AGRESIVITAS .1 Definisi Agresivitas Hubungan kematangan emosi dengan agresivitas remaja akhir laki-laki

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai kajian pustaka yang mendasari permasalahan dalam penelitian ini. Teori-teori yang akan dijelaskan meliputi teori mengenai agresivitas, kematangan emosi dan teori mengenai perkembangan remaja. 2.1 AGRESIVITAS 2.1.1 Definisi Agresivitas Para ahli ilmu sosial menggunakam istilah agresi untuk setiap perilaku yang bertujuan menyakiti badan atau perasaan orang lain. Untuk memberikan batasan yang lebih terarah mengenai agresi, mayoritas ahli psikologi memberikan berbagai definisi yang dikemukakannya dalam berbagai tulisan, namun jika diperhatikan ternyata pada masing-masing definisi yang akan dikemukakan nanti, mengandung persamaan dan saling melengkapi sehingga pengertian tentang agresi sendiri menjadi lebih terarah. Terdapat bermacam-macam definisi agresivitas, yang secara umum lebih menekankan pada tujuan ingin menyakiti. Istilah agresivitasagresi sering digunakan secara luas untuk menerangkan sejumlah besar tingkah laku. Pada dasarnya semua perilaku agresivitas mempunyai satu kesamaan yaitu bertujuan untuk menyakiti orang lain. Menurut Myers dalam Sarwono, 2002 yang dimaksud dengan perbuatan agresif adalah perilaku fisik atau lisan yang disengaja dengan maksud untuk menyakiti atau merugikan orang lain. Secara operasional, 15 Murray dalam Luthfi, dkk, 2009 memberikan gambaran agresi sebagai kebutuhan untuk menyerang, memperkosa atau melukai orang lain, untuk meremehkan, merugikan, menganggu, membahayakan, merusak, menjahati, mengejek, mencemooh atau menuduh secara jahat, menghukum berat atau melakukan tindakkan sadistis lainnya. Buss 1980 dalam Luthfi dkk, 2009 menyatakan bahwa agresivitas merupakan suatu variabel kepribadian, suatu kelas respon yang menetap dan luas. Secara operasional agresivitas merupakan kebiasaan menyerang. Buss 1961 dalam Edmunds dan Kendrick, 1980 juga mendefinisikan agresivitas sebagai sebuah respon yang melancarkan stimulus yang merugikan atau menyakitkan pada individu lainnya. Berkowitz 1995, dalam Luthfi dkk, 2009 mendefinisikan agresivitas sebagai suatu usaha untuk melukai atau menghancurkan orang lain, baik secara fisik maupun psikologis. Definisi agresivitas menurut Baron Richardson Luthfi dkk, 2009 adalah setiap perilaku yang ditujukan untuk membahayakan atau melukai mahkluk hidup lain dan telah diperkirakan akan menghasilkan konsekwensi tersebut ada harapan dan niat. Agresivitas menurut Chaplin 2008 adalah kecenderungan habitual yang dibiasakan untuk memamerkan permusuhan. Sementara itu, Baron 2005 memberikan pengertian bahwa agresi merupakan tingkah laku yang diarahkan kepada tujuan menyakiti mahluk hidup lain yang ingin menghindari perlakuan semacam itu. Moore dan Fine 1968, dalam Koeswara, 1988 mendefinisikan agresi sebagai tingkah laku kekerasan secara fisik atau pun secara verbal terhadap individu lain atau terhadap objek-objek. 16 Agresi menurut Setiadi 2001 adalah segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti seseorang baik secara fisik maupun mental. Agresi dapat berarti pelanggaran hak asasi orang lain dan tindakan atau cara yang menyakitkan, juga perilaku yang memaksakan kehendak. David O. Sears dkk 1985 mengemukakan bahwa terdapat tiga perbedaan definisi agresi. Definisi yang paling sederhana yang menggunakan pendekatan belajar atau pendekatan perilaku Behavioristik adalah bahwa agresi merupakan perilaku yang melukai orang lain. Perbedaan yang kedua adalah antara agresi antisosial dengan agresi prososial. Agresi ini merupakan tindakan yang disetujui, meliputi tindakan agresif yang tidak diterima oleh norma sosial tetapi masih berada dalam batas yang wajar. Tindakan tersebut tidak melanggar standar norma yang telah diterima. Perbedaan yang ketiga adalah antara perilaku agresif dengan perasaan agresif, seperti misalnya rasa marah, mungkin saja seseorang yang sangat marah, tetapi tidak menampakkan usaha untuk melukai orang lain. Dari definisi-definisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa agresivitas yang dimaksud adalah suatu perilaku, kecenderungan atau stimulus yang tidak menyenangkan atau merugikan, baik perilaku fisik maupun verbal, yang dilakukan satu pihak kepada pihak lainnya dengan maksud menyakiti baik secara fisik maupun psikologis, dan dengan harapan bahwa perilaku atau tindakan tersebut akan mencapai hasil yang diinginkan atau mempunyai tujuan.

