Tradisi pembagian waris di lingkungan masyarakat Arab : Studi kasus di kampung Arab Tegal

(1)

TRADISI PEMBAGIAN WARIS DILINGKUNGAN MASYARAKAT ARAB

(Studi Kasus di Kampung Arab Tegal)

oleh:

ARIP RAKHMAN NIM:104044101391

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA

PROGRAM STUDI AHWAL AL- SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul TRADISI PEMBAGIAN WARIS DILINGKUNGAN

MASYARAKAT ARAB ( Studi Kasus Kampung Arab Tegal) telah diujikan dalam sidang Munaqasyah Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 13 Juni 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam(S.H.I) pada Program Studi Ahwal Al-Syakhsiyah

Jakarta, 13 juni 2008 Mengesahkan

Dekan Fakultas Syari’ah dam Hukum

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM

NIP: 150 210 422

Panitia Ujian Munaqasyah

1. Ketua :Drs.H.A.Basiq Djalil,SH,MA (……….…….)

NIP: 150 169 102

2. Sekertaris : Kamarusdiana, SAg, MH (……….)

NIP: 150 285 972

3. Pembimbing:Dr.Mamat Slamet Burhanudin, MA (……….)


(3)

4. Penguji I :Prof.Dr.H.Muhammad Amin Suma,SH,MA,MM (……….……)

NIP: 150 210 422

5. Penguji II : Drs. H.A. Basiq Djalil,SH,MA (………)


(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya, sehingga penulis dapat meyelesaikan skipsi ini dengan lancar, sebuah karya yang sangat berharga bagi penulis saat ini, kerena dalam penyelesaiannya telah berhasil melewati berbagai ujian yang telah menyita waktu dan materi sehingga sesekali menyurutkan penulis untuk menyelesaikannya, banyak hal yang tidak dapat penulis hadirkan didalamnya karena keterbatasan pengetahuan dan waktu. Namun, patut disyukuri karena banyak pengalaman yang berharga yang telah penulis gapai dalam penyelesaian skripsi ini yang teramat barharga menjadi bekal pengetahuan dan cakrawala berpikir. Shalawat serta salam tidak lupa penulis curahkan kepada Nabi mulia Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabatnya yang telah membawa kita kepada jalan yang lurus.

Selanjutnya, penulis ucapakan terima kasih kepada:

1. Dekan fakultas Syari’ah dan Hukum, Bapak Prof. Dr.H.Muhammad Amin Suma, S.H., MA, MM, yang telah memberikan dukungan moril kepada penulis

2. Ketua dan Sekertaris Prodi Ahwal al-Syakshiyah Bapak Drs. H.A.Basiq Djalil, SH,, MA. Dan Bapak Kamarusdiana, S.Ag, M.H. Yang selalu memberikan dorongan semangat agar sabar dan tekun dalam menyelesaikan skripsi.

3. Pembimbing skripsi, Bapak Dr.Mamat Slamet Burhanudin, MA yang dengan sabar membimbing dan mengarahkan penulis ditengah-tengah kesibukan beliau.


(5)

4. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum yang telah memberikan curahan ilmunya kepada penulis selama masa perkuliahan.

5. Petugas perpustakaan utama dan Perpustakaan Fakultas Syari’ah sebagai sumber informasi penulis dalam penulisan skripsi ini.

6. Keluarga tercinta Bapak Edy sudibyo dan Ibu Maslaha. Yang telah memberikan curahan kasih sayangnya kepada penulis.Untuk adik-adikku tersayang M. Rizal Fahmi, Fauzan dan Fauzi. Untuk saudara sepupu Pipit dan Puput, khafid nursyabani, arya firmansyah yang selalu membuat senyum ceria. Dan buat adinda tersayang Yeni Fitriyani yang telah mendorong dan memberikan semangat kepada penulis sehingga dalam penyelesaian skripsi ini sehingga dalam penulisan skripsi ini dapat berjalan dengan lancar.

7. Teman kelas kelas PA yang telah senantiasa mendoakan penulis agar menjadi orang yang sukses.

Akhirnya penulis berharap, semoga skripsi ini dapat bermanfaat terutama bagi penulis sendiri dan pembaca pada umumnya.

Jakarta, Mei 2008

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……….. i


(6)

BAB I PENDAHULUAN……… 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Pembatasan dan perumusan Masalah... 6

C. Manfaat dan Tujuan Penelitian………. …..

7

D. Metode Penelitian dan Tehnik Penulisan………...

8

E. Sistematika Pembahasan……….

10

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARIS………

12

A. Pengertian Tentang Waris……….

12

B. Dasar Hukum Kewarisan Dalam Islam……….

14

C. Rukun, Syarat, dan Sebab Saling Mewarisi……….

18

D. Penghalang Menerima Waris………

29

E. Pembagian Waris menurut Adat secara Umum………


(7)

BAB III MASYARAKAT KAMPUNG ARAB TEGAL……….. 47

A. Letak Geogarafis……….

47

B. Sruktur Masyarakat Tegal……….

48

BAB IV TRADISI WARIS PADA MASYARAKAT KAMPUNG ARAB…… 54

A. Tradisi waris ………

54

B. Prosedur pembagian waris…………

62

C. Analisa Penulis………. ……

76

BAB V PENUTUP ………..

82

A. Kesimpulan………...

82

B. Saran-saran……….

83

DAFTAR PUSTAKA………...


(8)

LAMPIRAN……….. …. 87


(9)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Allah SWT menjadikan manusia sebagai kahlifah diatas bumi. Hal ini berulang kali dinyatakan dalam Al-Qur’an, ide penciptaan manusia itu dikemukakan Allah sebelumnya didepan para malaikat yang ditanggapi dengan kekhawatiran mereka akan terjadinya kerusakan dan pertumpahan darah dimuka bumi. Namun Allah SWT mengatakan “Aku lebih tau tentang apa-apa yang tidak kamu ketahui”.1 Untuk mengantisipasi dan memperkecil kemungkinan terjadinya apa yang dirisaukan oleh para malaikat itu Allah menetapkan peraturan bagi kehidupan manusia. Peraturan itu dituangkan dalam bentuk titah atau kehendak Allah tentang perbuatan yang boleh atau yang tidak boleh dilakukan oleh manusia dalam kehidupannya. Semua itu bertujuan untuk kebaikan manusia sendiri dan untuk menghindari terjadinya kerusakan dan pertumpahan sebagaimana yang dikhawatirkan oleh para malaikat sebelumnya. Hal ini berarti bahwa selama manusia dalam kehidupannya diatas bumi mengikuti secara baik semua peraturan yang ditetapkan oleh Allah, maka kerusakan dan pertumpahan darah bisa dihindari.

Peraturan Allah tentang perbuatan manusia secara sederhana disebut Syari’ah atau hukum syara’ yang saat ini disebut Hukum Islam. Hukum Islam merupakan hukum Allah dan sebagai hukum Allah ia menuntut kepatuhan dari umat Islam untuk melaksanakannya sebagai kelanjutan dari keimanan terhadap

1


(10)

Allah. Keimanan akan wujud Allah menutut kepercayaan akan segala sifat, kudrat, dan iradah Allah. Aturan tentang tingkah laku manusia itu sendiri merupakan suatu bentuk Iradah Allah dan karena itu kepatuhan menjalankan peraturan Allah merupakan perwujudan iman kepada Allah. Hukum Islam meliputi seluruh kehidupan dari segi kehidupan manusia baik untuk mewujudkan kebahagian diatas dunia ini maupun untuk mencari kehidupan diakhirat kelak. Diantara hukum tersebut ada yang tidak mengandung sanksi yang menuntut pada kepatuhan. Sebagian yang lain justru mengandung sanksi yang dirasakan didunia ini layaknya sanksi hukum pada umumnya. Namum ada pula sanksi yang tidak dirasakan didunia akan tetapi dirasakan diakhirat kelak dalam bentuk dosa dan mendapat balasan atas dosa tersebut.2

Diantara aturan yang mengatur hubungan sesama manusia yang ditetapkan oleh Allah adalah aturan yang tentang harta warisan yaitu harta dan pemilikan yang timbul akibat dari adanya suatu kematian. Tentang siapa yang berhak menerimanya, berapa jumlahnya dan bagaimana cara mendapatkannya. Aturan tentang kewarisan tersebut telah Allah tetapkan melalui firmanNya yang terdapat dalam Al-Qur’an. Pada dasarnya ketentuan Allah mengenai kewarisan sudah jelas maksud dan arahnya, berbagai hal yang masih memerlukan penjelasan baik bersifat menegaskan ataupun memerinci disampaikan Rasulullah melalui hadistnya. Walaupun demikian penerapan masih menimbulkan wacana pemikiran dan pembahasan dikalangan para hukum Islam yang kemudian dirumuskan dalam bentuk ajaran yang bersifat normatif. Aturan tersebut yang kemudian diabadikan

2 Ibid.


(11)

dalam bentuk kitab fiqh serta menjadi pedoman bagi umat Islam dalam menyelesaikan permasalahan yang berkenaan dengan warisan.3

Seiring perkembangan pemikiran umat Islam dan juga relisasinya tentang kewarisan yang telah diatur oleh Al-Qur’an ternyata amat beragam. Hal demikian terjadi karena bermainnya berbagai faktor antara lain: hukum adat, sistem kekeluargaan dan bahkan juga berbagai macam penafsiran yang dipakai mendekati ayat-ayat kewarisan dalam Al-Qur’an.4 Kewarisan merupakan salah satu masalah pokok yang banyak dibicarakan dalam Al-Qur’an sendiri, kewarisan pada dasarnya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari hukum, sedang hukum adalah bagian dari aspek ajaran Islam yang pokok. Ketika seseorang ingin mengkaji sistem kekeluargaan atau keturunan dalam masyarakat pastilah ia harus mempelajari sistem perkawinan yang ada dalam masyarakat itu. Sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh salah seorang pakar hukum adat adat hukum Islam menurut Hazairin.”Hukum menentukan bentuk masyarakat. Masyarakat yang yang belum dikenal dapat dicoba mengenalnya pada pokok-pokoknya dengan mempelajari hukum yang berlaku dalam masyarakat itu.5

Hukum mencerminkan masyarakat. Dari seluruh hukum maka hukum perkawinan dan kewarisanlah yang menentukan dan mencerminkan sistem kekeluargaan yang berlaku dalam masyarakat. Pada pokoknya ada tiga macam sistem keturunan yaitu:

3

Ibid.hal.2

4 Ibid.

5

Al Yasa Abu Bakar, Ahli Waris Sepertalian Darah: Kajian Perbandingan Terhadap Penalaran hazairin dan Penalaran fikih Mazhab(Jakarta: INIS, 1998) hal.17


(12)

a. Patrilinial. Prinsip keturunan yang setiap orang(ego) selalu menghubungkan dirinya hanya kepada ayahnya dan seterusnya menurut garis keturunan laki-laki, disebut sistem partilinial. Kalau penarikan tersebut mutlak, sehingga si ego hanya dapat menjadi keturunan ayahnya saja seperti yang ditemukan pada masyarakat Batak, maka sistem kekeluargaan seperti ini disebut patrilinial murni.Ditinjau dari atas maka setiap orang Batak, jika ia laki-laki, hanya mempunyai keturunan yang terdiri dari semua anaknyaa(laki-laki dan perempuan)tetapi cucunya (laki dan perempuan) hanyalah yang lahir dari anaknya yang laki-laki saja. Dan begitu seterusnya, sehingga bagi orang Batak itu seorang perempuan menurut sistem kekeluargaanya yang bercorak patilinial itu tidak layak menghasilkan keturunan bagi keluarga ayah si perempuan. Dalam masyarakat patrinilial, penarikan keturunan itu tidaklah mutlak. Orang-orang yang menghubungkan dirinya pada ayahnya atau kepada ibunya, tergantung pada bentuk perkawinan orang tuanya, sehingga ia mungkin menjadi keturunan ayahnya dan mungkin pula menjadi keturunan ibunya. Sistem ini disebut patrilinial yang beralih-alih. Misalnya sistem kekeluargaan dalam masyarakat Rejah dan Lampung.6

b. Matrilinial. Dalam bentuk ini, setiap orang selalu menghubungkan dirinya hanya kepada ibunya dan karena itu hanya menjadi anggota klan ibunya itu. Misalnya masyarakat Minangkabau.Ditinjau dari atas maka setiap orang Minangkabau itu, jika ia perempuan hanya mempunyai keturunan yang terdiri dari anak-anaknya (laki-laki dan perempuan). Selanjutnya cucu laki-laki dan

