PERTANGGUNG JAWABAN KOORPORASI DALAM SISTEM HUKUM PIDANA DI INDONESIA

(1)

ABSTRAK

PERTANGGUNG JAWABAN KOORPORASI DALAM SISTEM HUKUM PIDANA DI INDONESIA

Oleh

Vina Miftakhuli Jannati

Korporasi memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat modern. Dalam perkembangannya, tidak jarang korporasi melakukan aktivitas-aktivitas yang menyimpang dari aturan–aturan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, kedudukan korporasi sebagai subyek hukum (keperdataan) telah bergeser menjadi subjek hukum pidana. Ditinjau dari bentuk subjek dan motifnya, kejahatan korporasi dapat dikategorikan dalam white collar crimedan merupakan kejahatan yang bersifat organisatoris (berkelompok). Oleh karena itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Bagaimanakah Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Sistem Hukum Pidana Di Indonesia. Dengan mengajukan dua permasalahan yaitu, pertanggungjawaban korporasi dalam suatu tindak pidana menurut hukum pidana Indonesia dan apakah faktor–faktor yang menjadi penghambat pertang gungjawaban korporasi dalam sistem hukum pidana di Indonesia.

Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penulis melakukan pendekatan yuridis normatif. Data lapangan diperoleh secara langsung dan penelitian lapangan yang ada hubungannya dengan permasalahan yang diteliti.

Berdasarkan hasil pembahasan maka dapat ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut, bahwa adanya asas kesalahan ( culpabilitas ) kelalaian/kesengajaan dalam penjatuhan pidana kepada korporasi yang pada dasarnya tidak dapat disamakan dengan penjatuhan pidana terhadap orang pribadi menentukan bahwa pertanggungjawaban korporasi tersebut diberikan dua pertanggungjawaban dalam sistem hukum pidanannya, yaitu pertanggungjawaban yang ketat ( strict Liability ) dan pertanggungjawaban pengganti ( vicarious liability ), yang bertujuan agar pelaku pidana dalam korporasi dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya dihadapan hukum. Sedangkan faktor penghambat dalam pertanggungjawaban korporasi dalam sistem pidana di Indonesia ialah fakotr dari hukum atau Undang-Undang atau peraturan dan penegak hukum atau pembuat dan penetap hukum. Hukum di Indonesia lebih menjurus kepada orang pribadi dan bukan kepada badan hukum atau badan yang bersifat organisator seperti korporasi sehingga hukumpun tidak bisa dengan begitu saja dijatuhkan kepada korporasi. Begitupula dalam pertanggungjawaban korporasi itu sendiri. Sedangkan penegak hukum yaitu penetap dan pembuat hukum dalam menentukan hukuman memerlukan waktu, data, dan keahlian dalam pendalaman perkara khususnya dalam kasus korporasi sedangkan penegak hukum tersebut sudah memiliki banyak penanganan dan pemidanaan kasus-kasus dalam perkara lain.


(2)

Berdasarkan hal diatas maka saran yang penulis kemukakan adalah seiring dengan semakin besamya peranan korporasi dalam bidang perekonomian dan semakin banyak pula terjadi kasus-kasus yang melibatkan korporasi dalam kasus-kasus-kasus-kasus tersebut, maka kiranya para pembentuk undang-undang dapat lebih mengantisipasi peranan korporasi dalam tindak pidana ekonomi dengan membuat serangkaian peraturan yang tegas terhadap korporasi yang telah melakukan perbuatan pidana agar dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya itu di hadapan hukum.


(3)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia adalah salah satu negara yang sedang berkembang, salah satu cirinya adalah pembangunan di berbagai bidang. Perkembangan dalam bidang usaha merupakan yang sangat pesat dampaknya pada masyarakat. Usaha tersebut terbagi dalam berbagai bidang . Contohnya di bidang ekonomi, bidang sosial dan budaya juga dalam yang bidang menyangkut masyarakat luas.

Pembangunan dan modernisasi, merupakan suatu kegiatan yang dilakukan dengan sengaja untuk membawa masyarakat kepada perubahan yang direncanakan atau dikehendaki. Dalam ruang lingkup pembangunan yang pada hakikatnya merupakan perubahan sosial berencana, pembangunan hukum telah menjadi kebutuhan yang tak terelakkan, sekalipun perencanaan di bidang ekonomi merupakan aspek yang menonjol. Sebab, hukum dapat dijadikan sandaran kerangka untuk mendukung usaha-usaha yang sedang dilakukan untuk membangun masyarakat, baik secara fisik maupun spiritual (Satjipto Rahardjo, 2007 : 13).

Salah satu upaya pembaharuan di bidang hukum yang sampai kini terus dilakukan adalah pembaharuan hukum pidana, dengan tujuan utama menciptakan kodifikasi hukum pidana yang baru untuk menggantikan kodifikasi hukum pidana yang saat ini masih berlaku yang merupakan warisan Kolonial, yakni Wetboek van Strafrecht voor Nederlands Indie tahun 1915 yang merupakan turunan dariwetboek van StrafrechtBelanda tahun 1886 (Hamzah Hatrik, 1996 : 23).


(4)

Perubahan dan ketertiban atau keteraturan merupakan tujuan ilmiah masyarakat yang sedang membangun. Oleh karena itu, jika perubahan hendak dilakukan dengan teratur dan tertib, maka hukum merupakan sarana yang tidak dapat diabaikan dalam proses pembangunan.

Berdasarkan pengertian perbuatan pidana yaitu perbuatan yang dilarang oleh aturan larangan mana yang disertai dengan ancaman berupa pidana tertentu bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Serta berdasarkan pengertian tindak pidana yaitu perbuatan yang diancam dengan pidana terhadap barang siapa yang melanggar suatu larangan-larangan tertentu, maka terdapat dua artian dari hukum pidana tersebut yaitu hukum pidana umum dan hukum pidana khusus. Hukum pidana umum adalah keseluruhan tindak pidana yang termasuk dan diatur dalam KUHP (Kitab Undang Undang Hukum Pidana) dan belum diatur secara tersendiri dalam undang-undang khusus. Sedangkan pidana khusus adalah aturan pidana yang di luar KUHP atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang mengatur tentang tindak pidana tertentu dan mempunyai hukum acara (Tri Andrisman,

2008 : 9).

Undang-undang yang ada di luar KUHP tersebut, terdapat tiga persoalan dalam hukum pidana yang menarik untuk disoroti dan dikaji secara mendalam, yakni yang menyangkut pidana dan pertanggungjawaban pidana badan hukum yang aktivitasnya dijalankan oleh para pengurusnya, seperti manajer, maupun direktur badan hukum tersebut. Ketiga persoalan pokok yang dimaksud adalah perbuatan yang dilarang, orang yang melakukan perbuatan yang dilarang, dan pidana. Sebab, dalam proses pembaharuan hukum pidana (KUHP) Nasional, ketiga masalah pokok tersebut mempunyai persoalan-persoalan tersendiri yang satu sama lain berkaitan erat dengan hak-hak asasi manusia. Hukum pidana pada umumnya yang dapat dipertanggungjawabkan


(5)

adalah si pembuat. Oleh karena itu, ada dua hal yang perlu dibedakan, yakni mengenai hal melakukan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana (Soedarto, 1969 : 33).

Perkembangan hukum pidana di Indonesia, yang dapat dipertanggungjawabkan tidak hanya manusia, tetapi juga korporasi. Khusus mengenai pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana, ternyata terdapat bermacam cara perumusan yang ditempuh oleh pembentuk undang-undang, yakni sebagai berikut :

1) Yang dapat melakukan tindak pidana dan yang dapat dipertanggungjawabkan adalah orang. Rumusan ini dianut dalam KUHP (WvS);

2) Yang dapat melakukan tindak pidana adalah orang dan atau korporasi, tetapi yang dipertanggungjawabkan hanyalah orang. Dalam hal korporasi melakukan tindak pidana, maka yang dipertanggungjawabkan adalah pengurus korporasi. Rumusan seperti ini terlihat dalam ordonansi Devisa, Undang-undang Penyelesaian Perburuhan, Undang-undang Pengawasan Perburuhan dan Peraturan Kecelakaan;

3) Yang dapat melakukan tindak pidana dan yang dapat dipertanggungjawabkan adalah orang dan atau korporasi. Rumusan ini terdapat dalam Undang-undang Tindak Pidana Ekonomi, Subversi, narkotika dan Undang-undang tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Hamzah Hatrik, 1996 : 5).

Korporasi memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat modern. Dalam perkembangannya, tidak jarang korporasi melakukan aktivitas-aktivitas yang menyimpang atau kejahatan korporasi yang spesifik. Oleh karena itu, kedudukan korporasi sebagai subjek hukum (keperdataan) telah bergeser menjadi subjek hukum pidana.


(6)

Peninjauan dari bentuk subjek dan motifnya, kejahatan korporasi dapat dikategorikan dalam white collar crime dan merupakan kejahatan yang bersifat organisatoris. Dalam penegakan hukum, yang harus diperhatikan adalah struktur korporasi, hak dan kewajiban serta pertanggungjwabannya. Sehingga dapat dikenali karekter kejahatan korporasi dan letak pertanggungjawabannnya yang pada akhirnya dapat ditemukan solusi atau penyelesaian yuridisnya.

Salah satu contoh adalah kasus pengeboran yang dilakukan oleh Lapindo Brantas di Blok Brantas yang telah terjadi selama beberapa periode akhir-akhir ini. Eksploitasi ini telah membuat Lapindo Brantas menjadi tersangka utama dalam dugaan adanya pelanggaran terhadap UUPLH sekaligus penerapan sangsi pidana terhadap hal terjadinya kejahatan korporasi oleh Lapindo Brantas, sampai saat ini penyebab dari semburan lumpur tersebut masih di selidiki oleh pihak yang berwenang. Namun korban serta lingkungan hidup yang rusak terus bertambah besar dan luas jumlahnya, tanpa ada yang tahu kapan lumpur tersebut akan berhenti menenggelamkan Kecamatan Porong dan sekitaranya .

