Peran Gereja dalam Upaya Mewujudkan Perdamaian di Porto-Haria

33 BAB III UPAYA DAN KENDALA REKONSILIASI KONFLIK PORTO-HARIA Konflik Porto-Haria yang mewujud dalam aksi kekerasan kolektif telah menelan korban jiwa dan materi yang cukup banyak dari masyarakat Porto-Haria. Pertanyaan yang muncul terhadap realita konflik ya ng terjadi adalah “Mengapa konflik Porto- Haria terus terjadi?”, “Apa saja yang telah dilakukan pemerintah dalam upaya menanggulangi konflik tersebut?”, “Bagaimana peran gereja dalam upaya mewujudkan perdamaian di Porto- Haria?”, “Faktor-faktor apa yang berperan di dalamnya?”, “Adakah pihak yang secara sengaja memainkan faktor-faktor tersebut?”, “Kalau ada, siapa mereka?”, “Apa motif dan tujuan pihak-pihak tersebut?”. Dalam Bab III ini penulis tidak bermaksud mengungkapkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut secara menyeluruh dan tuntas. Bab ini juga tidak dimaksud untuk memuat kronologi konflik Porto-Haria dari waktu ke waktu secara lengkap, tetapi ada beberapa hal yang dirasa perlu untuk digambarkan dan atau dikutip. Bab ini hanya bermaksud mengungkapkan dan menjelaskan peran GPM dalam proses rekonsiliasi konflik yang terjadi di Porto-Haria.

3.1. Peran Gereja dalam Upaya Mewujudkan Perdamaian di Porto-Haria

Konflik adalah bagian inheren dari perkembangan masyarakat. Konflik antara Negeri Porto dan Negeri Haria sangat membingungkan semua orang, karena seluruh masyarakat 34 kedua negeri ini menganut agama Kristen. Suatu keyakinan yang mencuat dalam konflik yang berkepanjangan ini adalah masalah tanah atau batas negeri. GPM sebagai salah satu lembaga yang dipercaya oleh masyarakat kedua negeri, melakukan berbagai upaya dalam proses mewujudkan rekonsiliasi. Upaya-upaya yang dilakukan GPM guna mewujudkan perdamaian antara Negeri Porto dan Haria adalah: 1. Kunjungan dari Rumah ke Rumah Pada tahun 2002, gereja telah memulai upaya rekonsiliasi dan melakukan pergumulan. Dalam proses ini, pimpinan Sinode turun ke Negeri Porto-Haria, untuk mengadakan kunjungan keluarga dari rumah ke rumah bersama seluruh pendeta di Lease Pulau Saparua, Haruku dan Nusa Laut. Saat itu GPM sudah siap untuk meletakkan salib dan tugu perdamaian di batas kedua negeri, tetapi berhubung saat itu belum ada batas, maka ada pihak yang tidak puas atau keberatan dengan penempatan batas tersebut. Sehingga pihak yang keberatan melihat tugu perdamaian tersebut bukan sebagai tanda bahwa mereka telah mengangkat janji untuk berdamai di hadapan Tuhan, melainkan hanya sekedar sebagai pembatas, sehingga konflik kembali terjadi. 1 Upaya rekonsiliasi ini tertunda karena adanya beda pemahaman, pengertian umat dan adanya ego anak Negeri yang begitu kuat, sehingga butuh waktu untuk menyukseskannya. 2 1 Hasil wawancara dengan Pdt. Jefry Salato Leatemia Ketua Majelis Jemaat Haria pada tanggal 18 Agustus 2015. 2 Hasil wawancara dengan Pdt. Samuel Tahalele Ketua Majelis Jemaat Porto pada tanggal 19 Agustus 2015. 35 2. Bimbingan Khusus Dalam rangka meredam konflik Porto-Haria maka atas prakarsa Sinode GPM, gereja telah melakukan bimbingan dan jenis bimbingannya tidak dilakukan secara umum, melainkan dilakukan dengan cara melakukan perkunjungan dari rumah ke rumah baik untuk Jemaat Porto maupun Jemaat Haria. Bimbingan ini dilakukan oleh semua Pendeta Jemaat Se-Klasis Pulau-pulau PP Lease dan dilakukan selama 4 empat hari. Materi pembinaannya antara lain 3 :  Mengajak warga jemaat agar sedapat mungkin bisa meredam emosi, dan jangan sekali-kali terpengaruh oleh isu-isu negative yang sementara berkembang.  