Hubungan Attachment Terhadap Ayah Dengan Kecerdasan Emosi Pada Remaja Laki-Laki

(1)

HUBUNGAN ATTACHMENT TERHADAP AYAH DENGAN

KECERDASAN EMOSI PADA REMAJA LAKI-LAKI

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh

TENGKU SHELLA ASYAVA

061301069

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

GANJIL, 2010/2011


(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul:

Hubungan attachment terhadap ayah dengan kecerdasan emosi pada remaja laki-laki

adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini yang saya kutip dari hasil karya orang lain telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Desember 2010

TENGKU SHELLA ASYAVA NIM: 061301069


(3)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrahim, segala puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah Yang Maha Esa, berkat petunjuk dan kasih sayang-Nya, peneliti dapat menyelesaikan skripsi untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar sarjana jenjang strata satu (S-1) di Fakultas Psikologi Sumatera Utara dengan judul : Hubungan attachment terhadap ayah demham kecerdasan emosi remaja laki-laki. Shalawat dan salam kepada Rasulullah SAW, semoga kesabaran beliau dapat menjadi contoh teladan dalam perjalanan skripsi dan kerja-kerja selanjutnya.

Perlu usaha yang keras, kegigihan, dan kesabaran untuk menyelesaikan karya ini. Bagi peneliti karya ini merupakan proses pembelajaran yang sangat bernilai. Peneliti menyadari karya ini tidak akan selesai tanpa orang-orang tercinta di sekeliling peneliti yang telah mendukung dan membantu Terutama sekali peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada kedua orangtua tercinta peneliti Hj.Erlina Wardah “mama” dan H.Ir.T.Takdjid Soelaiman “papa”, yang telah memberikan cinta, pengorbanan, motivasi, dan perhatian yang berlimpah sehingga peneliti bisa menyelesaikan skripsi ini. Peneliti juga mengucapkan terima kasih kepada, saudara-saudara peneliti: T.Lita Oktavina “kakak”, T.Dicky Aditya “abah”, dan T.Dandy Faridsyah “adek” yang telah memberikan dukungan baik moril maupun materil selama pengerjaan skripsi ini.


(4)

Skripsi ini dapat diselesaikan tidak lepas dari bantuan banyak pihak, oleh karena itu peneliti juga mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

2. Kakak Indri Kemala Nasution, S.Psi, psikolog sebagai dosen pembimbing. selaku dosen pembimbing skripsi. Terimakasih yang tulus penulis ucapkan atas kebaikan, keramahan, bimbingan, saran, kritik dan semangat yang begitu bermanfaat yang telah kakak berikan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Juga atas segala kesabaran kakak menghadapi peneliti selama lebih dari enam bulan ini. Semoga Allah membalas segala kebaikan kakak selama ini Penulis meminta maaf jika banyak mengecewakan kakak dalam penyelesaian skripsi ini.

3. Ibu Wiwiek Sulistyaningsih M.si psikolog selaku dosen pembimbing akademik Terimakasih atas bimbingan akademik yang telah diberikan selama ini.

4. Kepada Novriandha yang selalu memberikan dukungan emosional dan selalu memotivasiku serta menemaniku dalam sedih dan senang. Terimakasih atas segala perhatian, dukungan, nasihat, masukan, kritikan dan selalu menghibur penulis saat sedih selama pengerjaan skripsi saya

5. Siswa-siswa SMK TI Ar-Rahman dan SMK TI Immanuel yang telah


(5)

6. Bapak dan Ibu Dosen staf pengajar Fakultas Psikologi Universitas Sumtera Utara. Terima kasih atas segala ilmu dan pengalaman yang telah diberikan. Semoga ilmu dan pengalaman yang diberikan menjadi bekal dikemudian hari 7. Seluruh Staf Pegawai Fakultas Psikologi Universitas Sumtera Utara. Bapak

Iskandar, Bapak Aswan, Kak Ari, kak Eli dan Kak Devi, yang telah banyak membantu penulis khususnya dalam hal administrasi.

8. Kepada sahabat-sahabtku, yayik, mella, ayu, sarah dan desta. Terima kasih atas segala bantuan dan motivasi yang telah kalian berikan selama pengerjaan skripsi ini. Juga untuk persaudaraan dan persahabatan selama ini yang selalu menjadi motivator tersendiri bagi peneliti. Semoga persahabatan kita tetap terjaga meskipun kelak kita berpisah.

9. Kepada teman-teman senasib dan seperjuangan didepertemen perkembangan dini, wina, ulfa, irma, indah, helve, tanti, . Terima kasih atas segala bantuan dan dukungan yang kalian berikan selama ini.

10.Kepada teman-teman sesama mahasiswa bimbingan irma pratiwi yang sudah menjadi teman dalam melalui masa-masa genting. Terima kasih untuk dukungan kalian semua.

11.Kepada setiap mahasiswa USU di luar sana yang sudah meluangkan waktu dan tenaga untuk mengisi skala peneliti. Terima kasih atas bantuan kalian semua. Semoga Allah membalas segala kebaikan dengan balasan yang lebih baik.


(6)

12.Terima kasih juga penulis ucapkan pada semua pihak yang telah memberikan dukungan moril dan materil kepada penulis sehingga proposal penelitian ini dapat terselesaikan.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak terdapat kekurangan dalam proposal penelitian ini, untuk itu penulis mengharapkan saran yang membangun dari semua pihak guna menyempurnakan penelitian ini. Harapan peneliti semoga skripsi ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang terkait, lingkungan akademik Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara Medan, serta para pembaca pada umumnya Akhirnya kepada Allah penulis berserah diri, semoga proposal penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak. Amiin.

Medan, Desember 2010


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

1. Manfaat teoritis ... 8

2. Manfaat praktis ... 9

E. Sistematika Penulisan ... 9

BAB II LANDASAN TEORI ... 11

A. Attachment ... 11

Pengertian Attachment ... 11

B. Attachment terhadap ayah ... 12

1. Pengertian attachment terhadap ayah ... 12

2. Pola-Pola Attachment ... 13

a. secure attachment ... 13


(8)

c. avoidant attachment ... 15

3. Attachment pada remaja ... 17

4. Figur Attachment ... 18

C. Kecerdasan Emosi ... 19

1. Pengertian Kecerdasan Emosi ... 19

2. Aspek- aspek Kecerdasan Emosi ... 21

3. Faktor- faktor yang mempengaruhi Kecerdasan Emosi ... 25

4. Ciri-ciri anak yang memiliki Kecerdasan Emosi ... 28

D. Remaja ... 29

1. Pengertian Remaja. ... 29

2. Tugas Perkembangan Remaja ... 29

3. Ciri-ciri Masa Remaja ... 30

4. Perubahan Masa Ciri-ciri Masa Remaja ... 32

E. hubungan attachment terhadap ayah dengan kecerdasan remaja laki-laki .. 34

F. Hipotesa Penelitian... 38

BAB III METODE PENELITIAN ... 39

A. Identifikasi Variabel Penelitan ... 40

B Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 40

C. Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel ... 42

1. Populasi dan sampel ... 42

2. Metode pengambilan sampel ... 43

3. Jumlah Sampel Penelitian ... 44


(9)

1. Alat Ukur ... 45

a. Skala Attachment terhadap ayah ... 45

b. Skala Kecerdasan Emosi ... 49

2. Validitas, Uji Daya Beda dan Reliabilitas Alat ukur ... 50

a. Uji Validitas. ... 50

b. Uji daya beda ... 54

c. Uji Reliabilitas ... 55

E. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 56

1. Persiapan Alat Ukur Penelitian ... 56

a. Pembuatan Alat Ukur ... 56

b. Uji coba alat ukur ... 57

c. Permohonan izin ... 57

c. Revisi Alat Ukur ... 58

2. Tahap Pelaksanaan ... 58

3. Tahap Pengelolaaan ... 59

F. Metode analisa data ... 59

1. Uji Normalitas ... 59

2. Uji Linieritas ... 60

BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN ... 61

A. Analisa Data ... 61

1. Gambaran Umum Subjek Penelitian ... 61

2. Hasil Penelitian... 62


(10)

1) Uji Normalitas Sebaran ... 62

2) Uji Linearitas Hubungan ... 64

3. Hasil Analisa Data ... 67

a. Deskripsi data Penelitian ... 67

1). Gambaran skor attachment terhadap ayah ... 67

a) Gambaran skor secure attachment terhadap ayah ... 69

b) Gambaran skor anxious attachment terhadap ayah ... 70

c) Gambaran skor avoidant attachment terhadap ayah ... 71

2) Gambaran skor Kecerdasan Emosi ... 73

b. Hasil Perhitungan korelasi Antar variabel ... 74

c. Hasil Tambahan ... 80

B. Pembahasan ... 85

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 89

A. Kesimpulan ... 89

B. Saran ... 91

DAFTAR PUSTAKA ... 93 LAMPIRAN


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Distribusi Butir Skala attachment terhadap ayah ... 44

Tabel 2 Blueprint Skala secure attachment terhadap ayah... 45

Tabel 3 Blueprint Skala anxious attachment terhadap ayah ... 46

Tabel 4 Blueprint Skala avoidant attachment terhadap ayah ... 47

Tabel 5 Distribusi Butir Skala kecerdasan emosi ... 48

Tabel 6 Blueprint Skala kecerdasan emosi ... 49

Tabel 7 Distribusi Butir Skala attachment terhadap ayah setelah Uji Coba ... 51

Tabel 8 Blueprint Skala attachment terhadap ayah setelah Uji Coba ... 51

Tabel 9 Distribusi Butir Skala kecerdasan emosi setelah Uji Coba ... 52

Tabel 10 Blueprint Skala kecerdasan emosi setelah Uji Coba ... 53

Tabel 11 Gambaran Subjek berdasarkan Usia ... 60 Tabel 12 Normalitas sebaran variabel attachment terhadap ayah dengan kecerdasan emosi pada remaja laki-laki ... 61

Tabel 13 Normalitas sebaran variabel secure attachment terhadap ayah dengan kecerdasan emosi pada remaja laki-laki ... 62

Tabel 14 Normalitas sebaran variabel anxious attachment terhadap ayah dengan kecerdasan emosi pada remaja laki-laki ... 62

Tabel 15 Normalitas sebaran variabel avoidant attachment terhadap ayah dengan kecerdasan emosi pada remaja laki-laki ... 63

Tabel 16 Linearitas hubungan variabel attachment terhadap ayah dengan kecerdasan emosi pada remaja laki-laki ... 64

Tabel 17 Linearitas hubungan variabel secure attachment terhadap ayah dengan kecerdasan emosi pada remaja laki-laki ... 64

Tabel 18 Linearitas hubungan variabel anxious attachment terhadap ayah dengan kecerdasan emosi pada remaja laki-laki ... 65

Tabel 19 Linearitas hubungan variabel avoidant attachment terhadap ayah dengan kecerdasan emosi pada remaja laki-laki ... 66


(12)