Eksploitasi dan eksplorasi dari BP Migas telah menyebabkan terjaidnya kerusakan lingkungan dan pencemaran lingkungan, dalam UUPLH No. 23 Tahun 1997 hal ini telah melanggar Pasal 41 hingga Pasal 45 UU tersebut. Namun tentunya dalam hal Lapindo Brantas, jika nantinya tidak dapat ditentukan bahwa penyebab menyemburnya lumpur yang telah mengakibatkan bencana ini merupakan kealpaan atau kesengajaan dalam kegiatan pengeboran sudah tentu Lapindpo Brantas sebagai korporatif tidak dapat di jatuhi hukuman. Dalam hal ini akan membuat masyarakat yang mencari keadilanlah yang semakin sengsara


(7)

Mencermati perkembangan cara-cara perumusan pertanggungjawaban dalam hukum pidana tersebut di atas, maka menarik bagi penulis untuk mengkaji dan membahas permasalahan tersebut ke dalam suatu kajian ilmiah dengan mengambil judul “Pertanggungjawaban Koperasi Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia”.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam tulisan ini adalah hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan berikut :

a. Bagaimanakah pertanggungjawaban korporasi dalam sistem hukum pidana di Indonesia? b. Apakah yang menjadi faktor penghambat pertanggungjawaban korporasi dalam sistem

hukum pidana di Indonesia? 2. Ruang Lingkup

Berdasarkan uraian permasalahan di atas maka ruang lingkup bahasan dalam penulisan ini penulis membahas hanya pada permasalahan bentuk-bentuk tindak pidana koorporasi di bidang ekonomi dan sistem pertanggungjawaban korporasi dalam suatu tindak pidana menurut hukum pidana yang ada di Indonesia.

C.Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui pertanggungjawaban korporasi dalam sistem hukum pidana di Indonesia.


(8)

b. Untuk mengetahui faktor penghambat pertanggungjawaban korporasi dalam sistem hukum pidana di Indonesia.

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Secara Teoritis

Kegunaan penelitian secara teoritis adalah dalam rangka pengembangan kemampuan berkarya ilmiah. Daya nalar dan acuan yang sesuai dengan disiplin ilmu yang dimiliki, juga untuk memperluas cakrawala pandang bagi pihak-pihak yang membutuhkan. Penelitian ini juga diharapkan bisa memberikan masukan bagi penyempurnaan prangkat peraturan perundang– undangan yang ada di Indonesia.

b. Secara Praktis

Kegunaan penelitian secara praktis ditujukan kepada kalangan aparat penegak hukum khususnya kejaksaaan, pengacara (advokat) dan para Hakim yang menangani kasus-kasus tindak pidana yang dilakukan oleh suatu Korporasi. Disamping itu agar, diharapkan kepada DPR dan pemerintah (Perancang Undang-Undang) agar mencantumkan aturan-aturan yang memang khusus dan benar-benar dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana korporasi yang melakukan pidana dapat mempertanggungjawwabkan perbuatannya.

D. Kerangka Teoritis dan Konsepstual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenar-benarnya merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan kesimpulan


(9)

terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan untuk penelitian (Soerjono Soekanto, 1986 : 123).

Kemampuan bertanggungjawab menjadi hal yang sangat penting dalam hal penjatuhan pidana, dan bukan dalam hal terjadinya tindak pidana (konkret). Untuk terjadinya/terwujudnva tindak pidana sudah cukup dibuktikan terhadap semua unsur yang ada pada tindak pidana yang bersangkutan.

Kemampuan bertanggungjawab adalah mengenai hal yang lain, yakni hal untuk menjatuhkan pidananya. Persoalan kemampuan bertanggung jawab ini barulah menjadi hal yang penting ketika pidana hendak dijatuhkan. Terwujudnya tindak pidana tertentu tidak dengan demikian diikuti dengan pidana tertentu. Perihal kemampuan bertanggungjawab adalah mengenai hal syarat penjatuhan pidana, bukan syarat untuk terwujudnya tindak pidana ( Adami Chazawi, 2002 : 78).

Pertanggungjawaban adalah sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang telah dilakukan. Suatu perbuatan tercela yang dilakukan oleh masyarakat dan itu dipertanggungjawabkan pada si pembuat (Ruslan Saleh, 1962 : 97).

Pertanggungjawaban menurut hukum pidana adalah kemampuan bertanggungjawab seseorang terhadap kesalahan. Seseorang telah melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan tidak dibenarkan oleh masyarakat atau tidak patut menurut pandangan masyarakat (Erwiyono, 2005 : 151).

Asas kesalahan ( culpabilitas ) apabila didalamnya ada kelalaian/kesengajaan dalam penjatuhan pidana kepada korporasi yang pada dasarnya tidak dapat disamakan dengan penjatuhan pidana


(10)

terhadap orang pribadi menentukan bahwa pertanggungjawaban korporasi tersebut diberikan dua pertanggungjawaban dalam sistem hukum pidanannya, yaitu pertanggungjawaban yang ketat ( strict Liability) dan pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability ).

Hukum pidana berfungsi mengatur dan menyelenggarakan kehidupan masyarakat agar dapat tercipta dan terpeliharanya ketertiban umum. Manusia hidup dipenuhi oleh berbagai kepentingan dan kebutuhan. Antara satu kebutuhan dengan yang lain tidak saja berlainan, tetapi terkadang saling bertentangan. Dalam rangka memenuhi kebutuhan dan kepentingannya ini, manusia bersikap dan berbuat. Agar siap dan perbuatannya tidak merugikan kepentingan dan hak orang lain, hukum memberikan rambu-rambu berupa batsan-batasan tertentu sehingga manusia tidak sebebas-bebasnya berbuat dan bertingkah laku dalam rangka tercapai dan memenuhi kepentingan-kepentingannya itu. Fungsi yang demikian itu terdapat pada setiap jenis hukum termasuk didalamnya hukum pidana. Oleh karena itu, fungsi yang demikian disebut dengan fungsi hukum pidana ( Adami Chazawi, 2002 : 15 ).

Korporasi adalah suatu gabungan orang yang dalam pergaulan hukum bertindak bersama-sama sebagai subjek hukum tersendiri suatu personifiaksi. Korporasi adalah badan hukum yang beranggota, tetapi mempunyai hak dan kewajiban sendiri terpisah dari hak dan kewajiban anggota masing-masing. Korporasi atau badan hukum adalah suatu perseroan yang merupakan badan hukum; korporasi atau perseroan yang dimaksud adalah suatu kumpulan atau organisasi yang oleh hukum diperlakukan seperti manusia (persona). Yakni sebagai pengembang (atau pemilik) hak dan kewajiban memiliki hak mengguggat atau digugat dimuka pengadilan. Contoh Badan hukum ialah PT (Perseroan Terbatas), NV (Namloze Vennootschap) dan yayasan (Sticthing); bahkan Negara pun juga merupakan badan hukum (Ernst Utrecht, 1962 : 377).


(11)

Berdasarkan hal ini, tidak terdapatnya unsur tertentu dalam tindak pidana dengan tidak terdapatnya kemampuan bertanggung jawab pada kasus tertentu, merupakan hal yang berbeda dan mempunyai akibat hukum yang berbeda pula. Jika hakim mempertimbangkan tentang tidak terbuktinya salah satu unsur tindak pidana, artinya tidak terwujudnya tindak pidana tertentu yang didakwakan, maka putusan hakim berisi pembebasan dari segala dakwaan (vrijspraak). Akan terapi, jika hakim mempertimbangkan bahwa pada diri terdakwa terdapat ketidakmampuan bertanggung jawab (Pasal 44 KUHP), amar putusan akan berisi “pelepasan darituntutan hukum”

ontslag van rechtsvervolging( Adami Chazawi, 2002 : 79).

Kata korporasi yang lazim dipergunakan di kalangan pakar hukum pidana untuk menyebut apa yang biasa dalam bidang hukum lain, khususnya bidang hukum perdata, sebagai badan hukum, atau yang dalam bahasa Belanda disebut rechtspersoon, atau yang dalam bahasa Inggris legal entitiesataucorporation(Rudhi Prasetya, 1998 : 20).

Secara umum korporasi mempunyai unsur-unsur antara lain: a) kumpulan orang dan atau kekayaan;

b) terorganisir; c) badan hukum; d) non badan hukum.

Bentuk-bentuk kejahatan korporasi dapat diklasifikasilan menjadi 3 (tiga) macam yaitu:

1) Kejahatan korporasi di bidang ekonomi, antara lain berupa perbuatan tidak melaporkan keuntungan perusahaan yang sebenarnya, menghindari atau memperkecil pembayaran pajak dengan cara melaporkan data yang tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya,


(12)

persekongkolan dalam penentuan harga, memberikan sumbangan kampanye politik secara tidak sah.

2) Kejahatan korporasi dibidang sosial budaya, antara lain; kejahatan hak cipta, kejahatan terhadap buruh, kejahatan narkotika dan psikotropika;

3) Kejahatan korporasi yang menyangkut masyarakat luas. Hal ini dapat terjadi pada lingkungan hidup, konsumen dan pemegang saham

(http://hukumkompasana.com/2010/09/01).

Kejahatan terhadap lingkungan hidup berupa pencemaran dan atau perusakan kondisi tanah, air dan udara suatu wilayah. Dengan demikian, dalam kejahatan lingkungan hidup, dapat ditafsirkan lebih luas dalam konteks kerusakan yang berakibat luas, mengakibatkan bencana dan merugikan umat manusia, seperti illegal logging atau pembalakan liar (http://hukumkompasana.com/2010/09/01).

Pasal-pasal dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan (UUPK) jo UU Nomor 19 Tahun 2004 sebagai pengganti penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU) No. 1 tahun 2004 tentang perubahan asas Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan yang dapat dikatagorikan terkait dengan tindak pidana korporasi antara lain dapat dilihat pada: Hal ini mengingat dalam penjelasan Pasal 50 ayat (1) dirumuskan bahwa yang dimaksud dengan orang adalah subjek hukum baik secara pribadi, badan hukum, maupun badan usaha. Prasarana perlindungan hutan, misalnya pagar-pagar batas kawasan hutan, aliran api, menara pengawas, dan jalan pemeriksaan. Sarana perlindungan hutan misalnya alat pemadam kebakaran, tandatangan dan alat angkut.


