bab 1 kta kelompok 5.docx

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat mendorong kemampuan manusia untuk lebih memanfaatkan lingkungan alam, yang akan terus mengalami peningkatan. Segala sesuatu yang telah diciptakan oleh manusia dalam berbagai aktivitasnya, tidak akan lepas dari pengaruh sumberdaya, baik sumberdaya alam, sumberdaya manusia maupun peningkatan kebutuhan ekonomi. Dengan terbatasnya sumberdaya pemenuhan kebutuhan manusia, maka manusia harus dapat memanfaatkan sumberdaya alam yang ada semaksimal mungkin, dengan tidak merusaknya. Tanah merupakan salah satu sumberdaya alam yang harus dimanfaatkan sebaik mungkin karena tanah merupakan salah satu factor pembentuk lahan dan berfungsi sosial.

Lahan merupakan unsur penting dalam kehidupan manusia baik sebagai ruang maupun sebagai sumberdaya karena sebagian besar kehidupan manusia tergantung pada lahan. Dengan tanah manusia dapat memakai sebagai sumber penghidupan bagi mereka yang mencari nafkah melalui usaha tani disamping sebagai tempat permukiman.

Perubahan penggunaan lahan terjadi karena adanya pertambahan penduduk dan adanya perkembangan tuntutan hidup, kebutuhan rumah, yang membutuhkan ruang sebagai wadah semakin meningkat. Gerakan penduduk yang terbalik, yaitu dari kota ke daerah pinggiran kota yang sudah termasuk wilayah Desa. Daerah pinggiran kota sebagai daerah yang memiliki ruang relatif masih luas ini memiliki daya tarik bagi penduduk dalam memperoleh tempat tinggal. Kepadatan penduduk secara umum, dapat diartikan sebagai perbandingan antara jumlah penduduk dengan luas tanah yang didiami dalam satuan luas. Kepadatan penduduk oleh faktor faktor seperti topografi, iklim, tata air, aksesibilitas dan ketersediaan fasilitas hidup (Bintarto, 1983) Pemanfaatan sumber daya lahan merupaklan usaha penggunaan lahan untuk suatu tujuan tertentu yang dapat memberikan arti ekonomis, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang bagi kehidupan manusia.

Evaluasi lahan adalah suatu proses penilaian sumber daya lahan untuk tujuan tertentu dengan menggunakan suatu pendekatan atau cara yang sudah teruji. Hasil evaluasi lahan akan memberikan informasi dan/atau arahan penggunaan lahan sesuai dengan keperluan.


(2)

Kebutuhan lahan yang semakin meningkat, langkanya lahan pertanian yang subur dan potensial, serta adanya persaingan penggunaan lahan antara sektor pertanian dan non-pertanian, memerlukan teknologi tepat guna dalam upaya mengoptimalkan penggunaan lahan secara berkelanjutan (Litbang deptan, 2013).

Untuk dapat memanfaatkan sumber daya lahan secara terarah dan efisien diperlukan tersedianya data dan informasi yang lengkap mengenai keadaan iklim, tanah dan sifat lingkungan fisik lainnya, serta persyaratan tumbuh tanaman yang diusahakan, terutama tanaman-tanaman yang mempunyai peluang pasar dan arti ekonomi cukup baik. Data iklim, tanah, dan sifat fisik lingkungan lainnya yang berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman serta terhadap aspek manajemennya perlu diidentifikasi melalui kegiatan survei dan pemetaan sumber daya lahan (Litbang deptan, 2013).

Data sumber daya lahan ini diperlukan terutama untuk kepentingan perencanaan pembangunan dan pengembangan pertanian. Data yang dihasilkan dari kegiatan survei dan pemetaan sumber daya lahan masih sulit untuk dapat dipakai oleh pengguna (users) untuk suatu perencanaan tanpa dilakukan interpretasi bagi keperluan tertentu (Litbang deptan, 2013).

1.2. Tujuan dan Manfaat

Tujuan dari dibuatnya makalah ini adalah untuk mengetahui evaluasi kemampuan lahan baik prinsip, maupun klasifikasi pada jenis tanaman tahunan.


(3)

TINJAUAN TEORI 2.1 Konsep Evaluasi Dan Kemampuan Lahan

Lahan merupakan bagian dari bentang alam (landscape) yang mencakup pengertian lingkungan fisik termasuk iklim, topografi/relief, tanah, hidrologi, dan bahkan keadaan vegetasi alami (natural vegetation) yang semuanya secara potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan (FAO, 1976)1. Lahan dalam pengertian yang lebih luas termasuk yang telah dipengaruhi oleh berbagai aktivitas flora, fauna dan manusia baik di masa lalu maupun saat sekarang, seperti lahan rawa dan pasang surut yang telah direklamasi atau tindakan konservasi tanah pada suatu lahan tertentu. Penggunaan yang optimal memerlukan keterkaitan dengan karakteristik dan kualitas lahannya. Hal tersebut disebabkan adanya keterbatasan dalam penggunaan lahan sesuai dengan karakteristik dan kualitas lahannya, bila dihubungkan dengan pemanfaatan lahan secara lestari dan berkesinambungan ( Departemen Kehutanan. 1986).2

Pada peta tanah atau peta sumber daya lahan, hal tersebut dinyatakan dalam satuan peta yang dibedakan berdasarkan perbedaan sifat-sifatnya terdiri atas: iklim, landform (termasuk litologi, topografi/relief), tanah dan/atau hidrologi. Pemisahan satuan lahan/tanah sangat penting untuk keperluan analisis dan interpretasi potensi atau kesesuaian lahan bagi suatu tipe penggunaan lahan (Lahan Utilization Types = LUT) (Departemen Kehutanan. 1986).

Evaluasi lahan memerlukan sifat-sifat fisik lingkungan suatu wilayah yang dirinci ke dalam kualitas lahan (land qualities), dan setiap kualitas lahan biasanya 1 Sumber : FAO. (1976), A framework for Land Evaluation. Soil Resources Management   and   Conservation   Service   Land   and   Water   Development Division, FAO Soil Buletin No. 32,FAO­UNO, Rome.

2 Sumber : Departemen Kehutanan, Ditjen RRL, 1986. Petunjuk Pelaksanaan Penyusunan Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah. Departemen Kehutanan, Jakarta


(4)

terdiri atas satu atau lebih karakteristik lahan (land characteristics). Beberapa karakteristik lahan umumnya mempunyai hubungan satu sama lainnya di dalam pengertian kualitas lahan dan akan berpengaruh terhadap jenis penggunaan dan/atau pertumbuhan tanaman dan komoditas lainnya yang berbasis lahan (peternakan, perikanan, kehutanan). Penggunaan lahan untuk pertanian secara umum dapat dibedakan atas: penggunaan lahan semusim, tahunan, dan permanen. Penggunaan lahan tanaman semusim diutamakan untuk tanaman musiman yang dalam polanya dapat dengan rotasi atau tumpang sari dan panen dilakukan setiap musim dengan periode biasanya kurang dari setahun. Penggunaan lahan tanaman tahunan merupakan penggunaan tanaman jangka panjang yang pergilirannya dilakukan setelah hasil tanaman tersebut secara ekonomi tidak produktif lagi, seperti pada tanaman perkebunan. Penggunaan lahan permanen diarahkan pada lahan yang tidak diusahakan untuk pertanian, seperti hutan, daerah konservasi, perkotaan, desa dan sarananya, lapangan terbang, dan pelabuahan (Departemen Kehutanan. 1986).

Kemampuan lahan adalah penilaian atas kemampuan lahan untuk penggunaan tertentu yang dinilai dari masing-masing faktor penghambat. Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya dan tidak dikuti dengan usaha konservasi tanah yang baik akan mempercepat terjadi erosi. Apabila tanah sudah tererosi maka produktivitas lahan akan menurun (Azis .2008).3

Evaluasi kemampuan lahan adalah penilain lahan secara sistematik dan pengelompokkannya kepada kategori berdasarkan sifat potensi dan penghambat penggunaan lahan secara lestari.

3 Sumber : Aziz S, 2008. Evaluasi Kemampuan Lahan dan Pendugaan Erosi untuk Arahan Pemanfaatan Lahan Di Sub DAS Juwet dan Dondong, Gunung Kidul yogyakarta. Thesis. Program Studi Geografi Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.


(5)

Pengklasifikasian lahan dimaksudkan agar dalam pendayagunaan lahan yang digunakan sesuai dengan kemampuannya dan bagaimana menerapkan teknik konservasi tanah dan air yang sesuai dengan kemampuan lahan tersebut.

