal Yogyakarta pada tahun 1988, dalam Biennale Seni Lukis Yogyakarta 1988. Hingga dekade 1990an, dapat dinyatakan bahwa kedua bienal ini yang secara konsisten mengiringi perkembangan seni rupa Indonesia, dengan diselingi penyelenggaraan trienal patung yang sesekali muncul. Patut pula dicatat bahwa selama dekade 80an dan 90an, penyelenggaraan bienal sepenuhnya dilatari patronase publik. Inisiatif privat dan partikelir sendiri baru dapat mewujud pada awal dekade 2000an, dengan Bandung Art Event 2001 dan CP Open Biennale 2003 sebagai inisiator pertamanya. Pada dekade 2000an, penyelenggaraan bienal mengalami peningkatan intensitas. Peningkatan ini kembali terlihat pada dekade- dekade setelahnya. Alur patronasenya pun kian menjadi beragam; antara yang sepenuhnya dibiayai institusi publik, sepenuhnya datang dari inisiatif privat dan partikelir, atau didukung sekaligus dari kolaborasi keduanya.

Dukungan patronase dalam sebuah bienal merupakan faktor yang perlu untuk diperiksa dalam melihat inkarnasi seni kontemporer di tanah air. Dalam kondisi medan yang dapat dinyatakan tidak sepenuhnya lengkap komponennya, bienal- bienal publik di Indonesia dapat dinyatakan juga ‘mengambil-alih’ peran museum sebagai institusi yang melegitimasi perkembangan artistik. Fungsi ini akan amat terasa dekade 70an-90an, dimana bienal menjadi ’institusi temporer’ yang melakukan legitimasi sejarah. Peran atau ‘kuasa’ yang demikian disinyalir dipengaruhi setidaknya dari 2 faktor, yakni format penyelenggaraan dan muatan kelembagaan yang menaunginya. Dengan diselenggarakan dalam format kompetisi dan tanggung jawabnya pada publik, bienal-bienal ini kemudian seringkali dinilai sebagai tolak ukur pencapaian estetik. Karya-karya yang dilibatkan pun, apalagi jika terpilih sebagai karya terbaik, tentunya mendapatkan legitimasi nasional akan signifikansinya. Selain dari dua faktor ini, sifat kesinambungan penyelenggaraan Dukungan patronase dalam sebuah bienal merupakan faktor yang perlu untuk diperiksa dalam melihat inkarnasi seni kontemporer di tanah air. Dalam kondisi medan yang dapat dinyatakan tidak sepenuhnya lengkap komponennya, bienal- bienal publik di Indonesia dapat dinyatakan juga ‘mengambil-alih’ peran museum sebagai institusi yang melegitimasi perkembangan artistik. Fungsi ini akan amat terasa dekade 70an-90an, dimana bienal menjadi ’institusi temporer’ yang melakukan legitimasi sejarah. Peran atau ‘kuasa’ yang demikian disinyalir dipengaruhi setidaknya dari 2 faktor, yakni format penyelenggaraan dan muatan kelembagaan yang menaunginya. Dengan diselenggarakan dalam format kompetisi dan tanggung jawabnya pada publik, bienal-bienal ini kemudian seringkali dinilai sebagai tolak ukur pencapaian estetik. Karya-karya yang dilibatkan pun, apalagi jika terpilih sebagai karya terbaik, tentunya mendapatkan legitimasi nasional akan signifikansinya. Selain dari dua faktor ini, sifat kesinambungan penyelenggaraan

Sebagai pameran yang mengemban tanggung jawab publik, keputusan-keputusan yang diambil dalam penyelenggaraan bienal tentunya akan selalu dibayangi respon dan kritik dari medan. Putusan-putusan ini pada pada awalnya dinilai cukup selaras dengan perkembangan seni rupa yang kala itu mengemuka, sehingga kritik dan respon yang hadir cenderung berjalan produktif dan sejalan dengan visi misi bienal. Keselarasan ini akan terasa mulai goyah kita riak-riak wacana seni rupa kontemporer mulai mengintervensi medan dan pada permulaan dekade 1990an. Berjalan beriringan dengan ambivalensi medan terhadap kemunculan wacana seni kontemporer, bienal-bienal ini dapat dinyatakan berhadapan pula dengan posisi yang dilematik. Sebagaimana disebutkan sebelumnya misalnya, ‘lompatan’ kuratorial yang diambil dalam BSRJ IX 1993 yang secara tiba-tiba langsung merangkul wacana seni kontemporer dan ‘diplomasi estetik’ dalam BSLY 1992 untuk berupaya memberi jarak kepadanya dengan tidak terburu-buru dalam merangkulnya, mendapatkan reaksi yang berlainan dari publik. Sebagian melihat bahwa bienal sudah sepatutnya mewacanakan seni kontemporer pada periode- periode tersebut, dan sebagian lain melihat irrelevansi darinya terhadap perkembangan seni rupa di tanah air.

