merupakan pendahuluan yang meliputi : latar belakang masalah, bab ini mengemukakan tentang pengertian kewarisan baik secara bahasa menjelasakan tentang letak geogarafis Kab.Tegal yang menjadi tempat pada bab empat ini penulis mengemukakan tentang tradisi

Metode ini digunakan untuk memperoleh informasi tentang tradisi dari waris, yakni wawancara dengan keluarga para ahli waris, Tokoh masyarakat

c. Metode dokumenter

Dalam penelitian ini, metode dokumenter digunakan untuk mencari dan mengungkapkan data-data yang belum diperoleh dari observasi dan interview.

4. Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini, teknik analisis data yang digunakan adalah deskriftif kualitatif. Teknik analisis deskriptif diguanakan untuk menuturkan, menafsirkan, serta menguraikan data yang bersifat kuantitatif yang diperoleh dari hasil wawancarainterview, observasi, dan dokumenter.

F. Sistematika Penulisan

Adapun tehnik penulisan skripsi ini, penulis merujuk buku pedoman penulisan karya ilmiah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta .Secara general penulis memetakan topik penulisan untuk mempermudah pembahasanya, adapun sistematikanya adalah sebagai berikut:

BAB I: merupakan pendahuluan yang meliputi : latar belakang masalah,

pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tehnik dan metode penelitian dan sistematika penulisan

BAB II : bab ini mengemukakan tentang pengertian kewarisan baik secara bahasa

maupun istilah, dasar hukum kewarisan baik yang bersumber dari Al-Qur’an maupun Al-hadits, menerangkan bagaimana seorang bisa saling mewarisi baik yang berkenaan dengan syarat serta rukun dan hal-hal yang menjadikan terhalang menerima warisan. Seputar tentang pembagian waris dalam adat.

BAB III: menjelasakan tentang letak geogarafis Kab.Tegal yang menjadi tempat

penelitian serta struktur masyarakat dan budaya yang ada di Kab. tersebut.

BAB IV pada bab empat ini penulis mengemukakan tentang tradisi waris dan

bagaimanan pula prosedurnya dalam pembagian harta warisan pada masyarakat kampung Arab. Dan juga berisi tentang analisis penulis dari hasil penelitian yang ada.