2.2 Klasifikasi Kemampuan Lahan

Kemampuan penggunaan lahan adalah suatu sistematika dari berbagai penggunaan lahan berdasarkan sifat-sifat yang menentukan potensi lahan untuk berproduksi secara lestari. Lahan diklasifikasikan atas dasar penghambat fisik. Sistem klasifikasi ini membagi lahan menurut faktorfaktor penghambat serta potensi bahaya lain yang dapat mengganggu pertumbuhan tanaman. Jadi, hasil klasifikasi ini dapat digunakan untuk menentukan arahan penggunaan lahan secara umum (misalnya untuk budidaya tanaman semusim, perkebunan, hutan produksi dsb). Di areal HTI hasil klasifikasi ini terutama akan bermanfaat untuk alokasi areal sistem tumpangsari.

Klasifikasi Kemampuan Penggunaan Lahan (KPL) menggunakan metoda yang dikembangkan oleh USDA dan telah diadaptasikan di Indonesia melalui Proyek Pemetaan Sumber Daya Lahan kerjasama antara Land Care Research New Zealand dengan Dept. Kehutanan tahun 1988- 1990 di BTPDAS Surakarta (Fletcher dan Gibb, 1990). 4

Ada tiga kategori dalam klasifikasi KPL, yaitu : Klas, Sub Klas dan Unit. Pengelompokan Klas didasarkan pada intensitas faktor penghambat, sedangkan Sub Klas menunjukkan jenis faktor penghambat. Tingkat terendah adalah Unit yang merupakan pengelompokan lahan yang mempunyai respon sama terhadap sistem pengelolaan tertentu.

Secara umum sistem ini menggunakan delapan Klas. Apabila makin besar faktor penghambatnya dan makin tinggi Klasnya maka akan semakin terbatas pula penggunaannya. Pembagian Klas-klas tersebut adalah sebagai berikut :

4 Sumber : Fletcher, J.R. and R.G. Gibb. 1991. Land Resource Inventory Handbook for Soil Conservation Planning in Indonesia. NZ DSIR Scientific Report No. 11. NZ DSIR Land Resources and Dir Gen RLR of Indonesia. 87 pp.


(6)

 Klas I – IV dapat digunakan untuk sawah, tegalan atau tumpangsari  Klas V untuk tegalan atau tumpangsari dengan tindakan konservasi tanah  Klas VI untuk hutan produksi

 Klas VII untuk hutan produksi terbatas  Klas VIII untuk hutan lindung

Adapun penghambat yang digunakan adalah e (erosi), w (drainase), s (tanah), c (iklim) dan g (kelerengan). Pada klasifikasi ini dikenal prioritas penanganan penghambat berdasarkan tingkat kemudahan penanganannya. Pada kelas yang sama, bilamana mempunyai beberapa penghambat maka akan dipilih prioritas penghambat yang paling besar. Urutan prioritas penghambat tersebut adalah (dari yang paling mudah diatasi) e – w – – s – c – g. Jadi apabila hasil klasifikasi dalam satu unit lahan menunjukkan Klas IVe, IVw dan IVs, maka akan ditetapkan sebagai Klas IVs karena mempunyai jenis penghambat yang paling sulit ditangani.

Deskripsi tiap Klas, Sub Klas dan Unit dalam sistem klasifikasi KPL mengikuti standar yang ada. Deskripsi tersebut dapat dinyatakan dalam satu tabel kriteria. Kriteria ini kemudian digunakan untuk melakukan sortasi data karakteristik lahan di setiap unit lahan. Contoh kriteria untuk Klas I antara lain adalah adanya teknik konservasi tanah yang baik, tidak ada erosi, kedalaman tanah > 90 cm, lereng 0 – 8 % dan tidak ada batuan singkapan pada permukaan tanah.

Klasifikasi kemampuan lahan adalah klasifikasi lahan yang dilakukan dengan metode faktor penghambat. Dengan metode ini setiap kualitas lahan atau sifat-sifat lahan diurutkan dari yang terbaik sampai yang terburuk atau dari yang paling kecil hambatan atau ancamanya sampai yang terbesar. Kemudian disusun tabel kriteria untuk setiap kelas; penghambat yang terkecil untukkelas yang terbaik dan berurutan semakin besar hambatan semakin rendah kelasnya.

Sistem klasifikasi kemampuan lahan yang banyak dipakai di Indonesia dikemukakan oleh Hockensmith dan Steele (1943). Menurut sistem ini lahan dikelompokan dalam tiga kategori umum yaitu Kelas, Subkelas dan Satuan Kemampuan (capability units) atau Satuan pengelompokan (management unit). Pengelompokan di dalam kelas didasarkan atas intensitas faktor penghambat. Jadi


(7)

kelas kemampuan adalah kelompok unit lahan yang memiliki tingkat pembatas atau penghambat (degree of limitation) yang sama jika digunakan untuk pertanian yang umum (Sys et al., 1991). Tanah dikelompokan dalam delapan kelas yang ditandai dengan huruf Romawi dari I sampai VIII. Ancaman kerusakan atau hambatan meningkat berturut-turut dari Kelas I sampai kelas VIII, seperti pada Gambar 1.

Sumber : (Departemen Kehutanan. 1986)

Tanah pada kelas I sampai IV dengan pengelolaan yang baik mampu menghasilkan dan sesuai untuk berbagai penggunaan seperti untuk penanaman tanaman pertanian umumnya (tanaman semusim dan setahun), rumput untuk pakan ternak, padang rumput atau hutan. Tanah pada Kelas V, VI, dan VII sesuai untuk padang rumput, tanaman pohon-pohonan atau vegetasi alami. Dalam beberap hal tanah Kelas V dan VI dapat menghasilkan dan menguntungkan untuk beberapa jenis tanaman tertentu seperti buah-buahan, tanaman hias atau bunga-bungaan dan bahkan jenis sayuran bernilai tinggi dengan pengelolaan dan tindakan konservasi tanah dan air yang baik. Tanah dalam lahan Kelas VIII sebaiknya dibiarkan dalam keadaan alami.5

5 Sumber ; Djaenuddin, D, Dkk, (1994), Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Pertanian dan Kehutanan (Land Suitability for Agriculture and Silvicultural Plants), Second Land Resource Evaluation and Planning Project, ADB Loan 1099, INO, Laporan Teknis No 7 Versi 1.0. 51 pp


(8)

Untuk menerapkan dan menggunakan sistem klasifikasi ini secara benar setidaknya terdapat 14 asumsi yang perlu dimengerti.

Kelas Kemampuan Lahan Kelas Kemampuan I

Lahan kelas kemampuan I mempunyai sedikit penghambat yang membatasi penggunaannya. Lahan kelas I sesuai untuk berbagai penggunaan pertanian, mulai dari tanaman semusim (dan tanaman pertanian pada umumnya), tanaman rumput, padang rumputm hutan produksi, dan cagar alam. Tanah-tanah dalam kelas kemampuan I mempunyai salah satu atau kombinasi sifat dan kualitas sebagai berikut: (1) terletak pada topografi datar (kemiringan lereng < 3%), (2) kepekaan erosi sangat rendah sampai rendah, (3) tidak mengalami erosi, (4) mempunyai kedalaman efektif yang dalam, (5) umumnya berdrainase baik, (6) mudah diolah, (7) kapasitas menahan air baik, (8) subur atau responsif terhadap pemupukan, (9) tidak terancam banjir, (10) di bawah iklim setempat yang sesuai bagi pertumbuhan tanaman umumnya.

Didaerah beriklim kering yang telah dibangun fasilitas irigasi, suatu lahan dapat dimasukkan kedalam kelas I jika tofografi hampir datar, daerah perakaran dalam, permeabilitas dan kapasitas menahan air baik, dan mudah diolah. Beberapa dari lahan yang dimasukkan ke dalam kelas ini mungkin memerlukan perbaikan pada awalnya seperti perataan, pencucian garam laut atau penurunan permukaan air tanah musiman. Jika hambatan oleh garam, permukaan air tanah ancaman banjir, atau ancaman erosi akan terjadi kembali, maka lahan tersebut mempunyai hambatan alami permanen, oleh karenanya tidak dapat dimasukkan kedalam kelas ini.

Tanah yang kelebihan air dan mempuyai lapisan bawah yang permeabilitasnya lambat tidak dimasukkan kedalam kelas I. Lahan dalam kelas I yang dipergunakan untuk penanaman tanaman petanian memerlukan tindakan pengolaan untuk memelihara produktivitas, berupa pemeliharaan kesuburan dan struktur tanah. Tindakan tersebut dapat berupa pemupukan dan pengapuran, pengunaan tanaman penutup tanah dan pupuk hijau, pengunaan sisa-sisa tanaman dan pupuk kandang, dan


(9)

pergiliran tanaman. Pada peta kelas kemampuan lahan , lahan kelas I biasanya diberi warna hijau.

