Pelestarian, Pemanfaatan Sumberdaya Genetika Mimi Ranti (Carcinosscorpius rotundicauda, L)

PELESTARIAN, PEMANFAATAN SUMBERDAYA GENETIKA MIMI RANTI
(Carcinosscorpius rotundicauda, L) DAN MIMI BULAN (Tachypleus gigas, M).
MISWAR BUDI MULYA
Program Studi Biologi
Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Sumatera Utara
I. PENDAHULUAN
Mimi atau blangkas merupakan salah satu sumberdaya genetika yang dii
lindungi
(SK Menteri Kehutanan No. 12/ KPS -II/ 1987). Namun dengan
meningkatnya perkembangan industri dan pemanfatan (penengkapan) telah
menyebabkan populasi berkurang bahkan pada tempat-tempat tertentu hewan ini
sudah sulit ditemukan (hampir tidak ada)
Ini merupakan biota laut yang banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku
pada industri, karena esktrak plasma darahnya (haemocyte lysate) banyak
digunakan dalam study biomedis, dan lingkungan. Di luar negeri terutama di
Amerika serikat, Cina dan Jepang ekstrak darag ini digunakan sebagai bahan
pengujian endotoksin serta untuk mendioknosa penyakit meningitis dan gonorhoe
(Rudeloe dalam Fachrul, 1989). Selain itu ekstrak darah mimi memiliki sistem
pengendapan purifikasi terhadap darah yang mengandung indotoksin. Di bIndonesia,
mimi belum dimanfatkan dengan maksimal dam masih merupoakan hasil tanggapan

ikutan, sedangkan pada beberapa daerah telurnya dimanfatkan sebagai (Eidman et
al., 1992).
Sampai saat ini masih terdapat 4 spesies mimi dari 3 general yang hidup
dialam yaitu :limulus poliphemus, tachypleus , gigas, tachypleus tridentantus dan
Carcinoscorpius rotundicauda. Tiga spesies yang disebut terakhir ini juga didapat di
perairan Indonesia (Segiguchi, 1988). Melihat kondisinya saat ini serta prospek
pemanfaatannya sebagai bahan baku industri farmasi, dip[erkirakan di masa
mendatang populasinya akan terus berkurang. Berdasarkan hal tersebut perlu di
upaya pelestariannya baik melalui usah pembenihan dan restocking.
II. KLASIFIKASI DAN MORFOLOGI
Mimi ranti dan mimi bulan termasuk hewan perairan yang mempunyai
klasifikasi sebagai berikut :
Filum : Arthropoda
Kelas : Merostoma
Ordo : Xiphosurida
Famili : Limulidae
Genus1 : Tachypleus
Spesies : Tachypleus gigas (Mimi bulan)
Genus2 : Carcinoscorpius
Spesies : Corcinoscorpius rotundicauda (Mimi ranti)

Sumber : Eidman, et al,. (1992)
Mimi mempunyai bentuk tuhuh yang cembung, karapas berbentuk sepatu
kuda yang tertutup cephalotorax, sehingga orang Amerika menyebutnya
“Horseshoe Crab” (kepiting tapal kaki kuda) dan orang iggeris menyebutnya “King
Crab” (kepitinh raja). Pada bagian karapas terdapat sepasang mata majemuk dan
sepasang mata sederhana. Pada sisi bawah cephalothorax terdapat enam pasang
apendiks dimana apendiks pertama disebut chilecera dan apendiks kedua pedipalpi

