4 Sebagian besar guru PKn mengungkapkan bahwa pelaksanaan penilaian
PKn banyak dilakukan untuk mengukur hasil belajar, penilaian terhadap aspek afektif sangat kurang dan hanya sebatas pada pembuatan tugas-tugas dan pekerjaan
rumah. Ranah yang dinilai terbatas pada aspek kognitif level rendah, lebih banyak akibatnya mereka hanya menggunakan tes untuk mengukur aspek kognitif, dan
itupun hanya menekankan pada aspek pengulangan materihafalan sejumlah konsep. Oleh karenanya urgensi penelitian ini adalah dalam rangka memberikan solusi bagi
guru-guru PKn di SMP dalam mengukur pencapaian tujuan PKn domain afektif. Dengan demikian dapat mencapai hakekat tujuan PKn jika dilihat di dalam
kurikulum PKn yang secara umum tidak lain adalah menghasilkan seorang warganegara yang mempunyai civic intellegence, civic responsibility dan civic
participation , yang pada akhirnya tujuan PKn adalah menjadikan lulusannya
sebagai warganegara yang baik good citizenship, yang mempunyai sikap dan perilaku yang baik sulit dicapai jika semata-mata hanya mengukur domain kognitif
saja. Berdasarkan hasil analisis, wawancara dengan beberapa guru PKn yang
mengajar di SMP maupun beberapa hasil penelitian yang berkenaan dengan penilaian domaian afektif pada matapelajaran PKn di SMP, maka peneliti
bermaksud menerapkan instrumen penilaian domain afektif pada matapelajaran PKn di SMP.
Penilaian sebagai bagian integral dari pembelajaran hendaknya tidak dilakukan sesaat, tetapi harus dilakukan secara berkala, berkesinambungan, dan
menyeluruh yang meliputi semua komponen proses dan hasil belajar siswa. Berkaitan dengan kesulitan guru dalam menilai kemampuan afektif pada
matapelajaran PKn di SMP itulah, maka peneliti merasakan perlunya dilakukan perancangan dan pengembangan instrumen penilaian domain afektif secara khusus.
Oleh karena itu penelitian ini berjudul “Pengembangan Instrumen Penilaian Domain Afektif pada Matapelajaran PKn di Sekolah Menengah Pertama”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : bagaimanakah model instrumen penilaian domain afektif yang dapat
5 digunakan untuk mengukur kemampuan afektif siswa Sekolah Menengah Pertama
pada matapelajaran PKn ?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengembangkan dan menghasilkan model penilaian domain afektif untuk mengukur kemampuan afektif siswa SMP pada
matapelajaran PKn di Sekolah Menengah Pertama. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk : mendapatkan gambaran
mengenai model instrumen penilaian kemampuan afektif siswa pada matapelajaran PKn di SMP Negeri untuk selanjutnya diharapkan dapat digunakan guru SMP
dalam pembelajaran PKn. Adapun pada standar kompetensi SK yang digunakan dalam penelitian ini adalah
“Menampilkan partisipasi dalam usaha pembelaan Negara, dan kompetesi dasar KD : Menampilkan peran serta dalam usaha pembelaan Negara.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi guru, sekolah, mahasiswa.
1.4.1 Bagi guru, khususnya guru matapelajaran PKn kiranya dapat menjadi
contohmodel dalam menilai kemampuan afektif siswa yang dikaitkan dengan Standar Kompetensi SK dan Kompetensi Dasar KD, sehingga
hasil belajar siswa dapat dinilai secara lebih komprehensif lagi tidak hanya dinilai dari aspek kognitif saja seperti yang selama ini sering digunakan
oleh guru PKn. 1.4.2
Bagi Sekolah, khususnya jenjang Sekolah Menengah Pertama SMP, dapat menjadi informasi yang baik dalam memberikan pemahaman kepada guru-
guru PKn lainnya, maupun guru-guru bidang studi lain yang berkenaan dengan penilaian afektif.
1.4.3 Bagi siswa SMP, sebagai pengetahuan dan pemahaman bagi siswa bahwa
penilaian hasil belajar yang mereka peroleh sesungguhnya bukan hanya berasal dari penilaian domain kognitif aspek pengetahuan saja.
