b. Faktor Internal
Intensitas Cahaya
Cahaya matahari merupakan sumber energi pada proses fotosintesis. Cahaya merupakan salah satu faktor fisika utama yang mengontrol produksi dan
pertumbuhan fitoplankton dalam perairan Lalli Parsons 1995; Ornolfsdottir et al. 2004. Makin dalam penetrasi cahaya pada kolom perairan maka lapisan
dimana proses fotosintesis dapat berlangsung akan semakin besar, sehingga konsentrasi oksigen terlarut masih memiliki nilai yang tinggi pada kolom air yang
lebih dalam Ruttner 1973. Proses fotosintesis fitoplankton hanya dapat berlangsung bila ada cahaya
pada kolom perairan Nybakken 1992; Huisman 1999. Hasil fotosintesis yang cukup besar dapat diperoleh pada lapisan permukaan zona eufotik, seperti yang
diperlihatkan pada Gambar 2. Zona di bawah dari zona tersebut adalah kedalaman kompensasi titik kompensasi dengan intensitas cahaya tinggal 1
dari intensitas cahaya permukaan. Pada lapisan ini, laju fotosintesis sama dengan laju respirasi. Zona di bawah titik kompensasi disebut zona disfotik yang
mempunyai laju fotosintesis lebih kecil dari laju respirasi. Perubahan laju fotosintesis merupakan hasil dari respon fitoplankton terhadap variabilitas cahaya.
Gambar 2. Hubungan antara intensitas cahaya dan fotosintesis pada berbagai kedalaman Fogg 1975.
Respon fitoplankton terhadap intensitas cahaya juga sangat dipengaruhi oleh pigmen yang dikandungnya. Perbedaan pigmen yang dikandung antara setiap
jenis fitoplankton menyebabkan perbedaan intensitas cahaya yang diabsorbsi. Hal ini berpengaruh terhadap tingkat efisiensi fotosintesis. Spektrum cahaya yang
Intensitas Cahaya Fotosintesis gCm
2
hari
Ked alam
an m
terpenting dalam mengontrol fotosintesis fitoplankton adalah yang mempunyai panjang gelombang 400-700 nm atau yang dikenal dengan photosynthetically
active radiation Lalli Parsons 1995.
Suhu
Suhu berpengaruh langsung terhadap tumbuhan dan hewan, yakni pada laju fotosintesis tumbuh-tumbuhan dan proses fisiologi hewan, khususnya derajat
metabolisme dan siklus reproduksinya Sverdrup et al. 1961. Di samping itu, suhu dapat berperan meskipun mungkin bukan satu-satunya faktor dalam
menentukan suksesi jenis di suatu perairan. Lebih lanjut dijelaskan oleh Dawson 1966 bahwa suhu juga menentukan ada tidaknya spesies, mengatur aktivitas,
serta menstimulir pertumbuhan perkembangan organisme. Selain itu, suhu adalah salah satu faktor penentu blooming, terutama blooming musiman dan
germinasi kista Hallegraeff 1998. Suhu yang sesuai akan memicu pertumbuhan dan perkembangan fitoplankton menjadi lebih pesat.
Suhu tidak menjadi faktor pembatas pada algae alami selama banyak spesies mampu tumbuh dalam kondisi lingkungan lain yang sesuai, namun demikian suhu
sangat berpengaruh terhadap cepat dan lambatnya pertumbuhan dan reproduksi Smith 1987. Lebih lanjut dijelaskan oleh Andersen 1996 bahwa suhu
merupakan faktor yang paling berperanan dalam penetasan kista Dinoflagellata. Setiap jenis mikroalgae membutuhkan suhu tertentu untuk pertumbuhannya.
Suhu optimum untuk kehidupan fitoplankton adalah 25-30
o
C. Skeletonema costatum mampu tumbuh pada kisaran suhu 3-30
o
C. Suhu perairan pada saat terjadi blooming di beberapa perairan yaitu di perairan Indonesia Teluk Kao dan
Teluk Ambon berada pada kisaran 24,8-31,5
o
C Wiadnyana et al. 1996, di Teluk Kuwait kisaran suhu pada saat blooming Gymnodinium spp. adalah 26,9-28,6
o
C Heil et al. 2001, serta di Teluk Furue Nagasaki kisaran suhu pada saat terjadi
blooming Cochlodinium polykrikoides adalah 21-26
o
C Kim et al. 2004.