Dalam kondisi yang serba menggantung tersebut, putusan-putusan yang diambil bienal dalam menghadapi seni kontemporer pun menjadi berseberangan. Resepsi medan pada kedua bienal publik di awal wacana tersebut muncul pun menjadi signifikan dalam penentuan sikap ini.

Pasca reaksi kontraproduktif terhadap BSRJ IX 1993, edisi lanjutan dari bienal Jakarta pada dekade 1990an justru menghindari pewacanaan seni kontemporer. Sentimen ini akan terasa pada edisi X (1996) dan XI (1998) dimana bienal kembali berpihak pada wacana seni lukis ‘resmi’. Pewacanaan seni kontemporer sendiri baru terjadi pada edisi XII di tahun 2006, terselang jeda kosong penyelenggaraan selama 8 tahun.

Bergerak ke arah yang berlainan, pasca edisi 1992 bienal Yogyakarta mulai melihat potensi dan relevansi dari seni kontemporer di tanah air, sebagaimana bantu ditunjukkan oleh BEA 1992 yang mengkritiknya. Seri bienal ini kemudian secara gradual membangun relevansi dan kontekstualisasi wacana tersebut di tanah air. Proses ini berkembang secara progresif sepanjang pertengahan dekade 1990an hingga awal dekade 2000an.

Wacana seni kontemporer mulai secara ‘diplomatis’ diakomodir oleh bienal Yogyakarta dalam payung besar acara Rupa-rupa Seni Rupa 1994 meski kala itu masih dianggap sebatas salah satu alternatif perkembangan. ‘Diplomasi’ ini kemudian diwujudkan dengan pengkhususan perkembangan melalui 3 ruang pemilahan yang dibasiskan kepada medium, yakni Biennale Seni Lukis Yogyakarta 1994, Pameran Seni Patung Outdoor, dan Pameran Seni Kontemporer - Instalasi. Melalui strategi ini, bienal Yogyakarta berupaya untuk secara konsisten menjaga objektivitas penyelenggaraannya meski format kompetisi mulai ditanggalkan. Pada edisi berikutnya, Biennale Seni Rupa Yogyakarta 1997, wacana seni kontemporer tidak lagi dilihat sebagai bentuk eksplorasi medium yang parsial, melainkan sebagai sebuah totalitas perkembangan. Dalam edisi 1997 ini pun istilah ‘seni rupa’ Wacana seni kontemporer mulai secara ‘diplomatis’ diakomodir oleh bienal Yogyakarta dalam payung besar acara Rupa-rupa Seni Rupa 1994 meski kala itu masih dianggap sebatas salah satu alternatif perkembangan. ‘Diplomasi’ ini kemudian diwujudkan dengan pengkhususan perkembangan melalui 3 ruang pemilahan yang dibasiskan kepada medium, yakni Biennale Seni Lukis Yogyakarta 1994, Pameran Seni Patung Outdoor, dan Pameran Seni Kontemporer - Instalasi. Melalui strategi ini, bienal Yogyakarta berupaya untuk secara konsisten menjaga objektivitas penyelenggaraannya meski format kompetisi mulai ditanggalkan. Pada edisi berikutnya, Biennale Seni Rupa Yogyakarta 1997, wacana seni kontemporer tidak lagi dilihat sebagai bentuk eksplorasi medium yang parsial, melainkan sebagai sebuah totalitas perkembangan. Dalam edisi 1997 ini pun istilah ‘seni rupa’

Mendekati penghujung dekade 1990an dan awal dekade 2000an penyelenggaraan bienal Yogyakarta dapat dinyatakan mengalami tikungan kuratorial lainnya yang mulai mengarah pada pematangan, dimana penentuan relevansi praktik dengan kondisi kultural dalam negeri dan kontekstualisasi yang lebih menjangkar mulai dilacak dan dilakukan. Capaian ini akan terlihat dalam penyelenggaraan Biennale Seni Rupa Yogyakarta 1999 dan Biennale Yogyakarta 2003: Countrybution. Patut pula dicatat, proses pematangan ini ‘berhutang’ pada peran kurator luar domisili Yogyakarta yang diundang untuk menangani kuratorial pameran setelah dinilai mampu lebih memahami resiko dalam mengimplementasikan wacana seni kontemporer dalam pameran seni di dalam negeri.

