Terhambatnya Kegiatan Penyaluran Bantuan oleh LSM Lokal

Hal seperti ini tentu saja menghambat proses penyelesaian konflik melalui mediasi yang biasanya dilakukan oleh para aktivis-aktivis penggerak dibidang kemanusiaan. Sehingga merugikan rakyat Aceh secara menyeluruh. Baik secara moril maupun materil. Pemerintah Indonesa tidak hanya membatasi, atau bahkan menutup akses bagi para aktivis dan LSM, tetapi juga memperketat segala bentuk bantuan yang disalurkan ke Aceh, baik berupa kebutuhan logistik atau sarana kesehatan yang memadai bagi masyarakat Aceh.Tindakan ini menimbulkan masalah baru bagi masyarakat Aceh, dimana bukan hanya militer Indonesia yang mengancam kehidupan mereka, tetapi juga penyakit dan kekurangan bahan pangan turut menjadi sebuah ancaman baru. Akses media massa untuk masuk ke NAD pada minggu pertama masa darurat militer secara relatif cukup terbuka, hingga mencuat serangkaian laporan mengenai pelanggaran HAM yang dilakukan oleh militer, termasuk pembunuhan anak-anak secara tak sah.hal membuat diberlakukannya pembatasan-pembatasan 17 . Sejak saat itu para wartawan Indonesia berada di bawah tekanan berat dan hanya boleh melaporkan peristiwa sesuai dengan versi pemerintah saja, tanpa menguak secara benar hal-hal buruk yang terjadi di Aceh selama operasi militer dilancarkan. Sementara para wartawan internasional menghadapi kesulitan dalam mendapatkan ijin untuk melakukan perjalanan ke Aceh. 17 Indonesia: Protecting the protectors: Human rights defenders and humanitarian workers in Nanggroe Aceh Darussalam, Amnesty International, AI Index: ASA 210242003, 3 Juni 2003 and Indonesia: Aceh Under Martial Law: Muzzling the Messengers: Attacks and Restrictions on the Media ,” Human Rights Watch, November 2003. Mulanya militer tidak mengijinkan para anggota badan-badan PBB yang memiliki “buku biru” untuk melakukan perjalanan ke luar Banda Aceh.Meskipun pembatasan ini kelihatannya sudah sedikit diperlunak, garis panduan keamanan PBB tidak membolehkan perwakilannya meninggalkan akses kepada bantuan-bantuan kemanusiaan 18 . Selain itu, hal ini juga sangat terganggu dengan dikenakannya pembatasan pada pekerjaan-pekerjaan organisasi kemanusiaan internasional. Di bawah dekrit yang dikeluarkan pada akhir bulan Juni 2003, pemerintah Indonesia menerapkan satu sistem, dimana para staff internasional diharuskan meminta ijin kepada pemerintah atau biasa disebut sebagai „buku biru‟ guna melakukan perjalanan ke ibukota propinsi, di Banda Aceh. Ijin tambahan kemudian diperlukan pula dari pemerintah propinsi sebelumnya yang memegang kekuasaan adalah militer, kini pemerintahan sipil lagi untuk mendapatkan ijin melakukan perjalanan keluar Banda Aceh. Sejak diterapkannya darurat militer, sangat jarang “buku biru” dikeluarkan. Proses untuk mendapatkannya digambarkan oleh merek a yang telah menjalaninya sebagai “birokratis dan benar-benar mimpi buruk”. Sekalipun mendapat ijin, akses bagi para pekerja kemanusiaan internasional tetap dibatasi baik dalam hal waktu, seberapa lama mereka bisa berada di propinsi itu biasanya hanya beberapa minggu saja maupun 18 Mulanya militer tidak mengijinkan para anggota badan- badan PBB yang memiliki “buku biru” untuk melakukan perjalanan ke luar Banda Aceh. Meskipun pembatasan ini kelihatannya sudah sedikit diperlunak, garis panduan keamanan PBB saat ini tidak membolehkan perwakilannya meninggalkan ibukota propinsi itu tempat-tempat dan daerah mana saja yang bisa dikunjungi. Walau memang sejumlah perbaikan dalam hal akses yang diberikan oleh pemerintah Indonesia pada permulaan keadaan darurat militer telah dilaporkan pada