1.4.4 Bagi mahasiswa, khususnya mahasiswa program studi PKn, merupakan
bekal kemampuan bagi mereka sebagai calon guru PKn dalam membuat
6 instrumen penilaian afektif, sehingga kelak nanti dapat diimplementasikan
dalam menilai kemampuan afektif siswa.
KAJIAN PUSTAKA 2.1
Penilaian Domain Afektif
Sistem pembelajaran yang baik akan menghasilkan kualitas belajar yang baik. Kualitas pembelajaran ini diantaranya dapat dilihat dari hasil evaluasinya.
Untuk mengetahui apakah tujuan pembelajaran yang sudah ditetapkan apakah sudah tercapai atau belum, maka dilakukanlah evaluasi. Evaluasi pembelajaran
dapat diartikan sebagai suatu kegiatan yang terencana untuk mengetahui keadaan suatu objek dengan menggunakan instrumen dan hasilnya dibandingkan dengan
suatu tolak ukur untuk memperoleh suatu kesimpulan. Sesuai pendapat Grondlund dan Linn 1990 mengatakan bahwa “evaluasi pembelajran adalah suatu proses
mengumpulkan, menganalisis dan menginterpretasi informasi secaras sistematik untuk menetapkan sejauh mana ketercapaian tujuan pembelajaran”.
Agar proses pembelajaran dapat terkonsepsikan dengan baik, maka seorang guru dituntut untuk mampu menyusun dan merumuskan tujuan pembelajaran
secara jelas dan tegas. Ada tiga domain tujuan pembelajaran menurut Benjamin S. Bloom dan Krathwohl dan Masia yaitu domain kognitif, afektif dan psikomotor.
Mengingat untuk mengetahui ketercapaian tujuan tersebut adalah melalui evaluasi, maka berarti evaluasi pun dilakukan untuk mengukur ketercapaian ketiga domain
tersebut. Dalam implementasinya, evaluasi tersebut memerlukan yang namanya instrumen. Dengan kata lain jika seorang gurudosen akan melakukan evaluasi,
maka terlebih dahulu gurudosen tersebut harus menyusun instrumen evaluasi. Salah satu matapelajaran yang ada di dalam Kurikulum di Indonesia adalah
matapelajaran PKn. PKn juga mengandung tiga tujuan tersebut, namun dalam kenyataannya guru jarang menggunakan instrumen evaluasi yang mengukur
domain afektif, yang paling sering digunakan guru adalah instrumen evaluasi domain kognitif dan sedikit sekali yang mengukur domain psikomotor.
Penilaian hasil belajar merupakan proses pengambilan keputusan tentang kemajuan belajar siswa yang dilakukan oleh guru berdasarkan informasi yang
diperoleh melalui pengukuran proses dan hasil belajar siswa.
7 Ketepatan dalam penilaian sangat tergantung kepada aspek yang hendak
diukur. Apabila aspek yang hendak dikembangkan melalui matapelajaran PKn adalah menekankan pada domain afektif, maka sudah seharusnyalah bahwa
penilaian domain afektif dilakukan. Dengan demikian penilaian hasil belajar PKn tidak hanya mengukur hasil belajar yang berupa aspek pengetahuan saja, melainkan
juga mengukur proses pembelajaran yang dilakukannya agar siswa menjadi seorang yang mempunyai nilai-nilai serta etika yang baik, baik di sekolah, di
rumah, maupun di masyarakat. Penilaian hasil belajar PKn tidak sekedar memberikan informasi kepada
semua pihak; guru, siswa, orang tua, dan pengelola sekolah, tetapi pada dasarnya lebih menekankan pada kualitas informasi yang dihasilkan. Pelaksanaan penilaian
tidak hanya dilakukan secara formal berupa tes hasil penguasaan pengetahuan saja sebagai suatu produk, lebih dari itu cara penilaian lain dilakukan secara bersamaan
berdasarkan tujuan dan situasi kondisinya Martorella, 1985 : 230; Jarolimek, 1993 : 454-455; Farris, 1994 : 146; Fraenkel, 1985 : 57; Schuncke, 1988 : 115.