BAB V : merupakan penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARIS

A. Pengertian Waris Hukum waris merupakan bagian darai hukum perdata. Dimana , dari dahulu sampai sekarang ini, hukum waris Indonesia sangat beraneka ragam sekali. Adapun garis besarnya terbagi menjdai tiga bagian: 1. Hukum waris yang terdapat dalam Undang-Undang Perdata HUKPerBW. 2. Hukum waris yang terdapat dalam hukum adat. 3. Hukum waris yang terdapar dalam hukum Islam, yang tersusun dalam Figh mawarisfaraid. Adapun pengertian hukum waris dalam KUH Perdata, menurut Hartono Suryopratiknyo hukum waris adalah keselurihan peraturan dengan nama Undang- Undang mengatur akibat hukum dari meninggalnya seseorang terhadap harta kekayaan, perpindahan kepada ahli waris dan hubungannya dengan pihak ketiga. 13 Sedang pengertian Hukum waris adat menurut Hilman Hadikusuma adalah aturan -aturan hukum yang mengenai cara bagimana dari abad ke abad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud dan yang tak berwujud dari generasi pada generasi. 14 Sedang pengertian Hukum kewarisan dalam KHI adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan tirkah pewaris, 13 Suparman Usman, Ikhtisar Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum PerdataBw, Serang: Darul ulum Press, 1993, Cet. 2 hal. 50 14 Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat Bandung: PT. Citra Adiyta Bakti, 1990 cet. 4 hal. 7 menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masingps.171 huruf a KHI . 15 Dalam terminologi figh biasanya dikemukakan pengertian kebahasaan. Hal ini karena kata-kata warasa- asal kata kewarisan digunakan dalam Al-Qur’an. Karena Al-Qur’anlah dan dirinci oleh Sunnah Rasulullah, hukum kewarisan dibangun. Secara bahasa kata warasa memiliki beberapa arti; pertama mengganti QS. Al-Naml, 27:16, artinya Sulaiman menggantikan kenabian dan kerajaan Daud, serta mewarisi ilmu pengetahuannya. Kedua, memberi QS. Al-Zumar, 39:74, dan ketiga mewarisi QS. Maryam, 19:6. Sedangkan menurut pengertian terminologi, Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur pembagian warisan, mengetahui bagian-bagian yang diterima dari harta peninggalan itu untuk setiap yang berhak 16 . Dalam redaksi yang lain, Hasby Ash-Siddieqy mengemukakan, hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang siapa-siapa orang yang mewarisi dan tidak mewarisi, bagian penerimaan setiap ahli waris dan cara-cara pembagiannya 17 . Berbeda dengan dua definisi diatas, Wirjono Prodjodikoro menjelaskan, warisan adalah soal apa dan bagaimana pelbagai hak-hak dan kewajiban- kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal akan beralih pada orang lain yang masih hidup. 18 Hukum kewarisan sering dikenal dengan istilah faraid, bentuk jamak dari kata tunggal faridah, artinya ketentuan. Hal ini karena dalam Islam, bagian-bagian 15 Departeman Agama RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Dirjen Binbaga, 19911992, hal 35 16 Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003 hal. 356 17 Ibid. 18 Ibid. hal.356 waris yang menjadi hak ahli waris telah dibakukan dalam Al-Qur’an. Meskipun dalam realisasinya, sering tidak tepat persis nominalnya, seperti masalah radd atau aul. Hukum kewarisan dalam Islam mendapat perhatian besar. Karena pembagian warisan sering menimbulkan akibat-akibat yang tidak menguntungkan bagi keluarga yang ditinggal mati pewarisnya. Naluri manusia menyukai harta benda QS.Ali Imran, 3:14 tidak jarang memotivasi seseorang untuk menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkan harta benda tersebut, termasuk didalamnya terhadap harta peninggalan pewarisnya sendiri. Terjadi kasus gugat waris di pengadilan, baik di pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri, menunjukan fenomena ini. 19 B. Dasar Hukum Kewarisan Islam Bangunan hukum kewarisan Islam memiliki dasar yang sangat kuat, yaitu ayat-ayat Al-Qur’an yang selain kedudukannya qath’i al-wurud, juga qath’i al- dalalah meskipun pada dataran tanfidaplikasi, sering ketentuan baku Al-Qur’an tentang bagian-bagian warisan, mengalami perubahan pada hitungan nominalnya, misalnya pada kasus raad dan aul dan sebagainya. Menurut al-Syabiti, terhadap ketentuan Al-Qur’an yang kandungannya ibadah atau bukan ibadah mahdah yang telah dirinci didalam Al-Qur’an, seperti hukum kewarisan, perlu diterima secara ta’abudy atau diterima secara take for granted. Karena itu relisasinya apa yang ditegaskan didalam Al-Qur’an diterima dengan senang hati, sebagai bukti kepatuhan pada ketentuan-ketentuan Allah. 19 Ibid. Selain Al-Qur’an, hukum kewarisan juga disandarkan pada sunnah Rasulullah SAW, pendapat sahabat, baik yang disepakati maupun yang mukhtalaf fih. 20 Ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah cukup banyak yang menunjuk tentang hukum kewarisan. 1. Al-Qur’an QS. Al-Nissa,4:11-12 ⌧ ☯ ⌧ ⌧ ☺ ☺ ⌧ ⌧ ⌧ ⌧ ☺ ☺ Allah mensyariatkan bagimu tentang pembagian warisan untukmu anak- anakmu, yaitu bagian seorang anak laki sama dengan bagian dua anak perempuan; dan jika anak itu semuanya lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika anak perempuan itu seorang saja, maka memperoleh separuh harta. Dan untuk dua orang ibu bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai seorang anak. Jika orang yang meninggal tidak 20 Ibid, hal 374 mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaksaja maka ibunya mendapat sepertiga. Jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.pembagian tersebut diatas sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat dan sesudah dibayar hutangnya. tentang orang tua dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekatbanyak manfaat bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha BijaksanaQ.S. al-Nissa; 4:11 2. Al-sunnah Imam Bukhari menghimpun hadits tentang hukum tentang kewarisan tidak kurang dari 46 hadis. Imam Muslim menyebut hadis tentang kewarisan kurang dari 20 hadis. Berikut dikutip beberapa hadist yang dianggap pokok a. Hadis riwayat Mutafaq alai atau yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim Nadi SAW bersabda:” Berikanlah bagian-bagian tertentu kepada orang- orang yang berhak. Dan sisanya untuk orang laki yang lebih utamadekat kekerabatanya Muttafaq alai 21 b. Hadis lain yang isinya menegaskan kembali tentang bagian-bagian warisan yang telah ditegaskan didalam Al-Qur’an. Misalnya riwayat dari Huzail ibnu Syurabil mengatakan: Nabi SAW memutuskan bagian anak perempuan separuh cucu perempuan garis laki-laki seperenam sebagai penyempurna dua pertiga, dan sisanya untuk saudara perempuanRiwayat Al-Bukhari 22 21 Imam Abi Abdillah, Shahih Bukhari, Semarang: PT. Toha Putra, 1997 Juz 8 22 Ibid, hal. 11 3. Hukum Islam yang sudah di Undangkan Dalam UU No.7 tahun 1989 tentang peradilan Agama pasal 49 didalamnya ditegaskan bahwa kewarisan bagi umat Islam di seluruh Indonesia, penyelesaiannya menjadi wewenang peradilan Agama. Tentang hukum yang digunakan dalam penyelesaian warisan itu adalah hukum Islam tentang kewarisan atau yang disebut Hukum Kewarisan Islam atau faraid. Dengan demikian hukum kewarisan Islam merupakan hukum positif di Indonesia, khususnya di Indonesia. Pengertian hukum positif disini adalah hukum yang berlaku dan dilaksanakan oleh negara melalui peradilan yang dibentuk oleh negara. Hukum kewarisan Islam bukan hukum Nasional di Indonesia dalam arti “ hukum tertulis yang ditetapkan oleh badan negara yang berlaku dan mengikat untuk seluruh warga negara.” 