tahun sampel setelah terjadinya krisis ekonomi 2003-2006, dan variabel independennya menggunakan rasio likuiditas Current Ratio, solvabilitas Debt To
Asset Ratio, Debt To Equity Ratio, Equity Multiplier, profitabilitas Gross Profit Margin, Net Profit Margin, Return On Investment, Return On Equity, dan aktivitas
Inventory Turn Over, Total Assets Turn Over.
1.2. Rumusan Masalah Penelitian
Berdasarkan uraian di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah analisis rasio keuangan mampu untuk mengukur tingkat kesehatan
pada perusahaan tekstil dan alas kaki yang go public di Bursa Efek Jakarta BEJ pada periode 2003-2006?
2. Rasio manakah yang paling dominan dalam memprediksi tingkat kesehatan perusahaan tekstil dan alas kaki yang go public di BEJ?
1.3. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui penggunaan analisis rasio keuangan dalam penilaian tingkat kesehatan perusahaan guna memprediksi kebangkrutan pada
perusahaan tekstil dan alas kaki yang go public di BEJ. 2. Untuk mengetahui, di antara rasio-rasio keuangan dalam analisis laporan
keuangan, manakah yang paling membedakan dominan dalam penilaian
tingkat kesehatan perusahaan guna memprediksi tingkat kebangkrutan perusahaan pada perusahaan tekstil dan alas kaki yang go public di BEJ.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi: 1. Peneliti
Menambah pengetahuan dan pemahaman dalam penggunaan analisis rasio keuangan dalam memprediksi tingkat kesehatan perusahaan.
2. Pihak perusahaan
Dapat digunakan sebagai acuan, bahan pertimbangan dan penilaian tingkat kesehatan atau kebangkrutan perusahaan, serta dapat dijadikan bahan
evaluasi perusahaan untuk penentuan kebijakan perusahaan di masa yang akan datang.
3. Dunia penelitian dan akademis Dapat menambah perbandingan atau literatur dan bahan referensi untuk
karya ilmiah ataupun penelitian-penelitian selanjutnya.
B A B II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Teori 2.1.1. Laporan Keuangan
Dalam Darsono dan Ashari 2005, laporan keuangan adalah informasi yang memuat tentang posisi keuangan, hasil usaha, perubahan ekuitas dan arus kas
perusahaan. Laporan keuangan menunjukkan kinerja keuangan perusahaan yang ditunjukkan dengan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan pendapatan dengan
sumber daya yang dimiliki oleh perusahaan. Laporan keuangan beserta pengungkapannya dibuat perusahaan dengan tujuan
memberikan informasi yang berguna untuk pengambilan keputusan-keputusan investasi dan pendanaan, seperti yang dinyatakan dalam SFAC No. 1 bahwa laporan
keuangan harus memberikan informasi: 1 untuk keputusan investasi dan kredit, 2 mengenai jumlah dan timing arus kas, 3 mengenai aktiva dan kewajiban, 4
mengenai kinerja perusahaan, 5 mengenai sumber dan penggunaan kas, 6 penjelasan dan interpretif, serta 7 untuk menilai stewardship. Ketujuh tujuan ini
terangkum dengan disajikannya laporan laba rugi, neraca, laporan arus kas, dan pengungkapan laporan keuangan.
Laporan keuangan yang lengkap biasanya meliputi neraca, laporan laba rugi, laporan perubahan posisi keuangan yang dapat disajikan dalam berbagai cara
misalnya, sebagai laporan arus kas atau laporan arus dana, catatan dan laporan lain serta materi penjelasan yang merupakan bagian integral dari laporan keuangan.
Disamping itu juga termasuk skedul dan informasi tambahan yang berkaitan dengan laporan tersebut, misalnya informasi keuangan segmen industri dan geografis serta
pengungkapan pengaruh perubahan harga IAI, 2004. Laporan keuangan juga dapat menurunkan asimetri informasi yaitu kondisi
dimana informasi yang dimiliki oleh satu pihak lebih banyak dibandingkan dengan pihak lainnya. Informasi dalam laporan keuangan dapat menurunkan perbedaan
informasi dengan menurunkan: a adverse selection, dengan cara memindahkan informasi privat yang dimiliki oleh manajer menjadi informasi publik. Adverse
selection adalah ketidakyakinan pada manajer atau pemilik karena salah satu pihak memiliki informasi yang lebih banyak dari lainnya, sehingga menguntungkan pihak
tertentu; b moral hazard yang dilakukan oleh manajer, karena perilaku manajer dapat dilihat dari pengaruhnya pada laba perusahaan atau aset perusahaan. Moral
hazard adalah sikap tidak melaksanakan apa yang seharusnya dilaksanakan, atau tidak melaksanakan kondisi ideal. Untuk melihat apakah perusahaan memenuhi
perjanjian kredit atau tidak dapat dilihat dari laporan keuangan Darsono dan Ashari, 2005.
2.1.2 Analisa Rasio Laporan Keuangan
Analisis laporan keuangan pada dasarnya mengkonversikan data yang berasal dari laporan keuangan sebagai bahan mentahnya menjadi informasi yang lebih
beragam, lebih mendalam dan lebih akurat bagi pihak-pihak yang memerlukan untuk pengambilan keputusan. Analisis atas laporan keuangan dan interpretasinya pada
hakekatnya adalah untuk mengadakan penilaian atas keadaan keuangan dan potensi suatu perusahaan melalui laporan keuangan tersebut.
Tujuan dari analisis laporan keuangan secara umum adalah sebagai berikut : 1. Investasi pada saham.
2. Pemberian kredit, dimana tujuan pokoknya adalah untuk menilai kemampuan perusahaan untuk mengembalikan pinjaman yang diberikan
beserta bunga yang berkaitan dengan pinjaman tersebut. 3. Kesehatan pemasok supplier. Mengetahui kondisi keuangan pemasok
sangat bermanfaat bagi perusahaan dalam melakukan negosiasi dengan pemasok.