Tabel 21 Kategorisasi Data Empirik attachment terhadap ayah... 67

Tabel 22 Deskripsi Data Penelitian secure attachment terhadap ayah ... 68

Tabel 23 Kategorisasi Data Empirik secure attachment terhadap ayah... 68

Tabel 24 Deskripsi Data Penelitian anxious attachment terhadap ayah ... 69

Tabel 25 Kategorisasi Data Empirik anxious attachment terhadap ayah ... 70

Tabel 26 Deskripsi Data Penelitian avoidant attachment terhadap ayah ... 70

Tabel 27 Kategorisasi Data Empirik avoidant attachment terhadap ayah ... 71

Tabel 28 Deskripsi Data Penelitian Kecerdasan Emosi ... 72

Tabel 29 Kategorisasi Data Empirik Kecerdasan Emosi ... 72

Tabel 30 Korelasi Antara attachment terhadap ayah dengan kecerdasan emosi pada remaja laki-laki ... 74

Tabel 31 Korelasi Antara secure attachment terhadap ayah dengan kecerdasan emosi pada remaja laki-laki ... 76

Tabel 32 Korelasi Antara anxious attachment terhadap ayah dengan kecerdasan emosi pada remaja laki-laki ... 78

Tabel 33 Korelasi Antara avoidant attachment terhadap ayah dengan kecerdasan emosi pada remaja laki-laki ... 79

Tabel 34 Deskripsi variabel attachment terhadap ayah berdasarkan usia ... 80

Tabel 35 Hubungan attachment terhadap ayah dengan kecerdasan emosi pada remaja laki-laki berdasarkan usia ... 81


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A Data mentah Try out dan Relibilitas

Lampiran B Data mentah penelitian dan Hasil utama penelitian Lampiran C Skala Try out dan Skala Penelitian

Lampiran D Hasil Tambahan Penelitian Lampiran E Surat Izin Pengambilan Data


(14)

Hubungan attachment tehadap ayah dengan kecerdasan emosi

pada remaja laki-laki

Tengku Shella Asyava dan Indri Kemala Nst , S.Psi. Psikolog

ABSTRAK

Ainsworth (1969) attachment adalah ikatan emosional yang dibentuk seorang individu dengan orang lain yang bersifat spesifik, mengikat mereka dalan suatu attachment yang bersifat kekal sepanjang waktu. . Attachment akan bertahan cukup lama dalam rentang kehidupan manusia yang diawali dengan attachment anak pada ibu atau figur lain pengganti ibu (ayah) Attachment terhadap ayah adalah suatu ikatan emosional yang kuat terhadap ayah dimana hubungan tersebut bertahan cukup lama, ikatan tetap ada walaupun figur lekat tidak tampak dalam jangkauan mata anak namun menimbulkan rasa aman. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan attachment (secure attachment, anxious attachment dan avoidant attachment) tehadap ayah dengan kecerdasan emosi pada remaja laki-laki. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik multi stage sampling dengan jumlah subjek sebanyak 80orang remaja laki-laki berusia 15-18 tahun. Alat ukur pada penelitian ini adalah menggunakan kuesioner dengan skala Likert yaitu, skala attachment terhadap ayah dan skala kecerdasan emosi. Skala attachment terhadap ayah disusun berdasarkan pola-pola attachment yang dikemukakan oleh Ainsworth yaitu secure attachment, anxious attachment dan avoidant attachment. Skala kecerdasan emosi disusun berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Goleman (2000) yaitu kesadaran diri, pengendalian diri, empati, motivasi diri, dan ketrampilan sosial Teknik analisis data yang digunakan adalah uji korelasi (Pearson Product Moment).Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa ada hubungan attachment terhadap ayah dengan kecerdasan emosi dengan r = 0.381 dan p = 0.000, ada hubungan positif secure attachment terhadap ayah dengan kecerdasan emosi dengan r =0,274 dan p=0,014, ada negatif hubungan anxious attachment terhadap ayah dengan kecerdasan emosi dengan r = -0,429 dan p=0,000, dan ada hubungan negatif avoidant attachment terhadap ayah dengan kecerdasan emosi dengan r = -0,452 dan p=0,000.

Kata kunci: attachment terhadap ayah, kecerdasan emosi.


(15)

The relationship attachment of father with emotional intelligence adolescent male

Tengku Shella Asyava dan Indri Kemala Nst , S.Psi. Psikolog

ABSTRACT

Ainsworth (1969) Attachment is the emotional bond that formed an individual with specific other people, they tied Dalan eternal attachment all the time. . Attachments will survive long enough in human life span that begins with the attachment of children to the mother or substitute mother figure (the father) This study aims to determine the relationship attachment (secure attachment, anxious attachment and avoidant attachment) with father male adolescent emotional intelligence male. Sampling was carried out by multi stage sampling technique with a number of subjects aged 15-18 years of age 80 peoples. The scale of this research is father attachment and emotional intelligence scale. Scale attachment to the father prepared on the pattern suggested by Ainsworth attachment that secure attachment, anxious attachment and avoidant attachment. Scale of emotional intelligence have been prepared on those aspects that put forward by Goleman (2000), namely self-awareness, self-control, empathy, self-motivation, and social skills. The results showed that (1) no attachment to the father's relationship with emotional intelligence with r = 0381 and p = 0.000, there is secure attachment to a father with emotional intelligence with r = 0.274 and p = 0.014, there are anxious attachment to father relationship with emotional intelligence and r = -0.429 and p = 0.000, and there avoidant attachment to a father with emotional intelligence and r = -0.452 and p = 0.000.


(16)

Hubungan attachment tehadap ayah dengan kecerdasan emosi

pada remaja laki-laki

Tengku Shella Asyava dan Indri Kemala Nst , S.Psi. Psikolog

ABSTRAK

Ainsworth (1969) attachment adalah ikatan emosional yang dibentuk seorang individu dengan orang lain yang bersifat spesifik, mengikat mereka dalan suatu attachment yang bersifat kekal sepanjang waktu. . Attachment akan bertahan cukup lama dalam rentang kehidupan manusia yang diawali dengan attachment anak pada ibu atau figur lain pengganti ibu (ayah) Attachment terhadap ayah adalah suatu ikatan emosional yang kuat terhadap ayah dimana hubungan tersebut bertahan cukup lama, ikatan tetap ada walaupun figur lekat tidak tampak dalam jangkauan mata anak namun menimbulkan rasa aman. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan attachment (secure attachment, anxious attachment dan avoidant attachment) tehadap ayah dengan kecerdasan emosi pada remaja laki-laki. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik multi stage sampling dengan jumlah subjek sebanyak 80orang remaja laki-laki berusia 15-18 tahun. Alat ukur pada penelitian ini adalah menggunakan kuesioner dengan skala Likert yaitu, skala attachment terhadap ayah dan skala kecerdasan emosi. Skala attachment terhadap ayah disusun berdasarkan pola-pola attachment yang dikemukakan oleh Ainsworth yaitu secure attachment, anxious attachment dan avoidant attachment. Skala kecerdasan emosi disusun berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Goleman (2000) yaitu kesadaran diri, pengendalian diri, empati, motivasi diri, dan ketrampilan sosial Teknik analisis data yang digunakan adalah uji korelasi (Pearson Product Moment).Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa ada hubungan attachment terhadap ayah dengan kecerdasan emosi dengan r = 0.381 dan p = 0.000, ada hubungan positif secure attachment terhadap ayah dengan kecerdasan emosi dengan r =0,274 dan p=0,014, ada negatif hubungan anxious attachment terhadap ayah dengan kecerdasan emosi dengan r = -0,429 dan p=0,000, dan ada hubungan negatif avoidant attachment terhadap ayah dengan kecerdasan emosi dengan r = -0,452 dan p=0,000.

Kata kunci: attachment terhadap ayah, kecerdasan emosi.


(17)

The relationship attachment of father with emotional intelligence adolescent male

Tengku Shella Asyava dan Indri Kemala Nst , S.Psi. Psikolog

ABSTRACT

Ainsworth (1969) Attachment is the emotional bond that formed an individual with specific other people, they tied Dalan eternal attachment all the time. . Attachments will survive long enough in human life span that begins with the attachment of children to the mother or substitute mother figure (the father) This study aims to determine the relationship attachment (secure attachment, anxious attachment and avoidant attachment) with father male adolescent emotional intelligence male. Sampling was carried out by multi stage sampling technique with a number of subjects aged 15-18 years of age 80 peoples. The scale of this research is father attachment and emotional intelligence scale. Scale attachment to the father prepared on the pattern suggested by Ainsworth attachment that secure attachment, anxious attachment and avoidant attachment. Scale of emotional intelligence have been prepared on those aspects that put forward by Goleman (2000), namely self-awareness, self-control, empathy, self-motivation, and social skills. The results showed that (1) no attachment to the father's relationship with emotional intelligence with r = 0381 and p = 0.000, there is secure attachment to a father with emotional intelligence with r = 0.274 and p = 0.014, there are anxious attachment to father relationship with emotional intelligence and r = -0.429 and p = 0.000, and there avoidant attachment to a father with emotional intelligence and r = -0.452 and p = 0.000.


(18)

BAB I

PENDAHULUAN

Masa remaja merupakan masa peralihan atau masa transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa yang disertai dengan perubahan (Gunarsa, 2003). Remaja akan mengalami berbagai perubahan dalam diri mereka antara lain, perubahan fisik, kepribadian, dan intelektual dan peranan dilingkungan keluarga maupun lingkungan luar. Perubahan-perubahan tersebut menjadi tantangan besar bagi remaja dan orang tua sebab selama masa perubahan tersebut remaja akan mengalami ketidak stabilan (Newman & newman, 1986). Perubahan- perubahan yang yang dialami remaja terjadi sangat pesat salah satunya adalah perubahan emosi (Gunarsa, 2003)

Menurut Hall (dalam Papalia, 2007) Masa remaja merupakan masa puncak emosionalitas yaitu terjadi peningkatan ketegangan emosional yang dihasilkan dari perubahan fisik dan hormonal. Pada masa ini, remaja akan menunjukan sifat sensitif, reaktif yang sangat kuat terhadap suatu peristiwa atau situasi sosial, remaja juga bersifat negatif dan memiliki temperamen tinggi seperti, mudah tersinggung, sedih dan kecewa. Suatu perasaaan dan fikiran khas dari individu, suatu keadaan biologis dan psikologis serta serangkaian perasaaan untuk bertindak disebut dengan emosi (goleman,2001).

Menurut Goleman (1995) emosi memainkan peranan penting dalam perilaku individu. Oleh sebab itu apabila remaja tidak mampu mengendalikan emosi mereka akan melakukan perilaku-perilaku negatif. Goldberg menyatakan


(19)

bahwa perempuan lebih dapat merasakan dan mengutarakan perasaan dan permasalahannya dan lebih dapat mengenali emosi orang lain daripada laki-laki. Hal ini dikarenakan laki-laki memiliki pendapat tentang kemaskulinan terhadap dirinya sehingga kurang mampu mengekspresikan emosi seperti yang dilakukan oleh perempuan (dalam Santrock, 2003). Ketika remaja laki-laki tidak mampu mengekspresikan emosi terhadap suatu masalah, maka laki-laki lebih cenderung menghadapi masalah dengan melakukan perilaku agresi dan cenderung merespon masalah dengan menggunakan kemarahan (Broidy dalam Sigfusdottir, et.al, 2008).

