12 dengan ikan kontrol K: 0,17, 3 mgL: 0,085, dan peningkatan BETN sebesar
52 dari ikan kontrol K: 2,13, 3 mgL: 3,23. Tabel 3. Kandungan proksimat ikan perlakuan rElHP terbaik 3 mgL dan kontrol
Perla- kuan
Kadar air
Kadar abu
Kadar protein
Kadar Lemak
Karbohidrat Serat
Kasar BETN
Kontrol 71,765
± 0,035 2,345
± 0,205 15,905
± 0,516 7,69
± 0,021 0,165
± 0,021 2,125
± 0,728 3 mgL
71,585 ± 0,092
2,125 ± 0,120
14,855 ± 0,262
8,12 ± 0,071
0,085 ± 0,007
3,23 ± 0,170
Keterangan : Analisis proksimat dilakukan di laboratorium Nutrisi departemen BDP,FPIK,IPB. Sampel yang digunakan 10 g untuk masing-masing analisis.
3.2 Pembahasan
Penggunaan hormon pertumbuhan rekombinan ikan kerapu kertang pada ikan sidat dengan dosis 3 mgL yang menunjukkan pertumbuhan yang lebih besar
dibandingkan dengan kontrol. Kenaikan biomassa ikan perlakuan dosis 3 mgL sebesar 28 dari kontrol Tabel 2. Nilai biomassa ikan dipengaruhi oleh bobot
rerata ikan dan jumlah ikan yang hidup. Benih ikan sidat dengan perlakuan 6 dan 9 mgL menunjukkan nilai biomassa dan SR yang rendah dibandingkan dengan
perlakuan rHP lainnya, sehingga hasil yang diperoleh tidak menunjukkan hubungan yang linear antara dosis rHP dan pertumbuhan yang dihasilkan. Hal ini
dipengaruhi oleh jumlah kematian yang terjadi pada masing-masing perlakuan. Pertumbuhan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya faktor internal
meliputi umur, genetis, kemampuan memanfaatkan pakan dan kemampuan daya tahan tubuh terhadap penyakit, sedangkan faktor eksternal meliputi kualitas air,
pakan dan ruang gerak Huwoyon dan Kusmini, 2010 dalam Gustiano et al., 2010. Dari faktor internal, benih yang digunakan dalam penelitian merupakan
hasil tangkapan liar nelayan di Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat. Kemungkinan benih berasal dari induk yang berbeda sangat besar, sehingga daya
tahan tubuh benih juga berbeda-beda karena secara genetik berasal dari induk yang berbeda. Dari faktor eksternal, dalam kegiatan pemeliharaan ditemukannya
benih yang terserang penyakit. Pada benih yang mati terlihat adanya pendarahan pada bagian sirip ekor dan insang ikan Gambar 3. Kematian yang terjadi diduga
akibat adanya infeksi bakteri Aeromonas hydrophila
. Gejala yang ditimbulkan
13 akibat infeksi bakteri ini bervariasi, tetapi umumnya ditandai oleh adanya
hemoragik pada kulit, insang, rongga mulut, dan borok pada kulit. Infeksi oleh bakteri A. hydrophila terjadi melalui permukaan badan yang luka, saluran
pencernaan makanan atau melalui insang. Kemudian bakteri masuk dalam pembuluh darah dan menyebar pada organ dalam lain yang menyebabkan
pendarahan yang disertai haemorrhagic septicaemia Kabata, 1985 dalam Gardenia et al., 2010.
Gambar 3. Benih ikan sidat yang terkena Aeromonas hydrophila dengan gejala hemoragik pada sirip ekor.