23 4. Yurisprudensi Dalam kamus Fockema sebagaimana yang dikutip oleh Lilik Mulyadi dikemukan yang dimaksu dengan yurisprudensi adalah pengumpulan yang sistematis dari Keputusan Mahkamah Agung dan Keputusan Pengadilan Tinggi yang diikuti oleh hakim laindalam memeberikan keputusan permasalahan yang sama. Hakim tidak boleh terikat pada putusan yurisprudensi tersebut, sebab negara Indonesia tidak menganut “ the binding force of precedent”, jadi bebas memilih antara meninggalkan yurisprudensi dengan memakai dalam perkara yang sejenis dan telah mendpat putusan sebelumnya. Hakim harus berani meninggalkan yurisprudensi kalau kiranya yurisprudensi itu telah usang dan tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman dan keadaan masyarakat, tetapi tidak salahnya untuk tetap 23 Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, hal. 326 dipakai kalau yurisprudensi masih sesuai dengan keadaan zaman dan sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. 24 C. Rukun, Syarat dan Sebab saling Mewaris 1. Rukun Waris Menurut istilah rukun adalah keberadaan sesuatu yang menjadi bagian atas keberadaan sesuatu yang lain. Contohnya adalah sujud dalam salat, sujud dianggap sebagai rukun, karena sujud merupakan bagian dari salat. Karena itu tidak dikatakan salat jika tidak tidak ada sujud. Dengan kata lain rukun adalah sesuatu yang keberadaanya mampu menggambarkan sesuatu yang lain, baik sesuatu hanya bagian dari sesuatu yang lain maupun mengkhususkan sesuatu yang lain. 25 Dengan demikian rukun waris adalah sesuatu yang harus ada untuk mewujudkan bagian harta waris dimana harta waris tidak akan ditemukan bila tidak ada rukun-rukunnya. Rukun-rukun waris ada tiga: 26 1 Al-Muwarriss yaitu orang yang meninggal dunia atau mati, baik mati hakiki maupun hukmy yaitu suatu kematian yang dinyatakan oleh keputusan hakim atas dasar beberapa sebab, kendati sebenarnya ia belum mati yang meninggalkan harta atau hak. 2 Al-Warits, yaitu orang yang hidup atau anak dalam kandungan yang mempunyai hak mewarisi, meskipun dalam kasus tertentu akan terhalang. 24 Ibid. 25 Komite Fakultas Syariah Universitas Al Azhar Mesir, Hukum Waris Islam. Penerjemah H. Addys Al dizar dan H. Fakhturahman Jakarta: Senayan Abadi Publising, 2004, hal. 41 26 Ibid. hal.28 3 Al-maurust, yaitu harta benda yang menjadi warisan. Sebagian ulama faraid menyebutnya dengan mirats atau irts. Termasuk dalam kategori warisan adalah harta-harta atau hak-hak yang mungkin dapat diwariskan, seperti hak qishasperdata hak menahan barang yang belum dilunasi pembayarannya, dan hak menahan barang gadaian. Itulah tiga rukun waris, jika salah satu dari rukun tersebut tidak ada, waris mewarispun tidak bisa dilakukan. Barang siapa yang meninggal dunia dan tidak mempunyai ahli waris atau mempunyai ahli waris tetapi tidak mempunyai harta waris maka waris mewarispun tidak bisa dilakukan karena tidak terpenuhinya rukun-rukun waris. 27 2. Syarat Waris Lafal syuruthsyarat-syarat adalah bentuk jamak dari syarth. Menurut bahasa syarat adalah tanda seperti syarth as-saahtanda-tanda kiamat.Allah SWT berfirman”Tidaklah yang mereka tunggu-tunggu, melainkan hari kiamat yaitu kedatangannya kepada mereka dengan tiba-tiba, karena sesungguhnya telah datang tanda-tandanya. Apakah faedahnya bagi mereka kesadaran mereka itu apabila kiamat sudah datang? Muhammad 47:18. 28 Sedangkan menurut istilah adalah sesuatu yang ada atau tidak adanya hukum tergantung pada ada atau tidak adanya sesuatu itu. Yang dimaksud dengan adanya sesuatu yang menurut syara’ dapat menimbulkan pengaruh ada dan tidak adanya hukum. Jadi syarat adalah sesuatu yang keluar dari hakikat yang disyaratimasyruth yang mengakibatkan adanya masyrut karena tidak adanya 27 Ibid. 28 Ibid. syarat, Namun adanya masyrut tidak mewajibkan adanya syarat.Misalnya hubungan suami isteri menjadi syarat menjatuhkan talak sehingga jika tidak adanya hubungan tersebut tidak dapat dilakukan talak. Dan hal ini tidak berarti adanya hubungan suami isteri menetapkan adanya talak. Thaharahbersuci adalah syarat sah shalat. Jika tidak bersuci sebelum melakukan shalat niscaya shalatnya tidak sah, akan tetapi melakukan thaharah bukan berarti ketika hendak melakukan shalat saja. 29 Dengan demikian, apabila tidak ada syarat-syarat waris, berarti tidak ada pembagian harta waris. Meskipun syarat-syarat waris terpenuhi, tidak serta merta harta waris dapat langsung dibagikan. Contoh kasus ini adalah keberadaan ahli waris yang masih hidup merupakan syarat untuk mewarisi harta si mayit. Jika syarat hidupnya ahli waris tidak terpenuhi, tentunya pembagian harta waris juga tidak bisa dilakukan. Meskipun syarat-syarat itu telah terpenuhi, tidak serta merta ahli waris mendapatkan ahli waris, kepada ahli waris dapat terhalang oleh ahli waris yang lain untuk mendapatkan bagian dari harta waris kendati syarat mendapatkan harta warisan telah terpenuhi. Oleh karena itu persoalan warisan memerlukan syarat-syarat sebagai berikut: 30 Pertama, matinya orang yang mewariskan. Kematian orang yang mewariskan menurut ulama dibedakan menjadi tiga: 1 mati hakikisejati 2 mati hukmy menurut putusan hakim dan 3 mati taqdirymenurut perkiraan. Mati hakiki adalah hilangnya nyawa seseorang yang semula nyawa itu berwujud padanya baik kematian itu disaksikan dengan pengujian, seperti tatkala seseorang 29 Abdul Wahab Khalaf, Imu Ushulul Fiqih. Penerjemah Masdar Helmy Bandung: Gema Rislah Press, 1997, hal. 200 30 Komite Fakultas Syariah Universitas Al Azhar Mesir, Hukum Waris Islam hal. 29 disaksikan meninggal atau dengan pendeteksian dan pembuktian, yakni kesaksian dua orang yang adil atas kematian seseorang. Mati hukmy adalah suatu kematian yang yang disebabkan karena putusan hakim, seperti seorang hakim memvonis kematian si Mafqudorang yang tidak diketahui kabar beritanya, tidak dikenal domisilinya dan tidak pula diketahui hidup dan matinya. Status orang ini, jika melewati batas waktu yang ditentukan untuk pencariannya, si mafqud karena didasarkan atas sangkaan yang kuat bisa dikategorikan sebagai seorang yang telah mati. Mati taqdiry adalah suatu kematian yang semata-mata berdasarkan dugaan yang sangat kuat. Contohnya, seorang bayi yang dilahirkan dalam keadaan mati, sedang ibunya masih hidup atau bayi itu meninggal setelah kematian ibunya yang melahirkan akibat pendarahan, yang mewajibkan pembayaran sanksi dengan al- ghurah hamba sahaya atau budak perempuan yang disamakan dengan lima tahun unta yang diberikan kepada ahli waris si bayi. Dengan demikian, si bayi meninggal akibat kejahatan tersebut, dimana ibunya mewarisi budak dari si bayi. 31 Kedua, ahli waris yang hidup, baik hidup baik secara hakiki maupun hukmy setelah kematian si mayit sekalipun hanya sebentar, memiliki hak atas harta waris. Sebab Allah swt didalam ayat kewarisan hak mendapatkan harta waris enggan huruf lam menunjukan kepemilikan dimana tidak berwujud, kecuali hanya bagi orang yang hidup. 