Kelas Kemampuan II

Tanah-tanah dalam lahan kelas kemampuan II memiliki beberapa hambatan atau ancaman kerusakan yang mengurangi pilihan penggunaannya atau mengakibatkannya memerlukan tindakan konservasi yang sedang. Lahan kelas II memerlukan pengelolaan yang hati-hati, termasuk di dalamnya tindakan-tindakan konservasi untuk mencegah kerusakan atau memperbaiki hubungan air dan udara jika tanah diusahakan untuk pertanian tanaman semusim. Hambatan pada lahan kelas II sedikit, dan tindakan yang diperlukan mudah diterapkan. Tanah-tanah ini sesuai untuk penggunaan tanaman semusim, tanaman rumput, padang penggembalaan, hutan produksi dan cagar alam.

Hambatan atau ancaman kerusakan pada lahan kelas II adalah salah satu atau kombinasi dari faktor berikut: (1) lereng yang landai atau berombak (>3 % – 8 %), (2) kepekaan erosi atau tingkat erosi sedang, (3) kedalaman efetif sedang (4) struktur tanah dan daya olah kurang baik, (5) salinitas sedikit sampai sedang atau terdapat garam Natrium yang mudah dihilangkan akan tetapi besar kemungkinabn timbul kembali, (6) kadang-kadang terkena banjir yang merusak, (7) kelebihan air dapat diperbaiki dengan drainase, akan tetapi tetap ada sebagai pembatas yang sedang tingkatannya, atau (8) keadaan iklim agak kurang sesuai bagi tanaman atau pengelolannya.

Lahan kelas II memberikan pilihan pengunaan yang kurang dan tuntutan pengolahan yang lebih berat. Lahan dalam kelas ini mungkin memerlukan konservasi tanah khusus, tindakan-tindakan pencegahan erosi, pengendalian air lebih, atau metode pengelolaan jika diperlukan untuk tanaman semusim dan tanaman yang memerlukan pengelolaan lahan sebagai contoh, tanah yang dalam dengan lereng yang landai yang terancam erosi sedang jika dipergunakan untuk tanaman semusim mungkin memerlukan salah satu atau kombinasi tindakan-tindakan berikut ; guludan, penanaman dalam jalur pengelolaan menurut kontur, pergiliran tanaman dengan rumput dan leguminosa dan pemberian mulsa. Secara tepatnya tindakan atau


(10)

kombinasi tindakan yang akan diterapkan, dipengaruhi oleh sifat-sifat tanah, iklim dan sistem usaha tani. Pada peta kemampuan lahan, lahan kelas II biasanya dibari warna kuning.

Kelas Kemampuan III

Tanah-tanah dalam kelas III mempunyai hambatan yang berat yang mengurangi pilihan pengunaan atau memerlukan tindakan konservasi khusus atau keduanya. Tanah-tanah dalam lahan kelas III mempunyai pembatas yang lebih berat dari tanah-tanah kelas II dan jika digunakan bagi tanaman yang memerlukan pengolahan tanah, tindakan konservasi yang diperlukan biasanya lebih sulit diterapkan dan dipelihara. Lahan kelas III dapat digunakan untuk tanaman semusim dan tanaman yang memerlukan pengolahan tanah, tanaman rumput, padang rumput, hutan produksi, hutan lindung dan suaka marga satwa.

Hambatan yang terdapat pada tanah dalam lahan kelas III membatasi lama penggunaannya bagi tanaman semusim, waktu pengolahan, pilihan tanaman atau kombinasi pembatas-pembatas tersebut. Hambatan atau ancaman kerusakan mungkin disebabkan oleh salah satu atau beberapa hal berikut: (1) lereng yang agak miring atau bergelombang (>8 – 15%), (2) kepekaan erosi agak tinggi sampai tinggi atau telah mengalami erosi sedang, (3) selama satu bulan setiap tahun dilanda banjir selama waktu lebih dari 24 jam, (4) lapisan bawah tanah yang permeabilitasnya agak cepat, (5) kedalamannya dangkal terhadap batuan, lapisan padas keras (hardpan), lapisan padas rapuh (fragipan) atau lapisan liat padat (claypan) yang membatasi perakaran dan kapasitas simpanan air, (6) terlalu basah atau masih terus jenuh air setelah didrainase, (7) kapasitas menahan air rendah, (8) salinitas atau kandungan natrium sedang, (9) kerikil dan batuan di permukaan sedang.Pada peta kemampuan lahan, lahan kelas III biasanya diberi warna merah.

Kelas kemampuan IV

Hambatan dan ancaman kerusakan pada tanah-tanah di dalam lahan kelas IV lebih besar dari pada tanah-tanah di dalam kelas III, dan pilihan tanaman juga lebih terbatas. Jika digunakan untuk tanaman semusim diperlukan pengelolaan yang lebih hati-hati dan tindakan konservasi yang lebih sulit diterapkan dan dipelihara, seperti


(11)

teras bangku, saluran bervegatasi dan dam penghambat, disamping tindakan yang dilakukan untuk memelihara kesuburan dan kondisi fisik tanah. Tanah di dalam kelas IV dapat digunakan untuk tanaman semusim dan tanaman pertanian dan pada umumnya, tanaman rumput, hutan produksi, padang penggembalaan, hutan lindung dan cagar alam.

Hambatan atau ancaman kerusakan tanah-tanah di dalam kelas IV disebabkan oleh salah satu atau kombinasi faktor-faktor berikut: (1) lereng yang miring atau berbukit (> 15% – 30%), (2) kepekaan erosi yang sangat tinggi, (3) pengaruh bekas erosi yang agak berat yang telah terjadi, (4) tanahnya dangkal, (5) kapasitas menahan air yang rendah, (6) selama 2 sampai 5 bulan dalam setahun dilanda banjir yang lamanya lebih dari 24 jam, (7) kelebihan air bebas dan ancaman penjenuhan atau penggenangan terus terjadi setelah didrainase (drainase buruk), (8) terdapat banyak kerikil atau batuan di permukaan tanah, (9) salinitas atau kandungan Natrium yang tinggi (pengaruhnya hebat), dan/atau (10) keadaan iklim yang kurang menguntungkan. Pada peta kelas kemampuan lahan, lahan kelas IV biasanya diberi warna biru.

Kelas Kemampuan V

Tanah-tanah di dalam lahan kelas V tidak terancam erosi akan tetapi mempunyai hambatan lain yang tidak praktis untuk dihilanghkan yang membatasi pilihan pengunaannya sehingga hanya sesuai untuk tanaman rumput, padang penggembalaan, hutan produksi atau hutan lindung dan cagar alam. Tanah-tanah di dalam kelas V mempunyai hambatan yang membatasi pilihan macam penggunaan dan tanaman, dan menghambat pengolahan tanah bagi tanaman semusim. Tanah-tanah ini terletak pada topografi datar tetapi tergenang air, selalu terlanda banjir, atau berbatu-batu (lebih dari 90 % permukaan tanah tertutup kerikil atau batuan) atau iklim yang kurang sesuai, atau mempunyai kombinasi hambatan tersebut.

Contoh tanah kelas V adalah: (1) tanah-tanah yang sering dilanda banjir sehingga sulit digunakan untuk penanaman tanaman semusim secara normal, (2) tanah-tanah datar yang berada di bawah iklim yang tidak memungknlah produksi tanaman secara


(12)

normal, (3) tanah datar atau hampir datar yang > 90% permukaannya tertutup batuan atau kerikil, dan atau (4) tanah-tanah yang tergenang yang tidak layak didrainase untuk tanaman semusim, tetapi dapat ditumbuhi rumput atau pohon-pohonan.Pada peta kelas kemampuan lahan, lahan kelas V biasanya diberi warna hijau tua.

Sumber : http//:www.wikipedia.com Kelas Kemampuan VI

Tanah-tanah dalam lahan kelas VI mempunyai hambatan yang berat yang menyebabkan tanah-tanah ini tidak sesuai untuk pengunaan pertanian. Penggunaannya terbatas untuk tanaman rumput atau padang penggembalaan, hutan produksi, hutan lindung, atau cagar alam. Tanah-tanah dalam lahan kelas VI mempunyai pembatas atau ancaman kerusakan yang tidak dapat dihilangkan, berupa salah satu atau kombinasi faktor-faktor berikut: (1) terletak pada lereng agak curam (>30% – 45%), (2) telah tererosi berat, (3) kedalaman tanah sangat dangkal, (4) mengandung garam laut atau Natrium (berpengaruh hebat), (5) daerah perakaran sangat dangkal, atau (6) iklim yang tidak sesuai.