© 2004 Digitized by USU digital library

1

(Barnes, 1963). Hal ini dipertegas oleh Yamasaki, et al (1988) yang menyatakan
tubuh mimi terdiri dari cepalothorax (prosoma) dan abdomen (ophistoma). Pada
prosoma terdapat prosoma terdiri dari cepalothorax (prosoma) dan (abdomen
(ophistoma). Pada prosoma terdapat 7 pasang apendiks 1 disebut chelicera yang
berfungsi membawa makanan kemulut dan apendiks 11-V1 disebut kaki jalan
sedangkan apendiks V11 dinamakan chilari (apendiks abdominal 1). Apendiks bagian
posterior terdiri dari 5 pasang yang berfungsi sebagai insang, berbentuk sirip dan
selaput. Inang pada mimi disebut insang buku (book gill) dan setiap insang terdiri

dari 150 lamella.
Mimi ranti (Carcinocorpius rotundicauda) merupakan spesies yang
mempunyai ukuran yang paling kecil diantara semua jenis mimi. Adapun ciri-ciri
mimi adalah sebagai berikut: prosoma lebih besar, daerah ventral sufrontal dengan
sebuah duri yang relatif pendek, karapas opisthosoma memiliki permukaan yang
halus dengan duri – duri tersebar didaerah cardiac. Bagian sudut anal halus, bagian
telson anterior bergerigi, duri marginal ke-2 dan 3 merupakan duri yang terpanjang
danduri ke-4 dan 6 lebih pendek (Yamasaki, 1988). Adapun perbedaan mimi ranti
jantan dan betina ditandai dengan:
- ukuran betina lebih besar dari jantan
- mata majemuk jantan leratif lebih besar
- duri marginal ke-4 sampai ke-6 pada hewan betina mengalami degenerasi
atau semakin memendek
- ukuran papilla pada lubang genital betina lebih besar
- pedipalpi (kaki jalan) hewan jantan berupa capit yang ujungnya bengkok
berkait, sedang yang betina berbentuk capit biasa (Bowman dalan
Sekiguchi, 1988)
- hewan jantan mempunyai rambut – rambut pada kaki jalan 1 dan 11
(Shuster, 1982).
Sedangkan mimi bulan jantan dan betina dapat dibedakan dari pedipalpinya.

Pada mimi jantan dedipalpi seperti jepitan yang ujungnya bengkok berkait dan
berfungsi sebagai alat untuk mencekeram tubuh mimi betina pada waktu
berpasangan, sedangkan pedipalpi betina berbentuk jepitan biasa dan ukurannya
lebih kecil (Sekiguchi, 1988). Selanjutnya dilaporkan bahwa bagian dorsal mesosoma
terdiri dari 6 pasang segmen yang tertutup oleh karapas. Bentuk pinggir kiri dan
kanan karapas adalah bergerigi dan diantara gerigi tersebut terdapat duri marginal
(marginal spine) yang dapat digerakkan. Duri marginal ini juga dapat digunakan
untuk membedakan jenis kelaminnya, dimana pada mimi 3 buah duri marginal
pertama berukuran panjang dan tiga buah lagi berukuran pendek (Nikolski, 1963
dalam Chatterji dan parukuler, 1992).
III. PENYEBARAN DAN HABITAT
Di Indonesia jenis mimimyang ditemukan adalah Tachypleus gigas,
Tachypleus tridentatus dan Carcinoscorpius rotundicauda ( Sekiguchi dan Nakamura,
1979). Sedangkan Sekiguchi (1988) menyatakan mimi jenis T. gigas banyak
dijumpai diperairan estuaria hampir merata diseluruh perairan Indonesia.
Mimi merupakan hewan yang hidup didasar perairan berpasir dan berlumpur.
Hewan ini sering menggali substrat dengan ujung depan karapasnya, berjalan
dengan kaki jalannya dan kadang – kadang berenang dengan menggunakan insang
dayungnya (Grzimek, 1979 dalam Purnomo, 1992). Selanjutnya Ville, et al. (1979)
menyebutkan mimi bukan hewan berbahaya, dapat menyerap, mengubur diri pada

pasir diperairan dangkal dan beberapa individu berenang naik turun dengan
menggunakan insang sebagai pendayung.
Semua hewan laut yang berukuran kecil dapat menjadi makanannya seperti
cacing, krustasea yang umumnya ditemukan didalam pasir atau lumpur (Cousteau,