Pada penelitian pendahuluan yang dilakukan oleh Handoyo, dosis 12 mgL menunjukkan respons pertumbuhan yang paling baik dengan peningkatan
pertumbuhan sebesar 30 dari kontrol. Namun pada penelitian ini, pengunaan dosis rElHP 12 mgL menunjukkan penurunan biomassa benih sebesar 1.98 dari
kontrol. Hal ini disebabkan oleh daya dukung wadah yang digunakan juga berbeda. Handoyo menggunakan akuarium dengan ukuran yang lebih besar
60x45x50 cm
3
dan padat tebar yang lebih kecil 5 ekorL, sehingga daya dukung air yang diperoleh benih ikan sidat lebih besar dibandingkan daya dukung
air yang diperoleh benih sidat pada penelitian ini. Daya dukung wadah akan mempengaruhi pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup benih terkait dengan
ketersedian oksigen yang diterima oleh benih. Pengaruh padat tebar juga disampaikan oleh North et al. 2006, bahwa tingkat padat tebar yang tepat akan
memberikan kesempatan bagi ikan dalam memanfaatkan pakan, oksigen, dan ruang sehingga pertumbuhan berjalan optimum dan menghasilkan kelangsungan
hidup yang tinggi. Menurut Rowland et al. 2006, padat tebar merupakan salah satu variable yang sangat penting dalam bidang budidaya karena berpengaruh
14 langsung terhadap kelangsungan hidup, pertumbuhan, tingkah laku, kesehatan,
dan kualitas air. Jika hasil penelitian ini dibandingkan dengan penelitian pendahuluan Handoyo, diketahui bahwa penggunaan dosis rElHP 3 mgL
menunjukkan peningkatan pertumbuhan yang tidak berbeda jauh dengan dosis 12 mgL yang dilakukan oleh Handoyo. Dengan demikian, diantara 1,2 sampai 12
mgL dosis rElHP yang diujicobakan oleh Handoyo terdapat dosis yang lebih efektif untuk digunakan yaitu dosis rElHP 3 mgL.
Peningkatan pertumbuhan pada penelitian ini 28 dapat dicapai dalam 3 generasi dengan metode seleksi. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pemberian
rHP dengan metode perendaman dapat meningkatkan pertumbuhan lebih cepat dibandingkan dengan metode seleksi yang meningkatkan pertumbuhan hanya
10 per generasi. Aplikasi metode seleksi membutuhkan waktu 10 tahun untuk menghasilkan 12 generasi dengan kecepatan tumbuh 12,4 per generasi pada
ikan nila Bolivar et al., 2002.
Kontrol rElHP dosis 3 mgL
Gambar 4. Perbandingan ukuran ikan sidat kontrol dengan perlakuan terbaik dosis perendaman: 3mgL pada akhir pemeliharaan selama 8 minggu.
Manipulasi pertumbuhan dengan pemberian rHP melalui metode perendaman juga dilakukan oleh Putra 2010. Namun peningkatan pertumbuhan
pada penelitian ini lebih kecil jika dibandingkan dengan Putra 2010. Pada penelitian Putra 2010, ikan gurame yang diberi perlakuan perendaman rHP ikan
15 gurame dengan dosis 20 mgL dan 30 mgL berhasil meningkatkan pertumbuhan
masing-masing 63,95 dan 75,04 lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Perbedaan hasil tersebut diduga karena perbedaan jenis rHP dan ikan uji yang
digunakan. Pada penelitian Putra 2010 rHP yang digunakan yaitu rHP ikan gurame yang diujicobakan kepada ikan gurame, sedangkan pada penelitian ini
digunakan rHP ikan kerapu kertang yang diujicobakan kepada ikan sidat. Penggunaan jenis rHP yang merupakan hasil transformasi gen GH dari ikan uji itu
sendiri diduga akan menghasilkan pertumbuhan yang lebih besar dibandingkan dengan penggunaan rHP yang berbeda dengan ikan uji. Organ atau jaringan dalam
tubuh ikan memiliki reseptor hormon pertumbuhan yang akan mengenali rHP yang diberikan dan kemudian disampaikan ke sel-sel tubuh sehingga terjadi
proses pertumbuhan. Kecocokan antara reseptor dan jenis rHP yang digunakan akan mempengaruhi proses pertumbuhan yang akan terjadi. Hal yang sama
disampaikan oleh Birzniece et al. 2009 yang menyatakan bahwa perbedaan pengaruh pertumbuhan dikarenakan tidak cocoknya jenis rHP yang diberikan
terhadap reseptor hormon pertumbuhan yang terdapat di dalam tubuh ikan target. Acosta et al. 2009 menyatakan bahwa pemberian rHP pada larva dapat
meningkatkan kelangsungan hidup dan meningkatkan daya tahan terhadap stress dan infeksi penyakit. Penggunaan rHP melalui teknik perendaman menunjukkan
tingkat kelangsungan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan dosis 0 mgL. SR benih ikan sidat yang diberi perlakuan rHP dengan dosis 3 mgL
lebih tinggi 15,2 dibandingkan dengan kontrol dan 121,99 lebih tinggi dibandingkan dengan dosis 0 mgL. Benih ikan sidat yang diberi dosis 1,2 s.d 12
mgL pada penelitian pendahuluan Handoyo menunjukkan SR yang tinggi, lebih dari 90. Pada penelitian ini, dosis yang digunakan berada pada kisaran dosis
yang diujicobakan oleh Handoyo. Namun SR yang diperoleh lebih rendah, perlakuan terbaik 3 mgL menunjukkan nilai SR yang tidak begitu tinggi yaitu
hanya 60,67. Perbedaan nilai SR yang diperoleh disebabkan padat penebaran dan ukuran wadah akuarium yang digunakan berbeda sehingga daya dukung air
untuk benih juga berbeda. Pada Tabel 2 terlihat bahwa semakin besar dosis pemberian rHP, bobot
rerata ikan cenderung semakin kecil. Pemberian hormon pertumbuhan yang
16 berlebih diduga dapat memberikan feedback negatif bagi pertumbuhan ikan.