Pengorbanan Yesus Kristus merupakan motivasi bagi warga gereja untuk mengorbankan tenaga dan pikiran pada hal-hal yang positif. Dengan kata lain, jemaat harus ikut berperan untuk mengajak orang lain untuk menghindar dari tindakan-tindakan anarkis yang tanpa disadari telah memecah tubuh Kristus.  Mempersiapkan jemaat untuk terlibat dalam pergumulan bersama kedua negeri yang berkonflik, selanjutnya kegiatan pertemuan tersebut diakhiri dengan pergumulan para Pendeta Se-Klasis PP Lease di perbatasan Porto dan Haria. GPM tidak memiliki pedoman penyelesaian konflik yang sudah tertulis atau tersusun dalam satu buku baku. Tetapi cara penyelesaian konflik itu lebih banyak dititikberatkan pada pelayanan yang didaratkan kepada semua umat atau sekmen bina 3 Hasil wawancara dengan Pdt. Jefry Salato Leatemia, Ibid,. 36 serta membangun jaringan kerjasama dengan orang lain untuk melakukan pelatihan-pelatihan dalam penanganan konflik komunal. 4 Dalam ketetapan sidang Sinode GPM ditetapkan sebuah piagam penegasan sikap Sinode GPM terhadap dan di dalam konflik. Dalam piagam tersebut dikatakan bahwa : Tragedi Kemanusiaan ini juga tidak dapat dipahami hanya semata-mata secara sederhana sebagai suatu rencana Allah, yang harus diterima dengan pasrah. Sebab Sinode GPM meyakini, bahwa sesuai dengan hakekatnya, Allah tidak punya rencana jahat kepada manusia ciptaanNya. Bahwa Allah yang berhak memiliki hak pembalasan tidak membalas kejahatan dosa dengan kejahatan. Oleh karena itu Sinode GPM meyakini pula, bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan ini adalah suatu perbuatan manusia yang harus dilawan. Bahwa pertobatan dan pembaharuan demi pembebasan dan pemberdayaan umat harus berwujud perlawanan terhadap segala bentuk kejahatan dan struktur-struktur ketidakadilan. Namun perlawanan ini harus dilandasi dengan prinsip-prinsip cinta kasih. 5 Berdasarkan point kedua dalam piagam penegasan sikap tersebut Sinode GPM juga memahami bahwa tragedi kemanusiaan yang terjadi itu juga bukan semata-mata diterima sebagai suatu rencana Allah terhadap dosa manusia, karena bagi Sinode GPM Allah sendiri tidak punya rencana jahat terhadap umat ciptaanNya. Tragedi kemanusiaan dilihat sepenuhnya sebagai perbuatan manusia yang harus dilandasi dengan prinsip-prinsip cinta kasih. Untuk penanganan konflik komunal, model bimbingan GPM dilakukan dengan menggunakan modul. Modul yang dimaksud di sini bukan berarti modul yang menjadi dasar hukum untuk Pelaksanaan Pembinaan, tetapi dilakukan atas petunjuk 4 Hasil wawancara dengan Pdt. Bpk. Samuel Tahalele, Ibid,. 5 Piagam Penegasan Sikap Sinode GPM, Point ke II. 37 Klasis lewat kedua Pendeta Porto dan Haria sehingga membutuhkan kekreatifan dari peserta, ada arahan, bimbingan tentang apa penyebab konflik, isu kunci dalam konflik, ceramah, bacaan, video, drama, musik dan gambar. GPM memberikan bimbingan khusus yang berhubungan dengan konflik komunal, melatih majelis dan semua simpul pelayanan organisasi perempuan, laki-laki dan lain-lain. Bimbingan ini dilakukan dengan mengadakan pendekatan-pendekatan dari atas, di mana para pendeta berusaha membangun kesadaran dari bawah bottom up karena GPM menganut paham Presbiterial Sinodal. Gereja melihat bahwa sesuatu yang datang dari atas dan bersifat memaksa, tidak akan tertanam dalam hati tiap orang, dan konflik bisa tetap meletup sewaktu-waktu. Gereja membangun kesadaran bahwa konflik adalah sesuatu yang tidak baik dan hanya menimbulkan kerugian pada kedua pihak yang berkonflik. Bimbingan ini merupakan inisiatif Majelis Porto-Haria yang kemudian bekerja sama dengan Klasis dan meminta petunjuk dari Majelis Pekerja Harian MPH Sinode. 