6


(13)

perempuan yang lahir dari anaknya yang perempuan.Selanjutnya piut-piut laki-laki dan perempuan yang lahir dari cucu perempuan. Sehingga menurut sistem Minangkabau yang bercorak matrilinial itu seorang laki-laki itu tidak mempunyai keturunan yang menjadi keluarganya.7

c. Bilateral atau parental. Dalam bentuk ini setiap orang dapat menghubungkan dirinya baik pada ayah maupun ibunya. Misalnya masyarakat Jawa.ditinjau dari paparan diatas maka setiap orang jawa mempunyai keturunan bukan saja melaui anaknya yang laki-laki dan juga anak perempuan, tetapi juga buat selanjutnya mempunyai keturunan yang lahir dari cucu perempuan dan dari cucu yang laki-laki, tidak peduli apakah cucu yang lahir dari anak yang perempuan atau dari anak yang laki-laki. Demikian pula piut-piutnya ialah semua yang dilahirkan oleh cucu laki-laki dan cucu perempuan.8

Menurut Hazairin prinsip patrilinial atau matrilinial akan melahirkan kesatuan kekeluargaan yang dalam Ilmu pengetahuan kerap kali disebut klan.sedangakan prinsip bilateral, disebagian masyarakat misalnya tidak akan melahirkan kesatuan kekeluargaan tertentu, sehingga pengertian kekeluargaan bagi mereka tidak mempunyai corak tertentu. Sebaliknya pada sebagian masyarakat bilateral yang lain misalnya Dayak dapat melahirkan golongan-golongan kekeluargaan yang mempunyai fungsi kesatuan dengan corak tertentu dan dinamakan dengan Tribe(rumpun).9

Dalam hubungan dengan kewarisan, uraian ini beliau perjelas lagi dengan mengatakan, dalam sistem patrilineal pada prinsipnya hanya anak laki-laki yang

7

Ibid. hal 18

8 Ibid. 9


(14)

mewarisi, sedang dalam sistem matrilineal pada prinsipnya hanya anak perempuan saja yang mewarisi. Adapun dalam sistem bilateral maka semua anak, baik laki maupun perempuan, menjadi ahli waris bagi orang tuanya.10

Berdasarkan pemaparan diatas tentang pengklasifikasian sistem kekeluargaan maka masyarakat Tegal termasuk kedalam sistem kekeluargaan bilateral. Masyarakat yang menjadi sasaran penelitian adalah mereka yang dalam hal yang notabene yang keturunan Arab yang mana mereka telah bermukim dan berdiam sehingga mempunyai keturunan yang tak sedikit jumlahnya. Satu hal yang menarik yang ingin penulis angkat tentang tradisi pembagian Waris dalam lingkungan kampung Arab itu.sehingga penulis perlu mengangkat sebuah

penelitian skripsi yang berjudul”TRADISI PEMBAGIAN WARIS

DILINGKUNGAN MASYARAKAT ARAB” (studi kasus di kampung Arab Tegal)

A. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Mengingat luasnya pembahasan mengenai waris maka dalam pembahasan skripsi ini mengenai tradisi waris yang ada di kampung arab Tegal yang penulis batasi pada dua tempat yakni pada kec.Slawi dan Kec. Balapulang dimana terdapat warga keturunan arab yang telah lama bermukim disana.

Dari pembatasan masalah diatas, secara kongkret dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

Pada dasarnya pembagian waris telah ada didalam Al-Qur’an yang dijelaskan dalam surat An-Nissa ayat 11 dan 12 telah jelas bagian dari masing-masing ahli

10


(15)

waris. Satu hal yang menarik terjadi dikampung Arab Tegal adalah pembagian waris dengan sistem perdamaian yang mana bagian antara laki-laki dan perempuan adalah sama. Bentuk pembagian waris dengan jalan perdamaian adalah salah satu bentuk penyesuaian atau dalam istilah waris Islam adalah Takharuj.

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan:

1. Mengetahui pembagian warisan baik terhadap laki-laki maupun perempuan.

2. Agar dapat memperkaya wawasan dalam perkembangan ilmu fiqh terutama yang berkenaan dengan masalah kewarisan

C. Kegunaan Penelitian

Beberapa kegunaan penelitian ini adalah:

1. Pengayaan khasanah keilmuan sekaligus sebagai pijakan awal ( starting poin) untuk penelitian selanjutnya.

2. Sebagai sumbangan pemikiran bagi para pengembang ilmu hukum pada umumnya dan ilmu keperdataan pada khususnya.

3. Merupakan usaha penggalian beberapa segi hukum Islam yang dalam kadar tertentu akan memberikan sumbangan bagi pembangunan Hukum Nasional.

4. Dapat menambah kenyakinan umat Islam tentang keabadian syariat Islam disatu pihak, serta kelenturannya, diiringi dengan himbauan agar umat Islam melaksanakannya secara sadar dan bertanggung jawab.


(16)

Metode yang digunakan untuk memperoleh data yang valid dalam penelitian ini meliputi:

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif yang memusatkan perhatian pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia.11

Adapun jenis penelitian yang digunakan adalah studi kasus yaitu penelitian yang pada uumumnya bertujuan untuk mempelajari secara mendalam suatu individu, kelompok, institusi atau masyarakat tertentu tentang latar belakang, keadaan/kondisi, faktor-faktor atau interaksi-interaksi(sosial) yang ada didalamnya.Studi kasus merupakan suatu gambaran hasil penelitian yang mendalam dan lengkap, sehingga dalam informasi yang disampaikan tampak hidup sebagaimana adanya dan pelaku-pelaku mendapat tempat untuk memainkan peranannya. Metode studi kasus memberikan beberapa keuntungan. Keutungan utama kita bisa melakukan penelitian lebih mendalam. Dengan menggali lebih mendalam seluruh kepribadian seseorang yakni dengan memperhatikan keadaannya sekarang, pengalamannya masa lampau, latar belakang dan lingkungannya. Namun demikian juga studi kasus menampilkan beberapa kelemahan kepada kita. Studi yang mendalam berarti kajiannya kurang luas. Umumnya penemuan-penemuan kita sulit digeneralisasikan dengan keadaan yang

11


(17)

berlaku umum, karena hasil penemuannya hanya diperoleh dari keadaan tertentu saja. 12

2. Sumber Data

a. Data Primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat melalui wawancara dengan ahli waris terkait tradisi waris pada kampung Arab

b. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari bahan pustaka. Data ini terdiri dari sumber hukum waris Islam seperti kitab-kitab fiqih klasik, pendapat ulama seputar waris dan hasil penelitian tentang waris dan lain-lain.

3. Prosedur Pengumpulan Data

Dalam upaya mengumpulkan data yang diperlukan, digunakan metode sebagai berikut:

a. Metode observasi

Metode observasi bertujuan mendeskripsikan setting, kegitan yang terjadi, orang yang terlibat didalam kegiatan, waktu kegiatan, dan makna yang diberikan oleh para pelaku yang diamati pada peristiwa yang bersangkutan. Metode ini digunakan untuk mengungkapkan data yang berkaitan dengan pihal-pihak,waktu terjadinya dan hal-hal yang berhubungan dengan tradisi waris pada manyarakat tersebut.

b. Metode wawancara

12

Conselo G. Sevilla, dkk. Metode Penelitian Penerjemah Alimudin Tuwu (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1993) hal.74


(18)

Metode ini digunakan untuk memperoleh informasi tentang tradisi dari waris, yakni wawancara dengan keluarga para ahli waris, Tokoh masyarakat

c. Metode dokumenter

Dalam penelitian ini, metode dokumenter digunakan untuk mencari dan mengungkapkan data-data yang belum diperoleh dari observasi dan interview.

4. Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini, teknik analisis data yang digunakan adalah deskriftif kualitatif. Teknik analisis deskriptif diguanakan untuk menuturkan, menafsirkan, serta menguraikan data yang bersifat kuantitatif yang diperoleh dari hasil wawancara/interview, observasi, dan dokumenter.

F. Sistematika Penulisan

Adapun tehnik penulisan skripsi ini, penulis merujuk buku pedoman penulisan karya ilmiah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta .Secara general penulis memetakan topik penulisan untuk mempermudah pembahasanya, adapun sistematikanya adalah sebagai berikut:

BAB I: merupakan pendahuluan yang meliputi : latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tehnik dan metode penelitian dan sistematika penulisan

BAB II: bab ini mengemukakan tentang pengertian kewarisan baik secara bahasa maupun istilah, dasar hukum kewarisan baik yang bersumber dari Al-Qur’an maupun Al-hadits, menerangkan bagaimana seorang bisa saling mewarisi baik


(19)

yang berkenaan dengan syarat serta rukun dan hal-hal yang menjadikan terhalang menerima warisan. Seputar tentang pembagian waris dalam adat.

BAB III: menjelasakan tentang letak geogarafis Kab.Tegal yang menjadi tempat penelitian serta struktur masyarakat dan budaya yang ada di Kab. tersebut.

BAB IV pada bab empat ini penulis mengemukakan tentang tradisi waris dan bagaimanan pula prosedurnya dalam pembagian harta warisan pada masyarakat kampung Arab. Dan juga berisi tentang analisis penulis dari hasil penelitian yang ada.


(20)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG WARIS

A. Pengertian Waris

Hukum waris merupakan bagian darai hukum perdata. Dimana , dari dahulu sampai sekarang ini, hukum waris Indonesia sangat beraneka ragam sekali. Adapun garis besarnya terbagi menjdai tiga bagian:

1. Hukum waris yang terdapat dalam Undang-Undang Perdata

(HUKPer/BW).

2. Hukum waris yang terdapat dalam hukum adat.

3. Hukum waris yang terdapar dalam hukum Islam, yang tersusun dalam Figh mawaris/faraid.

Adapun pengertian hukum waris dalam KUH Perdata, menurut Hartono Suryopratiknyo hukum waris adalah keselurihan peraturan dengan nama Undang-Undang mengatur akibat hukum dari meninggalnya seseorang terhadap harta kekayaan, perpindahan kepada ahli waris dan hubungannya dengan pihak ketiga.13 Sedang pengertian Hukum waris adat menurut Hilman Hadikusuma adalah aturan -aturan hukum yang mengenai cara bagimana dari abad ke abad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud dan yang tak berwujud dari generasi pada generasi.14

Sedang pengertian Hukum kewarisan dalam KHI adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris,

13

Suparman Usman, Ikhtisar Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata(Bw), ( Serang: Darul ulum Press, 1993), Cet. 2 hal. 50

14

Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat ( Bandung: PT. Citra Adiyta Bakti, 1990) cet. 4 hal. 7


(21)

menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing(ps.171 huruf a KHI ).15

Dalam terminologi figh biasanya dikemukakan pengertian kebahasaan. Hal ini karena kata-kata warasa- asal kata kewarisan digunakan dalam Al-Qur’an. Karena Al-Qur’anlah dan dirinci oleh Sunnah Rasulullah, hukum kewarisan dibangun. Secara bahasa kata warasa memiliki beberapa arti; pertama mengganti (QS. Al-Naml, 27:16), artinya Sulaiman menggantikan kenabian dan kerajaan Daud, serta mewarisi ilmu pengetahuannya. Kedua, memberi (QS. Al-Zumar, 39:74), dan ketiga mewarisi (QS. Maryam, 19:6). Sedangkan menurut pengertian terminologi, Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur pembagian warisan, mengetahui bagian-bagian yang diterima dari harta peninggalan itu untuk setiap yang berhak16. Dalam redaksi yang lain, Hasby Ash-Siddieqy mengemukakan, hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang siapa-siapa orang yang mewarisi dan tidak mewarisi, bagian penerimaan setiap ahli waris dan cara-cara pembagiannya17. Berbeda dengan dua definisi diatas, Wirjono Prodjodikoro menjelaskan, warisan adalah soal apa dan bagaimana pelbagai hak-hak dan kewajiban- kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal akan beralih pada orang lain yang masih hidup.18

Hukum kewarisan sering dikenal dengan istilah faraid, bentuk jamak dari kata tunggal faridah, artinya ketentuan. Hal ini karena dalam Islam, bagian-bagian

15

Departeman Agama RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Dirjen Binbaga, 1991/1992, hal 35

16

Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003) hal. 356

17 Ibid.

18


(22)

waris yang menjadi hak ahli waris telah dibakukan dalam Al-Qur’an. Meskipun dalam realisasinya, sering tidak tepat persis nominalnya, seperti masalah radd atau aul. Hukum kewarisan dalam Islam mendapat perhatian besar. Karena pembagian warisan sering menimbulkan akibat-akibat yang tidak menguntungkan bagi keluarga yang ditinggal mati pewarisnya. Naluri manusia menyukai harta benda (QS.Ali Imran, 3:14) tidak jarang memotivasi seseorang untuk menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkan harta benda tersebut, termasuk didalamnya terhadap harta peninggalan pewarisnya sendiri. Terjadi kasus gugat waris di pengadilan, baik di pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri, menunjukan fenomena ini. 19

B. Dasar Hukum Kewarisan Islam

Bangunan hukum kewarisan Islam memiliki dasar yang sangat kuat, yaitu ayat-ayat Al-Qur’an yang selain kedudukannya qath’i wurud, juga qath’i al-dalalah meskipun pada dataran tanfid(aplikasi), sering ketentuan baku Al-Qur’an tentang bagian-bagian warisan, mengalami perubahan pada hitungan nominalnya, misalnya pada kasus raad dan aul dan sebagainya.