(13)

Pada Pasal 50 ayat (1), (2), dan (3), bisa dikatagorikan tindak pidana korporasi, jika setiap orang yang dimaksud dalam pasal tersebut itu menunjuk subjek hukum pelaku adalah badan hukum atau badan usaha seperti dalam penjelasan pasal 50 ayat (1). Sedangkan untuk Pasal 50 ayat (4), termasuk tindak pidana biasa.

Perkembangan pertanggungjawaban pidana di Indonesia, ternyata yang dapat dipertanggungjawabkan tidak hanya manusia, tetapi juga korporasi. Khusus mengenai pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana, ternyata terdapat bermacam-macam cara perumusannya yang ditempuh oleh pembuat undang-undang.

Ada 3 (tiga) sistem kedudukan korporasi dalam hukum pidana yakni :

1) Pengurus korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggungjawab; 2) Korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggungjawab;

3) Korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggungjawab (http://hukumkompasana.com/2010/09/01).

Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 jo Nomor 19 Tahun 2004 tentang kehutanan, pertanggungjawaban tindak pidana korporasi terdapat pada Pasal 78 angka (14) yang dirumuskan sebagai berikut: "Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (I), ayat (2), dan ayat (3) apabila dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan usaha, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dikenakan pidana sesuai dengan ancaman pidana masing-masing ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan".

Tanggung jawab korporasi pada UU Nomor 19 tahun 2004 tentang kehutanan, apabila tindak pidana yang dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan usaha yang


(14)

bertanggungjawab adalah pengurusnya, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, ini maksudnya dapat ditafsirkan bahwa pengurus atas nama pribadi atau sendiri dapat diminta pertanggungjawaban atau pengurus yang melakukan secara bersama-sama bisa diminta pertanggungjawaban. Dengan demikian bukan badan hukum yang bisa diminta pertanggungjawaban dalam tindak pidana korporasi ini, hanya pada pengurus dari badan hukum yang bisa diminta pertanggungjawaban.

Pasal 50 ayat (1), (2), dan (3), Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 jo UU Nomor 19 Tahun 2004 tentang kehutanan, dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korporasi. Hal ini mengingat dalam penjelasan Pasal 50 ayat (1) dirumuskan bahwa yang dimaksud dengan orang adalah subjek hukum baik secara pribadi, badan hukum, maupun badan usaha.

Tanggung jawab korporasi pada Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 jo Undang Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang kehutanan, apabila tindak pidana yang dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan usaha, yang bertanggungjawab adalah pengurusnya, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama.

Undang Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang kehutanan secara tersurat tidak ditemukan yang menyatakan korporasi sebagai subjek tindak pidana. Oleh karena itu, penuntutan dapat menggunakan ketentuan pidana dalam peraturan yang berhubungan dengan lingkungan hidup seperti Ordonansi Gangguan Stb. Nomor 226 yang dirubah dengan Stb. 449 Tahun 1927 dengan konsekuensi ancaman pidana sangat ringan

(http://hukumkompasana.com/2010/09/01).

Hukum dan penegakan hukum, merupakan bagian faktor-faktor penegakan hukum yang tidak bisa diabaikan karena jika diabaikan akan menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang diharapkan. Oleh karenanya aparat hukum harus bisa menegakkan hukuman terhadap


(15)

pelaku-pelaku tindak pidana korporasi agar mereka dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya serta mendapat hukuman yang setimpal pula (Soerjono Soekanto, 1983 : 5). Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum menurut Soerjono Soekamto, (1983 : 25) yaitu hukum atau undang-undang atau peraturan, penegak hukum (pembentuk hukum atau penetap hukum), sarana atau fasilitas pendukung, masyarakat (kesadaran hukum) dan budaya hukum (legal kultur). Dari kelima faktor tersebut yang lebih mempengaruhi faktor penghambat pertanggungjawaban korporasi dalam sistem hukum pidana di Indonesia adalah dari faktor hukum atau undang–undang atau peraturannya.

2. Konseptual

Konseptual adalah gambaran tentang hubungan antara konsep khusus yang merupakan arti yang berkaitan dengan istilah-istilah yang akan diteliti (Soerjono Soekanto, 1986 : 102).

Judul dari penelitian ini adalah Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia, maka untuk jelasnya dikemukakan definisi dari judul tersebut :

a. Pertanggungjawaban adalah pertanggungjawaban dimaksud adalah akibat hukum secara pidana yang dilakukan oleh seseorang maupun secara organisasi atau kelompok (Hamzah Hatrik, 1996 : 20).

b. Korporasi adalah suatu gabungan orang yang dalam pergaulan hukum bertindak bersama-sama sebagai subjek hukum tersendiri suatu personifiaksi. Korporasi adalah badan hukum yang beranggota, tetapi mempunyai hak dan kewajiban sendiri terpisah dari hak dan kewajiban anggota masing-masing (Rudhi Prasetyo; 1998 : 56).


(16)

c. Hukum pidana adalah semua aturan-aturan hukum yang menentukan terhadap perbuatan-perbuatan apa saja yang seharusnya di jatuhi pidana. Ada tiga pengertiannya antara lain : 1. Keseluruhan larangan atau perintah yang oleh Negara diancam nestapa, yaitu suatu pidana

apabila tidak ditaati.

2. Keseluruhan peraturan yang menetapkan syarat-syarat untuk menjatuhkan pidana.

3. Keseluruhan ketentuan yang memberikan dasar-dasar untuk menjatuhkan dan penerapan pidana.

Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan dengan cara bagaimana penegakan pidana itu dapat dilakukan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut (Tri Andrisman , 2005 : 6).

d. Sistem Hukum Pidana Indonesia adalah hukum pidana yang berlaku di Indonesia yang merupakan hukum pidana yang telah dikodifikasikan yaitu sebagian terbesar dan aturan-aturan telah di susun dalam satu kitab undang-undang (wetboek) yang dinamakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menurut suatu sistem yang tertentu (Moeljatno, 2009 : 17) .

E. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan maksud dari penelitian ini serta dapat dipahami, maka

penulis membaginya ke dalam V (lima) BAB secara berurutan dan saling berhubungan sebagai berikut:


(17)

Berisikan hal-hal yang melatarbelakangi penulisan skripsi ini, latar belakang tersebut kemudian ditarik pokok-pokok permasalahan serta membatasi ruang Lingkup penulisan, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka konsepsional serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Pada Bab ini menguraikan tentang pengertian dan unsurunsur tindak pidana, jenis-jenis tindak pidana, pengertian koorporasi, peran koorporasi dalam pembangunan, koorporasi sebagai subjek tindak pidana.

III. METODE PENELITIAN

Pada Bab ini mengemukakan langkah-langkah yang ingin dicapai dalam penulisan ini, yang meliputi pendekatan masalah, penentuan sumber dan jenis data, metode pengumpulan dan pengolahan data serta analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada Bab ini akan memuat pokok bahasan berdasarkan hasil penelitian yaitu bentuk-bentuk tindak pidana korporasi di Indonesia dan sistem pertanggungjawaban korporasi dalam suatu tindak pidana menurut hukum pidana Indonesia.

V. PENUTUP

Di dalam Bab ini penulis memberikan kesimpulan yang merupakan jawaban permasalahan berdasarkan hasil penelitian dan saran sebagai salah satu alternatif penyelesaian masalah berdasarkan hasil penelitian guna perbaikan di masa yang akan datang.


(18)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Hukum Pidana

Ada kesukaran untuk memberikan suatu batasan yang dapat mencakup seluruh isi dan atau aspek dari pengertian hukum pidana. Karena isi hukum pidana itu sangatlah luas dan mencakup banyak segi, yang tidak mungkin untuk dimuatkan dalam suatu batasan dengan suatu kalimat tertentu. Dalam memberikan batasan tentang pengertian hukum pidana, biasanya hanya melihatnya dari satu atau beberapa sisi saja, dan oleh karenanya selalu ada sisi atau aspek tertentu dari hukum pidana yang lain tidak masuk, dan berada di luarnya (Adami Chazawia, 2002 : 1).

Pidana dalam hukum pidana merupakan suatu alat dan bukan tujuab dari hukum pidana, yang apabila dilaksanakan tiada lain adalah berupa penderitaan atau rasa tidak enak bagi yang bersangkutan disebut terpidana. Tujan utama hukum pidana adalah ketertiban, yang secara khusus dapat disebut terhindarnya masyarakat dari kejahatan terhadap kepentingan hukum yang dilindungi. Mencantumkan pidana pada setiap larangan dalam hukum pidana (strafbaar feit: tindak pidana), disamping bertujuan untuk kepastian hukum dan dalam rangka membatasi kekuasaan negara juga bertujuan untuk mencegah ( preventif ) bagi orang yang berniat untuk melanggar huku pidana (Adami Chazawi, 2002 : 24 ).

Walaupun dalam memberikan batasan tentang hukum pidana, selalu ada aspek hukum pidana yang berada di luarnya, namun demikian tetap berguna untuk terlebih dulu memberikan bata. san tersebut. Faedah itu adalah, dari batasan itu setidak-tidaknya dapat memberikan


(19)

gambaran awal tentang arti hukum pidana sebelum memahaminya lebih jauh dan dengan lebih mendalam.

Apakah hukum pidana itu ? menurut Moeljatno (2002 : 1), pengertian ini dapat dijelaskan sebagai berikut :

Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan kaidah hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:

1. menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut;

2. menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan;

3. menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut ".

Menurut Simons (Moeljatno, 2002 : 7) memberikan definisi terhadap pengertian hukum pidana adalah sebagai berikut:

"Hukum pidana adalah kesemuanya perintah-perintah dan larangan-larangan yang diadakan oleh negara dan yang diancam dengan suatu nestapa (pidana) barangsiapa yang tidak mentaatinya, kesemuanya aturan-aturan yang menentukan syarat-syarat bagi akibat hukum itu dan kesemuanya aturan-aturan untuk mengadakan (menjatuhi) dan menjalankan pidana tersebut”.