Menurut Popham 1995, ranah afektif menentukan keberhasilan belajar seseorang”. Jika seseorang tidak memiliki minat pada pelajaran tertentu, maka
orang tersebut akan sulit untuk mencapai keberhasilan belajar secara optimal. Seseorang yang berminat dalam suatu mata pelajaran diharapkan akan mencapai
hasil pembelajaran yang optimal. Oleh karena itu semua pendidik harus mampu membangkitkan minat semua peserta didik untuk mencapai kompetensi yang telah
ditentukan. Selain itu ikatan emosional sering diperlukan untuk membangun semangat kebersamaan, semangat persatuan, semangat nasionalisme, rasa sosial,
dan sebagainya. Untuk itu semua dalam merancang program pembelajaran, satuan pendidikan harus memperhatikan ranah afektif.
Berbeda dengan instrumen evaluasi domain kognitif dan psikomotor, instrumen evaluasi domain afektif perlu dirancang sedemikian rupa sehingga dapat
mengukur kemampyan yang berkenaan dengan perasaan, emosi, sikapderajad penerimaan atau penolakan suatu objek.
Menurut Krathwol, domain afektif meliputi lima tingkatan kawasan afektif yaitu kawasan yang berkaitan aspek-aspek emosional, seperti perasaan, minat,
sikap, kepatuhan terhadap moral dan sebagainya, di dalamnya mencakup:
8 penerimaan receivingattending, sambutan responding, penilaian valuing,
pengorganisasian organization, dan karakterisasi characterization. Anderson dalam Robert K. Gable, menyebutkan aspek-aspek afektif
meliputi attitudesikap, self conceptself esteem, interest, valuebeliefs as to what should be desired”.
Tujuan dilaksanakannya evaluasi hasil belajar afektif adalah untuk mengetahui capaian hasil belajar dalam hal penguasaan domain afektif dari
kompetensi yang diharapkan dikuasai oleh setiap peserta didik setelah kegiatan pembelajaran berlangsung. Bahkan menurut Popham 1995, bahwa “ranah afektif
menentukan keberhasilan belajar seseorang. Orang yang tidak memiliki minat pada matapelajaran tertentu sulit untuk mencapai keberhasilan belajar secara optimal’.
Adapun teknik pengukuran dan evaluasi belajar domain afektif lebih tepat dengan menggunakan teknik non testing. Teknik non testing adalah teknik evaluasi
yang menggunakan instrumen bukan tes sebagai alat ukurnya. Yang termasuk teknik ini adalah observasipengamatan yang dapat berbentuk rating scale,
anecdotal record atau rekaman, interview, questionaire, dan inventori. Menurut Andersen 1980, ada dua metode yang dapat digunakan untuk
mengukur ranah afektif, yaitu metode observasi dan metode laporan diri. Penggunaaan metode observasi berdasarlan pada asumsi bahwa karakteristik afektif
dapat dilihat dari perilaku atau perbuatan yang ditampilkan danatau reaksi psikologi.
Menurut Andersen 1981:4 bahwa pemikiran atau perilaku harus memiliki dua kriteria untuk diklasifikasikan sebagai ranah afektif. Pertama, perilaku
melibatkan perasaan dan emosi seseorang. Kedua, perilaku harus tipikal perilaku seseorang. Kriteria lain yang termasuk ranah afektif adalah intensitas, arah, dan
target. Intensitas menyatakan derajat atau kekuatan dari perasaan. Beberapa perasaan lebih kuat dari yang lain, misalnya cinta lebih kuat dari senang atau suka.
Sebagian orang kemungkinan memiliki perasaan yang lebih kuat dibanding yang lain. Arah perasaan berkaitan dengan orientasi positif atau negatif dari perasaan
yang menunjukkan apakah perasaan itu baik atau buruk. Selanjutnya Andersen menyebutkan bahwa ada lima tipe karakteristik
afektif yang penting, yaitu sikap, minat, konsep diri, nilai, dan moral.
9 Karakteristik sikap yaitu suatu kencendrungan untuk bertindak secara suka
atau tidak suka terhadap suatu objek. Sikap dapat dibentuk melalui cara mengamati dan menirukan sesuatu yang positif, kemudian melalui penguatan serta menerima
informasi verbal. Perubahan sikap dapat diamati dalam proses pembelajaran, tujuan yang ingin dicapai, keteguhan, dan konsistensi terhadap sesuatu. Penilaian sikap
adalah penilaian yang dilakukan untuk mengetahui sikap peserta didik terhadap mata pelajaran, kondisi pembelajaran, pendidik, dan sebagainya.