Menurut al-Syabiti, terhadap ketentuan Al-Qur’an yang kandungannya ibadah atau bukan ibadah mahdah yang telah dirinci didalam Al-Qur’an, seperti hukum kewarisan, perlu diterima secara ta’abudy atau diterima secara take for granted. Karena itu relisasinya apa yang ditegaskan didalam Al-Qur’an diterima dengan senang hati, sebagai bukti kepatuhan pada ketentuan-ketentuan Allah.

19 Ibid.


(23)

Selain Al-Qur’an, hukum kewarisan juga disandarkan pada sunnah Rasulullah SAW, pendapat sahabat, baik yang disepakati maupun yang mukhtalaf fih.20

Ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah cukup banyak yang menunjuk tentang hukum kewarisan.

1. Al-Qur’an

QS. Al-Nissa,4:11-12

Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian warisan untukmu) anak-anakmu, yaitu bagian seorang anak laki sama dengan bagian dua anak perempuan; dan jika anak itu semuanya lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika anak perempuan itu seorang saja, maka memperoleh separuh harta. Dan untuk dua orang ibu bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai seorang anak. Jika orang yang meninggal tidak

20


(24)

mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapak(saja) maka ibunya mendapat sepertiga. Jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.(pembagian tersebut diatas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat dan sesudah dibayar hutangnya.( tentang orang tua dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat(banyak) manfaat bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana(Q.S. al-Nissa; 4:11)

2. Al-sunnah

Imam Bukhari menghimpun hadits tentang hukum tentang kewarisan tidak kurang dari 46 hadis. Imam Muslim menyebut hadis tentang kewarisan kurang dari 20 hadis. Berikut dikutip beberapa hadist yang dianggap pokok

a. Hadis riwayat Mutafaq alai atau yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim

Nadi SAW bersabda:” Berikanlah bagian-bagian tertentu kepada orang-orang yang berhak. Dan sisanya untuk orang-orang laki yang lebih utama(dekat kekerabatanya) (Muttafaq alai)21

b. Hadis lain yang isinya menegaskan kembali tentang bagian-bagian warisan yang telah ditegaskan didalam Al-Qur’an. Misalnya riwayat dari Huzail ibnu Syurabil mengatakan:

Nabi SAW memutuskan bagian anak perempuan separuh cucu perempuan garis laki-laki seperenam sebagai penyempurna dua pertiga, dan sisanya untuk saudara perempuan(Riwayat Al-Bukhari)22

21

Imam Abi Abdillah, Shahih Bukhari, (Semarang: PT. Toha Putra, 1997) Juz 8

22


(25)

3. Hukum Islam yang sudah di Undangkan

Dalam UU No.7 tahun 1989 tentang peradilan Agama pasal 49 didalamnya ditegaskan bahwa kewarisan bagi umat Islam di seluruh Indonesia, penyelesaiannya menjadi wewenang peradilan Agama. Tentang hukum yang digunakan dalam penyelesaian warisan itu adalah hukum Islam tentang kewarisan atau yang disebut Hukum Kewarisan Islam atau faraid. Dengan demikian hukum kewarisan Islam merupakan hukum positif di Indonesia, khususnya di Indonesia. Pengertian hukum positif disini adalah hukum yang berlaku dan dilaksanakan oleh negara melalui peradilan yang dibentuk oleh negara. Hukum kewarisan Islam bukan hukum Nasional di Indonesia dalam arti “ hukum tertulis yang ditetapkan oleh badan negara yang berlaku dan mengikat untuk seluruh warga negara.”23

4. Yurisprudensi

Dalam kamus Fockema sebagaimana yang dikutip oleh Lilik Mulyadi dikemukan yang dimaksu dengan yurisprudensi adalah pengumpulan yang sistematis dari Keputusan Mahkamah Agung dan Keputusan Pengadilan Tinggi yang diikuti oleh hakim laindalam memeberikan keputusan permasalahan yang sama. Hakim tidak boleh terikat pada putusan yurisprudensi tersebut, sebab negara Indonesia tidak menganut “ the binding force of precedent”, jadi bebas memilih antara meninggalkan yurisprudensi dengan memakai dalam perkara yang sejenis dan telah mendpat putusan sebelumnya. Hakim harus berani meninggalkan yurisprudensi kalau kiranya yurisprudensi itu telah usang dan tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman dan keadaan masyarakat, tetapi tidak salahnya untuk tetap

23


(26)

dipakai kalau yurisprudensi masih sesuai dengan keadaan zaman dan sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. 24

C. Rukun, Syarat dan Sebab saling Mewaris 1. Rukun Waris

Menurut istilah rukun adalah keberadaan sesuatu yang menjadi bagian atas keberadaan sesuatu yang lain. Contohnya adalah sujud dalam salat, sujud dianggap sebagai rukun, karena sujud merupakan bagian dari salat. Karena itu tidak dikatakan salat jika tidak tidak ada sujud. Dengan kata lain rukun adalah sesuatu yang keberadaanya mampu menggambarkan sesuatu yang lain, baik sesuatu hanya bagian dari sesuatu yang lain maupun mengkhususkan sesuatu yang lain.25

Dengan demikian rukun waris adalah sesuatu yang harus ada untuk mewujudkan bagian harta waris dimana harta waris tidak akan ditemukan bila tidak ada rukun-rukunnya. Rukun-rukun waris ada tiga:26

1) Al-Muwarriss yaitu orang yang meninggal dunia atau mati, baik mati hakiki maupun hukmy yaitu suatu kematian yang dinyatakan oleh keputusan hakim atas dasar beberapa sebab, kendati sebenarnya ia belum mati yang meninggalkan harta atau hak.

2) Al-Warits, yaitu orang yang hidup atau anak dalam kandungan yang mempunyai hak mewarisi, meskipun dalam kasus tertentu akan terhalang.

24 Ibid. 25

Komite Fakultas Syariah Universitas Al Azhar Mesir, Hukum Waris Islam. Penerjemah H. Addys Al dizar dan H. Fakhturahman (Jakarta: Senayan Abadi Publising, 2004), hal. 41

26


(27)

3) Al-maurust, yaitu harta benda yang menjadi warisan. Sebagian ulama faraid menyebutnya dengan mirats atau irts. Termasuk dalam kategori warisan adalah harta-harta atau hak-hak yang mungkin dapat diwariskan, seperti hak qishas(perdata) hak menahan barang yang belum dilunasi pembayarannya, dan hak menahan barang gadaian.

Itulah tiga rukun waris, jika salah satu dari rukun tersebut tidak ada, waris mewarispun tidak bisa dilakukan. Barang siapa yang meninggal dunia dan tidak mempunyai ahli waris atau mempunyai ahli waris tetapi tidak mempunyai harta waris maka waris mewarispun tidak bisa dilakukan karena tidak terpenuhinya rukun-rukun waris.27

2. Syarat Waris

Lafal syuruth(syarat-syarat) adalah bentuk jamak dari syarth. Menurut bahasa syarat adalah tanda seperti syarth as-saah(tanda-tanda kiamat).Allah SWT berfirman”Tidaklah yang mereka tunggu-tunggu, melainkan hari kiamat yaitu kedatangannya kepada mereka dengan tiba-tiba, karena sesungguhnya telah datang tanda-tandanya. Apakah faedahnya bagi mereka kesadaran mereka itu apabila kiamat sudah datang?( Muhammad 47:18).28

Sedangkan menurut istilah adalah sesuatu yang ada atau tidak adanya hukum tergantung pada ada atau tidak adanya sesuatu itu. Yang dimaksud dengan adanya sesuatu yang menurut syara’ dapat menimbulkan pengaruh ada dan tidak adanya hukum. Jadi syarat adalah sesuatu yang keluar dari hakikat yang disyarati(masyruth) yang mengakibatkan adanya masyrut karena tidak adanya

27 Ibid. 28


(28)

syarat, Namun adanya masyrut tidak mewajibkan adanya syarat.Misalnya hubungan suami isteri menjadi syarat menjatuhkan talak sehingga jika tidak adanya hubungan tersebut tidak dapat dilakukan talak. Dan hal ini tidak berarti adanya hubungan suami isteri menetapkan adanya talak. Thaharah(bersuci) adalah syarat sah shalat. Jika tidak bersuci sebelum melakukan shalat niscaya shalatnya tidak sah, akan tetapi melakukan thaharah bukan berarti ketika hendak melakukan shalat saja.29

Dengan demikian, apabila tidak ada syarat-syarat waris, berarti tidak ada pembagian harta waris. Meskipun syarat-syarat waris terpenuhi, tidak serta merta harta waris dapat langsung dibagikan. Contoh kasus ini adalah keberadaan ahli waris yang masih hidup merupakan syarat untuk mewarisi harta si mayit. Jika syarat hidupnya ahli waris tidak terpenuhi, tentunya pembagian harta waris juga tidak bisa dilakukan. Meskipun syarat-syarat itu telah terpenuhi, tidak serta merta ahli waris mendapatkan ahli waris, kepada ahli waris dapat terhalang oleh ahli waris yang lain untuk mendapatkan bagian dari harta waris kendati syarat mendapatkan harta warisan telah terpenuhi. Oleh karena itu persoalan warisan memerlukan syarat-syarat sebagai berikut:30

Pertama, matinya orang yang mewariskan. Kematian orang yang mewariskan menurut ulama dibedakan menjadi tiga: 1) mati hakiki(sejati) 2) mati hukmy( menurut putusan hakim) dan 3) mati taqdiry(menurut perkiraan). Mati hakiki adalah hilangnya nyawa seseorang ( yang semula nyawa itu berwujud padanya) baik kematian itu disaksikan dengan pengujian, seperti tatkala seseorang

29

Abdul Wahab Khalaf, Imu Ushulul Fiqih. Penerjemah Masdar Helmy (Bandung: Gema Rislah Press, 1997), hal. 200

30


(29)

disaksikan meninggal atau dengan pendeteksian dan pembuktian, yakni kesaksian dua orang yang adil atas kematian seseorang. Mati hukmy adalah suatu kematian yang yang disebabkan karena putusan hakim, seperti seorang hakim memvonis kematian si Mafqud(orang yang tidak diketahui kabar beritanya, tidak dikenal domisilinya dan tidak pula diketahui hidup dan matinya). Status orang ini, jika melewati batas waktu yang ditentukan untuk pencariannya, si mafqud karena didasarkan atas sangkaan yang kuat bisa dikategorikan sebagai seorang yang telah mati. Mati taqdiry adalah suatu kematian yang semata-mata berdasarkan dugaan yang sangat kuat. Contohnya, seorang bayi yang dilahirkan dalam keadaan mati, sedang ibunya masih hidup atau bayi itu meninggal setelah kematian ibunya yang melahirkan akibat pendarahan, yang mewajibkan pembayaran sanksi dengan al-ghurah (hamba sahaya atau budak perempuan yang disamakan dengan lima tahun unta yang diberikan kepada ahli waris si bayi). Dengan demikian, si bayi meninggal akibat kejahatan tersebut, dimana ibunya mewarisi budak dari si bayi.31

