Tingkat akses masyarakat lokal 2. Tingkat pergeseran dan
13
Hipotesis Penelitian Hipotesis Pengarah
Diduga perubahan struktur agraria berdampak pada aksesibilitas mata pencaharian masyarakat lokal.
Hipotesis Uji
1. Diduga perubahan struktur agraria menyebabkan perubahan akses masyarakat lokal terhadap sumber agraria.
2. Diduga perubahan struktur agraria menyebabkan pergeseran dan diversifikasi mata pencaharian masyarakat lokal.
3. Diduga perubahan struktur agraria menyebabkan perubahan pendapatan masyarakat lokal.
14
15
PENDEKATAN LAPANG
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif yang dikuatkan dengan penelitian kualitatif untuk memperkaya data dan informasi yang diperoleh.
Pendekatan penelitian kuantitatif diperoleh dengan melakukan survei yang menggunakan instrumen kuesioner dilapangan. Kuesioner diberikan kepada
responden dengan tujuan untuk mengetahui pola perubahan struktur agraria dan perubahan aksesibilitas mata pencaharian masyarakat lokal. Penelitian ini juga
bersifat eksplanatori explanatory research karena analisisnya menjelaskan hubungan antar variabel melalui uji hipotesis Effendi dan Tukiran 2012.
Sementara itu, pendekatan kualitatif dilakukan dengan wawancara mendalam terhadap informan menggunakan panduan wawancara. Panduan wawancara
diberikan kepada informan untuk mendapatkan pengayaan data dan informasi terkait proses perubahan struktur agraria yang terjadi serta faktor-faktor yang
mendorong terjadinya perubahan tersebut. Pandangan subyektif-kualitatif informan kemudian dibandingkan dengan hasil analisis obyektif-kuantitatif
responden, sehingga didapatkan informasi dengan analisa dan interpretasi yang lebih rinci dan mendalam.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Desa Murutuwu, Kecamatan Paju Epat, Kabupaten Barito Timur, Provinsi Kalimantan Tengah. Lokasi tersebut dipilih secara
purposive dengan pertimbangan lokasi tersebut merupakan salah satu tempat dimana pembangunan perkebunan dan pabrik pengolahan kelapa sawit sedang
berjalan. Pada lokasi ini melibatkan masyarakat sekitar karena banyak tanah masyarakat yang telah dilepas untuk perkebunan kelapa sawit serta terjadi
sangketa antara petani plasma yang merasa dirugikan dan perusahan kelapa sawit karena ketidakjelasan lokasi kebun plasma serta sistem bagi hasil dengan pola
kemitraan yang tidak
sesuai dengan perjanjian awal, yakni 20 berbanding 80. Penelitian dilaksanakan dalam waktu lima bulan, terhitung mulai bulan
Januari 2016 sampai dengan Juni 2016. Kegiatan penelitian meliputi penyusunan proposal skripsi, perbaikan proposal skripsi, kolokium, pengambilan data
lapangan, pengolahan dan analisis data, penulisan draft skripsi, sidang skripsi, dan perbaikan penulisan skripsi.
Teknik Pemilihan Responden dan Informan
Sumber data penelitian diperoleh oleh peneliti dari responden dan informan yang berada dalam suatu populasi. Populasi sasaran dalam penelitian ini adalah
rumahtangga dari masyarakat lokal yang terkena dampak perubahan struktur agraria di Desa Murutuwu, Kecamatan Paju Epat, Kabupaten Barito Timur.
Berdasarkan data dari Desa Murutuwu, tercatat sebanyak 205 unit rumahtangga yang menetap di Desa Murutuwu. Berdasarkan populasi tersebut, ditentukan
sampel penelitian sebanyak 35 responden dengan menggunakan teknik simple
16
random sampling atau teknik acak sederhana. Teknik simple random sampling merupakan probability sampling dimana setiap unit penelitian mempunyai
kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai sampel sehingga setiap hasilnya dapat dievaluasi secara obyektif. Pengambilan sampel acak yang terpilih
ditentukan dari kerangka percontohan atau sampling frame.
Sementara itu pemilihan informan akan dilakukan secara sengaja purposive dan jumlahnya tidak ditentukan. Pemilihan informan tersebut dilakukan dengan
menggunakan teknik bola salju snowball yang memungkinkan perolehan data dari satu informan ke informan lainnya. Teknik bola salju akan digunakan untuk
memperkaya data dan informasi penelitian. Pencarian data dan informasi menggunakan teknik ini akan berhenti apabila tambahan informasi tidak lagi
menghasilkan pengetahuan baru atau informasi yang didapatkan sudah berada pada titik jenuh. Informan yang dipilih dalam penelitian ini adalah aparatur desa,
tokoh adat dan tokoh masyarakat, yang dianggap mengetahui dengan jelas perkembangan wilayah Desa Murutuwu. Dalam pencarian data dan informasi
dilakukan wawancara mendalam terhadap informan dengan menggunakan panduan pertanyaan.
Karakteristik Responden
Unit analisis dalam penelitian ini adalah rumahtangga dari masyarakat lokal di Desa Murutuwu yang diambil kerangka sampling dari 3 RT Rukun Tetangga.
Jumlah responden yang diambil dalam penelitian ini adalah sebanyak 35 responden. Adapun karakteristik responden yang diidentifikasi dalam penelitian
ini adalah usia, jenis kelamin, pendidikan terakhir, lama tinggal di lokasi, status kependudukan, jumlah tanggungan, pekerjaan saat ini, dan luas kepemilikan
lahan.
Tabel 1 Karakteristik responden
No Karakteristik
Responden Kategori
Jumlah n
Persen
1 Usia
40 tahun 40 x 53 tahun
53 tahun 15
10 10
42.8 28.6
28.6
2 Jenis Kelamin
Laki-Laki Perempuan
34 1
97.1 2.9
3 Pendidikan Terakhir
SDSederajat SMPSederajat
SMASederajat Perguruan Tinggi
7 13
14 1
20 37.1
40 2.9
4 Pekerjaan Saat Ini
Petani Pegawai Swasta Buruh
Pegawai Negeri Sipil WiraswastaUsahawan
9 24
1 1
25.7 68.6
2.9 2.9
17
5 Jumlah Tanggungan
1 orang 1 x 3 orang
3 orang 5
25 5
14.3 71.4
14.3
6 Status Kependudukan
Asli Pendatang
34 1
97.1 2.9
7 Lama Tinggal di
Lokasi 39 tahun
39 x 53 tahun 53 tahun
13 12
10 37.1
34.3 28.6
Sumber: Data primer 2016
Pengkategorian karakteristik responden dalam penelitian ini dibuat menggunakan standar deviasi dengan kategori rendah, sedang, dan tinggi. Pada
tabel 1 ditunjukkan bahwa 42.8 responden berusia kurang dari 40 tahun, 28.6 berusia antara 40 sampai 53 tahun, dan 28.6 berusia lebih dari 53 tahun. Rata-
rata usia responden adalah 47 tahun dengan 97.1 responden berjenis kelamin laki-laki, dan 2.9 responden berjenis kelamin perempuan. Pada tingkat
pendidikan, sebanyak 40 responden menamatkan pendidikan formal di tingkat SMA, 13 responden menamatkan pendidkan di tingkat SMP, dan 2.9
menamatkan pendidikan di tingkat perguruan tinggi strata 1. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat pendidikan responden di Desa Murutuwu sudah
cukup tinggi walaupun masih ada 20 responden yang hanya menamatkan pendidikan di tingkat SD.
