PERANAN PEMERINTAH ADAT LAMPUNG SAIBATIN DALAM PEMERINTAHAN DESA BEDUDU
ABSTRAK
PERANAN PEMERINTAH ADAT LAMPUNG SAIBATIN DALAM PEMERINTAHAN DESA BEDUDU
Oleh
Rinaldi Pradana Putra
Masyarakat Lampung merupakan masyarakat kekerabatan bertalian darah menurut garis keturunan ayah (Geneologis-Patrilinial), yang terbagi-bagi dalam masyarakat keturunan menurut Poyang asalnya masing-masing yang disebut buay. Setiap kerabat menurut tingkatannya masing-masing mempunyai pemimpin yang disebut penyimbang yang terdiri dari anak tertua laki-laki yang mewarisi kekuasaan Ayah secara turun temurun.
Lokasi yang diambil dalam peneltian ini ditententukan dengan cara sengaja (purposive) yaitu Desa Bedudu, Kecamatan Belalau, Kabupaten Lampung Barat. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana peranan adat Lampung Saibatin terhadap pemerintahan desa Bedudu. Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini yaitu metode penelitian studi kasus dengan menginterpretasikan data kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam dengan melakukan studi lapangan, studi kepustakaan dan studi dokumentasi.
Dari pembahasan penelitian ini dapat disimpulkan, bahwa pengaturan sistem pemerintahan adat pada marga Belunguh dilakukan secara terstruktur dengan
(2)
kedudukan tertinggi di pemerintahan adat dipimpin oleh Suntan. Dalam menjalankan pemerintahan adat Suntan/Suttan dibantu oleh Dalom, Raja, Batin, Radin, Mas dan Kimas yang masing-masing sudah mempunyai tugas tersendiri sesuai dengan gelar yang diembannya. Saat ini pemerintahan adat kurang tanggap pada berbagai macam sengketa tanah yang terjadi diwilayahnya, kerena ada beberapa kasus sengketa tanah dalam masyarakat adat yang penyelesaiannya diambil alih oleh Pemerintahan Desa dan Pengadilan Umum, sehingga menyebabkan terjadinya penurunan peranan Suntan dalam masyarakat adat yang dipimpinnya. Padahal seharusnya penyelesaian sengketa tanah dalam wilayah adat merupakan tanggung jawab dan wewenang Suntan sebagai kepala adat. Namun Pemerintahan adat dalam konteks acara-acara adat masih sangat diperhatikan oleh masyarakat misalnya acara upacara adat perkawinan, sehingga peranan Suntan Marga Belunguh dalam pemerintahan adat masih sangat kuat khususnya ketika akan dilaksanakan upacara adat dalam Marga Belunguh.
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa, menurut penulis telah terjadi pergeseran status Suntan Marga Belunguh dikarenakan Suntan hanya sebagai kepala pemerintahan adat, sedangkan pemerintahan desa dipimpin oleh Peratin/kepala desa. Akibat pergeseran status Suntan yang hanya menjabat sebagai kepala pemerintahan adat saja, menyebabkan masyarakat lebih memilih penyelesaian sengketa tanah dalam wilayah adat melalui pemerintahan desa dari pada penyelesaian melalui pemerintahan adat, akan tetapi Suntan mempunyai peranan yang sangat kuat dalam mengeluarkan pendapat dan memutuskan apa saja aturan yang akan dilaksanakan pada upacara adat.
(3)
ABSTRACT
THE ROLE OF LAMPUNG SAIBATIN CUSTOMS ON THE BEDUDU VILLAGE GOVERNMENT
By
Rinaldi Pradana Putra
Lampung society adopts patrilineal genealogy family relationship, which is divided into lineage society according to the origin Poyang that is called as Marga. Every family according to the level of family has its own leader called as Penyimbang that contains of the oldest sons that inherited their fathers’ authority hereditary.
The research were conducted at Bedudu village of Belalau district in West Lampung regency. The problem statement is to find out the role of Lampung Saibatin Customs on the Bedudu village government. The research uses case study method with interpreting the qualitative data. The data has been taken by interview, field study, library study and document studies.
The result discussion showed that customs governance system settings on Belunguh clan were conducted in a structur with top leader custom administration by Suntan. In the traditional governing Suntan/Suttan assisted by Dalom, Raja, Batin, Radin, Mas and Kimas who each had its own duties in accordance with the
(4)
cause decline in the role of indigenous Suntan lead. The settlement problems of land dispute should be authority of Suntan as chief of custom. On the other hand, the custom government exspecially indigenous events as traditional weeding ceremony is considered by society, and he is still very strong the role when the ceremony Belunguh Clan held in.
From the results of this study it can be concluded that according to the author of a shift in status due Suntan Marga Belunguh just as the head of customs, while the village government led by Peratin/ head of village. Due to a shift in the Suntan status who as the head of customs only, its cause people more prefer settling land disputes in rural indigenous by the government of the settlement than customary rule. Futhermor, Suntan have a powerful role in issuing the opinion and decide what the role will be implemented in traditional ceremonies.
(5)
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Secara historis desa merupakan cikal terbentuknya masyarakat politik dan pemerintahan di Indonesia jauh sebelum Negara bangsa ini terbentuk. Struktur sosial sejenis desa, masyarakat adat dan lain sebagainya telah menjadi institusi sosial yang mempunyai posisi yang sangat penting. Desa merupakan institusi yang otonom dengan tradisi, adat istiadat dan hukumnya sendiri serta relatif mandiri. Hal ini antara lain ditunjukkan dengan tingkat keragaman yang tinggi membuat desa mungkin merupakan wujud bangsa yang paling kongkret.
Sejalan dengan kehadiran negara modern, kemandirian dan kemampuan masyarakat desa mulai berkurang. Kondisi ini sangat kuat terlihat dalam pemerintahan Orde Baru yang berdasarkan Undang – Undang No 5 Tahun 1979 melakukan sentralisasi, birokratisasi dan penyeragaman pemerintahan desa, tanpa menghiraukan kemajemukan masyarakat adat dan pemerintahan asli, dan Undang-Undang ini melakukan penyeragaman secara nasional. Sprit ini kemudian tercermin dalam hampir semua kebijakan pemerintahan pusat yang terkait dengan desa.
(6)
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang pluralistik, yaitu masyarakat yang terdiri dari bermacam-macam suku dan adat istiadat yang tersebar dari seluruh kepulauan di Indonesia. Setiap daerah mempunyai tradisi, bahasa serta adat istiadat tersendiri, baik yang menyangkut hukum waris adatnya, perkawinan adat, hukum kekerabatan maupun harta kekayaan adat.
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 adat istiadat dan budaya diakui oleh Negara dan diberikan keleluasaan untuk mengembangkan diri sesuai dengan budaya dan adat istiadatnya masing-masing. Hal ini termuat dalam pasal 28C yang berbunyi :
1. Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya demi kesejahteraan umat manusia.
2. Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan Negara.
Adat istiadat merupakan cerminan bangsa Indonesia dan merupakan identitas diri bangsa. Pengakuan ini termuat dalam Undang-undang 1945 pasal 28i yang berbunyi :
“ Identitas budaya dan hak masyarakat tradisonal dihormati selaras dengan zaman dan peradaban”.
Adat istiadat ini juga termuat dalam PP No. 72 Tahun 2005 dimana dalam penjelasan umumnya menyatakan bahwa desa dapat membentuk lembaga-lembaga kemasyarakatan misalnya lembaga-lembaga adat. Lembaga kemasyarakatan
(7)
bertugas membantu pemerintah desa dan merupakan mitra bagi lembaga pemerintah. Tokoh adat yang ada dalam suatu wilayah desa harus dilibatkan oleh pemerintahan desa dalam kegiatan-kegiatan pemerintah.
Menurut P2NB (1995/1996:17) masyarakat Lampung sebagai salah satu suku di Indonesia yang bertempat tinggal di ujung selatan pulau Sumatra, memiliki falsafah atau pandangan hidup yaitu Piil Pesenggiri. Masyarakat Lampung terbagi menjadi dua kelompok adat yaitu Masyarakat yang menganut adat Saibatin dan masyarakat yang menganut adat Pepadun . Masyarakat yang menganut adat Saibatin pada umumnya tinggal di pesisir pantai seperti di sepanjang pantai Teluk Betung ,Teluk Semangka, Krui, Liwa, Pesisir Rajabasa, Malinting, dan Kalianda sedangkan masyarakat yang menganut adat Pepadun umumnya mendiami daerah-daerah pedalaman seperti Abung, Way Kanan, Sungkai, Tulang Bawang Dan Pubian. Masyarakat Lampung merupakan masyarakat kekerabatan bertalian darah menurut garis keturunan ayah (Geneologis-Patrilinial), yang terbagi-bagi dalam masyarakat keturunan menurut Poyang asalnya masing-masing yang disebut "buay", misalnya Buay Pernong, Buay Belunguh, Buay Bejalan di Way, Buay Nyerupa dan sebagainya. Setiap kebuayan itu terdiri dari berbagai "jurai" dari kebuwaian, yang terbagi-bagi pula dalam beberapa kerabat yang terikat pada satu kesatuan rumah asal (nuwou tubou, lamban tuha). (Kiay Faksi, 1995 : 41).
Kemudian dari rumah asal itu terbagi lagi dalam beberapa rumah kerabat (nuwou balak, lamban gedung). Ada kalanya buay-buay itu bergabung
(8)
dalam satu kesatuan yang disebut "paksi". Setiap kerabat menurut tingkatannya masing-masing mempunyai pemimpin yang disebut "penyimbang" yang terdiri dari anak tertua laki-laki yang mewarisi kekuasaan Ayah secara turun temurun. Hubungan kekerabatan adat Lampung terdiri dari lima unsur yang merupakan lima kelompok yaitu : a. Kelompok wari atau adik wari, yang terdiri dari semua saudara laki-laki
yang bertalian darah menurut garis ayah, termasuk saudara angkat yang bertali darah.
b. Kelompok lebuklama yang terdiri dari saudara laki-laki dari nenek ibu dari ayah dan keturunannya dan saudara laki-laki dari ibu dan
keturunannya.
c. Kelompok baimenulung yang terdiri dari saudara-saudara wanita dari ayah dan keturunannya.
d. Kelompok kenubi yang terdiri dari saudara-saudara karena ibu bersaudara dan keturunannya.
e. Kelompok lakau-maru, yaitu para ipar pria dan wanita serta kerabatnya dan para saudara karena istri bersaudara dan kerabatnya.
Adat istiadat Lampung sama halnya dengan adat istiadat daerah lainnya dan merupakan kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Adat ini diwarisi secara turun temurun, di bina dan di kembangkan secara tradisi karena masyarakat Lampung khususnya yang beradat Saibatin dalam menentukan penyimbang adat sifatnya sangat tertutup dan bersifat patrilineal geneologis (mengikuti garis keturunan laki-laki). (Kiay Faksi, 1995 : 43).
(9)
Masyarakat adat yang hidup secara turun temurun mempunyai tatanan kehidupan sesuai dengan norma-norma yang berlaku bagi masyarakat tersebut. Masyarakat adat sebagai pranata sosial mempunyai kehidupan sosial yang secara turun-temurun dijaga dan dikembangkan oleh mayarakat tersebut. Pranata sosial masyarakat adat yang masih terjaga dengan baik biasanya sangat sulit untuk dimasuki oleh hal-hal yang bersifat negatif dan dianggap tidak sesuai dengan ketentuan adat istiadat.