32 Ketiga, mengetahui sebab-sebab yang mengikat ahli waris dengan si mayit, seperti garis kekerabatan, perkawinan dan perwalian. Maksudnya ahli waris harus mengetahui dirinya adalah termasuk dari ahli waris dari garis kerabat 31 Ibid. hal. 30 32 Ibid nasabkerabat yang tidak memperoleh bagian tertentu tetapi mendapatkan sisa dari ash-habul furudh atau mendapatkan seluruh harta peninggalan bila tidak ada seorang as-habul furudh seorangpun atau garis perkawinan atau garis wala. Hal seperti diberlakukan karena setiap garis keturunan memiliki hukum yang berbeda- beda. 33 2. Sebab-Sebab Mewariskan Sebab adalah sesuatu yang oleh syari’pembuat hukum dijadikan indikasi adanya sesuatu yang lain yang menjadi akibatnya, sekaligus menghubungkan adanya akibat karena adanya sebab, dan ketiadaanya karena ketiadaan sebab. Contoh api merupakan sebab terjadinya kebakaran, artinya kebakaran merupakan sebab terjadinya kebakaran. 34 Definisi ulama yang mengatakan keberadaan sesuatu mengharuskan adanya sesuatu yang lain, dengan sendirinya mengecualikan makna syarat, karena syarat tidak mengharuskan adanya sesuatu. Sedangkan ucapan mereka yang lain, bahwa tidak adanya sesuatu akan mengakibatkan sesuatu yang lain, juga menjadi tidak ada dan mengecualikan makna ”mani”penghalang, karena mani mengecualikan adanya sesuatu yang tidak mengharuskan adanya sesuatu yang lain. 35 Dengan demikian sebab-sebab pewarisan adalah sesuatu yang mewajibkan adanya hak mewarisi, jika sebab-sebabnya terpenuhi. Demikian juga hak mewarisi menjadi tidak ada jika sebab-sebabnya tidak terpenuhi. Sebab-sebab mewarisi terbagi 33 Ibid. 34 Ibid. 35 Ibid. hal32 menjadi dua:pertama, yang disepakati dan kedua, yang tidak sepakati oleh para ulama faraid. 1. Sebab-sebab Mewaris yang di Sepakati a. KekerabatanAl-Qarabah Kekerabatan adalah hubungan nasab antara orang yang mewariskan dengan orang yang mewarisi, yang disebabkan oleh kelahiran, baik dekat maupun jauh. Dalil-dalil kewarisan karena sebab kekerabatan, antara lain terdapat dalam firman Allah surat An-Nissa ayat 11. Siapa sajakah ahli waris yang dapat mewarisi dari garis kekerabatan? Mereka adalah ushulleluhur si mayit, furu’ keturunan si mayit, dan hawasyi si mayitkeluarga si mayit dari jalur horizontal. Golongan ushul adalah 1ayah, kakek, dan jalur keatasnya 2 ibu, nenekibunya suami dan ibunya istri dan jalur keatasnya. Golongan furu’ adalah 1 anak laki-laki, cucu, cicit dan jalur kebawahnya. Sedangkan golongan hawasyi adalah 1 saudara laki- laki dan perempuan secara mutlak, baik saudara sekandung maupun seayah atau seibu, 2 anak-anak saudara sekandung seayah dan seibu, 3 paman sekandung seayah dan anak laki-laki paman sekandung. 36 b. Pernikahan Disamping hak kewarisan berlaku atas hubungan atas hubungan kekerabatan, hak waris juga berlaku atas dasar perkawinan; dengan arti bahwa suami ahli waris bagi istrinya yang meninggal dan istri ahli waris bagi suaminya yang meninggal. Bagian pertama dari ayat 12 surah al-Nisa4 menyatakan hak kewarisan suami istri. Dalam ayat itu digunakan kata: azwaj. Penggunaan kata 36 Ibid. hal.33 azwaj yang secara leksikal berarti pasangan suami istri menunjukan dengan gamblang hubungan kewarisan suami dan istri. Bila hubungan kewarisan berlaku antara yang mempunyai hubungan kekerabatan karena hubungannya alamiah diantara keduanya, maka hubungan kewarisan antara suami istri disebabkan adanya hubungan hukum antara suami istri. 37 Berlakunya hubungan kewarisan antara suami dengan istri didasarkan pada dua ketentuan: Pertama: antara keduanya telah berlangsung akad nikah yang sah. Tentang akad nikah yangh sah ditetapkan dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 2 ayat 1: perkawinan sah bila dilakukan menurut ketentuan hukum masing-masing agamanya. Ketentuan diatas berarti bahwa perkawinan orang-orang yang beragama Islam adalah sah apabila menurut hukum Islam itu perkawinan tersebut adalah sah. Pengertian sah menurut hukum Islam ialah sesuatu yang dilakukan sesuai dengan rukun dan syarat dan telah terhindar dari dari segala penghalangnya. Dengan demikian nikah yang sah adalah nikah yang telah dilaksanakan dan telah memenuhi rukun syarat pernikahan dan telah terlepas dari segala halangan pernikahan. Ketentuan yang kedua,berkenaan dengan hubungan kewarisan yang disebabkan oleh hubungan perkawinan ialah bahwa suami istri masih terikat dalam tali perkawinan saat salah satu pihak meninggal. Termasuk dalam ketentuan ini adalah bila salah satu pihak meninggal dunia sedangkan ikatan perkawinan telah putus dalam bentuk talak raj’I dan perempuan masih dalam keadaan masa iddah. Seorang perempuan yang sedang menjalani masa 37 Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, hal 188 iddah talak raj’i berstatus sebagai istri dengan segala akibat hukumnya, kecuali hubungan kelaminmenurut jumhur ulama karena halanya hubungan kelamin telah berakhir dengan adanya perceraian. 38 c. Wala Wala berarti tetapnya hukum syara’ karena membebaskan budak. Dalam konteks ini yang dimaksud dengan wala al-ataqah yakni disebabkan adanya pembebasan budak dan bukan dimaksudkan dengan wala al-maulah dan mukhalafah membebaskan budak dengan karena kepemimpinan dan karena ikatan sumpah, karena keduanya mempunyai muatan yang berbeda-beda dalam sebab- sebab pewarisan. 39 Adapun yang dimaksud dengan wala al-ataqah adalah ushubah. Penyebabnya adalah kenikmatan pemilik budak yang dihadiahkan kepada budaknya dengan membebaskan budak melalui pencabutan hak mewalikan dan mengurusi harta bendanya baik secara sempurna maupun tidak. Tujuannya adalah tathawwu yakni melaksanakan perintah Syari’at atau kewajiban, sekalipun dengan imbalan. Dalam hal ini bentuk pembebasan mengkibatkan pada penetapan wala. Adapun yang dimaksud dengan kalimat penyebabnya adalah kenikmatan pemilik budak yang dihadiahkan kepada dengan membebaskan budak adalah masa sebelum budak itu dibebaskan. Namun setelah seorang tuan membebaskan budakya, budak itu telah berubah status dari orang yang tidak cakap menjadi orang yang cakap dalam bertindak secara sempurna. Dalil orang yang mempunyai hak wala memili hak waris atas harta peninggalan si budak dalah sabda Rasulullah saw dalam perkara Barirah r.a. “ Hak wala itu 38 Amir Syarifudin, op. cit. hal. 192 39 Komite Fakultas Syariah Universitas Al Azhar Mesir, Hukum Waris Islam, hal. 40 hanya bagi orang yang telah membebaskan budaknya”HR Mutafaq alaih. 