Meskipun tingkat pendidikan responden cukup tinggi, masuknya perkebunan kelapa sawit dan didirikannya pabrik pengolahan kelapa sawit di Desa Murutuwu
serta menurunnya harga komoditas karet nyatanya mampu merubah mata pencaharian responden. Pekerjaan responden yang awalnya adalah mayoritas
petani karet dirasa tidak mampu lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Sebanyak 68.6 responden saat ini bekerja sebagai buruh harian lepas di PT
Sawit Graha Manunggal. Namun, masih terdapat 25.7 responden bertahan menjadi petani karet, 2.9 responden adalah Pegawai Negeri Sipil PNS dan
2.9 responden adalah wiraswastausahawan. Perubahan mata pencaharian responden juga berkaitan dengan jumlah tanggungan responden. Jumlah
tanggungan dalam keluarga responden dilihat dari banyaknya jumlah orang yang menjadi tanggungan dalam keluarga, dimana jumlah tanggunan responden pada
Desa Murutuwu termasuk dalam jumlah yang tinggi. Tabel 1 menunjukkan bahwa sebanyak 14.3 responden memiliki tanggungan 1 orang, 71.4 responden
memiliki tanggungan sebanyak lebih dari 1 sampai dengan 3 orang, 14.3 responden memiliki tanggungan sebanyak lebih dari 3 orang dengan rata-rata
jumlah tanggungan responden adalah 2 orang.
Selanjutnya, status kependudukan responden sebanyak 34 orang atau 97.1 adalah penduduk asli dan sebanyak 1 orang atau 2.19 adalah pendatang.
Responden pendatang tersebut telah tinggal di Desa Murutuwu sejak tahun 1994 sehingga cukup mengetahui bagaimana perkembangan Desa Murutuwu sebelum
dan sesudah adanya pembangunan perkebunan dan pabrik pengolahan kelapa sawit di Desa Murutuwu tersebut. Lama responden tinggal di Desa Murutuwu
bervariasi sesuai dengan status kependudukan mereka. Sebanyak 37.1
18
responden tinggal di Desa Murutuwu kurang dari 39 tahun, kemudian sebanyak 34.3 responden tinggal di Desa Murutuwu sekitar 39 sampai 53 tahun, dan
sebanyak 28.6 responden telah tinggal di Desa Murutuwu lebih dari 53 tahun.
Teknik Pengumpulan Data
Penelitian yang dilakukan menggunakan jenis data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh langsung dilapangan melalui observasi, survei, serta
wawancara mendalam yang dilakukan langsung kepada responden maupun informan. Alat ukur yang digunakan dalam mengumpulkan data kuantitatif adalah
kuesioner yang ditujukan kepada responden. Pengisian kuisioner dipandu oleh peneliti untuk mencegah terjadinya kesalahan dalam pengisian jawaban.
Sementara itu, data sekunder diperoleh dari dokumen-dokumen tertulis di kantor Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Barito Timur, Dinas Badan
Lingkungan Hidup Kabupaten Barito Timur, kantor kecamatan Paju Epat, kantor desa Murutuwu, serta kantor BPS Kabupaten Barito Timur yang berkaitan dengan
penelitian ini. Selain itu didukung pula dengan buku, jurnal-jurnal penelitian, skripsi, tesis, disertasi dan laporan penelitian yang diperoleh baik dalam bentuk
cetak maupun elektronik yang berfungsi sebagai literatur atau rujukan tambahan dalam pelaksanaan penelitian. Sedangkan untuk mengumpulkan data kualitatif,
digunakan teknik wawancara mendalam dengan menggunakan panduan pertanyaan kepada aparatur desa, tokoh adat dan tokoh masyarakat,yang dianggap
mengetahui dengan jelas perkembangan dari wilayah penelitian. Observasi atau pengamatan di lapangan juga akan dilakukan untuk mendapatkan gambaran secara
langsung di lapang serta aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat.
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Penelitian ini memiliki dua jenis data yang akan diolah dan dianalisis, yaitu data kuatitatif dan kualitatif. Pengolahan data kuantitatif menggunakan aplikasi
Microsoft Excel dan SPSS. for windows 22.0. Pembuatan table frekuensi, grafik, serta diagram, untuk melihat data responden masing-masing variable secara
tunggal menggunakan Microsoft Excel 2013. Selanjutnya SPSS. for windows 22.0 digunakan untuk membantu dalam uji statistik yang akan menggunakan uji regresi
linear sederhana. Uji regresi linear sederhana adalah alat analisis peramalan nilai pengaruh satu variabel bebas terhadap variabel terikat. Adapun variabel-variabel
yang akan diuji dengan regresi linear sederhana adalah perubahan struktur agraria, dengan tingkat akses masyarakat lokal, tingkat pergeseran dan diversifikasi mata
pencaharian masyarakat lokal, serta tingkat pendapatan masyarakat lokal dengan taraf signifikasi 5. Variabel bebas atau pengaruh adalah perubahan struktur
agraria dan variabel terikat atau terpengaruh adalah tingkat akses masyarakat lokal, tingkat pergeseran dan diversifikasi mata pencaharian masyarakat lokal,
serta tingkat pendapatan masyarakat lokal.
Data kualitatif digunakan sebagai data pendukung yang akan diolah dan dianalisis dengan konten analisis. Pengolahan dan analisis data kualitatif
dilakukan dengan mereduksi atau meringkas data dengan menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisasikan data
19
sedemikian rupa sehingga sesuai dengan keperluan untuk menjawab pertanyaan analisis didalam penelitian. Selanjutnya penyajian data dengan menyusun segala
informasi dan data yang diperoleh dalam bentuk matriks dan narasi yang mudah untuk dibaca serta dipahami. Verifikasi adalah langkah terakhir yang merupakan
penarikan kesimpulan dari hasil yang telah diolah pada tahap reduksi.