© 2004 Digitized by USU digital library

2

1975). Makanan tersebut didapat dengan cara mengaduk pasir dan lumpur dengan
bantuan ekornya (telson) yang runcing dan karapasnya yang keras. Oleh sebab itu
mimi digolongkan kedalam hewan omnivora (pemakan segala) dan scavenjer
(pemakan bangkai) (Villee et a., 1973).
IV. PERRODUKSI
4.1 Perkembangan Gonad
Gonad mimi jantan terletak di dekat permukaan dorsal prosoma sedangkan
telur dijumpai dalam ovarium. Apabila telur betina sudah matang maka akan terlihat
pada saluran genital.
Di dalam proses rproduksi, sebelum terjadi pemijahan sebagian besar hasil
metabolisme digunakan untuk perkembangna gonad. Berat gonat bertsmbah sejalan

dengan meningkatnya diameter telur, dan berat maksimum dicapai saat akan
pemijahan berlangsung sampai selesai (Effendie, 1979). Selanjutnya Elliot dalam
Hardjamulia (1988) menyatakan bahwa pertumbuhan gonad terjadi jika terdapat
kelebihan energi untuk pemeliharaan tubuh, sedangkan kekurangan energi dapat
menyebabkan telur mengalami atresia.
Seluruh spesies mimi mempunyai sepasang lubang pengeluaran telur (genital
pore) pada genital papilla atau dipermukaan posterior genital operculum. Sepasang
saluran pengeluaran telur utama (oviduct) dijumpai menuju ke arah genital
operculum dan ke dalam prosonoma. Saluran pengeluaran telur utama tersebut
terbagi menjadi dua cabang utama (Yamasaki., 1988). Pada gambar berikut dapat
dilihat posisi organ reproduksi mimi bulan betina

Gambar 1. Posisi organ reproduksi mimi bulan (Tachypleus gigas)
(Yamasaki et al., 1988 dalam Eidman. Et al., 1992)

© 2004 Digitized by USU digital library

3

Keterangan: aob= cabang saluran telur anterior lob = cabang saluran telur lateral

aon= jaringan saluran telur anterior lon = jaringan saluran telur lateral
gp = papila genital
mod = saluran telur utama
in = usus
on = jaringan ovari
pv = proventiculus

Yamasaki, et al (1988) membagi tingkat kematangan gonad mimi dalam 4
tahap yaitu: ovari sebelum dewasa, ovari dewasa muda, ovari dewasa dan ovari
matang (mature). Selanjutnya Purnomo (1992) melaporkan, tingkat kematangan
gonad mimi ranti (C. rotundicauda) betina dibagi dalam 4 tingkatan yaitu: belum
matang, dewasa muda, dewasa dan matang. Pada tingkat kematangan gonad
dewasa muda, ukuran telur berkisar 0,3 – 0,6 mm, sedangkan dewasa dan matang
adalah 0,6 – 1,6 mm dan 1,5 – 2,3 mm. Kermatangan gonad pada mimi ranti terjadi
setelah 13 kali pergantian kulit (molting).
Dari hasil pengamatan yang dilakukan oleh Eidman,. Et al (1992) terhadap
tingkat kematangam gonad (TKG) mimi bulan yang tertangkap diperairan teluk
Banten ternyata ditemui berbagai tingkat kematangan gonad mulai dari matang
sampai siap memijah. Induk betina matang gonad yang mengandung telur memiliki
nilai indeks kematangan gonad (IKG) 18,7 – 42, 0 % (31,9 + 5,65) dan induk jantan