Tanah-tanah kelas VI yang terletak pada lereng agak curam jika digunakan untuk penggembalaan dan hutan produksi harus dikelola dengan baik untuk menghindari erosi. Beberapa tanah di dalam lahan kelas VI yang daerah perakarannya dalam, tetapi terletak pada lereng agak curam dapat digunakan untuk tanaman semusim dengan tindakan konservasi yang berat seperti, pembuatan teras bangku yang baik.pada peta kelas kemampuan lahan, lahan kelas VI biasanya diberi warna orange.


(13)

Sumber : http//:www.wikipedia.com Kelas Kemampuan VII


(14)

Lahan kelas VII tidak sesuai untuk budidaya pertanian, Jika digunakan untuk padanag rumput atau hutan produksi harus dilakukan dengan usaha pencegahan erosi yang berat. Tanah-tanah dalam lahan kelas VII yang dalam dan tidak peka erosi jika digunakan unuk tanaman pertaniah harus dibuat teras bangku yang ditunjang dengan cara-ceara vegetatif untuk konserbvasi tanah , disamping yindkan pemupukan. Tanah-tanah kelas VII mempunuaio bebetapa hambatan atyai ancaman kerusakan yang berat da tidak dapatdihiangkan seperti (1) terletak pada lereng yang curam (>45 % – 65%), dan / atau (2) telah tererosi sangat berat berupa erosi parit yang sulit diperbaiki. pada peta kemampuan lahan, lahan kelas VII biasanya diberi warna coklat.

Teknologi Agroforestry

Sumber : http//:www.wikipedia.com Kelas kemampuan VIII

Lahan kelas VIII tidak sesuai untuk budidaya pertanian, tetapi lebih sesuai untuk dibiarkan dalam keadaan alami. Lahan kelas VIII bermanfaat sebagai hutan lindung, tempat rekreasi atau cagar alam. Pembatas atau ancaman kerusakan pada lahan kelas


(15)

VIII dapat berupa: (1) terletak pada lereng yuang sangat curam (>65%), atau (2) berbatu atau kerikil (lebih dari 90% volume tanah terdiri dari batu atau kerikil atau lebih dari 90% permukaan lahan tertutup batuan), dan (3) kapasitas menahan air sangat rendah. contoh lahan kelas VIII adalah tanah mati, batu tersingkap, pantai pasir, dan puncak pegunungan. Pada peta kemampuan lahan, lahan kelas VIII biasanya berwarna putih atau tidak berwarna.

2.3 Metode klasifikasi kemampuan lahan

Menurut Hadmoko (2012), beberapa metode klasifikasi kemampuan lahan adalah sebagai berikut:

1. Metode kualitatif/deskriptif

Metode ini didasarkan pada analisis visual/pengukuran yang dilakukan langsung dilapangan dengan cara mendiskripsikan lahan. Metode ini bersifat subyektif dan tergantung pada kemampuan peneliti dalam analisis.

2. Metode statistik

Metode ini didasarkan pada analisis statistik variabel penentu kualitas lahan yang disebut diagnostic land characteristic (variabel x) terhadap kualitas lahannya (variabel y)

3. Metode matching

Metode ini didasarkan pada pencocokan antara kriteria kesesuaian lahan dengan data kualitas lahan. Evaluasi kemampuan lahan dengan cara matching dilakukan dengan mencocokkan antara karakteristik lahan dengan syarat penggunaan lahan tertentu.

4. Metode pengharkatan (scoring)

Metode ini didasarkan pemberian nilai pada masing-masing satuan lahan sesuai dengan karakteristiknya.6

6 Sumber : Ishak,Marenda.2008. Penentuan Pemanfaatan Lahan.Fakultas Pertanian Universitas Padjajaran. Jatinangor.


(16)

2.4 Kriteria Klasifikasi Kemampuan Lahan

Kriteria pembatas klasifikasi kemampuan lahan antara lain : 1. Iklim

Dua komponen iklim yang paling mempengaruhi kemampuan lahan, yaitu temperature dan curah hujan. Temperatur yang rendah mempengaruhi jenis dan pertumbuhan tanaman. Di daerah tropika yang paling penting mempengaruhi temperatur udara adalah ketinggian letak suatu tempat dari permukaan laut. Udara yang bebas bergerak akan turun temperaturnya pada umumnya dengan 1 0C untuk setiap 100 m naik di atas permukaan laut. Penyediaan air secara alami berupa curah hujan yang terbatas atau rendah di daerah agak basah (sub humid), agak kering (semi arid), dan kering (arid) mempengaruhi kemampuan tanah.

2. Lereng, Ancaman Erosi dan Erosi yang Telah Terjadi

Kerusakan tanah oleh erosi sangat nyata mempengaruhi penggunaan tanah, cara pengelolaan atau keragaan (kinerja) tanah disebabkan oleh alasan-alasan berikut:  Suatu kedalaman tanah yang cukup harus dipelihara agar didapatkan produksi

tanaman yang sedang sampai tinggi.

 Kehilangan lapisan tanah oleh erosi mengurangi hasil tanaman.

 Kehilangan unsur hara oleh erosi adalah penting tidak saja oleh karena pengaruhnya terhadap hasil tanaman akan tetapi juga oleh karena diperlukan biaya penggantian unsur hara tersebut untuk dapat memelihara hasil tanaman yang tinggi.

 Kehilangan lapisan permukaan tanah merubah sifat-sifat fisik lapisan olah yang akan sangat jelas kelihatan pada tanah yang lapisan bawah bertekstur lebih halus.  Kehilangan tanah oleh erosi menyingkap lapisan bawah yang memerlukan waktu dan perlakuan yang baik untuk dapat menjadi media pertumbuhan yang baik bagi tanaman.

 Bangunan-bangunan pengendalian air dapat rusak oleh sedimen yang berasal dari erosi.

 Jika terbentuk parit-parit oleh erosi (gully) maka akan lebih sulit pemulihan tanah untuk menjadi produktif kembali.


(17)

Kecuraman lereng, panjang lereng dan bentuk lereng semuanya mempengaruhi besarnya erosi dan aliran permukaan. Kecuraman lereng tercacat atau dapat diketahui pada peta tanah.

Kelas Erosi Tanah

Kriteria Deskripsi

e0 Tidak ada erosi Tidak ada lapisan atas yang hilang

e1 Ringan < 25% tanah lapisan atas hilang

e2 Sedang 25 – 75% tanah lapisan atas hilang

e3 Berat > 75% lapisan tanah atas hilang dan < 25% lapisan tanah bawah hilang

e4 Sangat berat > 25% lapisan tanah bawah hilang

3. Kedalaman Tanah (k)

Kedalaman tanah efektif adalah kedalaman tanah yang baik bagi pertumbuhan akar tanaman, yaitu kedalaman sampai pada lapisan yang tidak dapat ditembus oleh akar tanaman. Kedalaman efektif adalah kedalaman tanah sampai sejauh mana tanah dapat ditumbuhi akar, menyimpan cukup air dan hara, umumnya dibatasi adanya kerikil dan bahan induk atau lapisan keras yang lain, sehingga tidak lagi dapat ditembus akar tanaman (Utomo, 1989).

4. Tekstur Tanah (t)

Tekstur tanah adalah salah satu faktor penting yang mempengaruhi kapasitas tanah untuk menahan air dan permeabilitas tanah serta berbagai sifat fisik dan kimia tanah lainnya.

5. Permeabilitas (p)

Permeabilitas merupakan kemampuan tanah untuk melalukan air dan udara (Utomo, 1989).

6. Drainase (d)

Drainase adalah kondisi mudah tidaknya air menghilang dari permukaan tanah yang mengalir melalui aliran permukaan atau melalui peresapan ke dalam tanah (Utomo, 1989).