Definisi Operasional
Penelitian ini menggunakan beberapa istilah operasional yang digunakan untuk mengukur variabel. Adapun definisi operasional yang digunakan adalah
sebagai berikut:
1. Perubahan Struktur Agraria Land Dispossession, merupakan hilangnya kepemilikan atas lahan yang
diakibatkan oleh perubahan struktur agraria. Variabel ini menggunakan skala interval dengan akumulasi skor dibagi menggunakan standar deviasi ke dalam tiga
kategori yakni rendah skor 12,5, sedang skor 12,5 - 13,5, dan tinggi skor 13,5. Variabel ini akan dianalisis secara kuantitatif dengan peubah dan indikator
sebagai berikut: a. Tingkat penguasaan dan pelepasan lahan adalah status dan ukuran lahan yang
masih dikuasai dan telah dilepaskan oleh responden untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pengukuran ini ditentukan secara subjektif dengan
membandingkan kondisi sebelum dan sesudah adanya perkebunan dan pabrik pengolahan kelapa sawit yang dialami oleh responden. Data diukur dengan
mengajukan pertanyaan tertutup dengan opsi Ya dan Tidak serta dengan pertanyaan terbuka sebagai keterangan.
b. Tingkat ketergantungan pada lahan adalah sejauhmana lahan berpengaruh dalam memenuhi kebutuhan hidup responden. Diukur berdasarkan seberapa
besar ketergantungan responden terhadap lahan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dengan mengajukan pertanyaan tertutup dengan opsi Ya dan Tidak
serta dengan pertanyaan terbuka sebagai keterangan.
2. Aksesibilitas Mata Pencaharian Masyarakat Lokal Variabel ini akan dianalisis secara kuantitatif dengan peubah dan indikator
sebagai berikut: a. Tingkat akses masyarakat lokal adalah kemampuan responden untuk
menjangkau dan menggunakan sumber agraria. Pengukuran ini ditentukan secara subjektif dengan membandingkan kondisi sebelum dan sesudah adanya
perkebunan dan pabrik pengolahan kelapa sawit yang dialami oleh responden. Data diukur dengan mengajukan pertanyaan tertutup dengan opsi Ya dan
Tidak. Variabel ini menggunakan skala interval dengan akumulasi skor dibagi menggunakan standar deviasi ke dalam tiga kategori yakni rendah skor
11,5, sedang skor 11,5 - 12,5, dan tinggi skor 12,5.
b. Tingkat pergeseran dan diversifikasi mata pencaharian masyarakat lokal adalah berubahnya mata pencaharian utama masyarakat akibat adanya
perkebunan kelapa sawit. Variabel ini menggunakan skala interval dengan akumulasi skor dibagi menggunakan standar deviasi ke dalam tiga kategori
yakni rendah skor 9, sedang skor 9 - 11, dan tinggi skor 11. Data
20
diukur dengan mengajukan pertanyaan tertutup dengan opsi Ya dan Tidak serta dengan pertanyaan terbuka, berdasarkan indikator:
Perubahan pola kerja adalah perbedaan kesibukan atau kegiatan yang
responden lakukan setiap harinya untuk mencari nafkah sebelum dan setelah adanya perkebunan dan pabrik pengolahan kelapa sawit
Tingkat kesempatan kerja adalah persepsi responden terhadap terbukanya peluang masyarakat untuk bekerja setelah adanya perkebunan dan pabrik
pengolahan kelapa sawit. c. Tingkat pendapatan masyarakat lokal adalah total penerimaan rumahtangga
masyarakat lokal yang bersumber dari kegiatan usahatani maupun non usahatani. Variabel ini menggunakan skala interval dengan akumulasi skor
dibagi menggunakan standar deviasi ke dalam tiga kategori yakni rendah skor 3,5, sedang skor 3,5
– 4,5, dan tinggi skor 4,5. Diukur dengan membandingkan kondisi sebelum dan sesudah adanya perubahan struktur
agraria akibat perkebunan kelapa sawit serta pendapatan masyarakat lokal perbulannya.
21
GAMBARAN UMUM LOKASI
Kondisi Umum
Desa Murutuwu merupakan bagian dari Kecamatan Paju Epat yang berjarak lebih kurang 1.5 km dari Kantor Kecamatan Paju Epat dan dapat ditempuh selama
kurang lebih 45 menit dari ibu kota Kabupaten Barito Timur, Tamiang Layang. Desa Murutuwu awalnya berdiri dengan nama Desa Ganting, yang kemudian
berganti nama menjadi Desa Bauning hingga kemudian terjadi pergantian nama menjadi Desa Murutuwu yang digunakan hingga saat ini. Desa Murutuwu
dipimpin oleh Pemakal yang sekarang disebut sebagai Kepala Desa yang terdiri dari 18 orang terpilih seumur hidup dan 10 orang yang secara bergantian
memimpin Desa Murutuwu.
Desa Murutuwu terdiri atas 3 Rukun Tetangga RT, yakni RT 01, RT 02, dan RT 03. Luas wilayah Desa Murutuwu adalah 6.400 ham. Desa Murutuwu
memiliki kemiringan lahan yang landai yakni 15
o
dengan bentangan wilayah topografinya pasir dan rawa. Iklim Desa Murutuwu adalah tropis yakni kemarau
dan penghujan dengan kelembaban suhu rata-rata 21.94-34.89
o
C serta dengan curah hujan rata-rata 231.13 mmtahun.
Secara geografis Desa Murutuwu berbatasan dengan: Utara : Desa Balawa
Selatan : Desa Telang dan Siong Barat : Kabupaten Barito Selatan
Timur : Kecamatan Dusun Timur Desa Murutuwu memiliki kelembagaan pemerintahanpermasyarakatan
dengan perangkat desa yang terdiri dari: Sekretaris Desa
: 1 orang Kepala Urusan
: 3 orang Badan Permusyawaratan Desa
: 11 orang Kelembagaan lain yang ada di Desa Murutuwu di antaranya adalah Lembaga
Ketahanan Masyarakat Desa, FKUD, SPP, SPPR, Posyandu, PKK, Muda-Mudi Katolik Bika Mudika, SHA, Kelompok Tani, serta Karang Taruna.
Selain itu, Desa Murutuwu juga merupakan salah satu tempat destinasi pariwisata yang terkenal di Kabupaten Barito Timur, karena selain berada di
wilayah Kecamatan Paju Epat yang ditetapkan sebagai Desa Wisata Kabupaten Barito Timur, Desa Murutuwu juga memiliki obyek pariwisata Taman Hutan
Raya TAHURA yang didalamnya terdapat Taman Konservasi Anggrek Hitam seluas 4 ha. Anggrek hitam Coelogyne pandurate merupakan spesies anggrek
langka dan dilindungi serta dilarang untuk diperdagangkan secara bebas berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 yang dikeluarkan pada
27 Januari 1999. Anggrek hitam memiliki aroma yang khas yakni harum lembut dan mekar antara 5-6 Hari pada bulan Maret hingga Juni. Anggrek hitam memiliki
bentuk yang sangat menawan dengan kelopak bunga yang berwarna hijau.
22
Dinamakan anggrek hitam karena anggrek ini memiliki lidah berwarna hitam dan sedikit garis-garis berwarna hijau dan berbulu. Saat ini, anggrek hitam merupakan
ikon dari Kabupaten Barito Timur dan maskot kebanggaan dari Provinsi Kalimantan Tengah.