6 Yang dibimbing adalah seluruh sekmen bina umat, misalnya: pengasuh, Wadah Pelayanan Perempuan WAPEPE, Wadah Pelayanan Laki-laki WAPELA, Angkatan Muda AM, anak-anak sekolah SMP dan SMA, supir mobil, ojek, pembawa speed boat, orang-orang yang rentan kelompok pemabuk, penjudi, orang yang malas beribadah, Majelis Jemaat dan Pemerintah Negeri. 7 Prosesnya dilakukan lewat khotbah, ceramah, diskusi, bimbingan, pastoralia pendekatan bagi mereka yang rentan, mengisi pikiran-pikiran mereka dengan hal-hal 6 Hasil wawancara dengan Pdt. Bpk. Jefry Salato Leatemia, Ibid,. 7 Hasil wawancara dengan Pdt. Bpk. Samuel Tahalele, Ibid,. 38 yang bermanfaat. 8 Proses ini dilakukan sejak Bulan September 2012 dan tidak ada kendala. 3. Ritual Keagamaan Agama mengandung kekuatan sosial dan cita-cita sosial. Di mana ada kohesi sosial, maka kemungkinan besar kohesi sosial itu diungkapkan secara keagamaan. Upacara-upacara keagamaan merupakan tingkah laku kolektif yang menghubungkan individu dengan kelompok sosial yang lebih luas. Sementara itu, kepercayaan-kepercayaan di dalam agama tidak lain daripada representasi-representasi kolektif atau makna-makna yang dihayati bersama di dalam kelompok yang mengungkapkan sesuatu yang penting tentang kelompok tersebut. 9 Ritus-ritus diselenggarakan untuk meningkatkan kesatuan di dalam kelompok itu. Melalui upacara-upacara keagamaan, para pemeluk agama diperingatkan akan nilai-nilai dan kewajiban-kewajiban yang menyatukan mereka. Oleh sebab itu, penyelenggaraan ritus-ritus keagamaan secara terus-menerus merupakan salah satu cara untuk mempertahankan kohesi sosial di dalam kelompok agama tersebut. 10 Sebagian besar masyarakat kedua negeri yang berkonflik adalah anggota jemaat GPM. Upaya GPMgereja terkait dengan misi gereja-gereja untuk mendirikan tanda-tanda kerajaan Allah berupa pelaksanaan tugas untuk ikut mengusahakan terwujudnya suatu kehidupan yang damai, penuh kasih dan keutuhan ciptaan. Terkait 8 Ibid. 9 Bernard Raho SVD, Agama dalam Perspektif Sosiologi Jakarta: Obor, 2013, 103. 10 Ibid,. 118. 39 dengan upaya-upaya gereja, maka dengan demikian upaya gereja dalam menanggulangi konflik Porto-Haria selama ini bukan dengan kekerasan violence melainkan tanpa kekerasan non-violence. Dalam upayanya untuk mewujudkan suatu perdamaian di antara kedua negeri, para pendeta dari kedua negeri dipanggil Klasis untuk mengadakan “Ritual Keagamaan”. Ritual keagamaan yang dilakukan di kedua Jemaat Porto dan Haria setelah memperoleh petunjuk Klasis antara lain 11 : a. Mengadakan koinonia antar wadah-wadah pelayanan untuk anak remaja, wadah pelayanan perempuan WAPEPE, Angkatan Muda AM dan Wadah Pelayanan Laki-laki WAPELA yang pelaksanaannya dilakukan secara bergiliran. Dengan kata lain, apabila ibadah minggu ini bertempat di Porto, maka jemaat Haria ke Porto, begitupun sebaliknya. b. Memfungsikan kembali wadah organisasi Porto-Haria yang dikenal dengan nama Kring PI PELITA setelah mandek 10 tahun lalu, di mana pengurus organisasinya terdiri atas Jemaat Porto dan Haria. c. Wadah-wadah pelayanan yang berkoinonia dipimpin oleh Pendeta kedua jemaat secara bergiliran kecuali untuk Anak-Remaja dipimpin langsung oleh Kepala Sub Bidang KASUBID Anak Remaja Klasis PP Lease, yang materinya lebih banyak ke perlombaan mewarnai gambar, kecepatan dan ketepatan membuka Alkitab dan rekreasi. 