Dewasa ini masyarakat adat Indonesia semakin termarginalkan. Hal ini disebabkan oleh adanya pengaruh budaya-budaya asing yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Dalam konteks pemerintahan secara histori tatanan masyarakat adat lokal pernah diakui sebagai masyarakat madani yang sangat kontemporer. Kenyataan saat ini bahwa peranan masyarakat adat dalam tatanan pemerintahan adat tidak difungsikan lagi sehingga tidak sedikit permasahan-permasalahan yang sebenarnya dapat diselesaikan dalam tatanan adat justru menjadi ranah kekuasaan Negara, yang pada akhirnya absolutisme semu dari aturan formal negara menjadi belenggu bagi demokratisasi masyarakat adat.
Masyarakat adat dalam tatanan kenegaraan kita merupakan masyarakat madani. Pemaknaan masyarakat madani secara definitif berlaku seiring dengan beragamnya elemen-elemen masyarakat sekaligus perjalanan sejarahnya masing-masing. Adanya nilai dan norma dalam masyarakat sebagai salah satu ciri masyarakat madani memperlihatkan keteraturannya berdasarkan konvensi yang berlangsung di antara mereka. Namun, nilai dan
(10)
norma hanya akan menjadi angan-angan kosong ketika ia tidak dimanifestasikan secara kelembagaan yaitu adanya struktur, garis hirarki kewenangan, pembagian kekuasaan, tanggung jawab, interaksi antar individu, serta program kerja yang berada pada garis rencana strategis. Dengan kata lain, terjadi hubungan saling melengkapi antara aspek substansial dan formal. Suatu gagasan ideal sebagai aspek substansial hanya menjadi mimpi ketika ia tidak diwujudkan dalam bentuk formal. Suatu formalitas tanpa muatan gagasan ideal sebagai aspek substansialnya akan kehilangan ruh.
Dalam beberapa hal pemerintahan adat Saibatin Marga Belunguh mempunyai peranan yang sangat penting bagi Pemerintahan Desa dalam menjalankan roda pemerintahannya. Salah satunya yang menyangkut kepentingan adat-istiadat setempat, seperti pada saat akan dilaksanakannya upacara pernikahan dan penyelesaian sengketa yang terjadi dalam masyarakat adat khususnya sengketa tanah adat dan mengawasi kinerja pemerintahan desa. Mengenai urusan pada saat akan dilaksanakannya kegiatan upacara pernikahan dan penyelesaian sengketa dalam masyarakat adat, pemerintahan Desa Bedudu melimpahkan atau diambil alih oleh Pemerintahan Adat Saibatin Marga Belunguh untuk dapat mengatur pelaksanaan kegiatan tersebut agar dapat terselenggara dengan baik. Sedangkan permasalahan pengawasan kinerja pemerintahan desa dilakukan oleh Pemerintahan Adat Saibatin Marga Belunguh melalui teguran dan memberikan masukan kepada Pemerintah Desa untuk dipertimbangkan apabila terdapat kejanggalan yang tidak sesuai dengan adat-istiadat
(11)
setempat. Sehingga sedikit banyak pemerintahan adat masih mempunyai peranan dalam pemerintahan desa.
Kenyataan ini merupakan realita yang terjadi pada tatanan masyarakat adat. Legalitas akan fungsi dan perannya dalam pemerintahan secara formal terkesan hanya sebagai pelengkap mengingat dalam hal-hal yang teknis menyangkut masyarakat yang secara adat terjaga akan menjadi urusan pemerintahan secara formal. Salah satu contoh kasus yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintahan adat dalam penyelesaiannya yaitu masalah sengketa tanah adat. Dalam hal penyelesaian sengketa adat memang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintahan adat dalam menyelesaikan permasalahan ini, karena selain berada dalam wilayah adat setempat juga tanah tersebut merupakan pemberian adat dengan adanya izin pembukaan lahan dari pemerintahan adat dahulunya. Adapun aturan pembukaan lahan tersebut yaitu dimulai dari nangguh atau pamit kepada kepala adat, kemudian dialanjutkan dengan mancang atau matok lahan yang akan digarap dan dilanjutkan dengan nyecar/ngusi atau proses dimulainya pembukaan hutan yang akan dijadikan lahan perkebunan.
Sehingga wajar apabila pemerintahan adat lebih berhak dari pada pemerintahan desa dalam menyelesaikan permasalahan sengketa dalam masyarakat adat khususnya sengketa tanah adat. Karena selain lebih mengerti asal usul kepemilikan tanah yang disengketakan juga masyarakat adat lebih taat/patuh kepada pemerintahan adat dibandingkan dengan pemerintahan desa. Akan tetapi banyak kasus sengketa tanah yang berada
(12)
dalam wilayah adat diselesaikan oleh masyarakat adat melalui pemerintahan desa. Sehingga dapat dipastikan dengan diambil alihnya penyelesaian sengketa tanah dalam masyarakat adat ini oleh pemerintahan desa dapat mengurangi peran pemerintahan adat dalam pemerintahan desa.
Pemerintahan adat merupakan mitra bagi Pemerintahan Desa dalam menjalankan roda pemerintahan. Walaupun semakin lama semakin terkikis peranannya dalam Pemerintahan Desa, akan tetapi peranan Pemerintahan Adat tidak bisa dihilangkan dalam hal penyelesaian sengketa yang terjadi dalam masyarakat adat khususnya sengketa tanah adat.
Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut maka penulis tertarik mengadakan penelitian dengan judul : “Peranan Pemerintahan Adat Lampung Saibatin Dalam Pemerintahan Desa Bedudu”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana Peranan Pemerintahan Adat Lampung Saibatin Dalam Pemerintahan Desa Bedudu?
C. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui Peranan Pemerintahan Adat Lampung Saibatin dalam Pemerintahan Desa Bedudu.
D. Kegunaan Penelitian
(13)
a. Secara Teoritis, sebagai salah satu kajian Ilmu Pemerintahan, khususnya Pemerintahan adat Lampung Saibatin Marga Belunguh dalam penyelengaraan Pemerintahan Desa Bedudu.
b. Secara Praktis, sebagai salah satu masukan dalam meningkatkan peranan Pemerintahan Adat Lampung Saibatin dalam Pemerintahan Desa Bedudu.
(14)
III. METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian
Pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan objek atau fenomena yang menjadi fokus penelitian penulis, yaitu mengenai Bagaimana Peranan Pemerintahan Adat Lampung Saibatin Dalam Pemerintahan Desa Bedudu, maka penulis menggunakan tipe penelitian deskriptif dengan penjelasan secara kualitatif. Dalam penelitian kualitatif informasi yang dikumpulkan dan diolah harus tetap objektif dan tidak dipengaruhi oleh pendapat peneliti sendiri. Penelitian kualitatif banyak diterapkan dalam penelitian histories atau deskritif. Menurut Ronny Kountur (2003:105), penelitian deskriptif adalah jenis penelitian yang memberikan gambaran atau uraian atas suatu keadaan sejelas mungkin tanpa ada perlakuan terhadap objek yang diteliti. Penelitan deskriptif yang biasa juga disebut dengan penelitian survay adalah penelitian yang mencoba untuk membuat pencandraan/gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat pada suatu obyek penelitian tertentu.
Tipe penelitin ini menggunakan tipe deskriptif dengan interprestasi yang bersifat kualitatif. Interpretasi yang bersifat kualitatif adalah untuk eksplorasi dan klarifikasi mengenai suatu fenomena atau kenyataan sosial dengan cara
(15)
menggambarkan sejumlah variabel yang berkenaan dengan masalah dan untuk yang diteliti (S. Nasution, 1989:20).
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain (Maleong, 2005:6). Secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan yang dimaksud dengan penelitian deskriptif kualitatif dalam skripsi ini adalah metode penelitian untuk merumuskan sebuah gambaran yang tersusun secara sistenatis, faktual dan akurat mengenai peranan pemerintahan adat lampung saibatin dalam pemerintahan desa Bedudu, khususnya mengenai sengketa yaitu yang terjadi dalam maslarakat adat seperti sengketa tanah adat yaitu dengan cara melakukan himpun lunik (rapat kecil) yang dihadiri pihak yang berkepntingan serta Radin (bawahan batin) sesuai dengan kapsitas dari setiap Radin dengan melihat bagian dari suku sipa yang bersengketa.
Dalam skripsi ini data yang penulis sajikan berupa naskah wawancara, penerapan dilapangan dan dokumen resmi lainnya. Sedangkan untuk pengolahan data dan penyajian data, pemeliti menggunakan metode kualitatif. Dengan menggunakan metode ini, maka peneliti berusaha untuk menjelaskan dan menapsirkan tentang peran pemerintah Lampung Saibaitin Dalam Pemerintahan Desa Bedudu.
(16)
B. Fokus Penelitian
Dalam penelitian kualitatif, hal yang harus diperhatikan adalah masalah dan fokus penelitian. Fokus penelitian ini memegang peranan yang sangat penting dalam memandu dan mengarahkan jalannya suatu penelitian. Fokus penelitian sangat membantu seorang peneliti agar tidak terjebak oleh melimpahnya volume data yang masuk, termasuk juga yang tidak berkaitan denga masalah penelitian. Fokus memberikan batas dalam studi dan batasan dalam pengumpulan data, sehingga pembatasan peneliti akan fokus memahami masalah yang menjadi tujuan penelitian. Menurut Moleong (2005:92) penetapan fokus sebagai penelitian penting artinya dalam usaha menentukan batas penelitian. Untuk mengetahui Peranan Pemerintahan Adat Lampung Saibatin Dalam Pemerintahan Desa Bedudu, maka yang menjadi fokus penelitian ini adalah:
1. Mengenai peranan pemerintahan adat Saibatin Marga Belunguh dalam Pemerintahan Desa khusus mengenai sengketa tanah adat?
2. Mengenai fungsi pemerintahan adat dalam pemerintahan desa?
Peranan Pemerintahan Adat dalam hal ini Suntan selaku kepala pemerintahan adat dalam Pemerintahan Desa adalah sebagai mitra kerja bagi Pemerintahan Desa (pekon) sekaligus secara tersurat merupakan penasehat Kepala Desa (peratin). Sehingga apabila terdapat sengketa tanah adat yang terjadi dalam wilayah pemerintahan adat, pemerintahan adat ikut bertanggung jawab untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Sedangkan fungsi Pemerintahan Adat dalam
(17)
pemerintahan secara kelembagaan adat adalah melakukan pengawasan terhadap kinerja aparatur pemerintahan desa akan tetapi pengawasannya hanya bersifat preventif.
C. Lokasi Penelitian
Penentuan lokasi penelitian merupakan cara baik yang ditempuh dengan jalan mempertimbangkan teori subtantif dan menjajaki lapangan mencari kesesuaian dengan kenyataan yang ada di lapangan, sementara itu keterbatasan geografis dan praktis, seperti waktu, biaya dan tenaga perlu juga dijadikan pertimbangan dalam penentuan lokasi penelitian.(Lexy J.Moleong 2004:86).