Kondisi Sosial
Desa Murtuwu mempunyai jumlah penduduk kurang lebih 662 Jiwa dan 205 kepala keluarga KK yang terbagi dalam 3 Rukun Tetangga RT, dimana 46
kepala keluarga di RT 01, 69 kepala keluarga di RT 02, dan 90 kepala keluarga di RT 03. Penduduk Desa Murutuwu beragam, keberagaman ini bisa dilihat dari
kelompok umur, jenis kelamin, mata pencaharian, agama hingga tingkat pendidikan. Berikut data penduduk Desa Murutuwu berdasarkan kelompok umur
yang bersumber dari data Desa Murutuwu pada April Tahun 2016: Tabel 2 Jumlah dan persentase penduduk Desa Murutuwu berdasarkan umur
tahun 2016
Umur Jumlah
Orang Persentase
– 6 110
16.6 7
– 15 96
14.5 16
– 21 87
13.1 22
– 59 304
46.0 60 Keatas
65 9.8
Total 662
100.0
Sumber: Data sekunder 2016
Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa penduduk dengan jumlah terbanyak yakni 304 orang atau 46 penduduk Desa Murutuwu berada pada
kelompok umur 20-24 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Desa Murutuwu berusia produktif. Sebaran penduduk Desa Murutuwu
juga dapat dilihat berdasarkan tingkat pendidikan. Berikut jumlah penduduk Desa Murutuwu berdasarkan tingkat pendidikan:
Tabel 3 Jumlah dan persentase penduduk Desa Murutuwu berdasarkan tingkat pendidikan tahun 2016
Tingkat Pendidikan Jumlah
Orang Persentase
Tidak tamat SD 125
19.0 Tamat SD
108 16.3
Tamat SMP 190
29.0 Tamat SLTA
199 30.1
Sarjana 37
5.6
Total 662
100.0
Sumber: Data sekunder 2016
23
Berdasarkan tabel 3, dapat dilihat bahwa penduduk Desa Murutuwu memiliki pendidikan cukup tinggi yakni tamat SLTA dengan jumlah 199 orang atau
sebanyak 30. Selain itu, jumlah penduduk berdasarkan agama dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 4 Jumlah dan persentase penduduk Desa Murutuwu berdasarkan agama
tahun 2016
Agama Jumlah
Orang Persentase
Islam 58
9.0 Protestan
336 53.0
Khatolik 200
32.0 Hindu Kaharingan
38 6.0
Total 662
100.0
Sumber: Data sekunder 2016
Berdasarkan tabel diatas, dapat dilihat bahwa mayoritas penduduk Desa Murutuwu beragama Kristen Protestan. Setelah Kristen Protestan, agama terbesar
kedua yang dipeluk oleh masyarakat Desa Murutuwu adalah Khatolik. Selain itu, mayoritas penduduk Desa Murutuwu adalah be
rsuku Dayak Ma’anyan.
Kondisi Ekonomi
Sebaran mata pencaharian masyarakat Desa Murutuwu dapat dilihat melalui jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian sebagai berikut:
Tabel 5 Jumlah dan persentase mata pencaharian penduduk Desa Murutuwu
tahun 2016
Mata Pencaharian Jumlah
Orang Persentase
Petani Karet 142
67.6 Pedagang
24 11.4
PNS 30
14.0 Tukang dan lain lain
14 7.0
Total 210
100.0
Sumber: Data sekunder 2016
Tabel di atas menunjukkan bahwa mayoritas mata pencaharian penduduk
Desa Murutuwu sebagai petani karet lebih banyak jumlahnya dibanding mata pencaharian lain. Setelah bertani, mata pencaharian terbesar kedua masyarakat
lokal Desa Murutuwu adalah sebagai pedagang. Hal ini dikarenakan Desa Murutuwu adalah terdapat aktivitas perkebunan sawit yang mendatangkan orang
dari luar daerah, sehingga inisiatif ekonomi mulai muncul karena banyaknya pendatang. Namun, setelah peneliti melakukan survei dilapangan ternyata data
mengenai jumlah dan persentase mata pencaharian masyarakat yang berasal dari data monografi Desa Murutuwu tersebut tidak sepenuhnya akurat. Menurut
penuturan dari beberapa informan yang mengetahui bagaimana perkembangan
24
dari Desa Murutuwu, setelah masuknya perkebunan kelapa sawit ke desa ini, 50 dari masyarakat yang bermata pencaharian sebagai petani karet mengganti mata
pencahariannya menjadi buruh harian lepas di PT Sawit Graha Manunggal dengan tugas seperti menyiram jalan perusahaan, bongkar muat buah sawit, pemupukan,
mendodos, atau menebas rumput di sekitar perkebunan kelapa sawit. Tidak adanya laporan resmi dari PT Sawit Graha Manunggal mengenai berapa banyak
jumlah tenaga kerja yang diserap oleh perusahaan tersebut kepada pemerintah Kecamatan Paju Epat serta tidak adanya data mengenai berapa banyak jumlah
masyarakat Desa Murutuwu yang menjadi buruh sawit mengakibatkan data monografi Desa Murutuwu tidak sepenuhnya akurat dalam menggambarkan
keragaman mata pencaharian masyarakat di Desa Murutuwu.
Selain itu, untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat Desa Murutuwu juga memiliki hewan ternak. Adapun jumlah kepemilikan hewan ternak oleh
penduduk Desa Murutuwu adalah sebagai berikut: Tabel 6 Jumlah kepemilikan hewan ternak penduduk Desa Murutuwu
Jenis Ternak Jumlah ekor
Ayam dan Bebek 350
Babi 300
Sapi 3
Total 653
Sumber: Data sekunder 2016
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa jumlah terbesar kepemilikan hewan ternak masyarakat Desa Murutuwu adalah ayam dan bebek. Selain ayam
dan bebek, banyak masyarakat Desa Murutuwu yang beternak babi. Babi yang diternakan biasanya dijual untuk menambah penghasilan atau dipergunakan untuk
hidangan dalam kegiatan keagamaan seperti ibadah mingguan masyarakat Desa Murutuwu maupun sebagai syarat dalam upacara adat.