Setelah wacana seni kontemporer mulai dile gitimasi relevansinya di tanah air melalui ‘institusi-institusi temporer ini, inisiatif privat dan partikelir mulai menunjukkan kontribusinya dalam praktik pewacanaan tersebut, terutama dalam tahap diversifikasi. Salah satu bienal privat yang turut berkontribusi dalam proses ini adalah CP Open Biennale 2003. Penyelenggaraan bienal ini menjadi indikasi dari tercapainya kondisi plural dalam praktik seni rupa kontemporer Indonesia, dimana praktik seni dapat secara eklektik menampung beragam pernyataan dan berkorespondensi dengan beragam permasalahan secara bersamaan.

Sebagaimana telah diulas ringkas, seri bienal Yogyakarta pada dekade 1990an turut berkontribusi pada proses adopsi, implementasi dan kontekstualisasi wacana seni kontemporer di dalam negeri. Untuk memberikan gambaran yang lebih mendalam, penelitian ini kan menyoroti beberapa edisi penyelenggaraannya sebagai sampel. Sampel yang kemudian ditentukan adalah edisi penyelenggaraan 1999 dan 2003.

Dengan pula menimbang terjadinya fenomena diversifikasi praktik seni pada awal dekade 2000an, salah satu bienal yang diselenggarakan dari inisiatif privat juga akan ditetapkan sebagai sampel, yakni CP Open Biennale 2003. Pemilihan ini didasarkan tidak hanya dari sifatnya sebagai indikator pluralitas dan ‘sezaman’, melainkan juga dengan menimbang skala penyelenggaraan yang besar, visi kuratorial yang ambisius, serta kesadaran kuratornya untuk secara spesifik membahas problematika seni kontemporer di wilayah perifer.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang telah disebutkan, sampel penelitian yang kemudian ditentukan antara lain: Biennale Seni Rupa Yogyakarta 1999, Biennale Yogyakarta 2003: Countrybution, dan CP Open Biennale 2003.

2 Metodologi dan Teori

Menimbang objek penelitian yang berkisar pada fenomena mediasi wacana seni kontemporer, penelitian ini tentunya akan menggunakan metode kualitatif. Metode analisis Menimbang objek penelitian yang berkisar pada fenomena mediasi wacana seni kontemporer, penelitian ini tentunya akan menggunakan metode kualitatif. Metode analisis

2.1 Kajian Kuratorial

Kajian kuratorial adalah salah satu metode yang tergolong baru dalam membedah dinamika perkembangan seni kontemporer. Metode ini muncul beriringan dengan ekskalasi dan ekspansi peran kurator dalam praktik seni kontemporer semenjak dekade 1990an. Fenomena ini sendiri juga secara insidental berlangsung bersamaan dengan proliferasi bienal yang marak terjadi pada masa-masa tersebut. Kehadiran kajian kuratorial sebagai disiplin yang melengkapi komponen akademi seni kemudian menjadi penegasan dan penekanan institusionalisasi kurator sebagai profesi, untuk menyusul ketertarikan terhadapnya yang sebelumnya mewujud dalam lokakarya, seminar, residensi, dan program- program pelatihan kuratorial pendek lainnya.

Sebagai disiplin yang dapat dinyatakan masih tergolong muda, ketersediaan literatur yang membahas kajian kuratorial masih cenderung terbatas. Di Indonesia sendiri, terlepas dari mulai merebaknya ulasan dan kritik pameran di media massa, ketertarikan untuk menjadikan pameran sebagai objek penelitian dan bahan analisis dapat dinyatakan masih cenderung minim. Salah satu proponen yang secara konsisten mengadvokasikan potensi dari kajian kuratorial di Indonesia adalah Agung Hujatnika. Dalam disertasinya (2012), Ia secara khusus mengelaborasi kajian kuratorial sebagai disiplin. Upaya ini disarikan dari pemikiran-pemikiran para pengamat kekuratoran global. Menurut Hujatnika (op. cit) kajian kuratorial merupakan salah satu bentuk evaluasi pameran yang menempatkan performansi kuratorial seperti bingkai tematik, gagasan, serta konsep pameran sebagai objek penilaian kritik (Hujatnika, 2012). Aspek yang dikaji dalam kajian kuratorial dapat menjadi meluas ataupun spesifik, serta menunjukkan sifat yang multifaset, terbuka pada interaksi antar disiplin, dan bersifat diskursif.