Lokasi yang diambil dalam penelitian ini ditentukan dengan cara sengaja (Purposive) yaitu desa Bedudu kecamatan Belalau kabupaten Lampung Barat. Berdasarkan dari informasi dari masyarakat dan tokoh adat mengenai peranan pemerintahan adat saibatin dalam pemerintahan desa bedudu di daerah tersebut.
D. Jenis Data
Jenis data yang akan digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder :
1. Data Primer
Yaitu data yang diperoleh dari sumber pertama melalui prosedur dan teknik pengambilan data yang dapat berupa: interview/ wawancara, observasi, maupun penggunaan instrumen pengukuran yang khusus dirancang sesuai
(18)
dengan tujuan dari penelitian tersebut. Data-data yang dijaring, dikodifikasikan, dan dideskripsikan adalah bersumber dari jawaban para informan terhadap pertanyaan yang diajukan dalam wawancara.
2. Data Sekunder
Yaitu data yang diperoleh dari sumber yang tidak langsung, yang bisanya berupa data dokumentasi, buku-buku, Koran, jurnal, majalah dan arsip-arsip lainnya yang dapat mendukung proses penelitian yang akan di lakukan.
E. Penentuan Informan
Menurut Spredly dan Faisal (1997:67) agar memperoleh informasi yang lebih terbukti, terdapat beberapa kreteria yang perlu dipertimbangkan, antara lain:
1. Subyek yang lama berkecimpung dan intensif dengan suatu kegiatan atau aktivitas yang menjadi sasaran atau perhatian penelitian.
2. Subyek yang masih terkait secara penuh dan aktif pada lingkungan atau kegiatan yang menjadi sasaran atau perhatian penelitian.
3. Subyek yang mempunyai cukup banyak informasi, banyak waktu dan kesempatan untuk dimintai keterangan
4. Subyek yang berada atau tinggal pada sasaran yang mendapat perlakuan atau yang mengetahui kejadian tersebut.
Kriteria yang ditentukan penulis dalam menentukan informan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, yaitu:
(19)
1. Bekerja di dalam lingkungan pemerintahan desa atau pemerintahan adat 2. Bekerja di dalam lembaga teknis atau koordinasi yang menyelenggarakan
pemerintahan desa dalam kesehariannya.
3. Bekerja di dalam lembaga teknis atau koordinasi yang melaksanakan proses pembangunan desa.
4. Memahami tentang tugas pokok dan fungsinya masing-masing.
F. Teknik Pengumpulan Data
Adapun strategi pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik, yaitu:
1) Wawancara
yaitu proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan. Dalam penelitian kualitatif, teknik wawancara merupakan cara yang utama untuk mengumpulkan data. Wawancara bertujuan untuk menggali informan yang tidak saja diketahui dan dialami oleh informan, tetapi juga apa yang tersembunyi jauh di dalam diri informan. Apa yang ditanyakan kepada informan bisa mencakup hal-hal yang bersifat lintas waktu yang berkaitan dengan masa lampau, masa sekarang dan masa depan.
Yang dimaksud dengan masa lampau yaitu kejadian yang telah lama terjadi, sedangkan masa sekarang yaitu merupakan kejadian yang terjadi saat ini
(20)
sebagai perbandingan dengan kejadian sebelumnya. Sedangkan masa depan merupakan pandangan kedepan terkait dengan perkembangan zaman. 2) Dokumentasi
Yaitu pengumpulan data dengan cara mengumpulkan data dan mempelajari buku-buku dokumen, peraturan perundangan, Koran, majalah dan lain-lain. Dalam pengumpulan data dilapangan peneliti harus teliti dalam pengumpulan data. Hal ini dilakukan agar data yang didapat benar-benar akurat, dapat dipercaya dan dapat dipertanggung jawabkan. Dokumen atau data-data yang dikumpulkan oleh peneliti dilapangan didapat melalui dokumen-dokumen pemerintahan adat yang ada seperti peraturan pemerintahan adat, struktur pemerintahan adat dan lain sebagainya yang menyangkut pemerintahan adat marga Belunguh.
G. Teknik Pengolahan Data
Teknik pengolahan data menurut Efendi, Tukiran dan Sucipto (dalam Singarimbun 1995:240) terdiri dari :
1) Editing
Cara yang digunakan untuk meneliti kembali data yng telah diproleh dilapangan baik yang diproleh melalui wawancara maupun dukumentasi guna menghindari kekeliruan dan kesalahan. Editing dalam penelitian ini digunakan pada penyajian hasil wawancara berupa kalimat-kalimat yang kurang baku disajikan dengan menggunakan kalimat baku dan bahasa yang mudah dimengerti.
(21)
2) Interpretasi
Memberikan penafsiran atau penjabaran atas hasil penelitian untuk dicari makna yang lebih luas dengan menghubungkan jawaban yang diproleh dengan data lain.Interpretasi dalam penelitian ini yaitu, menafsirkan atau menjabarkan kesimpulan hasil wawancara dengan menghubungkan kesimpulan yang diperoleh sehingga diperoleh makna yang lebih luas.
Cara yang digunakan untuk meneliti kembali data yang telah diproleh di lapangan baik yang diperoleh melalui wawancara maupun dokumentasi guna menghindari kekeliruan dan kesalahan. Editing pada penelitian ini digunakan pada penyajian hasil wawancara berupa kalimat-kalimat yang kurang baku disajikan dengan kalimat baku dan bahasa yang mudah dimengerti.
H. Teknik Analisis Data
Patton (dalam Lexy J. Moleong, 2004:280) mendefinisikan analisis data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikan kedalam suatu pola, kategori dan urutan dasar.
Sedangkan Bogdan dan Taylor (dalam Lexy J. Moleong 2004:280) mendefinisikan analisis data sebagai proses yang merinci usaha secara formal untuk menentukan tema dan rumusan hipotesis (ide), seperti yang disarankan oleh data dan sebagai usaha untuk memberikan bantuan pada tema dan hipotesis itu.
(22)
Berdasarkan definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa analisi data adalah proses mengatur urutan data, kategori sehingga dapat dijadikan pola yang memiliki relevansi dengan teori-teori yang digunakan dalam penelitian, yang kemudian dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.
Untuk menganalisis data dalam penelitian ini di gunakan analisis data secara deskriptif dengan pendekatan secara kualitatif yang menyajikan data bukan berupa data angka, metode data diskriptif ini sifat merupakan keadaan objek atau subjek peneliti pada saat melakukan penelitian tersebut dilakukan sebagaimana adanya dengan cara data yang diperoleh dari hasil penelitian selanjutnya di susun secara sistematis dan logis untuk mendapatkan gambaran umum tentang peranan pemerintahan adat lampung saibatin dalam pemerintahan desa Bedudu. Penelitian kualitatif adalah penggambaran suatu penomena atau permasalahan tampa melakukan pengukuran atau memperoleh data yang berupa angka.
Menurut Mettew Miles dan A. Michael Haberman (1992:16) pada tiga komponen analisis data kualitatif yaitu:
1) Reduksi Data
Data yang di proleh di lapangan dituangkan dalam laporan atau uraian yang lengkap dan terperinci. Reduksi data merupakan bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang data yang tidak
(23)
perlu dan mengorganisasikan sedemikian rupa, sehingga kesimpulan finalnya dapat ditarik dan diferivikasi. Hasil wawancara dan dokumentasi digolongkan dalam fokus-fokus kajian penelitian.
2) Penyajian (Display) Data
Penyajian data ini dimaksudkan untuk memudahkan penelit melihat data secara keseluruhan dan bagian-bagian penting. Bentuk penyajian data yang digunakan pada data kualitatif adalah bentuk teks naratif, oleh karena itu informasi yang dikompleks akan disederhanakan kedalam bentuk tabulasi yang selektif dan mudah dipahami. Penyajian data dalam penelitian ini dilakukan dengan memilih data yang lebih relevan dengan konteks penelitian, disajikan dalam kalimat baku dan mudah dimengerti.
3) Verifikasi Data (Menarik Kesimpulan)
Verifikasi data dimaksud bahwa peneliti berusaha mencari arti, pola, tema, konfigurasi-konfigurasi yang mungkin menjelaskan akan sebab-sebab dan sebagainya. Kesimpulan harus senantiasa diuji selama penelitian berlangsung, dalam hal ini dilaksanakan dengan cara penambahan data baru.
(24)
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsepsi Peranan
Menurut Margono Slamet (2000:14), peranan mencakup tindakan atau perilaku yang perlu dilaksanakan oleh seseorang yang menempati suatu posisi didalam suatu sistem sosial. Anton Moelyono dalam Onong U (2002:7) Peranan merupakan sesuatu yang diartikan memiliki arti positif yang diharapkan akan memberikan sesuatu yang berdaya guna dalam memperoleh hasil yang lebih baik serta dapat mempengaruhi sesuatu hal lain.
Margono Slamet (1985:15) mendefinisikan peranan sebagai sesuatu yang mencakup tindakan atau perilaku yang dilaksanakan oleh seseorang yang menempati suatu posisi dalam status sosial.
Soerjono Soekanto (2006:212) memberikan arti peranan sebagai aspek dinamis dari kedudukan (status). Apabila seseorang melakukan atau melaksanakan hak-hak dan kewajibannya sesuaian dengan kedudukannya maka dia menjalankan suatu peranan. Dalam hal ini peranan mencakup tiga hal yaitu :
a. Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan sengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan masyarakat.
(25)
b. Peranan adalah suatu konsep perihal apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi.
c. Peranan dapat diartikan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat.
Teori peran (Role Theori) secara prinsif memberikan definisi terhadap peranan dari berbagai sudut pandang dimana peranan itu terjadi tergantung pada disiplin ilmu dan orientasi yang akan dicapai pemberi teori. Biddle dan Thomas dalam Sarlito Wirawan Sarwono (1998:209) membagi peristilahan dalam teori peran pada 4 (empat) golongan. Istilah-istilah tersebut dapat diklasifikasikan menjadi :
1. Orang-orang yang mengambil bagian dalam interaksi sosial. Orang-orang yang mengambil bagian dalam interaksi sosial dapat dibagi menjadi :
a. Aktor/pelaku yaitu orang yang sedang berprilaku menuruti suatu peran tertentu.
b. Target/sasaran atau orang lain yaitu orang yang mempunyai hubungan dengan aktor atau prilakunya.
c. Target/sasaran atau orang lain yaitu orang yang mempunyai hubungan dengan aktor atau prilakunya.