badan-badan PBB, tetapi hal yang sama tidak didapatkan oleh organisasi- organisasi kemanusiaan untuk bisa menerapkan program mereka. Dilaporkan juga bahwa akses masuk terutama sangat sulit ke daerah-daerah yang dipandang sebagai daerah kedudukan GAM atau daerah yang ditentukan s ebagai “daerah-daerah hitam” oleh penguasa militer. Dari sejumlah daerah-daerah ini diyakini tidak ada akses masuk sama sekali bagi para pegiat kemanusiaan independen sejak bulan Mei 2003. Dengan tidak adanya pegiat kemanusiaan yang independen dan berkualifikasi di Aceh, tidaklah mungkin membuat penilaian yang bermakna mengenai situasi kemanusiaan di propinsi itu, meskipun berdasarkan pemberitaan yang dilaporkan melalui media massa menunjukkan bahwa kegiatan perekonomian sudah mulai membaik. Akan tetapi, Amnesty International mendapatkan informasi dari sejumlah pengungsi Aceh bahwa komunitas mereka dalam beberapa kesempatan sempat menghadapi kekurangan makanan. Kekurangan makanan seperti itu biasa dilaporkan terjadi di daerah-daerah pedesaan pada saat-saat puncak operasi militer dimana para penduduk desa tidak bisa mengurusi sawah dan kebun mereka, atau tidak bisa pergi ke hutan untuk mencari makanan. Selain itu, pembatasan diberlakukan untuk beberapa minggu. Sejumlah orang mengeluh bahwa pada saat mereka kembali ke sawah, ladang atau kebun mereka, mereka mendapatkan tanaman mereka sudah dirusak atau dicuri. Pasukan kemanan juga dicurigai melakukan pemerasan, meskipun tidak hanya terjadi dalam operasi militer sekarang ini, tetapi memberikan beban tambahan bagi perseorangan dan usaha-usaha. Kebanyakan pemerasan dilaporkan hanya berskala kecil, biasanya dalam bentuk permintaan untuk “uang rokok” atau bon restoran yang tidak dibayar. Namun, pemilik usaha yang lebih besar telah melaporkan dipaksa untuk membuat perjanjian perlindungan dengan militer. GAM juga bertanggung jawab karena melakukan pemerasan, meskipun kapasitas mereka dalam melakukan praktek-praktek semacam itu sangat mungkin telah berkurang di bawah kampanye darurat militer. Keterbatasan yang diberikan oleh pemerintah Indonesia terhadap penyaluran bantuan dari LSM lokal maupun Internasional tentu saja menambah kesulitan warga Aceh untuk terbebas dari ancaman lebih lanjut dan penekanan yang dilakukan oleh meliter. Pemerintah indonesia tidak hanya sekedar mempersulit dengan memberi batasan terhadap akses yang yang diberikan pada para pelaku aktivis kemanusian, tetapi semakin jauh justru mulai menutup jalur bantuan tersebut. Pemerintah menutup akses bagi media massa untuk meliput keadaan dan kondisi Aceh pada saat dinaikanya status keamanan militer pada DOM. Penutupan akses ini tentu saja menyebabkan kesulitan pada pihak-pihak, seperti reporter berita, dan aktivis kemanusiaan untuk mengetahui kondisi sebenarnya di Aceh. Sebenarnya pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah tidak hanya mengenai penutupan akses semata. Pemerintah juga diketahui melakukan penangkapan, pemenjaraan, dan peradilan pada beberapa aktivis kemanusiaan yang sering di disebut sebagai tahanan hati nurani yang bekerja atas dasar semata-mata untuk kedamaian dan meluruskan peradilan yang tidak adil. Penangkapan pun dilakukan pada para wartawan. Penangkapan yang berakhir dengan dijatuhi hukuman pada para tahanan tersebut tanpa terlebih dahulu dilakukan penyelidikan. Pemerintah Indonesia dengan alibi mencurigai setiap orang sebagai pemberontak dengan leluasa menangkap para aktivis kemanusian dan para wartawan tersebut yang kemudian dijatuhi hukuman tanpa memfasilitasi peradilan yang selayaknya. Penderitaan para tahanan yang dijatuhkan hukuman