2.1.2 Jenis-jenis Agresivitas

Myers 1966, dalam Sarwono, 2002 membagi agresi kedalam dua bentuk, yaitu: 17 1. Agresi Instrumental instrumental Agression Agresi berbentuk instrumental ini merupakan agresi yang dilakukan individu sebagai alat atau sarana untuk mencapai tujuan tertentu, atau perilaku yang mempunyai tujuan lain. Misalnya serdadu membunuh untuk merebut wilayah musuh sesuai perintah komandan, teroris yang menyandera penumpang untuk menebus kawan-kawannya yang dipenjara, polisi yang menembak kaki tahanan yang berusaha kabur. 2. Agresi Benci Hostile agressional atau agresi emosional Agresi bentuk emosional ini merupakan jenis agresi yang tujuannya adalah berbuat jahat. Agresi jenis ini merupakan ungkapan kemarahan dan ditandai dengan emosi yang tinggi. Perilaku agresif ini adalah tujuan dari agresi itu sendiri. Jadi agresi emosional semata-mata bertujuan untuk melukai atau menyakiti sasaran. Contohnya seperti mahasiswa yang berkelahi massal karena ada temannya yang dikeroyok. Agresi dapat juga dibedakan berdasarkan sifat aksinya, yaitu: agresi fisik dan agresi verbal. Agresi fisik merupakan aksi fisik, seperti memukul atau menendang. Sedangkan agresi verbal merupakan pernyataan verbal yang bertujuan untuk menyakiti orang lain, seperti umpatan, makian atau ancaman Berkowitz, 1995. Pembagian jenis agresi menurut Myres dan Berkowitz diatas mungkin masih terlalu umum, maka hal tersebut perlu diperinci lebih lanjut. Pembagian yang lebih rinci itu, antara lain dikemukakan oleh Buss dan Durkee dalam 18 Edmunds Kendrick, 1980 menggolongkan beberapa bentuk tindakkan agresif, yaitu sebagai berikut : 1 Penyerangan: kekerasan fisik terhadap manusia, termasuk perkelahian namun tidak termasuk perusakan terhadap properti. 2 Agresi yang tidak langsung, misalnya menyebarkan gossip yang berkonotasi negatif atau gurauan yang negatif dan tempertantrum. 3 Negativisme: tingkah laku menantang, termasuk penolakan untuk bekerja sama, menolak untuk patuh dan pembangkangan. 4 Agresi Verbal: berdebat, berteriak, menjerit, mengancam dan memaki. 5 Irritability: kesiapan untuk marah meliputi temperamen yang cepat meninggi dan tindakkan kekasaran. 6 Resentment: iri dan rasa benci terhadap orang lain. 7 Kecurigaan: ketidakpercayaan dan proyeksi permusuhan terhadap orang lain, bentuk ekstrim dari kecurigaan ini adalah paranoia. Buss dan Perry 1992, menggolongkan tindakkan agresif ke dalam empat golongan yang mana diadaptasi dari Buss dan Durkee, yakni : 1. Agresi fisik : kekerasan fisik dan termasuk perusakan properti. 2. Agresi verbal : berdebat, berteriak, menjerit, mengancam dan memaki. 3. Amarah anger : temperamental, mudah tersulut amarah. 4. Rasa permusuhan : pendemdam, mudah cemburu, mudah curiga. Dari berbagai pendapat mengenai jenis perilaku agresi tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa perilaku agresif dapat dilakukan dengan cara 19 langsung maupun tidak langsung, secara fisik seperti; menendang, memukul, menginjak maupun non fisik contohnya; mencibir, memeletkan lidah , verbal aktif seperti; berbicara kasar dan kotor, mengata-ngatai maupun verbal pasif mengumpat, berbisik-bisik dengan teman membicarakan keburukan temannya yang lain, yang memiliki caranya sendiri.