Gambar 1 Bagan perbedaan Kajian Kuratorial dan Sejarah Seni

Karena sifatnya yang masih baru pun, disiplin ini masih perlu menginduk pada disiplin dan metode telaah lain yang telah lebih dulu mapan seperti museologi dan sejarah seni. Secara epistemologis, pisau bedah yang banyak digunakan dalam metode ini dapat mengadaptasi dari analisis wacana dan cultural studies. Karena rujukan mekanisme ini pula, kajian kuratorial kemudian mampu fenomena artistik hingga mencakup pembedahan mekanisme kuasa yang mengitari sebuah pameran.

Meski kajian kuratorial akan banyak merujuk pada sejarah seni, secara esensial keduanya berbeda pada level objek telaah utama. Dalam perspektif sejarah seni, narasi sejarah kemudian dibangun di atas interpretasi dan evaluasi terhadap karya seni melalui estetika sebagai bingkai utamanya. Berbeda dengan hal ini, kajian kuratorial cenderung menempatkan pameran sebagai objek penilaian kritik. Sebagaimana alur rujukan epistemologisnya pada analisis wacana, penelusuran wacana kuratorial dapat dilakukan dengan menelaah sejumlah pernyataan dalam bentuk teks. ‘Teks’ dalam konteks ini kemudian dapat dipahami dengan lebih luas, dalam bentuk-bentuk representasi lainnya dan tidak terbatas hanya pada yang tertulis dan terucap. Pengantar kuratorial, pengantar penyelenggara, strategi presentasi, pilihan karya dan seniman, ulasan pameran di media massa, adalah beberapa ‘teks’ yang potensial untuk di bedah dalam kajian kuratorial.

Karena sifatnya yang masih baru pun, disiplin ini masih perlu menginduk pada disiplin dan metode telaah lain yang telah lebih dulu mapan seperti museologi dan sejarah seni. Secara epistemologis, pisau bedah yang banyak digunakan dalam metode ini dapat mengadaptasi dari analisis wacana dan cultural studies. Karena rujukan mekanisme ini pula, kajian kuratorial kemudian mampu fenomena artistik hingga mencakup pembedahan mekanisme kuasa yang mengitari sebuah pameran.

Meski kajian kuratorial akan banyak merujuk pada sejarah seni, secara esensial keduanya berbeda pada level objek telaah utama. Dalam perspektif sejarah seni, narasi sejarah kemudian dibangun di atas interpretasi dan evaluasi terhadap karya seni melalui estetika sebagai bingkai utamanya. Berbeda dengan hal ini, kajian kuratorial cenderung menempatkan pameran sebagai objek penilaian kritik. Sebagaimana alur rujukan epistemologisnya pada analisis wacana, penelusuran wacana kuratorial dapat dilakukan dengan menelaah sejumlah pernyataan dalam bentuk teks. ‘Teks’ dalam konteks ini kemudian dapat dipahami dengan lebih luas, dalam bentuk-bentuk representasi lainnya dan tidak terbatas hanya pada yang tertulis dan terucap. Pengantar kuratorial, pengantar penyelenggara, strategi presentasi, pilihan karya dan seniman, ulasan pameran di media massa, adalah beberapa ‘teks’ yang potensial untuk di bedah dalam kajian kuratorial.

2.2 Wacana Seni Kontemporer

Sebagai sebuah praktik yang cair, eklektik, dan sangat beragam, upaya mendefinisikan praktik seni kontemporer dalam sebuah premis tunggal tentunya adalah pekerjaan yang ‘menantang’, jika bukan tidak mungkin. Pembahasan atasnya kemudian biasanya akan amat bersifat kontekstual sehingga sulit untuk dapat berlaku secara universal.

Dari sekian banyak upaya penjelasan, penelitian ini memutuskan untuk merujuk pada poin pemikiran Terry Smith (2011) dalam upayanya menjelaskan praktik seni kontemporer. Ia menyadari sifat kontekstual dari praktik ini, dan mencoba melerainya dengan membagi penjelasan melalui batasan-batasan konteks tertentu. Secara umum, premis utama yang Smith nyatakan mengenai seni kontemporer adalah mengenai keterkaitannya dengan realitas kehidupan peradaban mutakhir sehari-hari, serta kaitannya sebagai cerminan pada pengalaman ‘ke-sekarang-an’ (contemporainity) (Smith, 2011:8). Ia lanjut menjelaskan bahwa dalam ‘mengalami kesekarangan’, dunia dihadapkan pada beragam fenomena, ketertarikan, dan ketimpangan yang terjadi secara simultan, paralel, dan bersamaan di seluruh dunia. Karenanya, seni kontemporer telah benar-benar menjadi seni rupa dunia, Ia datang dari beragam penjuru dunia dan melihat dunia sebagai sebuah entitas singular yang terdiferensiasi sedemikian rupa di setiap penjurunya namun menunjukkan alur interaksi dan keterkaitan yang amat erat, sebuah kondisi yang tidak pernah dicapai sebelumnya.