Wong et al
. 2006 menyatakan tentang pengaturan feedback
hormon pertumbuhan pada mamalia. Dalam pituitari mamalia, pelepasan hormon
pertumbuhan Growth Hormon GH di somatotrop dikontrol oleh GHRH dan SRIF di mana kedua regulator tersebut dirilis oleh hipotalamus dan akan
disampaikan ke pituitari anterior melalui sistem peredaran darah. GH yang dirilis dari pituitari dapat memberikan feedback negatif pada somatotrop melalui tiga
jalur. Pertama, long-loop feedback yang merupakan akibat tidak langsung dari aktifitas IGF-I yang diproduksi oleh hati. Kedua, short-loop feedback yang
merupakan akibat langsung dari aktifitas GH di hipotalamus. Ketiga, ultra-short feedback
yang merupakan akibat langsung dari aktivitas GH yang berada di dalam pituitari Gambar 5. Jumlah GH atau IGF-I yang berlebih dalam pembuluh darah
akan menimbulkan Feedback negatif atau umpan balik negatif tersebut dan akan memberikan impuls pada kelenjar pituitari untuk tidak mensekresikan GH.
Gambar 5. Pengaturan feedback hormon pertumbuhan pada mamalia Perlakuan 0 mgL menunjukkan pertumbuhan yang paling rendah
dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Bobot rerata 0 mgL 0,577 g lebih
17 rendah dibandingkan dengan kontrol yang tidak diberi rHP dan BSA 0,614 g.
Pemberian BSA tanpa diiringi pemberian rHP diduga akan berakibat tidak baik bagi pertumbuhan ikan. Hasil yang sama juga diperoleh pada penelitian Ratnawati
2012. Ikan gurame diberi perlakuan perendaman tanpa NaCl 0,9 dalam larutan BSA+rHP 24 mg200 ml dengan waktu perendaman 3 A, 2 B, 1 C,
dan 0,5 D jam serta perlakuan perendaman dalam lartutan BSA+ NaCl 0,9 tanpa rHP sebagai kontrol E dan perendaman dalam larutan BSA+rHP+NaCl
0,9 F. Benih ikan gurame perlakuan kontrol dengan lama perendaman 1 jam E menghasilkan bobot rerata yang lebih kecil 1,93 g dibandingkan dengan
perlakuan lainnya A: 2,30 g, B: 2,22 g, C: 2,30 g, D: 2,54 g, dan E: 2,25 g. Bobot rerata ikan untuk masing-masing perlakuan meningkat secara
signifikan pada minggu ke-6 hingga minggu ke-8. Pada minggu ke-0 sampai minggu ke-6, bobot rerata ikan meningkat hanya 0,5 g, sedangkan pada minggu
ke-6 sampai minggu ke-8 bobot rerata ikan meningkat 1 g. Pertumbuhan ikan dimulai secara perlahan-lahan, kemudian berlangsung cepat dan akhirnya
melambat atau bahkan berhenti sama sekali. Pola tersebut menghasilkan kurva pertumbuhan yang berbentuk sigmoidberbentuk S Anggorodi, 1994 dalam
Satyani et al., 2010. Hal yang sama juga disampaikan oleh Said dan Mayasari 2010 berkaitan dengan bentuk kurva pertumbuhan yang sigmoid, pada awal
perkembangannya ikan cenderung untuk tumbuh cepat dan pada waktu tertentu pertumbuhan akan flatkurva pertumbuhannya mendatar. Pada minggu ke-6
hingga ke -8 terjadi pertumbuhan yang signifikan, diduga bahwa pada minggu tersebut ikan mulai memasuki fase pertumbuhan yang cepat pada kurva sigmoid.