Kedua, ahli waris yang hidup, baik hidup baik secara hakiki maupun hukmy setelah kematian si mayit sekalipun hanya sebentar, memiliki hak atas harta waris. Sebab Allah swt didalam ayat kewarisan hak mendapatkan harta waris enggan huruf lam menunjukan kepemilikan dimana tidak berwujud, kecuali hanya bagi orang yang hidup.32

Ketiga, mengetahui sebab-sebab yang mengikat ahli waris dengan si mayit, seperti garis kekerabatan, perkawinan dan perwalian. Maksudnya ahli waris harus mengetahui dirinya adalah termasuk dari ahli waris dari garis kerabat

31

Ibid. hal. 30

32 Ibid


(30)

nasab(kerabat yang tidak memperoleh bagian tertentu tetapi mendapatkan sisa dari ash-habul furudh atau mendapatkan seluruh harta peninggalan bila tidak ada seorang as-habul furudh seorangpun) atau garis perkawinan atau garis wala. Hal seperti diberlakukan karena setiap garis keturunan memiliki hukum yang berbeda-beda.33

2. Sebab-Sebab Mewariskan

Sebab adalah sesuatu yang oleh syari’(pembuat hukum) dijadikan indikasi adanya sesuatu yang lain yang menjadi akibatnya, sekaligus menghubungkan adanya akibat karena adanya sebab, dan ketiadaanya karena ketiadaan sebab. Contoh api merupakan sebab terjadinya kebakaran, artinya kebakaran merupakan sebab terjadinya kebakaran.34

Definisi ulama yang mengatakan keberadaan sesuatu mengharuskan adanya sesuatu yang lain, dengan sendirinya mengecualikan makna syarat, karena syarat tidak mengharuskan adanya sesuatu. Sedangkan ucapan mereka yang lain, bahwa tidak adanya sesuatu akan mengakibatkan sesuatu yang lain, juga menjadi tidak ada dan mengecualikan makna ”mani”(penghalang), karena mani mengecualikan adanya sesuatu yang tidak mengharuskan adanya sesuatu yang lain.35 Dengan demikian sebab-sebab pewarisan adalah sesuatu yang mewajibkan adanya hak mewarisi, jika sebab-sebabnya terpenuhi. Demikian juga hak mewarisi menjadi tidak ada jika sebab-sebabnya tidak terpenuhi. Sebab-sebab mewarisi terbagi

33 Ibid. 34

Ibid. 35


(31)

menjadi dua:pertama, yang disepakati dan kedua, yang tidak sepakati oleh para ulama faraid.

1. Sebab-sebab Mewaris yang di Sepakati a. Kekerabatan(Al-Qarabah)

Kekerabatan adalah hubungan nasab antara orang yang mewariskan dengan orang yang mewarisi, yang disebabkan oleh kelahiran, baik dekat maupun jauh. Dalil-dalil kewarisan karena sebab kekerabatan, antara lain terdapat dalam firman Allah surat An-Nissa ayat 11. Siapa sajakah ahli waris yang dapat mewarisi dari garis kekerabatan? Mereka adalah ushul(leluhur) si mayit, furu’ (keturunan) si mayit, dan hawasyi si mayit(keluarga si mayit dari jalur horizontal). Golongan ushul adalah 1)ayah, kakek, dan jalur keatasnya 2) ibu, nenek(ibunya suami dan ibunya istri) dan jalur keatasnya. Golongan furu’ adalah 1) anak laki-laki, cucu, cicit dan jalur kebawahnya. Sedangkan golongan hawasyi adalah 1) saudara laki-laki dan perempuan secara mutlak, baik saudara sekandung maupun seayah atau seibu, 2) anak-anak saudara sekandung seayah dan seibu, 3) paman sekandung seayah dan anak laki-laki paman sekandung.36

b. Pernikahan

Disamping hak kewarisan berlaku atas hubungan atas hubungan kekerabatan, hak waris juga berlaku atas dasar perkawinan; dengan arti bahwa suami ahli waris bagi istrinya yang meninggal dan istri ahli waris bagi suaminya yang meninggal. Bagian pertama dari ayat 12 surah al-Nisa(4) menyatakan hak kewarisan suami istri. Dalam ayat itu digunakan kata: azwaj. Penggunaan kata

36


(32)

azwaj yang secara leksikal berarti pasangan (suami istri) menunjukan dengan gamblang hubungan kewarisan suami dan istri. Bila hubungan kewarisan berlaku antara yang mempunyai hubungan kekerabatan karena hubungannya alamiah diantara keduanya, maka hubungan kewarisan antara suami istri disebabkan adanya hubungan hukum antara suami istri.37

Berlakunya hubungan kewarisan antara suami dengan istri didasarkan pada dua ketentuan:

Pertama: antara keduanya telah berlangsung akad nikah yang sah. Tentang akad nikah yangh sah ditetapkan dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 2 ayat 1: perkawinan sah bila dilakukan menurut ketentuan hukum masing-masing agamanya. Ketentuan diatas berarti bahwa perkawinan orang-orang yang beragama Islam adalah sah apabila menurut hukum Islam itu perkawinan tersebut adalah sah. Pengertian sah menurut hukum Islam ialah sesuatu yang dilakukan sesuai dengan rukun dan syarat dan telah terhindar dari dari segala penghalangnya. Dengan demikian nikah yang sah adalah nikah yang telah dilaksanakan dan telah memenuhi rukun syarat pernikahan dan telah terlepas dari segala halangan pernikahan. Ketentuan yang kedua,berkenaan dengan hubungan kewarisan yang disebabkan oleh hubungan perkawinan ialah bahwa suami istri masih terikat dalam tali perkawinan saat salah satu pihak meninggal. Termasuk dalam ketentuan ini adalah bila salah satu pihak meninggal dunia sedangkan ikatan perkawinan telah putus dalam bentuk talak raj’I dan perempuan masih dalam keadaan masa iddah. Seorang perempuan yang sedang menjalani masa

37


(33)

iddah talak raj’i berstatus sebagai istri dengan segala akibat hukumnya, kecuali hubungan kelamin(menurut jumhur ulama) karena halanya hubungan kelamin telah berakhir dengan adanya perceraian.38

c. Wala

Wala berarti tetapnya hukum syara’ karena membebaskan budak. Dalam konteks ini yang dimaksud dengan wala al-ataqah yakni disebabkan adanya pembebasan budak dan bukan dimaksudkan dengan wala al-maulah dan mukhalafah membebaskan budak dengan karena kepemimpinan dan karena ikatan sumpah, karena keduanya mempunyai muatan yang berbeda-beda dalam sebab-sebab pewarisan.39 Adapun yang dimaksud dengan wala al-ataqah adalah ushubah. Penyebabnya adalah kenikmatan pemilik budak yang dihadiahkan kepada budaknya dengan membebaskan budak melalui pencabutan hak mewalikan dan mengurusi harta bendanya baik secara sempurna maupun tidak. Tujuannya adalah tathawwu yakni melaksanakan perintah Syari’at atau kewajiban, sekalipun dengan imbalan. Dalam hal ini bentuk pembebasan mengkibatkan pada penetapan wala. Adapun yang dimaksud dengan kalimat penyebabnya adalah kenikmatan pemilik budak yang dihadiahkan kepada dengan membebaskan budak adalah masa sebelum budak itu dibebaskan. Namun setelah seorang tuan membebaskan budakya, budak itu telah berubah status dari orang yang tidak cakap menjadi orang yang cakap dalam bertindak secara sempurna. Dalil orang yang mempunyai hak wala memili hak waris atas harta peninggalan si budak dalah sabda Rasulullah saw dalam perkara Barirah r.a. “ Hak wala itu

38

Amir Syarifudin, op. cit. hal. 192

39


(34)

hanya bagi orang yang telah membebaskan budaknya”(HR Mutafaq alaih).40 Pertanyaan adalah siapa saja yang dapat mewaris sebab wala? Adapun yang dapat mewarisi sebab wala adalah pemilik budak laki-laki dan perempuan yang telah melangsungkan pembebasan budak. Lalu keduanya menjadi ashabah yaitu ashabah bi nafs. Sebab, wala dapat mewaris bukan diwaris. Tanpa budak yang dibebaskan niscaya wala tidak mewarisi dari pembebasan budak atau tuanya. Dengan demikian wala dapat mewarisi dari satu sisi saja yakni sisi dari orang yang membebaskan budak.

2. Sebab-sebab waris yang Diperselisihkan a. Baitul Mal

Para ulama fiqh berselisih diantaranya Syafi’i, Maliki dan Hanafi tentang baitul mal yang menjadi salah satu sebab boleh tidak mewarisi. Dalam hal ini terdapat tiga pendapat:41

Pertama, baitul mal sebagai penyebab mewarisi secara mutlak, baik baitul mal yang terorganisir maupun tidak. Jika seorang muslim meninggal dunia dan tidak mempunyai seorang pun ahli waris yang mewarisi harta peninggalannya, dengan salah satu sebab-sebab saling mewarisi yang telah disepakati, maka baitul mal berhak mewarisi harta peninggalan tersebut serta menggunakannya utuk kemaslahatan kaum muslimin. Sebab kaum musliminpun dibebani membayar diyah(denda) untuk saudara sesama muslim yang tidak berkerabat. Dengan demikian kedudukan mereka bagaikan ashabah(golongan yang mewarisi dalam

40 Ibid.

41


(35)

lingkungan kerabat). Pendapat ini dikemukakan oleh kalangan Malikiyyah dan Imam Syafi’i dalam qaul qodim( pendapat lamannya ketika berada di Bagdad).42 Kedua, baitul mal menjadi ahli waris ketika terorganisasi, dengan demikian andai seorang muslim meninggal dunia tidak memiliki ahli waris satu orang pun, maka harta peninggalannya diserahkan kepada Baitul mal bukan atas dasar kemaslatan atau kepentingan sosial, tetapi untuk diwarisi oleh kaum muslimin secara ushubah. Pendapat ini dikemukakan oleh As-Syafii dalam qul jadid.43

Ketiga,Baitul mal bukan menjadi penyebab mewarisi secara mutlak, baik ia terorganisasi maupun tidak,Ini adalah pendapat kalangan Hanafiyyah dan Hanabilah.44

b. Al-hilf wa al- Mu’aqadash atau janji setia

Janji setia ditempuh dengan melakukan perjanjian antara dua orang atau lebih. Sesorang menyatakan dengan sungguh-sungguh kepada orang lain untuk saling mewarisi apabila salah pihak meninggal. Tujuannya adalah untuk kerjasama saling menasehati dan yang terpenting adalah memperoleh rasa aman. Rumusan kalimat perjanjiannya adalah sebagai berikut:

Darahku darahmu, pertumpahan darahku pertumpahan darahmu, perjuanganmu perjuanganku, perangku adalah peraangmu, damaiku damaimu, kamu mewarisi hartaku aku mewarisi hartamu, kamu dituntut darahku karena aku dan aku dituntut darahku karena kamu, dan diwajibkan membayar denda sebagai pengganti nyawaku, akupun diwajibkan membayar denda sebagai pengganti nyawamu.45

Apabila salah satu pihak yang melakukan janji setia itu meninggal dunia maka pihak lain mewarisi harta yang ditinggalkannya dengan ketentuan 1/6

42

Ibid. hal 42

43

Ibid.

44

Ibid.

45


(36)

bagian, itupun didahulukan penerimaannya baru setelah itu dibagikan kepada ahli waris lainya.46

Perjanjian model ini tampaknya merupakan cara yang ditempuh dalam waktu yang lama, sampai-sampai Al-Qur’an merekamnya sebagai salah satu sebab mewaris yang dibenarkan. Firman Allah surah An-Nissa ayat 33:

“ Bagi tiap-tiap peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak karib dan kerabat, kami jadikan pewaris-pewarisnya. Dan (jika ada) orang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berikanlah kepada mereka bagiannya. Sessunggunya Allah menyaksikan segala sesuatu (Q.S. An-Nissa ayat 33)

Terhadap ayat tersebut dalam penerapannya, mayoritas para ulama tidak melaksanakanya. Hanya sebagian ulama Hanafiyah saja yang tetap memberlakukan isi ayat tersebut. Mereka mengatakan bahwa tidak ada riwayat atau keterangan yang menasakh ketentuan itu. Apabila dikaitkan dengan kehidupan sekarang ini, terlebih didasari oleh nash-nash Al-Qur’an maupun hadist yang mengatur soal kewarisan, kelihatanya sistem perjanjian itu telah kehilangan atau setidaknya kurang relevansi. 47

D. Penghalang Menerima Warisan

Kata al-mawani adalah bentuk jamak dari mani. Menurut bahasa mani berarti penghalang. Sedangkan menurut istilah adalah sesuatu yang timbul ketika sebab itu telah jelas dan syarat telah terpenuhi dan menghalangi timbulnya akibat

46

Ibid.

