21 kesediaannya untuk tidak mengganggu. Pembacaan doa-doa itu merupakan unsur-
unsur pokok dalam kepercayaan kaum tani dan disertai dengan perbuatan upacara tertentu lainnya misalnya dengan membakar kemenyan dan memberikan sesaji.
19
Slametan boleh jadi sangat singkat tertutup oleh berbagai ritus dan aneka ragam upacara lain, jika kita tidak memperhatikan dengan teliti maka kebudayaan
slametan akan hilang. Lalu mengapa orang Jawa melakuakan slametan? Menurut Geertz ketika ia menayakan pada seorang tukang batu di
Mojokutho , ada dua
alasan: pertama bila anda mengadakan slametan, tak seorangpun merasa dirinya dibedakan dari orang lain, dengan demikian mereka tidak mau berpisah. Kedua
Slametan menjaga hubungan terhadap roh halus sehingga tidak mengganggu kehidupan. Dalam slametan semua orang diperlakukan sama dan hasilnya orang
tidak merasa dibedakan dengan orang lain, tidak seorang pun yang merasa lebih rendah dari orang lain dan tidak seorang pun merasa dirinya dikucilkan. Setelah
melakukan slametan arwah setempat tidak akan mengganggu, sasaran itu bersifat kejiwaan, ketiadaan perasaan agresif terhadap orang lain, ketiadaan kekacauan
emosional, keadaan yang didambakan adalah slamet selamat yang oleh orang Jawa didefinisikan tidak ada apa-apa yang menimpa dalam kehidupan.
20
2.5 Pandangan Orang Jawa Tentang Keselamatan
Hidup orang Jawa yang dilatar belakangi kebatinan mistis percaya pada roh halus dan sesuatu yang dianggap mempunyai kekuatan mendapat pengaruh
19
Geert z, Hildred. Keluarga Jawa. t erj.Grafit i Pers .Jakart a: Grafiti Pers, 1985.14.
20
Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa, Jakarta: Pustaka Jaya, 1989. Hal 17-18
22 oleh agama, dogma dan ajaran yang bermacama-macam menjadi konsep tentang
Tuhan kabur dan tidak tentu. Tuhan di satu pihak disebut sebagai tan kena apa tidak dapat disebut dan digambarkan seperti apa, dengan demikian keterangan
tanpa sifat-sifatnya, hidup tanpa roh, kuasa tanpa alat, tanpa awal tanpa akhir, tanpa arah tanpa tempat, jauh tak terhingga, dekat tak bersentuhan, bukan luar
bukan dalam, tetapi meliputi semua orang yang terbentang. Dengan bahasa teologia Tuhan yang demikian disebut dengan Tuhan yang transcendence.
Dengan catatan bahwa kebatinan mistis di dalam kunci surga bertolak dengan ajaran agama tetapi dekat dengan kehidupan manusia, bahkan setiap pribadi
memiliki Tuhanya sendiri. Selain itu di dalam diri manusia bersemayam Tuhan sebagai inti dari setiap manusia. Dengan demikian Tuhan yang pada awalnya
transcendence. jauh dari jangkauan manusia, maka akhirnya dekat, bahkan ada dalam diri manusia, serta campur tangan dengan urusan keperluan manusia.
21
Dalam mencari keselamatan memang naluri setiap manusia di mana pun ia berada. Bagi mereka yang percaya kepada Tuhan dan hidup setelah mati, pada
umumnya ingin supaya dirinya bisa selamat lahir dan batin, selamat di dunia dan setelah kematiannya. Yang sedikit membedakan orang Jawa dengan orang lain
adalah siapa yang dapat mencelakakan manusia sehingga ia tidak selamat, terutama di dunia. Orang Jawa percaya bahwa keselamatan itu tidak tergantung
pada relasi antar sesama misal berebut harta dan kekuasaan, antara makluk hidup dan lainnya adanya wabah penyakit, dan dalam hubunganya pada benda-
benda bencana alam dan rusaknya hidup. Orang Jawa dapat mencari
21
Pdt. Em. Siman widyatmanta, sikap gereja terhadap budaya dan adat-istiadat, Yogyakarta: BMGJ 2007, 24-25.
23 keselamatan melalui bantuan dari roh halus. Pandangan Jawa yang masih primitif
tentang Tuhan didasarkan dari pengalaman individu, sehingga yang Ilahi dihayati sebagai pelindungnya untuk melindungi dari mara bahaya yang ada di
sekelilingnya.
22
Orang Jawa pada umumnya meyakini bahwa tidak lama setelah orang meninggal, jiwanya berubah menjadi makhluk halus roh yang berkeliaran di
sekitar rumahnya, lama-kelamaan pergi ke tempat lain. Saat tertentu pihak dari keluarga melakukan slametan untuk menandai jarak yang telah ditempuh roh,
ketika menuju alam roh atau tempat yang abadi. Roh yang tidak mendapat tempat di alam roh karena tingkah lakunya yang tidak baik semasa hidupnya, akan tetap
berkeliaran di sekitar tempat tinggal manusia, sebagai roh jahat yang menggangu manusia, pembawa penyakit dan kesengsaraan. Banyak orang Jawa yang percaya
jika seseorang yang meninggalnya tidak wajar tidak akan mencapai alamnya dan tetap berkeliaran selama-lamanya.
23
Ajaran keselamatan yang utama dalam budaya Jawa adalah pelaksana etika Jawa karena, pada etika terdapat sebuah nilai
hakiki, jika orang Jawa melakukannya akan berdampak pada orang lain.
24
Jadi, bisa dikatakan orang Jawa dalam mencari keselamatan, peranan etika yang
dilakukan sesorang akan berdampak pada kehidupan yang akan datang, karena orang Jawa menginginkan keseimbangan baik dunia maupun akhirat.
22
Ign. Gatut Saksono, Djoko Dwiyanto, Faham keselamatan dalam budaya Jawa Yogyakarta: Ampera Utama 2011 1-5.
23
Koentjaraningrat, manusia dan kebudayaan di Indonesia Djambatan: 1984 335.
24
Ign. Gatut Saksono, Djoko Dwiyanto. 205.
24
2.6 Pandangan Kekristenan Tentang Keselamatan