Perilaku melanggar norma sosial, norma hukum, dan norma agama seperti perkelahian, pencurian, mabuk-mabukan, perampokan, penganiayaan, hubungan seks pra-nikah, dan penyalah gunaan obat-obat terlarang yang dilakukan oleh para remaja merupakan gambaran adanya emosi yang tidak terkendali dan menunjukan tingginya dan ketidakseimbangan emosi remaja (Goleman, 2001). Pada remaja laki-laki mereka mengalami kesulitan dalam mengekspresikan emosi seperti rasa malu, kesal, sedih sehingga emosi yang ditunjukan berupa rasa marah. Pada masa remaja sebagian remaja laki-laki akan mengalami kesulitan dalam menangani berbagai perubahan yang terjadi. Apabila ada kegiatan di sekolah yang tidak dapat memenuhi kebutuhan emosional remaja laki-laki, maka mereka akan meluapkan kelebihan emosi negatifnya kepada hal-hal yang negatif seperti tawuran, mencoret dinding-dinding sekolah. Hal ini menunjukan bahwa pada usia remaja mereka memiliki gejolak emosi yang meningkat (Yusuf, 2000).


(20)

Pada usia remaja tengah (15-18 tahun) remaja telah mampu mengevaluasi apa yang baik dan buruk serta dapat menjalin hubungan yang menyenangkan dan penuh kasih sayang (Stein & Book,2004) Tetapi kenyataannya berbeda, fakta kenakalan remaja di Indonesia justru semakin meningkat di usia remaja akhir yaitu 15-19 tahun (Kartono, 2002). Selain itu, ada kasus bunuh diri umumnya terjadi antara umur 15-24 tahun (McIntosh dalam McWhirter, 2000) dan kasus tawuran rata-rata dilakukan saat usia 15-18 tahun (Goleman, 2002). Secara umum kenakalan remaja di Amerika pada usia 16-19 tahun. (World Youth Report, 2003).

Berdasarkan data diatas dapat disimpulkan bahwa perilaku-perilaku yang menunjukan tidak adanya kecerdasan emosi berada pada usia remaja akhir.Oleh sebab itu, remaja sebaiknya memiliki kemampuan mengendalikan emosi yang disebut dengan kecerdasan emosi.

Menurut Goleman (2003) kecerdasan emosional adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, dan mengendalikan emosi dalam menunda kepuasan. Kecerdasan emosional membuat seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan dan mengatur suasana emosi. Kecerdasan emosi adalah kecakapan emosional yang meliputi a) kemampuan untuk mengendalikan diri sendiri dan memiliki daya tahan ketika menghadapi rintangan, b) mampu mengendalikan impuls dan tidak cepat merasa puas, c) mampu mengatur suasana hati dan mampu mengelola kecemasan agar tidak mengganggu kemampuan berfikir, d) mampu berempati (Goleman, 2001).


(21)

Keluarga merupakan sekolah pertama bagi anak dalam mempelajari emosi (Goleman 1997). Orang tua atau lingkungan keluarga dapat mengajarkan kecerdasan emosi kepada anak sejak masih bayi meskipun masih melalui ekspresi wajah. Oleh sebab itu, pengalaman emosional yang terjadi pada masa anak-anak akan melekat dan menetap secara permanen hingga dewasa. Orang tua merupakan bagian dari keluarga yang memiliki peranan yang sangat penting dan dibutuhkan anak. Orang tua juga merupakan sistem dukungan dan tokoh attachment yang penting dalam keluarga (Santrock, 2003).

Ainsworth (1969) mengatakan bahwa attachment adalah ikatan emosional yang dibentuk seorang individu dengan orang lain yang bersifat spesifik, mengikat mereka dalan suatu attachment yang bersifat kekal sepanjang waktu. Attachment yang diperolah anak saat kecil akan berdampak terhadap perkembangan anak diusia remaja. Bowlby mengatakan bahwa anak masih membutuhkan orangtua sebagai figur attachment selama masa kanak-kanak dan remaja. Attachment dengan orang tua pada masa remaja dapat membentuk kompetensi sosial, kesejahteraan social remaja seperti ciri-ciri harga diri, penyesuaian emosional dan kesejahteraan fisik (Allen, dkk 1994; Kobak & Cole dalam Santrock, 2003).

Armsden (1987) juga mengatakan bahwa remaja yang memiliki hubungan yang nyaman dengan orang tua dan orang tua akan memiliki harga diri dan kesejahteraan emosional yang baik pada remaja. Adapun ciri efektif yang menunjukkan attachment adalah: hubungan bertahan cukup lama, ikatan tetap ada walaupun figur lekat tidak tampak dalam jangkauan mata anak, bahkan jika figur


(22)

digantikan oleh orang lain dan attachment dengan figur lekat akan menimbulkan rasa aman (Ainsworth dalam Adiyanti, 1985). Hubungan attachment antara anak dengan orang tua akan bertahan cukup lama dalam rentang kehidupan manusia yang diawali dengan attachment anak pada ibu atau figur lain pengganti ibu. Dengan kata lain, attachment tidak hanya dapat diperoleh ibu namun dari pengganti ibu yaitu, ayah (Bowlby dalam Haditono dkk,1994).

Attachment yang terbentuk antara bayi dan orangtua (hubungan sosial pertama dalam hidup manusia) merupakan landasan dasar bagi hubungan manusia pada masa selanjutnya (Erickson, Sroufe & fleeson dalam Kail & Cavanaugh, 2000). Bowlby mengatakan bahwa anak masih membutuhkan orangtua sebagai figur attachment selama masa kanak-kanak dan remaja. Hubungan yang dibina akan bertahan cukup lama dan memberikan rasa aman walaupun figur lekat tidak tampak dalam pandangan anak. Sebagian besar anak telah membentuk kelekatan dengan pengasuh utama (primary care giver) pada usia sekitar delapan bulan dengan proporsi 50% pada ibu, 33% pada ayah dan sisanya pada orang lain (Sutcliffe,2002). Memasuki usia remaja, attachment yang terbentuk tidak lagi berwujud kelekatan (fisik) melainkan lebih kepada ikatan emosional (Greenberg et, al dalam O’koon, 1997).Menurut penelitian yang lakukan oleh Fox, Kimmely dan Schafer, 1991) secure attachment dan insecure attachment yang dibutuhkan anak dari ibu dan ayah memilki persentase yang seimbang yaitu, 65 % secure attachment dan 35% insecure attachmen. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ayah juga memberikan attachment yang sama penting dibandingkan ibu.


(23)

Attachment yang diberikan ayah kepada anak laki-laki sejak ia bayi akan memberikan perasaan nyaman dan dicintai hingga ia dewasa (Sulliver 1999). Ayah merupakan aset terbesar dalam mendidik emosi remaja laki-laki yaitu, memberikan perhatian penuh pada remaja laki-laki. Ayah juga memberikan manfaat yang positif bagi remaja laki-laki antara lain, dalam pengembangan pengendalian diri, kemampuan untuk menunda keinginan serta membantu remaja dalam penyesuaian sosialnya (Gotman & Declaire dalam Andayani & Koentjoro, 2004). Ayah akan mempengaruhi remaja secara berbeda dengan para ibu, terutama di bidang-bidang seperti hubungan remaja dengan teman sebaya dan prestasi akademis (Gottman & DeClaire, dalam Maharani & Andayani, 2003). Gottman dan Declaire (dalam Andayani & Koentjoro, 2004) menyebutkan bahwa ayah memanfaatkan maskulinitasnya dalam permainan yang cenderung lebih bersifat fisik dan melibatkan gerak motorik kasar. Hal ini akan memberikan pengalaman emosional yang berbeda pada remaja dibandingkan ketika berinteraksi dengan ibunya yang cenderung lebih bersifat lembut dan mengeksplorasi kegiatan yang cenderung lebih intelektual. Ini membuat peran ayah tidak kalah pentingnya dengan peran ibu.

Levant mengemukakan bahwa ayah memiliki kemampuan untuk mengenali dan menanggapi emosi anak secara konstruktif terhadap anak laki-laki dibandingkan pada anak perempuan. Remaja laki-laki yang sering ditinggal dan tidak memperoleh atttachment dari ayah tidak menunjukan perilaku maskulin (Watson &Lindgren dalam Dagun, 2002). Penelitian yang dilakukan Krampe dan fairweather, (1993) menunjukan bahwa remaja yang memiliki attachment yang


(24)

kuat dan konsisten dari ayah akan mengahasilkan harga diri yang lebih baik, meningkatnya kemauan untuk berkompetisi, meningkatkan intelektual dan keberhasilan dalam bidang akademik. Attachment yang diberikan ayah kepada anak laki-laki juga memiliki hubungan yang positif dengan kemampuan sosial anak laki-laki. Menurut Ainsworth, pola attachment yang terjadi antara orangtua (ayah) dan remaja terbagi atas tiga pola yaitu, secure attachment (aman), pola anxious attachment, pola avoidant attachment.

Berdasarkan fenomena yang telah dipaparkan menunjukan bahwa Attachment ayah memiliki peran yang sangat penting dalam perkembangan remaja laki-laki terutama dalam perkembangan kecerdasan emosi pada remaja laki-laki. Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti ingin melihat hubungan antara setiap pola attachment (secure attachment, pola anxious attachment, pola avoidant attachment) terhadap ayah dengan kecerdasan emosional pada remaja laki-laki.

B. Perumusan Masalah

Permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah terdapat hubungan antara attachment terhadap ayah dengan kecerdasan emosional pada remaja laki-laki? Adapun pertanyaan yang lebih mendetail adalah

1. apakah ada hubungan positif secure attachment terhadap ayah dengan kecerdasan emosi pada remaja laki-laki ?

2. apakah ada hubungan negatif anxious attachment terhadap ayah dengan kecerdasan emosi pada remaja laki-laki ?


(25)

3. apakah ada hubungan negatif avoidant attachment terhadap ayah dengan kecerdasan emosi pada remaja laki-laki ?