sepihak tersebut tidak hanya berakhir sampai dipenjara saja. Sebagian dari para tahanan tersebut juga mendapat perlakuan buruk selama masa tahanan di penjara.mereka mendapatkan penyiksaan secara fisik dan mental. Penyiksaan tersebut dilakukan guna menyelidiki kegiatan para pemberontak yang mungkin dapat dilakukan.Hanya saja penyiksaan yang tidak berperikemanusian tersebut tidak dapat membedakan antara warga sipil, aktivis, wartawan, dan para pemberontak. Operasi-operasi militer mungkin juga dengan buruk mempengaruhi akses masyarakat umum kepada perawatan kesehatan serta pendidikan. Sejumlah pengungsi di Malaysia mengatakan kepada Amnesty International bahwa klinik-klinik kesehatan primer di desa mereka telah ditutup sejak permulaan masa darurat militer. Menurut sebuah laporan yang belum bisa diverifikasi dari Peureulak, di Kabupaten Aceh Timur, pada bulan Januari 2004 para perawat dan bidan dilarang bekerja di puskesmas-puskesmas di daerah pedesaan di kabupaten itu sebab mereka dicurigai memberikan bantuan kesehatan kepada GAM. Selain itu, sekitar 600 sekolah dibakar dalam minggu-minggu pertama darurat militer. Penangkapan seorang guru yang kemudian dipenjara atas tuduhan menerima dana dari GAM 19 . Hal ini tentu saja mempersulit anak-anak Aceh untuk mendapatkan pendidikan dengan layak. Menurut beberapa informasi dan beberapa orang yang diwawancara menyatakan bahwa kesulitan ekonomi yang diakibatkan keadaan darurat militer membuat uang sekolah terasa sangat mahal bagi sejumlah keluarga. Hal ini membuat banyak anak-anak di Aceh yang kesulitan dalam mengakses pendidikan mereka. Hingga banyak dari anak-anak di Aceh yang menunda masa sekolahnya. 19 Suspected Indonesian rebels tell of jailhouse terror”, The Taipei Times, 7 Desember 2003 36 BAB III POSISI INDONESIA DI MATA DUNIA INTERNASIONAL DALAM KASUS PELANGGARAN HAM DI ACEH BAB ini akan membahas bagaimanaPengaruh kasus pelanggaran HAM di Aceh yang dilakukan oleh militer Indonesia, terhadap hampir sebagian warga sipil di aceh bagi Indonesia di ranah internasional, baik dalam pemikiran Negara- negara tetangga, organisasi internasional, PBB, dan NGO‟lsm yang bergerak dalam bidang kemanusiaan, serta dampaknya terhadap posisi Indonesia di dunia Internasional. Sejak pemerintah Indonesia melancarkan agresi militernya ke beberapa wilayah di Aceh yang dianggap sebagai markas dan tempat perkumpulan kelompok gerakan separatisme Gerakan Aceh Mardeka GAM, dan menjadikan wilayah tersebut sebagai Daerah Operasi Militer DOM, pemerintah Indonesia sedikit demi sedikit mulai membatasi kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh sekelompok organisasi apapun, baik pada tingkat lokal maupun pada lavel internasional di wilayah tersebut. Pemerintah Indonesia juga mulai menutup segala bentuk akses yang bersifat informatif dan mulai memperketat segala bentuk kepentingan apapun yang berhubungan dengan Aceh. Tindakan pemerintah Indonesia yang sangat tertutup tersebut menimbulkan kecurigaan beberapa kalangan dan memancing rasa ingin tahu aktor-aktor Internasional mengenai fakta-fakta yang sangat dilindungi kerahasiaan nya oleh negara tersebut 20 . Kecurigaan tersebut samakin meningkat setela pemerintah bener-benar menutup akses pada segala kepentingan yang akan dilakukan di Aceh. Meski pemerintah Indonesia telah memperketat keamanan di Aceh, dan menangkap orang-orang atau kelompok yang dicurigai sebagai anggota pergerakan, kekejaman yang dilakukan oleh militer Indonesia terhadap masyarakat Aceh mulai terkuak dan diketahui secara Internasional. Informasi yang berhasil dikumpulkan oleh para aktivis yang bergerak