4. Kesehatan pelanggan customer, yang tujuannya adalah untuk mengetahui informasi mengenai kemampuan pelanggan dalam memenuhi kewajiban
jangka pendeknya. 5. Kesehatan perusahaan ditinjau dari karyawan, bertujuan untuk memastikan
apakah perusahaan yang akan dimasuki mempunyai prospek keuangan yang bagus.
6. Pemerintah, untuk menentukan besarnya pajak yang dibayarkan. 7. Analisis internal, tujuannya adalah untuk mengetahui kondisi keuangan
perusahaan guna menentukan sejauh mana perkembangan perusahaan.
8. Analisis pesaing, untuk menentukan sejauh mana kekuatan keuangan pesaing yang dapat dipakai untuk penentuan strategi perusahaan.
9. Penilaian kerusakan. Analisis laporan keuangan sangat bergantung pada informasi yang diberikan
oleh laporan keuangan perusahaan. Laporan keuangan tidak akan bermakna jika tidak dilakukan analisis lebih jauh terhadap angka-angka yang terkandung didalamnya.
Angka-angka itulah yang kemudian dapat membentuk rasio-rasio keuangan. Rasio Keuangan dapat digunakan untuk mengidentifikasi beberapa kekuatan
dan kelemahan keuangan perusahaan . Rasio yang digunakan untuk membahas kinerja atau kegiatan operasi perusahaan hendaknya dapat memenuhi pertanyaan
berikut ini : 1. Seberapa jauh likuiditas perusahaan; 2. Apakah manajemen menghasilkan laba operasi yang cukup atas aktiva perusahaan ; 3. Bagaimana
perusahaan untuk mendanai aktivanya ; 4. Apakan para pemegang saham mendapatkan pengembalian yang cukup atas investasi mereka. ?
Analisis rasio keuangan merupakan suatu alat yang digunakan untuk mengetahui atau menggambarkan posisi kinerja keuangan perusahaan, yang
merupakan perbandingan dari dua unsur yang sistematis. Analisis dan interpretasi dari macam-macam rasio dapat memberikan pandangan yang lebih baik tentang
kondisi keuangan dan prestasi perusahaan dibandingkan analisis yang hanya didasarkan atas data keuangan sendiri-sendiri yang tidak berbentuk rasio Van Horne,
1995 dalam Sitanggang,2003. Analisis rasio adalah salah satu cara pemrosesan dan
penginterpretasian informasi akuntansi, yang dinyatakan dalam artian relatif maupun absolut untuk menjelaskan hubungan tertentu antara angka yang satu dengan angka
yang lainnya dari suatu laporan keuangan. Dalam analisis rasio, ada dua jenis perbandingan yang digunakan yaitu
perbandingan internal dan perbandingan eksternal. Perbandingan internal yaitu membandingkan rasio saat ini dengan rasio masa lalu dan rasio yang akan datang
untuk perusahaan yang sama. Sedangkan perbandingan eksternal adalah membandingkan rasio keuangan perusahaan dengan rasio perusahaan lainnya yang
sejenis atau dengan rata-rata industri pada satu titik yang sama. Perbandingan ini memberikan gambaran relatif dan pemahaman yang mendalam tentang kondisi dan
kinerja perusahaan, serta membantu mengidentifikasi penyimpangan dari rata-rata atau standar industri Darsono dan Ashari, 2005.
Manfaat analisis rasio bagi manajer digunakan untuk menganalisis, mengendalikan dan memperbaiki operasional perusahaan, bagi analisis kredit
digunakan untuk menentukan kemampuan perusahaan membayar hutangnya, bagi analisis sekuritas atau analisis saham yang berkepentingan atas efisiensi dan prospek
pertumbuhan perusahaan dan analisis obligasi yang berkepentingan atas kemampuan perusahaan dalam membayar bunga dan pokok obligasi serta nilai likuidasi aktiva
apabila terjadi kepailitan. Kelebihan analisis rasio keuangan dibandingkan teknik analisis lainnya adalah
Harahap, 2002 :
1. Rasio merupakan angka-angka atau ikhtisar statistik yang mudah dibaca dan ditafsirkan.
2. Merupakan pengganti yang lebih sederhana dari informasi yang disajikan oleh laporan keuangan yang rumit.
3. Mengetahui posisi perusahaan ditengah industri lain. 4. Sangat bermanfaat untuk mengambil bahan dalam mengisi model-model
pengambilan keputusan dan model prediksi Z-score. 5. Menstandari ukuran perusahaan.
6. Lebih mudah memperbandingkan perusahaan dengan perusahaan lain atau melihat perkembangan perusahaan secara periodik atau time series.
7. Lebih mudah melihat trend perusahaan serta melakukan prediksi di masa yang akan datang.
Teknik analisis rasio keuangan juga memiliki kelemahan sebagai berikut : a. Kesulitan dalam memilih rasio yang tepat dapat digunakan untuk
kepentingan pemakainya. b. Keterbatasan yang dimiliki akuntansi atau laporan keuangan juga menjadi
keterbatasan teknik ini seperti: 1 Bahan perhitungan rasio atau laporan keuangan itu banyak
mengandung taksiran yang dapat dinilai bias atau subyektif. 2 Nilai yang terkandung dalam laporan keuangan dan rasio adalah
nilai perolehan, bukan harga pasar.
3 Klasifikasi dalam laporan keuangan bisa berdampak pada angka rasio.
4 Metode pencatatan yang tergambar dalam standar akuntansi bisa diterapkan berbeda oleh perusahaan yang berbeda.
c. Jika data untuk menghitung rasio tidak tersedia maka akan menimbulkan kesulitan menghitung rasio.
d. Sulit jika data yang tersedia tidak sinkron. e. Jika dua perusahaan yang dibandingkan, bisa saja teknik dan standar
akuntansi yang dipakai tidak sama sehingga jika dilakukan perbandingan bisa menimbulkan kesalahan.