(18)

PEMBAHASAN

3.1 Studi kasus Penggunaan Lahan Pada Kemampuan Lahan Di Sub DAS Kelara Bagian Hulu Kabupaten Jeneponto

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Desa Jenetallasa memiliki enam bentuk pengunaan lahan yaitu Hutan Lindung dengan kelas kemampuan lahan VIII L, Penggembalaan dengan kelas kemampuan lahan VI L. Penggunaan lahan I yaitu hutan lindung diklasifikasikan kedalam kelas kemampuan lahan VIII L dengan Faktor pembatasnya adalah lereng yang sangat curam (>65%) yaitu 100%. Meskipun memiliki faktor penghambat seperti kedalaman tanah yang sangat dangkal, berbatu-batu, kepekaan erosi yang tinggi dan kerapatan vegetasi yang kurang rapat, namun vegetasi yang ada didalamnya didominasi oleh pepohonan. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan Rustiadi et al., (2010). bahwa kelas VIII, pilihan peruntukannya sangat terbatas, yang dalam hal ini cenderung diperuntukan untuk kawasan lindung atau sejenisnya. Penggunaan lahan 2 yaitu penggembalaan diklasifikasikan kedalam kelas kemampuan lahan VI L dengan faktor pembatas berupa lereng. Faktor penyebab lahan ini masuk kedalam kelas kemampuan lahan VI L karena memiliki kelerengan yang agak curam atau bergunung (> 30 sampai 45%) yaitu 40%, tanahnya berbatu – batu dan dangkal, maka masyarakat menggunakan lahan ini menjadi penggembalaan hewan.7

Penggunaan lahan 3 yaitu pemukiman diklasifikasikan kedalam kelas kemampuan lahan II dengan Sub kelas penghambat terhadap perakaran tanaman (IIs). Lahan ini termasuk dalam kelas kemampuan lahan II dengan faktor pembatasnya berupa kedalaman tanah yang dangkal yaitu 30 cm, drainase yang agak buruk dan kepekaan erosi yang rendah. Penggunaan lahan 4 yaitu kebun campuran diklasifikasikan kedalam kelas kemampuan lahan VII L dengan faktor pembatas yaitu kelerengan yang curam (>45 sampai 65 ) yaitu 50%. Meskipun memiliki kelerangan yang curam, lahan ini ditumbuhi oleh vegetasi dengan sistem agroforestry berbasis kopi dengan kondisi tajuk yang rapat, Penggunaan lahan 5 yaitu kebun sayur diklasifikasikan kedalam kelas kemampuan lahan VII L dengan faktor pembatasnya berupa kelerengan yang curam (> 45 sampai 65%) yaitu 50% dengan kepekaan erosi yang agak tinggi. Penggunaan lahan 6 yaitu semak belukar diklasifikasikan kedalam 7 Sumber :Tarru,Satriani,Baharuddin,dan Anwar .2013.Penggunaan Lahan Pada Berbagai Kelas Kemampuan Lahan Di Sub Das Kelara Bagian Hulu Pada Desa Jenetallasa Kecamatan Rumbia Kabupaten Jeneponto. Pascasarjana Ilmu Kehutanan Universitas Hasanuddin: Makassar.


(19)

kelas kemampuan lahan VII L dengan faktor pembatasnya berupa kelerengan yang curam > 45 Sampai 65 % yaitu 65%, permukaan tanah terbuka dengan kedalaman tanah yang dangkal dan berbatu – batu.

Kesesuaian penggunaan lahan untuk Hutan lindung yang ada saat ini sudah sesuai dengan kelas kemampuan lahan VIII. Hal ini sejalan yang dikatakan Arsyad S, (2010) bahwa lahan kelas VIII tidak sesuai untuk budidaya pertanian, tetapi lebih sesuai untuk dibiarkan dalam keadaan alami.kelas VIII bermanfaat sebagai hutan lindung, tempat rekreasi atau cagar alam. Lahan penggembalaan sudah sesuai dengan kelas kemampuan lahan VI. Hal ini disebabkan karena lereng yang agak curam atau bergunung.Kondisi vegetasi disekitar pengembalaan didominasi oleh semak belukar yang dijadikan sebagai makanan hewan ternak.Lahan ini sejalan dengan yang dikatakan Widiatmaka Dkk, (2007).

Bahwa lahan kelas VI mempunyai penghambat yang sangat berat sehingga tidak sesuai untuk pertanian dan hanya sesuai untuk tanaman rumput ternak atau dihutankan. Penggunaan lahan pemukiman sudah sesuai dengan kelas kemampuan lahan II karena kelerengannya yang landai dan tanah bertekstur halus. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan Arsyad S,(2010). Bahwa lahan kelas kemampuan II mempunyai sedikit hambatan dan tindakan yang diperlukan mudah diterapkan sehingga cocok untuk berbagai penggunaan lahan. Penggunaan lahan kebun campuran tidak sesuai dengan kelas kemampuan lahan VII. Seperti yang dikatakan Widiatmaka Dkk, (2007).bahwa kriteria kemampuan lahan kelas VII yang sama sekali tidak sesuai untuk usaha tani tanaman semusim dan hanya sesuai untuk padang penggembalaan atau dihutankan.

Penggunaan lahan kebun sayur tidak sesuai dengan kelas kemampuan lahan VII karena lahan kelas VII tidak sesuai dengan budidaya pertanian. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan Widiatmaka Dkk, (2007) bahwa kriteria kemampuan lahan kelas VII yang sama sekali tidak sesuai untuk usaha tani tanaman semusim dan hanya sesuai untuk padang penggembalaan atau dihutankan, sedangkan untuk penggunaan lahan Semak belukar tidak sesuai dengan kelas kemampuan lahan VII. hal ini disebabkan karena factor pembatasnya berupa kelerengan yang curam (65 %). Harahap (2007), menyarankan untuk kemiringan lereng 15 sampai 30% lahan tidak boleh diganggu, karena jika kondisi ini terganggu maka kejadian erosi yang akan terjadi semakin berat. Arahan yang tepat untuk penggunaan lahan hutan lindung adalah melakukan upaya reboisasi, pengayaan, dan rehabilitasi hutan.Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, maka kondisi lahan hutan tersebut bisa dimasukkan ke dalam DAS yang dipulihkan. Upaya-upaya pemulihan daya dukung dapat dilakukan melalui kegiatan reboisasi,


(20)

pengayaan, dan rehabilitasi hutan seperti yang telah disebutkan. Akan tetapi hal ini akan lebih mempercepat upaya pemulihan yang dimaksud apabila didukung dengan satu peraturan daerah (Perda) tentang pengelolaan DAS. Untuk lahan penggembalaan arahan yang sesuai adalah perlu adanya perbaikan lahan diantaranya pembersihan lahan dan pengolahan tanah, pemberian pupuk kandang maupun pupuk kompos akan sangat bermanfaat bagi kondisi fisik tanah tersebut karena akan memperbaiki struktur tanah. Jenis tanaman yang akan ditanam juga perlu diperhatikan karena lahan penggembalaan yang baik adalah lahan yang ditanami rumput unggul dan legume ( jenis rumput dan legume yang tahan terhadap injakan ternak) yang digunakan untuk menggembalakan ternak (Maslikah,2013).

Lahan pemukiman arahan yang diupayakan adanya pengadaan sarana dan prasarana yang dapat mendukung di Desa seperti, penambahan bangunan tanggul/tembok penahan disepanjang sisi jalan utama, serta drainase yang tepat menahan rotasi tanah. Selain itu, setiap pembangunan rumah atau prasarana fisik lainnya diharapkan adanya pembuatan kebun pekarangan serta tata ruang yang tepat. Arahan penggunaan lahan kebun campuran yang sesuai adalah tetap mempertahankan sistem agroforestry yang merupakan model pengelolaan lahan agroforestry berbasis kopi. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan

Umar A, dkk (2010).berkesimpulan bahwa penerapan teknik konservasi tanah secara fisik seperti pembuatan rorak dan pengembangan agroforestry berbasis kopi dengan penanaman tanaman buah-buahan dan tanaman penutup tanah dapat lebih meningkatkan fungsi hidrologi hutan lindung serta meningkatkan pendapatan masyarakat. Arahan Penggunaan lahan kebun sayur sangat membutuhkan sistem pertanaman yang sesuai dengan kaidah – kaidah konservasi tanah dan air. Teknik konservasi tanah dan air yang dapat diterapkan antara lain penanaman tanaman rumput sebagai penguat dan disekitar aliran sungai sebagai filter dan pembuatan saluran pembuangan air. Pada lahan yang curam sistem tanam lebih tepat menggunakan sistem tumpang sari .Tumpang sari atau tumpang gilir adalah suatu bentuk pertanaman campuran (polyculture) berupa perlibatan dua jenis atau lebih tanaman pada satu areal lahan tanam dalam waktu yang besamaan dan agak bersamaan. (Asdak, 2001). Sedangkan penggunaan lahan semak belukar tidak sesuai dengan klasifikasi kemampuan lahan VII. arahan yang sesuai pada lahan ini adalah harus dihutankan dengan cara melakukan upaya rehabilitasi lahan, reboisasi dan pemilihan tanaman yang tepat yang sesuai dengan kondisi lahan tersebut serta tidak mengindahkan prinsip-prinsip konservasi tanah dan air.