2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Agresivitas

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku agresivitas di antaranya : 1. Frustasi Yang dimaksud dengan frustasi adalah situasi di mana individu terhambat atau gagal dalam usaha mencapai tujuan tertentu yang di inginkannya, atau mengalami hambatan untuk bebas bertindak dalam rangka mencapai tujuan Koeswara, 1988. Frustasi keadaan tidak tercapainya tujuan perilaku menciptakan suatu motif untuk agresi. Ketakutan akan hukuman atau tidak disetujui untuk agresi melawan sumber penyebab frustasi mengakibatkan dorongan agresi diarahkan melawan sasaran lain Meier, 1983 dalam Dayakisni, 2009. Dollard dan kolega-koleganya 1939, dalam Myers, 2005 menyatakan bahwa frustasi selalu mengarah pada tindakkan agresi. 2. Stress Hingga saat ini, belum ada kesepakatan mengenai definisi stress. Para peneliti dalam bidang fisiologi mendefinisikan stress sebagai reaksi, respons, atau adaptasi fisiologis terhadap stimulus eksternal atau perubahan lingkungan Selye, 1946, Mason, 1971 dalam Koeswara, 1988. 20 Sedangkan para ahli psikologi, psikiatri dan sosiologi mengonsepsikan stress bukan sebagai respon, melainkan sebagai stimulus. Engle 1993 dalam Koeswara, 1988 mengajukan definisi stress yang lebih lengkap, yang meliputi sumber-sumber stimulus eksternal dan internal: “ stress menunjuk pada segenap proses, baik yang bersumber pada kondisi- kondisi internal maupun lingkungan eksternal yang menuntut penyesuaian atas organisme”. 3. Media Kekerasan Dalam penelitian yang dilakukan oleh Black Bevan dalam Baron Byrne, 1993, para relawan yang menonton film kekerasan mempunyai skor lebih tinggi pada pengukuran kecenderungan agresivitas, dibandingkan dengan mereka yang menonton film non-kekerasan. Menurut Berkowitz 1995, meluasnya agresi antara lain disebabkan oleh banyaknya adegan kekerasan yang ditayangkan dalam film-film dan televisi. Karena 2 dari 3 acara televisi mengandung kekerasan, dampaknya adalah peniruan dan peningkatan agresivitas Eron, 1987;Gerbner, 1994 dalam dalam Sarwono, 2002. Menonton model agresif dapat melancarkan keinginan agresivitas dan mengajarkan mereka cara baru untuk melakukan agresi Myers, 2005. Pengararuh media lainnya khususnya bagi anak-anak adalah video game, menurut Anderson 2004 dalam Myers, 2005 59 pada anak perempuan 21 dan 73 anak laki-laki melaporkan bahwa mereka lebih memnyukai permainan yang mengandung unsur kekerasan. 4. Deindividuasi Menurut Lorenz dalam Dayaksini, 2009, deindividuasi dapat mengarahkan individu kepada keleluasaan dalam melakukan agresi sehingga agresi yang dilakukannya menjadi lebih intens. 5. Kekuasaan dan Kepatuhan Peranan kekuasaan sebagai pengarah kemunculan agresi tidak dapat dipisahkan dari salah satu aspek penunjang kekuasaan itu, yakni kepatuhan compliance Dayaksini, 2009. Koeswara 1988 juga menyatakan bahwa penyalahgunaan kekuasaan yang mengubah kekuasaan menjadi kekuatan yang memaksa Coercieve, memiliki efek langsung maupun tidak langsung terhadap kemunculan agresi. 6. Faktor Lingkungan Kondisi lingkungan yang ada, dapat mempengaruhi perilaku agresi. Pada manusia, bukan hanya sakit fisik saja yang dapat memicu agresi, melainkan juga sakit hati psikis Berkowitz, 1983,1989 dalam Sarwono 2002. Kondisi lingkungan sering sekali mempengaruhi mood seseorang Deaux et al, 1993. Demikian pula udara yang sangat panas lebih cepat memicu kemarahan dan agresi Griffit, 1971, dalam Sarwono 2002. Dalam penelitian juga terbukti bahwa dalam kurun waktu antara 1967-1971, huru-hara lebih sering terjadi dimusim panas disaat udara panas menyengat dari pada 22 dimusim gugur, musim dingin atau musim semi Clarsmith Anderson dalam Sarwono, 2002. Faktor lingkungan lainnya adalah rasa sesak dan berjejal crowding, yang juga dapat memicu agresi. Menurut Flemming, Baum Weiss 1987, dalam Sarwono 2002, didaerah perkotaan yang padat penduduk selalu lebih banyak terjadi kejahatan dengan kekerasan. 