Perkebunan Dampak Perubahan Struktur Agraria Terhadap Aksesibilitas Mata Pencaharian Masyarakat Lokal

8 Indonesia. Indonesia mulai mengekspor minyak sawit pada tahun 1919 ke negara- negara eropa, kemudian tahun 1923 mulai mengekspor minyak inti sawit. Pada masa pendudukan Belanda, perkebunan kelapa sawit mengalami perkembangan yang cukup pesat, Indonesia menggeser dominasi ekspor negara Afrika pada waktu itu. Memasuki masa pendudukan Jepang, perkembangan kelapa sawit mengalami kemunduran, secara keseluruhan produksi perkebunan kelapa sawit terhenti. Setelah Belanda dan Jepang meninggalkan Indonesia pada tahun 1957, pemerintah mengambil alih perkebunan dengan alasan politik dan keamanan, perubahan manajemen dalam perkebunan dan kondisi sosial politik dan keamanan dalam negeri yang tidak kondusif menyebabkan produksi kelapa sawit mengalami penurunan, pada periode tersebut posisi Indonesia sebagai pemasok minyak sawit dunia terbesar mulai tergeser oleh Malaysia. Memasuki pemerintahan orde baru, pembangunan perkebunan diarahkan dalam rangka menciptakan kesempatan kerja, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan sebagai sektor penghasil devisa Negara. Pada tahun 1978, pemerintah mengambil kebijakan untuk mengalokasikan sebagian besar produksi minyak sawit ke pasar domestik karena adanya kekurangan penawaran minyak nabati yang disebabkan turunnya produksi kelapa. Pemerintah terus mendorong pembukaan lahan baru untuk perkebunan untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit Indonesia yang kemudian didukung oleh kebijakan pemerintah yang melaksanakan program Perkebunan Inti Rakyat PIR-bun yang merupakan terjemahan dari Nucleus Estate Smallholder Development Project NES Project. Pola inti rakyat ini tercipta berdasarkan Keppres Nomor 11 tahun 1974, yang merupakan suatu pola unuk mewujudkan sistem kerjasama yang saling menguntungkan antara perusahaan perkebunan besar dengan usahatani yang berada di sekitarnya. Adapun jenis PIR-BUN tersebut adalah sebagai berikut: 1. PIR-BUN lokal: PIR-BUN tersebut dilaksanakan disekitar perkebunan yang telah ada sebagai inti, sumber dana dari dalam negeri dan petani pesertan ya dari petani setempat lokal. 2. PIR-BUN khusus: PIR-BUN tersebut dibangun dengan dana dalam negeri dan petani peserta sebagian besar transmigran dan petani lokal. 3. PIR-BUN Berbantuan: PIR-BUN tersebut dibangun dengan dana pinjaman kredit luar negeri, dengan petani pesertanya dari transmigrasi dan petani lokal 4. PIR-TRANS: PIR-BUN tersebut dibangun dengan dana pinjaman bank oleh perusahaan inti, petani peserta dari transmigrasi dan penduduk lokal. Sesuai dengan INPRES tahun 1986, semua pembangunan PIR-BUN kemudian diarahkan pada pola PIR-TRANS yang berhasil menambah luas lahan dan produksi kelapa sawit pada tahun 1990-an yang tersebar diberbagai sentra produksi seperti Sumatera dan Kalimantan.

d. Masyarakat Lokal

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, masyarakat adalah sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama. Selanjutnya, berdasarkan ukuran atau standar kelestarian yang dikembangkan oleh International Timber Tropical Organization ITTO, Forest Stewardship Council FSC, Lembaga Ekolabel Indonesia LEI, Pan-European Forest Certification PEFC dan Departemen Kehutanan dalam kaitannya dengan 9 kriteria kelestarian sosial, dijumpai beberapa istilah yang berhubungan dengan istilah masyarakat lokal local communities, antara lain: penduduk asli indigenous people, masyarakat setempat, masyarakat di dalam dan di sekitar hutan, dan masyarakat hukum adat. Pengertian masyarakat lokal dalam khasanah kajian peraturan perundang- undangan pengelolaan sumberdaya hutan terbagi menjadi masyarakat adat dan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan. Menurut Sangaji [Tidak ada tahun] dalam Niswah dan Adiwibowo 2013 masyarakat adat merupakan kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur secara turun-temurun di wilayah geografis tertentu serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri. Masyarakat adat kasepuhan juga termasuk masyarakat tradisional, seperti yang dikemukakan oleh Suhandi [Tidak ada tahun] dalam Niswah dan Adiwibowo 2013 yang mencirikan masyarakat tradisional, antara lain hubungan atau ikatan masyarakat desa dengan tanah sangat erat, sikap hidup dan tingkah laku yang magis religious, adanya kehidupan gotong-royong, memegang tradisi dengan kuat, menghormati para sesepuh, kepercayaan pada pimpinan lokal dan tradisional, organisasi kemasyarakatan yang relatif statis, serta tingginya nilai sosial. Masyarakat lokal dapat pula diartikan sebagai masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan. Hal itu termuat dalam Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 691Kpts-II91, tentang Peranan Pemegang Hak Pengusahaan Hutan dalam Pembinaan Masyarakat di Dalam dan di Sekitar Hutan dimana masyarakat di dalam dan di sekitar hutan adalah kelompok-kelompok masyarakat baik yang berada di dalam hutan maupun di pedesaan sekitar hutan. Perbedaan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan dengan masyarakat adat terletak pada acuan kekuasaan. Masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan mengacu pada hukum negara, sedangkan masyarakat hukum adat mengacu pada hukum adat masyarakat yang bersangkutan dan bukan pada hukum negara atau nasional. Istilah masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan ini seringkali disebut pula sebagai masyarakat setempat.

e. Teori Akses

Ribot dan Pelusso 2003 mengartikan akses sebagai kemampuan untuk memperoleh manfaat dari sesuatu benda. Definisi akses cenderung mengarah pada “sekumpulan kuasa” bundle of power. Akses merupakan sekumpulan kuasa atau daya power yang melekat di dalam dan diaplikasikan melalui berbagai mekanisme, proses dan relasi sosial sehingga seseorang atau sekelompok orang mempunyai kemampuan untuk memperoleh manfaat dari sumberdaya. Kekuasaan yang dimaksud dalam akses terdiri dari komponen-komponen material, kultural, dan politik-ekonomi yang saling berhimpun menjadi sebentuk bundel kekuasaan bundle of power dan jejaring kekuasaan web of power yang menentukan akses terhadap sumberdaya. Kekuasaan yang terkandung dalam akses terwujud dalam dan dipertukarkan sesuai jarak kekuasaan, ragam mekanisme, proses dan relasi sosial yang mengakibatkan kemampuan aktor dalam mengambil manfaat atau keuntungan dari sumberdaya alam. Komponen material, kultural, dan politik-ekonomi tidak statis, senantiasa mengalami perubahan dalam setiap ruang dan waktu yang berbeda bergantung