Selain itu, terdapat juga keterbatasan analisis rasio antara lain adalah Sawir, 2005 :
a Kesulitan dalam mengidentifikasi kategori industri dari perusahaan yang dianalisis apabila perusahaan tersebut bergerak di beberapa bidang usaha.
b Rasio disusun dari data akuntansi dan data tersebut dipengaruhi oleh cara penafsiran yang berbeda dan bahkan bisa merupakan hasil manipulasi.
c Perbedaan metode akuntansi akan menghasilkan perhitungan yang berbeda, misalnya perbedaan metode penyusutan atau metode penilaian persediaan.
Informasi rata-rata industri adalah data umum dan hanya merupakan perkiraan.
Keterbatasan analisis rasio yakni apabila dibandingkan rasio satu perusahaan dengan perusahaan lain bisa berakibat interpretasi yang berbeda karena penggunaan
metode yang berbeda dan bahkan bisa merupakan hasil manipulasi, tidak bisa dikatakan bahwa suatu rasio perusahaan lebih bagus dari perusahaan lainnya tanpa
adanya analisis yang mendalam, sulit mengidentifikasi kategori perusahaan dari perusahaan yang dianalisis apabila perusahaan tersebut bergerak di beberapa bidang
usaha. Namun, walaupun demikian analisis rasio tetap merupakan alat yang dapat dipakai sebagai pedoman untuk membantu mengevaluasi kondisi keuangan
perusahaan.
2.1.3. Pengelompokkan Rasio Keuangan
Pengelompokkan rasio keuangan yang digunakan adalah sebagai berikut Darsono dan Ashari, 2005 :
1. Rasio Likuiditas Terdiri dari Rasio Lancar total aktiva lancar : total utang lancar dan
rasio cair total aktiva lancar – persediaan ; utang lancar. Rasio likuiditas yang umum digunakan adalah current ratio. Current ratio rasio
lancar, yaitu kemampuan aktiva lancar perusahaan dalammemenuhi kewajiban jangka pendek dengan aktiva lancar yang dimiliki. Rasio lancar
merupakan ukuran yang paling umum digunakan untuk mengetahui kesanggupan memenuhi kewajiban jangka pendek karena rasio ini
menunjukkan seberapa jauh tuntutan dari kreditor jangka pendek dipenuhi oleh aktiva yang diperkirakan menjadi uang tunai dalam periode yang
sama dengan jatuh tempo utang. Rasio lancar yang rendah biasanya dianggap menunjukkan terjadinya masalah dalam likuiditas, namun
sebaliknya apabila rasio lancarnya terlalu besar menunjukkan bahwa pengelolaan aktiva lancar kurang bagus karena menunjukkan banyaknya
dana menganggur yang pada akhirnya dapat mengurangi kemampuan laba perusahaan Sawir, 2005.
2. Rasio Solvabilitas Solvabilitas adalah kemampuan untuk membayar utang jangka panjang,
baik utang pokok maupun bunganya Kuswadi, 2006. Rasio-rasio yang dapat digunakan untuk mengukur solvabilitas adalah :
a. Debt to Asset Ratio DAR = total utang : total aktiva, atau disebut juga leverage atau debt ratio. Rasio ini menekankan pentingnya pendanaan
hutang dengan jalan menunjukkan persentase aktiva perusahaan yang didukung oleh hutang. Rasio ini juga menyediakan informasi tentang
kemampuan perusahaan dalam mengadaptasi kondisi pengurangan aktiva akibat kerugian tanpa mengurangi pembayaran bunga pada
kreditor. Nilai rasio yang tinggi menunjukkan peningkatan dari risiko pada kreditor berupa ketidakmampuan perusahaan dalam membayar
semua kewajibannya. Dari pihak pemegang saham, rasio yang tinggi
akan mengakibatkan pembayaran bunga yang tinggi yang pada akhirnya akan mengurangi pembayaran dividen.
b. Debt to Equity Ratio DER = total utang : total ekuitas, menunjukkan persentase penyediaan dana oleh pemegang saham terhadap pemberi
pinjaman. Rasio ini menggambarkan perbandingan utang dan ekuitas dalam pendanaan perusahaan dan menunjukkan kemampuan modal
sendiri perusahaan tersebut untuk memenuhi seluruh kewajibannya. Semakin kecil angka rasio, semakin baik solvabilitas perusahaan.
c. Equity Multiplier EM = total aktiva : total ekuitas, menunjukkan kemampuan perusahaan dalam mendayagunakan ekuitas pemegang
saham. Rasio ini juga bisa diartikan sebagai besarnya porsi dari aktiva perusahaan yang dibiayai oleh pemegang saham. Semakin kecil rasio
ini, berarti porsi pemegang saham akan semakin besar sehingga kinerjanya semakin baik karena persentase untuk pembayaran bunga
semakin kecil. 3. Rasio Profitabilitas
Profitabilitas kemampulabaan merupakan hasil akhir bersih dari berbagai kebijakan dan keputusan manajemen. Rasio profitabilitas akan
memberikan gambaran tentang efektivitas manajemen perusahaan dan tingkat efektivitas pengelolaan perusahaan Sawir,2005. Rasio
profitabilitas yang umum digunakan adalah :
a. Gross Profit Margin GPM = laba kotor : penjualan bersih. Rasio ini mengukur efisiensi pengendalian harga pokok atau biaya produksinya,
mengindikasikan kemampuan perusahaan untuk berproduksi secara efisien. Semakin tinggi angka rasio, semakin baik karena
menunjukkan peningkatan presentase laba bersih operasi terhadap hasil penjualannya. Kegunaan rasio ini adalah mutu pengelolaan harga
pokok produksi yang berarti kinerja bagian produksi dapat dimonitor dari waktu ke waktu dan untuk meramalkan besarnya laba kotor pada
waktu yang akan datang atas dasar estimasi penjualan Kuswadi, 2006.
b. Net Profit Margin NPM = laba bersih : penjualan bersih. Rasio ini digunakan untuk menilai kinerja perusahaan dari waktu ke
waktu dalam hal profitabilitas dan juga dapat dipakai untuk memperkirakan atau meramalkan laba bersih perusahaan pada masa
yang akan datang atas dasar estimasi penjualannya Kuswadi, 2006. c. Return On Investment ROI = laba bersih : total aktiva.