11 Hasil wawancara dengan Pdt. Bpk. Jefry Salato Leatemia, Ibid,. 40 Gereja melihat proses kedamaian ini juga merupakan peran dari TNI-POLRI, namun gereja lebih yakin bahwa proses ini terjadi karena adanya pergumulan antara Pendeta, Raja, Saniri, dan seluruh jemaat. Sehingga sebelum tanggal 27 Desember 2013 tepatnya sehari sebelum hari perdamaian, juga diadakan suatu pergumulan khusus yang dipimpin oleh Ketua Sinode. 12 4. Membangun Jaringan dengan Pemerintah Resolusi konflik dan pembangunan perdamaian adalah upaya untuk menyudahi konflik dengan cara-cara damai atau tanpa kekerasan. Pihak-pihak yang bertikai seringkali tidak melihat jalan keluar untuk menghentikan konflik mereka, oleh karena itu, uluran tangan berbagai pihak seperti pemerintah, lembaga swadaya masyarakat masyarakat sipil, aparat keamanan, pimpinan organisasi keagamaan dan tokoh-tokoh masyarakat sangat diharapkan. Berbagai cara dapat digunakan untuk mencapai perdamaian seperti pemaksaan dengan kekuatan senjata dan politik, perundingan, negosiasi dan diplomasi. 13 Menurut Tahalele: Untuk penyelesaian konflik tidak mungkin gereja bekerja sendiri, karena itu membutuhkan kerjasama dengan pemerintah, membangun relasi, cakapan bersama, diskusi bersama karena masing-masing punya jalur kerja yang harus dipadukan untuk menyelesaikan konflik. 14 Gereja sadar bahwa untuk menyelesaikan konflik, gereja tidak mampu bekerja sendiri. Gereja membutuhkan kerjasama dengan pemerintah untuk membangun relasi 12 Hasil wawancara dengan Pdt. Bpk. Samuel Tahalele, Ibid. 13 Tamrin Amal Tamagola, dkk. Editor: Alpha Amirrachman, Revitalisasi Kearifan Lokal: Studi Resolusi Konflik di Kalimantan Barat, Maluku dan Poso Jakarta Selatan: International Center for Islam and Pluralism, 2007, 335. 14 Hasil wawancara dengan Bpk. Pdt. Samuel Tahalele, Ibid,. 41 dan diskusi bersama karena masing-masing pihak memiliki cara kerja yang harus dipadukan untuk menyelesaikan konflik. Gereja membangun jaringan dengan pemerintah sejak tahun 2012. Ini merupakan inisiatif gereja dan pemerintah. Di mana unsur pemerintah yang terlibat adalah Gubernur, Bupati, Camat, pemerintah desa, Komisi Nasional KOMNAS Hak Asasi Manusia HAM Perwakilan Maluku, Tentara Nasional Indonesia TNI - Polisi Republik Indonesia POLRI dan semua stakeholder lainnya. 15 Karel Alberth Ralahalu yang saat konflik menjabat sebagai Gubernur Maluku berulang kali berkunjung ke kedua negeri serta berdialog dengan seluruh warganya, melakukan mediasi antara pemuka masyarakat, tokoh agama dan tokoh pemuda kedua negeri, termasuk para Raja se-Pulau Saparua guna membicarakan solusi penyelesaian dan perdamaian, tetapi konflik tak kunjung berakhir. Begitu pun mediasi dan sosialisasi yang dilakukan tokoh agama termasuk Ketua Sinode GPM bersama warga kedua desa, tak kunjung membuahkan hasil. Dalam proses perdamaian ini TNI - POLRI sangat berperan aktif. Keberadaan Yonif 731 KABARESI yang bertugas di Porto dan Haria merupakan intruksi Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah. Adapun langkah-langkah yang ditempuh adalah 16 : - Mengarahkan masyarakat kedua negeri untuk menyerahkan alat-alat perang sampai dengan batas waktu yang telah ditetapkan yaitu dalam 10 hari. 15 Hasil wawancara via telepon dengan Pdt. Bpk, Samuel Tahalele dan Pdt. Bpk. Jefry Salato Leatemia, pada tanggal 19 Oktober 2015. 