Untuk menjangkarkan pembahasannya pada konteks-konteks spesifik, Smith memilah paparannya ke dalam 3 koridor pembahasan, antara lain: (1) Becoming Contemporary in EuroAmerica, (2) The Transnasional Transition, dan (3) Contemporary Concerns.

Dalam Becoming Contemporary in EuroAmerica, Smith membatasi pembahasannya pada awal perkembangan seni rupa kontemporer di Eropa dan Amerika dari perkembangan modernisme akhir (1950-60an) hingga ‘periode kontemporer awal’ (70-80an), yang kemudian kian berkembang menggelembung (boom) pada dekade 1990an hingga saat ini. Dalam arus ini, paparan Smith terasa menjadi quasi-historis yang membayangkan perkembangan sebuah fenomena sebagai sesuatu yang linear dengan mengaitkan terobosan- terobosan estetik seniman-seniman kontemporer Barat dalam alur diakronik. ‘Quasi- historis’ disebutkan disini karena Smith menampik elaborasinya sebagai paparan sejarah.

Untuk koridor ke dua, The Transnational Transition, Smith berupaya memberi porsi penjelasan khusus bagi praktik seni di wilayah non-Barat yang sebelumnya terpinggirkan dan dianggap insignifikan dalam takaran modernisme. Terminologi ‘transisi’ digunakannya menyusul upayanya dalam melihat tikungan penting yang terjadi dalam praktik seni di negara-negara poskolonial tersebut untuk menunjukkan gejala-gejala seni rupa kontemporer. Dalam membahasnya, Smith banyak melakukan analisis sinkronik dengan melandaskan paparan pada konteks sosial politik sebagai basis dari perkembangan seni kontemporer di wilayah-wilayah perifer ini. Kartografi geografis pada bagian ini secara dominan diterapkan untuk melihat unit-unit perkembangan seni kontemporer di seluruh dunia. Korespondensi dengan modernisme menjadi relevan disini, semenjak konsep negara- bangsa merupakan salah satu ‘produk’ yang lahir dari paham tersebut. Pembahasannya pun menjadi dominan bertolak dari problematika yang muncul dari diseminasi konsep negara bangsa sebagai ekses kolonialisasi yang juga berfungsi sebagai jembatan diterimanya nilai —nilai ‘modernisme’ Barat di negara-negara kolonial dengan beragam tingkat penyaduran. Ideologi ini seringkali kemudian bersitegang dengan nilai-nilai lokal yang bersumber dari nilai-nilai etnis, agama, atau tradisi. Dimulai dari ‘konflik’ dan singgungan ideologi ini, ‘identitas budaya nasional’ mengemuka menjadi cita-cita tipikal yang menjadi tujuan utama penyelenggaraan kebudayaan di negara-negara tersebut. Dan dalam upaya pencarian identitas ini, beragam upaya dilakukan oleh seniman dan praktisi seni lainnya yang kemudian menciptakan bentuk-bentuk seni yang lebih hibrid dan beragam. Sensibilitas artistik yang merespon polemik identitas kebudayaan yang sedemikian rupa di negara- negara non-Barat ini kemudian mewujud menjadi ‘produk-produk’ seni kontemporer dalam arus kedua ini.

Untuk koridor pembahasan terakhir, Contemporary Concern, Smith mengunci penjelasannya pada tema-tema partikular yang mengemuka didiskusikan dalam praktik seni kontemporer secara umum yang (kembali) disarikan dari pembacaan karya. Ia mendemonstrasikan bagaimana pluralisme dirayakan dalam bagian ini, menggambarkan beragam problematika kemanusiaan mutakhir yang dialami secara bersamaan dan paralel di dunia namun menunjukkan karakter spesifik akibat peririsannya dengan nilai-nilai lokal, oleh seniman melalui karyanya. Atas pembahasan yang dominan disarikan dari pembacaan karya, penelitian ini mengajukan agar melihat isu-isu yang diutarakan oleh Smith pada paparan ini terbatas pada tema dan subject matter karya seni kontemporer, tidak serta merta menjabarkan ‘pertimbangan-pertimbangan kontemporer’ sepenuhnya. Anjuran tersebut diajukan menimbang paparan Smith cenderung luput menyertakan aspek distribusi dan mediasi seni kontemporer yang justru melahirkan terobosan-terobosan perspektif baru dalam mendekati fenomena tersebut.