C. Tujuan penelitian

Berdasarkan uraian di atas adapun tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui tingkat kecerdasan emosional pada remaja laki-laki 2. Untuk mengetahui tingkat attachment terhadap ayah pada remaja laki-laki 3. Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan attachment terhadap ayah

dengan kecerdasan emosional pada remaja laki-laki

4. Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan positif secure attachment terhadap ayah dengan kecerdasan emosional pada remaja laki-laki

5. Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan negatif anxious attachment terhadap ayah dengan kecerdasan emosional pada remaja laki-laki

6. Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan negatif avoidant attachment terhadap ayah dengan kecerdasan emosional pada remaja laki-laki

D. Manfaat penelitian

Melalui penelitian ini diharapkan dapat diperoleh bukti-bukt i empiris mengenai hubungan antara kelekatan padap ayah dengan kecerdasan emosional pada remaja, sehingga penelitian ini dapat bermanfaat bagi :Penelitian ini diharapkan dapat memberikan dua manfaat, yaitu:

1. Manfaat teoritis


(26)

pengembangan ilmu psikologi, khususnya dibidang Psikologi Perkembangan. 2. Manfaat praktis

a. Memberikan kontribusi kepada orang tua mengenai peranan ayah dalam kecerdasan emosi remaja

b. Bagi orang tua, penelitian ini memberi gambaran dan informasi mengenai hubungan attachment terhadap ayah dengan kecerdasan emosi sehingga diharapkan orang tua, dalam hal ini adalah ayah, dapat memberi perhatian yang lebih intensif kepada anak-anaknya.

c. Bagi ilmuwan atau peneliti yang melakukan penelitian sejenis ini, penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan acuan untuk mengembangkan penelitian dan bisa mengungkap aspek-aspek atau hal-hal yang belum terungkap dalam penelitian

F. Sistematika penelitian

Sistematika penulisan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: Bab I : Latar Belakang

Bab ini berisi penjelasan mengenai latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II : Landasan Teori

Bab ini berisi teori-teori kepustakaan yang digunakan sebagai landasan dalam penelitian, antara lain mengenai Pengertian Attachment, pengertian attachment terhadap ayah, peran ayah,


(27)

pola-pola attachment, figur attachment pada remaja, pengertian kecerdasan emosi, aspek-aspek kecerdasan emosi dan faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi, ciri-ciri anak yang memiliki kecerdasan emosi tinggi dan rendah, pengertian remaja, tugas perkembangan remaja, ciri-ciri masa remaja, perubahan masa remaja, hubungan attachment terhadap ayah dengan kecerdasan emosi pada remaja laki-laki dan hipotesa Penelitian

Bab III : Metode Penelitian

Bab ini berisi penjelasan mengenai metode penelitian yang berisi tentang pendekatan kuatitatif identifikasi variabel penelitian, DO, sampel dan populasi, metode pengumpulan data, dan metode analisis data.

Bab IV : Analisa Data dan Interpretasi

Bab ini berisi penjelasan mengenai gambaran subjek penelitian, hasil analisa data penelitian dan pembahasan

Bab V : Kesimpulan dan Saran

Bab ini berisi penjelasan mengenai kesimpulan hasil penelitian dan saran-saran untuk pihak terkait dan penelitian selanjutnya


(28)

BAB II

LANDASAN TEORI A. Attachment

1. Pengertian Attachment

Istilah attachment (kelekatan) pertama kali dikemukakan oleh seorang psikolog dari Inggris pada tahun 1958 bernama John Bowlby. Kemudian formulasi yang lebih lengkap dikemukakan oleh Mary Ainsworth pada tahun 1969. Menurut Bowlby (dalam Santrock 2002) attachment adalah adanya suatu relasi atau hubungan antara figur sosial tertentu dengan suatu fenomena tertentu yang dianggap mencerminkan karakteristik relasi yang unik. Attachment akan bertahan cukup lama dalam rentang kehidupan manusia yang diawali dengan kelekatan anak pada ibu atau figur lain pengganti ibu.

Menurut Ainsworth (1969) attachment adalah ikatan emosional yang dibentuk seorang individu dengan orang lain yang bersifat spesifik, mengikat mereka dalan suatu attachment yang bersifat kekal sepanjang waktu. Attachment merupakan suatu hubungan yang didukung oleh tingkah laku lekat (attachment behavior) yang dirancang untuk memelihara hubungan tersebut (Durkin, 1995). Attachment merupakan suatu ikatan emosional yang kuat yang dikembangkan anak melalui interaksinya dengan orang yang mempunyai arti khusus dalam kehidupannya, biasanya orang tua (Mc Cartney dan Dearing, 2002).

Berdasarkan beberapa definisi attachment diatas dapat disimpulkan bahwa attachment adalah suatu hubungan emosional atau hubungan yang bersifat afektif antara satu individu dengan individu lainnya yang mempunyai arti khusus,


(29)

dalam hal ini biasanya hubungan ditujukan pada ibu atau pengasuhnya. Hubungan yang dibina bersifat timbal balik, bertahan cukup lama dan memberikan rasa aman walaupun figur lekat tidak tampak dalam pandangan anak.

2. Attachment Terhadap Ayah

a.Pengertian attachment terhadap ayah

Menurut Bowlby (dalam Santrock 2002) attachment adalah adanya suatu relasi atau hubungan antara figur sosial tertentu dengan suatu fenomena tertentu yang dianggap mencerminkan karakteristik relasi yang unik. Attachment akan bertahan cukup lama dalam rentang kehidupan manusia yang diawali dengan attachment anak pada ibu atau figur lain pengganti ibu (ayah). Ainsworth (1969) mengatakan bahwa attachment adalah ikatan emosional yang dibentuk seorang individu dengan orang lain yang bersifat spesifik, mengikat mereka dalan suatu attachment yang bersifat kekal sepanjang waktu.

Ayah adalah tulang punggung pencari nafkah dan kepala kelurga yang harus bertanggung jawab dapat menjadi figur panutan sebagai pribadi, terhadap istri, anak, keluarga serta sosial masyarakat (Kriswanduru, 2004). Ayah merupakan aset terbesar dalam mendidik emosi remaja laki-laki yaitu, memberikan perhatian penuh pada remaja laki-laki. Ayah juga memberikan manfaat yang positif bagi remaja laki-laki antara lain, dalam pengembangan pengendalian diri, kemampuan untuk menunda keinginan serta membantu remaja dalam penyesuaian sosialnya (Gotman & Declaire dalam Andayani & Koentjoro, 2004).


(30)

Berdasarkan uraian diatas maka attachment terhadap ayah adalah suatu ikatan emosional yang kuat terhadap ayah dimana hubungan tersebut bertahan cukup lama, bersifat kekal sepanjang waktu dan ikatan tersebut tetap bertahan walaupun figur lekat tidak tampak dalam jangkauan mata anak namun menimbulkan rasa aman.

b. Pola- pola attachment

Bowlby (1982) mengatakan bahwa hubungan attachment pada bayi mempunyai kemiripan pada hubungan yang terjadi pada masa remaja dan dewasa yaitu, menggambarkan sejumlah hubungan yang dekat antara orang tua dan anak. Namun, bentuk hubungan attachment antara anak-anak dan remaja atau dewasa memiliki penekanan yang berbeda. Pada masa anak-anak mereka hanya memiliki attachment dengan orang yang istimewa menurut mereka, yaitu ibu. Sedangkan, pada masa remaja dan dewasa penekanan hubungan attachment telah lebih luas.

Bowlby membagi attachment tersebut kedalam dua bentuk yaitu secure attachment dan insecure attachment. Namun, Ainsworth melakukan observasi dan penelitian sehingga membagi attachment kedalam tiga bentuk. Menurut Ainsworth, Blehar, Waters, and Wall (1978) pola-pola attachment antara anak dan orangtua terbagi atas tiga pola antara lain,

a. Secure attachment

Secure attachment, merupakan pola attachment dengan karakteristik anak nyaman saat bersama orang tua, anak tidak sepenuhnya bergantung pada orangtua, memandang orantua sebagai figur yang hangat dan penuh


(31)

kasih sayang, menjalin hubungan yang menyenangkan dengan orangtua, memiliki rasa percaya diri dan orangtua merupakan sumber dukungan bagi anak.

Anak-anak dengan pola secure attachment menjadi tampak marah ketika caregiver (orang tua) mereka pergi, dan merasa bahagia ketika orang tua mereka kembali. Ketika ketakutan, anak-anak akan mencari kenyamanan dari orang tua atau pengasuh.

Orangtua dengan pola secure attachment selalu mengajak anak mereka beraktifitas bersama. Selain itu, orang tua juga menunjukan reaksi yang lebih cepat akan kebutuhan anak-anak mereka dan umumnya mereka lebih responsif terhadap anak-anak daripada orang tua dengan pola insecure attachment Penelitian telah menunjukkan bahwa anak-anak dengan pola secure attachment lebih empatik selama masa kanak-kanak akhir. Anak-anak yang memperoleh pola secure attachment akan menunjukan sikap sebagai kurang mengganggu, kurang agresif, dan lebih dewasa daripada anak-anak dengan pola ambivalen atau avoidant. Saat dewasa, mereka yang memperoleh secure attachment cenderung memiliki percaya, hubungan jangka panjang. memiliki harga diri yang tinggi, menikmati hubungan intim, mencari dukungan sosial, dan kemampuan untuk berbagi perasaan dengan orang lain (McCarthy G., 1999).

b. Anxious atttachment

Anxious atttachment, merupakan pola attachment yang ditandai dengan anak memiliki pandangan bahwa orangtua tidak sensitif terhadap


(32)

anak, orangtua kurang responsif akan kebutuhan anak, orangtua bersikap tidak adil, menjalin hubungan sangat dekat dengan keluarga karenakan takut dalam mengambil keputusan, merasa cemas diabaikan, tidak nyaman saat bersama orangtua tetapi anak tetap berusaha menjalin hubungan dengan orangtua.

Anak-anak yang melekat anxious attachment cenderung sangat curiga terhadap orang asing. Anak-anak ini menunjukan perasaan tertekan ketika terpisah dari orang tua atau pengasuh, tetapi tidak merasa gembira saat pengasuh atau orangtua mereka kembali. Dalam beberapa kasus, anak pasif mungkin menolak orang tua dengan menolak kenyamanan, atau secara terbuka mungkin menampilkan agresi langsung terhadap orang tua.

Saat memasuki masa dewasa, mereka yang memperoleh anxious attachment sering merasa enggan menjalin hubungan yang dekat dengan orang lain dan khawatir bahwa pasangan mereka tidak membalas perasaan mereka. Hal ini menyebabkan mereka sering putus, merasa hubungan mereka “dingin” dan jauh. Orang-orang ini merasa sangat sedih ketika berakhirnya sebuah hubungan. Cassidy dan Berlin dijelaskan pola lain patologis mana anxious orang dewasa melekat melekat pada anak-anak muda sebagai sumber keamanan (1994).

c. Avoidant attachment

Avoidant attachment, merupakan pola attachment dengan karakteristik anak memiliki anggapan bahwa orangtua tidak memberikan perhatian, mengalami penolakan, hubungan dengan orangtua relatif dingin,


(33)

anak merasa tidak nyaman saat berada bersama orangtua dan tidak ingin menjalin hubungan dekat dengan orangtua dan anak sukar memepercayai orangtua.

Anak-anak dengan avoidant attachment cenderung menghindari orang tua dan pengasuh. penghindaran ini sering menjadi sangat jelas setelah masa ketiadaan. Anak-anak ini mungkin tidak menolak perhatian dari orang tua, tetapi juga tidak mereka mencari kenyamanan. Anak-anak dengan avoidant attachment tidak menunjukkan preferensi antara orang tua dan orang asing.

Saat masa dewasa, mereka dengan avoidant attachment cenderung mengalami kesulitan dengan hubungan intim dan dekat. Individu-individu ini tidak berinvestasi banyak emosi dalam hubungan dan mengalami penderitaan kecil ketika hubungan berakhir. Mereka sering menghindari keintiman dengan menggunakan alasan (seperti jam kerja yang panjang), atau mungkin berfantasi tentang orang lain selama seks. Penelitian juga menunjukkan bahwa orang dewasa dengan avoidant attachment lebih menerima dan mungkin terlibat dalam seks bebas (Feeney, J., Noller, dan Patty 1993). Karakteristik umum lainnya termasuk kegagalan untuk mendukung mitra selama masa stres dan ketidakmampuan untuk berbagi perasaan, pikiran, dan emosi dengan pasangan mereka.