dibidang kemanusiaan, para reporter, wartawan dari pers lokal maupun pers internasional, dan dari para pengungsi yang berhasil menyelamatkan diri dengan meninggalkan Aceh dan mengungisi keberbagai daerah lain, bahkan hingga ke Malaysia, menyatakan bahwa Aceh berada pada situasi yang sangat memprihatinkan. Hal tersebut karena tindakan kesewenang wenangan para militer yang membantai habis warga Aceh tanpa membedakan terlebih dahulu antara kelompok pemberontak dan warga sipil 21 . Bahkan wanita dan anak-anak pun menjadi korban penyiksaan dan penganiayaan yang dilakukan oleh anggota militer 22 . Segala fasilitas umum dirusak dengan sengaja dengan amukan yang membabi buta yang dilakukan oleh militer RI. Pemerintah Indonesia juga dianggap melindungi tindakan militernya yang sewenang-wenang terhadap warga Aceh tersebut dan dianggap sebagai tindakan yang tentu saja melanggar Hak Asasi Manusia, serta melanggar hukum 20 Bacalah dokumen Amnesty International: Indonesia: “Shock Therapy”, Restoring Order in Aceh, 1989-1993, AI Index: ASA 210793, Juli 1993 21 Indonesia: Penangkapa n dan Perlakuan terhadap para Aktifis di Aceh”, 5 Maret 2004, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat. 22 Bantuan kemanusiaan dibutuhkan untuk anak- anak di Aceh”, UNICEF, 23 Mei 2003. internasional. Hal tersebut memancing respon dari dunia internasional untuk turut andil dalam upaya menghentikan tindakan pemerintah Indonesia dari segala segala bentuk pelanggaran HAM di Aceh, dan mengembalikan hak mereka serta memberi perlindungan kepada seluruh warga Aceh dari segala bentuk kekerasan, penyiksaan, hingga pembunuhan. Sayangnya, pemerintah menyambut negatif segala bentuk kampanye yang dilakukan oleh kelompok-kelompok aktivis yang meminta agar pemerintah Indonesia menghentikan aksi anarkis militer di Aceh. Pemerintah indonesia justru memperketat segala bentuk bantuan yang masuk ke Aceh melalui para aktivis-aktivis tersebut, dan menutup segala bentuk informasi mengenai kondisi Aceh dari dunia Internasional. Instrumen HAM Internasional Tercantum di dalam The Universal Declaration of Human Rights Piagam HAM PBB Piagam tersebut dihasilkan oleh Komisi Hak Asasi Manusia PBB pada sidangnya tanggal 10 Desember 1948. Kalimat utama mukadimah deklarasi menyatakan : “ Pengakuan terhadap martabat yang melekat dan terhadap hak-hak yang sepadan, dan tidak dapat diganggu gugat dari semua masalah adalah dasar untuk kebebasan, keadilan dan kedamaian dunia. “ Pasal-pasal deklarasi itu menyatakan bahwa semua orang sederajat dihadapan Undang-Undang. Deklarasi tersebut dimantapkan dengan dokumen lainnya yang merupakan kesepakatan internasional untuk dijadikan acuan bagi pengertian HAM, yaitu : a. Perjanjian internasional tentang hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, b. Perjanjian internasional tentang hak-hak sipil dan politik, melalui deklarasi dan dokumen tersebut secara normative kedudukan individu manusia dengan segala hak-haknya telah memperoleh pengakuan masyarakat internasional. Pada tanggal 10 Desember 1984 Majelis Umum PBB secara consensus menyetujui rancangan konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam dan tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia. Konvensi ini berlaku secara efektif pada tanggal 26 Juni 1987.Pemerintah Indonesia merespon konvensi ini dengan menandatanganinya pada tanggal 23 Oktober 1985 dan kemudian disahkan menjadi UU RI No. 5 Tahun 1988. Masalah Hak Asasi Manusia mempunyai dimensi internasional sejalan dengan pengertian bahwa nilai-nilai HAM mempunyai sifat universal secara menyeluruh diseluruh belahan dunia. HAM adalah