Meskipun demikian, belum terlihat perbedaan yang signifikan pada pertumbuhan yang dihasilkan antara perlakuan 3 mgL dan 0 mgL atau kontrol. Perbedaan
pertumbuhan yang signifikan diduga terjadi setelah 8 minggu pemeliharaan. Hasil yang sama disampaikan oleh Leedom et al. 2002 yang menguji efektivitas
pemberian rbGH dengan dosis berbeda pada ikan nila dengan metode penyuntikan. Uji yang pertama dilakukan penyuntikan rbGH pada benih ikan nila
1 g dengan dosis 0,1 , 1, dan 10 µgg setiap minggunya dan kontrol, namun tidak ada efek yang signifikan. Uji yang kedua yaitu penyuntikan dengan dosis 1, 10,
dan 50 µgg. Hasilnya menunjukkan bahwa penyuntikan rbGH 50 µgg
18 menunjukkan pertumbuhan yang signifikan setelah minggu ke-14 dan 16. Pada
uji yang ketiga, benih disuntik rbGH dengan dosis 100 atau 1000 µg. Pertumbuhan bobot yang signifikan terjadi setelah minggu ke-2 dan respon ini
akan terus meningkat setelah itu. Pertumbuhan yang signifikan dihasilkan pada waktu yang berbeda-beda. Menurut Promdonkoy et al. 2004, respons yang
lambat terjadi dikarenakan reseptor membutuhkan waktu atau faktor intermediet untuk mengenali rHP yang diinjeksikandiberikan.
Pada penelitian ini selain parameter pertumbuhan, diamati juga kandungan proksimat daging ikan untuk mengetahui ada atau tidaknya pengaruh pemberian
rHP pada kandungan proksimat daging benih ikan sidat. Hasil analisis proksimat menunjukkan bahwa ikan yang diberi perlakuan perendaman rHP dengan dosis 3
mgL menunjukkan nilai kadar protein yang menurun sebesar 6,6 dari kontrol 15,91 menjadi 14,86 dan peningkatan kadar lemak sebesar 5,6 dari
kontrol 7,69 menjadi 8,12. Penurunan kadar protein ikan yang diberi perlakuan diduga karena banyaknya protein yang dikonversi menjadi energi akibat
perilaku ikan yang lebih agresif dan nafsu makan yang meningkat, sehingga sedikit protein yang digunakan untuk pertumbuhan.
Ikan yang lebih agresif melakukan lebih banyak gerakan. Dengan demikian ikan lebih banyak
mengeluarkan energi dibandingkan dengan ikan kontrol. Protein merupakan sumber energi utama bagi ikan, protein dalam pakan diharapkan dapat digunakan
secara optimum untuk pertumbuhan Hariyadi et al., 2005. Namun hasil yang berbeda dilaporkan oleh Chatakondi et al. 1995 yang melakukan perbandingan
kandungan nutrisi tubuh pada ikan mas transgenik yang mengekspresikan gen hormon pertumbuhan ikan rainbow trout dengan yang bukan transgenik.