Berdasarkan beberapa pola attachment diatas dapat disimpulkan bahwa konsep attachment Ainsworth beberapa pola-pola attachment yang terjadi pada


(34)

anak dan orangtua antara lain, Secure attachment, Anxious atttachment dan Avoidant attachment.

3. Attachment Remaja

Attachment yang terbentuk antara bayi dan orangtua (hubungan sosial pertama dalam hidup manusia) merupakan landasan dasar bagi hubungan manusia pada masa selanjutnya (Erickson, Sroufe & fleeson dalam Kail & Cavanaugh, 2000). Bowlby mengatakan bahwa anak masih membutuhkan orangtua sebagai figur attachment selama masa kanak-kanak dan remaja. Remaja tetap memperoleh dukungan dan perlindungan dari orangtua (sebagai figur attachment) (Colin,1996). Namun, pada masa remaja keinginan remaja mencari kedekatan dan mengandalkan figur attachment pada saat mereka merasa tertekan cenderung menurun tetapi, untuk perasaan ketersedian figur attachment tidak mengalami penurunan (Lieberman, Doyle &Markiewicz dalam Doyle & Maretti, 2000).

Menurut Bowlby (dalam Doyle & Moretti, 2000) meskipun frekuensi dan intensitas beberapa perilaku attachment diketahui menurun seiring bertambahnya usia namun, kualitas ikatan attachment remaja akan tetap stabil. Memasuki usia remaja, mereka lebih menjalin hubungan yang lebih dekat dengan teman sebaya. Namun, menurut Greenberg, et, al; Kobak & Scroery (dalam Colin, 1996) meskipun hubungan dengan teman sebaya menjadi sangat penting bagi remaja akan tetapi, attachment terhadap dengan orangtua tetap menjadi sumber utama dalam memberikan rasa aman pada remaja. Adapun ciri afektif yang menunjukkan kelekatan antara lain, hubungan bertahan cukup lama, ikatan tetap ada walaupun


(35)

figur lekat tidak tampak dalam jangkauan mata anak, bahkan jika figur digantikan oleh orang lain dan kelekatan dengan figur lekat akan menimbulkan rasa aman (Ainsworth, 1969)

3. Figur attachment

Menurut Bowlby (dalam Durkin 1995) ada dua figur lekat, yaitu figur lekat utama dan figur attachment pengganti. Individu yang selalu siap memberikan respon ketika anak menangis tetapi tidak memberikan perawatan fisik cenderung dipilih sebagai figur attachment pengganti. Individu yang kadang-kadang memberikan perawatan fisik namun tidak bersifat responsif tidak akan dipilih menjadi figur attachment.

Adapun kondisi yang dapat menimbulkan attachment pada anak pada

seseorang dapat diuraikan sebagai berikut : a. Pengasuh Anak

Orang yang paling banyak mengasuh anak adalah orang yang paling sering berhubungan dengan anak dengan maksud mendidik dan membesarkan anak. Hal ini menyangkut kualitas hubungan antara pengasuh dan anak, disamping itu pengasuh anak harus tetap dan berhubungan dengan anak secara berkesinambungan (Pikunas dalam Ervika,2000)

b. Komposisi Keluarga

Anak mempunyai kemungkinan untuk memilih salah satu dari orang-orang yang ada dalam keluarga sebagai figur attachment. Figur attachment yang dipilih anak biasanya adalah orang dewasa yang memenuhi persyaratan pada


(36)

butir (a) di atas. Ibu biasanya menduduki peringkat pertama figur attachment utama anak.

Menurut Maccoby (dalam Ervika, 2000) seorang anak dapat dikatakan attachment pada orang lain jika memiliki ciri-ciri antara lain:

a. Mempunyai kelekatan fisik dengan seseorang

b. Menjadi cemas ketika berpisah dengan figur attachment c. Menjadi gembira dan lega ketika figur attachment kembali

d. Orientasinya tetap pada figur attachment walaupun tidak melakukan interaksi. Anak memperhatikan gerakan, mendengarkan suara dan sebisa mungkin berusaha mencari perhatian figur attachment

Berdasarkan penjelasan attachment anak dapat disimpulkan bahwa remaja dapat memperoleh attachment dari beberapa figur attachment yaitu, didalam keluarga adalah ibu dan ayah sedangkan figur attachment lain adalah pengasuh. Selama ini orang seringkali menyamakan attachment dengan ketergantungan (dependency), padahal sesungguhnya kedua istilah tersebut mengandung pengertian yang berbeda.

C. Kecerdasan emosi

1. Pengertian Kecerdasan emosi

Istilah “kecerdasan emosional” pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari Harvard University dan John Mayer dari University of New Hampshire untuk menerangkan kualitas-kua litas emosional yang tampaknya penting bagi keberhasilan. Salovey dan Mayer mendefinisikan


(37)

kecerdasan emosional atau yang sering disebut EQ sebagai himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan mengendalikan perasaan sosial yang melibatkan kemampuan pada orang lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan. (Shapiro, 1998).

Goleman (1997) mendefinisikan bahwa kecerdasan emosi adalah suatu kemampuan seseorang yang didalamnya terdiri dari berbagai kemampuan untuk dapat memotivasi diri sendiri, bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan impulsive needs atau dorongan hati, tidak melebih-lebihkan kesenangan maupun kesusahan, mampu mengatur reactive needs, menjaga agar bebas stress, tidak melumpuhkan kemampuan berfikir dan kemampuan untuk berempati pada orang lain, serta adanya prinsip berusaha sambil berdoa. Dengan kecerdasan emosional tersebut seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan dan mengatur suasana hati. Goleman menambahkan kecerdasan emosional merupakan sisi lain dari kecerdasan kognitif yang berperan dalam aktivitas manusia yang meliputi kesadaran diri dan kendali dorongan hati, ketekunan, semangat dan motivasi diri serta empati dan kecakapan sosial. Kecerdasan emosional bertujuan untuk mengenali, memahami dan mewujudkan emosi dalam porsi yang tepat dan upaya untuk mengelola emosi agar terkendali dan dapat memanfaatkan untuk memecahkan masalah kehidupan terutama yang terkait dengan hubungan antar manusia.

Menurut Atkinson, (1987) Kecerdasan emosional mencakup pengendalian diri, semangat, dan ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri sendiri


(38)

dan bertahan menghadapi frustrasi, kemampuan untuk mengendalikan dorongan hati da menjaga agar beban stress tidak menggangu kemampuan berpikir, untuk berempati terhadap orang lain dan berdoa, untuk memelihara hubungan dengan sebaik-baiknya, kemampuan untuk menyelesaikan konflik, serta untuk memimpin diri dan lingkungan sekitarnya.

Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosi merupakan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan sosial, kemampuan dalam mengenali, mengelola dan mengendalikan emosi pada diri sendiri, memahami perasaan orang lain, menjalin hubungan yang baik dengan orang lain, memecahkan masalah, berpikir realistis serta menempatkan emosi mereka dalam porsi yang tepat.

2. Aspek- aspek kecerdasan emosional

Menurut Goleman (2000) menempatkan kecerdasan pribadi Gardner dalam definisi dasar tentang kecerdasan emosional yang dicetuskannya dan memperluas kemapuan tersebut menjadi 5 aspek kemampuan utama, yaitu :

a. kesadaran diri

Kesadaran diri, yaitu kemampuan seseorang untuk mengetahui apa yang ia rasakan pada saat tertentu dan menggunakannya untuk memandu dalam pengambilan keptuusan bagi diri sendiri.

Mengenali emosi diri sendiri merupakan suatu kemampuan untuk mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Kemampuan ini merupakan dasar dari


(39)

kecerdasan emosional, para ahli psikologi menyebutkan kesadaran diri sebagai metamood, yakni kesadaran seseorang akan emosinya sendiri. Menurut Mayer (Goleman, 2002) kesadaran diri adalah waspada terhadap suasana hati maupun pikiran tentang suasana hati, bila kurang waspada maka individu menjadi mudah larut dalam aliran emosi dan dikuasai oleh emosi. Kesadaran diri memang belum menjamin penguasaan emosi, namun merupakan salah satu prasyarat penting untuk mengendalikan emosi sehingga individu mudah menguasai emosi.

b. Pengendalian diri

Pengendalian diri yaitu kemampuan seseorang menangani emosinya sendiri sehingga berdapak positif terhadap pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati, sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran, dan mampu pulih kembali dari tekanan emosi. Pengendalian diri merupakan kemampuan individu dalam menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat atau selaras, sehingga tercapai keseimbangan dalam diri individu. Menjaga agar emosi yang merisaukan tetap terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi. Emosi berlebihan, yang meningkat dengan intensitas terlampau lama akan mengoyak kestabilan kita (Goleman, 2002). Kemampuan ini mencakup kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan akibat-akibat yang ditimbulkannya serta kemampuan untuk bangkit dari perasaan-perasaan yang menekan.


(40)

c. Motivasi diri

Motivasi diri yaitu kemampuan menggunakan hasrat yang paling dalam untuk menggerakkan dan menuntun menuju sasaran, mampu mengambil inisiatif dan bertindak secara efektif serta mampu bertahan menghadapi kegagalan dan frustrasi. Prestasi harus dilalui dengan dimilikinya motivasi dalam diri individu, yang berarti memiliki ketekunan untuk menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati, serta mempunyai perasaan motivasi yang positif, yaitu antusianisme, gairah, optimis dan keyakinan diri. d. Empati

Empati yaitu kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, menumbuhkan hubungan saling percaya dan mampu menyelaraskan diri berbagai tipe orang. Menurut Goleman (2002) kemampuan seseorang untuk mengenali orang lain atau peduli, menunjukkan kemampuan empati seseorang. Individu yang memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan orang lain sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang orang lain, peka terhadap perasaan orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan orang lain. Rosenthal (Goleman, 2002) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa orangorang yang mampu membaca perasaan dan isyarat non verbal lebih mampu menyesuiakan diri secara emosional, lebih populer, lebih mudah bergaul, dan lebih peka. Nowicki (dalam Goleman, 2002), ahli psikologi menjelaskan bahwa anak-anak yang tidak mampu membaca atau mengungkapkan emosi dengan baik akan terus menerus merasa frustasi.


(41)

Seseorang yang mampu membaca emosi orang lain juga memiliki kesadaran diri yang tinggi. Semakin mampu terbuka pada emosinya sendiri, mampu mengenal dan mengakui emosinya sendiri, maka orang tersebut mempunyai kemampuan untuk membaca perasaan orang lain.

e. Ketrampilan sosial

Ketrampilan sosial yaitu kemampuan untuk mengendalikan emosi dengan baik ketika berhubungan sosial dengan cermat dapat berinteraksi dengan lancar, menggunakan ketrampilan ini untuk mempengaruhi, memimpin, bermusyawarah, menyelesaikan permasalahan dan bekerja sama dengan tim Kemampuan dalam membina hubungan merupakan suatu keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi (Goleman, 2002). Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan kemampuan dasar dalam keberhasilan membina hubungan. Individu sulit untuk mendapatkan apa yang diinginkannya dan sulit juga memahami keinginan serta kemauan orang lain. Orang-orang yang hebat dalam keterampilan membina hubungan ini akan sukses dalam bidang apapun. Orang berhasil dalam pergaulan karena mampu berkomunikasi dengan lancar pada orang lain. Orang-orang ini populer dalam lingkungannya dan menjadi teman yang menyenangkan karena kemampuannya berkomunikasi (Goleman, 2002). Ramah tamah, baik hati, hormat dan disukai orang lain dapat dijadikan petunjuk positif bagaimana siswa mampu membina hubungan dengan orang lain. Sejauhmana kepribadian siswa berkembang dilihat dari banyaknya hubungan interpersonal yang dilakukannya.