Van Hamel dalam bukunyaInleiding studie Ned Strarecht,menyatakan bahwa :

"Hukum pidana adalah semua dasar-dasar dan aturan-aturan yang dianut oleh suatu Negara dalam menyelenggarakan ketertiban hukum (rechtsorde) yaitu dengan melarang apa yang bertentangan dengan hukum dan mengenakan suatu nestapa kepada yang melanggar larangan-larangan tersebut" (Ernst Utrecht, 1962 : 377). Menurut definisi Moeljatno ada dua hal yang perlu di tegaskan dalam pengertian hukum pidana yaitu :


(20)

1. Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berdiri sendiri. Dengan ini di tolak pendapat bahwa hukum adalah bergantung pada bagian-bagian hukum lainnya dan hanya memberi sangsi saja pada perbuatan-perbuatan yang salah dilarang dalam bagian-bagian hukum lainnya . Hukum pidana memberi sangsi yang bengis dan snagat memperkuat berlakunya norma-norma hukum yang telah ada akan tetapi mengadakan norma baru ini tidak. Hukum pidana sesungguhnya hukum sangsi (het strafrecht is wezenlijk sanctcie-recht). Dan di sini sifat yang primer dari hukum pidana adalah bahwa di situ dengan tegas ditentukan perbuatan-perbuatan mana yang dilarang, karena merugikan atau membahayakan keselamatan seluruh masyarakat.

2. Berhubungan dengan definisi di atas, maka yang penting dalam hukum pidana bukan saja hal memidana si terdakwah, akan tetapi sebelum sampai kepada itu, terlebih dahulu harus di tetapkan apakah terdakwah benar melakukan tindakan pidana atau tidak. Dan aspek atau, segi dari pidana itu, yaitu menentukan apakah perbuatan seseorang merupakan perbuatan pidana atau bukan, dan kemudian menentukan apakah orang yang melakukan perbuatan itu dapat dipertanggungjawabkan (dipersalahkan) karena perbuatan tersebut atau tidak.

Perbuatan dan pertanggungjawaban masing-maisng memiliki sifat yang berlainan. Adanya perbuatan pidana berdasarkan atas asas tidak ada perbuatan pidana sebelumnya tidak dinyatakan sebagai demikian oleh suatu ketentuan undang–undang, dalam bahasa latin : Nullum delictum, nulla poena sine praevia lege. Sedangkan penaggungjawab dalam hukum pidana berdasarkan atas asas, tidak dipidana jika tidak ada kesalahan. Oleh karena itu meskipun orangnya karena tidak ada kesalahan dapat dipidana, masih berguna juga untuk diketahui umum bahwa dia melakukan perbuatan pidana agar umum menjadi lebih


(21)

mengetahui bahwa perbuatan tersebut adalah masuk pantangan negara dan merupakan suatu pelangagaran.

Berpijak pada kodifikasi sebagai sumber utama atau sumber pokok hukum pidana, maka hukum pidana itu adalah bagian dari hukum publik yang memuat/berisi ketentuan-ketentuan tentang:

1. Aturan umum hukum pidana dan (yang dikaitkan berhubungan dengan) larangan melakukan perbuatan-perbuatan tertentu yang disertai dengan ancaman sanksi berupa pidana (straf) bagi yang melanggar larangan itu;

2. Syarat-syarat tertentu (kapankah) yang harus dipenuhi/harus ada bagi si pelanggar untuk dapat dijatuhkannya sanksi pidana yang diancamkan pada larangan perbuatan yang dilanggarnya;

3. Tindakan dan upaya-upaya yang boleh atau harus dilakukan negara melalui alat-alat perlengkapannya (misalnya polisi, jaksa, hakim) terhadap yang disangka dan didakwa sebagai pelanggar hukum pidana dalam rangka usaha negara menentukan, menjatuhkan dan melaksanakan sanksi pidana terhadap dirinya, serta tindakan dan upaya-upaya yang boleh dan harus dilakukan oleh tersangka/ terdakwa pelanggar hukum tersebut dalam usaha melindungi dan mempertahankan hak-haknya dari tindakan negara dalam upaya negara menegakkan hukum pidana tersebut

(Adami Chazawi, 2002 : 22).

B. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu "strafbaar feit ". Walaupun istilah ini terdapat dalam WvS Belanda dengan demikian WvS Hindia Belanda (KUHP), tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feititu. Karena itu para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu. Sayangnya kini belum ada keseragaman pendapat.

Istilah-istilah yang pernah digunakan baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilahstarfbaar feitadalah


(22)

1. Tindak pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam perundang-undangan pidana kita. Dam hampir seluruh peraturan perundang-undangan menggunakan istilah tindak pidana, seperti dalam UU No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, UU No. 11/ PNPS/ 1963 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Subversi, UU No. 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (sekarang diganti dengan W No. 31 tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001), dan perundang-undangan lainnya. Ahli hukum yang menggunakan istilah ini seperti Wirjono Prodjodikoro (1991 : 75).

2. Peristiwa Pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum, misalnya Mr. R. Tresna, Mr. Drs. H. J. van Schravendijk, Prof. A. Zainal Abidin, SH. Pembentuk undang-undang juga pernah menggunakan istilah peristiwa pidana, yaitu dalam Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950.

3. Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa latin "delictum" juga digunakan untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit. Istilah ini dapat dijumpai dalam berbagai literatur, misalnya Utrecht, walaupun juga beliau menggunakan istilah lain yakni peristiwa pidana dalam bukunya Hukum Pidana. Prof. A. Zainal Abidin dalam buku beliau "Hukum Pidana". Moelyatno pernah juga menggunakan istilah ini seperti pada judul buku beliau "Delik-Delik Percobaan-Delik Penyertaan", walaupun menurut beliau lebih tepat dengan istilah perbuatan pidana;

4. Pelanggaran pidana, dapat dijumpai dalam buku "Pokok-Pokok Hukum Pidana" yang ditulis oleh Mr. M. H. Tirtaamidjaja;

5. Perbuatan yang boleh dihukum, istilah ini digunakan oleh Mr. Kami, begitu juga Schravendijk;


(23)

6. Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan oleh pembentuk undang-undang dalam Undang-Undang Nomor 12/ Drt/ 1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak.

7. Perbuatan pidana, digunakan oleh Moelyatno dalam berbagai tulisan beliau.

Nyatalah dari uraian di atas, kini setidak-tidaknya dikenal ada 7 (tujuh) istilah dalam bahasa kita sebagai terjemahan dari istilahstrafbaar feit(Belanda).

Secara literlijk kata "straf artinya pidana, "baar" artinya dapat atau boleh dan feit" adalah perbuatan. Dalam kaitannya dengan istilahstrfbaar feitsecara utuh, ternyata strafditerjemahkan juga dengan kata hukum, padahal sudah lazim hukum itu adalah berupa terjemahan dari kata recht seolah-olah arti straft sama dengan recht, yang sebenarnya tidak demikian halnya (Adami Chazawi, 2002 : 69).

Secara literlijk istilah perbuatan pidana adalah lebih tepat sebagai terjemahan strafbaar feit, seperti yang telah lama dikenal dalam perbendaharaan ilmu hukum kita, misalnya istilah materieele feitatauformeele feit (feiten een formeele omschrifving,untuk rumusan perbuatan dan tindak pidana formil). Demikian juga istilah feit dalam banyak rumusan norma-norma tertentu dalam WvS (Belanda) demikian juga WvS Nederland Indie/ Hindia Belanda), misalnya Pasal 1, 44, 48, 63, 64 KUHP, selalu diterjemahkan oleh para ahli hukum kita dengan perbuatan dan tidak dengan tindak atau peristiwa maupun pelanggaran.

Pompe, yang merumuskan bahwa suatu strafbaar feit itu sebenarnya adalah tidak lain daripada suatu "tindakan yang menurut sesuatu rumusan undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum "(Lamintang, 1990 : 174).


(24)

Vos, merumuskan bahwa strafbaar feitadalah "suatu perbuatan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan" (Martiman P, 1996 : 16).

Perumuskan atau pemberian definisi yang tepat perihal peristiwa pidana, namun justru beliau menarik suatu definisi, yang menyatakan bahwa :

"peristiwa pidana itu adalah sesuatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman" (R. Tresna, 1995 : 30). Tampak dalam rumusan itu tidak memasukkan unsur/anasir yang berkaitan dengan pelakunya. Selanjutnya beliau menyatakan bahwa dalam peristiwa pidana itu mempunyai syarat-syarat, yaitu :

1. Harus ada suatu perbuatan manusia;

2. Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan di dalam ketentuan hukum;

3. Harus terbukti adanya "dosa" pada orang yang berbuat, yaitu orangnya harus dapat dipertanggungjawabkan;

4. Perbuatan itu harus berlawanan dengan hukum;

5. Terhadap perbuatan itu harus tersedia ancaman hukumnya dalam undang-undang.

Melihat pada apa yang dikatakan beliau, sebagai syarat peristiwa pidana itu, dalam syarat-syarat mana ternyata terdapat syarat-syarat yang mengenai diri si pelaku, seperti pada syarat-syarat ke-3, yang tampak dengan jelas bahwa syarat itu telah dihubungkan dengan adanya orang yang berbuat melanggar larangan (peristiwa pidana) tersebut, yang sesungguhnya berupa syarat untuk dipidananya bagi orang yang melakukan perbuatan itu bukan syarat peristiwa pidana.

Perbuatan-perbuatan pidana ini menurut wujud atau sifatnya adalah bertentangan dengan tata atau ketertiban yang dikehendaki oleh hukum, mereka adalah perbuatan yang melawan (melanggar) hukum. Tegasnya mereka merugikan masyarakat dalam arti bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang baik dan adil.


(25)

Dapat pula dikatakan bahwa perbuatan-perbuatan pidana itu bersifat merugikan masyarakat. Oleh karena itu, perbuatan-perbuatan itu dilarang keras atau pantang dilakukan. Dengan demikian, konsepsi perbuatan pidana seperti dimaksudkan di atas, dapat disamakan atau disesuaikan dengan konsepsi perbuatan pantang (pantangan) atau pamali yang telah lama dikenal dalam masyarakat Indonesia asli sejak zaman nenek moyang kita.