Kondisi Sarana dan Prasarana
Kondisi sarana dan prasarana Desa Murutuwu secara garis besar adalah sebagai berikut:
Tabel 7 Jumlah fasilitas sarana pendidikan Desa Murutuwu tahun 2016
Sarana Pendidikan Jumlah buah
TK 2
SD 1
SMP 1
Total 4
Sumber: Data sekunder 2016
Tabel diatas menunjukkan bahwa Desa Murutuwu memiliki fasilitas sarana pendidikan yang terdiri dari 2 buah TK, 1 buah SD, dan 1 buah SMP. Jumlah ini
terbilang masih minim untuk menunjang akses masyarakat Desa Murutuwu
25
terhadap pendidikan. Selain itu, tidak adanya fasilitas sarana pendidikan untuk SMA menyebabkan pemuda Desa Murutuwu harus pergi ke daerah lain untuk
bersekolah. Selain fasilitas sarana pendidikan, terdapat pula fasilitas sarana umum Desa Murutuwu yakni sebagai berikut:
Tabel 8 Jumlah fasilitas sarana umum Desa Murutuwu tahun 2016
Sarana Umum Jumlah buah
Kantor Desa 1
Balai Desa 1
Los Pasar 1
Puskesmas Pembantu 1
Posyandu 1
Poskamling 3
Total 8
Sumber: Data sekunder 2016
Berdasarkan tabel 8, dapat dilihat Desa Murutuwu memiliki 1 buah kantor desa, dan 1 buah balai desa. Balai desa merupakan tempat bagi masyarakat untuk
bermusyawarah dalam membahas kegiatan-kegiatan pembangunan desa. Kemudian, tersedia juga 1 buah los pasar, 1 buah puskesmas pembantu, 1 buah
posyandu, serta 1 buah poskamling. Selain itu, terdapat pula fasilitas rumah ibadah sebagai berikut:
Tabel 9 Jumlah fasilitas rumah ibadah Desa Murutuwu tahun 2016
Rumah Ibadah Jumlah buah
Masjid 2
Gereja 5
Rumah Ibadah Hindu Kaharingan 1
Balai Adat Hindu Kaharingan 1
Total 4
Sumber: Data sekunder 2016
Tabel diatas menunjukkan bahwa jumlah fasilitas rumah ibadah terbanyak adalah 5 buah Gereja. Hal ini disebabkan mayoritas masyarakat Desa Murutuwu
memeluk agama Kristen Protestan. Selain itu, terdapat 2 buah masjid, 1 buah rumah ibadah Hindu Kaharingan, dan 1 buah balai adat Hindu Kaharingan. Balai
adat biasanya digunakan masyarakat untuk kegiatan-kegiatan adat seperti upacara adat ataupun untuk bermusyawarah membicarakan masalah-masalah adat.
Selain itu, terdapat juga prasarana perhubungan yang dimiliki oleh Desa Murutuwu yakni jalan desa sepanjang 350 meter.
26
27
DINAMIKA STRUKTUR AGRARIA
Dinamika struktur agraria merupakan gerak perubahan struktur agraria yang terjadi dalam masyarakat dan terkait dengan pola penguasaan dan penggunaan
lahan. Struktur agraria dalam masyarakat akan selalu berubah seiring dengan pertambahan waktu dan berbagai fenomena sosial yang terjadi. Dinamika struktur
agraria yang terjadi pada Desa Murutuwu yang menjadi lokasi dalam penelitian ini terbagi menjadi tiga periodisasi, yakni periode pra masuknya komoditas kelapa
sawit, periode proses masuknya komoditas kelapa sawit dan pasca masuknya komoditas kelapa sawit.
Periode Pra Masuknya Komoditas Kelapa Sawit
Periode yang pertama adalah masa pra masuknya komoditas kelapa sawit yang terjadi pada tahun 2007 sampai 2008. Sebelum masuknya komoditas sawit,
pola pemilikan lahan dan penguasaan lahan pada Desa Murutuwu berada pihak perseorangan individu. Sebanyak 80 masyarakat pada desa ini mengusahakan
lahan sendiri. Institusi yang mengatur pola kepemilikan dan penguasaan tanah tersebut adalah pemerintahan desa melalui Badan Pertahanan Nasional sebagai
institusi formal, dan lembaga adat hukum adat sebagai institusi non-formal. Sebagian besar masyarakat Desa Murutuwu mendapatkan lahan dari pola waris
dan jual beli. Pola penggunaan lahan yang ada di Desa Murutuwu pada masa ini sebagian besar diusahakan untuk perkebunan karet. Perekonomian masyarakat
Desa Murutuwu pun menjadi bertumpu kepada komoditas karet, sehingga hampir 90 masyarakat Desa Murutuwu merupakan petani karet dan masih belum akrab
dengan komoditas kelapa sawit. Masyarakat Desa Murutuwu umumnya memproduksi kantalan lump sebagai hasil sadapan getah karet yang mereka
lakukan. Jumlah produksi rata-rata adalah 7.5 kgkk berkisar antara 5-10 kgkk. Bervariasinya jumlah produksi ini sangat tergantung dari curahan kerja rumah
tangga yang tersedia dan juga ketersediaan atau jumlah luasan kebun karet dan produktivitas yang dapat mereka usahakan. Masa ini juga merupakan masa awal
kedatangan investor ke Desa Murutuwu untuk melakukan peninjauan wilayah karena investor melihat Desa Murutuwu memiliki potensi dan merupakan areal
penggunaan lain lahan, serta bukan areal konservasi.
“Awalnya sawit sangat susah masuk di Kabupaten Barito Timur. Susahnya begini, masyarakat Barito Timur khususnya Desa
Murutuwu hanya mengenal sawit dengan seadanya. Apalagi untuk Kalimantan Tengah, pada era 2007 sawit memang belum
berkembang karena pada umumnya di Kalimantan Tengah komoditi yang dikembangkan adalah karet. Tapi karet ini ada
kendala, kendalanya adalah walaupun sudah bisa produksi, kalau musim hujan susah untuk menyadapnya. Jadi, tidak dapat tiap hari.
Saat itu, sebagai penyangga perekonomian masyarakat, karet itu menjadi primadona untuk Kalimantan Tengah. Banyak yang
menjadi sarjana itu dibiayai dari hasil perkebunan karet. L 70”
28
Kedatangan investor yakni pihak PT Sawit Graha Manunggal ke Desa Murutuwu menimbulkan perpecahan di dalam masyarakat sehingga memunculkan
dua kelompok masyarakat. Kelompok tersebut adalah kelompok yang pro terhadap investor dan akan menerima masuknya komoditas kelapa sawit, dan
kelompok yang kontra sehingga menolak untuk bersinergi dengan investor. Masyarakat yang termasuk kedalam kelompok-kelompok kontra dan menolak
kehadiran PT Sawit Graha Manunggal sempat melakukan pemblokiran pada area- area yang ditinjau oleh investor. Investor akan dihadang oleh masyarakat jika
memasuki area-area tersebut. Usaha-usaha yang dilakukan oleh pihak PT Sawit Graha Manunggal tidak membuahkan hasil sehingga mereka ditarik kembali oleh
manajemen. Hingga pihak PT Sawit Graha Manunggal kembali ke Desa Murutuwu dan mulai melakukan pendekatan-pendekatan dengan masyarakat desa,
khususnya dengan tokoh-tokoh masyarakat di Desa Murutuwu. Melalui tokoh- tokoh masyarakat yang ada di Desa Murutuwu tersebut, PT Sawit Graha
Manunggal kembali mencoba membujuk masyarakat Desa Murutuwu untuk dapat menerima kehadiran dari komoditas sawit. PT Sawit Graha Manunggal pun
melakukan sosialisasi pertama mengenai perkebunan kelapa sawit. Masyarakat yang memiliki hak milik atas lahan dikumpulkan dan dilakukan musyawarah
hingga muncul keputusan bahwa lahan yang dilepaskan, 80 milik PT Sawit Graha Manunggal, dan 20 nya lagi akan diberikan kepada masyarakat dengan
sebutan lahan plasma.