Rasio ini juga sering disebut Return On Asset ROA. Rasio ini menggambarkan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan
keuntungan dari setiap satu rupiah aset yang digunakan, dan juga memberikan ukuran yang lebih baik atas profitabilitas perusahaan
karena menunjukkan efektivitas manajemen dalam menggunakan
aktiva untuk memperoleh pendapatan dan dapat menilai apakah perusahaan efisien dalam memanfaatkan aktivanya dalam kegiatan
operasional perusahaan. Rasio ini memberikan indikasi kepada kita tentang baik buruknya manajemen dalam melaksanakan kontrol biaya
ataupun pengelolaan hartanya. Semakin besar rasio ini semakin baik karena berarti semakin besar kemampuan perusahaan dalam
menghasilkan laba Kuswadi, 2006. d. Return On Equity ROE = laba bersih ; total ekuitas.
Rasio ini memperlihatkan sejauh manakah perusahaan mengelola modal sendiri secara efektif, mengukur tingkat keuntungan dari
investasi yang telah dilakukan pemilik modal sendiri atau pemegang saham perusahaan. Rasio ini membuat manajemen dapat melihat
secara fokus besarnya laba bersih yang dapat dihasilkan dari jumlah modal yang ditanam oleh para pemegang saham. ROE menunjukkan
rentabilitas modal sendiri atau yang sering disebut sebagai rentabilitas usaha Sawir, 2005. Dari perspektif pemegang saham, rasio ini
menunjukkan kesuksesan manajemen dalam memaksimalkan tingkat pengembalian kepada pemegang saham. Semakin tinggi rasio ini akan
semakin baik karena memberikan tingkat pengembalian yang lebih besar pada pemegang saham.
4. Rasio Aktivitas Rasio aktivitas mengukur seberapa efektif perusahaan memanfaatkan
semua sumber daya yang ada pada pengendaliannya. Rasio-rasio aktivitas yang umum digunakan adalah :
a. Inventory Turn Over ITO = harga pokok penjualan : persediaan atau rasio perputaran persediaan. Rasio ini berguna untuk mengetahui
kemampuan perusahaan dalam mengelola persediaan, dalam arti berapa kali persediaan yang ada akan diubah menjadi penjualan
dalam bentuk produk jadi. Rasio ini juga menggambarkan perputaran persediaan–semakin besar rasio ini akan semakin baik. Semakin tinggi
perputaran persediaan ini, semakin singkat atau semakin baik waktu rata-rata antara penanaman modal dalam persediaan dan transaksi
penjualan. Ini menunjukkan semakin tingginya tingkat permintaan atau penjualan produk perusahaan, semakin efisiennya kerja tim
manajemen persediaan, dan mungkin semakin tingginya laba yang diperoleh. Walaupun demikian, tingkat perputaran persediaan yang
tinggi juga dapat memberikan indikasi tentang kekurangan stok persediaan, yang dapat menyebabkan kehilangan order penjualan
Kuswadi, 2006:110. Rasio perputaran persediaan yang terlalu rendah menunjukkan lambatnya penjualan atau terlalu banyaknya persediaan
yang ada di tangan.
b. Total Assets Turn Over TATO = penjualan bersih : total aktiva. Kemampuan perusahaan dalam menggunakan seluruh aktiva yang
dimiliki untuk menghasilkan penjualan atau berapa rupiah penjualan bersih yang dapat dihasilkan oleh setiap rupiah yang di
investasikan dalam bentuk harta perusahaan digambarkan dalam rasio ini sehingga kita dapat mengetahui efektifitas penggunaan
seluruh aktiva perusahaan dalam menghasilkan penjualan. Rule of thumb rasio ini bagi perusahaan yang produktif harus di atas 1,
kalau perputarannya lambat menunjukkan bahwa aktiva yang dimiliki terlalu besar dibandingkan dengan kemampuan untuk
menjual.
2.1.4. Kebangkrutan atau Kegagalan Usaha
Kebangkrutan telah digunakan sebagai istilah umum untuk menerangkan keadaan perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan Karel Prakash, 1987
dalam Lisetiaty. Para peneliti telah menggunakan istilah failure kegagalan dan bankruptcy kebangkrutan secara bergantian.
Prediksi kebangkrutan usaha berfungsi untuk memberikan panduan bagi pihak-pihak tentang kinerja keuangan perusahaan apakah akan mengalami kesulitan
keuangan atau tidak di masa mendatang. Salah satu indikator yang dipakai untuk mengetahui tingkat kebangkrutan perusahaan adalah indikator keuangan. Kebanyakan
penyebab kebangkrutan dimulai dari adanya kesulitan keuangan. Kesulitan keuangan dapat diartikan sebagai ketidakmampuan perusahaan untuk membayar kewajiban
keuangannya pada saat jatuh tempo yang menyebabkan kebangkrutan perusahaan. Untuk menilai kesulitan keuangan yang akan diderita oleh perusahaan
terdapat beberapa indikator yang dapat dijadikan panduan. Indikator pertama adalah informasi arus kas sekarang dan arus kas untuk periode mendatang. Informasi arus
kas memberikan gambaran sumber-sumber dan penggunaan kas perusahaan. Sumber yang kedua adalah dari analisis posisi dan strategi perusahaan dibandingkan dengan
pesaing. Informasi ini memberikan gambaran posisi perusahaan dalam persaingan bisnis yang merujuk pada kemampuan perusahaan dalam menjual produk atau
jasanya untuk menghasilkan kas Darsono dan Ashari, 2005. Informasi kebangkrutan bisa bermanfaat bagi beberapa pihak sebagai berikut :
1. Pemberi pinjaman seperti pihak bank. Informasi kebangkrutan bisa bermanfaat untuk mengambil keputusan siapa yang akan diberi pinjaman,
dan kemudian bermanfaat untuk kebijakan memonitor pinjaman yang ada. 2. Investor. Investor saham atau obligasi yang dikeluarkan oleh suatu
perusahaan tentunya akan sangat berkepentingan melihat adanya kemungkinan bangkrut atau tidaknya perusahaan yang menjual surat
berharga tersebut. Investor yang menganut strategi aktif akan mengembangkan model prediksi kebangkrutan untuk melihat tanda-tanda
kebangkrutan sedini mungkin dan kemudian mengantisipasi kemungkinan tersebut.