Tetapi tidak semua perbuatan yang melawan hokum atau merugikan masyarakat diberi sanksi pidana. Pelacuran misalnya, disini tidak dijadikan perbuatan pidana dalam arti, bahwa perbuatan peraturannya sendiri tidak dilarang dan diancam dengan pidana. Bahwa pelacuran tidak dijadikan larangan pidana, janganlah diartikan bahwa hat ini tidaklah dianggap merugikan masyarakat, tetapi karena sukarnya untuk mengadakan rumusan (formula) yang tepat, dan juga dalam praktek yang dapat dilaksanakan. Mungkin di Negara-negara lain telah ada rumusan yang demikian tetapi belum diketahui bagaimana hasilnya dalam praktek.

Bahwa yang dapat dituntut ialah misalnya orang yang menyediakan tempat untuk pelacuran dan menjadikan hal itu sebagai pencarian atau kebiasaan, hal ini sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 296 KUHP.

Pasal 296 KUHP. Menentukan:

Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencaharian, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah.

Adapun ukurannya, perbuatan melawan hukum yang mana ditentukan sebagai perbuatan pidana, hal itu adalah termasuk kebijakan pemerintah, yang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Biasanya


(26)

perbuatan-perbuatan yang mungkin menimbulkan kerugian dalam masyarakat diberi sanksi pidana. Tapi juga tidak dapat dikatakan, bahwa perbuatan-perbuatan yang menimbulkan kerugian besar saja (jadi menurut kualitasnya) yang dijadikan perbuatan pidana, sebab di satu pihak pencurian yang kecil misalnya dipandang sebagai delik, sedangkan di lain pihak tidak semua perbuatan yang mengakibatkan kerugian besar (beberapa macam korupsi) telah dimasukkan dalam halaman hukum pidana. Hal ini mungkin atas pertimbangan bahwa pencurian yang kecil banyak sekali terjadi (menurut kuantitasnya).

C. Peranan Korporasi dalam Proses Modernisasi

Perkembangan ekonomi dan pembangunan yang pesat dewasa ini, teknologi industri mempunyai peranan yang sangat penting. Bagi teknologi industri, eksistensi organisasi perusahaan dan badan-badan hukum (korporasi) besar yang menggunakan metode produksi massa untuk beroperasi merupakan kenyataan yang tidak dapat dihindarkan. Di abad ke-20, para ahli dan pengamat ekonomi sudah menyaksikan adanya pertumbuhan cepat badan-badan hukum multinasional. Perusahaan raksasa ini memproduksi sebagian besar produk barang dagangan dan mempekerjakan puluhan juta pekerja, besar sekali mempengaruhi pilihan konsumen dan mendominasi sektor penting ekonomi dunia melalui operasi mereka secara global.

Sumber permodalan yang luar biasa besarnya, dengan berbagai variasi jenis perusahaan, memungkinkan mereka untuk menggunakan maupun merubah teknologi secara besar-besaran. Dengan cam seperti itu, mereka telah memberikan kontribusi luar biasa kepada perkembangan perniagaan industri di negara-negara besar seperti Amerika Serikat, negara-negara blok Barat, serta meluas hingga kepada negara-negara berkembang pada umumnya (Soedjono Dirdjosisworo, 1983 : 2).


(27)

Indonesia yang sedang dalam masa era industrialisasi dan yang sedang dalam situasi persiapan memasuki tahap tinggal landas ini tentu berada dalam situasi majunya dunia usaha, yang diikuti oleh peranan korporasi yang sangat besar. Dengan meningkatnya kekuatan produksi secara besar-besaran dari suatu perusahaan (korporasi), dan adanya keinginan korporasi untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya, maka secara potensial timbul bahaya bagi masyarakat.

Bahaya tersebut bisa berbentuk perusakan kondisi alamiah (geografi, dan kekayaan alam), dan perusakan kondisi sosial (aspek-aspek kondisi ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya) yang disebabkan gangguan alam dan ulah manusia. Bahaya kehidupan masyarakat tersebut merupakan dampak sampingan dari pembangunan itu sendiri, dan korporasi-korporasi adalah yang berada dalam operasi niaga raksasanya, secara sadar atau tidak, telah melakukan atau terlibat dalam aneka kejahatan yang berdampak luas, dan dapat mengancam keselamatan negara. Hal tersebut tidaklah mustahil kiranya untuk terjadi, karena salah satu sifat yang menonjol dari wajah kejahatan pada masyarakat pasca-industri pada akhir abad ke-20 adalah membaurnya dunia kriminal dengan dunia sipil masyarakat biasa atau menyelinap ke dalam kehidupan normal dan sah. Dengan demikian berbeda dari keadaannya dahulu, penjahat tidak merupakan kelompok tersendiri yang terpisah secara tajam dari kehidupan sipil, melainkan antara keduanya terjalin semacam interdependensi. Kejadian yang amat penting dalam perkembangan kriminalitas dewasa ini setidak-tidaknya yang sudah berlangsung di negara-negara pasca-industri adalah penetrasi dan penyamaran (cover up) yang dilakukan oleh kelompok-kelompok kejahatan terhadap dunia sipil.


(28)

Kedua hal tersebut berkaitan satu sama lain. Penyamaran dilakukan sedemikian rupa sehingga masyarakat tidak menduga bahwa suatu organisasi atau korporasi yang beroperasi dalam masyarakat secara sah dan baik-baik itu adalah topeng yang menyembunyikan wajah kejahatan. Dengan penyamaran yang demikian itu, kelompok kejahatan bisa masuk menyerbu ke dalam organisasi sipil, yaitu ke dalam. kehidupan ekonomi, sosial dan politik dari masyarakat hukum di suatu negara (Soedjono Dirjosisworo, 1983 : 8).

Kekhawatiran akan keadaan seperti yang digambarkan di atas, adalah beberapa alasan mengenai mengapa diselenggarakan Seminar Nasional Kejahatan Korporasi di Semarang tahun 1989. Diantara alasan itu adalah sebagai berikut. Pertama, pertumbuhan korporasi sebagai salah sah: jaringan perusahaan multinasional yang tidak dapat dihindarkan. Antara lain di sektor perbankan, perusahaan impor-ekspor, Asuransi; pelayaran dan sebagainya. Repleksi kemajuan teknologi di berbagai bidang, misalnya telekomunikasi, informatika, akan menciptakan suasana kondusif bagi perkembangan korporasi. Berdua, dari sisi hukum pidana dan kriminologi, porsi perhatian terhadap hukum ekonomi semakin besar, sebab penyimpangan dalam hukum ekonomi yang merupakan tindak pidana dilihat sebagai sesuatu yang istimewa.

Tindak pidana tersebut, baik dalam produksi maupun jasa, dalam arti sempit dapat dianggap mengganggu program pemerintah dalam bidang ekonomi, dan dalam arti yang luas dapat mengganggu sistem ekonomi nasional yang bersendikan Pasal 33 UUD 1945. Apabila tindak pidana dalam hukum ekonomi tersebut dilakukan oleh korporasi, maka dampaknya akan semakin besar. Mengingat posisi korporasi yang demikian itu, maka korporasi harus ditetapkan sebagai subjek hukum dalam hukum pidana (H. Setiyono, 2002 : 32).


(29)

Hukum pidana subjektif atau disebut ius poeniendi sebagai aspek subjektifnya hukum pidana, merupakan aturan yang berisi atau mengenai hak atau kewenangan negara:

a. untuk menentukan larangan-larangan dalam upaya mencapai ketertiban umum; b. untuk memberlakukan (sifat memaksanya) hukum pidana yang wujudnya dengan

menjatuhkan pidana kepada si pelanggar larangan tersebut; serta

c. untuk menjalankan sanksi pidana yang telah dijatuhkan oleh negara pada si pelanggar hukum pidana tadi.

Sebagai organisasi yang terbesar, tertinggi, dan terkuat, hanya negara yang berhak dan berwenang untuk menentukan hukum pidana dan menjalankannya. Artinya, negaralah sebagai satu-satunya subjek hukum yang boleh membentuk aturan-aturan yang mengikat semua warga, serta mampu menjalankannya dengan sebaik-baiknya agar aturan-aturan itu ditegakkan dan dilaksanakan dalam rangka terjaminnya ketertiban umum.

Jadi dari segi subjektif, negara memiliki dan memegang tiga kekuasaan / hak fundamental, yakni :

a. hak untuk menentukan perbuatan-perbuatan mana yang dilarang dan menentukan bentuk serta berat ringannya ancaman pidana (sanksi pidana) bagi pelanggarnya;

b. hak untuk menjalankan hukum pidana dengan menuntut dan menjatuhkan pidana pada si pelanggar aturan hukum pidana yang telah dibentuk tadi; dan

c. hak untuk menjalankan sanksi pidana yang telah dijatuhkan pada pembuatnya/petindaknya tersebut.

Hak negara yang begitu luas perlulah diatur dan dibatasi. Jika tidak, dapat terjadi kesewenang-wenangan yang bukan saja dapat menimbulkan ketidakadilan, namun juga ketidaktenteraman dan ketidaktenangan warga di antara negara. Untuk itu, hak dan kewenangan yang luas itu perlu


(30)

diatur. Pengaturan berarti pembatasan hak, dan aruran yang membatasi hak negara ini terdapat dalam hukum pidana objektif, yang berupa hukurn pidana materiil dan hukum pidana formil. karena kewenangan negara dalam menjalankan hak subjektifnya itu diatur dalam arti dibatasi, tiga hak subjektif negara di aras tadi tidak dapat keluar dan melampaui koridor-koridor yang ditetapkan dalam hukum pidana materiil dan hukum pidana formil ( Adami Chazawi, 2002 : 9). Penempatan korporasi sebagai subjek tindak pidana sampai sekarang masih jadi masalah, sehingga timbul sikap pro dan kontra. Pihak yang setuju mengemukakan alasan-alasan (H. Setiyono, 2002 : 12). sebagai berikut :

1. menyangkut masalah kejahatan, sebenarnya kesengajaan dan kesalahan hanya terdapat pada persona alamiah;

2. bahwa yang merupakan tingkah laku materiil, yang merupakan syarat dapat dipidananya beberapa macam tindak pidana, hanya dapat dilaksanakan oleh persona alamiah (mencuri barang, menganiaya orang, perkosaan dan sebagainya);

3. bahwa pidana dan tindakan yang berupa merampas kebebasan orang, tidak dapat dikenakan pada korporasi;

4. bahwa tuntutan dan pemidanaan terhadap korporasi dengan sendirinya mungkin menimpa pada orang yang tidak bersalah;

5. bahwa di dalam praktik tidak mudah untuk menentukan norma-norma atas

dasar apa yang dapat diputuskan, apakah pengurus saja atau korporasi itu sendiri atau kedua-duanya harus dituntut dan dipidana.