“Pada sosialisasi sawit yang pertama diberitahukan bahwa akan dibuka perkebunan kelapa sawit seluas 4000 ha di Desa Murutuwu
ini, dan dengan perjanjian bagi masyarakat yang melepaskan
lahannya akan mendapat 20 kebun plasma. B 54”
Periode Proses Masuknya Komoditas Kelapa Sawit
Periode kedua merupakan masa proses masuknya komoditas kelapa sawit terjadi pada tahun 2009-2014 yang ditandai dengan keluarnya perizinan usaha
perkebunan yang mencakup izin lokasi Nomor 234 tahun 2009 yang dikeluarkan oleh Bupati Kabupaten Barito Timur untuk PT Sawit Graha Manunggal yang akan
membangun kegiatan perkebunan kelapa sawit dan pabrik pengolahan kelapa sawit di Kecamatan Paju Epat, khususnya di Desa Murutuwu. Sebelumnya, PT
Sawit Graha Manunggal ini juga telah mengantongi izin usaha perkebunan Nomor 254 Tahun 2006 dan izin pelepasan kawasan hutan Nomor 671Menhut-II2009 di
Kabupaten Barito Timur yang meliputi Kecamatan Dusun Timur, Dusun tengah, Paku, Karusen Janang, Pematang Karau, dan termasuk Kecamatan Paju Epat.
Setelah adanya perizinan, dimulailah sosialisasi lanjutan kepada masyarakat Desa Murutwu mengenai perkebunan kelapa sawit, pembebasan lahan, dan kegiatan
penanaman komoditas kelapa sawit.
“Pada tahap pertama, sebanyak 600 ha lahan dibebaskan. Dan pada tahap kedua dan ketiga dilakukan pembebasan lahan
sebanyak 400 ha untuk perkebunan kelapa sawit. B 54”
29
Perubahan struktur agraria mulai terjadi pada masa ini, dimana terjadi pelepasan kawasan hutan baik hutan negara maupun hutan adat, serta lahan
masyarakat lokal yang sebagian besar adalah perkebunan karet kemudian dikonversikan untuk memenuhi kebutuhan lahan dari perkebunan pabrik
pengolahan kelapa sawit milik PT Sawit Graha Manunggal. Pola kepemilikan lahan banyak mengalami pergeseran pada masa ini sehingga terjadi proses transfer
kepemilikan. Proses transfer kepemilikan ini terjadi melalui sistem ganti rugi baik terhadap lahan masyarakat maupun hutan adat tanah junjungan yang akan
dijadikan perkebunan kelapa sawit. Harga lahan mulai semakin tinggi terlebih untuk lahan yang telah bersertifikat. Adanya harga atas lahan di Desa Murutuwu
mulai memunculkan konflik antar keluarga dalam masyarakat, dikarenakan adanya perebutan kepemilikan lahan warisan yang mereka miliki.
“Awalnya tanah tidak ada nilai di Desa Murutuwu ini, setelah ada perusahan masuk ke sini, masyarakat mulai tahu harga tanah.
Harga lahan sekitar 3.000.000 rupiah perhektarnya tapi makin hari makin tinggi harganya.
B 54” Kemudian pada tahun 2011, PT Sawit Graha Manunggal kembali mendapat
perpanjangan izin usaha perkebunan di Kecamatan Paju Epat melalui Keputusan Bupati Barito Timur Nomor 381 Tahun 2011 tanggal 23 November 2011 dengan
luas 17.453 ha yang mencakup wilayah Desa Murutuwu dan sekitarnya. Selain terjadi perubahan struktur agraria, pada masa ini juga mulai terjadi pergeseran dan
diversifikasi mata pencaharian masyarakat. Seiring dengan semakin menurunnya harga komoditas karet, masyarakat yang awalnya kontra terhadap perkebunan
kelapa sawit perlahan mulai menerima kehadiran komoditas yang masih mereka anggap baru tersebut. Setelah mulai merasakan adanya keterdesakan ekonomi,
masyarakat yang awalnya petani karet pun memilih untuk menjadi buruh harian lepas di PT Sawit Graha Manunggal. Masyarakat merasakan adanya dampak
positif dari masuknya perkebunan kelapa sawit ke Desa Murutuwu karena telah membuka lapangan pekerjaan baru dan dianggap cukup membantu dalam
meningkatkan perekonomian masyarakat yang sempat mengalami penurunan akibat murahnya harga komoditas karet.
“Saya melihat mata pencaharian masyarakat tidak aman. Perekonomian masyarakat semakin terpuruk. Masyarakat yang
awalnya Petani Karet merasa semakin kekurangan. Namun dengan adanya perusahaan sawit mereka menjadi tertolong. Muncul
lapangan pekerjaan baru yang dapat membantu menambah penghasilan mereka.
WJ 74” Kelembagaan baru muncul pada masa proses masuknya komoditas kelapa
sawit adalah koperasi plasma. Namun koperasi tersebut berjalan sesuai dengan peraturan perusahaan dan tidak sesuai dengan aturan koperasi pada umumnya
sehingga kelembagaan tersebut tidak dapat bertahan lama. Masyarakat sempat mendapatkan kartu anggota koperasi plasma serta dibuatkan rekening mandiri per
anggota. Namun anehnya, beberapa rekening tersebut belakangan diblokir pihak perusahaan untuk lahan yang dibawah satu hektar dengan alasan yang tidak jelas.
30
Periode Pasca Masuknya Komoditas Kelapa Sawit
Periode yang terakhir adalah pasca masuknya komoditas kelapa sawit yang terjadi pada tahun 2015 hingga saat ini. Periode ini ditandai dengan semakin
menurunnya jumlah
masyarakat yang
memiliki lahan,
menurunnya ketergantungan masyarakat terhadap lahan, dan semakin rendahnya total
pendapatan masyarakat yang berasal dari pengusahaan lahan yang mereka miliki. “Banyak masyarakat disini sudah tidak punya kebun lagi dek karena
lahannya sudah dijual ke perusahaan sawit. Rasa-rasanya masyarakat disini itu sudah dijajah oleh perusahaan sawit T 55”
Selain itu, pada masa ini semakin banyak terjadi perubahan struktur agraria. Sebanyak 2441.53 ha lahan di Desa Murutuwu telah dikonversikan menjadi
perkebunan kelapa sawit dimana didalamnya termasuk lahan sawah, kebun karet masyarakat, tanah adat, dan hutan lahan kering. Dari tanah adat tanah
junjungan yang dikonversikan tersebut terdapat 53 ha lahan plasma dimana setiap bulannya uang dari hasil plasma tersebut dibagi rata kepada masyarakat Desa
Murutuwu. Namun, pada masa ini masyarakat mulai semakin mengalami ketidakpuasan terhadap perusahaan kelapa sawit, PT Sawit Graha Manunggal
khususnya terkait klaim atas lahan dan pembagian plasma. Masyarakat merasa kurangnya keterbukaan perusahaan kepada masyarakat terkait pengklaiman lahan
yang masih berpotensi dan ketidakjelasan lokasi dari kebun plasma yang diberikan kepada masyarakat sesuai dengan kesepakatan awal bahwa masyarakat
akan mendapatkan 20 kebun plasma dari lahan yang telah dilepaskannya.
