Perubahan Struktur Agraria Dampak Perubahan Struktur Agraria Terhadap Aksesibilitas Mata Pencaharian Masyarakat Lokal

6 Pola hubungan tersebut mencakup hubungan antara subjek dengan objek ataupun subjek dengan subjek. Sehingga, perubahan struktur agraria dapat diartikan sebagai pergeseran pola-pola hubungan antara subyek agraria dengan sumber-sumber agraria. Menurut Wiradi 2009, tata hubungan yang sudah mapan dalam struktur agraria dapat berubah akibat bekerjanya berbagai faktor yang mempengaruhi. Proses perubahan tata hubungan ini sendiri dapat terjadi secara halus, tetapi juga dapat terjadi melalui, atau juga menimbulkan suatu gejolak. Selanjutnya, Sihaloho menyatakan: “…Perubahan struktur agraria berdampak pada menguatnya proses marginalisasi yang ditunjukkan oleh praktek-praktek penguasaan lahan, penggunaan tanah, dan pola nafkah …” Sihaloho 2004. Selain itu, menurut Sihaloho et al. 2009, perubahan struktur agraria dapat mempengaruhi diferensiasi kesejahteraan petani. Munculnya pola hubungan sosial produksi banyak pihak dan munculnya pola hubungan sosial produksi dua pihak yang semakin terakumulasi atau tersubordinasi pada pemilik lahan didorong oleh munculnya struktur agraria yang baru. Perubahan struktur agraria dipengaruhi oleh berbagai faktor. Menurut Zuber 2007 terdapat empat faktor yang mempengaruhi perubahan struktur agraria, yaitu: 1. Permintaan lahan dari kegiatan non-pertanian seperti pembangunan real estate, pabrik, areal perdagangan dan pelayanan lainnya yang membutuhkan areal tanah yang luas. 2. Faktor sosial budaya, seperti adanya aturan warisan. 3. Kerusakan lingkungan seperti adanya musim kemarau panjang yang mengakibatkan kekeringan serta penggunaan pestisida ataupun pupuk yang dapat mematikan predator dan kerusakan lahan pertanian. 4. Kelemahan hukum yang mengatur bidang pertanian, seperti proses input pertanian yang sangat tinggi high cost, namun di sisi lain penjualan outputnya masih sangat rendah. Permintaan lahan dari kegiatan non-pertanian biasanya dipenuhi dengan cara melakukan konversi lahan. Konversi lahan dapat diartikan sebagai berubahnya fungsi sebagian atau seluruh kawasan dari fungsinya semula seperti direncanakan menjadi fungsi lain yang dapat memberikan dampak negatif terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria UUPA yang dimaksud dengan konversi adalah penyesuaian hak-hak atas lahan yang pernah tunduk kepada sistem hukum lama yaitu hak-hak lahan menurut kitab undang-undang hukum perdata barat dan lahan-lahan yang tunduk kepada hukum adat untuk masuk dalam sistem hak-hak lahan menurut ketentuan UUPA. Menurut Soetarto 2015 2 , konversi lahan didorong oleh dua faktor yakni faktor vertikal dan faktor horizontal. Faktor vertikal adalah faktor pendorong terjadinya konversi lahan akibat hubungan antar masyarakat. Sedangkan faktor horizontal adalah faktor pendorong terjadinya konversi lahan akibat intervensi pemerintah dan swasta. Selain itu, menurut Sihaloho 2004, faktor yang menyebabkan konversi lahan terbagi menjadi dua, yaitu: 2 Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA Guru besar bidang Kajian Agraria pada tanggal 23 Desember 2015. 7 a. Aras makro, terdiri dari pertumbuhan industri, pertumbuhan pemukiman, pertumbuhan penduduk, intervensi pemerintah dan marginalisasi ekonomi. b. Aras mikro, terdiri dari pola nafkah rumahtangga struktur ekonomi rumahtangga, kesejahteraan rumahtangga orientasi nilai ekonomi rumahtangga, strategi bertahan hidup rumahtangga tindakan ekonomi rumahtangga. Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Sihaloho 2004 dan Soetarto 2015 tersebut, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang dapat mendorong terjadinya perubahan struktur agraria akibat adanya konversi lahan terbagi menjadi dua faktor, yakni faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor-faktor pendorong terjadinya perubahan struktur agraria yang berasal dari masyarakat, sedangkan faktor eksternal adalah faktor-faktor pendorong terjadinya terjadinya perubahan struktur agraria yang berasal dari luar masyarakat. Lebih jauh, menurut Soetarto 2016 3 sebagai pendorong perubahan struktur agraria, faktor internal ditandai dengan adanya arus penjualan lahan oleh masyarakat, sedangkan faktor eksternal ditandai dengan adanya arus pelepasan lahan karena intervensi pemerintah dan intervensi swasta.