7. Provokasi Provokasi atau verbal attack menurut Deaux et al1993, secara langsung merupakan pengaruh nyata dalam timbulnya suatu perilaku agresi. Wolfgang 1957, dalam Dayaksini, 2009, mengemukakan bahwa ¾ dari 600 pembunuhan yang diselidiknya terjadi karena adanya provokasi dari korban. Sedangkan Beck dalam Dayaksini 2009 mencatat bahwa sebagian besar pembunuhan dilakukan oleh individu-individu yang mengenal korbannya, dan pembunuhan itu terjadi dengan didahului adanya adu argumen atau perselisihan antara pelaku dan korbannya. 8. Pengaruh obat-obatan terlarang drug effect Banyak terjadinya perilaku agresi dikaitkan pada mereka yang mengkonsumsi alkohol. Menurut penelitian Phil Ross dalam Dayaksini, 2009, mengkomsumsi alkhohol dalam dosis tinggi meningkatkan kemungkinan respon agresi ketika seseorang di provokasi. Mengkomsumsi alkohol dalam dosis tinggi akan memperburuk proses kognitif cognitive disruption, yaitu mengurangi kemampuan seseorang untuk mengatasi atau bertahan dalam situasi-situasi yang sulit. Gangguan 23 kognitif ini khususnya mempengaruhi reaksi terhadap isyarat-isyarat cues yang samar, sehingga lebih mungkin mereka akan melakukan interprestasi yang salah tentang perilaku orang lain sebagai agresif atau mengancam dirinya. Laporan dari komisi pengawasan obat-obatan non-medis di Amerika Serikat mengungkapkan bahwa, mengkomsumsi alkohol yang berlebihan oleh individu-individu yang berkepribadian labil dan atau individu- individu yang memiliki masalah-masalah psikiatris dan neurologis tertentu adalah suatu tindakkan yang bisa mengarahkannya kepada kemunculan tindak kekerasan termasuk agresi seksual 1973, dalam Koeswara, 2002. 9. Arousal yang bersifat umum Agresi sebenarnya disebabkan oleh ketergugahan arousal bersifat umum yang akan meningkatkan kecenderungan munculnya tingkah laku agresif Deaux et al, 1993. Teori ini dikemukakan oleh Zillman yang disebut dengan excitation transfer theory Zillman, dalam Deaux et al, 1993. Menurut teori ini, ketergugahan yang dihasilkan dalam suatu situasi, dapat ditransfer kepada berbagai keadaan emosional dan dapat meningkatkan itensitas emosional tersebut. Secara spesifik, Zillman dalam Deaux et al, 1993 menyatakan bahwa ekspresi kemarahan atau berbagai emosi lain tergantung pada tiga faktor, yaitu: a Disposisi atau kebiasaan yang dipelajari seseorang. 24 b Beberapa sumber energi dari ketergugahan. c Interprestasi yang diberikan seseorang terhadap ketergugahan yang dialami. 10. Pengaruh Kepribadian Salah satu teori sifat trait mengatakan bahwa orang-orang dengan tipe kepribadian A kompetitif, cepat tersinggung, selalu terburu-buru dan sebagainya lebih cepat menjadi agresif daripada orang dengan tipe kepribadian B ambisinya tidak tinggi, puas dengan keadaan dirinya, tidak terburu-buru dan sebagainya Glass dalam Sarwono, 2002. Pengaruh lainnya dari sifat kepribadian terhadap perilaku agresif adalah sifat pemalu. Orang yang bertipe pemalu cenderung menilai rendah diri sendiri, tidak menyukai orang lain dan cenderung mencari kesalahan kepada orang lain. Oleh karena itu tipe pemalu cenderung lebih agresif dari orang yang tidak pemalu Tangney, 1990; Harder lewis, 1986 dalam Sarwono, 2002. 11. Efek Senjata Terdapat dugaan bahwa senjata memainkan peranan dalam agresi tidak saja karena fungsinya mengefektifkan dan mengefisienkan pelaksanaan agresi, tetapi juga karena efek kehadirannya. Suatu penyelidikan antar negara mengenai penggunaan senjata api pada tahun 1973 menyatakan bahwa pada tahun tersebut di Amerika Serikat korban yang tewas karena agresi dengan menggunakan senjata api tercatat 67 sedangkan di Inggris 25 korban yang tewas karena agresi dengan menggunakan senjata api berjumlah 10 dari seluruh korban agresi Koeswara, 1988. 2.2 Kematangan Emosi