2. Perilaku yang muncul dalam interaksi tersebut. Biddle dan Thomas memberikan 5 (lima) istilah tentang perilaku yang berkaitan dengan peran yaitu:
(26)
Harapan tentang peran adalah harapan-harapan orang lain pada umumnya tentang perilaku yang pantas, yang seyogyanya ditunjukkan oleh seseorang yang mempunyai peran tertentu.
b. Norma
Norma hanya merupakan salah satu bentuk harapan. Jenis-jenis harapan menurut Secord dan Bacman adalah sebagai berikut :
1. Harapan yang bersifat meramalkan ( acticipatory) yaitu harapan tentang suatu perilaku yang akan terjadi.
2. Harapan normatif merupakan keharusan yang menyertai suatu peran. Harapan normatif ini menurut Biddle dan Thomas dibagi dalam 2 (dua) jenis yaitu : (a) Harapan yang terselubung yaitu harapan itu tetap ada walaupun tidak diucapkan; dan (b) Harapan yang terbuka yaitu harapan-harapan yang diucapkan.
c. Wujud perilaku (Performance)
Peran diwujudkan dalam perilaku oleh aktor. Berbeda dari norma wujud perilaku adalah nyata, berbeda-beda dari satu aktor ke aktor yang lain.
d. Penilaian dan Sanksi (Evaluation and Sanction)
Penilaian dan sanksi dapat datang dari orang lain maupun dari dalam diri sendiri. Jika penilaian dan sanksi datang dari orang lain berarti penilaian dan sanksi itu ditentukan oleh perilaku orang lain. Jika penilaian dan sanksi datang dari dalam diri pribadi, maka pelaku sendirilah yang memberi penilaian dan sanksi berdasarkan pengetahuannya tentang harapan-harapan dan norma-norma yang berlaku pada masyarakat.
(27)
Berdasarkan beberapa definisi dan batasan mengenai peranan diatas, maka dapat simpulkan bahwa peranan adalah aspek dinamis yang berupa tindakan atau perilaku yang dilaksanakan oleh seseorang yang menempati atau memangku suatu posisi dan melaksanakan hak-hak dan kewaijibannya sesuai dengan kedudukannya. Dengan kata lain peranan adalah sesuatu yang penting dan diharapkan dari seseorang atau lembaga yang memiliki tugas utama dalam kegiatan. Jika seseorang atau lembaga tersebut menjalankan kegiatan dengan baik, maka dengan sendirinya akan berharap bahwa apa yang dijalankan sesuai dengan keinginan dari lingkungannya.
B. Tinjauan Pemerintahan Adat 1. Konsepsi Pemerintahan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, secara etimologis pengertian pemerintahan berasal dari kata pemerintah, sedangkan pemerintah berasal dari kata perintah. Kata perintah menurut kamus adalah perkataan yang bermaksud menyuruh sesuatu. Kata pemerintah adalah kekuasaan memerintah suatu negara atau suatu wilayah tertentu.
Menurut Taliziduhu Ndraha (2005:57), mendefinisikan pemerintahan adalah kegiatan pemerintah saja, sehingga apa yang dilakukan pemerintah, itulah pemerintahan. Pemerintahan menurut Syafe’i (1998:15) berarti badan organ elit yang melakukan pekerjaan mengatur dan mengurus suatu negara atau wilayah. Sedangkan pemerintahan menurut R. Maciver seperti yang dikutif dalam Inu Kencana Syafe’i dalam manajemen pemerintahan (1998) bahwa pemerintahan itu adalah sebagai suatu organisasi dari
(28)
orang-orang yang memiliki kekuasaan dan bagaimana Manusia itu bisa diperintah.
Menurut Rias Rasyid (1998”139) adalah pemberian pelayanan kepada masyarakat. Ia diadakan bukan untuk melayani dirinya sendiri tetapi untuk melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreatifitas demi teraapainya tujuan bersama.
Jadi menurut penjelasan beberapa definisi di atas, dapat dikatakan bahwa pemerintahan adalah orang yang berkuasa dan berfungsi sebagai pelayanan bagi masyarakat untuk keberlangsungan kehidupan masyarakat dan negara.
2. Konsepsi Pemerintahan Desa
Terbentuknya desa diawali dengan terbentuknya kelompok masyarakat akibat sifat manusia sebagai makhluk sosial, dorongan kodrat, atau sekeliling manusia, kepentingan yang sama dan bahaya dari luar. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, disebut bahwa Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(29)
Desa bukanlah bawahan kecamatan, karena kecamatan merupakan bagian dari perangkat daerah kabupaten/kota, dan desa bukan merupakan bagian dari perangkat daerah. Berbeda dengan Kelurahan, Desa memiliki hak mengatur wilayahnya lebih luas. Namun dalam perkembangannya, sebuah desa dapat diubah statusnya menjadi kelurahan.
Kewenangan desa adalah:
a. Menyelenggarakan urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa
b. Menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa, yakni urusan pemerintahan yang secara langsung dapat meningkatkan pelayanan masyarakat.
c. Tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota.
d. Urusan pemerintahan lainnya yang diserahkan kepada desa.
Kepala Desa merupakan pimpinan penyelenggaraan pemerintahan desa berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Masa jabatan Kepala Desa adalah 6 tahun, dan dapat diperpanjang lagi untuk satu kali masa jabatan. Kepala Desa juga memiliki wewenang menetapkan Peraturan Desa yang telah mendapat persetujuan bersama BPD.
(30)
Kepala Desa dipilih langsung melalui Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) oleh penduduk desa setempat. Syarat-syarat menjadi calon Kepala Desa sesuai Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 sebagai berikut:
1. Bertakwa kepada Tuhan YME.
2. Setia kepada Pacasila sebagai dasar negara, UUD 1945 dan kepada NKRI, serta Pemerintah.
3. Berpendidikan paling rendah SLTP atau sederajat. 4. Berusia paling rendah 25 tahun.
5. Bersedia dicalonkan menjadi Kepala Desa. 6. Penduduk desa setempat.
7. Tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan dengan hukuman paling singkat 5 tahun.
8. Tidak dicabut hak pilihnya.
9. Belum pernah menjabat Kepala Desa paling lama 10 tahun atau 2 kali masa jabatan.
10. Memenuhi syarat lain yang diatur Perda Kabupaten/Kota.
Jadi dari uraian di atas, penulis menyimpulkan pemerintahan desa adalah merupakan subsistem dari sistem penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia sehingga desa memiliki kewenangan, tugas dan kewajiban untuk mengatur serta mengurus kepentingan masyarakatnya. Tugas pokok pemerintah desa adalah melaksanakan urusan rumah tangga desa, urusan pemerintahan umum, pembangunan dan pembinaan masyarakat serta menjalankan tugas pembantuan dari pemerintah, pemerintah provinsi dan atau pemerintah kabupaten. Dalam Pemerintahan Desa dipimpin oleh
(31)
seorang Kepala Desa yang dipilih langsung oleh masyarakat desa melalui pemilihan Kepala Desa dengan masa jabatan 6 tahun.
3. Pemerintahan Adat
Menurut Sudjarwo (1986:81), Adat adalah aturan, kebiasaan-kebiasaan yang tumbuh dan terbentuk dari suatu masyarakat atau daerah yang dianggap memiliki nilai dan dijunjung serta dipatuhi masyarakat pendukungnya. Di Indonesia aturan-aturan tentang segi kehidupan manusia tersebut menjadi aturan-aturan hukum yang mengikat yang disebut hukum adat. Adat telah melembaga dalam dalam kehidupan masyarakat baik berupa tradisi, adat upacara dan lain-lain yang mampu mengendalikan perilau warga masyarakat dengan perasaan senang atau bangga, dan peranan tokoh adat yang menjadi tokoh masyarakat menjadi cukup penting.
Menurut Fachruddin Suharyadi (2003:66), Adat merupakan norma yang tidak tertulis, namun sangat kuat mengikat sehingga anggota-anggota masyarakat yang melanggar adat istiadat akan menderita, karena sanksi keras yang kadang-kadang secara tidak langsung dikenakan. Misalnya pada masyarakat yang melarang terjadinya perceraian apabila terjadi suatu perceraian maka tidak hanya yang bersangkutan yang mendapatkan sanksi atau menjadi tercemar, tetapi seluruh keluarga atau bahkan masyarakatnya. Menurut Kiay Faksi (1995 : 14), Pemerintahan Adat merupakan suatu pemerintahan yang dijalankan secara adat berdasarkan hukum adat setempat. Hukum atau peraturan pemerintahan adat merupakan hukum tidak tertulis akan tetapi sangat ditaati oleh masyarakat adatnya. Dalam
(32)
pemerintahan adat dipimpin oleh seorang Suntan atau kepala Adat dan dibatu oleh para raja-raja yang ada dibawahnya seperti Dalom, Raja, Batin, Radin, Minak, Mas, dan Kimas.
Pemerintahan Saibatin Marga Belunguh dalam hal ini Suntan sebagai Kepala Pemerintahan Adat mempunyai peranan yang sangat besar dalam Pemerintahan Desa Bedudu yaitu bertanggung jawab terhadap kegiatan adat-istiadat setempat/upacara pernikahan, bertanggung jawab dalam menyelesaikan sengketa dalam masyarakat adat khususnya sengketa tanah adat, ikut dilibatkan dalam pembuatan peraturan desa (PERDES) dan mengawasi kinerja Pemerintahan Desa.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pemerintahan Adat merupakan suatu pemerintahan yang dijalankan secara adat berdasarkan hukum adat setempat. Pemerintahan Adat dalam Pemerintahan Desa mempunyai peranan yang sangat besar dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa yaitu bertanggung jawab terhadap kegiatan adat-istiadat setempat/upacara pernikahan, bertanggung jawab dalam menyelesaikan sengketa dalam masyarakat adat khususnya sengketa tanah adat, ikut dilibatkan dalam pembuatan peraturan desa (PERDES) dan mengawasi kinerja Pemerintahan Desa.
4.Pemerintahan Adat Saibatin
Menurut Kiay Paksi (1995:41), dalam tatanan pemerintahan adat saibatin, pemimpin tertinggi adat dalam marga adalah Pun penyimbang adat yang bergelar pangeran. Pun Penyimbang merupakan orang yang dihormati dan
(33)
menjadi panutan dalam marga karena statusnya sebagai keturunan lurus dari saibatin. Dalam konteks geneologis patrilineal, penyimbang adat secara langsung memberikan tampuk kekuasaan adat kepada pewarisnya yaitu anak laki-laki tertua dari pun penyimbang adat. Anak laki-laki tertua tersebut disebut Suntan atau Suttan. Jadi Suntan atau Suttan adalah anak laki-laki tertua dari pun penyimbang adat sebagi pewaris langsung pemerintahan adat pada marga berkedudukan sebagai ”pandia” bagi keluarga besarnya.
1). Peranan Suntan Marga Belunguh.
Perkembangan peranan pemerintahan selalu mengalami pergeseran, pergeseran tersebut yang terahir yaitu peran pemerintah dari Government ke Governance. Penggantian istilah Government menjadi Governance yang menunjukan penggunaan otorita politik, dan administrasi dalam mengelola masalah-masalah kenegaraan. Dalam bahasa Indonesia kata Governance diterjemahkan menjadi “tata pemerintahan” ada pula yang menerjemahkan menjadi “kepemerintahan”. Istilah ini secara khusus menggambarkan perubahan peranan pemerintah dari pemberi pelayanan (provider) kepada fasilitator dan perubahan kepemilikan yaitu dari milik Negara menjadi milik rakyat.
Kepala adat Marga Belunguh yang dipimpin oleh Suntan dalam sistem pemerintahan adat juga memiliki peranan yang tidak jauh berbeda dengan peranan kepala adat umumnya yaitu sebagai kepala pemerintahan adat atau orang nomor satu di sistem pemerintahan adat.