milik dan kebutuhan semua manusia tanpa pandang bulu. Ini berarti penyelewengan dan pelanggaran HAM merupakan kepedulian semua orang dari Negara manapun.Norma semacam inilah yang berlaku di Negara-negara maju. Itulah sebabnya mereka secara terbuka melakukan kritik tajam terhadap tiap Negara yang dinilai melakukan pelanggaran HAM. Sementara itu, Indonesia dianggap melakukan kejahatan internasional karena melakukan pelanggaran hukum internasional mengenai pelanggaran Hak Asasi Manusia pada lavel terberat dan tidak memberikan perlindungan hak yang semestinya diberikan oleh negara kepada setiap warga negaranya 23 . Anggapan ini tentu saja memberikan dampak buruk bagi Indonesia dan mempengaruhi bentuk politik dalam negeri, maupun politik luar negeri pemerintahan Indonesia. 23 lurnal llmu Sosial IImu Politik, VoI 8, No. 3, Maret 2005

A. Dampak dan Pengaruh Pelanggaran HAM di Aceh Terhadap Posisi

Indonesia Dimata Dunia Internasional. Kasus pelanggaran HAM yang dilakukan oleh militer Indonesia terhadap warga Aceh memancing simpati dari bayak kalangan, seperti NGO‟s, kaum akademisi, dan bebarapa negara-negara tetangga. Aktor-aktor internasional tersebut menekan pemerintah Indonesia agar menghentikan aksi militer yang diturunkan oleh pemerintah pada wilayah-wilayah yang menjadi target Operasi Jaring Merah. Berbagai upaya dilakukan oleh para aktivis kemanusiaan, seperti Amnesty Internasional untuk mengorek informasi segala tindakan yang dilakukan oleh militer terhadap warga Aceh.Informasi inilah yang akandijadikan sebagai alat untuk mengumpulkan simpatisan dari dunia Internasional agar turut memberikan tekan pada pemerintah Indonesia untuk menghetikan aksi kekerasan di wilayah Daerah Operasi Militer DOM. Adapun dampak dari upaya-upaya tersebut berupa; 1. Indonesia Mendapatkan Tekanan dari Negara-Negara Tetangga Melalui Pemerintahan Kedua Pemerintahan kedua meminta agar pejabat kedutaan mereka di Jakarta bisa mengunjungi Aceh secara teratur. Pada kunjungan- kunjungan semacam itu para pejabat itu harus menemui LSM-LSM setempat, termasuk para anggota kelompok bantuan hukum yang terlibat dalam pembelaan para tahanan politik. Mereka juga harus meminta untuk diijinkan mengunjungi tempat-tempat penahanan, baik tahanan militer maupun kepolisian, serta mengamati sidang-sidang pemeriksaan terhadap para tersangka yang dicurigai dan dituduh sebagai anggota GAM. Para pemerintahan kedua juga melarang pengiriman senjata ke Indonesia saat militer dan polisi Indonesia masih terus melakukan pelanggaran HAM berat. Melihat adanya pelanggaran secara ekstensif dan terus menerus terhadap hak-hak mendasar oleh pasukan-pasukan militer Indonesia, pelatihan internasional atau bantuan teknis mana pun yang diberikan kepada pasukan keamanan Indonesia tidak boleh menyertakan pelatihan operasional sampai pertanggung-gugatan secara serius atas tidak adanya sistem yang memadai Amnesty International Oktober 2004 AI Index: ASA 210332004. 2. Peranan Komunitas Internasional yang Turut Melakukan Penekanan Terhadap Pemerintahan Indonesia Upaya untuk menemukan jalan keluar melalui perundingan di Aceh mendapat dukungan masyarakat internasional. Kesepakatan CoHA mendapatkan dukungan politik dan finansial dari berbagai pemerintahan kedua dan lembaga-lembaga keuangan internasional, terutama pemerintah Amerika Serikat dan Jepang, Uni Eropa serta Bank Dunia. Mereka dikenal sebagai “kelompok Tokyo” karena ikut mengetuai Konferensi Persiapan bagi Perdamaian dan Rekonstruksi di Aceh yang dilangsungkan di Tokyo, Jepang pada tanggal 3 Desember 2002 http:news.liputan6.comread54316teuku-kamaruzzaman-gam-