“Yang membuat masyarakat bertanya-tanya sampai sekarang itu kenapa perusahan mengklaim termasuk daerah pemukiman
masyarakat padahal lokasi-lokasi itu masih sangat berpotensi, tapi
pertanyaan itu tidak pernah dijawab oleh perusahaan. B 54” “Sudah 17 hektar tanah masyarakat Barito Timur ini digusur oleh
PT Sawit Graha Manunggal tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada masyarakat, ya termasuk di Desa Murutuwu ini juga. K
55” “Sampai saat ini kami tidak mengetahui letak kebun plasma yang
dijanjikan, pola bagi hasil 20 banding 80 itu juga tidak jelas. WH 55”
Di lain sisi, pemerintah Kecamatan Paju Epat juga merasakan kurangnya keterbukaan perusahaan kepada pemerintah kecamatan hal ini dikarenakan belum
adanya laporan resmi PT Sawit Graha Manunggal kepada pemerintah kecamatan terkait berapa luas lahan akurat yang telah dibuka dan di ganti rugi menjadi
perkebunan kelapa sawit, karena sejak tahun 2012, banyak lahan masyarakat telah digusur oleh PT Sawit Graha Manunggal tanpa pemberitahuan terlebih dahulu
kepada masyarakat. PT Sawit Graha Manunggal juga tidak memiliki laporan resmi atas berapa banyak tenaga kerja yang telah di serap oleh perusahaan
tersebut. Selain itu, meskipun telah memiliki izin atas pembangunan pabrik
31
pengolahan kelapa sawit dan telah melakukan aktivitas produksi pada pabrik tersebut, PT Sawit Graha Manunggal belum meresmikan pabrik tersebut hingga
saat ini. Pemerintah menilai, walaupun PT Sawit Graha Manunggal telah menyerap tenaga kerja khususnya masyarakat lokal dan membantu perekonomian
masyarakat, taraf kesejahteraan masyarakat Desa Murutuwu tetap cendrung tidak meningkat.
Sumber : Surat Kabar Umum Zurnalis Post Edisi Desember 2015-Januari 2016
Gambar 3 Ketidakjelasan kebun plasma
Selain ketidakpuasan masyarakat yang timbul akibat klaim perusahan atas lahan yang masih berpotensi dan ketidakjelasan kebun plasma, mereka juga mulai
merasakan dampak negatif di lingkungan akibat dari kegiatan perkebunan dan pabrik pengolahan kelapa sawit milik PT Sawit Graha Manunggal. Masyarakat
mengalami kekeringan dan sungai menjadi buntu serta tercemar.
“Masyarakat menjadi sulit mendapatkan air, sungai buntu dan juga terjemar. Kemarin juga ada muncul lebah api padahal sebelumnya
tidak pernah ada. Jadi muncul juga penyakit-penyakit aneh seperti korengan karena digigit binatang itu. Terus jadi banyak lalat,
rambutan juga kemarin berbuah eh malah ada ulatnya di dalam padahal kuli
tnya merah sekali. T 66”
32
33
FAKTOR-FAKTOR PENDORONG PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA
Perubahan struktur agraria yang terjadi di Desa Murutuwu didorong oleh adanya dua faktor, yakni faktor yang berasal dari masyarakat internal dan faktor
yang berasal dari luar masyarakat eksternal.
Faktor Internal: Arus Penjualan Lahan Masyarakat
Faktor dari masyarakat internal yang menyebabkan terjadinya perubahan struktur agraria di Desa Murutuwu adalah adanya kecenderungan dari penduduk
untuk menjual lahan yang dimilikinya kepada perusahaan kelapa sawit. Lahan- lahan yang dijual tersebut sebagian besar merupakan lahan yang biasanya
diusahakan masyarakat sebagai perkebunan karet. Sebagian besar masyarakat Desa Murutuwu yang menjual lahan adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Hal ini disebabkan oleh menurunnya harga komoditas karet, sehingga masyarakat mulai mengalami keterdesakan ekonomi. Masyarakat menganggap
lahan perkebunan karet yang mereka usahakan sudah tidak mampu lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Ketergantungan masyarakat terhadap
lahan untuk sumber penghasilan pun semakin menurun. Masyarakat Desa Murutuwu merasa dengan semakin mahalnya barang-barang dasar untuk
kebutuhan hidup, tidak bisa dicukupi dengan hanya bergantung pada lahan yang mereka miliki dan mereka usahakan.
“Kalau menyadap karet, hasilnya kadang tidak mencukupi kebutuhan hidup. Lagipula setelah di sadap, karet tidak dapat
langsung dijual, di kumpulin dulu supaya hasilnya banyak baru bisa dijual. Kalau hujan ya gak bisa pergi menyadap. Lama baru
bisa dapat uang kalau hanya mengandalkan hasil sadapan karet, apalagi sekarang harga karet lagi murah, pendapatan dalam
sebulan jadi gak menentu. A 45” Tingginya harga lahan di Desa Murutuwu yang dibeli oleh PT Sawit Graha
Manunggal serta janji perusahaan atas 20 kebun plasma sawit yang akan diberikan kepada tiap orang yang menjual lahannya kepada pihak perusahaan juga
menjadi faktor pendorong lain bagi sebagian besar masyarakat Desa Murutuwu untuk menjual tanahnya. Namun, disisi lain ada juga beberapa masyarakat Desa
Murutuwu yang menjual tanahnya untuk keperluan merenovasi rumah atau untuk membeli sepeda motor secara kredit agar dapat menaikkan status sosial yang
mereka miliki.
“Kalau melihat rumah beton dengan banyak sepeda motor di Murutwu ini, itu berarti orang yang punya rumah sudah menjual
tanahnya ke perusahaan sawit. Masyarakat disini gengsinya gede walau kadang tidak sesuai kemampuan ekonominya.
DN 52”
34
Selain itu, meningkatnya permintaan lahan untuk bangunan pemukiman penduduk Desa Murutuwu juga turut mendorong terjadinya perubahan struktur
agraria di desa ini. Hal ini dikarenakan masuknya pendatang ke Desa Murutuwu setelah berdirinya perkebunan dan pabrik pengolahan kelapa sawit milik PT Sawit
Graha Manunggal di desa ini serta meningkatnya jumlah anak dari penduduk yang telah dewasa dan menikah sehingga memutuskan untuk hidup terpisah dari
orangtuanya dimana sebagian besar dari mereka mendapatkan lahan dari warisan keluarga dan jual beli. Sedangkan bagi masyarakat pendatang mendapatkan lahan
dari hasil jual beli antar warga di Desa Murutuwu.