(34)
Suntan sebagai penyelenggara pemerintahan adat, menjadi koordinator dalam setiap acara adat dan memantau berlangsungnya kegiatan adat.
Suntan juga berperan dibidang politik pemerintahan, misalnya saja saat penjajahan sampai prakemerdekaan, Suntan membantu pemerintah memulihkan krisis nasionalisme dalam masyarakat yang hampir luntur akibat pemberontakan dan penjajahan dari orang-orang yang ingin berkuasa dan suntan berperan sebagai Pembina kehidupan masyarakat adat serta Suntan berperan menjaga kelestarian adat istiadat yang merupakan keturunannya.
Suntan penyimbang adat Marga Belunguh tidak berperan sebagai pemegang kekuasaan penuh atau memilki otoritas mutlak. Dalam menjalankan sistem pemerintahan adat Suntan melibatkan masyarakat dan tokoh adat lainnya (Dalom, Raja, Batin dan lainnya). Suntan tidak lagi sebagai pemberi pelayan kepada masyarakat secara keseluruhan, Suntan dapat dikatakan sebagai fasilitator bagi masyarakat adat dalam menjalankan kehidupan masyarakat.
Dikatakan sebagai fasilitator artinya kepala adat/Suntan lebih besar perananya sebagai sarana bagi masyarakat adatnya untuk mencapai tujuan-tujuan yang bersifat positif misalnya dalam masalah pembangunan rumah adat, adanya keinginan masyarakat adat untuk memiliki tempat berkumpul atau rumah adat namun dalam pembangunannya terhambat oleh dana. Kepala adat melaksanakan perannya sebagai Fasilitator yaitu berusaha mengajukan proposal
(35)
misalnya pembuatan rumah adat, kepada pihak lain misalnya pemerintah daerah setempat.
Berhasil atau tidaknya seseorang menjadi pemimpin ditentukan oleh bagaimana seseorang pemimpin tersebut berperan sebagai pimpinan, artinya bagaimana peranan kepemimpinannya. Kepemimpinan memegang peranan yang penting dalam manajemen suatu lembaga. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang memiliki ciri-ciri ideal seorang pemimpin.
2). Fungsi Pemerintahan Adat Dalam Pemerintahan Desa.
Sejarah pertumbuhan pemerintahan yang ada di Indonesia menunjukan bahwa perkembangan pemerintahan tidak dapat dilepaskan dari perkembangan sejarah terbentuknya masyarakat. Ketika beberapa orang hidup berkelompok secara permanen dan membentuk suatu masyarakat, pada saat itu pula terbentuk embrio pemerintahan, yakni suatu kelompok, bagian kelompok atau institusi yang mengatur dan mengurus kehidupan masyarakat agar dapat bertahan terhadap serangan dari luar kelompok. Hal itu terjadi pada kelompok masyarakat kecil sampai pada masyarakat warga Negara.
Hubungan antara pemerintah dan masyarakat bersifat sangat dinamis. Pada awalnya pemerintahan yang dibentuk oleh masyarakat menjalankan fungsi utamanya yaitu melayani masyarakat yang memberikan kewenangan kepadanya, seiring perjalanan waktu
(36)
pemerintah menjadi berkuasa dan menguasai masyarakat yang membentuknya.
Pada abad ke-XIX kehidupan Negara di dasarkan pada ide Negara kepolisian (police state). Dalam konsepsi ini, aktivitas pemerintahan sangat terbatas, hanya pada aspek kehidupan masyarakat yaitu aktivitas hanya terbatas pada pemeliharaan keamanan dan ketertiban kehidupan masyarakat. Pemerintah bersifat pasif (negative state) karena hanya berperan sebagai wasit, penjaga garis (night watcham) saja. Artinya sepanjang tidak terjadi ketidak amanan atau ketidak tertiban pemerintah tidak berbuat banyak.
Pada abad ke-XX konsep pada abad ke-XIX tersebut berubah menjadi konsep Negara kesejahteraan (walfare state). Pemerintah tidak lagi bersifat pasif (negatif). Akan tetapi secara positip, aktip berusaha mewujudkan kebahagiaan, kesejahteraan rakyatnya dalam segala aspek kehidupan. Dalam Negara kesejahteraan pemerintah harus melakukan fungsi mengsejahterakan.
Fungsi pemerintahan yang dirumuskan dalam klasifikasi Irving Swerdlow (dalam buku ajar Syarief Makhya 2004:54) yaitu :
1. Operasi langsung (operations), yang pada pokoknya pemerintah menjalankan sendiri kegiatan-kegiatan tertentu.
2. Pengawasan langsung (direct control), yaitu penggunaan perizinan, lisensi (untuk kredit, kegiatan ekonomi dll), penjatahan dan lain-lain. Ini dilaksanakan oleh badan-badan pemerintah yang “action
(37)
laden” (yang berwenang dalam berbagai perizinan, alokasi, tarif, dan lain-lain) atau kalau tidak menjadi action laden.
3. Pengawasan tidak langsung (indirect control) yakni dengan memberi pengaturan dan syarat-syarat, misalanya pengaturan penggunaan dana devisa tertentu diperbolehkan asal untuk barang-barang tertentu.
4. Pengaruh langsung (direct influence), yang maksudnya dengan persuasi dan nasehat, misalnya saja supaya golongan masyarakat tertentu dapat turut menggabungkan diri dalam koorporasi tertentu atau ikut program lain yang dicanangkan pemerintah negara.
5. Pengaruh tidak langsung (Inderect influence), yang merupakan
bentuk keterlibatan kebijaksanaan ringan. Hal ini misalnya bentuk pemberian imformasi, penjelasan kebijaksanaan, pemberian tauladan, serta penyuluhan dan pembinaan agar masyarakat bersedia menerima hak-hak baru
Dilihat dari fungsi pemerintah, menurut Irving Swerdlow, fungsi pemerintah tidak jauh berbeda dimana pemerintahan adat juga memiliki fungsi-fungsi seperti pemerintahan Negara. Pemerintah dalam lembaga adat Marga Belunguh dalam hal ini Suntan juga memiliki fungsi mengatur dan menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat adatnya serta ikut mensejahterakan masyarakat adatnya.
Suntan Marga Belunguh dalam pemerintahan adat berfungsi menjaga ketertiban dan keamanan warga adatnya, membantu kesejahteraan
(38)
masyarakat umumnya dan warga adat pada khususnya. Suntan juga mempunyai fungsi politik ketika akan diadakan pemilihan kepala daerah baik di tingkat desa, kabupaten atau propinsi, banyak para calon pemimpin tersebut yang mendekati para suntan agar kelak warga adatnya memilh calon tersebut. Terkadang juga Suntan diajak bermusyawarah untuk mendapatkan strategi pendekatan kepada masyarakat. Hal ini banyak dilakuan oleh para calon pemimpin tersebut karena mereka mengetahui bahwa masyarakat lebih dekat dengan pemimpin adatnya dari pada pemimpin daerah setempat, sehingga mereka mau mengikuti apa kata pemimpin adat atau Suntannya.
5. Sistem Pemerintahan Adat Saibatin
Menurut Webster’s New Colligiate Dictionari (2002:33) sistem terdiri atas kata ”syn” dan Bistanai (greek) yang artinya menempatkan bersama yaitu suatu kumpulan pendapat-pendapat, prinsip-prinsip yang membentuk satu kesatuan dan hubungan satu sama yang lainnya. Di dalamnya ada tiga unsur yaitu Faktor-faktor yang dihubungkan, hubungan yang tidak dapat dipisahkan dan membentuk satu kesatuan.
Menurut Taliziduhu Ndraha (2005:57), mendefinisikan pemerintahan adalah kegiatan pemerintah saja, sehingga apa yang dilakukan pemerintah, itulah pemerintahan.
Menurut Rias Rasyid (1998: 139), pemerintah adalah pemberian pelayanan kepada masyarakat. Ia diadakan bukan untuk melayani dirinya sendiri tetapi
(39)
untuk melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreatifitas demi teraapainya tujuan bersama.
Menurut Fachruddin Suharyadi (2003:66), Adat merupakan norma yang tidak tertulis, namun sangat kuat mengikat sehingga anggota-anggota masyarakat yang melanggar adat istiadat akan menderita, karena sanksi keras yang kadang-kadang secara tidak langsung dikenakan. Misalnya pada masyarakat yang melarang terjadinya perceraian apabila terjadi suatu perceraian maka tidak hanya yang bersangkutan yang mendapatkan sanksi atau menjadi tercemar, tetapi seluruh keluarga atau bahkan masyarakatnya.
Sehingga dari ketiga pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa sistem pemerintahan adat merupakan suatu rangkaian keseluruhan dalam lembaga-lembaga adat yang saling berkaitan menurut pola dan norma tertentu dan mempunyai fungsi penting dalam mencapai tujuan. Dalam sistem pemerintahan adat Lampung Saibatin dipimpin oleh Seorang Raja atau Suntan sebagai kepala pemerintahan adat. Dalam sistem pemerintahan adat aturan/norma kebanyakan tidak tertulis atau berdasarkan kebiasaan-kebiasaan yang tumbuh dan terbentuk dari suatu masyarakat atau daerah yang dianggap memiliki nilai dan dijunjung serta dipatuhi masyarakat pendukungnya.
(40)
C. Kerangka Pikir
Dalam masyarakat Adat Saibatin pemerintahan adat sangat dihormati dan dipatuhi oleh masyarakat adatnya. Oleh karena itu, pemerintahan adat sangat berperan terhadap pemerintahan desa dalam hal menjalankan roda pemerintahan. Keadaan tersebut dikarenakan banyak permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat dan pemerintahan desa dapat di selesaikan melalui pemerintahan adat. Karena masyarakat adat pada umumnya lebih taat terhadap pemerintahan adat dibandingkan terhadap pemerintahan formal/Pemerintahan Desa dalam menyelesaikan permasalahan yang timbul di masyarakat. Artinya Pemerintahan Adat merupakan mitra bagi pemerintahan desa dalam menjalankan pemerintahannya. Adapun beberapa peran Pemerintahan Adat Saibatin Marga Belunguh dalam Pemerintahan Desa Bedudu yaitu mengenai bertanggung jawab terhadap kegiatan adat-istiadat setempat/upacara pernikahan, ikut dilibatkan dalam pembuatan peraturan desa (PERDES), mengawasi kinerja Pemerintahan Desa dan bertanggung jawab dalam membantu menyelesaikan sengketa dalam masyarakat adat khususnya sengketa tanah adat. Pada penelitian ini penulis cenderung memfokuskan penelitian pada point yang terakhir yaitu permasalahan membantu menyelesaikan sengketa dalam masyarakat adat khususnya sengketa tanah adat yang terjadi di Desa Bedudu.
(41)
Gambar 1. Bagan Kerangka Pikir
Pembangunan Desa Kependudukan
Pembuatan Perdes Perizinan Pemerintahan
Desa Bedudu Pemerintahan
Adat Marga Belunguh
Penyelesaian Sengketa Peranan Pemerintahan Adat :
1. Kegiatan adat-istiadat 2. Ikut terlibat dalam
pembuatan Perdes.
3. Mengawasi Kinerja Pemdes 4. Membantu menyelesaika
sengketa dalam masyarakat adat khususnya sengketa tanah adat.