40 Pertanyaan adalah siapa saja yang dapat mewaris sebab wala? Adapun yang dapat mewarisi sebab wala adalah pemilik budak laki-laki dan perempuan yang telah melangsungkan pembebasan budak. Lalu keduanya menjadi ashabah yaitu ashabah bi nafs. Sebab, wala dapat mewaris bukan diwaris. Tanpa budak yang dibebaskan niscaya wala tidak mewarisi dari pembebasan budak atau tuanya. Dengan demikian wala dapat mewarisi dari satu sisi saja yakni sisi dari orang yang membebaskan budak. 2. Sebab-sebab waris yang Diperselisihkan a. Baitul Mal Para ulama fiqh berselisih diantaranya Syafi’i, Maliki dan Hanafi tentang baitul mal yang menjadi salah satu sebab boleh tidak mewarisi. Dalam hal ini terdapat tiga pendapat: 41 Pertama, baitul mal sebagai penyebab mewarisi secara mutlak, baik baitul mal yang terorganisir maupun tidak. Jika seorang muslim meninggal dunia dan tidak mempunyai seorang pun ahli waris yang mewarisi harta peninggalannya, dengan salah satu sebab-sebab saling mewarisi yang telah disepakati, maka baitul mal berhak mewarisi harta peninggalan tersebut serta menggunakannya utuk kemaslahatan kaum muslimin. Sebab kaum musliminpun dibebani membayar diyahdenda untuk saudara sesama muslim yang tidak berkerabat. Dengan demikian kedudukan mereka bagaikan ashabahgolongan yang mewarisi dalam 40 Ibid. 41 Ibid. hal. 41 lingkungan kerabat. Pendapat ini dikemukakan oleh kalangan Malikiyyah dan Imam Syafi’i dalam qaul qodim pendapat lamannya ketika berada di Bagdad. 42 Kedua, baitul mal menjadi ahli waris ketika terorganisasi, dengan demikian andai seorang muslim meninggal dunia tidak memiliki ahli waris satu orang pun, maka harta peninggalannya diserahkan kepada Baitul mal bukan atas dasar kemaslatan atau kepentingan sosial, tetapi untuk diwarisi oleh kaum muslimin secara ushubah. Pendapat ini dikemukakan oleh As-Syafii dalam qul jadid. 43 Ketiga,Baitul mal bukan menjadi penyebab mewarisi secara mutlak, baik ia terorganisasi maupun tidak,Ini adalah pendapat kalangan Hanafiyyah dan Hanabilah. 44 b. Al-hilf wa al- Mu’aqadash atau janji setia Janji setia ditempuh dengan melakukan perjanjian antara dua orang atau lebih. Sesorang menyatakan dengan sungguh-sungguh kepada orang lain untuk saling mewarisi apabila salah pihak meninggal. Tujuannya adalah untuk kerjasama saling menasehati dan yang terpenting adalah memperoleh rasa aman. Rumusan kalimat perjanjiannya adalah sebagai berikut: Darahku darahmu, pertumpahan darahku pertumpahan darahmu, perjuanganmu perjuanganku, perangku adalah peraangmu, damaiku damaimu, kamu mewarisi hartaku aku mewarisi hartamu, kamu dituntut darahku karena aku dan aku dituntut darahku karena kamu, dan diwajibkan membayar denda sebagai pengganti nyawaku, akupun diwajibkan membayar denda sebagai pengganti nyawamu. 45 Apabila salah satu pihak yang melakukan janji setia itu meninggal dunia maka pihak lain mewarisi harta yang ditinggalkannya dengan ketentuan 16 42 Ibid. hal 42 43 Ibid. 44 Ibid. 45 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia . hal. Hal 364 bagian, itupun didahulukan penerimaannya baru setelah itu dibagikan kepada ahli waris lainya. 46 Perjanjian model ini tampaknya merupakan cara yang ditempuh dalam waktu yang lama, sampai-sampai Al-Qur’an merekamnya sebagai salah satu sebab mewaris yang dibenarkan. Firman Allah surah An-Nissa ayat 33: “ Bagi tiap-tiap peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak karib dan kerabat, kami jadikan pewaris-pewarisnya. Dan jika ada orang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berikanlah kepada mereka bagiannya. Sessunggunya Allah menyaksikan segala sesuatu Q.S. An-Nissa ayat 33 Terhadap ayat tersebut dalam penerapannya, mayoritas para ulama tidak melaksanakanya. Hanya sebagian ulama Hanafiyah saja yang tetap memberlakukan isi ayat tersebut. Mereka mengatakan bahwa tidak ada riwayat atau keterangan yang menasakh ketentuan itu. Apabila dikaitkan dengan kehidupan sekarang ini, terlebih didasari oleh nash-nash Al-Qur’an maupun hadist yang mengatur soal kewarisan, kelihatanya sistem perjanjian itu telah kehilangan atau setidaknya kurang relevansi. 47 D. Penghalang Menerima Warisan Kata al-mawani adalah bentuk jamak dari mani. Menurut bahasa mani berarti penghalang. Sedangkan menurut istilah adalah sesuatu yang timbul ketika sebab itu telah jelas dan syarat telah terpenuhi dan menghalangi timbulnya akibat 46 Ibid. 47 Ibid. atas sebab. Jadi ketiadaan syarat menurut mereka tidak disebut mani meskipun menghalangi timbulnya akibat atas sebab. Jadi yang dimaksud dengan beberapa penghalang mewarisi adalah keberadaan penghalang yang menggugurkan hak seseorang untuk mewarisi harta peninggalan. Namun, ketiadaan penghalang bukan berarti memberikan warisan kepada seseorang. Dengan kata lain, yang dimaksud dengan penghalang-penghalang mewarisi adalah tindakan atau hal-hal yang dapat menggugurkan hak seseorang untuk mewarisi harta peninggalan setelah adanya sebab-sebab mewarisi. 48 Jadi yang dilarang mendapatkan hak waris adalah seseorang ahli waris yang mempunyai sebab mewarisi tetapi ia melakukan tindakan yang dapat menggugurkan kelayakan mewarisi. Orang semacam ini yang diharamkan mendapatkan warisan, keberadaanya bagaikan tidak ada dan dia dapat menghalangi ahli warsi lainnya baik secara hirmantidak mendapat warisan maupun secara nuqshan pengurangan. 49 Dengan demikian definisi diatas berarti meniadakan hukum dan seseorang dapat terhalang karena keberadaan ahli warsi lainnya. Namun, ahli waris lainya menghalangi ahli waris yang terhalang dengan cara nuqshanapengurangan. Demikian halnya, definisi tersebut meniadakan hukum waris-mewarisi karena ketiadaan sebab-sebabnya seperti orang asingorang yang tidak mempunyai hubungan kerabat dari manapun. 50 1 Penghalang-Penghalang yang Disepakati a. Berlainan Agama 48 Komite Fakultas Syariah Universitas Al Azhar Mesir, Hukum Waris Islam hal.46 49 Ibid. 50 Ibid. Para ulama ahli fiqh diantaranya Maliki, Syafi’I, Hanafi dan Hambali sepakat bahwasanya, berlainan agama antara orang yang mewarisi dengan orang yang mewariskan merupakan salah satu penghalang mewaris. Berlainan agama terjadi antara Islam dengan agama lainnya terjadi antara satu agama dengan satu syariat yang berbeda 51 . Agama ahli waris yang berlainan merupakan penghalang untuk mewarisi dalam hukum waris. Dengan demikian orang kafir tidak bisa mewarisi harta orang Islam dan seorang muslim tidak bisa mewarisi harta orang kafir, sebagaimana sabda Rasulullah SAW berikut: Orang Islam ridak dapat mewarisi harta orang kafir dan orang kafir pun tidak dapat mewarisi harta orang Islam HR Muttafaq alaih Hukum ini merupakan ketetapan banyak ulama ahli fiqh sebagai pengalaman dari keumuman hadits diatas. Bila seorang mati meninggalkan anak- anak laki-laki yang kafir dan pamannya muslim, niscaya harta peninggalan si mayit diberikan semua kepada paman, sehingga anak laki-laki itu tidak mendapatkan harta warisan apa-apa dari ayahnya. Contoh lainya adalah bila seorang mati meninggalkan istri kitabiyyah ahli kitab dan seorang anak laki-laki semua harta yang ditinggalkan si mayit diberikan kepada anak laki-lakinya. 