(42)

Berdasarkan beberapa pendapat yang telah dikemukakan dapat disimpulkan aspek-aspek kecerdasan emosi meliputi mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, membina hubungan. Untuk selanjutnya dijadikan indikator alat ukur kecerdasan emosi dalam penelitian, dengan pertimbangan aspek-aspek tersebut sudah cukup mewakili dalam mengungkap sejauh mana kecerdasan emosi subjek penelitian.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi

Goleman (1997) menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional seseorang yaitu:

a. Lingkungan keluarga. Kehidupan keluarga merupakan sekolah pertama bagi anak dalam mempelajari emosi. Kecerdasan emosi dapat diajarkan pada saat masih bayi melalui ekspresi wajah. Peristiwa emosional yang terjadi pada masa anak-anak akan melekat dan menetap secara permanen hingga dewasa kehidupan emosional yang dipupuk dalam keluarga sangat berguna bagi masa depan anak.

b. Lingkungan non keluarga. Hal ini yang terkait adalah lingkungan masyarakat dan pendidikan. Kecerdasan emosi ini berkembang sejalan dengan perkembangan fisik dan mental anak. Pembelajaran ini biasanya ditujukan dalam suatu aktivitas bermain peran sebagai seseorang diluar dirinya dengan emosi yang menyertai keadaan orang lain.

Menurut Le Dove (dalam Goleman. 1997) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi antara lain:


(43)

a. Fisik. Secara fisik bagian yang paling menentukan atau paling berpengaruh terhadap kecerdasan emosi seseorang adalah anatomi saraf emosinya. Bagian otak yang digunakan untuk berfikir yaitu korteks (kadang kadang disebut juga neo korteks). Sebagai bagian yang berada dibagian otak yang mengatur emosi yaitu system limbic, tetapi sesungguhnya antara kedua bagian inilah yang menentukan kecerdasan emosi seseorang.

1. Korteks. Bagian ini berupa bagian berlipat-lipat kira kira 3 milimeter yang membungkus hemisfer serebral dalam otak. Korteks berperan penting dalam memahami sesuatu secara mendalam, menganalisis mengapa mengalami perasaan tertentu dan selanjutnya berbuat sesuatu untuk mengatasinya. Korteks khusus lobus prefrontal, dapat bertindak sebagai saklar peredam yang memberi arti terhadap situasi emosi sebelum berbuat sesuatu.

2. Sistem limbic. Bagian ini sering disebut sebagai emosi otak yang letaknya jauh didalam hemisfer otak besar dan terutama bertanggung jawab atas engaturan emosi dan implus. Sistem limbic meliputi hippocampus, empat berlangsungnya proses pembelajaran emosi dan tempat isimpannya emosi. Selain itu ada amygdala yang dipandang sebagai pusat pengendalian emosi pada otak.

b. Psikis. Kecerdasan emosi selain dipengaruhi oleh kepribadian individu, juga dapat dipupuk dan diperkuat dalam diri individu.

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa menurut Le Dove (dalam Goleman. 1997) terdapat dua faktor yang dapat mempengaruhi kecerdasan


(44)

emosi seseorang yaitu secara fisik dan psikis. Secara fisik terletak dibagian otak yaitu konteks dan sistem limbic, secara psikis meliputi lingkungan keluarga dan lingkungan non keluarga sedangkan menurut Goleman, (1997) faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi yaitu, keluarga dan non keluarga.

Menurut Goleman (2000) terdapat 2 faktor yang dapat mempengaruhi kecerdasan emosi seseorang, antara lain:

1. Pengalaman

Kecerdasan emosi dapat meningkat sejalan dengan kehidupan manusia. Sepanjang perjalanan hidup, kecerdasan emosi biasanya cenderung berrtambah sementara manusia belajar untuk menangani suasana hati, menangani emosi yang menyulitkan sehingga semakin cerdas dalam hal emosi. Menurut Mayer (dalam Goleman, 2000)kecerdasan emosi berkembang sejalan dengan usia dan pengalaman dari masa kanak- kanak hingga dewasa. 2. Usia

Pada masa remaja, kecerdasan emosi paling besar terbentuk pada masa remaja pertengahan. Stein & Book (2004) melakukan penelitian terhadap 4000 orang di Kanada dan Amerika Serikat dimana hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa kecerdasan emosi meningkat seiring dengan usia seseorang. . Hal ini dikarenakan pada masa remaja tengah hubungan tersebut telah menjadi hubungan yang menyenangkan dan penuh kasih sayang. Pada masa ini, remaja mulai mengevaluasi apa yang baik dan buruk bagi dirinya.


(45)

4. Ciri-ciri anak yang memiliki kecerdasan emosi

Menurut Goleman (2001) terdapat beberapa ciri-ciri anak yang memiliki kecerdasan emosi tinggi dan rendah

a. Anak dengan kecerdasan emosi (EQ) tinggi memiliki ciri-ciri: 1. memikirkan tindakan dan perasaaan sebelum melakukan sesuatu 2. mampu mengendalikan perasaan seperti marah, agresif, dan tidak

sabar

3. memikirkan akibat sebelum bertindak

4. berusaha dan mempunyai daya tahan untuk mencapai tujuan hidup 5. sadar akan perasaan diri dan orang lain

6. berempati dengan orang lain

7. dapat mengendalikan mood dan perasaan negatif 8. membentuk konsep diri yang positif

9. mudah menjalin persahabatan dengan orang lain 10. mahir dalam berkomunikasi

11. menyelesaikan konflik sosial dengan cara damai

b. Anak dengan kecerdasan emosi (EQ) rendah memiliki ciri-ciri 1. bertindak mengikuti perasaan, tanpa memikirkan akibat 2. pemarah, bertindak agresif

3. memiliki tujuan hidup dan cita-cita yang tidak jelas 4. kurang peka terhadap perasaaan diri

5. tidak dapat mengendalikan perasaan dan mood yang negatif 6. terpengaruh oleh perasaan negatif


(46)

7. harga diri negatif

8. tidak mampu menjalin persahabatan dengan orang lain 9. menyelesaikan konflik dengan kekerasan

D. Remaja

1. Pengertian remaja

Istilah Adolescence atau remaja berasal dari kata latin adolescere yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa (Hurlock, 1999). Piaget (dalam Hurlock, 1999) mengatakan bahwa secara psikologis masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa dibawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak.

Pada masa remaja (usia 12 sampai dengan 21 tahun) terdapat beberapa fase yaitu, fase remaja awal (usia 12 tahun sampai dengan 15 tahun), remaja pertengahan (usia 15 tahun sampai dengan 18 tahun) masa remaja akhir (usia 18 sampai dengan 21 tahun) dan diantaranya juga terdapat fase pubertas yang merupakan fase yang sangat singkat dan terkadang menjadi masalah tersendiri bagi remaja dalam menghadapinya. (Monks, 1999).

2. Tugas perkembangan remaja

Menurut Havighurst (dalam Hurlock, 1999), tugas perkembangan remaja meliputi:


(47)

a. Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita

b. Mencapai peran sosial pria, dan wanita

c. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif d. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggungjawab e. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa

lainnya

f. Mempersiapkan karir ekonomi

g. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga

h. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku-mengembangka n ideologi.

3. Ciri-ciri masa remaja

Sesuai dengan pembagian usia remaja menurut Monks (1999) maka terdapat tiga tahap proses perkembangan yang dilalui remaja dalam proses menuju kedewasaan, disertai dengan karakteristiknya, yaitu :

a. Masa remaja awal (12-15 tahun)

Pada tahap ini, remaja masih merasa bingung dan mulai beradaptasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada dirinya dan dorongan-dorongan yang menyertai perubahan-perubahan tersebut. Mereka mulai mengembangkan pikiran-pikiran baru, cepat tertarik pada lawan jenis dan mudah terangsang secara erotis. Kepekaan yang berlebihan ini ditambah dengan berkurangnya


(48)

pengendalian terhadap emosi dan menyebabkan remaja sulit mengerti dan dimengerti oleh orang dewasa.

b. Masa remaja madya (15-18 tahun)

Pada tahap ini, remaja sangat membutuhkan teman-teman. Ada kecenderungan narsistik yaitu mencintai dirinya sendiri, dengan cara lebih menyukai teman-teman yang mempunyai sifat-sifat yang sama dengan dirinya. Pada tahap ini remaja berada dalam kondisi kebingungan karena masih ragu harus memilih yang mana, peka atau peduli, ramai-ramai atau sendiri, optimis atau pesimis, dan sebagainya.

c. Masa remaja akhir (18-21 tahun)

Tahap ini adalah masa mendekati kedewasaan yang ditandai dengan pencapaian :

1) Minat yang semakin mantap terhadap fungsi-fungsi intelektual

2) Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang-orang lain dan mendapatkan pengalaman-pengalaman baru

3) Terbentuknya identitas seksual yang tidak akan berubah lagi

4) Egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri) diganti dengan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain 5) Tumbuh dinding pemisah antara diri sendiri dengan masyarakat umum

Berdasarkan ciri-ciri remaja diatas dapat disimpulkan bahwa remaja merupakan periode yang penting, masa peralihan, masa perubahan, masa yang bermasalah dan juga masa pencarian identitas diri dimana pada usia ini


(49)

menimbulkan ketakutan pada diri remja. Selain itu, usia remaja terbagi atas tiga tahap yaitu, remaja awal, remaja madya dan remaja akhir.