(42)
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
Untuk pengumpulan data pada penelitian ini, penulis menggunakan 8 (delapan) orang narasumber sebagai berikut:
1. Kepala Desa/Peratin, yaitu Budiyanto B. 2. Perangkat Desa/Sekretaris Desa, yaitu Bajuri.
3. Suntan Marga Belunguh, yaitu Yanuar Firmansyah gelar “Suntan Junjungan Sakti”.
4. Tokoh Masyarakat, yaitu Alirahman 5. Tokoh Agama, yaitu Ahmad Khodori. 6. Tokoh Pemuda, yaitu Nazrim.
7. Tokoh Adat, yaitu Ahmad Baruslan. 8. Masyarakat setempat, yaitu Agus.
Pemerintahan adat adalah pemerintahan yang diakui dan dipatuhi oleh masyarakat adat yang ada pada wilayah adat (tanah marga). Menurut narasumber III, Pemerintahan adat mempuyai sistem administrasi layaknya pemerintahan Negara atau Pemerintahan formal. Pengaturan sistem pemerintahan adat pada marga Belunguh dilakukan secara terstruktur dengan kedudukan tertinggi di pemerintahan adat dipimpin oleh Suntan. Dalam menjalankan pemerintahan adat Suntan/Suttan dibantu oleh Dalom, Raja, Batin, Radin, Mas dan Kimas yang
(43)
masing-masing sudah mempunyai tugas tersendiri sesuai dengan gelar yang diembannya.
Pemerintahan adat Marga Belunguh mempuyai aturan atau hukum adat berdasarkan hasil musyawarah adat pada rumah adat (Lamban Gedung). Pada masa nenek moyang Marga Belunguh peraturan-peraturan dibuat oleh kepala adat, peraturan tersebut ditulis pada kulit kayu, tanduk, tembaga, kulit binatang dan masih masih banyak peraturan adat yang tidak tertulis. Walaupun di tulis pada media sederhana, tetapi peraturan adat sangat di hormati dan dipatuhi bersama oleh masyarakat adat.
A. Sistem Pemerintahan Adat Marga Belunguh
Menurut nara sumber IV, V dan VI, VII, sistem pemerintahan adat tidak jauh berbeda dengan sistem pemerintahan yang ada sekarang. Hanya saja dulu Suntan selain kepala adat juga merangkap sebagai Pesikhah atau setingkat dengan camat sekarang. Dalam menjalankan pemerintahannya Suntan atau kepala adat dibantu dan didukung oleh para Raja, Batin, Radin, Minak, Kimas dan Mas yang masing-masing mempunyai tugas yang sudah ditentukan.
Menurut nara sumber III, V dan VII, pemerintahan adat dulunya memilki kantor Marga pada Marga Belunguh. Karena yang menjadi Pesikhah/kepala wilayah yaitu Suntan atau kepala adat melalui pemengku-pemangku (ini merangkap peratin adat dan pekon/desa). Berhubung dengan perkembangan zaman, pemerintahan adat lama kelamaan semakin tidak terlihat perananya dalam pemerintahan. Ini semua dikarenakan pemerintahan formal dan adat tidak lagi dipegang rangkap oleh Ketua Adat yang sekaligus sebagai kepala
(44)
pemerintahan. Hal ini tercermin dalam penyelesaian-penyelesaian masalah seperti sengketa tanah, sebagian besar ditangani oleh pemerintah formal yang dalam hal ini dijabat oleh Peratin/Kepada Desa, sedangkan untuk upacara-upacara tradisional seperti upacara-upacara perkawinan sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah adat yang dipimpin oleh Suntan/Ketua Adat. Di tinjau secara preskripsi (dimana hukum adat dijadikan landasan dalam menetapkan keputusan atau peraturan perundangan), secara resmi, diakui keberadaaanya namun dibatasi dalam peranannya. Beberapa contoh terkait adalah UU Agraria No.5 Tahun 1960 yang mengakui keberadaan hukum adat dalam kepemilikan tanah. Dalam rangka pelaksanaan Hukum Tanah Nasional dan dikarenakan tuntutan masyarakat adat maka pada tanggal 24 Juni 1999, telah diterbitkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
Hukum Adat adalah hukum yang berlaku dan berkembang dalam lingkungan masyarakat di suatu daerah. Ada beberapa pengertian mengenai Hukum Adat. Menurut M.M. Djojodiguno Hukum Adat adalah suatu karya masyarakat tertentu yang bertujuan tata yang adil dalam tingkah laku dan perbuatan di dalam masyarakat demi kesejahteraan masyarakat sendiri. Menurut R. Soepomo, Hukum Adat adalah hukum yang tidak tertulis yang meliputi peraturan hidup yang tidak ditetapkan oleh pihak yang berwajib, tetapi ditaati masyarakat berdasar keyakinan bahwa peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum. Menurut Van Vollenhoven Hukum Adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku positif dimana di satu pihak mempunyai sanksi sedangkan
(45)
di pihak lain tidak dikodifikasi. Sedangkan Surojo Wignyodipuro memberikan definisi Hukum Adat pada umumnya belum atau tidak tertulis yaitu kompleks norma-norma yang bersumber pada perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang meliputi peraturan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari, senantiasa ditaati dan dihormati karena mempunyai akibat hukum atau sanksi. Dari empat definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa Hukum Adat merupakan sebuah aturan yang tidak tertulis dan tidak dikodifikasikan, namun tetap ditaati dalam masyarakat karena mempunyai suatu sanksi tertentu bila tidak ditaati (Muhjad, 2011). Dari pengertian Hukum Adat yang diungkapkan diatas, bentuk Hukum Adat sebagian besar adalah tidak tertulis, padahal dalam sebuah negara hukum, berlaku sebuah asas yaitu asas legalitas. Asas legalitas menyatakan bahwa tidak ada hukum selain yang dituliskan di dalam hukum. Hal ini untuk menjamin kepastian hukum. Namun di suatu sisi bila hakim tidak dapat menemukan hukumnya dalam hukum tertulis, seorang hakim harus dapat menemukan hukumnya dalam aturan yang hidup dalam masyarakat. Diakui atau tidak, namun Hukum Adat juga mempunyai peran dalam Sistem Hukum Nasional di Indonesia.
Menurut data yang diperoleh oleh peneliti dilapangan melaui wawancara kepada nara sumber I – VIII, pada saat ini pemerintahan adat kurang tanggap pada berbagai macam sengketa yang terjadi diwilayahnya, kerena ada beberapa kasus sengketa dalam masyarakat adat saat ini di ambil alih oleh Pemerintahan Desa dan Pengadilan Umum dalam proses penyelesaian sengketa yang terjadi dalam masyarakat. Dengan diambil alihnya penyelesaian sengketa yang terjadi pada masyarakat oleh pemerintahan desa
(46)
dan pengadilan umum, sehingga menyebabkan terjadinya penurunan peranan Suntan dalam masyarakat adat yang dipimpinnya. Karena bagaimanapun sengketa tanah dalam wilayah adat merupakan tanggung jawab dan wewenang Suntan sebagai kepala adat dalam menyelesaikan sengketa tanah tersebut.
Pemerintahan adat Marga Belunguh dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan adat kenyataannya saat ini hanya bersifat insidental ketika ada permasalahan yang terjadi pada masyarakat. Pemerintahan adat dalam konteks acara-acara adat masih sangat diperhatikan oleh masyarakat misalnya acara upacara adat perkawinan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa peranan Suntan Marga Belunguh dalam pemerintahan adat masih sangat kuat khususnya ketika akan dilaksanakan upacara adat dalam Marga Belunguh, Suntan berwenang dan bertanggung jawab untuk memerintah, mengeluarkan pendapat dan memutuskan apa saja uturan yang akan dilaksanakan pada upacara adat tersebut.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka menurut penulis terjadi pergeseran status Suntan Marga Belunguh dikarenakan Suntan hanya sebagai kepala pemerintahan adat, sedangkan pemerintahan desa dipimpin oleh Peratin/kepala desa. Akibat pergeseran status Suntan yang hanya menjabat sebagai kepala pemerintahan adat saja, menyebabkan masyarakat lebih memilih penyelesaian sengketa tanah dalam wilayah adat melalui pemerintahan desa dari pada penyelesaian melalui pemerintahan adat, akan tetapi Suntan mempunyai peranan yang sangat kuat dalam mengeluarkan
(47)
pendapat dan memutuskan apa saja uturan yang akan dilaksanakan pada upacara adat. Dalam penyelesaian sengketa tanah Suntan mempunyai peranan yang sangat kuat dalam menentukan keputusan hasil musyawarah adat. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa sistem pemerintahan adat Marga Belunguh masuk kedalam kategori tipologi pemerintahan demokrasi terpimpin. Sistem pemerintahan demokrasi terpimpin adalah kepemimpinan ada pada satu tangan saja yaitu presiden atau Suntan.
B. Peraturan Adat Tentang Sengketa Tanah
Menurut hasil wawancara dengan nara sumber III, V, dan VII dalam pemerintahan adat Marga Belunguh terdapat aturan khusus yang menyangkut sengketa tanah yang terjadi pada mayarakat diwilayah adat Marga Belunguh. Penyelesaian sengketa tanah, ini merupakan tanggung jawab Suku Marga setempat. Adapun isi peraturan tersebut yaitu :
a. Pihak yang bersengketa harus melapor kepada Batin sesuai tempat terjadinya sengketa tanah tersebut.
b. Dari laporan pihak yang bersengketa tersebut Batin mengundang bawahannya yaitu Radin untuk bersama-sama menyelesaikan sengketa tanah tersebut, karena yang bersengketa ini merupakan anak buah dari Radin yang disebut Mas.
c. Batin dan Mas mengundang kedua belah pihak yang bersengketa, mas (kelompok anak buah Suku Bahmekon) yang ada pada wilayah suku marga tersebut beserta saksi-saksi perbatasan tanah untuk melaksanakan musyawarah adat dalam menyelesaikan sengketa tanah.
(48)
d. Jika hasil musyawarah ini tidak diterima oleh kedua belah pihak maka Suku Marga Menyerahkan sengketa tanah ini untuk diselesaikan oleh Suntan selaku kepala adat yang mempunyai wewenang dalam mengambil keputusan dan keputusan ini tidak dapat di ganggu gugat oleh siapapun.
Dari uraian diatas, penulis menyimpulkan sebelum diselesaikan oleh kepala adat sengketa tanah ini diselesaikan oleh Batin selaku raja kecil yang bertanggung jawab terhadap wilayah yang dipimpinnya. Jika Batin tidak sanggup menyelesaikan kasus sengketa tanah tersebut dengan alasan yang tepat, maka kasus ini dilimpahkan kepada Suntan oleh Batin, sehingga kasus ini sudah menjadi kewenangan Suntan sebagai kepala adat untuk menyelesaikannya melalui Himpun/ musyawarah Marga. Himpun Marga atau musyawarah Marga adalah musyawarah yang dilakukan Suntan dengan mengundang seluruh bawahannya dalam Marga yang dipimpinnya yaitu para Dalom, Raja, Batin, Radin, Mas, dan Kimas. Ada pun peranan Suntan dalam musyawarah adat yaitu :
1. Memfasilitasi kedua belah pihak untuk melakukan penyelesaian sengketa tanah tersebut di rumah adat dengan mengundang para jajaran Suntan dan saksi-saksi kedua belah pihak.