Penempatan korporasi sebagai subjek hukum pidana menyatakan :

1. ternyata dipidananya pengurus saja tidak cukup untuk mengadakan represi terhadap delik-delik yang dilakukan oleh atau dengan suatu korporasi. Karenanya perlu dimungkinkannya memidana korporasi, korporasi dan pengurus atau pengurus saja;

2. mengingat dalam kehidupan sosial-ekonomi korporasi semakin memainkan peranan yang penting pula;

3. hukum pidana harus mempunyai fungsi di dalam masyarakat, yaitu melindungi masyarakat dan menegakkan norma-norma dan ketentuan, ketentuan yang ada dalam masyarakat. Kalau


(31)

hukum pidana hanya ditentukan pada segi perorangan, yang hanya berlaku pada manusia, maka tujuan itu tidak efektif, oleh karena itu tidak ada alasan untuk selalu menekan dan menentang dapat dipidananya korporasi;

4. dipidananya korporasi merupakan salah satu upaya untuk menghindarkan tindakan pemidanaan terhadap para pegawai korporasi itu sendiri.

Terlepas dari setuju tidak setujunya terhadap pertanggungjawaban korporasi sebagai subjek hukum pidana, Oemar Seno Adji berpendapat, "...kemungkinan adanya pemidanaan terhadap persekutuan-persekutuan, didasarkan tidak saja atas pertimbangan-pertimbangan utilitas, melainkan pula atas dasar-dasar teoritis dapat dibenarkan" (Hamzah Hatrik, 1996 : 31).

Pengertian korporasi sebagai subjek tindak pidana tidak hanya sebatas pengakuan yuridis. Pengertian subjek tindak pidana dibedakan antara yang melakukan tindak pidana (pembuat), dan yang bertanggung jawab. Oleh karena itu, pengaturan korporasi sebagai subjek tindak pidana tergantung pada cara atau sistem perumusan pertanggungjawaban pidana yang akan digunakan. Perkembangan hukum pidana Indonesia, ada 3 sistem pertanggungjawaban korporasi sebagai subjek tindak pidana, yaitu (1) pengurus korporasi sebagai pembuat, maka penguruslah yang bertanggungjawab, (2) korporasi sebagai 26 pembuat, maka pengurus yang bertanggungjawab, (3) korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggungjawab (Hamzah Hatrik, 1996 : 30).


(32)

(33)

III. METODE PENELITIAN

Upaya untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam melakukan penelitian dibutuhkan metode ilmiah yang merupakan suatu cara yang digunakan dalam pelaksanaan suatu penelitian untuk mendapatkan data yang objektif dan akurat, dalam mengolah dan menyimpulkan serta memecahkan suatu masalah. Dalam melakukan kegiatan penelitian, penulis melakukan kegiatan yang terdiri dari beberapa langkah, yaitu :

A. Pendekatan Masalah

Permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini, penulis hanya melakukan satu pendekatan yaitu pendekatan masalah yuridis normatif guna untuk mendapatkan suatu hasil penelitian yang benar dan objektif.

Pendekatan Yuridis Normatif

Pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan dengan cara menelaah kaidahkaidah, norma-norma, aturan-aturan, yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti. Pendekatan tersebut dimaksud untuk mengumpulkan berbagai macam peraturan perundang-undangan, teori-teori dan literatur-literatur yang erat hubungannya dengan masalah yang akan diteliti. Pendekatan yuridis normatif adalah penelitian dengan cara meneliti bahan pustaka atau sekunder sebagai bahan dasar untuk diteliti dengan cara mengadakan penelusuran terhadap peraturan perundang-undangan, teori-teori, dan konsep-konsep yang berhubungan dengan penulisan penelitian ini, secara

operasional penelitian yuridis normatif adalah studi pustaka. B. Jenis dan Sumber Data


(34)

Melakukan penelitian, penulis memerlukan data-data yang terkait dengan permasalahan yang diteliti. Adapun jenis data yang digunakan adalah:

1. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang digunakan dalam menjawab permasalahan pada penelitian ini melalui studi kepustakaan dengan cara membaca, mengutip, mempelajari dan menelaah literatur-literatur atau bahan-bahan yang ada.

Data sekunder terdiri dari 3 (tiga) bahan hukum, yaitu : 1) Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum bersifat mengikat. Untuk penulisan skripsi ini, bahan hukum primer yang digunakan adalah :

a) Kitab Undang Undang Hukum Pidana

a) Undang Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Korporasi.

b) Undang Undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Korporasi Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korporasi

2) Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti peraturan pemerintah. Putusan-putusan RUU (Rancangan Undang-Undang), buku-buku literatur dan karya ilmiah yang berkaitan dengan permasalahan penelitian.

3) Bahan Hukum Tertier

Bahan hukum tertier adalah bahan-bahan hukum yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, antara lain Kamus Bahasa


(35)

Indonesia, Kamus Bahasa Inggris, Kamus Hukum, Surat Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan peraturan pemerintah maupun majalah dan surat kabar/media cetak (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1985 : 13).

C. Penentuan Narasumber

Berdasarkan metode di atas maka yang menjadi responden dalam penelitian ini terdapat tiga orang dengan perincian sebagai berikut:

1. Hakim Anggota Pengadilan tinggi Metro

2. Kasubsi Pra Penuntutan Kejaksaan Negeri Metro 3. Dosen Fakultas Hukum Unila Bagian Pidana

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data 1. Prosedur Pengumpulan Data

Untuk melengkapi data guna pengujian hasil penelitian ini, digunakan prosedur pengumpulan data yang terdiri dari data Sekunder

Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara mengadakan studi kepustakaan (Library Research). Studi kepustakaan dimaksudkan untuk memperoleh arah pemikiran dan tujuan penelitian yang dilakukan dengan cara membaca, mengutip, dan menelaah literatur-literatur yang menunjang, peraturan perundang-undangan serta bahan-bahan bacaan ilmiah lainnya yang mempunyai hubungan dengan permasalahan yang akan dibahas.

2. Prosedur Pengolahan Data

Setelah data terkumpul, selanjutnya adalah pengolahan data, yaitu kegiatan merapikan dan menganalisa data tersebut, kegiatan ini meliputi kegiatan seleksi data dengan cara


(36)

memeriksa data yang diperoleh melalui kelengkapannya. Klasifikasi atau pengelompokan data secara sistematis. Kegiatan pengolahan data dapat dilakukan sebagai berikut:

a. Editing Data

Yaitu memeriksa atau meneliti data yang keliru, menambah serta melengkapi data yang kurang lengkap.

b. Klasifikasi Data

Yaitu penggolongan atau pengelompokan data menurut pokok bahasan yang telah ditentukan.

c. Sistematisasi Data

Yaitu penempatan data pada tiap pokok bahasan secara sistematis hingga memudahkan interpretasi data.

E. Analisis Data

Proses analisa data merupakan usaha untuk menemukan jawaban atas pertanyaan mengenai perihal di dalam rumusan masalah serta hal-hal yang diperoleh dari suatu penelitian pendahuluan. Dalam proses analisa data ini, rangkaian data yang telah tersusun secara sistematis menurut klasifikasinya kemudian diuraikan dan dianalisa secara kualitatif, yakni dengan memberikan pengertian terhadap data yang dimaksud menurut kenyataan yang diperoleh di lapangan, sehingga benar-benar merupakan jawaban dari pokok masalah yang ada dan disusun serta diuraikan dalam bentuk kalimat per kalimat. Kemudian dari hasil analisa dari data tersebut diinterpretasikan ke dalam bentuk kesimpulan yang bersifat induktif yaitu suatu metode penarik data yang didasarkan pada fakta-fakta yang bersifat


(37)

khusus untuk kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat umum guna menjawab permasalahan berdasarkan peneltian yang dilakukan.


(38)

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan yang telah dilakukan pada bab-bab terdahulu. maka dapatlah kiranya ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut, bahwa :

1. Adanya asas kesalahan ( culpabilitas ) kelalaian/kesengajaan dalam penjatuhan pidana kepada korporasi yang pada dasarnya tidak dapat disamakan dengan penjatuhan pidana terhadap orang pribadi menentukan bahwa pertanggungjawaban korporasi tersebut diberikan dua pertanggungjawaban dalam sistem hukum pidanannya, yaitu pertanggungjawaban yang ketat ( strict Liability ) dan pertanggungjawaban pengganti ( vicarious liability ), yang bertujuan agar pelaku pidana dalam korporasi dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya dihadapan hukum.

2. Faktor penghambat dalam pertanggungjawaban korporasi dalam sistem pidana di Indonesia ialah faktor dari hukum atau undang-undang atau peraturan dan penegak hukum atau pembuat dan penetap hukum. Hukum di Indonesia lebih menjurus kepada orang pribadi dan bukan kepada badan hukum atau badan yang bersifat organisator seperti korporasi sehingga hukumpun tidak bisa dengan begitu saja dijatuhkan kepada korporasi. Begitupula dalam pertanggungjawaban korporasi itu sendiri. Sedangkan penegak hukum yaitu penetap dan pembuat hukum dalam menentukan hukuman memerlukan waktu, data, dan keahlian


(39)

dalam pendalaman perkara khususnya dalam kasus korporasi sedangkan penegak hukum tersebut sudah memiliki banyak penanganan dan pemidanaan kasus-kasus dalam perkara lain..