3. Analisis

Pada bagian ini, analisis akan dipilah ke dalam 2 bagian. Bagian pertama akan secara khusus mengartikulasikan premis-premis kuratorial yang dibangun dalam pameran sampel guna merunut esensi pembahasan pada tiap pameran. Bagian kedua akan membahas perkembangan wacana seni rupa kontemporer Indonesia pada dekade 1990an dan awal dekade 200an. Dua poin bahasan dengan sorotan yang spesifik dipilah pada bagian ini, pertama pada perkembangan wacana kuratorial dan kedua terhadap perkembangan wacana Pada bagian ini, analisis akan dipilah ke dalam 2 bagian. Bagian pertama akan secara khusus mengartikulasikan premis-premis kuratorial yang dibangun dalam pameran sampel guna merunut esensi pembahasan pada tiap pameran. Bagian kedua akan membahas perkembangan wacana seni rupa kontemporer Indonesia pada dekade 1990an dan awal dekade 200an. Dua poin bahasan dengan sorotan yang spesifik dipilah pada bagian ini, pertama pada perkembangan wacana kuratorial dan kedua terhadap perkembangan wacana

3.1 Artikulasi Kuratorial Pameran Sampel Dalam bagian ini, esai-esai kuratorial yang mendampingi bienal-bienal sampel akan dirangkum dan disarikan dalam pemaparan yang lebih ringkas. Interpretasi dan penyederhanaan ini perlu dilakukan menimbang format penulisan yang seringkali amat cair. Premis dan gagasan kunci kuratorial yang dijelaskan akan mencakupi pewacanaan seni kontemporer dalam bienal, metode dan cara-cara spesifik yang ditempuh kurator dalam cara mewacanakannya, dan poin-poin wacana estetik yang disorot.

3.1.1 BSRY 1999 Dalam BSRY 1999, seni kontemporer didefinisikan sebagai perkembangan praktik seni rupa termutakhir. Premis ini tercermin dari bagaimana kurator memilih untuk secara objektif mengarahkan performa kuratorial sebagai sebuah pembacaan. Dalam proses pembacaan tersebut, disebutkan pula faktor dan fenomena apa saja yang turut membangun praktik seni yang demikian, mulai dari pengaruh perkembangan teori seni, globalisasi seni 90an, dan interaksi sosiologis seniman lintas generasi. Selain identifikasi faktor pengaruh, kurator juga menggarisbawahi inovasi dan perkembangan yang mengemuka pada batasan periode pamerannya.

Gambar 2 Sampul Depan Katalog BSRY 1999

Wacana estetik yang kemudian disorot dalam BSRY 1999 adalah contemporary painting dan popular art. Pada akhir dekade 90an, lukisan kembali dilihat menawarkan potensi eksplorasi artistik yang luas terutama pada probabilitasnya sebagai media representasi yang luas. Kemunculan gejala popular art di Yogyakarta menandakan dua hal. Pertama adalah pelebaran sensibilitas sosial untuk melampaui stereotip sosial politik, dan kedua adalah munculnya generasi baru seniman pasca gelombang internasionalisasi yang mengeksplorasi idiom popular ini. Pada generasi baru seniman muda ini, pendekatan berkarya mulai dikembalikan pada personalitas dan subjektivitas seniman sehingga tema karya mulai beragam. Hal ini berbeda dengan generasi ‘seniman internasional’ yang banyak terdorong dari gejolak sosial politik yang terjadi dalam negeri.

3.1.2 BY 2003: Countrybution

Dalam BY 2003: Countrybution, seni kontemporer didefinisikan sebagai seni yang kembali terhubung dengan kehidupan. ‘Definisi’ ini tidak disebutkan secara eksplisit, melainkan secara sublim bertolak dari pertanyaan retoris seputar ‘kontribusi seni’ terhadap negara. ‘Pelatuk’ reflektif ini kemudian mendorong seniman untuk tidak terlalu terbebani dengan tuntutan pemenuhan fungsi seni dalam membangun tatanan sosial kemasyarakatan, melainkan merumuskan capaian-capaian sosial yang lebih mungkin dijangkau ‘meskipun’ melalui pendekatan yang lebih sehari-hari dan jauh dari kesan ‘heroik’.