3. Pihak pemerintah. Pada beberapa sektor usaha, lembaga pemerintah mempunyai tanggung jawab untuk mengawasi jalannya usaha tersebut
misalnya pada sektor perbankan. Pemerintah juga mempunyai badan- badan usaha BUMN yang harus melihat tanda-tanda kebangkrutan lebih
awal supaya tindakan-tindakan yang diperlukan bisa dilakukan lebih awal. 4. Akuntan, yang mempunyai kepentingan terhadap informasi kelangsungan
suatu usaha karena akuntan akan menilai kemampuan going concern suatu perusahaan.
5. Manajemen. kebangkrutan berarti munculnya biaya-biaya yang berkaitan dengan kebangkrutan dan biaya tersebut cukup besar. Apabila manajemen
bisa mendeteksi kebangkrutan ini lebih awal, maka tindakan-tindakan penghematan bisa dilakukan misalnya dengan melakukan merger atau
restrukturisasi keuangan sehingga biaya kebangkrutan bisa dihindari. Dalam Darsono dan Ashari 2005, secara garis besar penyebab kebangkrutan
bisa dibagi menjadi dua yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang berasal dari bagian internal manajemen perusahaan. Sedangkan
faktor eksternal bisa berasal dari faktor luar yang berhubungan langsung dengan operasional perusahaan atau faktor perekonomian secara makro.
Faktor-faktor internal yang dapat menyebabkan kebangkrutan perusahaan meliputi :
a. Manajemen yang tidak efisien akan mengakibatkan kerugian terus menerus yang pada akhirnya menyebabkan perusahaan tidak dapat membayar
kewajibannya. Ketidakefisienan ini diakibatkan oleh pemborosan dalam biaya, kurangnya keterampilan dan keahlian manajemen.
b. Ketidakseimbangan dalam modal yang dimiliki dengan jumlah piutang- hutang yang dimiliki. Hutang yang terlalu besar akan mengakibatkan
biaya bunga yang besar sehingga memperkecil laba bahkan bisa menyebabkan kerugian. Piutang yang terlalu besar juga akan merugikan
karena aktiva yang menganggur terlalu banyak sehingga tidak menghasilkan pendapatan.
c. Moral hazard oleh manajemen. Kecurangan yang dilakukan oleh manajemen perusahaan bisa mengakibatkan kebangkrutan. Kecurangan ini
akan mengakibatkan kerugian bagi perusahaan yang pada akhirnya membangkrutkan perusahaan. Kecurangan dapat berupa manajemen yang
korup atau memberikan informasi yang salah pada pemegang saham atau investor. Kasus bank yang melakukan pelanggaran batas maksimum
pemberian kredit adalah contoh kasus moral hazard dimana manajemen melakukan pelanggaran terhadap rambu-rambu pengelolaan perusahaan.
Kasus Enron adalah salah satu kasus dimana manajemen melakukan kecurangan dengan menyembunyikan kerugian yang besar.
Sedangkan, faktor-faktor eksternal yang bisa mengakibatkan kebangkrutan adalah sebagai berikut :
1. Perubahan dalam keinginan pelanggan yang tidak diantisipasi oleh perusahaan yang mengakibatkan pelanggan lari atau berpindah sehingga
terjadi penurunan dalam pendapatan. Untuk menjaga hal tersebut perusahaan harus selalu mengantisipasi kebutuhan pelanggan dengan
menciptakan produk yang sesuai dengan kebutuhan pelanggan. 2. Kesulitan bahan baku karena supplier tidak dapat memasok lagi kebutuhan
bahan baku yang digunakan untuk produksi. Untuk mengantisipasi hal tersebut, perusahaan harus selalu menjalin hubungan baik dengan supplier
dan tidak menggantungkan kebutuhan bahan baku pada satu supplier sehingga risiko kekurangan bahan baku dapat diatasi.
3. Faktor debitor juga harus diantisipasi untuk menjaga agar debitor tidak melakukan kecurangan. Terlalu banyak piutang yang diberikan kepada
debitor dengan jangka waktu pengembalian yang lama akan mengakibatkan banyak aktiva menganggur yang tidak memberikan
penghasilan sehingga mengakibatkan kerugian yang besar bagi perusahaan. Untuk mengantisipasi hal tersebut, perusahaan harus selalu
memonitor piutang yang dimiliki dan keadaan debitor agar dapat melakukan perlindungan dini terhadap aktiva perusahaan.
4. Hubungan yang tidak harmonis dengan kreditor juga bisa berakibat fatal terhadap kelangsungan hidup perusahaan. Apalagi dalam Undang-Undang
No.4 tahun 1998 yang dirubah dengan Undang-Undang No 37 tahun 2004, kreditor bisa mempailitkan perusahaan. Untuk mengantisipasi hal tersebut,
perusahaan harus bisa mengelola hutangnya dengan baik dan juga membina hubungan baik dengan kreditor.