(21)

3.2 Evaluasi Kemampuan Lahan DAS Sekampung Hulu .

Berdasarkan hasil tumpang susun peta jenis tanah, peta topografi, dan peta penggunaan lahan DAS Sekampung Hulu, diperoleh 20 satuan lahan

Klasifikasi Kemampuan Lahan DAS Sekampung Hulu

Berdasarkan hasil survey lapang dan analisis contoh tanah masing-masing satuan lahan di laboratorium, kemudian dinilai dengan kriteria klasifikasi kemampuan lahan (Tabel 1), diperoleh hasil bahwa DAS Sekampung Hulu memiliki kelas II, III, IV, VI, dan VII, dengan faktor penghambat utama untuk seluruh kelas kemampuan lahan adalah kecuraman lereng. Secara rinci hasil klasifikasi kemampuan lahan DAS Sekampung Hulu disajikan pada data hasil evaluasi kemampuan lahan menunjukkan bahwa sebagian besar DAS Sekampung Hulu didominasi oleh kelas dan sub kelas kemampuan lahan III-l2 yaitu seluas 17.630,51 ha atau 41,58 %, kemudian berturut-turut diikuti oleh kelas dan sub kelas kemampuan lahan IV-l3 seluas 8.862,97 ha atau 20,90 %, II-l1.e1 seluas 5.458,37 ha atau 12,87 %, VI-l4 seluas 4.459,01 ha atau 10,52 %, dan terakhir VII-l5 seluas 3.171,00 ha atau 7,48 %.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa DAS Sekampung Hulu didominasi oleh lahan bergelombang hingga berlereng curam dengan kemiringan lereng lebih dari 8 % yaitu seluas 34.123,47 ha atau 80,84 %. Hal ini menunjukkan bahwa usaha budidaya pertanian yang dapat dilakukan hanya terbatas pada usahatani tanaman tahunan dengan tindakan konservasi tanah dan air yang tepat agar kelestarian lahan dapat terjaga.

Kemampuan lahan DAS Sekampung Hulu yang paling kecil risiko kerusakannya adalah lahan kelas II-l1.e1, tetapi hanya menempati areal seluas 5.458,37 ha atau 12,87 % dari luas total, dan untuk itu Arsyad (2000) menyatakan bahwa pada lahan kelas II-l1.e1 apabila akan digunakan untuk usaha pertanian, diperlukan tindakan konservasi tanah untuk mencegah erosi, seperti guludan, penanaman dalam strip, penggunaan mulsa, atau pergiliran tanaman atau kombinasi dari tindakan-tindakan tersebut. Selanjutnya lahan kelas III-l2 menempati areal terluas, yaitu seluas 17.630,51 ha atau 41,58 %. Tanah-tanah dalam lahan kelas III-l2 ini mempunyai hambatan yang berat yang mengurangi pilihan penggunaan atau memerlukan tindakan konservasi khusus atau keduanya (Arsyad, 2000).

Lahan kelas III-l2 apabila digunakan untuk usaha budidaya pertanian, diperlukan tindakan konservasi tanah untuk mencegah erosi, seperti guludan bersaluran, penanaman dalam strip, penggunaan mulsa, pergiliran tanaman, pembuatan teras, atau kombinasi dari tindakan-tindakan tersebut. Lahan kelas IV-l3 menempati wilayah seluas 8.862,97 ha atau 20,90 %. Hambatan dan ancaman


(22)

kerusakan pada tanah di dalam lahan kelas IV-l3 lebih besar daripada tanah-tanah di dalam kelas III-l2, dan pilihan tanaman juga lebih terbatas. Dalam usaha pertanian, diperlukan pengelolaan yang lebih hatihati dan tindakan konservasi lebih sulit diterapkan dan dipelihara, seperti teras bangku, saluran bervegetasi, dan dam penghambat, di samping tindakan yang dilakukan untuk memelihara kesuburan dan kondisi fisik tanah.

Kelas kemampuan lahan VI-l4 menempati areal seluas 4.459,01 ha atau 10,52 %. Tanah-tanah dalam kelas VI-l4 mempunyai hambatan yang berat yang menyebabkan tanah-tanah ini tidak sesuai untuk pertanian. Namun tanah di dalam kelas VI-l4 yang daerah perakarannya dalam, Arsyad (2000) dan Sitorus (1985) menyatakan masih dapat dipergunakan untuk usaha pertanian dengan tindakan konservasi yang berat, seperti pembuatan teras bangku. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa DAS Sekampung Hulu memiliki lahan yang seluruhnya bersolum dalam (> 90 cm), sehingga usaha budidaya pertanian khususnya tanaman tahunan seperti kopi beserta campurannya masih memungkinkan, tetapi dengan penerapan konservasi tanah dan air yang tepat, di samping pemberian pupuk baik alam maupun buatan.

Selanjutnya kelas kemampuan lahan VII-l5 terdapat pada 2 satuan lahan di DAS Sekampung Hulu, menempati areal seluas 3.171,00 ha atau 7,48 %. Lahan kelas VII-l5 tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Jika tetap digunakan untuk usaha pertanian, Arsyad (2000) dan Sitorus (1985) menyatakan harus dibuat teras bangku yang ditunjang dengan cara-cara vegetatif untuk konservasi tanah, di samping tindakan pemupukan.8

BAB IV PENUTUP

8 Sumber : Banuwa ,Irwan, Sukri, Naik, Sinukaban, Suria.2008.Evaluasi Kemampuan Lahan DAS Sekampung Hulu.Lampung


(23)

4.1 Kesimpulan

Kemampuan Lahan merupakan lahan potensial untuk budidaya pertanian. karakteristik lahan umumnya mempunyai hubungan satu sama lainnya di dalam pengertian kualitas lahan dan akan berpengaruh terhadap jenis penggunaan dan/atau pertumbuhan tanaman dan komoditas lainnya yang berbasis lahan (peternakan, perikanan, kehutanan).

Perubahan penggunaan lahan terjadi karena adanya pertambahan penduduk dan adanya perkembangan tuntutan hidup, kebutuhan rumah, yang membutuhkan ruang sebagai wadah semakin meningkat. Gerakan penduduk yang terbalik, yaitu dari kota ke daerah pinggiran kota yang sudah termasuk wilayah Desa. Daerah pinggiran kota sebagai daerah yang memiliki ruang relatif masih luas ini memiliki daya tarik bagi penduduk dalam memperoleh tempat tinggal. Kepadatan penduduk secara umum, dapat diartikan sebagai perbandingan antara jumlah penduduk dengan luas tanah yang didiami dalam satuan luas. Kepadatan penduduk oleh faktor faktor seperti topografi, iklim, tata air, aksesibilitas dan ketersediaan fasilitas hidup (Bintarto, 1983) Pemanfaatan sumber daya lahan merupaklan usaha penggunaan lahan untuk suatu tujuan tertentu yang dapat memberikan arti ekonomis, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang bagi kehidupan manusia.

Klasifikasi kemampuan lahan (Land Capability Classification) adalah penilaian lahan (komponen-komponen lahan) secara sistematik dan pengelompokannya ke dalam beberapa kategori berdasarkan atas sifat-sifat yang merupakan potensi dan penghambat dalam penggunaannya secara lestari. Menurut Hadmoko (2012), beberapa metode klasifikasi kemampuan lahan adalah sebagai berikut: 1. Metode kualitatif/deskriptif ,2. Metode statistik ,3. Metode matching ,4. Metode pengharkatan (scoring)

4.2 Saran

Menjaga lingkungan merupakan tugas kita sebagai manusia, kalau bukan kita yang melestarikanya, siapa lagi? Hutan adalah asset / harta suatu bangsa yang sangat berharga yang harus dipertahankan keberadaannya demi anak cucu di masa yang akan datang. Oleh sebab itu kita jangan membiarkan lingkungan hutan dirusak oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.


(24)

Aziz S, 2008. Evaluasi Kemampuan Lahan dan Pendugaan Erosi untuk Arahan Pemanfaatan Lahan Di Sub DAS Juwet dan Dondong, Gunung Kidul yogyakarta. Thesis. Program Studi Geografi Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta

Banuwa ,Irwan, Sukri, Naik, Sinukaban, Suria.2008.Evaluasi Kemampuan Lahan DAS Sekampung Hulu.Lampung.