c. Perkebunan

Pengertian perkebunan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang perkebunan adalah segala kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada tanah danatau media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang sesuai, mengolah, dan memasarkan barang dan jasa hasil tanaman tersebut, dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi, permodalan serta manajemen untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pelaku usaha perkebunan dan masyarakat. Menurut Badan Pusat Statistik, Perkebunan adalah lahan yang memiliki status legal untuk dibuat perkebunan tanaman secara komersil pada lahan tersebut, berdasarkan pada undang-undang yang dijamin oleh pemerintah. Dengan kata lain, seperti perkebunan tanaman pribadi yang tidak mempunyai hak untuk mengeksploitasi dengan mempertimbangkan perkebunan rakyat. Merujuk pada definisi perkebunan dari BPS, komoditas yang dihasilkan adalah karet, kelapa sawit, kopi, kakao, teh, kina, tebu, tembakau dan rosela. data yang dikumpulkan terdiri dari produksi, lahan dan persediaan komoditas. Sedangkan menurut Pusat penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian, definisi perkebunan adalah segala kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada tanah danatau media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang sesuai, mengolah, dan memasarkan barang dan jasa hasil tanaman tersebut, dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi, permodalan serta manajemen untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pelaku usaha perkebunan dan masyarakat. Pengembangan perkebunan kelapa sawit dimulai tahun 1911 dan perkebunan diusahakan berorientasi pada pasar ekspor. Perintis usaha perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah Adrien Haller, seorang yang berkebangsaan Belgia yang telah belajar banyak tentang kelapa sawit di Afrika, budidaya yang dilakukan diikuti oleh K. Schadt yang menandai lahirnya perkebunan kelapa sawit di 3 Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA Guru besar bidang Kajian Agraria pada tanggal 05 Juni 2016. 8 Indonesia. Indonesia mulai mengekspor minyak sawit pada tahun 1919 ke negara- negara eropa, kemudian tahun 1923 mulai mengekspor minyak inti sawit. Pada masa pendudukan Belanda, perkebunan kelapa sawit mengalami perkembangan yang cukup pesat, Indonesia menggeser dominasi ekspor negara Afrika pada waktu itu. Memasuki masa pendudukan Jepang, perkembangan kelapa sawit mengalami kemunduran, secara keseluruhan produksi perkebunan kelapa sawit terhenti. Setelah Belanda dan Jepang meninggalkan Indonesia pada tahun 1957, pemerintah mengambil alih perkebunan dengan alasan politik dan keamanan, perubahan manajemen dalam perkebunan dan kondisi sosial politik dan keamanan dalam negeri yang tidak kondusif menyebabkan produksi kelapa sawit mengalami penurunan, pada periode tersebut posisi Indonesia sebagai pemasok minyak sawit dunia terbesar mulai tergeser oleh Malaysia. Memasuki pemerintahan orde baru, pembangunan perkebunan diarahkan dalam rangka menciptakan kesempatan kerja, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan sebagai sektor penghasil devisa Negara. Pada tahun 1978, pemerintah mengambil kebijakan untuk mengalokasikan sebagian besar produksi minyak sawit ke pasar domestik karena adanya kekurangan penawaran minyak nabati yang disebabkan turunnya produksi kelapa. Pemerintah terus mendorong pembukaan lahan baru untuk perkebunan untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit Indonesia yang kemudian didukung oleh kebijakan pemerintah yang melaksanakan program Perkebunan Inti Rakyat PIR-bun yang merupakan terjemahan dari Nucleus Estate Smallholder Development Project NES Project.