7,2-20,9% (12,9 + 3,39). Hasil lain menunjukkan bahwa induk betina yang memiliki
bobot tubuh kecil dari 458 gr tidak satupun (n = 15) yang mengandung telur, dan
ternyata prosomanya hanya dipenuhi oleh jaringan ovari pada induk betina yang
sudah mengandung telur pada saluran kelamin bagian luar (genital pore), diameter
telur umumnya berkisar 2,71-3,65 mm.
4.2. Pemijahan
Semua spesies mimi melakukan pemijahan alami dengan cara meletakkan
telur dalam lubang pada substrat pasir atau pasir berlumpur, sedang jumlah telur
pada setiap lubang tidak sama dan tergantung spesiesnya. Skiguchi dan Nakamura
(1979) melaporkan bahwa seekor induk betina dari jenis Tachypleus gigas dapat
menghasilkan telur hingga 8.000 butir dan pada setiap sarang atau lubang terdapat
kurang lebih 400 butir telur, sedang seekor induk betina C. rotundicauda dapat
menghasilkan telur sampai 10.000 butir dimana pada setiap lubang diisi 80 – 150
butir telur.
Pengamatan di Chonburi (Thailand) menunjukkan bahwa musim pemijahan
mimi bulan (T. gigas) berlangsung pada bulan April-Agustus dan sepanjang tahun
untuk mimi ranti (C. rotundicauda) (Sekiguchi dan Nakamura), 1979). Selanjutnya
Barlow et al. (1986) melaporkan bahwa musim pemijahan mimi berhubungan erat
dengan keadaan pasang dan fase bulan, keadaan dan waktu migrasi paling banyak
ditemukan pada saat pasang tertinggi dan perbani dimalam hari selama bulan baru

dan bulan purnama. Hal ini dipertegas oleh Barlow et al., 1968 dalam Santoso,
1992) yang menyatakan pasang surut merupakan faktor utama yang mempengaruhi
musim pemijahan mimi, sedangkan faktor lainnya adalah siklus bulan dan kondisi
lingkungan. Induk – induk mimi banyak berintegrasi ke pinggir pantai dan pada saat
pasang purnama dan perbani dimalam hari selama bulan baru dan bulan purnama
untuk melakukan perkawinan yang memijah pada siang hari selalu lebih sedikit
dibanding malam hari. Selanjutnya Suster (1982) mendapatkan sebagian besar mimi
memijah sepanjang tahun denagan puncaknya bulan Mei dan juni. Mimi dewasa
bergerak hingga 33,8 km dari daerah pemijahan dan masih dijumpai pada
kedalaman 246 m. C. rotundicauda betina meletakkan telurnya pada substrat lumpur
atrau pasir berlumpur dengan sarang yang dangkal (2-5) dari permukaan tanah.
Pada pengamatan diteluk Siam ditemukan beberapa kelompok mimi C. rorundicauda

© 2004 Digitized by USU digital library

4

meletakkan telurnya di daerah bakau sekitar 500 cm dari muara sungai. Telur –
yelur tersebut diletakkan di dalam lubang sedalam 5 cm pada lapisan lumpur
berpasir (Skiguchi, 1988).

Mimi bermigrasi keperairan dangka atau pantai untuk melakukan pemijahan
dan meletakkan telurnya. Mimi jantan biasanya naik ke punggung betina dan
berpegangan pada duri marginal. Pada mimi Amerika (Limulus Polyphemus),
sebelum memijah biasanya induk betina menggali lubang sedalam 15 cm diantara
garis air) surut, dan kemudian meletakkan telurnya. Telur tersebut di buahi oleh
sperma jantan yang dikeluarkan dalam waktu bersamaan keluarnya telur. (Edman,
et al., 1992) .
V. MANFAAT DAN KEGUNAAN
Mimi merupakan bahan baku dalam industri farmasi karena ekstrak plasma
darahnya (haemocyte lysate) banyak di gunakan dalam studi biomedi, farmasi dan
ilmu lingkungan. Hal ini dikarenakan pada plasma darahnya memiliki sistem
pengendapan (clotting system) dan purifikasi yang dapat mengendap darah yang
mengandung endotoksin.Plasma darah mimi telah di produksi secara massal di
Amerika (genus limulus), sedangkan di Jepang dan Cina dari genus Tachyplus
(Harada et al., 1992 dalam Suparta, 1992). Selanjutnya Rudloe (1980) dalam
Eidman et al. (1992) menyatakan ekstrak plasma darah mimi (Limulus Amoebocyte
Lysate) dapat digunakan untuk mendiognosa penyakit meningitisdan gonorhoe pada
wanita.
Selain menfaat diatas oleh para ahli Palaentologi, mimi dikenal juga sebagai
fossil hidup (the living fossil),karena bentuknya sekarang hanya sedikit sekali