4. Perubahan masa remaja

a. Perubahan fisik

Perubahan fisik berhubungan dengan aspek anotomi dan aspek fisiologis, dimasa remaja kelenjar hipofesa menjadi masak dan mengeluarkan beberapa hormon, seperti hormon gonotrop yang berfungsi untuk mempercepat kemasakan sel telur dan sperma, serta mempengaruhi produksi hormon kortikortop berfungsi mempengaruhi kelenjar suprenalis, testosterone, oestrogen, dan suprenalis yang mempengaruhi pertumbuhan anak sehingga terjadi percepatan pertumbuhan (Monks dkk, 1999).

b. Perubahan Emosional

Pola emosi pada masa remaja sama dengan pola emosi pada masa kanak-kanak. Pola-pola emosi itu berupa marah, takut, cemburu, ingin tahu, iri hati, gembira, sedih dan kasih sayang. Perbedaan terletak pada rangsangan yang membangkitkan emosi dan pengendalian dalam mengekspresikan emosi. Remaja umumnya memiliki kondisi emosi yang labil pengalaman emosi yang ekstrem dan selalu merasa mendapatkan tekanan. Bila pada akhir masa remaja mampu menahan diri untuk tidak mengeksperesikan emosi secara ekstrem dan mampu memgekspresikan emosi secara tepat sesuai dengan situasi dan kondisi lingkungan dan dengan cara yang dapat diterima masyarakat, dengan


(50)

kata lain remaja yang mencapai kematangan emosi akan memberikan reaksi emosi yang stabil (Hurlock, 1999).

c. Perubahaan sosial

Perubahan fisik dan emosi pada masa remaja juga mengakibatkan perubahan dan perkembangan remaja. Terdapat dua bentuk perkembangan remaja yaitu, memisahkan diri dari orangtua dan menuju kearah teman sebaya. Remaja berusaha melepaskan diri dari otoritas orangtua dengan maksud menemukan jati diri. Remaja lebih banyak berada di luar rumah dan berkumpul bersama teman sebayanya dengan membentuk kelompok dan mengeksperesikan segala potensi yang dimiliki. Kondisi ini membuat remaja sangat rentan terhadap pengaruh teman dalam hal minat, sikap penampilan dan perilaku. Perubahan yang paling menonjol adalah hubungan heteroseksual. Remaja akan memperlihatkan perubahan radikal dari tidak menyukai lawan jenis menjadi lebih menyukai. Remaja ingin diterima, diperhatikan dan dicintai oleh lawan jenis dan kelompoknya (Monks, dkk 1999).

Berdasarkan beberapa perubahan tersebut dapat disimpulkan bahwa pada masa remaja individu akan mengalami perubahan pada kondisi fisik, kemampuan emosional pada masa remaja memiliki kondisi emosi yang labil pengalaman emosi yang ekstrem dan selalu merasa mendapatkan tekanan serta perubahan kemampuan sosial remaja.


(51)

E. Hubungan attachment terhadap ayah dengan kecerdasan emosi pada remaja laki-laki

Keluarga merupakan kelompok sosial kecil yang umumnya terdiri atas ayah, ibu, dan anak (Ahmadi, 2004). Sejak anak dilahirkan keluarga adalah lingkungan pertama yang mereka kenal. Keluarga juga merupakan lingkungan pertama bagi individu untuk belajar memahami dirinya sendiri. Orangtua sebagai pengendali keluarga, memegang peranan dalam membentuk hubungan keluarga dengan anak-anak mereka. Orangtua merupakan orang yang paling dekat dengan remaja, mengenal keadaan diri remaja, dan sebagai tempat aman bagi remaja untuk berbagi masalah, informasi, dan berbagi kasih sayang (Maharani & Andayani, 2004).

Orang tua merupakan sistem dukungan dan tokoh attachment yang paling penting (Santrock,2003). Doyle & Moretti (2000) mengatakan bahwa orangtua memegang peranan yang sangat penting dalam mendukung secure attachment selama masa kanak-kanak menuju dewasa (masa remaja). Menurut Ainsworth (1969) attachment adalah ikatan emosional yang dibentuk seorang individu dengan orang lain yang bersifat spesifik, mengikat mereka dalan suatu attachment yang bersifat kekal sepanjang waktu.

Ainsworth (1969) membagi attachment menjadi 3 pola attachment yaitu, secure attachment, anxious attachment dan avoidant attachment. Remaja yang memperoleh secure attachment cenderung memiliki percaya, hubungan jangka panjang. memiliki harga diri yang tinggi, menikmati hubungan intim, mencari dukungan sosial, dan kemampuan untuk berbagi perasaan dengan orang lain


(52)

(McCarthy G., 1999),lebih empatik selama masa kanak-kanak akhir. Anxious attachment cenderung sangat curiga terhadap orang asing. Saat memasuki masa dewasa, mereka yang memperoleh anxious attachment sering merasa enggan menjalin hubungan yang dekat dengan orang lain. Sedangkan remaja yang memperoleh avoidant attachment tidak menunjukkan preferensi antara orang tua dan orang asing. Saat masa dewasa, mereka dengan avoidant attachment cenderung mengalami kesulitan dengan hubungan intim dan dekat. Individu-individu ini tidak berinvestasi banyak emosi dalam hubungan dan mereka sering menghindari keintiman

Attachment tidak hanya didapatkan anak dari ibu, namun juga dapat diperoleh dari figur yang memberikan rasa aman dan nyaman bagi anak, salah satunya adalah ayah (Bowlby dalam Haditono dkk, 1994).Ayah merupakan tulang punggung pencari nafkah dan kepala kelurga yang harus bertanggung jawab yang menjadi figur panutan sebagai pribadi, terhadap istri, anak, keluarga serta sosial masyarakat (Kriswanduru, 2004). Remaja membutuhkan ayah bukan hanya sebagai sumber materi akan tetapi juga sebagai pemberi arahan terhadap perkembangan anak (Gunarsa, 2000). Ayah berkaitan dengan tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan keluarga serta tugas-tugas kepemimpinannya sebagai pemimpin rumah tangga.

Ayah juga harus melakukan peran sebagai fatherhood dimana sosok ayah harus dapat menciptakan suasana santai dan nyaman dengan anak-anaknya (Pratama dalam Slameto,2002). Levant mengemukakan bahwa ayah memiliki kemampuan untuk mengenali dan menanggapi emosi anak secara konstruktif


(53)

terhadap anak laki-laki dibandingkan pada anak perempuan. Ayah yang terlibat dan sensitif dalam pengasuhan anak akan memberikan efek yang positif pada perkembangan anak (Andayani &Koentjoro, 2004). Attachment dengan orang tua khususnya ayah dapat membentuk kompetensi sosial, kesejahteraan sosial remaja seperti ciri-ciri harga diri, penyesesuaian emosional dan kesejahteraan fisik remaja (Allen, dkk 1994; Kobak& Cole dalam Santrock,2003). Pada anak laki-laki ciri-ciri maskulin yang ia miliki akan tidak tampak apabila remaja laki-laki tersebut tidak memperoleh perhatian dari ayah (Watson, Lindgren dalam Dagun, 2002). Memasuki usia remaja, attachment yang terbentuk tidak lagi berwujud kelekatan (fisik) melainkan lebih kepada ikatan emosional (Greenberg et, al dalam O’koon, 1997).

Attachment dengan orang tua pada masa remaja dapat membentuk kompetensi sosial, kesejahteraan sosial remaja seperti ciri-ciri harga diri, penyesuaian emosional dan kesejahteraan fisik (Allen, dkk 1994; Kobak & Cole dalam Santrock, 2003). Penyesuaian emosi dibutuhkan remaja dalam menjalin hubungan sosial dengan orang lain. Dimana dalam penyesuaian emosional tersebut diperlukan adanya kecerdasan emosi dalam diri remaja.

Goleman (1997) mendefinisikan bahwa kecerdasan emosi adalah suatu kemampuan seseorang yang didalamnya terdiri dari berbagai kemampuan untuk dapat memotivasi diri sendiri, bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan impulsive needs atau dorongan hati, tidak melebih-lebihkan kesenangan maupun kesusahan, mampu mengatur reactive needs, menjaga agar bebas stress, tidak


(54)

melumpuhkan kemampuan berfikir dan kemampuan untuk berempati pada orang lain, serta adanya prinsip berusaha sambil berdoa.

Remaja dengan kecerdasan emosi (EQ) tinggi memiliki ciri-ciri: antara lain, memikirkan tindakan dan perasaaan sebelum melakukan sesuatu, mampu mengendalikan perasaan seperti marah, agresif, dan tidak sabar, memikirkan akibat sebelum bertindak, berusaha dan mempunyai daya tahan untuk mencapai tujuan hidup, sadar akan perasaan diri dan orang lain, berempati dengan orang lain, dapat mengendalikan mood dan perasaan negatif, membentuk konsep diri yang positif sedangkan, anak dengan kecerdasan emosi (EQ) rendah memiliki ciri-ciri antara lain, bertindak mengikuti perasaan, tanpa memikirkan akibat, pemarah, bertindak agresif, tidak dapat mengendalikan perasaan dan mood yang negatif, terpengaruh oleh perasaan negatif, menyelesaikan konflik dengan kekerasan (Goleman, 2001).

Remaja laki-laki memiliki tingkat kecerdasan emosi yang lebih rendah dibandingkan remaja perempuan. Baldwin (2002) sumber stres pada remaja laki-laki dan perempuan pada umumnya adalah sama, hanya saja remaja perempuan sering merasa cemas ketika sedang menghadapi masalah, sedangkan pada remaja laki-laki cenderung lebih berperilaku agresi dan melakukan perbuatan negatif. Hal ini sejalan dengan penelitian yang menunjukkan bahwa laki-laki lebih tinggi perilaku delikuensinya daripada perempuan (Broidy and Agnew, Caldwell et al, Steffensmeirer and Allan, dalam Gudjonsson, 2008). Dimana remaja laki-laki memiliki emotional regression, yaitu lebih agresif, rendah diri, kegelisahan, dan mementingkan diri sendiri (Srivastava, 2005). Sehingga remaja laki-laki lebih


(55)

sering menunjukkan kemarahan terhadap orang asing terutama laki-laki lain, ketika mereka merasa ditantang, dan laki-laki lebih suka mengubah kemarahannya itu ke dalam perilaku agresif (Travis dalam Santrock, 2003).

E. Hipotesa Penelitian

Berdasarkan uraian diatas, maka hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan attachment terhadap ayah dengan kecerdasan emosi pada remaja laki-laki.

1. Ada hubungan positif secure attachment terhadap ayah dengan kecerdasan emosi pada remaja laki-laki

2. Ada hubungan negatif anxious attachment terhadap ayah dengan kecerdasan emosi pada remaja laki-laki.

3. Ada hubungan negatif avoidant attachment terhadap ayah dengan kecerdasan emosi pada remaja laki-laki.


(56)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan unsur penting dalam sebuah penelitian ilmiah sehingga metode yang digunakan dalam penelitian dapat menentukan apakah hasil penelitian tersebut dapat dipertanggung jawabkan (Hadi, 2000). Bab III ini akan dijelaskan mengenai metode yang digunakan dalam penelitian ini, termasuk didalamnya identifikasi variabel penelitian, definisi operasional variabel penelitian, populasi, dan metode pengambilan sampel, metode dan alat pengumpulan data, serta metode analisa data.

Metode yang digunakan dalam peelitian ini adalah metode korelasional, dimana penelitian korelasional menurut Azwar (2000) bertujuan untuk menguji hubungan antara dua variabel. Tujuan metode penelitian korelasional adalah untuk mendeteksi sejauhmana variasi pada suatu faktor berkaitan dengan variasi-variasi pada satu atau lebih faktor lain berdasarkan pada koefisien korelasi (Suryabrata, 2002).Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan attachment terhadap ayah dengan kecerdasan emosi pada remaja laki-laki.

Dalam penelitian jenis ini, data yang dikumpulkan hanya untuk memperifikasi dan menggambarkan ada tidaknya hubungan antar variabel yang diteliti, namun tidak dapat menerangkan sebab-sebab hubungan tersebut (Hadi, 2000).