16 Hasil wawancara via telepon dengan Bpk. Nus Tamaela, anggota jemaat Negeri Haria pada tanggal 19 November 2015. 42 - Mengadakan sweeping alat-alat perang di Negeri Porto dan Haria dengan melibatkan satuan BRIMOB yang ditempatkan di Saparua. - Memberlakukan jam malam. Batas waktu untuk masyarakat beraktifitas sampai dengan pukul 20.00 WIT jam 8 malam. - Berpatroli setiap pagi, siang dan malam hanya untuk mengamati berbagai aktivitas masyarakat. - Memberikan perhatian khusus kepada para pemakai Minuman Keras MIRAS terutama pada kalangan pemuda kedua negeri. Menurut pengamatan mereka MIRAS-lah yang merupakan pemicu terjadinya konflik. TNI ditempatkan di Porto-Haria sejak tahun 2013. Aparat TNI dan POLRI yang bertugas di wilayah tersebut secara continue melakukan sweeping serta melakukan pendekatan-pendekatan dan himbauan agar warga kedua negeri bersedia menyerahkan senjata tajam, senjata api rakitan, bahan peledak maupun amunisi yang masih disimpan. Selain itu, juga dibentuk Tim 10 yang beranggotakan masing-masing 5 orang tokoh masyarakat dari kedua negeri dan perlombaan-perlombaan. Salah satu perlombaan yang disponsori Yonif 731 KABARESI adalah lomba gerak jalan cepat yang diikuti oleh 64 regu yang setiap regunya terdiri dari 10 sepuluh orang yakni 5 lima orang dari Porto dan 5 lima orang dari Haria. 17 Kehadiran TNI - POLRI di 17 Hasil wawancara dengan Bpk. Wellem Manuhuttu Sekretaris Negeri Haria, pada tanggal 26 April 2015. 43 kedua negeri berdampak sangat baik, karena sejak kehadiran KABARESI, mereka dapat menetralisir kondisi kedua negeri ini. 18 5. Pergumulan Peringatan Hari Perdamaian Tanggal 27 Desember 2013, diperingati sebagai Hari Perdamaian Negeri Porto-Haria. Oleh karena itu, GPM Porto-Haria mengadakan pergumulan setiap tanggal 27 bulan berjalan secara bergilir di depan salib dan tugu perdamaian yang didirikan di kedua negeri untuk memperingati komitmen kedua negeri untuk berdamai. Pergumulan ini diikuti oleh pemerintah negeri, petugas keamanan, guru dan majelis. 19 Dengan melihat daftar pihak yang turut serta dalam konflik, mungkin akan muncul pertanyaan, “Mengapa masyarakat biasa tidak diikutsertakan?”. GPM melihat pemerintah negeri, petugas keamanan, guru dan majelis sudah merupakan representasi dari semua masyarakat dan umat. Sebagian dari mereka, termasuk warga jemaat yang berkonflik. Bukankah mereka sudah memiliki pekerjaan? Untuk apa terlibat konflik? Perlu diingat bahwa salah satu pemicu terjadinya konflik adalah masalah tapal batas. Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa konflik ini berhubungan dengan identitas dan kekuasaan. Tetapi ada juga pergumulan-pergumulan di Gereja, unit, sektor, wadah-wadah pelayanan yang melibatkan seluruh umat. 20 18 Hasil wawancara dengan Pdt. Bpk. Samuel Tahalele, Ibid. 19 Hasil wawancara dengan Pdt. Bpk. Jefry Salato Leatemia, Ibid. 20 Hasil wawancara dengan Pdt. Bpk. Samuel Tahalele, Ibid. 44 Pergumulan Peringatan Hari Perdamaian ini telah berjalan sejak bulan Januari 2014 hingga Agustus 2015. Namun setelah bulan September 2015 hingga saat ini peserta pergumulan berangsur-angsur mulai berkurang sejak ketidak-hadiran kedua Raja Negeri Porto dan Haria. Ibadah ini dipimpin oleh pendeta yang diatur secara bergilir. 