2. Meminta bukti-bukti yang dimiliki kedua belah pihak dan mempertimbangkan kebenarannya.
3. Memutuskan hasil musyawarah adat tersebut.
Penguasaan dan pengaturan serta penyelenggaraan penggunaan tanah oleh Negara diarahkan pemanfaatannya dengan mempertahankan Hak Atas Tanah Ulayat,
(49)
Tanah Rakyat dan fungsi sosial untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal tersebut lebih lanjut ditegaskan dalam Pasal 6 Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 yang berbunyi: “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”. Oleh karena itu penguasaan terhadap hak tanah termasuk di desa Bedudu seharusnya mengacu pada Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960 dan peraturan pelaksanaan lainnya.
Menurut Prof. Van Vollen Hoyen, seorang pakar hukum adat dalam Anwar (1997), menyatakan bahwa wilayah Indonesia dibagi atas 19 wilayah hukum adat (Adat Rechtkringen) yaitu: 1. Aceh; 2. Gayo, Alas, Batak, Nias; 3. Minangkabau beserta Mentawai; 4. Sumatera Selatan; 5. Daerah Melayu; 6. Bangka Belitung; 7. Kalimantan; 8. Minahasa; 9. Gorontalo; 10. Toraja; 11. Sulawesi Selatan; 12. Ternate; 13. Irian; 14. Maluku; 15. Timor; 16. Bali dan Lombok; 17. Jawa Tengah, Jawa Timur beserta Madura; 18. Daerah Swapraja seperti Surakarta dan Jogjakarta; 19. Jawa Barat.
C. Fungsi dan Peranan Pemuka Adat Marga Belunguh 1) Fungsi Pemuka Adat Marga Belunguh
a) Sebagai Kepala Marga
Dalam Masyarakat adat saibatin pada tingkat Marga dipimpin oleh seorang penyimbang adat yang disebut Suntan/Suttan. Seorang Suntan merupakan penentu keluarganya akan tetapi bukan mengepalai wilayah. Suntan dikatakan sebagai penentu keluarganya adalah karena Suntan sebagai pewaris langsung pemerintahan adat pada Marga yang berkedudukan sebagai “pandia” bagi keluarganya. Kedudukannya
(50)
hanya sebagai ”pandia” yaitu orang yang bergelar adat karena keturunannya.
Sedangkan pada tingkat wilayah dipimpin oleh Radin, yang bertanggung jawab kepada Suntan atas semua yang terjadi dalam wilayahnya masing-masing. Karena Suku Marga bertanggung jawab kepada Suntan pada wilayah yang dipimpinnya, maka apabila terjadi sengketa dalam wilayah Radin ini merupakan tanggung jawab Suku Marga untuk menyelesaikan sengketa tersebut.
b) Bertanggung jawab atas semua kepentingan adat yang di pimpinnya. Seorang Suntan berwenang dan bertanggung jawab sebagai penyelenggara pemerintahan dan pembangunan adat istiadat yaitu : Mewakili warga adatnya dalam rangka penyelenggaraan kerjasama
dengan pihak lain.
Suntan sebagai kepala adat yang sangat di hormati dan dipatuhi oleh masyarakat adat memiliki wewenang untuk Mewakili warga adatnya dalam rangka penyelenggaraan kerjasama dengan pihak lain. Kerjasama ini biasanya dilakukan Suntan ketika akan diadakan Pemilihan kepala daerah kepada para calon dengan mendukung salah satu calon untuk dipilih oleh masyarakat adat pada pemilihan kepala daerah.
Menumbuh kembangkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan pemerintahan adat.
(51)
Sebagai seorang kepala adat Suntan dituntut untuk dapat Menumbuh kembangkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan pemerintahan adat. Partisipasi masyarakat ini dilakukan oleh masyarakat adat pada saat akan dilaksanakan acara adat (Acara pernikahan secara adat) yaitu dengan iuran untuk dana pelaksanaan acara adat tersebut. Hal ini merupakan sudah menjadi tradisi masyarakat Marga Belunguh ketika akan dilaksanakan acara adat.
Membina semangat gotong royong masyarakat.
Dalam pemerintahan adat semangat gotong royong masyarakat masih sangat kuat. Oleh karena itu, Suntan sebagai kepala adat harus dapat membina tradisi gotong royong dalam masyarakat agar tidak luntur dan tetap lestari. Pada pemerintahan adat kegiatan gotong royong dilaksanakan masyarakat adat pada ketika akan dilaksanakan acara adat, pembangunan rumah adat, tempat ibadah, bersih-bersih lingkungan dan lain-lain.
Dalam menjalankan kepemimpinannya Suntan atau kepala adat Marga Belunguh berwenang dan bertanggung jawab untuk mengatur dan menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat adatnya serta ikut mensejahterakan masyarakat adatnya.
Menurut sumber informan IV dan V, Suntan juga berwenang dan bertanggung jawab untuk memerintah, mengeluarkan pendapat dan
(52)
memutuskan apa saja aturan-aturan yang akan dilaksanakan ketika akan dilaksanakan acara adat.
c) Berwenang dalam menyelesaikan sengketa adat, termasuk sengketa tanah adat.
2. Peranan Suntan Marga Belunguh.
Perkembangan peranan pemerintahan selalu mengalami pergeseran, pergeseran tersebut yang terahir, yaitu peran pemerintah dari Government ke Governance. Penggantian istilah Government menjadi Governance yang menunjukan penggunaan otorita politik, dan administrasi dalam mengelola masalah-masalah kenegaraan. Dalam bahasa Indonesia kata Governance diterjemahkan menjadi “tata pemerintahan” ada pula yang menerjemahkan menjadi “kepemerintahan”. Istilah ini secara khusus menggambarkan perubahan peranan pemerintah dari pemberi pelayanan (provider) kepada fasilitator dan perubahan kepemilikan yaitu dari milik Negara menjadi milik rakyat.
Ketua Adat Marga Belunguh yang dipimpin oleh Suntan dalam sistem pemerintahan adat juga memilki peranan yang tidak jauh berbeda dengan peranan kepala adat umumnya yaitu sebagai penyelenggara pemerintahan adat, menjadi koordinator dalam setiap acara adat serta memantau berlangsungnya kegiatan adat dan berhak menyelesaikan sengketa pada masyarakat adat, khususnya sengketa tanah adat.
(53)
Suntan sebagai kepala pemerintahan adat di tuntut untuk dapat menyelenggarakan pemerintahan adat yang dipimpinnya. Suntan dikatakan sebagai koordinator pada acara adat maksudnya adalah sebelum dilaksanakan acara adat Suntan membagi tugas bawahannya yang akan bekerja pada pelaksanaan acara adat tersebut. Ketika acara adat sedang berlangsung Suntan memantau kegiatan acara adat tersebut apakah sesuai dengan yang di perintahnya atau tidak. Jika terjadi ketidak sesuain yang diperintah, Suntan akan langsung menegur bawahannya untuk dibenahi ketidak sesuaian tersebut.
Mengenai sengketa yang terjadi dalam masyarakat adat, khususnya sengketa tanah adat merupakan wewenang Suntan sebagai kepala adat untuk menyelesaikannya melalui musyawarah adat. Suntan penyimbang adat marga Belunguh tidak mempunyai peranan sebagai pemegang kekuasaan penuh atau memilki otoritas mutlak. Dalam menjalankan sistem pemerintahan adat Suntan melibatkan masyarakat dan tokoh adat lainnya (Dalom, Raja, Batin dan lainnya). Suntan tidak lagi sebagai pemberi pelayan kepada masyarakat secara keseluruhan, suntan dapat dikatakan sebagai fasilitator bagi masyarakat adat dalam menjalankan kehidupan masyarakat.
Dikatakan sebagai fasilitator artinya kepala adat/suntan lebih besar perananya sebagai sarana bagi masyarakat adatnya untuk mencapai tujuan-tujuan yang bersifat positif, misalnya dalam masalah penyelesaian sengketa tanah. Dalam proses penyelesaian sengketa tanah ini Suntan atau Ketua
(54)
Adat marga Belunguh beserta pemerintahan pekon/desa mengundang para jajarannya masing-masing beserta tokoh masyarakat, tokoh agama, pihak yang bersengketa, saksi perbatasan tanah dan bapak camat kecamatan Belalau untuk melakukan musyawarah dalam penyelesaiaaan sengketa tanah tersebut.
Menurut penulis, dari uraian di atas kepala adat melaksanakan peranannya sebagai Fasilitator yaitu berusaha mempasilitasi kedua belah pihak melalui Himpun Marga, dengan mendengarkan pendapat dari semua pihak dan menyimpulkan hasil musyawarah yang disepakati oleh berbagai pihak yang hadir dalam musyawarah agar tidak ada yang merasa dirugikan dari keputusan tersebut.
D. Peranan Pemimpin Adat Saibatin Berdasarkan Stratanya di Desa Bedudu 1. Suntan
Ketika akan diadakan acara adat baik dalam hal perkawinan maupun khitanan, apabila terjadi sengketa/kributan/perkelahian dalam pelaksanaan acara adat tersebut, maka suntan berwenang dalam menyelesaikan sengketa/keributan/perkelahian tersebut.
Perkelahian ini biasanya terjadi pada bujang yang mengikuti acara adat tersebut. Apabila terjadi perkelahian dalam acara adat, maka saat itu juga Suntan memanggil seluruh peryayi atau kepala bujang dan kedua belah pihak yang berkelahi untuk melaksanakan himpun/musyawarah untuk tidak meneruskan perkelahian sehingga acara adat dapat dilanjutkan kembali.
(55)
Apabila telah dilakukan himpun/musyawarah tersebut kedua belah pihak masih melakukan keributan/perkelahian, maka kedua belah pihak dianggap tidak menghargai adat. Oleh karena itu kedua belah pihak dikenakan sanksi untuk tidak boleh ikut dalam acara adat ± 15 kali, dan biasanya apabila terjadi keributan/perkelahian setelah diadakannya himpun/ musyawarah oleh Suntan, maka kedua belah pihak berlawan dengan semua yang ikut dalam acara tersebut.
Mengenai Sengketa tanah yang terjadi dalam wilayah Marga yang dipimpin oleh Suntan merupakan wewenang dan tanggung jawab Suntan dalam menyelesaikan sengketa tanah tersebut, yang diwakili oleh Suku Marga yang mempunyai tanggung jawab atas wilayah yang dipimpinnya. Apabila hasil keputusan musyawarah yang dipimipin oleh Suku Marga setempat tidak diterima oleh salah satu pihak yang bersengketa maka sengketa tanah ini dilimpahkan oleh Suku Marga kepada Saibatin/Suntan Untuk menyelesaiakannya melalui himpun Marga dan mengambil keputusan mengenai siapa yang berhak atas tanah yang disengketakan.
Dari uraian di atas Suntan merupakan kepala Marga dalam pemerintahan adat. Akan tetapi bukan mengepalai wilayah, karena pada wilayah-wilayah marga merupakan tangggung jawab Suku Marga sebagai kepala wilayah atas semua yang terjadi pada wilayahnya masing-masing.