Gambar 3 Sampul Depan Katalog BY 2003: Countrybution

Dalam membangun pernyataan tersebut, kontekstualisasi terhadap dinamika sosial politik termutakhir digunakan sebagai landasan premis kuratorial. Kontekstualisasi sosial dipilih untuk membangun relevansi bienal dengan publik, setelah bercermin pada beberapa kasus penyelenggaraan bienal internasional yang terkesan artifisial, berjarak, dan tidak terhubung dengan publiknya.

Pencanggihan dan kebaruan dalam konteks estetik yang kemudian disoroti kurator dalam BY 2003 antara lain: mengemukanya kolaborasi dan strategi kolektif seni sebagai katalis eksplorasi estetik; munculnya pendekatan seni partisipatoris, seni berbasis proyek, dan happening; serta respon terhadap isu-isu trivial yang sehari- hari. Sorotan ini tentunya merupakan ‘hasil’ dari metode kontekstualisasi sosial yang dipilih. Countrybution, dengan demikian menengarai peluang interaksi sosiologis yang sifatnya lebih cair sebagai pilar alternatif lain dalam mendorong perkembangan praktik seni rupa kontemporer.

3.1.3 CPOB 2003 - Interpellation CPOB 2003 adalah bienal yang paling inklusif diantara sampel lainnya. Pada

pameran ini, definisi-definisi tentang seni kontemporer pada pameran-pameran sebelumnya juga dicakupi. Melalui performa kuratorialnya seni rupa kontemporer kemudian dapat didefinisikan sebagai praktik seni yang benar-benar menjadi ‘sezaman’. Pada BSRY 1999 definisi serupa memang juga tercermin, namun sorotan pada wacana estetik tertentu menjadikannya berbeda dengan pameran ini. Dalam CPOB, pluralisme dan inklusifitas sepenuhnya tercermin dan dirayakan.

Dengan kesamaan bingkai definisi ini pula dapat dilihat bahwa ‘kondisi sezaman’ pada akhir dekade 1990an dan paruh awal 2000an menunjukkan perkembangan.

Premis definitif kedua yang dielaborasi dalam CPOB 2003 adalah praktik seni rupa kontemporer Timur (Non-Barat) yang berbeda dengan Barat. Perbedaan ini ‘ditunjuk’ dengan terlebih dahulu menguji ketepatan dan relevansi potensi pembingkaian teori-teori seni termutakhir terhadap praktik seni kontemporer non- Barat. Pembuktian irrelevansi ini kemudian menjadi landasan pameran untuk menyerukan interupsi (interpellation) atas perlunya bingkai pewacanaan baru yang diharapkan dapat lebih relevan menjelaskan praktik seni non-Barat. Gagasan yang diajukan kemudian adalah ‘art with an accent’, yang menjelaskan bahwa seni kontemporer di wilayah Timur merupakan bentuk aksentuasi seni rupa dalam pemahaman Barat. Strategi pewacanaan yang demikian terkesan menjadi sebatas ‘tawaran’ bagi forum internasional dan tidak banyak berkorespondensi dengan pewacanaan seni kontemporer di ranah lokal. Dalam konteks nasional sendiri, pameran ini mendemonstrasikan kondisi seni rupa kontemporer yang berciri plural dan inklusif.

Gambar 4 Sampul Depan Katalog CPOB 2003: Interpellation

Meski dinyatakan paling inklusif dan mencakupi gagasan definitif dari sampel pameran lainnya, masih terdapat beberapa poin wacana estetik partikular yang diajukan dalam pameran ini, antara lain: new media art, contemporary painting, dan penggunaan material lokal. Media baru dalam pameran ini mencakupi fotografi, videografi, ‘patung kontemporer’, dan strategi intermedia. Karya ‘patung kontemporer’ yang dimaksud adalah karya yang mengandung kecenderungan ‘mematung’ (sculptural) namun ‘berfungsi’ sebagai sarana representasi, yang dikerjakan dengan eksplorasi medium yang lebih cair. Berbeda dengan BY 2003 dengan advokasi media baru yang sarat interaksi sosiologis, pada CPOB 2003 media baru yang dibahas cenderung dalam konteks ‘artefactuality’ yang kongkrit hadir sebagai objek (tangible). Poin estetik yang kedua adalah ‘contemporary painting’, yang cakupannya lebih luas dari BSRY 1999 yang spesifik membahas representasi, self-referentiality, dan budaya massa. Pada CPOB 2003 poin-poin tersebut juga dicakupi, namun kian meluas untuk juga membahas lukisan-lukisan modern ‘Timur’ dalam bingkai seni rupa kontemporer. Poin estetik terakhir adalah eksplorasi material lokal dan vernakular serta sensibilitas kerajinan.