21 6. Mengaitkan Kearifan Lokal “Kawin Masuk” Dalam proses rekonsiliasi, gereja melibatkan kearifan lokal kedua negeri yang juga dilihat sebagai salah satu kekuatan untuk menciptakan perdamaian. Kearifan lok al memberikan ‘warna’ kebersamaan bagi sebuah komunitas, sehingga warna budaya yang bertujuan untuk menghadirkan perdamaian sebagai sebuah collective conciousness bagi warga masyarakat bahwa keharmonisan hidup adalah nilai pemersatu yang memberikan makna kepada sebuah kelompok masyarakat. Ketika aspek-aspek kebudayaan lokal itu digali dan ditawarkan kepada masyarakat, diharapkan mereka dapat menemukan jati dirinya, yang sementara dikoyak oleh perbedaan dan konflik. Kearifan lokal yang dimiliki kedua negeri ini sering disebut dalam bahasa setempat dengan “kawin masuk”. Kawin masuk adalah ikatan persaudaraan yang terjadi karena adanya pernikahan antara anggota jemaat dari kedua negeri. Kawin masuk sudah lama terjadi di antara masyarakat kedua negeri sehingga awal terjadinya dan jumlah pasangan yang kawin-masuk tidak diketahui secara pasti. Jika dilihat 21 Hasil wawancara dengan Bpk. Nus Tamaela, Ibid,. 45 berdasarkan marga, maka warga Haria yang menikah dan menetap di Porto adalah yang bermarga: 22 a. Latupeirisa b. Takaria c. Hattu d. Leuwol e. Loupatty f. Paunno g. Manuhuttu h. Tamaela i. Selanno Sedangkan marga warga Porto yang menikah dan menetap di Haria adalah: a. Nanlohy b. Aponno c. Lopulalan d. Talakua 22 Hasil wawancara via telepon dengan Bpk. Wellem Manuhuttu Sekretaris Negeri Haria pada tanggal 19 November 2015. 46 Saat konflik terjadi orang- orang yang “kawin masuk” tidak turut serta dalam konflik 23 . Sebaliknya sebagian dari mereka turut serta dalam upaya rekonsiliasi, karena mereka membantu memberi nasehat kepada keluarga mereka agar tidak terlibat dalam konflik dan menggunakan pendekatan saudara. Namun sebagian lagi menghindarkan diri bahkan mengungsi ke negeri-negeri tetangga. 24 7. Pergumulan Pendeta Gereja melihat pergumulan sebagai pemicu utama terciptanya perdamaian antara kedua negeri. Sehingga gereja berinisiatif untuk mengadakan pergumulan para pendeta dari kedua negeri setiap Hari Senin. Dengan adanya pergumulan ini, diharapkan perdamaian kedua negeri bisa langgeng atau tidak akan pecah lagi. Pergumulan tersebut sudah dilakukan sejak awal tahun 2014. Pergumulan ini kadang terkendala oleh adanya kesibukan atau halangan dari para pendeta, seperti adanya orangtua yang sakit, adanya pelayanan, sakit dan lain-lain. 25 Menurut Samuel Tahalele, adanya kendala seperti ini mengakibatkan hingga sekarang upaya penyelesaian batas tanah antara Porto dan Haria yang telah disetujui oleh Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah untuk memfasilitasi semua hal bahkan biaya untuk nantinya akan ditindaklanjuti ke Pengadilan, belum terealisasi. 26 23 Hasil wawancara dengan Pdt. Bpk. Jefry Salato Leatemia, Ibid. 24 Hasil wawancara dengan Bpk. Nus Tamaela anggota jemaat Negeri Haria via telepon, pada tanggal 16 November 2015. 25 Hasil wawancara dengan Pdt. Bpk. Jefry Salato Leatemia, Ibid. 26 Hasil wawancara denggan Pdt. Bpk. Samuel Tahalele, Ibid,. 47 8. Membangun Salib dan Tugu perdamaian Agama merupakan salah satu faktor penting dalam menciptakan integritas sosial. Agama juga menanamkan nilai-nilai dan norma-norma penting bagi keutuhan masyarakat ke dalam individu-individu. Lebih dari itu, agama menanamkan motivasi untuk lebih mengutamakan kebaikan bersama daripada kepentingan-kepentingan mereka sendiri. Simbol-simbol keagamaan dapat memperkuat rasa kesatuan di dalam kelompok keagamaan. Mengingat bahwa tugu perdamaian Porto-Haria sudah pernah didirikan pada tahun 2002, namun sebagian besar orang menolaknya dan hanya melihatnya sebagai “batas”, pihak gereja mengusulkan agar tugu perdamaian itu didirikan di depan gereja masing-masing negeri. 