2.2.1 Pengertian Kematangan Emosi

Rice 2004, dalam Khairani, 2009, mendefinisikan kematangan emosi sebagai suatu keadaan untuk menjalani kehidupan secara damai dalam situasi yang tidak dapat diubah, tetapi dengan keberanian individu mampu mengubah hal-hal yang sebaiknya di ubah, serta adanya kebijaksanaan untuk menghargai perbedaan. Menurut Hurlock 1980 emotional maturity kedewasaan emosional adalah suatu keadaan atau kondisi mencapai tingkat kedewasaan dari perkembangan emosional; dan karena itu pribadi yang bersangkutan tidak lagi menampilkan pola emosional yang pantas bagi anak-anak, namun mereka mampu menekan atau mengontrolnya lebih baik, khususnya ditengah-tengah situasi sosial. Smitson dalam Katkovsky , 1976 kematangan emosi adalah suatu proses yang mana kepribadian secara terus menerus berusaha keras untuk mencapai sense emosional yang sehat, baik secara intrapsikis maupun interpersonal. Sedangkan kematangan emosi menurut Jersield 1965 adalah di mana individu dapat menyesuaikan diri pada stereotip kematangan yang berlaku di budaya di mana individu tersebut tinggal. Walgito 2002 menjelaskan bahwa individu yang memiliki kematangan emosi adalah individu yang dapat mengendalikan emosinya maka individu akan berpikir secara matang, berpikir secara obyektif. Orang yang telah matang emosinya akan dapat mengontrol emosinya dengan baik, merespons 26 stimulus dengan cara berpikir baik, tidak mudah frustasi dan akan menghadapi masalah dengan penuh pengertian. Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kematangan emosi adalah suatu keadaan di mana individu dapat mengendalikan emosinya tidak seperti masa sebelumnya, baik secara psikis maupun dalam hubungan interaksinya dengan lingkungannya sehingga individu mampu untuk mencapai tingkat emosional yang sehat.

2.2.2 Ciri-Ciri Orang yang Matang Emosinya

Hollingworth 1928 dalam Jersild, 1965, mengidentifikasi orang yang telah mencapai kematangan emosi adalah sebagai berikut: 1. Dapat menyikapi perubahan bertahap atau tingkat perubahan respon emosional. 2. Dapat menunda responnya; dan tidak bersikap impulsif seperti anak kecil 3. Tidak menunjukkan kekecewaan yang berlebihan, dapat mengendalikan self pity. Ini dilihat pada caranya untuk memberikanmengatasi rasa kasihan pada diri sendiri. Untuk mencapai kematangan emosi, remaja harus belajar memperoleh gambaran tentang situasi-situasi yang dapat menimbulkan rekasi emosional. Adapun caranya adalah dengan membicarakan pelbagai masalah pribadinya dengan orang lain dengan keterbukaan perasaan. Sedangkan menurut Hurlock 1980, remaja yang emosinya matang mampu memberikan reaksi emosional yang stabil, tidak berubah-ubah dari satu emosi atau 27 suasana hati ke suasana hati yang lain, seperti dalam periode sebelumnya. Ciri-ciri remaja yang matang emosinya seperti apabila pada akhir masa remaja tidak “meledakkan” emosinya dihadapan orang lain, melainkan menunggu saat yang tepat untuk mengungkapkan emosinya pada saat, waktu dan tempat yang tepat. Petunjuk yang lainya adalah bahwa individu menilai situasi secara kritis terlebih dahulu sebelum bereaksi secara emosional. Walgito 2002 mengemukakan beberapa ciri-ciri orang yang matang emosinya, sebagai berikut : 1. Dapat menerima baik keadaan dirinya maupun keadaan orang lain seperti apa adanya, sesuai dengan keadaan obyektifnya. Hal ini disebabkan bahwa orang yang telah matang emosinya dapat berpikir secara baik dan berpikir secara obyektif. 2. Tidak bersifat impulsif. Individu yang memiliki kematangan emosi mampu merespon stimulus dengan cara berpikir baik dan dapat mengatur pikirannya. 3. Dapat mengontrol emosi dan ekspresi emosinya secara baik. Meskipun dalam keadaan marah, individu yang memiliki kematangan emosi tidak akan menampakkan kemarahannya itu keluar serta dapat mengatur kapan kemarahan itu perlu dimanifestasikan. 4. Bersifat sabar, penuh pengertian dan pada umumnya mempunyai toleransi yang baik. 28 5. Memiliki tanggung jawab yang baik, dapat berdiri sendiri, tidak mudah mengalami frustasi dan akan menghadapi masalah dengan penuh pengertian. Jadi, dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri orang yang matang emosinya adalah yang dapat menyikapi respon emosional dengan tepat, tidak bersifat impulsif, dapat mengendalikan self pity, mempunyai reaksi emosional yang stabil, dan dapat mengendalikan emosinya di segala situasi.