praktik termutakhir

seni dan kehidupan

sezaman dan inklusif

komparasi pameran sejenis

pluralisme, inklusifitas, contemporary painting

kolektif seni, seni

new media, contemporary

Wacana estetik

painting, kriya, material lokal, sensibilitas personal

dan popoular art,

partisipatoris,

seni bebasis

proyek

found object, dan readymades ‘lokal'

Tabel 1 Tabel Komparasi Pameran-pameran sampel

3.2 Wacana Seni Rupa Kontemporer Indonesia pada Akhir Dekade 1990an dan Awal Dekade 2000an

Penjelasan wacana seni rupa kontemporer dalam bagian ini merupakan pengembangan dari interpretasi pada dinamika penyelenggaraan bienal sebelumnya. Pengembangan dilakukan melalui: pertama, referensi silang pada poin-poin pemikiran mengenai perkembangan wacana kuratorial dan seni rupa kontemporer dalam konteks global, dan kedua dengan melihat kesinambungannya dengan materi-materi lainnya seperti perbincangan media, penyelenggaraan pameran reguler di luar skema perenial, dan materi-materi lainnya yang dianggap relevan. Pembahasan akan dipaparkan secara cair mengikuti alur pembahasan

3.2. Wacana Kuratorial

Pada bagian ini akan dibahas kesinambungan dan resonansi antara perkembangan praktik kekuratoran di Indonesia dengan perdebatan-perdebatan wacana kuratorial dalam konteks global maupun regional. Bagian ini juga akan membuktikan bahwa praktik kekuratoran di Indonesia juga sejatinya ‘mengikuti’ akselerasi perkembangan praktik kekuratoran global. Gejala perkembangan ini menunjukkan kesesuaian dan perbedaan yang justru memperlihatkan dinamika perkembangan dan karakter praktik yang khas.

3.2.1.1 Pameran sebagai Ruang Pewacanaan

O’Neil (2007) menyatakan bahwa pameran pada hakikatnya adalah sebuah media retoris dan ideologis, sebuah instrumen persuasi yang sedemikian kompleks yang bertujuan untuk menerapkan nilai-nilai tertentu kepada pemirsanya. Lebih jauh menjelaskan, pameran menurutnya merupakan ‘ruang terotorisasi’ yang menjadi medium utama dimana seni rupa kontemporer dan wacana kuratorial kemudian ditentukan (ibid). Dalam konteks ini, ‘fungsi’ pameran seni tidak lagi terbatas hanya pada transmisi pengetahuan, melainkan hingga menjadi ruang yang memproduksi dan menentukan wacana dan pengetahuan seni.

Dalam konteks penyelenggaraan bienal-bienal di Indonesia pada penelitian ini, fungsi-fungsi tersebut dapat dinyatakan ‘dilayani’ pada tataran tertentu, terutama dalam kaitannya dengan persuasi wacana seni rupa kontemporer dari yang sebelumnya dipinggirkan menjadi yang diutamakan. Proses persuasi ini dapat dipilah menjadi 3 tahap, antara lain: introduksi, implementasi, serta kontekstualisasi dan penemuan relevansi.

Wacana seni rupa kontemporer, bagaimanapun, adalah wacana yang berasal dari ‘luar’ medan seni rupa nasional dan bersumber pada perkembangan termutakhir praktik seni rupa global. Meski dalam salah satu butir wacananya privilese Pusat sebagai aktor determinan pada praktik kebudayaan mulai disangsikan, kesadaran ini tetap muncul dari Pusat. Pameran Magiciens de La Terre yang secara eklektik menyandingkan karya-karya seniman Barat dan karya-karya etnis dari wilayah Perifer misalnya, tetap muncul dari inisiatif Pusat meskipun secara ‘kontraproduktif’ menganulir sifat provinsialisnya. Melalui pemantik ini barulah kemudian praktik seni di wilayah Perifer mulai direkognisi signifikansinya, bersamaan dengan berlangsungnya diseminasi wacana seni rupa kontemporer melalui proliferasi bienal ke seluruh penjuru dunia. Indonesia, tentunya, mendapatkan piuhan pengaruh dari proses diseminasi ini.