5. Persaingan bisnis yang semakin ketat menuntut perusahaan agar selalu memperbaiki diri sehingga bisa bersaing dengan perusahaan lain dalam
memenuhi kebutuhan pelanggan. Semakin ketatnya persaingan menuntut perusahaan agar selalu memperbaiki produk yang dihasilkan, memberikan
nilai tambah yang lebih baik lagi kepada pelanggan. 6. Kondisi perekonomian secara global juga harus selalu diantisipasi oleh
perusahaan. Kasus perkembangan pesat ekonomi Cina yang mengakibatkan tersedotnya kebutuhan bahan baku ke Cina dan
kemampuan Cina memproduksi barang dengan harga yang murah adalah contoh kasus perekonomian global yang harus diantisipasi oleh
perusahaan. Tingginya kebutuhan baja di Cina yang mengakibatkan harga baja naik tajam, mengakibatkan banyak industri pengecoran logam di
daerah Klaten bangkrut karena biaya yang mengalami kenaikan sehingga produknya menjadi tidak kompetitif.
2.2. Peneliti Terdahulu
Rasio-rasio keuangan memberikan indikasi tentang kekuatan keuangan dari suatu perusahaan. Dengan analisis rasio keuangan dapat diprediksi tingkat kesehatan
perusahaan guna memprediksi kebangkrutan perusahaan. Rasio keuangan ini bertujuan untuk mengukur kinerja perusahaan dari berbagai aspek kinerja, apakah
kinerja perusahaan mengalami kemajuan atau bahkan mengalami kemunduran yang akan berakibat pada kebangkrutan. Ukuran kinerja pertama yang diukur adalah
ukuran likuiditas, dimana ukuran ini mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban yang jatuh tempo dalam jangka pendek. Ukuran kinerja kedua
adalah solvabilitas yang mengukur kinerja perusahaan dalam memenuhi kewajiban yang jatuh tempo dalam jangka panjang. Ukuran ketiga adalah profitabilitas yang
mengukur kinerja perusahaan dalam menghasilkan keuntungan dengan sumber daya yang dimiliki. Ukuran berikutnya adalah aktivitas yang mengukur efektifitas dan
efisiensi dalam menggunakan aktiva. Beberapa peneliti terdahulu telah banyak melakukan penelitian mengenai
kebangkrutan perusahaan. Studi kali pertama dilakukan oleh Beaver 1966 dalam Aryati dan Manao 2000 yang membandingkan masing-masing rasio-rasio
perusahaan bangkrut dengan perusahaan tidak bangkrut yang dilakukannya pada lima
tahun sebelum terjadi kebangkrutan. Beaver melakukan pengamatan terhadap perkembangan rasio-rasio tersebut dengan menggunakan sampel 158 perusahaan
yang terdiri dari 79 perusahaan yang mengalami kegagalan dan 79 perusahaan yang sukses selama lima tahun sebelum terjadi kebangkrutan. Dalam studinya, Beaver
membuat lima kelompok rasio keuangan dan membuat univariate analysis yaitu menghubungkan tiap-tiap rasio untuk menentukan rasio mana yang paling baik
digunakan sebagai prediktor. Kelima kelompok rasio tersebut terdiri dari cash flows to total debt ratio, net income to total assets ratio, current assets to current liabilities
ratio, total debt to total assets ratio, dan working capital to total assets ratio. Beaver menemukan sampel perusahaan yang gagal dengan perusahaan yang tidak gagal
kemudian meneliti rasio keuangan selama lima tahun sebelum perusahaan gagal dan menemukan bahwa terdapat rasio keuangan perusahaan yang tidak gagal berbeda
dengan yang gagal. Pada perusahaan yang gagal, cash flows to total debt lebih rendah, cadangan aktiva lancar untuk melunasi kewajibannya lebih kecil dan
hutangnya lebih besar dibandingkan perusahaan yang tidak gagal. Kelima rasio keuangan yang digunakan sebagai prediktor tersebut kemudian diuji tingkat
kesalahannya yang menunjukkan kemungkinan terjadinya kesalahan dalam pengklasifikasian suatu perusahaan.
Selanjutnya hasil pengujian rasio tersebut diranking dimana tingkat persentase kesalahan terkecil dipertimbangkan sebagai “Best Predictor”, berikutnya “Second
Best Predictor” dan seterusnya hingga “The Worst Predictor”. Kesimpulannya,
Beaver menemukan bahwa analis rasio keuangan terbukti sangat berguna untuk memprediksi kebangkrutan dan dapat digunakan untuk membedakan secara akurat
perusahaan yang akan jatuh bangkrut dan yang tidak. Altman 1968 dengan judul “Financial Ratios, Discriminant Analysis and
The Prediction of Corporate Bankruptcy” yang dalam penelitiannya mencoba satu penilaian atas kualitas analisis rasio sebagai satu teknik analisis dan prediksi
kebangkrutan perusahaan digunakan sebagai kasus ilustrasi. Altman menggunakan analisis multiple diskriminan dengan menyusun suatu model untuk memprediksi
kebangkrutan perusahaan, yang mana terbukti sangat akurat dalam memprediksi kebangkrutan secara benar. Data yang digunakan adalah perusahaan manufaktur.
Analisis diskriminan menghasilkan suatu indeks yang memungkinkan klasifikasi dari suatu pengamatan menjadi satu dari beberapa pengelompokan yang bersifat a priori.
Untuk menyelidiki kinerja perusahaan menggunakan rasio profitabilitas, likuiditas dan solvabilitas sebagai indikasi yang paling efektif dari masalah yang akan datang.