52 Namun sebagian ulama ahli fiqh berpendapat bahwa orang Islam dapat mewarisi harta peninggalan orang kafir dan tidak sebaliknya. Berdasarkan 51 Ibid. hal 47 52 Ibid. hal.48 pendapat tersebut jika seorang istri kitabiyyahahli kitab mati meninggalkan suami muslim maka sang suami dapat mewarisi dari harta sang istrinya tapi tidak sebaliknya. Beberapa alasan yang dijadikan argumen pada kasus diatas adalah 53 : a Berdasarkan hadits Nabi SAW,”Islam itu terus bertambah dan tidak berkurang” b Dalam melihat hadits ini mereka berpendapat hak mewarisi seorang muslim dari seorang kafir merupakan suatu tambahan, sedangkan tidak adanya hak mewarisi bagi muslim terhadap orang kafir adalah suatu kekurangan. Mereka juga berargumen dengan hadits “ Islam itu tinggi dan ketinggianya tidak dapat diungguli”. Dengan hadits ini mereka berpendapat makna ketinggian adalah seorang muslim bisa mewarisi harta peninggalan orang kafir sedangkan orang kafir tidak bisa mewarisi harta orang muslim. 54 c Mereka berdalih dengan menganalogikan nikah dan memperoleh harta rampasan perang yakni kita sebagai orang muslim dapat mewarisi harta orang kafir sebagaimana kita menikahi wanita-wanita mereka, namun mereka tidak bisa menikahi wanita-wanita muslimah. Kita bisa memperoleh harta rampasan perang yang dilakukan bersama mereka, namun tidak sebaliknya. 55 b. Pembunuhan Apabila seorang ahli waris membunuh ahli warisnya, maka ia tidak berhak mewarisi harta pewarisnya, karena pembunuhan menghalanginya menerima harta 53 Ibid. 54 Ibid. 55 Ibid. warisan atau harta peninggalan. Orang yang dibunuh bisa menerima warisan dari pembunuhnya, apabila si pembunuh lantaran suatu sebab meninggal sebelum korbannya meninggal. Apabila seseorang melukai saudaranya dengan luka sangat parah yang bisa menyebabkan kematian, kemudian dia lebih dahulu meninggal dengan suatu sebab niscaya si korban orang yang dilukai menerima pusaka dari orang yang melukainya apabila tidak ada ahli waris yang lebih kuat, asal saja orang yang dilukai atau korban ketika meninggalnya pelaku masih dalam keadaan hidup hayat mustaqirah 56 . Tegasnya si pembunuh tidak boleh menerima harta warisan dari orang yang dibunuh. Dalam hal ini Nabi saw bersabda: Tidak ada pusaka bagi si pembunuh 57 Kaidah fighiyah menetapkan: “orang yang menyegerakan sesuatu sebelum waktunya, niscaya disiksa dengan tidak diberikan kepadanya apa yang ia segera menerimanya 58 Apabila si pembunuh tidak dihalangi menerima warisan, tentunya banyak waris orang yang menerima warisan akan membunuh muwarisnyapewaris. Dan berkembanglah pembunuhan diantara kerabat-kerabat dekat dan kerabat yang 56 Ibid. hal 57 Muhammad bin Muhammad As-Syaukani, Nailul Al- Athar Syarah Muntaqal Akhbar, Kairo: Al-Akhirah juz 6 hal. 84 58 Muhammad Azaam Abdul aziz, Qawaaidul Al-Fighiyyah, Kairo: Darr Al- Hadits 2005 jauh. Selain daripada itu pembunuhan adalah suatu jarimahtindak pidana yang harus dijatuhi hukuman yang sangat berat dan suatu maksiat yang dibalas dengan azab yang paling berat. Maka tidak layak baik menurut akal maupun menurut syara’ mengerjakan jarimah dan maksiat menjadi jalan untuk mencapai kenikmatan dan memperoleh keuntungan. Setelah ulama fiqih sepakat antara lain Maliki, Sayafi’I dan Maliki tentang pembunuhan menjadi sebab penghalang menerima warisan kemudian mereka berselisih tentang hakikat pembunuhan yang benar-benar menjadikan seseorang menerima warisan apakah bentuk pembunuhan mutlak atau khusus. Dalam hal ini terdapat empat pendapat ulama adalah sebagai berikut 1. Mazhab syafi’iyah berpendapat bahwa seluruh bentuk pembunuhan dapat menghalangi seseorang mendapat harta warisan. Dengan demikian seorang pembunuh tidak bisa mewaris harta orang yang dibunuhnya, baik karena sengaja, mirip sengaja, khilaf baik dengan hak atau tidak atau dihukum telah membunuhnya atau tindakan yang menyebabkan pembunuhan disaksikan oleh orang lain atau tidak ada yang menyaksikan tindakan tersebut sekalipun pembunuhan itu tidak sengaja, seperti pelakunya orang yang sedang tidur, orang gila atau anak kecil atau tindakan tersebut demi kemaslahatan seperti pukulan ayah terhadap anaknya dalam rangka mendidik. 59 2. Mazhab Hanafiyah berpendapat bahwa pembunuhan yang menjadi penghalang mewarisi adalah pembunuhan yang hukumannya adalah 59 Komite Fakultas Syariah Universitas Al Azhar Mesir, Hukum Waris Islam hal.57 qishash atau kafarah yaitu pembunuhan dengan disengaja, mirip sengaja dan pembunuhan yang dianggap khilaf misalnya seorang yang sedang nyenyak tidur diatas tempat tinggi kemudian tempatnya runtuh dan menjatuhi orang yang dibawahnya, sehingga membawa kepada kematian kepada orang yang dijatuhinya. 60 Adapun pembunuhan yang dianggap tidak menghalangi untuk mendapatkan warisan menurut kalangan Hanafiyah ada tiga macam 1 pembunuhan tidak langsung seperti seseorang menggali lubang yang bukan miliknya dan belum mendapat izin dari pemiliknya dan kemudian salah satu anggota keluarganya terperosok hingga jatuh dan meninggal.2 pembunuhan karena hak 3 pembunuhan yang dilakukan oleh anak kecil atau orang yang belum cakap untuk bertindak hukum. 61 3. Mazhab Malikiyah berpendapat bahwa pembunuhan yang menjadi penghalang untuk menerima warisan adalah pembunuhan sengaja karena permusuhan, sedangkan yang lainya menurut mereka tidak menghalangi seseorang mendapat warisan. 62 4. Mazhab Hanabilah berpendapat pembunuhan yang menjadi penghalang menerima warisan adalah pembunuhan yang dilakukan tanpa alasan yang hak, yakni pembunuhan yang dibebani dengan sanksi qishas, kafarat, diyat dan ganti rugi. Pembunuhan tersebut seperti: 63 60 Ibid. hal. 57 61 Ibid. hal.58 62 Ibid. hal. 63 Ibid. hal 59 a. Pembunuhan dengan sengaja dan terencana adalah suatu cara pembunuhan yang dalam pelaksanaannya terdapat unsur kesengajaan unsur kesengajaan ini eksis dengan adanya tiga hal: pertama sengaja dalam berbuat, kedua sengaja arah dan sasarannya, ketiga sengaja dengan menggunakan alat yakni menggunakan alat yang lazimnya mematikan. b. Pembunuhan mirip dengan sengaja adalah pembunuhan dengan sesuatu dengan alat yang tidak lazimnya tidak mematikan. c. Pembunuhan karena khilaf atau tidak sengaja pembunuhan yang didalamnya tidak terdapat unsur kesengajaan, baik alat maupun arahnya seperti menembak burung tetapi mengenai orang dan mati. d. Pembunuhan yang dianggap khilaf yaitu pembunuhan yang tidak memiliki unsur kesengajaan berbuat tetapi membawa kematian terhadap seseorang. Adapun pembunuhan yang menurut mereka tidak menghalangi menerima warisan adalah pembunuhan yang tidak dibebani sanksi tersebut diatas seperti pembunuhan karena melakukan had, qishaspidana untuk membela diri, untuk melawan pemberontak atau untuk berbuat demi kemaslahatan. Dalam kompilasipun dirumuskan tentang pembunuhan dapat menghalangi dari mendapat warisan. Kompilasi merumuskannya dalam pasal 173 yang berbunyi 64 : 64 Departeman Agama RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, hal 3 Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena: a. Dipersalah telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganianya berat pada pewaris. b. Dipersalah secara memfitnah telah mengadukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 15 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat. Rumusan tersebut cukup lengkap dan dapat merangkum kategori atau klasifikasi pembunuhan dalam terminologi figh seperti pembunuhan dengan sengajaal-‘amd daan meyerupai sengaja syibh al-‘amd . Adapun poin b merupakan pembaharuan hukum, yang apabila dilacak dasar-dasarnya karena memfitnah dalah perbuatan yang resikonya lebih berat dari pembunuhanQS. Al- Baqarah 2: 191. 