Faktor Eksternal: Arus Pelepasan Lahan a. Intervensi Pemerintah
Kebijakan pertanian adalah serangkaian tindakan yang telah, sedang dan akan dilaksanakan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan tertentu. Sektor pertanian,
sebagai salah satu lokomotif pembangunan diharapkan memberikan kontribusi besar dalam perekonomian nasional. Pengembangan perkebunan kelapa sawit pun
menjadi salah satu pilihan pemerintah karena permintaan CPO Crude Palm Oil atau minyak kelapa sawit yang tinggi di pasar domestik maupun internasional dan
relatif stabil memberikan daya tarik tersendiri bagi komoditas tersebut. Keadaan ini mendorong pemerintah membuat berbagai kebijakan terkait perkebunan kelapa
sawit. Kebijakan tersebut antara lain memberikan keleluasaan kepada pemodal untuk menanamkan usaha di bidang perkebunan tersebut. Kebijakan lain adalah
melonggarkan izin dan prosedur terkait pengembangan perkebunan itu. Kebijakan penting lainnya adalah menyangkut pengadaan tanah perkebunan, baik pelepasan-
pelepasan tanah yang bersifat individual privat, maupun dalam pemberian konsesi tanah Hak Guna Usaha HGU yang telah direalisasikan pemerintah
melalui Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26 Tahun 2007 tentang pengembangan perkebunan melalui program revitalisasi perkebunan bahwa setiap
perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit wajib memiliki plasma minimal 20 persen dari luas HGU. Adapun peraturan dan kebijakan yang
mendukung program revitalisasi perkebunan antara lain:
1. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.26MENHUT-II2007 tentang Perubahan Kedua atas Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 292KPTS-
II1995, tentang Tukar Menukar Kawasan Hutan; 2. Peraturan Menteri Pertanian RI, Nomor 33PermentanOT.14072006
tanggal 26 Juli 2006, tentang Pengembangan Perkebunan Melalui Program Revitalisasi Perkebunan;
3. Surat Keputusan Menteri Pertanian RI, Nomor 490KptsOT.16082006 tanggal 24 Agustus 2006, tentang Pembentukan Tim Koordinasi
Pelaksanaan Program Revitalisasi; 4. Peraturan Menteri Keuangan RI, Nomor 117PMK.062006 tanggal 30
Nopember 2006, tentang Kredit Pengembangan Energi Nabati dan Revitalisasi Perkebunan KPEN-RP;
35
5. Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3817-310.21-D.II tanggal 6 Desember 2007 tentang Standar Satuan Biaya Sertifikat Hak
Milik Program Revitalisasi Perkebunan; 6. Surat Keputusan Dirjen Perkebunan Nomor 135KptsRC.110102008 tgl
14 Oktober 2008 tentang Satuan Biaya Pembangunan Kebun Peserta Revitalisasi Perkebunan.
Namun, banyaknya isu negatif, masalah, dan tuntutan bagi industri kelapa sawit, sehingga mendorong pemerintah untuk menerapkan prinsip keberlanjutan
atau Indonesia Sustainable Palm Oil ISPO dalam pembangunan kelapa sawit. Berbagai peraturan perundangan di Indonesia yang merupakan landasan dalam
penerapan Sistem Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia atau Indonesia Sustainable Palm Oil ISPO antara lain adalah:
1. Undang-undang Nomor 12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman; 2. Undang-undang Nomor 18 tahun 2004 tentang perkebunan;
3. Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
pokok Agraria; 4. Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup; 5. Undang-undang Nomor 29 tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas
Tanaman; 6. Undang-undang Nomor 41 tahun 2000 tentang Kehutanan;
7. Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 tentang HGU, Hak Milik, Hak Pakai Atas Tanah;
8. Peraturan Pemerintah Nomor 44 tahun 1995 tentang Perbenihan Tanaman; 9. Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 1995 tentang Perlindungan
Tanaman; 10. Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1999 tentang Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Hidup; 11. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 26 tahun 2007 tentang Pedoman
Perizinan Perkebunan; 12. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 14 tahun 2009 tentang Pedoman
Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Budidaya Kelapa Sawit; 13. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 7 tahun 2009 tentang Pedoman
Penilaian Uasaha Perkebunan; 14. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 36 tahun 2009 tentang Persyaratan
Penilaian Usaha Perkebunan; 15. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 37PermentanOT.140806 tentang
Pengujian, Penilaian, Pelepasan dan Penarikan Varietas; 16. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 38PermentanOT.140806 tentang
Pemasukan dan Pengeluaran Benih; 17. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 39PermentanOT.140806 tentang
Produksi, Sertifikasi dan Peredaran Benih Bina; 18. Perarturan Menteri Agraria Kepala BPN Nomor 2 tahun 1999 tentang Izin
Lokasi; 19. Keputusan Bersama Menteri Kehutanan, Menteri Pertanian dan Kepala
Badan Pertanahan
Nasional Nomor
364Kpts-II1990,
36
519KptsHk.05071990 dan 23VIII90 dan 23VIII1990 tentang Ketentuan Pelepasan Kawasan Hutan dan Pemberian Hak Guna Usaha
untuk Pengembangan;
20. Peraturan Dirjen Perkebunan Nomor 174 tahun 2009 tentang Kuesioner Penilaian Usaha Perkebunan dan Pengolahan Data untuk Penilaian Usaha
Perkebunan Tahap Pembangunan dan Operasional.
Berbagai peraturan dan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah pusat menjadi dasar bagi pemerintah daerah Kalimantan Tengah dan Kabupaten Barito Timur
untuk membuat program-program terkait pengembangan kelapa sawit. Dalam Rencana Strategis Renstra Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2003
disebutkan bahwa titik berat dan skala prioritas rencana pemerintah daerah untuk
lima tahun berikutnya adalah “untuk menciptakan landasan yang kuat dan kemampuan untuk meraih peluang dan mengatasi tantangan sejalan dengan
pelaksanaan otonomi daerah dan globalisasi ekonomi ”. Hal tersebut akan
dilakukan dengan mengelola dan mengembangkan sektor perikanan dan kelautan, sektor perkebunan dan kehutanan, industri dan perdagangan, pertambangan dan
sektor pariwisata yang di dukung oleh pengembangan kualitas SDM secara memadai. Dengan mengembangkan sektor-sektor tersebut, diharapkan dapat
menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan daerah yang dapat digunakan untuk perbaikan dan peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan
publik bagi seluruh lapisan masyarakat. Salah satu sektor yang cukup mendapatkan perhatian oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah adalah
sektor perkebunan. Pemerintah Provinsi Kalteng pun berencana membangun perkebunan sawit 1.000.000,00 ha dengan memanfaatkan lahan yang tersedia di
Kabupaten Kotawaringin Barat, Kotawaringin Timur, Seruyan, Kapuas, Barito Utara, Barito Selatan, dan Barito Timur.
Beberapa wilayah di Kalimantan Tengah khususnya Kabupaten Barito Timur pun menjadi tujuan program pengembangan perkebunan kelapa sawit. Kecamatan
Dusun Timur, Kecamatan Karusen Janang, Kecamatan Paku, Kecamatan Dusun Tengah, Kecamatan Pematang Karau, dan Kecamatan Paju Epat merupakan
wilayah yang dipilih menjadi areal perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Barito Timur. Program-program pengembangan komoditas kelapa sawit menyebabkan
kebutuhan akan lahan menjadi meningkat. Fenomena pelepasan lahan oleh negara maupun lahan milik masyarakat lokal menjadi tidak terelakkan, dan perubahan
struktur agraria pun menjadi sulit untuk dihindari.