Altman menemukan lima rasio yang dapat dikombinasikan untuk melihat perbedaan antara perusahaan yang bangkrut dan tidak bangkrut Sawir, 2006:23. Lima jenis
rasio yang digunakan Altman adalah working capital to total assets, retained earnings to total assets, EBIT to total
assets, market value of equity to book value of total debts, dan sales to total assets. Dalam penelitiannya, rasio working capital to total assets digunakan untuk
mengukur likuiditas aktiva perusahaan relatif terhadap total kapitalisasinya. Rasio
retained earnings to total assets digunakan untuk mengukur profitabilitas kumulatif. Rasio EBIT to total assets digunakan untuk mengukur produktivitas yang sebenarnya
dari aktiva perusahaan. Rasio market value of equity to book value of total debts digunakan untuk mengukur seberapa banyak aktiva perusahaan dapat turun nilainya
sebelum jumlah hutang lebih besar daripada aktivanya dan perusahaan menjadi insolvable. Rasio sales to total assets digunakan untuk mengukur kemampuan
manajemen dalam menghadapi kondisi persaingan. Dari rasio-rasio tersebut Darsono dan Ashari, 2005, Altman
memformulasikan dalam bentuk persamaan yang kemudian dikenal dengan formula Z-score yang merupakan kombinasi dari beberapa rasio keuangan yang dianggap
dapat memprediksi terjadinya kebangkrutan perusahaan. Fungsi diskriminan Z Zeta yang ditemukannya adalah:
Z = 1,2 WCTA + 1,4 RETA + 3,3 EBITTA + 0,6 MVEBVL + 1 STA
dimana, WCTA
: Working Capital to Total Assets modal kerja dibagi total aset RETA
: Retained Eearnings to Total Assets laba ditahan dibagi total aset EBITTA
: Earnings Before Interests and Taxes to Total Assets laba sebelum pajak dan bunga dibagi total aset
MVEBVL : market value of equity to book value of total debt nilai pasar ekuitas
dibagi dengan nilai buku hutang STA
: sales to total assets penjualan dibagi total aset
Hasil perhitungan Z-score dapat di interpretasikan sebagai berikut : Z2,99
: perusahaan tidak mengalami masalah dengan kondisi keuangan.
2,7Z2,99 : perusahaan mempunyai sedikit masalah keuangan meskipun tidak serius.
1,8Z2,69 : perusahaan akan mengalami permasalahan keuangan jika tidak melakukan perbaikan yang berarti dalam manajemen
maupun struktur keuangan. Z1,88
: perusahaan mengalami masalah keuangan yang serius. Versi ini dapat dipergunakan untuk perusahaan publik maupun perusahaan
pribadi, dan untuk perusahaan manufaktur maupun perusahaan jasa. Z-score yang pertama kali dikembangkan untuk menentukan kecenderungan kebangkrutan dapat
juga digunakan sebagai ukuran dari keseluruhan kinerja keuangan perusahaan. Menurut Almilia 2003 Model kebangkrutan Altman tidak dapat digunakan
dewasa ini karena beberapa alasan yaitu: 1. Dalam membentuk model ini hanya memasukkan perusahaan manufaktur
saja, sedangkan perusahaan yang memiliki tipe lain memiliki hubungan yang berbeda antara total modal kerja dan variabel lain yang digunakan
dalam analisis rasio. 2. Penelitian yang dilakukan Altman pada tahun 1946 sampai dengan 1965,
yang tentu saja berbeda dengan kondisi sekarang. Sehingga proporsi untuk setiap
variabel sudah tidak tepat lagi untuk digunakan. Tahun 1984, Altman melakukan penelitian kembali di berbagai negara. Penelitian ini memasukkan dimensi
internasional, sehingga Z scorenya diubah menjadi formula:
Indeks kebangkrutan = 0.717 WCTA + 0.847 RETA + 3.107 EBITTA + 0.420 MVEBVD + 0.998 STA.
Deakin 1972 mencoba untuk mengembangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh pendahulunya Beaver 1966 dan Altman 1968. Sampel yang
digunakan sebanyak 32 perusahaan yang gagal, dan dibandingkan dengan perusahaan yang tidak gagal selama periode antara tahun 1964 sampai dengan 1970 atas dasar
klasifikasi industri, ukuran aset dan tahun data. Dalam penelitiannya, Deakin menggunakan analisis multiple discriminant dan 14 rasio keuangan yang diuji Beaver
guna menemukan kombinasi variabel-variabel yang mempunyai keakuratan prediksi yang baik. Deakin menemukan bahwa rasio cash flow to total debts adalah variabel
yang paling baik dalam memprediksi kebangkrutan. Penelitian Zmijewski 1983 menambah validitas rasio keuangan sebagai alat
deteksi kegagalan perusahaan. Zmijewski menelaah ulang studi di bidang kebangkrutan hasil riset sebelumnya selama dua puluh tahun. Rasio keuangan dipilih
dari rasio-rasio keuangan penelitian terdahulu dan diambil sampel sebanyak 75 perusahaan yang bangkrut serta 3573 perusahaan sehat periode 1972 sampai dengan
1978. Indikator F-test terhadap rasio-rasio kelompok: rate of return, liquidity, leverage, turnover, fixed payment coverage, trends, firm size, dan stock return
volality; menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara perusahaan yang sehat dan yang bangkrut.
Peneliti lainnya di Indonesia dilakukan oleh Machfoedz 1999 yang melakukan penelitian terhadap seluruh perusahaan go public di ASEAN Thailand,
Singapura, Malaysia, dan Indonesia, yang meliputi seluruh perusahaan maufaktur yang listing di pasar modal tiap negara yang dipilih tersebut. Rasio-rasio keuangan
yang digunakan adalah liquidity, solvency, profitability total, dan profitability internal. Machfoedz menggunakan prosedur dan metode statistik parametrik dan non-
parametrik berupa t-test uji beda dua sampel, Wilcoxon Sign Rank Test, Wilks’ Lambda MANOVA, dan Friedman K-Independent Samples.
Untuk memprediksi tingkat kesulitan keuangan perusahaan digunakan analisis Z- score dalam menilai kesehatan perusahaan. Dari hasil penelitiannya, dapat
disimpulkan bahwa informasi keuangan dalam bentuk rasio dapat digunakan untuk mendeteksi kesehatan perusahaan.
