Penerapan Sosiologi Olahraga Dalam PJOK

PJOK SMP KK G 115 tersebut. Dengan fakta tersebut, maka jika ada siswa-siswa yang menguasai olahraga tenis lapangan, golf, maka akan terkesan adanya perbedaan kelas sosial dalam pembelajaran PJOK. Hal yang sama juga dirasakan ketika ada siswa-siswa yang mampu berprestasi olahraga di tingkat nasional maupun Internasional, dan ada siswa yang tidak bisa melakukan aktivitas olahraga saat pembelajaran PJOK karena berbagai keterbatasan, maka siswa-siswa yang tidak mampu melakukan aktivitas fisik yang baik seringkali merasa minder ketika bersosialisasi dengan teman yang lain. c. Perbedaan Ras dan Etnis Dalam sebuah sekolah, tentunya banyak sekali keberagaman baik berdasarkan ras, suku, agama, asal daerah dsbnya. Perbedaan-perbedaan tersebut kadang juga memunculkan “gap” atau jarak ketika bersosialisasi melalui pembelajaran PJOK. Ketika dalam konteks permainan, maka cara guru membentuk tim akan sangat menentukan munculnya problem sosial atau tidak. Guru yang membentuk tim berdasarkan kesamaan ras, suku tentunya akan memunculkan masalah sosial. Disamping itu, keberadaan ras minoritas seperti misalnya Cina, Arab atau yang lain kadang juga menjadi kendala ketika siswa melakukan aktivitas permainan olahraga kompetitif dalam PJOK. Jika melihat timnas sepakbola Indonesia saat ini, mungkin tidak satupun etnis Cina yang masuk dalam timnas, padahal di jaman lampau banyak sekali orang-orang Cina yang menjadi timnas sepakbola Indonesia. Kondisi ini menunjukkan adanya kesenjangan dalam bersosialisasi dan melakukan aktivitas olahraga akibat perbedaan ras atau etnis suku tertentu.

4. Pemanfaatan Sosiologi olahraga dalam pembelajaran PJOK

Dalam pembelajaran PJOK, banyak siswa terjebak dengan tujuan mencapai olahraga prestasi. Olahraga prestasi dalam konteks pendidikan tidak semata- mata menempatkan kemenangan sebagai satu-satunya tujuan, karena memang kemenangan tidak selalu dapat diraih pada setiap kesempatan oleh setiap orang dan oleh semua orang. Kompetisi adalah persaingan yang dilandasi oleh dasar- dasar fair play. Pengalaman kompetisi yang dilandasi fair play tersebut diharapkan dapat diimplementasikan dalam kehidupan pelaku olahraga dalam Kegiatan Pembelajaran 3 116 kehidupan sehari-harinya. Siedentop 1994:13 mengatakan pelajaran berharga dari olahraga kompetitif sebagai berikut: “The biggest lesson is to play hard, play fair, honor your opponent, and accept that when the contest is over, it is over. What matters most is taking part fairly and honorably, not which individual or team wins or loses” Agar olahraga prestasi dalam pengajaran pendidikan jasmani ini selalu terintegrasi dengan nilai-nilai pendidikan pada umumnya, demikian juga kualitas partisipasi siswa terhadap olahraga prestasi semakin meningkat, Siedentop 1990:222 mengutip pendapat Smoll 1986 dalam “coach effectiveness Training”, menganjurkan agar para guru pendidikan jasmani demikian juga siswanya memahami beberapa philosophy kompetisi sebagai berikut. a. Winning is not everything, nor it is the only thing; that is, winning is an important goal, but it is not the only goal. b. Failure is not the same as losing; therefore losing does not need to imply personal failure in any way. c. Success is not synonymous with winning; therefore, winning does not relate directly to sense of personal triumph anymore than losing relates to personal failure. d. Success is found in striving for victory and is related to effort as much as or more than to outcome Dengan demikian pengertian kompetisi dalam konteks olahraga prestasi di lingkungan persekolahanpun hendaknya ditinjau ulang dan didefinisikan kembali agar sesuai dengan arah dan tujuannya. Anak-anak muda perlu diajarkan keterampilan untuk menjalankan hidup kompetitif fair play secara sehat. Kepada mereka juga diajarkan pengetahuan, sikap, dan pembentukan perilaku yang menyebabkan mereka belajar menerima kekalahan sambil tetap mempertahankan dan meningkatkan spirit perjuangan hidupnya secara teratur dan berkesinambungan. Para guru pendidikan jasmani mesti mengetahui tentang nilai-nilai olahraga prestasi, atau manfaat yang diperoleh dari kegiatan itu. Para guru pendidikan jasmani juga perlu menyadari bahwa sebagian besar populasi generarasi penerus berada di sekolah, dan oleh karena itu, budaya prestasi dalam olahraga di sekolah mempunyai peluang yang PJOK SMP KK G 117 sangat besar untuk mempersiapkan mereka agar mampu berjuang mempertahankan hidup dalam kehidupan yang serba kompetitif secara sehat baik sekarang maupun di masa yang akan datang. Ungkapan bijak: “Sport build character” telah ada sejak jaman Yunani kuno. Olahraga mengajarkan pada seseorang akan kedisiplinan, jiwa sportivitas, tidak mudah menyerah, mempunyai jiwa kompetitif yang tinggi, semangat bekerja sama, mengerti akan adanya aturan, berani mengambil keputusan. Pendek kata, olahraga akan membentuk manusia dengan kepribadian yang sehat. Bagaimana olahraga dapat merupakan instrumen agen pembentukan nilai dan karakter yang akhirnya berujung pada perilaku? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Maksum 2007 mengemukakan model konseptual berikut. Gambar 35. Model konseptual hunbungan olahraga-nilai-karakter Dari gambar tersebut jelas menunjukkan bagaimana aktivitas olahraga yang sarat dengan nilai-nilai mempengaruhi sistem nilai yang dimiliki individu. Sistem nilai yang dimiliki individu mempengaruhi karakter, dan karakter selanjutnya mempengaruhi perilaku. Gambar di atas tidaklah lengkap, tapi dari gambar tersebut setidaknya dapat menjelaskan mengapa olahraga menjadi sesuatu yang penting dalam mempengaruhi terbentuknya nilai dan karakter. Bagaimanakah iklim pembelajaran yang memungkinkan munculnya motivasi intrinsik dan nilai disiplin ini terkonstruksi dalam diri siswa? Hal inilah yang menjadi fokus penelitian ini. Studi tentang penanaman nilai menjadi penting untuk dilakukan mengingat tujuan Pendidikan Jasmani di sekolah bukanlah semata-mata pada masalah fisik, tetapi juga pada bagaimana nilai-nilai olahraga terkonstruksi pada individu yang berpartisipasi di dalamnya. Dari penelusuran terhadap sejumlah literatur terkait dengan pembentukan nilai nampak bahwa belum ada kesepakatan bagaimana nilai-nilai bisa terbentuk melalui aktivitas olahraga.