mengalami evolusi dari bentuk asalnya sekitar lima juta tahun yang lalu. Mengingat
mimi merupakan salah satu biota langka yang perlu dilindungi dan atas dasar
pertimbangan prospek pemenfaatannya sebagai bahan baku industri farmasi,
diperkirakan dimasa mendatang populasinya akan terus berkurang, sehing perlu
dirintis usaha pembenihan maupun restocking guna menjaga kelestariannya.
VI. UPAYA PELESTARIAN
Mengingat sumberdaya mimi saat ini mulai menurun, penelitian mengenaii
pemijahan buatan dan perkembangan embrio mimi sudah milai dilakukan di Bojone
goro,(Balisani, 1994; ismurwati , 1994; Vauziah/1995 dan Rahmalia , 1995). Hal ini
dilakukan untuk mengantisipasi akan merosotnya populasi hewan tersebut lebih
lanjut. Sedangkan pemeliharaan larva hasil pemijahan buatan dilakukan untuk
membuat pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva .
Pemijahan buatan merupakan salah satu langkah awal dalam upaya
pelestarian dan restucing mimi. Disamping itu duiusahakan upaya pembenihan alami
secara terkontrol melalui peningkatan derajat pembuahan dan penetasan di alam,
sehingga dengan adanya keberhasilan mimi dalam jumlah cukup dan
berkesinambunga diharapkan mampu menyediakan bahan baku untuk kebutuhan
industri farmasi.
Dari hasilk pemijahan yang dilakukan Brown dan clapper (1992) dalam
Eidman et al. (1992), mendapatkan bahwa swrajat penetasan (hatching rate) dalam
12% dan 6,35%, masing-masing pada metoda basah dan metoda kering. Hasilk
pengamatan menunjukan bahwa telur mimi bulan (T .gigas) menetas dalam waktu
34-37 hari pada suhu air 27-33o C, salinitasi 30-32 ppt oksigen telur 4,8,6,5 ppm
dan pH 7,6, 8,5. Perkembangan embrio mimi bulan terjadi dalam 21 stadia (tabel
1), sedangkan pada jenis L
Polyphemus dalam 22 stadia.Bentuk mimi yang lengkap di capai pada ganti kulit I
(instar-1) setelah embrio menetas, sedangkan untuk mencapai juvenil adalah 59
hari. Sedangkan hasil pengamatan sekiguchi (1988) menunjukan bahwa telur

© 2004 Digitized by USU digital library

5

T.tridentatus menetas dalam waktu 43 hari,T. gigas (37 hari), C. ratundicauda (34
hari) dan L. polyphenus (14 hari). Suhu air selama pemeliharaan adalah 30oC dan
salinitas 34-35 ppt. Selain itu derajat penetasan telur T. tridentatus pada salinitas
20,25, 30 dan 35 ppt secara berturut-turut adalah 90%, 95%, 98%, dan 90%.
Fase perkembangan Embrio
1. Penampakan inti pada permukaan telur
2. Peningkatan jumlah inti
3. Inti merata pada permukaan telur (comulus posterior)
4. Penampakan germ disk
5. Penampakan awan posterior (comulus posterior)
6. Penyempurnaan germ disk
7. Awan posterior hilang
8. pembentukan segmen
9. Penampakan allgen appendisk prosoma
10. Pembentukan organ lateral
11. Embrio setelah pergantian kulit I
12. Embrio setelah pergantian kulit II
13. Embrio setelah pergantian kulit III
14. Embrio setelah pergantian kulit IV
15. Penetasan (hatching)