B. Saran

1. Peranan korporasi dalam bidang perekonomian dan semakin banyak pula terjadi kasus-kasus yang melibatkan korporasi dalam kasus-kasus tersebut, maka kiranya para pembentuk undang-undang dapat lebih mengantisipasi peranan korporasi dalam tindak pidana ekonomi dengan membuat serangkaian peraturan yang tegas terhadap pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh suatu korpotasi. Misalnya dengan menjatuhkan pidana denda yang seberat beratnya dikarenakan korporasi tidaklah mungkin dijatuhi pidana perampasan kemerdekaan terkecuali bagi pengurusnya.

2. Adanya faktor – faktor yang menghambat pertanggungjawaban korporasi dalam sistem hukum pidana yang ada di Indonesia bisa menjadi bahan evaluasi bagi aparat penegak hukum supaya dapat lebih cermat dalam menentukan hukuman yang tegas bagi perusahaan atau korporasi agar mereka yang melakukan pidana dapa mempertanggungjawabkan perbuatannya bagi korporasi itu sendiri dan tidak membuat masyarakat semakin sengsara dan merasa teradili haknya.


(40)

DAFTAR PUSTAKA

Andrisman, Tri, 2005, Hukum Pidana,Universitas Lampung, Bandar Lampung _____________, 2008, Tindak Pidana Khusus di Luar KUHP, Universitas Lampung,

Bandar Lampung.

Chazawi, Adami, 2002, Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 1, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Hatrik, Hamzah, 1996, Azas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum (Strict Liability dan Vicarious Liability),Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Lamintang, P.A.F, 1990, Dasar-Dasar Hukurn Pidana Indonesia, Penerbit Sinar Baru, Bandung.

Moeljatno, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta. Mr. Karni,1999, Ringkasan tentang Hukum Pidana, Penerbit Eresco, Jakarta.

Muladi, 1991, Fungsionalisasi Hukurn Pidana di dalam Kejahatan yang Dilakukan oleh Korporasi, FH-Universitas Diponegoro, Semarang.

Nawawi Arief, Barda, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru),Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Pranasari, Kiki , Meiiala, Adrianus, 1999, Praktik Pemberian Keterangan Yang Tidak Benar (Fraudulent Misrepresentation), Suatu Modus Penyimpangan Ekonomi, UI-Press, Jakarta.

Prodjohamidjojo, Martiman, 1996, Memahami Dasar-Dasar Hukum. Pidana Indonesia I, PT. Pradnya Paramita, Jakarta.

Prasetyo, Rudi, 1998, Perkembangan Korporasi dalam Proses Modernisasi dan Penyimpangan-Penyimpangannya,FH-UNDIP, Semarang.

Prodjodikoro,Wirjono 1998, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Penerbit Eresco, Jakarta.

Rahardjo, Satjipto, 2007, Pembangunan Politik dan Perubahan Politik, Gramedia, Jakarta.


(41)

Setiyono, H. 2002. Kejahalan Korporasi, Analisis Vikiimologis dan Pertanggungjawaban Koprorasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, Averroes Press, Malang.

Soekanto, Soerjono, 1986, Kedudukan Kepala desa sebagai Hakim Perdamaian, Rajawali, Jakarta.

__________, 1986, Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia. Press. Jakarta.

__________, 1993, Faktor faktor yang mempengaruhi penegakan hukum , Rajawali, Jakarta.

Soedjono, Dirjosisworo, 1983, Pengantar Tentang Psikologi Hukum, Alumni, Jakarta.

Sudarto, 1996,Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung. Tresna, R, 1995,Azas-Azas Hukum Pidana, PT. Tiara, Jakarta. Utrecht, Ernst, 1962, Van Hamel, “Including studiened starecht

Zainal, A. Abidin, 1998,Hukum Pidana, Praparitja, Jakarta. http://Hukum kompasana.com/2010/09/01

http://www.kumpulananalisisbencanalapindo.com


(42)

(43)

(44)

DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 5

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 6

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 7

E. Sistematika Penulisan ... 15

II. TINJAUAN PUSTAKA... 17

A. Pengertian Hukum Pidana... 17

B. Pengertian Tindak Pidana ... 21

C. Peranan Korporasi dalam Proses Modernisasi... 26

D. Korporasi sebagai Subjek Tindak Pidana ... 29

III. METODE PENELITIAN... 33

A. Pendekatan Masalah... 33

B. Jenis dan Sumber Data... 34

C. Penentuan Nara Sumber ... 35

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 35

E. Analisa Data... 36

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 38

A. Karakteristik Responden ... 38

B. Pertanggungjawaban Korporasi dalam Suatu Tindak Pidana Menurut Hukum Pidana Indonesia ... 39

C. Faktor Penghambat pertanggungjawaban korporasi dalam sistem hukum pidana di Indonesia... 52

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 58

A. Kesimpulan ... 58


(45)

DAFTAR PUSTAKA... 60 LAMPIRAN


(46)

MOTTO

Sabar dalam mengatasi kesulitan dan bertindak bijaksana dalam

mengatasinya merupakan sesuatu yang paling utama

Pengalaman adalah guru yang paling terbaik tetapi bukanlah pengalaman

buruk karena hanya dapat merugikan,

jadi ambil baiknya

Jangan pernah lari dari masalah, karena masalah tidak akan pernah

lari dari kita, selesaikan walau seberat apapun

masalah itu

Manusia tidak selamanya benar dan tidak selamanya salah, kecuali ia

yang selalu mengoreksi diri dan membenarkan kebenaran orang lain atas

kekeliruan dirinya sendiri

Lakukan yang terbaik, jadi yang terbaik,

dari semua yang terbaik


(47)

SISTEM HUKUM PIDANA DI INDONESIA

OLEH

VINA MIFTAKHULI JANNATI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012

Judul Skripsi : Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Sistem Hukum Pidana Di Indonesia


(48)

Nama Mahasiswa : Vina Miftakhuli Jannati No. Pokok Mahasiswa : 0732011336

Bagian : Hukum Pidana

Jurusan : Hukum

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

Tri Andrisman, S.H.,M.H. Maya Shafira, S.H.,M.H. NIP. 19611231 1989903 1 023 NIP. 19770601 200501 2 002

2. Ketua Bagian Hukum Pidana

Diah Gustianti, S.H.,M.H. NIP. 19620817 198703 2 003


(49)

Skripsi oleh VINA MIFTAKHULI JANNATI Telah dipertahankan di depan Tim Penguji

1. TIM PENGUJI

Ketua Penguji : Tri Andrisman, S.H.,M.H. _____________

Sekretaris : Maya Shafira, S.H.,M.H. _____________

Penguji Utama : Eko Raharjo, S.H.,M.H. _____________

2. DEKAN FAKULTAS HUKUM

Dr. Heryandi,S.H.,M.S. NIP. 19621109 198703 1 003


(50)

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan karyaku ini special teruntuk :

Kedua orangtuaku tercinta yang telah dengan sabar dan setia memberikan dukungan, semangat serta

doa siang dan malam mulai dari awal perkuliahan hingga selesainya skripsi ini. Aku bangga,

karena kalian adalah orang orang yang hebat dan luar biasa, tidak pernah mengeluh.

Adikku, Saudaraku dan Kekasihku yang selama ini telah memberi semangat serta senantiasa

mendukung baik dengan tenaga maupun dengan do a.

Juga untuk sahabat sahabat, rekan rekan seangkatan, adik angkatan dan seperjuangan terutama

para Dosen dan kakak angkatan yang selama ini telah membimbing dan menyemangati hingga tugas

akhir ini, memang sebenarnya kalian orang orang yang hebat.


(51)

RIWAYAT HIDUP

Penulis di lahirkan di Metro pada tanggal 03 Januari 1989, merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak. Alm. Heru Suwantoro dan Ibu Herlina.

Penulis menyelesaikan pendidikan formal pada Sekolah Taman Kanak – Kanak di TK Pertiwi Teladan Metro pada Tahun 1995, Pada Tahun 2001 Penulis menamatkan Sekolah Dasar di SDN Pertiwi Teladan Metro, Menamatkan Sekolah Menengah Pertama di SMPN 02 Metro. Pada Tahun 2004 dan pada tahun 2007 Penulis menamatkan Sekolah Menengah Atas di SMUN 04 Metro.


(52)

SANWACANA

Alhamdulilah segala puji bagi kehadirat Allah SWT, karena hanya dnegan segala limpahan rahmat, hidayah, karunia dan ridhonya, penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul :

Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Sistem Hukum Pidana Di Indonesia”, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Penulis menyadari bahwa dalam menyusun dan menyelesaikan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang tulus dan sebesar–besarnya kepada :

1. Bapak Dr. Heryandi,S.H.,M.S selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Bapak Eko Raharjo, S.H.,M.H. selaku Dosen bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung serta selaku Dosen Pembahas I yang telah memberikan saran dan masukan-masukan sehingga proses penyelesaian Skripsi dapat berjalan dengan baik.

3. Bapak Tri Andrisman, S.H.,M.H. selaku dosen pembimbing I, yang telah meluangkan waktu untuk memberikan dukungan, pengarahan , motivasi dan sumbangan pemikiran, sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi.


(53)

4. Ibu Maya Shafira, S.H.,M.H. selaku Dosen Pembimbing II, yang telah memberikan bimbingan, dorongan dan semangat kepada penulis dalam menyusun dan menyelesaikan Skripsi ini, Thanhs MOM ………….

5. Ibu Rini Fatona,S.H.,M.H. selaku Dosen Pembahas II yang telah sudi meluangkan waktu untuk memberikan dukungan, motivasi dan sumbangan pemikiran sehingga selesainya skripsi ini, terima kasih Ibuku ……..

6. Bapak Heni Siswanto,S.H.,M.H.selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang selalu memberikan semangat, dorongan dan do’a dalam penyelesaian skripsi ini, terima kasih Bapakku ……….

7. Seluruh dosen dan staf Fakultas Hukum Universitas Lampung yang tidak dapat penulis sebutkan satu perasatu, terima kaish telah memberikan bekal ilmu pengetahuan, bimbingan dan bantuan kepada penulis selama menjadi Mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Lampung,

8. Mbak Sri, Mbak Yanti, Ibu Arnia, Mba Yani, Babe-babe, selaku staf baik diluar maupun didalam akademik dan satpam di Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan dorongan, bantuan juga do’a nya hingga Skripsi ini selesai.