Aryati dan Manao 2000 melakukan penelitian untuk menguji apakah terdapat perbedaan rata-rata yang signifikan tingkat kesehatan bank yang diukur
menurut rasio CAMEL antara bank yang sehat dengan bank yang gagal di Indonesia dan untuk melihat rasio keuangan mana saja yang mendiskriminankan antara bank
yang sehat dengan bank yang gagal. Dengan penelitian ini dapat diidentifikasi rasio- rasio keuangan yang dapat digunakan untuk memprediksi kesehatan perbankan di
Indonesia. Data penelitian meliputi laporan keuangan bank-bank dari tahun 1993 sampai tahun 1997. Ada tujuh variabel independen yang digunakan yaitu capital
adequacy ratio CAR, return on risked assets RORA, net profit margin NPM,
return on assets ROA, rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional BOPO, rasio kewajiban bersih call money terhadap aktiva lancar, dan rasio kredit
terhadap dana yang diterima. Model penelitian ini adalah univariate analysis dan multivariate discriminant
analysis. Hasil dari uji univariat menunjukkan bahwa dua variabel, yaitu NPM dan BOPO, tidak signifikan dengan sehat atau bangkrutnya bank-bank dalam sampel.
Tidak adanya perbedaan rata-rata NPM yang signifikan antara bank yang sehat dengan bank yang gagal mungkin disebabkan adanya proporsionalitas antara net
income dengan operating income. Begitu juga dengan BOPO, adanya proporsionalitas mungkin merupakan penyebab tidak adanya perbedaan rata-rata
BOPO antara bank yang sehat dengan bank yang gagal. Sedangkan, hasil uji multivariat menunjukkan dua variabel lain yaitu NPM dan CAR ternyata tidak
menunjukkan hubungan signifikan dengan kesehatan bank. Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian sebelumnya Altman, 1968; Deakin, 1972; Ohlson, 1980
tentang kegagalan bisnis. Pengujian diskriminan menunjukkan variable ROA dan rasio kredit terhadap dana yang diterima yang merupakan ukuran profitabilitas
mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan bank. Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Lisetyati Eni 2000 dengan
menganilisis laporan keuangan sebagai alat prediksi kebangkrutan bank, variable penelitian dipilih 11 rasio keuangan dengan menggunakan metode CAMEL sebagai
alat analisis terhadap kebangkrutan. Bank yang dipilih sebanyak 161 Bank dalam
tahun 1993 – 1997. Pengujian multivariate dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh rasio keuangan yang dipilih melalui prosedur backward stepwise conditional
bersam-sama mampu memprediksi dengan benar bank yang akan bangkrut. Penelitian lain juga dilakukan oleh Eva Rianti 2003 yang meneliti kinerja
keuangan perusahaan sebelum dan selama masa krisis ekonomi Indonesia serta prediksi kebangkrutan perusahaan yang mengambil sample perusahaan automotive
and component yang go public di Bursa Efek Jakarta. Dalam penelitian ini digunakan model multiple discriminant analysis DMA untuk memprediksi kebangkrutan
dengan menghitung rasio aktiva lancer terhadap total aktiva, laba ditahan terhadap total asset, laba opersional terhadap total asset, total nilai saham dibursa terhadap
total hutang, dan penjualan terhadap total asset. Disimpulkan bahwa model MDA hanya dapat digunakan memprediksi kebangkrutan dalam jangka pendek yaitu 1 dan
2 tahun ke depan. Penelitian berkaitan dengan prediksi kebangkrutan bank di Indonesia
dilakukan oleh Wilopo 2001. Penyampelan dalam penelitian ini dilakukan secara cluster yaitu 235 bank pada akhir tahun 1996 dibagi menjadi 16 bank terlikuidasi dan
219 bank yang tidak dilikuidasi, selanjutnya diambil 40 sebagai sampel estimasi, terdiri atas 7 bank
terlikuidasi dan 87 bank yang tidak dilikuidasi. Kemudian dari 215 bank pada akhir tahun
1997 yang terdiri atas 38 bank terlikuidasi dan 177 bank pada tahun 1999 yang tidak dilikuidasi, diambil 40 sebagai sampel validasi yang terdiri atas 16 bank terlikuidasi
dan 70 bank yang tidak dilikuidasi. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini untuk memprediksikan kebangkrutan bank adalah rasio keuangan model CAMEL 13
rasio, besaran size bank yang diukur dengan log. assets, dan variabel dummy kredit lancar dan manajemen. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara
keseluruhan tingkat prediksi variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini tinggi lebih dari 50 sebagai cutoff value-nya. Tetapi jika dilihat dari tipe
kesalahan yang terjadi tampak bahwa kekuatan prediksi untuk bank yang dilikuidasi 0 karena dari sampel bank yang dilikuidasi, semuanya diprediksikan tidak
dilikuidasi. Dengan demikian hasil penelitian ini tidak mendukung hipotesis yang diajukan bahwa “rasio keuangan model CAMEL, besaran size bank serta kepatuhan
terhadap Bank Indonesia” dapat digunakan untuk memprediksikan kegagalan bank di Indonesia. Simpulan ini diambil didasarkan atas tipe kesalahan yang terjadi, khusus
kasus di Indonesia ternyata rasio CAMEL serta variabel-variabel independen lain yang digunakan dalam penelitian ini belum dapat memprediksikan kegagalan bank.
Dengan demikian perlu eksplorasi lebih lanjut terhadap variabel lain di luar rasio keuangan agar diperoleh model yang lebih tepat untuk memprediksikan kegagalan
bank. Simpulan teori dan bukti empiris yang telah dipaparkan sebelumnya dapat
menjadi acuan bahwa analisis rasio keuangan dapat digunakan dalam mengukur
kebangkrutan perusahaan dan secara signifikan dapat membedakan status pengelompokan perusahaan. Hasil dari analisis juga membuktikan bahwa ukuran
profitabilitas perusahaan menjadi ukuran yang dominan dalam memprediksi kebangkrutan. Rasio-rasio keuangan dianalisis untuk dapat mengelompokkan apakah
perusahaan bangkrut atau sehat tidak bangkrut. Dari rasio-rasio keuangan tersebut, kemudian, dianalisis untuk menentukan rasio yang paling dominan mengukur tingkat
kebangkrutan masing-masing kelompok dan membedakan rasio tersebut antara kategori pengelompokan perusahaan.
2.3. Kerangka Konseptual