Mengenai tanggung jawab atas semua kepentingan adat yang di pimpinnya, Suntan atau kepala adat Marga Belunguh berwenang dan bertanggung jawab
(56)
untuk mengatur dan menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat adatnya serta ikut mensejahterakan masyarakat adatnya.
Sengketa tanah yang terjadi dalam wilayah Marga yang dipimpin oleh Suntan merupakan wewenang dan tanggung jawab Suntan dalam menyelesaikan sengketa tanah tersebut, yang diwakili oleh Suku Marga yang mempunyai tanggung jawab atas wilayah yang dipimpinnya masing-masing. Sedangkan Suntan akan turut menyelesaikan sengketa tersebut apabila keputusan Suku Marga dalam musyawarah adat tidak diterima oleh salah satu pihak yang bersengketa.
2. Dalom
Dalom di dalam Marga Belunguh merupakan keturunan dari Suntan dan sehari-hari bertugas sebagai Perdana Menteri Suntan. Dalom dapat diperintah oleh Suntan untuk mewakili semua tugas-tugas Suntan, apabila Suntan berhalangan. Dalom dalam Marga Belunguh membawahi beberapa Raja, dan dalam upacara adat diberi tempat di belakang Suntan dan cirinya memegang senjata terapang.
3. Raja
Raja dalam Marga Belunguh terbagi menjadi 2 jenis yaitu Raja Marga yang merupakan keturunan Suntan dan berada di dalam Lamban Gedung, dan Raja Jukuwan yang bukan keturunan lansung dari Suntan dan berada di luar Lamban Gedung.
(57)
Raja bertugas melaksanakan semua perintah Suntan, dan mewakili Suntan dalam pelaksanaan acara adat di wilayahnya, apabila Suntan dan Dalom berhalangan hadir. Wilayah kekuasaan Raja ini dapat dikonotasikan setingkat Kecamatan.
4. Batin
Batin bertugas menjalankan perintah Suntan dan dapat mewakili Suntan pada acara-acara adat apabila Suntan, Dalom, dan Raja berhalangan. Batin berkedudukan di dalam Lamban Gedung dan tidak boleh keluar dari Lamban Gedung.
5. Radin
Radin berkedudukan di luar Lamban Gedung (bertolak belakang dengan Batin). Radin bertugas menjalankan perintah dan mengkoordinir Raja-raja Jukuwan yang berada di luar Lamban Gedung. Selain itu Radin bertugas mengawasi semua persoalan Marga di wilayahnya dan melaporkannya ke Suntan.
Ciri-ciri Radin: dalam arak-arakan upacara adat memegang Payung Agung.
6. Mas
Mas berkedudukan di luar Lamban Gedung, Mas bertugas menjaga keamanan dan mengepalai peperangan.
Ciri-ciri Mas: dalam arak-arakan upacara adat memakai baju besi, topi dari kulit kerbau, dan memegang pedang.
(58)
7. Kimas
Kimas berkedudukan di luar Lamban Gedung dan bertugas melakukan apa saja yang diperintahkan oleh Suntan seperti membantu Mas dalam bidang keamanan, menggerakkan gotong royong, membantu dalam bidang pertanian dan pengairan, sebagai anggota dalam sidang adat, membantu dalam bidang kepemudaan, membantu dalam bidang keagamaan, dan mewakili Suntan apabila ada upacara perkawinan di wilayahnya.
Ciri-ciri Kimas: dalam arak-arakan upacara adat memegang panji-panji dan berjalan di depan Mas.
Sumber : Wawancara Langsung dengan Suntan Junjungan Sakti (Suntan Marga Belunguh); tgl 31 Oktober 2012, pk. 19.15 WIB.
E. Kronologis Kasus Sengketa Tanah dan Penyelesaiannya Secara Adat di Desa Bedudu.
Tanah mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam adat, karena merupakan satu-satunya benda kekayaan yang meskipun mengalami keadaan yang bagaimanapun akan tetap dalam keadaan semula. Mengingat arti pentingnya tersebut, untuk mempertahankan eksistensinya dan kepemilikannya secara nyata pada masyarakat adat Desa Bedudu tanah dibuat batas-batas untuk menghindari terjadinya sengketa sekaligus menunjukan kepemilikan tanah tersebut.
(59)
1. Terjadinya Persengketaan
Di Desa Bedudu terdapat berbagai jenis tanah yang kepemilikannya merupakan milik perseorangan, keluarga dan tanah adat. Adapun kasus sengketa tanah yang menjadi objek adalah sengketa tanah milik perseorangan.
Awal terjadinya sengketa disebabkan karena bergersernya patok tanah pekarangan, dimana para pihak yang bersengketa adalah :
1) Bapak Dulah, sebagai Penggugat. 2) Bapak Matnur, sebagai Tergugat.
Penggugat dan Tergugat merupakan tetangga dalam satu desa, yaitu Desa Bedudu. Tanah yang menjadi sengketa kebetulan juga berdekatan, yang hanya dibatasi dengan patok kayu.
Kasus terjadi bermula ketika adanya klaim batas oleh tergugat terhadap tanah milik penggugat. Namun klaim batas tersebut dibantah oleh penggugat, karena jika demikian maka luas tanahnya berkurang dari luas yang telah diketahui, dimana penggugat melihat batas patok berupa kayu bergeser dari tempat semula. Selaku pemilik tanah tentunya penggugat merasa rugi, lalu menemui tergugat untuk menyampaikan bahwa telah terjadi pergeseran batas tanah. Tergugat merasa keberatan, karena yakin tidak terjadi pergeseran pada batas tanah.
(1)
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Karya tulis saya, Skripsi ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar akademik (Sarjana), baik di Universitas Lampung maupun diperguruan tinggi lain.
2. Karya tulis ini murni gagasan, rumusan dan penelitian saya sendiri, tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan Tim Pembimbing dan Penguji.
3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka.
4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila dikemudian hari terdapat penyimpangan dan ketidak benaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang di peroleh karena karya tulis ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma yang berlaku di Universitas Lampung.
Bandar Lampung, Nopember 2012 Yang Membuat Pernyataan,
Rinaldi Pradana Putra NPM. 0746021059
(2)
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tanjung Karang Kota Bandar Lampung, pada tanggal 23 Januari 1990. Anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Ir. Robet Asnawi, M.Si dan Ibu Ir. Ratna Wylis Arief, MTA. Penulis memulai pendidikan formal di Sekolah Dasar Al-Azhar 2 Bandar Lampung dari tahun 1995-2001. Pada tahun 2001-2004 penulis melanjutkan sekolah ke SMP Negeri 4 Bandar Lampung, dan mulai tahun 2004-2007, penulis melanjutkan ke SMA Al-Azhar 3 Bandar Lampung.
Pada tahun 2007 penulis diterima sebagai mahasiswa Universitas Lampung Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Pemerintahan melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) program Non-Reguler. Pada bulan Juni - Agustus 2010 penulis melaksanakan PKL di Dinas Infokom Kabupaten Tulang Bawang.
(3)
Karya tulis ini aku persembahkan kepada
1. Mama dan Papa tercinta yang tiada pernah lelah dan selalu mendo’akan keberhasilanku
2. Adikku Rizky Dwi Saputra dan Rizka Anisa Nurbaiti Asnawi yang selalu mendoakan dan menanti keberhasilanku
(4)
SANWACANA
Puji syukur Penilis ucapkan kehadirat Allah SWT, atas karunia dan rahmat-Nya skripsi ini dapat diselesaikan.
Skripsi dengan judul “Peranan Pemerintah Adat Lampung Saibatin Dalam
Pemerintahan Desa Bedudu”merupakan salah satu syarat untk memperoleh gelar
sarjana IlmuPemerintahan di Universitas Lampung.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tulus dan tak terhingga kepada :
1. Bapak Drs. Agus Hadiawan, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung.
2. Bapak Drs. Aman Toto Dwijono, M.H, selaku Ketua Jurusan Ilmu Pemerintahan.
3. Bapak Drs. Denden Kurnia Drajat, M.Si, selaku Pembimbing Utama atas kesediaan untuk memberikan bimbingan, saran, dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini.
4. Bapak Drs. Abdul Syani, M.IP, selaku Penguji Utama pada ujian skripsi, yang telah banyak memberi saran-saran pada seminar proposal terdahulu serta dalam penulisan skripsi ini.
(5)
5. Dr. Syarief Makhya, M.Si, atas bantuan dan saran-sarannya dalam penyelesaian skripsi ini.
6. Bapak Yanuar gelar Suttan Jujungan Sakti selaku Raja Marga Belunguh, yang telah banyak memberikan informasi pokok permasalahan serta isi skripsi ini.
7. Bapak Nazrim selaku ketua tokoh adat desa Bedudu beserta anggota dan pengurus adat.
8. Bapak Budiyanto selaku peratin/kepala desa Bedudu, Bapak Bajuri (Sekretaris Desa), Bapak Hamiron selaku Kaur Pemerintahan, Bapak Arif Adi selaku Kaur Pembangunan, dan Bapak Mawardi selaku Kaur Umum. 9. Bapak Ansyori dan Bapak Munir, selaku tokoh agama di Desa Bedudu,
Bapak Reza Pahlevi selaku tokoh pemuda Desa Bedudu, dan Bapak Agus Salim selaku tokoh masyarakat Desa Bedudu yang telah banyak memberikan warna terhadap isi skripsi ini.
10.Seluruh staf dan karyawan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang telah membantu penulis selama di Kampus Hijau.
11.Mama dan Papa yang selalu mendoakan dan kasih sayang serta pengertian sehingga ananda bisa menjadi seperti saat ini.
12.Kedua adikku Rizky Dwi Saputra dan Rizka Anisa Nurbaiti Asnawi yang senantiasa memberikan dukungan dan do’a dalam menanti keberhasilanku. 13.Untuk sahabat sahabat kecil ku Andi Firmanata,Rizki Ditiardi,dan Ridho
(6)
14.Keluarga Besar “MORICLA”,yang telah memberi dukungan kepadaku untuk dapat menyelesaikan masa kuliah dengan baik dan tepat waktu. 15.Teman-temanku Fisip Jurusan Ilmu Pemerintahan Angkatan 2007, Hinfa,
Haris, Ijonk, Rendra, Kucuy, Kyai, Dedi, Gema, Echa, Lucky, Lusi, Fitri, Dede, Marita, Woro, Rahmat, Eni, Yani, Muhalis, Refki, Maja, Ega, Anggi, Rian, Dafi, Iklil, Hasbulloh,dan yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah memberikan dorongan dan semangat hingga terselesainya skripsi ini.
16.Keluarga Besarku yang ada di Bandar Lampung dan Kotabumi, terimakasih atas do’a dan bantuannya.
17.Semua pihak yang tidak bisa penyusun sebutkan satu persatu yang telah membantu baik berupa ide, saran maupun pendapat yang sangat berguna bagi penyusun dalam menyelesaikan karya tulis ini.
Akhir kata, Penulis menyadari skripsi ini maih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi yang sederhana ini dapat bergunan dan bermanfaat bagi kita semua. Amiin.
Bandar Lampung, Nopember 2012 Penulis