65 2 Penghalang-Penghalang Waris yang tidak disepakatidiperselisihkan a Riddah Adapun yang dimaksud dengan ridah adalah keluar dari agama Islam. Orangnya disebut murtad, baik dalam keadaan dapat membedakan secara sadar maupun dalam keadaan bercanda. Para ulama figh antara lain Maliki, Syafi’I dan Hambali sepakat bahwa riddah merupakan salah satu penghalang seseorang mendapat warisan. Seseorang yang murtad tidak dapat mewarisi harta peninggalan kerabatnya sesama murtad, orang kafir dan orang muslim. Dengan demikian tidak ada jalan untuk saling mewarisi dari kerabatnya yang sama-sama 65 Ibid. murtad karena harta peninggalannya merupakan Fai harta atau kekayaan negara yang diperoleh dari non muslim dengan jalan menarik pajak, bea dan mengurus harta orang murtad. 66 Setelah para ulama sepakat bahwa murtad merupakan penghalang menerima warisan, kemudian mereka berselisih pendapat tentang apakah kemurtadan menjadi penghalang untuk mewarisi atau diiringi dengan kekafiran yang sesungguhnya? Dalam hal ini ada dua macam pendapat: 1. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa kemurtadan menjadi penghalang untuk mewarisi bila diiringi dengan kekufuran. Dengan demikian tidak ada perbedaan antara kekafiran yang datang secara tiba-tiba dengan kekafiran yang dilakukan sejak awal. Keduanya tetap menjadi penghalang. Namun, satu hal yang terpenting makna kekufuran yang terpenting sebenarnya secara hukum sudah mencakup bentuk-bentuk kekufuran lainnya. 67 2. Kalangan Mazhab Syafiiyyah berpendapat bahwa kemurtadan merupakan penghalang mewarisi yang independen, tidak bisa digabungkan dengan persoalan berlainan agama. Sebab, antara dua orang kerabat yang sama- sama murtad keagama Nasrani tidak bisa saling mewarisi, karena mereka berdua tidak mengakui agama yang mereka tinggalkan. Dengan demikian, orang murtad dianggap tidak mempunyai agama dan tidak bisa dimasukan dalam kategori dalam penghalang menerima warisan. 68 66 Komite fakultas Syariah Universitas Al-azhar, Hukum Waris Islam, hal. 60 67 Ibid. hal. 61 68 Ibid. hal. 62 b Berlainan Tempat Negeri Yang dimaksud dengan berlainan tempatnegeri adalah berlainan pemerintahan yang diikuti oleh waris dan muwarisorang yang mewarisi. Umpamanya si pewaris menjadi suatu rakyat negara yang merdeka, sedangkan ahli waris menjadi rakyat merdeka lainnya. Semua ulama berpendapat menetapkan, bahwasanya berlainan tempat tidak menjadi penghalang bagi pusaka antar sesama Islam, karena negeri-negeri Islam, walaupun berbilang-bilang pemerintahannya dan letaknya jauh serta berbeda pula tata aturan pemerintahannya namun di pandang sebagai suatu negara dengan ijma segenap fuqaha Islam. Maka perbedaaan kebangsaan dan berlainan pemerintahan tidak menjadi penghalang bagi penerimaan pusaka. Karena itu seorang muslim Indonesia mewarisi harta peninggalan isterinya yang Islam yang berkebangsaaan Turki umpamanya, sebagaimana orang muslim Indonesia menerima pusaka dari kerabatnya yang berkebangsaan india. 69 Dalam pada itu ahli-ahli mazhab berbeda pendapat tentang perbedaan tempat antara orang-orang yang bukan Islam. Apakah perbedaaan tempat menjadi penghalang atau tidak? Menurut mazhab Hanafiyah dan mazhab Syafi’iyah bahwa berlainan tempat merupakan penghalang pusaka antara orang-orang bukan muslim dan berlainan negeri terhadap orang-orang yang bukan muslim adalah apabila tidak ada ishmah antara dua negeri dan masing-masing memandang halal memerangi yang lain, serta tidak ada pula hubungan persahabatan. Menurut mazhab Malik, Ahmad dan ahlul dhohir bahwasanya berlainan negeri tidak 69 T.M. Hasby Ash-Shiddieqy, Figh Al-Mawaris, hal.74 menjadi penghalang bagi penerimaan pusaka terhadap orang yang bukan muslim. Mereka berpegang pada nash-nash yang umum dan adapula yang mensyara’tkan bersatunya negeri antara negeri yang mslim dan yang bukan muslim. 70 E. Pembagian Waris Menurut Adat Sebelum kita membahas tentang pembagian waris dalam masyarakat penulis perlu mengemukakan tentang sistem pewarisan yang ada dalam adat : 1. Sistem pewarisan Individual Pewarisan degan sistem individual atau perseorangan adalah sistem pewarisan dimana setiap ahli waris mendapatkan pembagian untuk dapat menguasai dan memiliki harta warisan menurut bagian-bagian masing-masing . Setelah harta warisan diadakan pembagian maka masing-masing ahli waris dapat mengusai dan memiliki harta warisannya untuk diusahakan, dinikmati ataupun dialihkan kepada sesama waris, anggota kerabat, atupun orang lain. 71 Sistem pewarisan individual ini banyak berlaku dikalangan masyarakat yang sistem kekerabatanya parental sebagaimana dikalangan masyarakat adat jawa ataupun kalangan masyarakat adat lainnya seperti masyarakat batak dimana berlaku adat manjae jawa, mencar, mentas juga masyarakat yang kuat dipengaruhi hukum Islam seperti kalangan masyarakat adat Lampung beradat peminggir dipantai selatan Lampung. 72 2. Sietem pewarisan Kolektif 70 Ibid. 71 Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Bandung:PT. Citra Aditya Bakti, 1990 hal.25 72 Ibid. Pewarisan dengan sistem kolektif ialah dimana harta peninggalan diteruskan dan dialihkan pemiliknya dari pewaris kepada ahli waris sebagai kesatuan yang tidak dapat terbagi-bagi penguasaan dan pemilikannya, melainkan setiap ahli waris berhak untuk mengusahakan, menggunakan atau mendapat hasil dari harta peninggalan itu. Bagaimana cara pemakaian untuk kepentingan dan kebutuhan masing-masing ahli waris diatur bersama atas dasar musyawarah dan mufakat oleh semua anggota keluarga yang berhak atas harta peninggalan dibawah bimbingan kepala kerabat. Sistem kolektif ini terdapat misalnya didaerah Minagkabau. Kadang-kadang juga ditanah Batak atau Minahasa dalam sifatnya terbatas di Minangkabau sistem pewarisan kolektif barlaku atas tanah pusaka yang diurus bersama dibawah pimpinan atau pengurus mamak kepala waris dimana para anggota famili hanya mempunyai hak pakai minang = gengam bautuik. Serupa dengan tanah pusalea Minang ini ialah tanah dati di Ambon yang tidak dapat dibagi-bagi kepada ahli waris melainkan disediakan para ahli waris untuk dipergunakan terutama para anggota ahli waris yang telah wafat dibawah pimpinan atau pengurusan kepala dati. 73 3. Sistem Pewarisan Mayorat Sistem pewarisan mayorat adalah sesungguhnya sistem pewarisan kolektif hanya penerusan dan pengalihan hak atas harta yang tidak dapat terbagi-bagi itu dilimpahkan kepada anak tertua yang bertugas sebagai pemimpin rumah tangga atau kepala keluarga yang menggantikan kedudukan ayah atau ibu sebagai kepala 73 Ibid. hal. 26 keluarga. Anak tertua sebagai kedudukan sebagai penerus tanggung jawab orang tua yang wafat berkewajiban mengurus dan memelihara saudara-saudaranya yang lain terutama bertanggung jawab atas harta warisan dan kehidupan adik-adiknya yang masih kecil sampai mereka berumah tangga dan berdiri sendiri dalam suatu wadah kekerabatan mereka secara yang turun temurun. Seperti dalam sistem kolektif setiap anggota ahli waris dari harta bersama mempunyai hak memakai dan hak menikmati harta bersama itu tanpa hak mengusai dan memiliki secara perseorangan. 