27 Salib dan tugu perdamaian dibangun setelah kedua Pendeta Jemaat, Pemerintah Negeri dan staf, serta tokoh-tokoh masyarakat bertemu di Klasis pada tanggal 1 Desember 2013. Dalam pertemuan itu semua pihak yang disebut di atas telah sepakat untuk bersama-sama menanggulangi biaya pembangunan salib dan tugu perdamaian serta penyelesaiannya dilakukan oleh anggota masyarakat yang ditunjuk didampingi oleh Pemerintah Negeri dan Majelis Jemaat. Pembangunan tugu dilakukan setelah acara perdamaian yang diawali dengan ibadah yang dipimpin oleh Ketua Klasis Lease dan ditutup dengan pemberkatan oleh Pendeta Se-Klasis Lease. Maksud salib dan tugu ini didirikan yaitu sebagai tanda simbol bahwa jemaat pernah mengikat janji dengan Tuhan. Sehingga diharapkan 27 Ibid,. 48 dengan adanya tugu ini konflik Porto-Haria dapat berakhir dan mencapai Rekonsiliasi Sejati True Reconciliation. 28 9. Perjumpaan Konflik yang terus terjadi antara kedua negeri ini membuat sebagian masyarakat menjadi trauma dan mulai menjaga jarak satu dengan yang lainnya. Kalaupun harus beraktivitas di tempat yang sama, ada rasa saling curiga di antara kedua pihak. Sesuai dengan fungsi dan perannya, menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah, untuk mewujudkan cinta kasih love dan kebenaran truth, keadilan justice dan pengampunan forgiveness, pendamaian reconciliation, perdamaian peace, serta kesejahteraan welfare dan keutuhan ciptaan integrity of creation, artinya bahwa sesuai dengan fungsi dan perannya maka gereja dalam memperjuangkan terwujudnya suatu rekonsiliasi, harus memperlihatkan keberpihakannya yang jelas kepada warga yang menderita, tanpa membedakan latar belakang sosialnya. Ritus-ritus dan simbol-simbol keagamaan pada dasarnya merupakan representasi-representasi kolektif, atau mewakili kelompok pemeluk yang menjalankan ritus-ritus dan menghayati simbol-simbol tersebut. Representasi-representasi kolektif ini merupakan cara-cara yang di dalamnya kelompok mengungkapkan sesuatu yang penting tentang dirinya kepada anggota-anggotanya sendiri. Jadi, dengan berpartisipasi dalam ritus-ritus kelompok, 28 Hasil wawancara dengan Pdt. Bpk. Jefry Salato Leatemia, Ibid. 49 para anggota kelompok membarui rasa keanggotaan mereka di dalam kelompok itu dan meneguhkan kembali makna-makna yang dihayati bersama. Setelah kondisi kedua negeri membaik, gereja juga mengadakan pertemuan antara kedua negeri, baik dengan mengadakan koinonia “perempuan bakudapa”, “laki-laki bakudapa”, “pemuda bakudapa”, temu anak dan remaja Porto-Haria, jambore, jumpa tokoh, Angkatan Muda AM, mengadakan Natal se-Klasis Lease di Porto-Haria dan kegiatan-kegiatan lainnya untuk mempererat ikatan persaudaraan, membangun kepercayaan dan memelihara suasana damai di antara kedua negeri. Perjumpaan ini juga diikuti oleh orang-orang yang berkonflik. Pada perjumpaan itu para warga yang terlibat konflik pun telah saling bertemu, saling menyapa, dan berharap agar konflik yang menyengsarakan ini tidak akan terulang lagi. Program ini dilakukan sejak tahun 2014. 29 29 Ibid,. 50

3.2. Alasan-alasan yang Menyebabkan Belum Terciptanya Perdamaian antara Porto-Haria