47 Ibid.


(37)

atas sebab. Jadi ketiadaan syarat menurut mereka tidak disebut mani meskipun menghalangi timbulnya akibat atas sebab. Jadi yang dimaksud dengan beberapa penghalang mewarisi adalah keberadaan penghalang yang menggugurkan hak seseorang untuk mewarisi harta peninggalan. Namun, ketiadaan penghalang bukan berarti memberikan warisan kepada seseorang. Dengan kata lain, yang dimaksud dengan penghalang-penghalang mewarisi adalah tindakan atau hal-hal yang dapat menggugurkan hak seseorang untuk mewarisi harta peninggalan setelah adanya sebab-sebab mewarisi.48 Jadi yang dilarang mendapatkan hak waris adalah seseorang (ahli waris) yang mempunyai sebab mewarisi tetapi ia melakukan tindakan yang dapat menggugurkan kelayakan mewarisi. Orang semacam ini yang diharamkan mendapatkan warisan, keberadaanya bagaikan tidak ada dan dia dapat menghalangi ahli warsi lainnya baik secara hirman(tidak mendapat warisan) maupun secara nuqshan( pengurangan).49

Dengan demikian definisi diatas berarti meniadakan hukum dan seseorang dapat terhalang karena keberadaan ahli warsi lainnya. Namun, ahli waris lainya menghalangi ahli waris yang terhalang dengan cara nuqshana(pengurangan). Demikian halnya, definisi tersebut meniadakan hukum waris-mewarisi karena ketiadaan sebab-sebabnya seperti orang asing(orang yang tidak mempunyai hubungan kerabat dari manapun).50

1) Penghalang-Penghalang yang Disepakati a. Berlainan Agama

48

Komite Fakultas Syariah Universitas Al Azhar Mesir, Hukum Waris Islam hal.46

49 Ibid. 50


(38)

Para ulama ahli fiqh diantaranya Maliki, Syafi’I, Hanafi dan Hambali sepakat bahwasanya, berlainan agama antara orang yang mewarisi dengan orang yang mewariskan merupakan salah satu penghalang mewaris. Berlainan agama terjadi antara Islam dengan agama lainnya terjadi antara satu agama dengan satu syariat yang berbeda51.

Agama ahli waris yang berlainan merupakan penghalang untuk mewarisi dalam hukum waris. Dengan demikian orang kafir tidak bisa mewarisi harta orang Islam dan seorang muslim tidak bisa mewarisi harta orang kafir, sebagaimana sabda Rasulullah SAW berikut:

Orang Islam ridak dapat mewarisi harta orang kafir dan orang kafir pun tidak dapat mewarisi harta orang Islam (HR Muttafaq alaih)

Hukum ini merupakan ketetapan banyak ulama ahli fiqh sebagai pengalaman dari keumuman hadits diatas. Bila seorang mati meninggalkan anak-anak laki-laki yang kafir dan pamannya muslim, niscaya harta peninggalan si mayit diberikan semua kepada paman, sehingga anak laki-laki itu tidak mendapatkan harta warisan apa-apa dari ayahnya. Contoh lainya adalah bila seorang mati meninggalkan istri kitabiyyah (ahli kitab) dan seorang anak laki-laki semua harta yang ditinggalkan si mayit diberikan kepada anak laki-lakinya.52

Namun sebagian ulama ahli fiqh berpendapat bahwa orang Islam dapat mewarisi harta peninggalan orang kafir dan tidak sebaliknya. Berdasarkan

51

Ibid. hal 47

52


(39)

pendapat tersebut jika seorang istri kitabiyyah(ahli kitab) mati meninggalkan suami muslim maka sang suami dapat mewarisi dari harta sang istrinya tapi tidak sebaliknya. Beberapa alasan yang dijadikan argumen pada kasus diatas adalah53:

a) Berdasarkan hadits Nabi SAW,”Islam itu terus bertambah dan tidak berkurang”

b) Dalam melihat hadits ini mereka berpendapat hak mewarisi seorang muslim dari seorang kafir merupakan suatu tambahan, sedangkan tidak adanya hak mewarisi bagi muslim terhadap orang kafir adalah suatu kekurangan. Mereka juga berargumen dengan hadits “ Islam itu tinggi dan ketinggianya tidak dapat diungguli”. Dengan hadits ini mereka berpendapat makna ketinggian adalah seorang muslim bisa mewarisi harta peninggalan orang kafir sedangkan orang kafir tidak bisa mewarisi harta orang muslim.54

c) Mereka berdalih dengan menganalogikan nikah dan memperoleh harta rampasan perang yakni kita sebagai orang muslim dapat mewarisi harta orang kafir sebagaimana kita menikahi wanita-wanita mereka, namun mereka tidak bisa menikahi wanita-wanita muslimah. Kita bisa memperoleh harta rampasan perang yang dilakukan bersama mereka, namun tidak sebaliknya.55

b. Pembunuhan

Apabila seorang ahli waris membunuh ahli warisnya, maka ia tidak berhak mewarisi harta pewarisnya, karena pembunuhan menghalanginya menerima harta

53 Ibid. 54

Ibid.

55 Ibid.


(40)

warisan atau harta peninggalan. Orang yang dibunuh bisa menerima warisan dari pembunuhnya, apabila si pembunuh lantaran suatu sebab meninggal sebelum korbannya meninggal. Apabila seseorang melukai saudaranya dengan luka sangat parah yang bisa menyebabkan kematian, kemudian dia lebih dahulu meninggal dengan suatu sebab niscaya si korban ( orang yang dilukai) menerima pusaka dari orang yang melukainya apabila tidak ada ahli waris yang lebih kuat, asal saja orang yang dilukai atau korban ketika meninggalnya pelaku masih dalam keadaan hidup (hayat mustaqirah)56. Tegasnya si pembunuh tidak boleh menerima harta

warisan dari orang yang dibunuh. Dalam hal ini Nabi saw bersabda:

Tidak ada pusaka bagi si pembunuh57

Kaidah fighiyah menetapkan:

“orang yang menyegerakan sesuatu sebelum waktunya, niscaya disiksa dengan tidak diberikan kepadanya apa yang ia segera menerimanya 58

Apabila si pembunuh tidak dihalangi menerima warisan, tentunya banyak waris (orang yang menerima warisan) akan membunuh muwarisnya(pewaris). Dan berkembanglah pembunuhan diantara kerabat-kerabat dekat dan kerabat yang

56

Ibid. hal

57

Muhammad bin Muhammad As-Syaukani, Nailul Al- Athar Syarah Muntaqal Akhbar, ( Kairo: Al-Akhirah) juz 6 hal. 84

58

Muhammad Azaam Abdul aziz, Qawaaidul Al-Fighiyyah, ( Kairo: Darr Al- Hadits) 2005


(41)

jauh. Selain daripada itu pembunuhan adalah suatu jarimah(tindak pidana) yang harus dijatuhi hukuman yang sangat berat dan suatu maksiat yang dibalas dengan azab yang paling berat. Maka tidak layak baik menurut akal maupun menurut syara’ mengerjakan jarimah dan maksiat menjadi jalan untuk mencapai kenikmatan dan memperoleh keuntungan.

Setelah ulama fiqih sepakat antara lain Maliki, Sayafi’I dan Maliki tentang pembunuhan menjadi sebab penghalang menerima warisan kemudian mereka berselisih tentang hakikat pembunuhan yang benar-benar menjadikan seseorang menerima warisan apakah bentuk pembunuhan mutlak atau khusus. Dalam hal ini terdapat empat pendapat ulama adalah sebagai berikut

1. Mazhab syafi’iyah berpendapat bahwa seluruh bentuk pembunuhan dapat menghalangi seseorang mendapat harta warisan. Dengan demikian seorang pembunuh tidak bisa mewaris harta orang yang dibunuhnya, baik karena sengaja, mirip sengaja, khilaf( baik dengan hak atau tidak) atau dihukum telah membunuhnya atau tindakan yang menyebabkan pembunuhan disaksikan oleh orang lain atau tidak ada yang menyaksikan tindakan tersebut sekalipun pembunuhan itu tidak sengaja, seperti pelakunya orang yang sedang tidur, orang gila atau anak kecil atau tindakan tersebut demi kemaslahatan seperti pukulan ayah terhadap anaknya dalam rangka mendidik.59

2. Mazhab Hanafiyah berpendapat bahwa pembunuhan yang menjadi penghalang mewarisi adalah pembunuhan yang hukumannya adalah

59


(42)

qishash atau kafarah yaitu pembunuhan dengan disengaja, mirip sengaja dan pembunuhan yang dianggap khilaf misalnya seorang yang sedang nyenyak tidur diatas tempat tinggi kemudian tempatnya runtuh dan menjatuhi orang yang dibawahnya, sehingga membawa kepada kematian kepada orang yang dijatuhinya.60

Adapun pembunuhan yang dianggap tidak menghalangi untuk mendapatkan warisan menurut kalangan Hanafiyah ada tiga macam 1) pembunuhan tidak langsung seperti seseorang menggali lubang yang bukan miliknya dan belum mendapat izin dari pemiliknya dan kemudian salah satu anggota keluarganya terperosok hingga jatuh dan meninggal.2) pembunuhan karena hak 3) pembunuhan yang dilakukan oleh anak kecil atau orang yang belum cakap untuk bertindak hukum.61

3. Mazhab Malikiyah berpendapat bahwa pembunuhan yang menjadi penghalang untuk menerima warisan adalah pembunuhan sengaja karena permusuhan, sedangkan yang lainya menurut mereka tidak menghalangi seseorang mendapat warisan.62

4. Mazhab Hanabilah berpendapat pembunuhan yang menjadi penghalang menerima warisan adalah pembunuhan yang dilakukan tanpa alasan yang hak, yakni pembunuhan yang dibebani dengan sanksi qishas, kafarat, diyat dan ganti rugi. Pembunuhan tersebut seperti:63

60

Ibid. hal. 57

61

Ibid. hal.58

62

Ibid. hal.

63


(43)

a. Pembunuhan dengan sengaja dan terencana adalah suatu cara pembunuhan yang dalam pelaksanaannya terdapat unsur kesengajaan unsur kesengajaan ini eksis dengan adanya tiga hal: pertama sengaja dalam berbuat, kedua sengaja arah dan sasarannya, ketiga sengaja dengan menggunakan alat yakni menggunakan alat yang lazimnya mematikan.

b. Pembunuhan mirip dengan sengaja adalah pembunuhan dengan sesuatu dengan alat yang tidak lazimnya tidak mematikan.

c. Pembunuhan karena khilaf atau tidak sengaja pembunuhan yang didalamnya tidak terdapat unsur kesengajaan, baik alat maupun arahnya seperti menembak burung tetapi mengenai orang dan mati. d. Pembunuhan yang dianggap khilaf yaitu pembunuhan yang tidak

memiliki unsur kesengajaan berbuat tetapi membawa kematian terhadap seseorang.

Adapun pembunuhan yang menurut mereka tidak menghalangi menerima warisan adalah pembunuhan yang tidak dibebani sanksi tersebut diatas seperti pembunuhan karena melakukan had, qishas(pidana) untuk membela diri, untuk melawan pemberontak atau untuk berbuat demi kemaslahatan.

Dalam kompilasipun dirumuskan tentang pembunuhan dapat menghalangi dari mendapat warisan. Kompilasi merumuskannya dalam pasal 173 yang berbunyi64:

64


(44)

Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena:

a. Dipersalah telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganianya berat pada pewaris.

b. Dipersalah secara memfitnah telah mengadukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 15 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.