(57)

A. Identifikasi Variabel Penelitian

Berikut adalah identifikasi variabel yang di gunakan dalam penelitian ini : 1. Variabel bebas (independent variable) : attachment terhadap ayah

Terdiri dari : secure attachment Anxious attachment Avoidant attachment

2. Variabel tergantung (dependent variable) : kecerdasan emosi

B. Definisi Operasional

Definisi operasional penelitian bertujuan agar pengukuran variabel-variabel penelitian lebih terarah sesuai dengan tujuan dan metode pengukuran yang dipersiapkan. Adapun definisi operasional dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Attachment terhadap ayah

Attachment terhadap ayah adalah suatu ikatan emosional yang kuat terhadap ayah dimana hubungan tersebut bertahan cukup lama, ikatan tetap ada walaupun figur lekat tidak tampak dalam jangkauan mata anak namun menimbulkan rasa aman. Attachment yang terbentuk tidak berwujud kedekatan fisik melainkan ikatan emosional antara ayah dan remaja. Attachment terhadap ayah terdiri atas tiga pola attachment yaitu, secure attachment (aman), pola anxious attachment, pola avoidant attachment.

Secure attachment, merupakan pola attachment dengan karakteristik anak nyaman saat bersama orang tua, anak tidak sepenuhnya bergantung pada orangtua,


(58)

memandang orantua sebagai figur yang hangat dan penuh kasih sayang, menjalin hubungan yang menyenangkan dengan orangtua, memiliki rasa percaya diri dan orangtua merupakan sumber dukungan bagi anak.

Anxious atttachment, merupakan pola attachment yang ditandai dengan anak memiliki pandangan bahwa orangtua tidak sensitif terhadap anak, orangtua kurang responsif akan kebutuhan anak, orangtua bersikap tidak adil, menjalin hubungan sangat dekat dengan keluarga karenakan takut dalam mengambil keputusan, merasa cemas diabaikan namun, tidak nyaman saat bersama orangtua.

Avoidant attachment, merupakan pola attachment dengan karakteristik anak memiliki anggapan bahwa orangtua tidak memberikan perhatian, mengalami penolakan, hubungan dengan orangtua relatif dingin, anak merasa tidak nyaman saat berada bersama orangtua dan tidak ingin menjalin hubungan dekat dengan orangtua dan anak sukar mempercayai orangtua.

Penelitian ini, attachment terhadap ayah diukur dengan menggunakan skala attachment terhadap ayah yang dikembangkan pola-pola attachment yang dikemukakan oleh Ainsworth yaitu, pola secure attachment (aman), pola anxious attachment, pola avoidant attachment.

Semakin tinggi skor yang diperoleh pada salah satu pola attachment menunjukan bahwa individu lebih dominan memperoleh pola attachment tersebut dari ayah.


(59)

2. Kecerdasan emosi

Kecerdasan emosi merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang dalam mengenali, mengelola dan mengendalikan emosi pada diri sendiri, memahami perasaan orang lain, menjalin hubungan yang baik dengan orang lain, pemecahan masalah, serta berpikir realistis sehingga mampu berespon secara positif terhadap setiap kondisi yang menstimulus munculnya emosi-emosi tersebut sehingga dapat memotivasi diri sendiri, bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan impulsive needs atau dorongan hati, tidak melebih-lebihkan kesenangan maupun kesusahan, mampu mengatur reactive needs, menjaga agar bebas stress, tidak melumpuhkan kemampuan berfikir dan kemampuan untuk berempati pada orang lain, serta adanya prinsip berusaha sambil berdoa.

Kecerdasan emosi diukur dengan menggunakan skala kecerdasan emosi yang dikembangkan berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Goleman yaitu, kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi diri, empati dan juga ketrampilan sosial. Semakin tinggi total skor kecerdasan emosi remaja laki-laki maka semakin positif. Sebaliknya, semakin rendah total skor skala kecerdasan emosi remaja laki-laki maka semakin negatif kecerdasan emosi remaja laki-laki-laki-laki

C. Populasi dan Metode Pengambilan sampel 1. Populasi dan Sampel

Hadi (2000), mengemukakan bahwa semua individu yang memiliki generalisasi keadaan atau kenyataan yang sama disebut populasi, sedangkan individu yang diselidiki yang merupakan bagian dari populasi disebut sampel.


(60)

Sehubungan dengan hal ini, yang perlu mendapat perhatian adalah bahwa sampel harus mencerminkan keadaan populasinya, agar sampel dapat digeneralisasikan terhadap populasinya. Populasi dalam penelitian ini adalah remaja laki-laki. Adapun karakteristik populasi dalam penelitian ini adalah:

a. Remaja laki-laki tengah berusia 15-18 tahun

Alasan diambilnya sampel remaja adalah pada tahap ini, menurut Goleman (2000) kecerdasan emosi paling besar terbentuk pada masa remaja pertengahan yaitu usia 15-18 tahun. Hal ini dikarenakan pada masa remaja tengah hubungan tersebut telah menjadi hubungan yang menyenangkan dan penuh kasih sayang. Pada masa ini, remaja mulai mengevaluasi apa yang baik dan buruk bagi dirinya.

b. Tinggal bersama orangtua

Alasan diambilnya sampel yang tinggal bersama orangtua adalah untuk melihat hubungan attachment terhadap ayah dalam perkembangan kecerdasan emosi remaja laki-laki.

c. Masih memiliki orangtua lengkap

Alasan diambilnya sampel yang memiliki orangtua lengkap adalah agar remaja dapat mengemukakan pandanganmya mengenai attachment ayah dalam kehidupan sehari-hari.

2. Metode Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel adalah memilih sebagian individu dari populasi sebagai wakil yang representatif dari populasi tersebut. Suatu sampel dikatakan


(61)

representatif bila subyek yang terpilih memiliki karakter yang mencerminkan karakter yang dimiliki oleh populasi (Arikunto dalam Hadjar, 1996).

Metode pengambilan sampel adalah cara yang digunakan untuk mengambil sampel dari populasi dengan menggunakan prosedur tertentu agar diperoleh sampel yang dapat mewakili populasi. Dalam penelitian ini, metode yang digunakan untuk memperoleh sampel adalah melalui Multi stage sampling dimana membagi daerah-daerah populasi kedalam sub-sub daerah, dan sub-sub daerah ini dibagi dalam daerah kecil dan seterusnya sehingga dilaksanakan dalam dua tahap atau lebih sesuai dengan kebutuhan dan pada saat pengambilan sampel bertahap ini anggota kelompok tidak harus seluruhnya dijadikan sampel. Pada kota Medan terdapat 22 kecamatan, yang kemudian dirandom 2 kecamatan (Medan Petisah, Medan Helvetia). Pengambilan sekolah dari kecamatan ini dilakukan secara random dan terpilih 2 sekolah (SMK TI (STM) Ar-Rahman, SMK TI Immanuel)

3. Jumlah Sampel Penelitian

Tidak ada batasan mengenai jumlah ideal yang digunakan sebagai sampel penelitian. Secara tradisional statistika menganggap bahwa jumlah sampel yang lebih dari 60 subjek sudah cukup banyak (Azwar, 2000). Hadi (2000) menyatakan bahwa menetapkan jumlah sampel yang banyak lebih baik daripada menetapkan jumlah sampel yang sedikit. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 200 orang sedangkan uji coba (try out) dilakukan pada 120 orang responden untuk skala attachment terhadap ayah dan kecerdasan emosi. Sedangkan sampel untuk


(1)

LAMPIRAN D

Hasil Tambahan


(2)

Hasil tambahan

a.

Deskripsi variabel kecerdasan emosi berdasarkan usia

Descriptives

ke

N Mean Std. Deviation Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound

15thn 21 130.10 13.092 2.857 124.14 136.05 94 152 16thn 15 134.33 16.680 4.307 125.10 143.57 107 160 17thn 22 136.00 11.460 2.443 130.92 141.08 112 160 18thn 22 137.91 11.271 2.403 132.91 142.91 115 158 Total 80 134.66 13.053 1.459 131.76 137.57 94 160

ANOVA

ke

Sum of Squares df Mean Square F Sig. Between Groups 710.926 3 236.975 1.413 .246 Within Groups 12748.961 76 167.749

Total 13459.888 79

b.

Deskripsi variabel attachment terhadap ayah berdasarkan usia

Descriptives

attachment

N Mean Std. Deviation Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound

15thn 21 97.57 11.898 2.596 92.16 102.99 77 121 16thn 15 94.60 13.468 3.478 87.14 102.06 75 121 17thn 22 92.91 11.608 2.475 87.76 98.06 74 123 18thn 22 94.82 12.923 2.755 89.09 100.55 66 120 Total 80 94.98 12.297 1.375 92.24 97.71 66 123


(3)

ANOVA

attachment

Sum of Squares df Mean Square F Sig. Between Groups 238.116 3 79.372 .515 .673 Within Groups 11707.834 76 154.050

Total 11945.950 79

c.

Deskripsi variabel secure attachment terhadap ayah berdasarkan usia

Descriptives

Secure

N Mean Std. Deviation Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Minimum Max Lower Bound Upper Bound

15thn 21 27.10 3.129 .683 25.67 28.52 21

16thn 15 30.33 3.086 .797 28.62 32.04 26

17thn 22 28.86 3.399 .725 27.36 30.37 23

18thn 22 28.32 3.213 .685 26.89 29.74 23

Total 80 28.53 3.345 .374 27.78 29.27 21

ANOVA

Secure

Sum of Squares df Mean Square F Sig. Between Groups 95.444 3 31.815 3.066 .033 Within Groups 788.506 76 10.375


(4)

d.

Deskripsi variabel anxious attachment terhadap ayah berdasarkan usia

Descriptives

Anxious

N Mean Std. Deviation Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound

15thn 21 22.38 4.031 .880 20.55 24.22 15 29 16thn 15 20.53 4.121 1.064 18.25 22.82 15 29 17thn 22 20.36 4.238 .903 18.48 22.24 14 32 18thn 22 21.14 4.824 1.028 19.00 23.27 12 30 Total 80 21.14 4.328 .484 20.17 22.10 12 32

ANOVA

anxious

Sum of Squares df Mean Square F Sig. Between Groups 51.120 3 17.040 .907 .442 Within Groups 1428.368 76 18.794

Total 1479.488 79

e.

Deskripsi variabel avoidant attachment terhadap ayah berdasarkan usia

Avoidant

Descriptives

Avoidant

N Mean Std. Deviation Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound

15thn 21 48.10 10.416 2.273 43.35 52.84 32 71 16thn 15 43.73 11.603 2.996 37.31 50.16 25 65 17thn 22 43.68 9.549 2.036 39.45 47.92 27 68 18th 22 45.36 10.657 2.272 40.64 50.09 28 67


(5)

Descriptives

Avoidant

N Mean Std. Deviation Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound

15thn 21 48.10 10.416 2.273 43.35 52.84 32 71 16thn 15 43.73 11.603 2.996 37.31 50.16 25 65 17thn 22 43.68 9.549 2.036 39.45 47.92 27 68 18th 22 45.36 10.657 2.272 40.64 50.09 28 67 Total 80 45.31 10.442 1.167 42.99 47.64 25 71

ANOVA

avoidant

Sum of Squares df Mean Square F Sig. Between Groups 258.581 3 86.194 .784 .506 Within Groups 8354.606 76 109.929


(6)

LAMPIRAN E