Departemen Kehutanan, Ditjen RRL, 1986. Petunjuk Pelaksanaan Penyusunan Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah. Departemen Kehutanan, Jakarta

Djaenuddin, D, Dkk,.1994. Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Pertanian dan Kehutanan (Land Suitability for Agriculture and Silvicultural

Plants).Second Land Resource Evaluation and Planning Project, ADB Loan 1099. INO. Laporan Teknis No 7 Versi 1.0. 51 pp

FAO. (1976), A framework for Land Evaluation. Soil Resources Management and Conservation   Service   Land   and   Water   Development   Division,   FAO   Soil Buletin No. 32,FAO­UNO, Rome.

Fletcher, J.R. and R.G. Gibb. 1991. Land Resource Inventory Handbook for Soil Conservation Planning in Indonesia. NZ DSIR Scientific Report No. 11. NZ DSIR Land Resources and Dir Gen RLR of Indonesia. 87 pp.

Ishak,Marenda.2008. Penentuan Pemanfaatan Lahan.Fakultas Pertanian Universitas Padjajaran. Jatinangor.

Tarru,Satriani,Baharuddin,dan Anwar .2013. Penggunaan Lahan Pada Berbagai Kelas Kemampuan Lahan Di Sub Das Kelara Bagian Hulu Pada Desa Jenetallasa Kecamatan Rumbia Kabupaten Jeneponto. Pascasarjana Ilmu Kehutanan Universitas Hasanuddin: Makassar.


(1)

kelas kemampuan lahan VII L dengan faktor pembatasnya berupa kelerengan yang curam > 45 Sampai 65 % yaitu 65%, permukaan tanah terbuka dengan kedalaman tanah yang dangkal dan berbatu – batu.

Kesesuaian penggunaan lahan untuk Hutan lindung yang ada saat ini sudah sesuai dengan kelas kemampuan lahan VIII. Hal ini sejalan yang dikatakan Arsyad S, (2010) bahwa lahan kelas VIII tidak sesuai untuk budidaya pertanian, tetapi lebih sesuai untuk dibiarkan dalam keadaan alami.kelas VIII bermanfaat sebagai hutan lindung, tempat rekreasi atau cagar alam. Lahan penggembalaan sudah sesuai dengan kelas kemampuan lahan VI. Hal ini disebabkan karena lereng yang agak curam atau bergunung.Kondisi vegetasi disekitar pengembalaan didominasi oleh semak belukar yang dijadikan sebagai makanan hewan ternak.Lahan ini sejalan dengan yang dikatakan Widiatmaka Dkk, (2007).

Bahwa lahan kelas VI mempunyai penghambat yang sangat berat sehingga tidak sesuai untuk pertanian dan hanya sesuai untuk tanaman rumput ternak atau dihutankan. Penggunaan lahan pemukiman sudah sesuai dengan kelas kemampuan lahan II karena kelerengannya yang landai dan tanah bertekstur halus. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan Arsyad S,(2010). Bahwa lahan kelas kemampuan II mempunyai sedikit hambatan dan tindakan yang diperlukan mudah diterapkan sehingga cocok untuk berbagai penggunaan lahan. Penggunaan lahan kebun campuran tidak sesuai dengan kelas kemampuan lahan VII. Seperti yang dikatakan Widiatmaka Dkk, (2007).bahwa kriteria kemampuan lahan kelas VII yang sama sekali tidak sesuai untuk usaha tani tanaman semusim dan hanya sesuai untuk padang penggembalaan atau dihutankan.

Penggunaan lahan kebun sayur tidak sesuai dengan kelas kemampuan lahan VII karena lahan kelas VII tidak sesuai dengan budidaya pertanian. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan Widiatmaka Dkk, (2007) bahwa kriteria kemampuan lahan kelas VII yang sama sekali tidak sesuai untuk usaha tani tanaman semusim dan hanya sesuai untuk padang penggembalaan atau dihutankan, sedangkan untuk penggunaan lahan Semak belukar tidak sesuai dengan kelas kemampuan lahan VII. hal ini disebabkan karena factor pembatasnya berupa kelerengan yang curam (65 %). Harahap (2007), menyarankan untuk kemiringan lereng 15 sampai 30% lahan tidak boleh diganggu, karena jika kondisi ini terganggu maka kejadian erosi yang akan terjadi semakin berat. Arahan yang tepat untuk penggunaan lahan hutan lindung adalah melakukan upaya reboisasi, pengayaan, dan rehabilitasi hutan.Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, maka kondisi lahan hutan tersebut bisa dimasukkan ke dalam DAS yang dipulihkan. Upaya-upaya pemulihan daya dukung dapat dilakukan melalui kegiatan reboisasi,


(2)

pengayaan, dan rehabilitasi hutan seperti yang telah disebutkan. Akan tetapi hal ini akan lebih mempercepat upaya pemulihan yang dimaksud apabila didukung dengan satu peraturan daerah (Perda) tentang pengelolaan DAS. Untuk lahan penggembalaan arahan yang sesuai adalah perlu adanya perbaikan lahan diantaranya pembersihan lahan dan pengolahan tanah, pemberian pupuk kandang maupun pupuk kompos akan sangat bermanfaat bagi kondisi fisik tanah tersebut karena akan memperbaiki struktur tanah. Jenis tanaman yang akan ditanam juga perlu diperhatikan karena lahan penggembalaan yang baik adalah lahan yang ditanami rumput unggul dan legume ( jenis rumput dan legume yang tahan terhadap injakan ternak) yang digunakan untuk menggembalakan ternak (Maslikah,2013).

Lahan pemukiman arahan yang diupayakan adanya pengadaan sarana dan prasarana yang dapat mendukung di Desa seperti, penambahan bangunan tanggul/tembok penahan disepanjang sisi jalan utama, serta drainase yang tepat menahan rotasi tanah. Selain itu, setiap pembangunan rumah atau prasarana fisik lainnya diharapkan adanya pembuatan kebun pekarangan serta tata ruang yang tepat. Arahan penggunaan lahan kebun campuran yang sesuai adalah tetap mempertahankan sistem agroforestry yang merupakan model pengelolaan lahan agroforestry berbasis kopi. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan

Umar A, dkk (2010).berkesimpulan bahwa penerapan teknik konservasi tanah secara fisik seperti pembuatan rorak dan pengembangan agroforestry berbasis kopi dengan penanaman tanaman buah-buahan dan tanaman penutup tanah dapat lebih meningkatkan fungsi hidrologi hutan lindung serta meningkatkan pendapatan masyarakat. Arahan Penggunaan lahan kebun sayur sangat membutuhkan sistem pertanaman yang sesuai dengan kaidah – kaidah konservasi tanah dan air. Teknik konservasi tanah dan air yang dapat diterapkan antara lain penanaman tanaman rumput sebagai penguat dan disekitar aliran sungai sebagai filter dan pembuatan saluran pembuangan air. Pada lahan yang curam sistem tanam lebih tepat menggunakan sistem tumpang sari .Tumpang sari atau tumpang gilir adalah suatu bentuk pertanaman campuran (polyculture) berupa perlibatan dua jenis atau lebih tanaman pada satu areal lahan tanam dalam waktu yang besamaan dan agak bersamaan. (Asdak, 2001). Sedangkan penggunaan lahan semak belukar tidak sesuai dengan klasifikasi kemampuan lahan VII. arahan yang sesuai pada lahan ini adalah harus dihutankan dengan cara melakukan upaya rehabilitasi lahan, reboisasi dan pemilihan tanaman yang tepat yang sesuai dengan kondisi lahan tersebut serta tidak mengindahkan prinsip-prinsip konservasi tanah dan air.


(3)

3.2 Evaluasi Kemampuan Lahan DAS Sekampung Hulu .

Berdasarkan hasil tumpang susun peta jenis tanah, peta topografi, dan peta penggunaan lahan DAS Sekampung Hulu, diperoleh 20 satuan lahan

Klasifikasi Kemampuan Lahan DAS Sekampung Hulu

Berdasarkan hasil survey lapang dan analisis contoh tanah masing-masing satuan lahan di laboratorium, kemudian dinilai dengan kriteria klasifikasi kemampuan lahan (Tabel 1), diperoleh hasil bahwa DAS Sekampung Hulu memiliki kelas II, III, IV, VI, dan VII, dengan faktor penghambat utama untuk seluruh kelas kemampuan lahan adalah kecuraman lereng. Secara rinci hasil klasifikasi kemampuan lahan DAS Sekampung Hulu disajikan pada data hasil evaluasi kemampuan lahan menunjukkan bahwa sebagian besar DAS Sekampung Hulu didominasi oleh kelas dan sub kelas kemampuan lahan III-l2 yaitu seluas 17.630,51 ha atau 41,58 %, kemudian berturut-turut diikuti oleh kelas dan sub kelas kemampuan lahan IV-l3 seluas 8.862,97 ha atau 20,90 %, II-l1.e1 seluas 5.458,37 ha atau 12,87 %, VI-l4 seluas 4.459,01 ha atau 10,52 %, dan terakhir VII-l5 seluas 3.171,00 ha atau 7,48 %.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa DAS Sekampung Hulu didominasi oleh lahan bergelombang hingga berlereng curam dengan kemiringan lereng lebih dari 8 % yaitu seluas 34.123,47 ha atau 80,84 %. Hal ini menunjukkan bahwa usaha budidaya pertanian yang dapat dilakukan hanya terbatas pada usahatani tanaman tahunan dengan tindakan konservasi tanah dan air yang tepat agar kelestarian lahan dapat terjaga.