Rumusan tersebut cukup lengkap dan dapat merangkum kategori atau klasifikasi pembunuhan dalam terminologi figh seperti pembunuhan dengan sengaja(al-‘amd) daan meyerupai sengaja( syibh al-‘amd) . Adapun poin b merupakan pembaharuan hukum, yang apabila dilacak dasar-dasarnya karena memfitnah dalah perbuatan yang resikonya lebih berat dari pembunuhan(QS. Al-Baqarah 2: 191).65

2) Penghalang-Penghalang Waris yang tidak disepakati/diperselisihkan a) Riddah

Adapun yang dimaksud dengan ridah adalah keluar dari agama Islam. Orangnya disebut murtad, baik dalam keadaan dapat membedakan secara sadar maupun dalam keadaan bercanda. Para ulama figh antara lain Maliki, Syafi’I dan Hambali sepakat bahwa riddah merupakan salah satu penghalang seseorang mendapat warisan. Seseorang yang murtad tidak dapat mewarisi harta peninggalan kerabatnya sesama murtad, orang kafir dan orang muslim. Dengan demikian tidak ada jalan untuk saling mewarisi dari kerabatnya yang sama-sama

65


(45)

murtad karena harta peninggalannya merupakan Fai( harta atau kekayaan negara yang diperoleh dari non muslim dengan jalan menarik pajak, bea dan mengurus harta orang murtad).66

Setelah para ulama sepakat bahwa murtad merupakan penghalang menerima warisan, kemudian mereka berselisih pendapat tentang apakah kemurtadan menjadi penghalang untuk mewarisi atau diiringi dengan kekafiran yang sesungguhnya? Dalam hal ini ada dua macam pendapat:

1. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa kemurtadan menjadi penghalang untuk mewarisi bila diiringi dengan kekufuran. Dengan demikian tidak ada perbedaan antara kekafiran yang datang secara tiba-tiba dengan kekafiran yang dilakukan sejak awal. Keduanya tetap menjadi penghalang. Namun, satu hal yang terpenting makna kekufuran yang terpenting sebenarnya secara hukum sudah mencakup bentuk-bentuk kekufuran lainnya.67

2. Kalangan Mazhab Syafiiyyah berpendapat bahwa kemurtadan merupakan penghalang mewarisi yang independen, tidak bisa digabungkan dengan persoalan berlainan agama. Sebab, antara dua orang kerabat yang sama-sama murtad keagama Nasrani tidak bisa saling mewarisi, karena mereka berdua tidak mengakui agama yang mereka tinggalkan. Dengan demikian, orang murtad dianggap tidak mempunyai agama dan tidak bisa dimasukan dalam kategori dalam penghalang menerima warisan.68

66

Komite fakultas Syariah Universitas Al-azhar, Hukum Waris Islam, hal. 60

67

Ibid. hal. 61

68


(46)

b) Berlainan Tempat (Negeri)

Yang dimaksud dengan berlainan tempat(negeri) adalah berlainan pemerintahan yang diikuti oleh waris dan muwaris(orang yang mewarisi). Umpamanya si pewaris menjadi suatu rakyat negara yang merdeka, sedangkan ahli waris menjadi rakyat merdeka lainnya. Semua ulama berpendapat menetapkan, bahwasanya berlainan tempat tidak menjadi penghalang bagi pusaka antar sesama Islam, karena negeri-negeri Islam, walaupun berbilang-bilang pemerintahannya dan letaknya jauh serta berbeda pula tata aturan pemerintahannya namun di pandang sebagai suatu negara dengan ijma segenap fuqaha Islam. Maka perbedaaan kebangsaan dan berlainan pemerintahan tidak menjadi penghalang bagi penerimaan pusaka. Karena itu seorang muslim Indonesia mewarisi harta peninggalan isterinya yang Islam yang berkebangsaaan Turki umpamanya, sebagaimana orang muslim Indonesia menerima pusaka dari kerabatnya yang berkebangsaan india.69

Dalam pada itu ahli-ahli mazhab berbeda pendapat tentang perbedaan tempat antara orang-orang yang bukan Islam. Apakah perbedaaan tempat menjadi penghalang atau tidak? Menurut mazhab Hanafiyah dan mazhab Syafi’iyah bahwa berlainan tempat merupakan penghalang pusaka antara orang-orang bukan muslim dan berlainan negeri terhadap orang-orang yang bukan muslim adalah apabila tidak ada ishmah antara dua negeri dan masing-masing memandang halal memerangi yang lain, serta tidak ada pula hubungan persahabatan. Menurut mazhab Malik, Ahmad dan ahlul dhohir bahwasanya berlainan negeri tidak

69


(47)

menjadi penghalang bagi penerimaan pusaka terhadap orang yang bukan muslim. Mereka berpegang pada nash-nash yang umum dan adapula yang mensyara’tkan bersatunya negeri antara negeri yang mslim dan yang bukan muslim.70

E. Pembagian Waris Menurut Adat

Sebelum kita membahas tentang pembagian waris dalam masyarakat penulis perlu mengemukakan tentang sistem pewarisan yang ada dalam adat :

1. Sistem pewarisan Individual

Pewarisan degan sistem individual atau perseorangan adalah sistem pewarisan dimana setiap ahli waris mendapatkan pembagian untuk dapat menguasai dan memiliki harta warisan menurut bagian-bagian masing-masing . Setelah harta warisan diadakan pembagian maka masing-masing ahli waris dapat mengusai dan memiliki harta warisannya untuk diusahakan, dinikmati ataupun dialihkan kepada sesama waris, anggota kerabat, atupun orang lain.71

Sistem pewarisan individual ini banyak berlaku dikalangan masyarakat yang sistem kekerabatanya parental sebagaimana dikalangan masyarakat adat jawa ataupun kalangan masyarakat adat lainnya seperti masyarakat batak dimana berlaku adat manjae( jawa, mencar, mentas) juga masyarakat yang kuat dipengaruhi hukum Islam seperti kalangan masyarakat adat Lampung beradat peminggir dipantai selatan Lampung.72

2. Sietem pewarisan Kolektif

70

Ibid.

71

Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, (Bandung:PT. Citra Aditya Bakti, 1990) hal.25

72 Ibid.


(48)

Pewarisan dengan sistem kolektif ialah dimana harta peninggalan diteruskan dan dialihkan pemiliknya dari pewaris kepada ahli waris sebagai kesatuan yang tidak dapat terbagi-bagi penguasaan dan pemilikannya, melainkan setiap ahli waris berhak untuk mengusahakan, menggunakan atau mendapat hasil dari harta peninggalan itu. Bagaimana cara pemakaian untuk kepentingan dan kebutuhan masing-masing ahli waris diatur bersama atas dasar musyawarah dan mufakat oleh semua anggota keluarga yang berhak atas harta peninggalan dibawah bimbingan kepala kerabat.

Sistem kolektif ini terdapat misalnya didaerah Minagkabau. Kadang-kadang juga ditanah Batak atau Minahasa dalam sifatnya terbatas di Minangkabau sistem pewarisan kolektif barlaku atas tanah pusaka yang diurus bersama dibawah pimpinan atau pengurus mamak kepala waris dimana para anggota famili hanya mempunyai hak pakai( minang = gengam bautuik). Serupa dengan tanah pusalea Minang ini ialah tanah dati di Ambon yang tidak dapat dibagi-bagi kepada ahli waris melainkan disediakan para ahli waris untuk dipergunakan terutama para anggota ahli waris yang telah wafat dibawah pimpinan atau pengurusan kepala dati.73

3. Sistem Pewarisan Mayorat

Sistem pewarisan mayorat adalah sesungguhnya sistem pewarisan kolektif hanya penerusan dan pengalihan hak atas harta yang tidak dapat terbagi-bagi itu dilimpahkan kepada anak tertua yang bertugas sebagai pemimpin rumah tangga atau kepala keluarga yang menggantikan kedudukan ayah atau ibu sebagai kepala

73


(49)

keluarga. Anak tertua sebagai kedudukan sebagai penerus tanggung jawab orang tua yang wafat berkewajiban mengurus dan memelihara saudara-saudaranya yang lain terutama bertanggung jawab atas harta warisan dan kehidupan adik-adiknya yang masih kecil sampai mereka berumah tangga dan berdiri sendiri dalam suatu wadah kekerabatan mereka secara yang turun temurun. Seperti dalam sistem kolektif setiap anggota ahli waris dari harta bersama mempunyai hak memakai dan hak menikmati harta bersama itu tanpa hak mengusai dan memiliki secara perseorangan.74

Sistem mayorat ini ada dua macam dikarenakan perbedaan sistem keturunan yang dianut yaitu mayorat laki-laki seperti berlaku dilingkungan masyarakat Lampung, terutama yang beradat pepadun atau juga berlaku sebagaimana di teluk Yos Soedarso Kabupaten Jayapura Irian Barat dan sistem mayorat perempuan seperti berlaku dilingkungan masyarakat adat Samendo Sumater Selatan.75

Pembagian waris Adat

Apabila seseorang wafat maka disebagian besar lingkungan masyarakat Indonesia yang menjadi masalah adalah bagaimana harta warisan akan dibagi kepada ahli waris. Jika harta warisan itu akan dibagikan kapankah harta waris itu akan dibagi dan bagimana pembagian itu akan dilaksanakan.

a) Waktu pembagian dan juru bagi

Pada umumnya hukum adat tidak menentukan kapan waktu harta warisan itu akan dibagi atau kapan sebaiknya diadakan pembagian harta warisan, begitu pula siapa yang menjadi juru bagi tidak ada ketentuanya. Menurut adat kebiasaan

74

Ibid. hal.29

75 Ibid.


(50)

waktu pembagian setelah wafat pewaris dapat dilaksanakan setelah upacara sedekah atau selamatan yang disebut waktu nujuh hari, empat puluh hari,atau nyeratus hari setelah pewaris wafat. Oleh karena pada waktu tersebut para anggota ahli waris berkumpul.

Selama pembagian warisan itu berjalan dengan baik rukun dan damai diantara para ahli waris, maka tidak diperlukan adanya campur tangan dari orang luar atau juru bagi. Campur tangan dan kesaksian dan kesaksian tua-tua adat atau para pemuka masyarakat diperlukan apabila dalam jalannya musyawarah mufakat menjadi seret dan tidak lancar.

b) Cara Pembagian

Hukum adat tidak mengenal cara pembagian dengan perhitungan metematika, tetapi selalu didasarkan pada pertimbangan mengingat wujud benda dan kebutuhan ahli waris yang bersangkutan. Jadi walaupun hukum adat mengenal asas kesamaan hak tidak berarti bahwa setiap ahli waris akan mendapat bagian yang sama76. Diberbagai daerah sebagaimana haknya dikalangan masyarakat adat jawa cara pembagian itu dengan dua kemungkinan77:

1. Dengan cara sepikul segendong yaitu bagian anak laki-laki dua kali lipat bagian anak perempuan.

2. Dengan cara dum-dum kupat yaitu bagian anak laki-laki dan perempuan berimbang sama.

76

Ibid.hal.105

77


(51)

Dilingkungan masyarakat Daya Kendayan dalam pembagian warisan pada dasarnya juga sama dengan antara anak kandung dan anak angkat. Tetapi ketika melakukan pembagian warisan dipersilahkan lebih dahulu kepada anak pangkalan untuk bagiannya dan setelah itu dipersilahkan kepada anak bungsu dan baru giliran anak-anak yang lain berdasarkan pertimbangan anak bungsu dan anak pangkalan. Dilingukngan masyarakat Minahasa dalam pembagian warisan juga berimbang sama antara ahli waris perempuan dan laki-laki termasuk yang didalam kandungan jika lahir hidup. Begitu pula perpindahan agama tidak berakibat hilang atau berkurangnya bagian seorang ahli waris. Tetapi hibah wasiat yang telah diberikan ketika pewaris masih hidup setelah pewaris wafat dapat ditinjau kembali atas dasar keadilan jika berlebih dikurangi dan jika berkurang dapat ditambah. 78 Dengan sifat hukum adat, pada umumnya berlandaskan pola berpikir yang konkret/tidak abstrak, maka persoalaan pembagian harta warisan biasanya merupakan penyerahan barang warisan tertentu terhadap seorang ahli waris tertentu, umpamanya sebidang sawah tertentu diserahkan terhadap ahli waris A, sebidang pekarangan diberikan kepada ahli waris B.79

Pengaruh Pertuanan Desa

Dimana hak ikatan desa masih kuat masih berupa pertuanan dari desa atas tanah(berchsikkngsrecht van de desa over gond) hampir-hampir tidak dapat dikatakan ada hak waris dari para ahli waris terhadap tanah itu. Artinya tanah itu, bila yang menguasainya meninggal, maka pada hakikatnya terserah pada pemerintahan desa atau pada rapat desa untuk menetapkan siapa yang akan

78

Ibid. hal.108

79


(52)

mengganti orang yang meninggal sebagai pengganti atau pengelola tanah tersebut.80

Seperti halnya di Jawa biasanya, tanah itu diberikan kepada anak laki-laki yang sulung atau tertua dari orang yang meninggal bila anak itu dianggap cukup kuat menggarap tanah itu. Bila kekuatan atau tenaga itu tidak ada pada anak sulung maka anak laki-laki kedua mendapat giliran untuk menggarap dan mengusai tanah tersebut begitu seterusnya. Kebiasaan seperti ini menciptakan suatu hak waris bagi anak laki-laki sulung yang mempunyai cukup tenaga untuk menggarap tanah yang ditinggalkan oleh ahli waris yang telah meninggal sebagai penguasa atas tanah tersebut. Contoh lain dari tanah yang terikat dati ketuanan desa dapat dijumpai didaerah Cirebon dengan nama tanah kesikepan. Disamping tanah semacam ini di daerah Cirebon juga dikenal tanah yang pewarisnya tidak berpegaruh terhadap pertuanan desa yang disebut tanah Yasan. Berbeda dengan didaerah Jawa Tengah tanah yasan atau adalah tanah dengan hak milik yang bisa diwarisi tanpa pengaruh dari hak pertuanan desa.81

Adapun di Bali terdapat tanah yang disebut tanah Padesan yakni tanah yang pewarisnya masih dipengaruhi oleh hak pertuanan desa, disamping juga ada tanah yang disebut bangket luput ini untuk sawah dan tegal luput untuk tanah tegalan, sebagai tanah yang luput(lepas) dari pengruh dari hak pertuanan desa.82 Hak pertuanan desa sebut juga hak ulayat yaitu hak yang dimiliki oleh suatu masyarakat dan dapat dimanfaatkan demi kepentingan masyarakat tersebut.