2.2.3 Karakteristik Kematangan Emosi

Menurut Smitson dalam Katkovsky,1976, karakteristik kematangan emosi adalah sebagai berikut: 1. Kemandirian toward independence Pengalaman dari bayi dan masa kanak-kanak menciptakan keinginan yang kuat untuk meraih kesenangan yang diinginkan. Melepaskan diri dari ketergantungan dengan orang tua, tidak seperti masa sebelumnya. Kemampuan untuk dapat menentukan dan memutuskan apa yang dikehendakinya serta bertanggung jawab akan keputusannya itu. 2. Kemampuan untuk menerima realita ability to accept reality Dapat menerima realita kehidupan dengan segala keanehannya, kejujuran maupun ketidak jujurannya, segala keindahan dan keburukkannya. Bisa menyikapi masalah dengan berbagai jalan dan cara yang ia punya. Dapat menerima kenyataan bahwa dirinya tidak selalu sama dengan orang lain, bahwa ia memiliki kesempatan, kemampuan serta tingkat intelegensi yang berbeda dengan orang lain. 29 3. Penyesuaian diri adaptability Ini adalah salah satu unsur yang amat penting dalam kematangan emosi. Salah satu hal yang membedakan antara orang yang emosinya sehat adalah pada tingkat fleksibilitasnya, di mana pada orang yang tidak sehat emosinya akan memberikan respon kaku dalam berinteraksi dan dalam situasi tertentu. Kemampuan untuk mudah menerima orang lain atau situasi tertentu dengan cara-cara yang berbeda. Dengan kata lain dapat bersikap fleksibel dalam menghadapi orang lain atau situasi tertentu. 4. Kesiapan untuk merespon dengan tepat readiness to respond Hal ini meliputi kesadaran diri tentang keunikan yang dimiliki setiap orang, sehingga kita dapat merespon sesuai dengan keunikan-keunikan yang individu miliki. Dengan demikian dapat diharapkan individu mampu merespon dengan tepat pada keunikan masing-masing individu. 5. Kepasitas untuk seimbang capacity to balance Orang yang matang emosinya selalu melihat segala situasi dari berbagai sudut. Kematangan emosi tergantung terhadap pengembangan ketahanan seseorang terhadap kegagalan disetiap interaksinya. Individu dengan tingkat kematangan emosi yang tinggi menyadari bahwa sebagai mahkluk sosial ia memiliki ketergantungan pada orang lain, namun ia tidak harus takut bahwa ketergantungannya itu akan menyebabkan ia diperalat oleh orang lain. 6. Kemampuan berempati empathic understanding 30 Kemampuan untuk menempatkan diri dalam posisi orang lain, sehingga dapat memahami perasaan dan pikirannya. 7. Pengendalian kemarahan challenging anger Agar dapat mengendalikan kemarahannya, maka seseorang harus dapat mengenal batas sensitivitas dirinya. Dengan mengetahui apa saja yang dapat membuatnya marah, maka ia dapat mengendalikan perasaan amarahnya. 2.3 Remaja Akhir 2.3.1Pengertian Remaja Akhir