Kemampuan lahan DAS Sekampung Hulu yang paling kecil risiko kerusakannya adalah lahan kelas II-l1.e1, tetapi hanya menempati areal seluas 5.458,37 ha atau 12,87 % dari luas total, dan untuk itu Arsyad (2000) menyatakan bahwa pada lahan kelas II-l1.e1 apabila akan digunakan untuk usaha pertanian, diperlukan tindakan konservasi tanah untuk mencegah erosi, seperti guludan, penanaman dalam strip, penggunaan mulsa, atau pergiliran tanaman atau kombinasi dari tindakan-tindakan tersebut. Selanjutnya lahan kelas III-l2 menempati areal terluas, yaitu seluas 17.630,51 ha atau 41,58 %. Tanah-tanah dalam lahan kelas III-l2 ini mempunyai hambatan yang berat yang mengurangi pilihan penggunaan atau memerlukan tindakan konservasi khusus atau keduanya (Arsyad, 2000).

Lahan kelas III-l2 apabila digunakan untuk usaha budidaya pertanian, diperlukan tindakan konservasi tanah untuk mencegah erosi, seperti guludan bersaluran, penanaman dalam strip, penggunaan mulsa, pergiliran tanaman, pembuatan teras, atau kombinasi dari tindakan-tindakan tersebut. Lahan kelas IV-l3 menempati wilayah seluas 8.862,97 ha atau 20,90 %. Hambatan dan ancaman


(4)

kerusakan pada tanah di dalam lahan kelas IV-l3 lebih besar daripada tanah-tanah di dalam kelas III-l2, dan pilihan tanaman juga lebih terbatas. Dalam usaha pertanian, diperlukan pengelolaan yang lebih hatihati dan tindakan konservasi lebih sulit diterapkan dan dipelihara, seperti teras bangku, saluran bervegetasi, dan dam penghambat, di samping tindakan yang dilakukan untuk memelihara kesuburan dan kondisi fisik tanah.

Kelas kemampuan lahan VI-l4 menempati areal seluas 4.459,01 ha atau 10,52 %. Tanah-tanah dalam kelas VI-l4 mempunyai hambatan yang berat yang menyebabkan tanah-tanah ini tidak sesuai untuk pertanian. Namun tanah di dalam kelas VI-l4 yang daerah perakarannya dalam, Arsyad (2000) dan Sitorus (1985) menyatakan masih dapat dipergunakan untuk usaha pertanian dengan tindakan konservasi yang berat, seperti pembuatan teras bangku. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa DAS Sekampung Hulu memiliki lahan yang seluruhnya bersolum dalam (> 90 cm), sehingga usaha budidaya pertanian khususnya tanaman tahunan seperti kopi beserta campurannya masih memungkinkan, tetapi dengan penerapan konservasi tanah dan air yang tepat, di samping pemberian pupuk baik alam maupun buatan.

Selanjutnya kelas kemampuan lahan VII-l5 terdapat pada 2 satuan lahan di DAS Sekampung Hulu, menempati areal seluas 3.171,00 ha atau 7,48 %. Lahan kelas VII-l5 tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Jika tetap digunakan untuk usaha pertanian, Arsyad (2000) dan Sitorus (1985) menyatakan harus dibuat teras bangku yang ditunjang dengan cara-cara vegetatif untuk konservasi tanah, di samping tindakan pemupukan.8

BAB IV PENUTUP

8 Sumber : Banuwa ,Irwan, Sukri, Naik, Sinukaban, Suria.2008.Evaluasi Kemampuan Lahan DAS Sekampung Hulu.Lampung


(5)

4.1 Kesimpulan

Kemampuan Lahan merupakan lahan potensial untuk budidaya pertanian. karakteristik lahan umumnya mempunyai hubungan satu sama lainnya di dalam pengertian kualitas lahan dan akan berpengaruh terhadap jenis penggunaan dan/atau pertumbuhan tanaman dan komoditas lainnya yang berbasis lahan (peternakan, perikanan, kehutanan).

Perubahan penggunaan lahan terjadi karena adanya pertambahan penduduk dan adanya perkembangan tuntutan hidup, kebutuhan rumah, yang membutuhkan ruang sebagai wadah semakin meningkat. Gerakan penduduk yang terbalik, yaitu dari kota ke daerah pinggiran kota yang sudah termasuk wilayah Desa. Daerah pinggiran kota sebagai daerah yang memiliki ruang relatif masih luas ini memiliki daya tarik bagi penduduk dalam memperoleh tempat tinggal. Kepadatan penduduk secara umum, dapat diartikan sebagai perbandingan antara jumlah penduduk dengan luas tanah yang didiami dalam satuan luas. Kepadatan penduduk oleh faktor faktor seperti topografi, iklim, tata air, aksesibilitas dan ketersediaan fasilitas hidup (Bintarto, 1983) Pemanfaatan sumber daya lahan merupaklan usaha penggunaan lahan untuk suatu tujuan tertentu yang dapat memberikan arti ekonomis, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang bagi kehidupan manusia.

Klasifikasi kemampuan lahan (Land Capability Classification) adalah penilaian lahan (komponen-komponen lahan) secara sistematik dan pengelompokannya ke dalam beberapa kategori berdasarkan atas sifat-sifat yang merupakan potensi dan penghambat dalam penggunaannya secara lestari. Menurut Hadmoko (2012), beberapa metode klasifikasi kemampuan lahan adalah sebagai berikut: 1. Metode kualitatif/deskriptif ,2. Metode statistik ,3. Metode matching ,4. Metode pengharkatan (scoring)

4.2 Saran

Menjaga lingkungan merupakan tugas kita sebagai manusia, kalau bukan kita yang melestarikanya, siapa lagi? Hutan adalah asset / harta suatu bangsa yang sangat berharga yang harus dipertahankan keberadaannya demi anak cucu di masa yang akan datang. Oleh sebab itu kita jangan membiarkan lingkungan hutan dirusak oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.


(6)

Aziz S, 2008. Evaluasi Kemampuan Lahan dan Pendugaan Erosi untuk Arahan Pemanfaatan Lahan Di Sub DAS Juwet dan Dondong, Gunung Kidul yogyakarta. Thesis. Program Studi Geografi Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta

Banuwa ,Irwan, Sukri, Naik, Sinukaban, Suria.2008.Evaluasi Kemampuan Lahan DAS Sekampung Hulu.Lampung.

Departemen Kehutanan, Ditjen RRL, 1986. Petunjuk Pelaksanaan Penyusunan Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah. Departemen Kehutanan, Jakarta

Djaenuddin, D, Dkk,.1994. Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Pertanian dan Kehutanan (Land Suitability for Agriculture and Silvicultural

Plants).Second Land Resource Evaluation and Planning Project, ADB Loan 1099. INO. Laporan Teknis No 7 Versi 1.0. 51 pp

FAO. (1976), A framework for Land Evaluation. Soil Resources Management and

Conservation   Service   Land   and   Water   Development   Division,   FAO   Soil

Buletin No. 32,FAO­UNO, Rome.

Fletcher, J.R. and R.G. Gibb. 1991. Land Resource Inventory Handbook for Soil Conservation Planning in Indonesia. NZ DSIR Scientific Report No. 11. NZ DSIR Land Resources and Dir Gen RLR of Indonesia. 87 pp.

Ishak,Marenda.2008. Penentuan Pemanfaatan Lahan.Fakultas Pertanian Universitas Padjajaran. Jatinangor.

Tarru,Satriani,Baharuddin,dan Anwar .2013. Penggunaan Lahan Pada Berbagai Kelas Kemampuan Lahan Di Sub Das Kelara Bagian Hulu Pada Desa Jenetallasa Kecamatan Rumbia Kabupaten Jeneponto. Pascasarjana Ilmu Kehutanan Universitas Hasanuddin: Makassar.