9. Mamaku tercinta Herlina, terima kasih untuk setiap pengorbanan, kesabaran dan kasih sayang yang tulus dan tanpa batas serta doa yang tiada henti demi hidup dan keberhasilanku, Apin sayang Mama…….


(54)

10. Papaku tercinta Alm. Heru Suwantoro, trimakasih atas kasih sayang dan waktu untuk kebersamaan bersama keluarga, Apin kangen banget sama Papa :’) …

11. Adikku Semata Wayang R. Subhan Fanatagama Terimakasih buat semangat, dorongan dan do’a demi keberhasilan mbak.

12. Anak Ku tersayang Caren Nabila (biaaa) semangatku dalam perjuangan, hiburanku dalam penat, tawaku dalam kesedihan, terimakasih sayang mimiiih….

13. Lelaki terhebatku Darias Farita Smid yang telah memberikan semangatnya, pengorbanan, juga do’a demi keberhasilanku , terima kasih sayang ……….

14. Keluargaku, saudara-saudaraku, tetanggaku yang telah memberi semangat dan do’a demi mencapainya keberhasilanku.

15. Sahabat-sahabatku Febrina (bee), Vina Rossa (pince), Uwo Rennyta, Rizki (Kiki), Adelia azela, Ariefandi (Mempreng), Lengkuk, D’ Ria Anggraeni, Syeni (centong), Gusta Kiting, Aulia Zahra, Rani (ani), Abang Satria, Andre Bendol, Wahyu Indra, Cici Asri, dan teman-teman semua yang telah memberi semangat, dorongan dan do’a demi keberhasilanku.

16. Kakak dan adik-adik tersayang, Mbak Anggi, Mbak Ulan, Mba Amel, Ayuk Renny, Mbak Amel, Adek Farich, Rise, Ica, Kak Ayu dan semua yang tidak bisa disebut satu persatu yang telah memberi semangat serta do’a atas keberhasilanku.

17. Nyai dan Alm. Yai, Alm. Eyang Kakung, Alm. Eyang Putri, Datuk Buyung dan Nenek Eli, Mbah Amatdan Mbah Sami yang telah memberikan Do’a untuk keberhasilanku.


(55)

18. Om-om dan Tante-tanteku, Bude Nas, Pakde Saleh, Bude Tin, Bude Kom, Bude Susi alm., Wak mama, Wak papa alm., Wak ayah , Wak ibu, Cik Yan, Cik Eni, Cik Okta, Cik Ratna, Ujuk Ujang, Cik Lisa dan semua yang tidak bisa disebut satu persatu, terimakasih atas bantuan, danyang telah memberikan semangat serta do’a untuk keberhasilanku.

19. Semua pihak-pihak yang telah membantu dan meluangkan waktunya untuk penyelesaian Skripsi ini, Terimakasih banyak, semoga kebaikan kalian di balas oleh Allah SWT.

20. Almamaterku tercinta yang sudah memberi banyak wawasan dan pengalaman berharga. Aku Bangga memakaimu …..

21. Kampusku tercinta yang telah memberikan aku banyak cerita-cerita pengalaman, baik suka maupun duka, dan ilmu pengetahuan yang sangat berharga. Terimakasih kampusku….

Penulis menyadari segala kekurangan dan keterbatasannya dalam penyusunan skripsi ini, untuk itu atas segala keterbatasan yang ada maka penulis dengan senang hati menerima segala kritikan dan saran demi kesmepurnaan penyusunan skripsi ini.

Akhirnya penulis berharap, semoga Allah SWT membalas segala yang diberikan oleh semua pihak dalam penulisan skripsi ini dan semoga skripsi ini akan bermanfaat bagi para pembaca. Amin ….

Bandar Lampung, 2012 Penulis,


(56)

(1)

RIWAYAT HIDUP

Penulis di lahirkan di Metro pada tanggal 03 Januari 1989, merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak. Alm. Heru Suwantoro dan Ibu Herlina.

Penulis menyelesaikan pendidikan formal pada Sekolah Taman Kanak – Kanak di TK Pertiwi Teladan Metro pada Tahun 1995, Pada Tahun 2001 Penulis menamatkan Sekolah Dasar di SDN Pertiwi Teladan Metro, Menamatkan Sekolah Menengah Pertama di SMPN 02 Metro. Pada Tahun 2004 dan pada tahun 2007 Penulis menamatkan Sekolah Menengah Atas di SMUN 04 Metro.


(2)

SANWACANA

Alhamdulilah segala puji bagi kehadirat Allah SWT, karena hanya dnegan segala limpahan rahmat, hidayah, karunia dan ridhonya, penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul : “Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Sistem Hukum Pidana Di Indonesia”, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Penulis menyadari bahwa dalam menyusun dan menyelesaikan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang tulus dan sebesar–besarnya kepada :

1. Bapak Dr. Heryandi,S.H.,M.S selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Bapak Eko Raharjo, S.H.,M.H. selaku Dosen bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung serta selaku Dosen Pembahas I yang telah memberikan saran dan masukan-masukan sehingga proses penyelesaian Skripsi dapat berjalan dengan baik.

3. Bapak Tri Andrisman, S.H.,M.H. selaku dosen pembimbing I, yang telah meluangkan waktu untuk memberikan dukungan, pengarahan , motivasi dan sumbangan pemikiran, sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi.


(3)

4. Ibu Maya Shafira, S.H.,M.H. selaku Dosen Pembimbing II, yang telah memberikan bimbingan, dorongan dan semangat kepada penulis dalam menyusun dan menyelesaikan Skripsi ini, Thanhs MOM ………….

5. Ibu Rini Fatona,S.H.,M.H. selaku Dosen Pembahas II yang telah sudi meluangkan waktu untuk memberikan dukungan, motivasi dan sumbangan pemikiran sehingga selesainya skripsi ini, terima kasih Ibuku ……..

6. Bapak Heni Siswanto,S.H.,M.H.selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang selalu memberikan semangat, dorongan dan do’a dalam penyelesaian skripsi ini, terima kasih Bapakku ……….

7. Seluruh dosen dan staf Fakultas Hukum Universitas Lampung yang tidak dapat penulis sebutkan satu perasatu, terima kaish telah memberikan bekal ilmu pengetahuan, bimbingan dan bantuan kepada penulis selama menjadi Mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Lampung,

8. Mbak Sri, Mbak Yanti, Ibu Arnia, Mba Yani, Babe-babe, selaku staf baik diluar maupun didalam akademik dan satpam di Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan dorongan, bantuan juga do’a nya hingga Skripsi ini selesai.

9. Mamaku tercinta Herlina, terima kasih untuk setiap pengorbanan, kesabaran dan kasih sayang yang tulus dan tanpa batas serta doa yang tiada henti demi hidup dan keberhasilanku, Apin sayang Mama…….


(4)

10. Papaku tercinta Alm. Heru Suwantoro, trimakasih atas kasih sayang dan waktu untuk kebersamaan bersama keluarga, Apin kangen banget sama Papa :’) …

11. Adikku Semata Wayang R. Subhan Fanatagama Terimakasih buat semangat, dorongan dan do’a demi keberhasilan mbak.

12. Anak Ku tersayang Caren Nabila (biaaa) semangatku dalam perjuangan, hiburanku dalam penat, tawaku dalam kesedihan, terimakasih sayang mimiiih….

13. Lelaki terhebatku Darias Farita Smid yang telah memberikan semangatnya, pengorbanan, juga do’a demi keberhasilanku , terima kasih sayang ……….

14. Keluargaku, saudara-saudaraku, tetanggaku yang telah memberi semangat dan do’a demi mencapainya keberhasilanku.

15. Sahabat-sahabatku Febrina (bee), Vina Rossa (pince), Uwo Rennyta, Rizki (Kiki), Adelia azela, Ariefandi (Mempreng), Lengkuk, D’ Ria Anggraeni, Syeni (centong), Gusta Kiting, Aulia Zahra, Rani (ani), Abang Satria, Andre Bendol, Wahyu Indra, Cici Asri, dan teman-teman semua yang telah memberi semangat, dorongan dan do’a demi keberhasilanku.

16. Kakak dan adik-adik tersayang, Mbak Anggi, Mbak Ulan, Mba Amel, Ayuk Renny, Mbak Amel, Adek Farich, Rise, Ica, Kak Ayu dan semua yang tidak bisa disebut satu persatu yang telah memberi semangat serta do’a atas keberhasilanku.

17. Nyai dan Alm. Yai, Alm. Eyang Kakung, Alm. Eyang Putri, Datuk Buyung dan Nenek Eli, Mbah Amatdan Mbah Sami yang telah memberikan Do’a untuk keberhasilanku.


(5)

18. Om-om dan Tante-tanteku, Bude Nas, Pakde Saleh, Bude Tin, Bude Kom, Bude Susi alm., Wak mama, Wak papa alm., Wak ayah , Wak ibu, Cik Yan, Cik Eni, Cik Okta, Cik Ratna, Ujuk Ujang, Cik Lisa dan semua yang tidak bisa disebut satu persatu, terimakasih atas bantuan, danyang telah memberikan semangat serta do’a untuk keberhasilanku.

19. Semua pihak-pihak yang telah membantu dan meluangkan waktunya untuk penyelesaian Skripsi ini, Terimakasih banyak, semoga kebaikan kalian di balas oleh Allah SWT.

20. Almamaterku tercinta yang sudah memberi banyak wawasan dan pengalaman berharga. Aku Bangga memakaimu …..

21. Kampusku tercinta yang telah memberikan aku banyak cerita-cerita pengalaman, baik suka maupun duka, dan ilmu pengetahuan yang sangat berharga. Terimakasih kampusku….

Penulis menyadari segala kekurangan dan keterbatasannya dalam penyusunan skripsi ini, untuk itu atas segala keterbatasan yang ada maka penulis dengan senang hati menerima segala kritikan dan saran demi kesmepurnaan penyusunan skripsi ini.

Akhirnya penulis berharap, semoga Allah SWT membalas segala yang diberikan oleh semua pihak dalam penulisan skripsi ini dan semoga skripsi ini akan bermanfaat bagi para pembaca. Amin ….

Bandar Lampung, 2012 Penulis,


(6)