Kandungan protein ikan transgenik meningkat 7,5 dan kandungan lemaknya menurun 13. Penyebab perbedaan hasil dan mekanisme regulasi hormon pada
ikan sidat yang diberi perlakuan rHP perlu dikaji lebih lanjut. Heinsbroek et al. 2007 menyatakan terjadinya peningkatan kadar lemak
seiring bertambahnya ukuran pada ikan sidat Eropa jenis Anguilla anguilla. Pernyataan tersebut mendukung hasil analisis kadar lemak yang diperoleh pada
penelitian ini. Benih yang diberi perlakuan rElHP dosis 3 mgL menunjukkan pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan dengan kontrol, sehingga akumulasi
19 lemaknya lebih banyak. Oleh karena itu kadar lemak dosis 3 mgL lebih tinggi
dibandingkan dengan kontrol. Ikan sidat yang diberi perlakuan perendaman menggunakan rHP
menunjukkan adanya peningkatan nafsu makan. Pada saat pemberian pakan, ikan yang diberi perlakuan perendaman rHP menunjukkan perilaku yang lebih agresif
dibandingkan dengan ikan kontrol. Pengamatan terhadap perilaku dan pola makan ikan dilakukan secara visual kuantitatif setiap hari. Hal yang sama juga
disampaikan oleh Promkondoy et al. 2004, ikan mas koki yang diberi gcGH menunjukkan peningkatan nafsu makan dan tingkah laku makan yang lebih
agresif dan lebih enerjik terhadap pakan yang diberikan. Peningkatan nafsu makan juga ditunjukkan oleh ikan gurame yang diberi perlakuan perendaman rOgHP
pada penelitian Putra 2010. Mekanisme penyerapanmasuknya rHP ke dalam tubuh ikan belum
diketahui secara pasti. Smith 1982 dalam Moriyama Kawauchi 1990, mendemonsrasikan radiolabeled-BSA dapat masuk ke insang dan epidermis ikan
rainbow trout setelah perendaman dalam larutan dan diduga bahwa sel insang
memungkinkan digunakan sebagai jalur masuk. Berdasarkan uraian tersebut, mekanisme masuknya rHP dengan metode perendaman juga diduga melalui
insang secara osmoregulasi. Menurut Smith 1982 dalam Setyo 2006, untuk menjaga keseimbangan konsentrasi osmotik antara cairan intrasel dan ektrasel
maka ikan atau udang melakukan proses osmoregulasi. Beberapa organ yang berperan dalam proses osmoregulasi ikan antara lain: insang, ginjal, dan usus.
Pada metode perendaman yang dilakukan, ikan diberi perlakuan kejutan salinitas selama 2 menit dalam larutan NaCl 3 berdasarkan penelitian
pendahuluan yang dilakukan oleh Handoyo dan kemudian dipindahkan ke dalam larutan yang berisi rHP. Aplikasi metode perendaman
tersebut dapat mempengaruhi sistem osmoregulasi ikan. Fungsi pemberian kejutan salinitas pada
ikan yaitu untuk membuka jalur masuknya rHP melalui insang dengan memanfaatkan mekanisme pertukaran cairan tubuh Ratnawati, 2012. Pada
kondisi alami, cairan dalam tubuh ikan sidat bersifat hipertonik yaitu konsentrasi zat terlarut dalam sel lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi di luar sel
sehingga air bergerak keluar. Ketika ikan sidat diberi perlakuan perendaman
20 dalam larutan NaCl 3 maka kondisinya menjadi terbalik, sel pada tubuh ikan
sidat bersifat hipotonik tekanan osmotik dalam tubuh ikan lebih rendah dibandingkan dengan di luar tubuh. Perubahan kadar salinitas akan
mempengaruhi tekanan osmotik cairan tubuh ikan, sehingga ikan akan melakukan penyesuaian dengan melakukan pengaturan kerja osmotik agar proses fisiologis
dalam tubuhnya dapat bekerja secara normal kembali. Maka pada kondisi tersebut akan terjadi proses osmoregulasi dimana cairan dari luar tubuh akan masuk ke
dalam tubuh ikan, diduga rHP masuk ke dalam tubuh ikan pada proses osmoregulasi tersebut.
Pemberian rHP dengan metode perendaman merupakan cara yang mudah dan aplikatif untuk diterapkan pada kegiatan produksi massal. Namun metode ini
harus dilakukan tiap proses produksi karena efek penggunaan rHP tidak diturunkan ke generasi selanjutnya. Pada penelitian ini digunakan ikan sidat stadia
glass eel yang diberi perlakuan perendaman rHP ikan kerapu kertang 50 ekor
dalam 200 mL NaCl 3 dengan frekuensi perendaman hanya satu kali. Penelitian lebih lanjut mengenai peningkatan pertumbuhan pada ikan sidat perlu
dilakukan untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Misalnya perendaman ikan sidat dengan beberapa frekuensi atau pada stadia yang berbeda, pembuatan rHP
ikan sidat yang kemudian diujicobakan pada ikan sidat sendiri, padat tebar perendaman yang lebih tinggi atau skala lebih besar untuk meningkatkan efisiensi
penggunaan protein rHP, dan pemeliharaan lebih lanjut untuk melihat tren peningkatan pertumbuhan ikan sidat.
21
IV. KESIMPULAN