80

Oermar salim, Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia (Jakarta :Rineka Cipta, 2006) hal. 50

81

Ibid.

82


(53)

Pengaruh Family

Ada barang tertentu dipelbagai tempat di Indonesia misalnya saperti keris dan tombak yang dianggap sebagai barang pusaka yang hanya diberikan kepada anak yang melanjutkan jabatan si bapak yang telah meninggal atau terhadap anak tertua. Untuk lebih tegasnya barang tersebut tidak bisa pindah ke tangan orang lain yang bukan keturunan atau kerabat dari orang yang meninggal seperti dijual atau dihibahkan.83

Manfaat Tertentu Bagi Ahli Waris

Dalam membagi benda warisan diantara para ahli waris sering digunakan ukuran, seperti misalnya keris(benda pusaka) diberikan kepada salah satu orang ahli waris laki-laki dan kalung diberikan kepada ahli waris perempuan.84

83

Ibid. hal. 65

84 Ibid.


(54)

BAB III

MASYARAKAT KAMPUNG ARAB TEGAL

A. Letak Geografis

Kabupaten Tegal merupakan salah satu Kabupaten di propinsi Jawa Tengah dengan ibu kota di Slawi. Terletak diantara 108 57 6 s/d 109 21 30 Bujur Timur dan 6 50 41 s/d 7 15 15 30 Lintang Selatan. Dengan keberadaan sebagai salah satu daerah yang melingkupi pesisir utara bagian barat Jawa Tengah, Kabupaten Tegal menempati posisi strategis dipersilangan arus transportasi Semarang-Cirebon-Jakarta dan Semarang-Cirebon-Jakarta –Tegal-Cilacap dengan fasilitas pelabuhan di Kota Tegal.85

Adapun batas-batas wilayah Kabupaten Tegal adalah sebelah utara Kota Tegal dan Laut Jawa, sebelah timur Kabupaten Pemalang, sebelah Barat Kabupaten Brebes, sebelah selatan Kabupaten Brebes dan Kabupaten Banyumas.86

Secara Topografis Kabupaten Tegal terdiri dari tiga kategori daerah, yaitu: 1. Darerah pantai meliputi kecamatan Kramat, Suradadi, dan Warureja

2. Daerah dataran rendah meliputi kecamatan Adiwerna, Dukuturi, Talang, Tarub, Pagerbarang, Dukuwaru, Slawi, Lebaksiu, sebagian wilayah Suradadi, Warureja, Kedungbanteng, dan Pangkah.

3. Daerah dataran tinggi/penggunungan meliputi kecamatan Jatinegara, Margasari, Balapulang, Bumijawa, Bojong, sebagian Pangkah dan Kedungbanteng.87

85

Sumber Badan Pusat Statistik Kabupaten Tegal, hal. 3

86 Ibid. 87


(55)

Adapun iklim kabupten Tegal beriklim Tropis, dengan rata-rata curah hujan sepanjang tahun 2006 sebesar 128,77mm. banyaknya curah hujan bergantung padak kelembapan udara yang tinggi, tetapi tekanan udara rendah dengan kecepatan angin, suhu udara dan lama penyinaran matahari serta penguapan sedang-sedang saja. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Januari sebanyak 433mm dengan kelembaban 87 persen, Tekanan udara 1.008,5 hPa, kecepatan angin 4 knots, suhu udara rata-rata 26,5 C dan lama penyinaran matahari 98 jam serta penguapan air sebasar 127 mm.88

Adapun luas wilayah Kabupaten Tegal adalah 87.879 Hektar yang berupa tanah sawah dan tanah kering. Data yang tersumber dari Dinas Pertanian Perkebunan, dan Perhutanan Kabupaten Tegal, penggunaan lahan, dimana luas tanah sawah sebesar 46,07 persen dari luas wilayah yang ada.89

B. Sruktur Masyarakat

Di sebagian wilayah Kota Tegal masih kental dengan budaya budaya sunda walaupun secara geografisnya masuk Jawa Tengah. Sebagai bukti dengan adanya namanya Losari yang dipisah oleh sungai, bagian barat sungai itu tetap disebut Losari dan termasuk wilayah Cirebon, Jawa Barat. Sedangkan daerah sebelah timur sungai disebut Losari dan masuk wilayah Brebes,Jawa Tengah. Tentunya kebudayaan mereka tidak terlalu jauh berbeda. Ini artinya kebudayaan Tegal tentunya lebih kental dengan budaya sundanya walaupun saat sekarang ini kebudayaan tersebut telah mengalami pergeseran.90

88 Ibid. 89

Ibid.

90

Ahmad Hamam Rochani, Babad Negara Tegal( Semarang: Intermedia Paramedia, 2005) hal.257


(56)

Jumlah penduduk Kabupaten Tegal tahun 2006 mencapai 1 476.299 jiwa. Kecamatan yang berpenduduk paling banyak adalah Adiwerna yaitu 125.906 jiwa dan yang paling sedikit adalah Kedungbanteng yaitu 43.402 jiwa. Penduduk perempuan mencapai 50,27 persen dengan rasio jenis kelamin dari 100 perempuan yang ada, terdapat 98,91 penduduk laki-laki. Namun dibeberapa kecamatan ada yang mempunyai rasio lebih dari 100.91

Jika pada tahun 2005 kepadatan penduduk mencapai 1.674 jiwa/km maka pada tahun 2006 sudah mencapai 1.680 jiwa/km dengan tiap keluarga menanggung 4,37 jiwa. Ketidakmerataan kepadatan penduduk diwilayah Indonesia merupakan masalah klasik yang diharapkan pada akhirnya akan mencapai keseimbangan yang adil dan merata. Pemberangkatan transmigrasi pada tahun 2006 sebanyak 15 kepala keluarga semuanya melalui program trasmigrasi umum yang dikirim ke Kalimantan Timur. Ketertiban administrasi kependudukan akan sangat diperlukan oleh pemerintah maupun perseorangan, terutama angka kelahiran yang notebena sebagai pengesahan/pengakuan seseorang dilahirkan disuatu wilayah. Kantor Catatan Sipil selama tahun 2006 telah menerbitkan akta kelahiran sebanyak 44.010 lembar untuk yang baru lahir, dispensasi istimewa, setelah tahun sebelumnya menebitkan 44.901 lembar.Sebagian besar penduduk tegal berprofesi sebagai petani. Pembangunan di sektor pertanian khususnya pada pertanian tanaman pangan dari tahun ke tahun terus ditingkatkan untuk dapat memelihara kemantapan swasembada pangan, meningkatkan pendapatan masyarakat dan memperbaiki keadaan gizi melalui penganekaragaman jenis bahan

91


(57)

pangan. Peningkatan produksi tanaman pangan di Kabupaten Tegal dilaksanakan antara lain melalui peningkatan produktifitas usaha tani, perluasan lahan pertanian serta pemanfaatan lahan kering dan perkarangan dengan didukung saran dan prasarana yang makin memadai. 92

Sedang disektor perkebunan upaya peningkatannya melalui dengan peremajaan tanaman perkebunan, rehabilitas, perbaikan mutu tanamanan, penganekaragaman jenis tanaman dan pemanfaatan lahan kering. Adapun komoditas-komoditas perkebunan meliputi kelapa, cengkeh, panili, lada, teh, Mete, cabe jamu dan melati. Produksi kelapa dominan dari Tarub, Suradadi dan Margasari, meskipun dominasi tanaman kelapa yang berada di daerah Jatinegara, Suradadi dan Kramat. Sebagian lagi bergerak di bidang industri. Kepercayaan diri sektor sub sektor Industri besar/sedang di Kabupaten Tegal mulai bangkit semenjak 1999 setelah terjadinya krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997. Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir menunjukan adanya penyerapan tenaga kerja.Perusahaan besar/sedang tahun 2006 sebanyak 90 perusahaan dengan tenaga kerja yang diserap 10.802 orang. Kecamatan Adiwerna dan Kramat merupakan tempat tumbuh suburnya industri, masing-masing ada 27 dan 19 buah. Namun perusahaan yang menyerap banyak tenaga kerja berada di Slawi, Pangkah dan Kramat.93

Adupun kondisi sosial budaya masyarakat Tegal meliputi:

92 Ibid. 93


(58)

Pendidikan merupakan salah satu unsur terpenting dalam pembangunan, karena dengan pendidikan masyarakat akan semakin cerdas yang selanjutnya akan membentuk sumber daya manusia(SDM) yang berkualitas tinggi.94

Dengan melihat data dari DikBud dan Depag Kabupaten Tegal tentang jumlah sekolah, murid dan guru dapat diketahui dalam tahun 2006 pada tingkatan SD dan sederajat jumlah sekolah 1.063, setiap sekolah rata-rata menampung 172,46 siswa, dengan 6,41 guru dimana setiap guru menanggung 32,19 siswa.dari 299 sekolah SLTP dan yang sederajat, rata-rata menampung 203,95 siswa dan tenaga pengajar 16,48 setiap sekolah. Pada jenjang pendidikan SLTA dan yang sederajat dari jumlah sekolah 88, rata-rata siswa yang tertampung setiap adalah 289,51 siswa dengan 19,65 guru dimana setiap guru menanggung 14,74 siswa. Keberadaan sekolah tinggi dan akademi di Kabupaten Tegal akan menjadi salah satu solusi yang tepat dalam penyedian tenaga kerja berpendidikan tinggi. Sampai dengan tahun 2006 ini, ada 1sekolah tinggi dan 3 akademi dengan total mahasiswa 1.166 orang. Lulusan STAIBN tahun ini bertambah 309 orang dan Akper dan Akbid Bhamana secara kumulatif telah mewisuda 766 orang.95

Untuk meningkatkan kualitas umat beragama dan kepercayaan terhadapTuhan Yang Maha Esa maka pembangunan di bidang agama tak bisa diabaikan. Dalam pelaksanaanya, dibutuhkan tempat untuk melaksanakan ibadah tersebut. Keberadaan tempat ibadah merupakan saran pembentukan dan pembinaan moral yang tangguh. Jumlah tempat ibadah pada tahun 2006 sebanyak 4.754.