Stadia
1,2,3
4
6
7
8
9,10
11
12,13
14,15
16,17
18
19
20
21
-

Hari
1-3
4-5
6-7
8-10
11-12
13
13-14
14
14
15-16
17
18-20
21-25
26-30
34-37

Tabel I. Perkembangan embrio Mimi Bulan (T. gigas) Hasil Pemijahan Buatan
Sumber : Brown dan clapper (1982) dalam Eidman, at al (1992)
Di Indonesia, upaya pelestarian hewan ini juga telah dilakukan oleh redjeki,
at al (1997) dengan mengamati frepensi larva mimi terhadap berbagfai pakan
plankton. Hasil yang didapatkan menunjukkan bahwa larva mimi bulan yang
berumur kurang dari 61 hari lebih menyukai algae coklat, sedangkan larva yang
berumur 61-105 hari lebih menyukai ertemia. Hal ini terlihat dari perbedan besarnya
laju pertumbuhan (rataan panjang total dan bobot tubuh) larva dari kedua kelompok
umur tersebut, sedangkan kelangsungan hidup larva adalah sebesar 100% (Gambar
2).

© 2004 Digitized by USU digital library

6

Gambar 2. Garafik pertumbuhan panjang total, lebar karapas dan bobot tubuh larva
mimi bulan (T. gigas) dengan berbagai pekan planton.
PENUTUP
Mimi atau belangkas selain merupakan salah satu sumber daya genetik yang
dilindungi (SK Menteri kehutanan No. 12/Kpts-II/1987) juga merupakan biota laut
yang banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku dalam industri farmasi karena
ekstrak plasma darahnya (haemicyte lysate)banyak digunakan dalam studi biomedis

© 2004 Digitized by USU digital library

7

dan ilmu lingkungan. Hal ini disebabkan pada plasma darahnya memiliki sistem
pengendapan (clotting system)dan purifikasi yang dapatmengendap darah yang
mengandung endotoksin.
Ekstrak plamsa darah mimi (Limulus Amoebocyte lysate) juga dapat di
gunakan untuk mendiagnosa penyakit menginitis dan gonorhoe pada wanita.
Mimi juga dikenal sebagai fossil hidup (the living fossil), karena bentuknya
yang hanya sedikit sekali mengalami evoilusi dari bentuk asalnya sekitar lima juta
tahtn yang lalu.
Di Indonesia jenis mimi yang ditemukan adalah Tachypleus gigas, Tachypleus
tridentatus dan carcinoscorpius rotundicauda, di mana mimi jenis T.gigas banyak
dijumpai di perairan Indonesia.
Pemijahan buatan merupakan salah satu alngkah awal dalam upaya
pelestarian dan restocking mimi, disamping pembenihan secara alami secara
terkontrol melalui peningkatan derajat pembuahan dan derajat penetasan di alam.
Adanya keberhasialan mimi dalam jumlah cukup dan berkesinambungan
diharapkan mampu menyediakan bahan baku untuk kebutuhan industri farmasi.

DAFTAR PUSTAKA
Balisani, S>L.1994. Studi perkembangan Emrio Blangkas Carcinoscorpius
Rotundicauda (Latreille). Hasil pemijahan Semi Alami dan Buatan. Skrpisi
Fakultas Perikanan. Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan. IPB, Bogor:
67p.
Barlow, R.B., M.K. Powers, H. Howard and L. Kass. 1986. Migration of the Limulus
for Mating: Relation to Lunar Phase. Tide Height and Sunlight. Biol. Bull. 171:
130-329
barnes, R.D. 1963. Invertrate Zoology. W.B. Sounders Company, Philadelphia: 334p.
Chatterji, A and A.H. Parulekar. 1992. Fecundity of the indian Horseshoe Crab.
Carninoscorpius rotundicauda (Latreille). Tropical Ecology 33 (1): p. 97-120.
Effendie, M.I. 1979. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri, Bogor: 112p.
Eidman, M., A.M. Samosir dan U. Aktani. 1992. Studi Biologi Mimi/ Belangkas
(Subkelas Xiphosura) dalam Rangka Perngembangan dan Pemanfaatan
Sumberdaya Hayati Laut untuk Kebutuhan Industri Farmasi di Indonesia.
Laporan Peneliti Tahun I. Proyek Pengembangan Pendidikan Ilmu Kelautan.
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Fakultas Perikanan. IBP, Bogor.
Fachrul, M.F. 1989. Aspek Biologi Mimi (Xilphosura). Term Paper Fakultas Pasca
Sarjana Institut Pertanian, Bogor.
Hardjamulia, A. 1989. Penyediaan Induk untuk Usaha Pembenihan Ikan Budidaya Air
Tawar. Makalah Seminar Nasional Ikan dan Udang, Bandung: 26p.
Ismurwanti, C. 1994. Studi Awal Pengaruh Konsentrasi Diazinon-60 EC terhadap
Perkembangan Emrio dan Penetasan Telur Mimi Ranti Carcinoscorpius
Rotundicauda (Latreille). Skripsi Fakultas Perikanan, Jurusan Manajemen
Sumberdaya Perairan. IPB, BOGOR: 64p.