Menurut Fishbein dan Ajzen 1975 sikap adalah suatu predisposisi yang dipelajari untuk merespon secara positif atau negatif terhadap suatu objek, situasi,
konsep, atau orang. Sikap peserta didik terhadap objek misalnya sikap terhadap sekolah atau terhadap mata pelajaran. Sikap peserta didik ini penting untuk
ditingkatkan Popham, 1995. Sikap peserta didik terhadap mata pelajaran, misalnya bahasa Inggris, harus lebih positif setelah peserta didik mengikuti
pembelajaran bahasa Inggris dibanding sebelum mengikuti pembelajaran. Perubahan ini merupakan salah satu indikator keberhasilan pendidik dalam
melaksanakan proses pembelajaran. Untuk itu pendidik harus membuat rencana pembelajaran termasuk pengalaman belajar peserta didik yang membuat sikap
peserta didik terhadap mata pelajaran menjadi lebih positif. Kedua, yaitu minat. Menurut Getzel 1966, minat adalah suatu disposisi
yang terorganisir melalui pengalaman yang mendorong seseorang untuk memperoleh objek khusus, aktivitas, pemahaman, dan keterampilan untuk tujuan
perhatian atau pencapaian. Sedangkan menurut kamus besar bahasa Indonesia 1990: 583, minat atau keinginan adalah kecenderungan hati yang tinggi terhadap
sesuatu. Hal penting pada minat adalah intensitasnya. Secara umum minat termasuk karakteristik afektif yang memiliki intensitas tinggi.
Ketiga adalah konsep diri. Menurut Smith, konsep diri adalah evaluasi yang dilakukan individu terhadap kemampuan dan kelemahan yang dimiliki. Target,
arah, dan intensitas konsep diri pada dasarnya seperti ranah afektif yang lain. Target konsep diri biasanya orang tetapi bisa juga institusi seperti sekolah. Arah
konsep diri bisa positif atau negatif, dan intensitasnya bisa dinyatakan dalam suatu daerah kontinum, yaitu mulai dari rendah sampai tinggi. Konsep diri ini penting
untuk menentukan jenjang karir peserta didik, yaitu dengan mengetahui kekuatan
10 dan kelemahan diri sendiri, dapat dipilih alternatif karir yang tepat bagi peserta
didik. Selain itu informasi konsep diri penting bagi sekolah untuk memberikan motivasi belajar peserta didik dengan tepat.
Keempat yaitu nilai. Menurut Rokeah 1968 merupakan suatu keyakinan tentang perbuatan, tindakan, atau perilaku yang dianggap baik dan yang dianggap
buruk. Selanjutnya dijelaskan bahwa sikap mengacu pada suatu organisasi sejumlah keyakinan sekitar objek spesifik atau situasi, sedangkan nilai mengacu
pada keyakinan. Nilai cenderung menjadi ide, target nilai dapat juga berupa sesuatu seperti sikap dan perilaku. Arah nilai dapat positif dan dapat negatif. Selanjutnya
intensitas nilai dapat dikatakan tinggi atau rendah tergantung pada situasi dan nilai yang diacu. Tyler 1973:7, menyebutkan nilai ialah suatu objek, aktivitas, atau ide
yang dinyatakan oleh individu dalam mengarahkan minat, sikap, dan kepuasan. Kelima yaitu moral. Masalah moral banyak dibahas oleh Piaget dan
Kohlberg banyak membahas tentang perkembangan moral anak. Namun ada sedikit perbedaan dari keduanya, kalau Kohlberg mengabaikan masalah hubungan antara
judgement moral dan tindakan moral. Ia hanya mempelajari prinsip moral
seseorang melalui penafsiran respon verbal terhadap dilema hipotetikal atau dugaan, bukan pada bagaimana sesungguhnya seseorang bertindak. Moral
berkenaan dengan perasaan salah atau benar terhadap kebahagiaan orang lain atau perasaan terhadap tindakan yang dilakukan diri sendiri. Misalnya menipu orang
lain, membohongi orang lain, atau melukai orang lain baik fisik maupun psikis. Moral juga sering dikaitkan dengan keyakinan agama seseorang, yaitu keyakinan
akan perbuatan yang berdosa dan berpahala. Jadi moral berkaitan dengan prinsip, nilai, dan keyakinan seseorang.
2.2 Instrumen Penilaian Domain Afektif