Nutrien
Salah satu pemicu blooming adalah peningkatan kadar nutrien yang mengakibatkan terjadinya eutrofikasi penyuburan di perairan. Limpahan air
sungai dari daratan yang mengangkut zat hara dan buangan limbah organik akibat
aktivitas rumah tangga, pertanian, dan industri merupakan kandidat utama pemicu terjadinya blooming. Blooming yang terjadi di Teluk Jakarta disebabkan oleh
pengkayaan zat hara di perairan ini, sebagai akibat suplai limpahan air sungai yang terus menerus karena tingginya curah hujan di sekitar wilayah Jakarta,
Bogor, Tangerang, dan Bekasi. Selain itu, pengkayaan nutrien di perairan disebabkan oleh upwelling.
Upwelling merupakan penaikan air dari lapisan dalam ke permukaan yang membuat air permukaan subur. Penaikan massa air dari dasar perairan yang
banyak mengandung bahan-bahan organik yang telah terdekomposisi mengakibatkan bagian permukaan kaya akan nutrien.
Kandungan nutrien yang tinggi dan dipicu oleh faktor fisik perairan dapat mengakibatkan terjadinya blooming. Hal tersebut dapat dilihat pada beberapa
lokasi yang pernah terjadi blooming. Di perairan Indonesia Teluk Kao dan Teluk Ambon konsentrasi nitrat yang ditemukan pada saat blooming Pyrodinium adalah
0,91-1,30 mg-at-N.L
-1
, dan fosfat adalah 0,32-0,64 mg-at-P.L
-1
Wiadnyana et al. 1996. Sementara itu, Iriarte et al. 2005 menemukan bahwa pada saat blooming
G. cf. chlorophorum di bagian selatan Chile kandungan nitrat, amonia, dan fosfat berturut-
turut adalah 1 μm, 0,5 μm, dan 0,5 μm. Demikian pula, di perairan timur Laut Hitam Turkey Feyzioglu Ogut 2006 menemukan bahwa pada saat
blooming Gymnodinium sanguineum konsentrasi masing-masing nutrien adalah nitrat : 0,12 mg.L
-1
, fosfat : 0,083 mg.L
-1
, dan Fe : 0,033 mg.L
-1
. Selain nitrat dan fosfat, mikronutrien dari daratan seperti Fe, Mn, Cu, dan
vitamin B
12
yang berlebihan juga akan memicu terjadinya ledakan populasi fitoplankton jenis tertentu. Fe merupakan faktor pembatas pada blooming Sunda
et al. 1991 dalam Feyzioglu Ogut 2006.
Salinitas
Salinitas merupakan salah satu parameter perairan yang berpengaruh terhadap fitoplankton di laut. Salinitas yang berbeda berpengaruh terhadap
komposisi jenis fitoplankton yang ada di perairan. Selain itu, variasi salinitas mempengaruhi laju fotosintesis, terutama di daerah estuari khususnya pada
fitoplankton yang hanya bisa bertahan pada batas-batas salinitas yang
kecilstenohaline Kaswadji et al. 1993. Salinitas yang sesuai bagi fitoplankton laut adalah di atas 20 Sachlan 1982. Salinitas seperti itu memungkinkan
fitoplankton dapat bertahan hidup dan memperbanyak diri di samping aktif melakukan proses fotosintesis.
Di perairan pantai peranan salinitas lebih menentukan terjadinya suksesi jenis dari pada produktivitas secara keseluruhan, karena salinitas bersama-sama
dengan suhu menentukan densitas air, sehingga salinitas ikut pula mempengaruhi pengambangan atau penenggelaman fitoplankton Chua 1970 dalam Nontji 1984.
Ada beberapa jenis fitoplankton yang tahan terhadap perubahan salinitas yang besar dan ada pula yang hanya menghendaki perubahan salinitas yang kecil
Nybakken 1992. Kelimpahan Diatom cenderung meningkat seiring dengan peningkatan salinitas dan berlaku sebaliknya untuk algae hijau, Bacillariophyceae
merupakan kelompok yang dominan dan selalu ada pada kisaran salinitas antara 5-30. Lebih lanjut dijelaskan oleh Kennish 1990 bahwa salinitas yang optimum
untuk pertumbuhan Skeletonema costatum berada pada kisaran antara 10-40 dan Skeletonema subsalsum berkisar antara 2-20.
Salinitas pada saat blooming fitoplankton di Teluk Kao dan Ambon berkisar antara 29,2-32,0 Wiadnyana et al. 1996, sedangkan salinitas di Teluk Kuwait
pada saat blooming Gymnodinium spp adalah 41,32-42,59 Heil et al. 2001.
F. Struktur Komunitas Fitoplankton