© 2004 Digitized by USU digital library

8

Purnimo, Y.A. 1992 Biologi Reproduksi Mimi Ranti Carcinoscorpius rorundicauda
(latreille) Betina yang tertangkap di Perairan Rembang, Jawa Tengah. Skripsi
Jurusan Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan IPB, Bogor: 64p.
Rahmalia, E. 1995. Pembuahan Buatan dan Studi Awal Pengaruh Konsentrasi
Saponin Terhadap Perkembangan Emrio dan Larva Mimi Bulan Tachypleus
Gigas (Muller). Fakultas Perikanan Institut Pertanian, Bogor: 66p.
Redjeki, S., Mayunar., M Eidman. 1997. Jurnal Ilmu –Ilmu Perairan dan Perikanan
Indonesia. Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan.
Institut Pertanian, Bogor: p: 15-20.
Santoso, A.R. 1992 Pemijahan dan Perkembangan Embrio Mimi Tachypleus Gigas
(Muller). Skripsi Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas
Perikanan IPB, Bogor. 47p.
Sekiguchi, K. 1988. Ecology. In Sekiguchi, K. (Ed).Biology of Horse4shoe Crabs.
Science House Co. Ltd, Tokyo. P:50-68.
Sekiguchi, K. and K. Nakamura. 1979. Ecology of the Extant Horseshoe Crab.In
Cohen, E. (Ed). Biomedical Applications of the Horseshoe Crab (Limulidae).
Alan R. Liss. Inc, New York. P: 37-45.
Shuster, C.N. 1982. A Pictoral Review of the Natural History of Horseshoew Crabs
Limulus Polyphemus with Reference to other Limulidae. In Bonaventura, J. Et
al. (Ed). Physiology and Biology of Horseshoe Crabs. Enviromentally Stressed
Animals. Alan, r. liss. Inc, New York. P: 1-52.
Suparta, I.K. 1992. Keragaman Sifat – sifat Morfometrik Mimi Bulan Tachypleus.
Gigas (Muller) dan Carcinoscorpius rorudicauda
Vauziyah, C. 1995. perkembangan Emrio mimi Bulan Tachypleus gigas (Muller) dari
Perairan Teluk banten Pada Berbagai Salinitas Media. Skripsi Jurusan
Manajemen sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan. Institut Pertanian,
Bogor: 64p.
Villee, C.A. WF. Walker and R.D. Barnes. 1973. General Zoology. 4th ed. WB. Souders
Company, London.
Yamasaki, T., 1988. Taxonomy.In Sekiguchi, K. (Ed) Biology of horseshoe Crab.
Science House Co. Ltd, Tokyo. P: 10 – 21.
Yamasaki, T., T. Makioka and j. Saito. 1988. Morphology. In Sekiguchi, K. (Ed)
Biology of horseshoe Crabs. Science House Co. Ltd, Tokyo. P: 22 –35.

© 2004 Digitized by USU digital library

9