94

Ibid.hal. 73

95


(59)

Merupakan rukun Islam yang kelima adalah dambaan setiap orang muslim, menunaikan ibadah haji bagi yang mampu dalam arti bahwa bukan hanya dari sisi materi/biaya saja melainkan juga mampu secara mental, cukup bekal ibadah lainya. Jemaah Haji Kabupaten Tegal sebanyak 1.036 jemaah, naik 9,50 persen dibanding tahun 2004 yang mencapai 957.96

Upaya meningkatkan derajat kesehatan terus dilakukan oleh pemerintah maupun swasta. Hal ini terlihat dari banyaknya sarana kesehatan maupun tenaga medis yang tersedia. Jumlah rumah sakit swasta sebanyak 3 buah sedangkan jumlah rumah sakit pemerintah 2 buah, sedangkan jumlah Puskesmas sebanyak 27 buah tersebar diseluruh kecamatan dengan didukung tenaga medis 59 dokter, 170 perawat dan 91 bidan serta dibantu 171 bidan desa.97

Pembagian wilayah adnnistrasi dan bidang pemerintahan Kabupaten Tegal menjadi 18 Kecamatan meliputi 281 Desa dan 6 Kelurahan. Sesuai dengan UU Nomor 22 Tahun 1999, bahwa nomenklatur pembantu dihapus(pasal 29 ayat1) maka enam wilayah Pembantu Bupati ditiadakan. Roda pemerintahan daerah Kabupaten Tegal diselenggarakan oleh pemerintah daerah dan Dewan perwakilan Rakyat Daerah(DPRD) menurut asas Desantralisasi, yaitu penyerahan wewenang pemerintah kepada pemerintah Daerah Otonom dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia(UU No.22 Tahun 1999). Kabupaten Tegal dipimpin oleh seorang Bupati dengan dibantu oileh sekertaris Daerah dan perangkat pemerintah yang ada. Perangkat pemerintah terdiri dariBadan, Dinas, Kantor, Bagian dan

96 Ibid. 97


(60)

Pemerintah.98

98


(61)

BAB IV

TRADISI WARIS PADA MASYARAKAT KAMPUNG ARAB A. Tradisi Waris

Istilah waris merupakan suatu hal yang tidak asing yang terjadi dalam masyarakat kita. Ketika seorang meninggal dunia dan ia mempunyai ahli waris dan ia pula meninggalkan harta pusaka(tirkah), maka disitulah akan terjadi pembagian waris di lingkungan keluarga yang termasuk dalam ahli waris yang mendapat bagian pasti atau biasa disebut ashabul furudh99.Dalam hukum Islam

juga telah dijelaskan secara rinci tentang bagian-bagian yang akan didapat oleh ahli waris sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an surah AN-Nissa ayat 11 dab 12. Nabi juga mempertegas dalam haditsnya tentang bagian-bagian yang belum dijelaskan secara pasti dalam Al-Qur’an.

Pembahasan tentang hukum waris pada dasarnya menyangkut 3 (tiga) hal pokok yaitu apa yang merupakan obyek pewarisan(harta peninggalan), siapa yang atas harta itu(ahli waris), dan bagaimana aturan pembagiannya Oleh karena itu pembahasan harus dimulai dari hukum kekeluargaan dan hukum perkawinan.100 Sistem kekeluargaan yang ada dalam yang ada dalam masyarakat tiap daerah berbeda-beda ada yang dikenal dengan istilah Patrilinial yakni prinsip keturunan yang selalu menghubungkan dirinya hanya pada ayah dan seterusnya seperti yang terjadi pada masyarakat Batak, dalam hal ini penarikan keturunan tersebut mutlak. Dalam sebagian masyarakat patrilinial itu tidaklah mutlak, ada juga orang-orang yang menghubungkan dirinya pada pada ayahnya atau ibunya tergantung dari

99

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia. hal 384

100

Otje Salim, Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris ( Bandung: Penerbit Alumni, 1993), hal. 47


(62)

perkawinan orang tuanya, sehingga ia bisa saja menghubungkan diri pada ayahnya atau pada ibunya. Sistem seperti ini disebut patrinial beralih-alih yang biasa terjadi pada pada masyarakat Rejah dan Lampung. Pada sistem kekeluargaan yang kedua ada yang disebut Matrilinial adalah suatu bentuk sistem kekeluargaan yang menghubungkan dirinya pada ibunya misalnya yang terjadi pada masyarakat Minangkabau sebagai gambarannya hanya dari garis keturunan perempuanlah yang dimaksukan kedalam klan anggota keluarganya. Pada sistem kekeluargaan yang terakhir yang disebut dengan Bilateral atau perental. Dalam bentuk ini setiap orang bisa saja menghubungkan dirinya pada ayah ataupun ibunya, misal hal ini terjadi pada masyarakat Jawa. Sehingga keturunan itu tidak hanya dari garis laki-laki tetapi juga melalui garis perempuan, juga seterusnya tidak melihat apakah cucu yang lahir dari anak perempuan atau lahir dari keturunan laki-laki. Ketiga sistem keluarga tersebut yang nantinya akan menentukan dalam sistem kewarisan. Hukum kekeluargaan nantinya akan menjadi titik tolak bagi susunan ahli waris, siapa saja yang berhak dan siapa saja yang tidak berhak akan ditentukan oleh sistem kekeluargaan101.

Dalam hubungan dengan kewarisan, uraian diatas diperjelas lagi dalam sistem patrilineal pada prinsipnya hanya anak laki-laki yang mewarisi, sedang dalam sistem matrilineal pada prinsipnya hanya anak perempuan saja yang mewarisi. Adapun dalam sistem bilateral maka semua anak, baik laki maupun perempuan, menjadi ahli waris bagi orang tuanya.102

101

Hazairin, Hukum Kewarisan Menurut Qur’an dan Hadits ( Jakarta: Tintmas Indonesia, 1982), hal 11

102


(63)

Dari pemaparan diatas jelas wilayah Tegal yang menjadi tempat penelitian penulis termasuk wilayah Jawa yang termasuk ke dalam sistem kekeluargaan Bilateral yakni bisa menghubungkan dirinya baik pada ayah maupun pada garis keturunan ibu. Satu hal yang menarik dalam penelitian ini adalah pengaruh adat jawa dalam hal pembagian waris kepada mereka keturuan Arab yang telah berdomisi lama di daerah Tegal ini.103

Di Tegal ada dua wilayah yang kebanyakan para penduduknya adalah mereka dari keturunan Arab yang telah mempunyai anak cucu cicit yang kemudian disebut Kampung arab yakni pada wilayah Kec. Slawi dan Balapulang. Mereka telah menetap lama di daerah tersebut hingga sudah mempunyai keturunan yang tidak sedikit. 104

Tradisi waris yang terjadi pada masyarakat kampung Arab Tegal terjadi ketika salah satu anggota keluarga mereka meninggal dan meninggalkan harta peninggalan atau yang disebut dengan Tirkah dengan Musyawarah keluarga yang biasanya dipimpin oleh anak yang paling tua. Maka disinilah akan ditentukan dengan cara bagaimana harta peninggalan akan dibagikan. Apakah dengan dengan diselesaikan dengan cara Agama atau dengan cara Dirgama105.Penyelesaian

dengan cara Agama yakni dengan cara memangil seseorang yang dianggap mengetahui betul mengenai bagian-bagian waris yang disebut Kyai atau Ustad106. Hal ini ditujukan untuk mendapatkan bagian yang pasti mengenai waris sesuai

103 Ibid. 104

Sumber Badan Pusat Statistik Kab. Tegal

105

Sebuah istilah yang digunakan masyarakat Arab Tegal, cara pembagian warisan tidak menggunakan cara fararid yakni dengan cara berdamai diantara anggota keluarga ahli waris. Wawancara pribadi dengan Hb. Usman, Tegal, 13 maret 2008

106


(1)

Responden

HASIL WAWANCARA DENGAN AHLI WARIS Nama : Hb. Usman Al athas

Umur : 35

Pekerjaan : Wiraswasta

P: Apa yang bapak ketahui tentang waris?

J: Yang saya ketahui tentang waris yakni pembagian harta pusaka atau harta peninggalan dengan bagian “sepikul segendong” atau “dum-dum kupat” P: Maksud dari sepikul segendong atau dum-dum kupat?

J: Dalam istilah orang jawa “sepikul segendong adalah bagian anak laki-laki 2 sedang perempuan satu bagian, sedangkan istilah “dum-dum kupat” adalah pembagian sama rata antara laki-laki dan perempuan dan inilah yang sering terjadi dalam masyarakat jawa pada umumnya.

P: Bagaimana proses pembagian waris dalam keluarga Bapak?

J: Tradisi waris yang biasa terjadi dalam keluarga kami biasa diadakan

musyawarah atau rapat keluarga yang biasanya dipimpin oleh anak laki-laki tertua. Maka disinilah akan ditentukan proses selanjutnya. Kebetulan dari


(2)

pewaris dalam keluarga kami meninggalkan wasiat yang isinya menyuruh para ahli waris agar dalam pembagian waris dibagi secara sama rata.

P: Mungkin bisa dijelaskan alasan pembagian dengan cara tersebut?

J: Satu hal yang penting dalam hal ini adalah pelaksanaan wasiat dari orang tua, karena kami memanggap hal tersebut harus dilaksanakan . Karena saya pribadi dan keluarga menganggap pesan orang adalah pesan agama yang harus dilakasanakan. Pembagian sama rata artinya baik anak laki dan perempuan bagiannya sama dalam istila jawa disebut” dum-dum kupat”.

P:Bagimana bila anggota keluarga ada yang kurang setuju dengan pembagian itu? J: Alhamdulillah dalam keluarga kami semua sepakat jadi tidak ada masalah. P: Bagaimana menurut Bapak dengan pembagian sama rata atau dum-dum Kupat? J: Menurut saya sah-sah saja karena dari kerelaan dan kesepakatan keluarga.

Kerukunan dan persatuan keluarga lebih diutamakan. Mengingat banyak permusuhan dan pertengkaran keluarga disebabkan kerena harta warisan.


(3)

Responden

HASIL WAWANCARA DENGAN AHLI WARIS Nama :Firdaus Al Idrus

Umur : 37

Pekerjaan : Wiraswasta

P : Apa yang Bapak ketahui tentang Pembagian waris?

J : Proses pembagian harta peninggalan atau harta warisan yang biasanya setelah semua kewajiban telah terpenuhi/dilaksanakan.

P : Maksud dari kewajiban-kewajiban disini bagaimana Pak?

J : ya semacam pengurusan jenazah, pelunasan hutang bila ada, pelaksanaan wasiat jika pewaris meninggalkan wasiat, kebetulan dikeluarga kami tidak meninggalkan wasiat.

P : Proses pembagian waris sendiri bagaimana pak?

J : Sebenarnya tidak jauh beda dengan keluarga-keluarga lainnya yakni dengan mengumpulkan semua anggota keluarga kemudian akan diputuskan tentu dengan proses musyawarah bagimana harta warisan akan dibagi.


(4)

J : Setelah musyawarah keluarga selesai kemudian diputuskan pembagian waris dalam kelurga kami melalui Dirgama maksudnya pembagian waris dengan pembagian sama rata diantara para ahli waris baik laki maupun perempuan. P : Dasar dari pelaksanaan pembagian secara dirgama?

J : Menurut saya dasarnya adalah kerelaan diantara para ahli waris dalam menerima bagianya karena sebelumnya diadakan Musyawarah keluarga P : Menurut cara seperti itu dirasa adil dalam pembagian waris?

J : oh jelas karena disamping kerelaan diantara ahli waris juga

mempertimbangkan kerukunan dan persatuan keluarga dan inilah hal yang paling penting.

P: Bagaimana pendapat Bapak mengenai pembagian waris dua banding satu (2:1)?

J: hal tersebut menurut saya pribadi merupakan pembagian yang ada dalam hukum kewarisan Islam, tetapi ketika dihadapkan pada kondisi masyarakat yang menginginkan kesetaraan dalam pemabagian waris yakni pembagian yang sama antara laki-laki dan perempuan maka 2:1 perlu adanya perubahan dengan melihat pada kondisi dan struktur masyarakat.

P: Bagaimana dengan pembagian waris dalam adat jawa? J: yang saya ketahui ada dua cara pemabagian dalam adat jawa:

Sepikul segendong artinya dua banding satu dua bagian untuk laki-laki dan satu bagian untuk perempuan, hak ini tentu tidak ada masalah karena telah sesuai dengan hukum waris dalam Islam.


(5)

Dum-dum kupat artinya berimbang sama; bagian laki dan perempuan sama, hal ini tidak sesuai dengan hukum waris Islam, tetapi dalam hal penerapan menurut saya sah-sah saja karena demi kemaslahatan artinya kerukunan dan persatuan diantara anggoata keluarga dalam hal pembagian warisan.

Responden


(6)