74 Sistem mayorat ini ada dua macam dikarenakan perbedaan sistem keturunan yang dianut yaitu mayorat laki-laki seperti berlaku dilingkungan masyarakat Lampung, terutama yang beradat pepadun atau juga berlaku sebagaimana di teluk Yos Soedarso Kabupaten Jayapura Irian Barat dan sistem mayorat perempuan seperti berlaku dilingkungan masyarakat adat Samendo Sumater Selatan. 75 Pembagian waris Adat Apabila seseorang wafat maka disebagian besar lingkungan masyarakat Indonesia yang menjadi masalah adalah bagaimana harta warisan akan dibagi kepada ahli waris. Jika harta warisan itu akan dibagikan kapankah harta waris itu akan dibagi dan bagimana pembagian itu akan dilaksanakan. a Waktu pembagian dan juru bagi Pada umumnya hukum adat tidak menentukan kapan waktu harta warisan itu akan dibagi atau kapan sebaiknya diadakan pembagian harta warisan, begitu pula siapa yang menjadi juru bagi tidak ada ketentuanya. Menurut adat kebiasaan 74 Ibid. hal.29 75 Ibid. waktu pembagian setelah wafat pewaris dapat dilaksanakan setelah upacara sedekah atau selamatan yang disebut waktu nujuh hari, empat puluh hari,atau nyeratus hari setelah pewaris wafat. Oleh karena pada waktu tersebut para anggota ahli waris berkumpul. Selama pembagian warisan itu berjalan dengan baik rukun dan damai diantara para ahli waris, maka tidak diperlukan adanya campur tangan dari orang luar atau juru bagi. Campur tangan dan kesaksian dan kesaksian tua-tua adat atau para pemuka masyarakat diperlukan apabila dalam jalannya musyawarah mufakat menjadi seret dan tidak lancar. b Cara Pembagian Hukum adat tidak mengenal cara pembagian dengan perhitungan metematika, tetapi selalu didasarkan pada pertimbangan mengingat wujud benda dan kebutuhan ahli waris yang bersangkutan. Jadi walaupun hukum adat mengenal asas kesamaan hak tidak berarti bahwa setiap ahli waris akan mendapat bagian yang sama 76 . Diberbagai daerah sebagaimana haknya dikalangan masyarakat adat jawa cara pembagian itu dengan dua kemungkinan 77 : 1. Dengan cara sepikul segendong yaitu bagian anak laki-laki dua kali lipat bagian anak perempuan. 2. Dengan cara dum-dum kupat yaitu bagian anak laki-laki dan perempuan berimbang sama. 76 Ibid.hal.105 77 Ibid. hal.106 Dilingkungan masyarakat Daya Kendayan dalam pembagian warisan pada dasarnya juga sama dengan antara anak kandung dan anak angkat. Tetapi ketika melakukan pembagian warisan dipersilahkan lebih dahulu kepada anak pangkalan untuk bagiannya dan setelah itu dipersilahkan kepada anak bungsu dan baru giliran anak-anak yang lain berdasarkan pertimbangan anak bungsu dan anak pangkalan. Dilingukngan masyarakat Minahasa dalam pembagian warisan juga berimbang sama antara ahli waris perempuan dan laki-laki termasuk yang didalam kandungan jika lahir hidup. Begitu pula perpindahan agama tidak berakibat hilang atau berkurangnya bagian seorang ahli waris. Tetapi hibah wasiat yang telah diberikan ketika pewaris masih hidup setelah pewaris wafat dapat ditinjau kembali atas dasar keadilan jika berlebih dikurangi dan jika berkurang dapat ditambah. 78 Dengan sifat hukum adat, pada umumnya berlandaskan pola berpikir yang konkrettidak abstrak, maka persoalaan pembagian harta warisan biasanya merupakan penyerahan barang warisan tertentu terhadap seorang ahli waris tertentu, umpamanya sebidang sawah tertentu diserahkan terhadap ahli waris A, sebidang pekarangan diberikan kepada ahli waris B. 79 Pengaruh Pertuanan Desa Dimana hak ikatan desa masih kuat masih berupa pertuanan dari desa atas tanahberchsikkngsrecht van de desa over gond hampir-hampir tidak dapat dikatakan ada hak waris dari para ahli waris terhadap tanah itu. Artinya tanah itu, bila yang menguasainya meninggal, maka pada hakikatnya terserah pada pemerintahan desa atau pada rapat desa untuk menetapkan siapa yang akan 78 Ibid. hal.108 79 Ibid. mengganti orang yang meninggal sebagai pengganti atau pengelola tanah tersebut. 80 Seperti halnya di Jawa biasanya, tanah itu diberikan kepada anak laki-laki yang sulung atau tertua dari orang yang meninggal bila anak itu dianggap cukup kuat menggarap tanah itu. Bila kekuatan atau tenaga itu tidak ada pada anak sulung maka anak laki-laki kedua mendapat giliran untuk menggarap dan mengusai tanah tersebut begitu seterusnya. Kebiasaan seperti ini menciptakan suatu hak waris bagi anak laki-laki sulung yang mempunyai cukup tenaga untuk menggarap tanah yang ditinggalkan oleh ahli waris yang telah meninggal sebagai penguasa atas tanah tersebut. Contoh lain dari tanah yang terikat dati ketuanan desa dapat dijumpai didaerah Cirebon dengan nama tanah kesikepan. Disamping tanah semacam ini di daerah Cirebon juga dikenal tanah yang pewarisnya tidak berpegaruh terhadap pertuanan desa yang disebut tanah Yasan. Berbeda dengan didaerah Jawa Tengah tanah yasan atau adalah tanah dengan hak milik yang bisa diwarisi tanpa pengaruh dari hak pertuanan desa. 81 Adapun di Bali terdapat tanah yang disebut tanah Padesan yakni tanah yang pewarisnya masih dipengaruhi oleh hak pertuanan desa, disamping juga ada tanah yang disebut bangket luput ini untuk sawah dan tegal luput untuk tanah tegalan, sebagai tanah yang luputlepas dari pengruh dari hak pertuanan desa. 82 Hak pertuanan desa sebut juga hak ulayat yaitu hak yang dimiliki oleh suatu masyarakat dan dapat dimanfaatkan demi kepentingan masyarakat tersebut. 80 Oermar salim, Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia Jakarta :Rineka Cipta, 2006 hal. 50 81 Ibid. 82 Ibid. hal 54 Pengaruh Family Ada barang tertentu dipelbagai tempat di Indonesia misalnya saperti keris dan tombak yang dianggap sebagai barang pusaka yang hanya diberikan kepada anak yang melanjutkan jabatan si bapak yang telah meninggal atau terhadap anak tertua. Untuk lebih tegasnya barang tersebut tidak bisa pindah ke tangan orang lain yang bukan keturunan atau kerabat dari orang yang meninggal seperti dijual atau dihibahkan. 83 Manfaat Tertentu Bagi Ahli Waris Dalam membagi benda warisan diantara para ahli waris sering digunakan ukuran, seperti misalnya kerisbenda pusaka diberikan kepada salah satu orang ahli waris laki-laki dan kalung diberikan kepada ahli waris perempuan. 84 83 Ibid. hal. 65 84 Ibid.

BAB III MASYARAKAT KAMPUNG ARAB TEGAL