1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia merupakan bangsa yang terdiri atas beragam etnis, ras, dan budaya yang tersebar luas di berbagai pulau di seluruh Nusantara. Dalam keberagaman etnis yang ada di
Indonesia, terdapat etnis Tionghoa sebagai salah satu golongan kebudayaan dengan identitas yang khas, yang hidup dan berkembang bersama etnis pribumi lainnya di Nusantara. Hidup dan
berkembangnya etnis dan kebudayaan Tionghoa di Indonesia tidak terlepas dari falsah hidup mereka yaitu menyesuaikan diri dengan lingkungan alam sekitarnya
1
. Kehadiran orang-orang beretnis Tionghoa sebagai golongan minoritas di Indonesia
memunculkan berbagai pandangan dan respon yang dikonstruksi oleh orang-orang non-Tionghoa tentang identitas orang-orang beretnis Tionghoa. Salah satunya adalah terdapat stereotip umum
perihal etnis Tionghoa dalam persepsi orang- orang “Pribumi”. Stereotip tersebut dapat diringkas
sebagai berikut: Mereka baca: orang-orang Tionghoa adalah kelompok yang kaya karena menguras ekonomi
kita. Mereka adalah kelompok yang homogen dan tidak berubah. Mereka merasa lebih hebat dan eksklusif. Kesetiaan mereka kepada Indonesia layak dipertanyakan. Mereka enggan
berbaur
2
. Dalam pengamatan historis, dapat ditelusuri bahwa secara umum dalam pandangan orang-
orang “Pribumi”, orang-orang beretnis Tionghoa yang hidup di Indonesia diidentikan atau dikaitkan dengan golongan yang hanya memiliki kemampuan dalam bidang ekonomi dan bisnis.
Pandangan ini diperkuat dan didukung oleh penelitian yang dilakukan, yang mengungkapkan
1
Abdul Rani Usma, Etnis Cina Perantauan di Aceh Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009, 1.
2
Stereotip ini telah merupakan hal yang lazim dalam masyarakat Indonesia sejak zaman colonial. Ungkapan- ungkapan lazim seperti “sekali China, tetap China”; “Tionghoa yang 3 menguasai 70 ekonomi kita”;”Mereka
mengira lebih hebat daripada kita”; “Mereka tidak perduli siapa yang menguasai sapi perah asal mereka bisa memerahnya”; dan “Mereka tidak ingin berbaur dengan kita”, menunjukan pandangan yang esensial tentag orang
Tionghoa sebagai kelompok yang minoritas dan homogen Copple 1983: 5-27
2 bahwa di Indonesia, orang-orang Tionghoa walau hanya berjumlah 3-4 di negeri ini dari 210
juta jiwa ternyata berhasil menguasai 70 dari sektor swasta dalam perekonomian negeri ini
3
. Berangkat dari data tersebut menurut Skiner orang Tionghoa membuktikan bahwa mereka
paling cocok untuk perkembangan ekonomi. Mereka menekankan sistem nilai yang mementingkan kerajinan, kehematan, pengendalian pada diri sendiri, semangat berusaha dan
ketrampilan ditambah pula dengan prinsip-prinsip organisasi sosial yang mudah sekali disesuaikan dan digunakan
4
. Sehingga tidak jarang kita dapat menemukan banyak dari orang-orang beretnis Tionghoa
di Indonesia, lebih memilih untuk berkerja hanya pada sektor ekonomi dengan menjadi pedagang, pengusaha dan pembisnis. Sebaliknya, sangat jarang ditemukan orang-orang beretnis Tionghoa di
Indonesia, yang terlibat dalam sektor lain, selain sektor ekonomi. Dapat dilacak melalui pengamatan sejarah bahwa yang menjadi salah satu penyebab terciptanya kondisi ini karena
sebelum masa reformasi, selama di Indonesia orang-orang beretnis Tionghoa dibatasi ruang geraknya dibidang lain, seperti bidang pendidikan , politik dan agama. Bahkan bahasa Mandarin
pada masa orde baru tidak boleh diajarkan di sekolah umum
5
. Stereotip perihal orang-orang etnis Tionghoa di Indonesia adalah hasil bentukan sejarah, yang pada mulanya dikonstruksikan oleh
Belanda dan kemudian diproduksi oleh rezim-rezim Indonesia pascakolonial selanjutnya, ternyata merasuk begitu mendalam
6
. Namun pasca rezim Orde Baru, ruang baru telah dibuka berkat kebijakan
multikulturalisme yang memungkinkan ketionghoaan terekspresikan secara bebas ke dalam semua sektor kehidupan. Hasil yang paling berarti adalah pengesahan Undang-Undang Kewarganegaraan
3
Melly G. Tan. Etnis Tionghoa Di Indonesia: Kumpulan Tulisan Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008, 274.
4
Melly G. Tan. Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia Jakarta: PT. Gramedia. 1979, vii-xix.
5
Abdul Rani Usma, Etnis Cina Perantauan di Aceh Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009, 3.
6
Chang-Yau Hoon. Identitas Tionghoa Pasca-Soeharto: Budaya, Politik, dan Media Jakarta: Yayasan Nabil. 2012, 261.
3 yang baru, yakni UU Nomor 12 tahun 2006, yang disetujui oleh Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono pada 1 Agustus 2006, yang mendefenisikan ulang istilah “Indonesia asli” mencangkup semua warga negara yang tidak pernah mendapatkan kewarganegaraan asing atas
kehendak sendiri
7
. Dengan adanya pengesahan Undang-undang tersebut memungkinkan orang- orang beretnis Tionghoa di Indonesia mulai memiliki akses dan membuka diri untuk terlibat aktif
di bidang lain selain dalam bidang ekonomi. Dalam realita saat ini ditemukan salah satu keterlibatan orang-orang beretnis Tionghoa di
sektor lain, selain sektor ekonomi, terlihat dari keberadaan orang-orang beretnis Tionghoa yang menjadi Pendeta jemaat dari sebuah gereja, terutama pada gereja-gereja aliran Pentakosta.
Kehadiran orang-orang beretnis Tionghoa di sektor lain selain sektor ekonomi, dengan memilih menjadi pemimpin dalam sebuah institusi keagamaan seperti gereja, menjadi fakta yang melawan
stereotipe etnis Tionghoa sebagai “binatang ekonomi”
8
. Walaupun ruang baru telah dibuka berkat kebijakan multikulturalisme yang memungkinkan ketionghoaan terekspresikan secara bebas,
tetapi hal ini tidak menjamin diterimanya kelompok minoritas ini secara penuh oleh mayoritas non-Tionghoa. Orang-orang etnis Tionghoa masih terus dipandang sebagai orang asing di negeri
yang telah mereka angggap sebagai rumah sendiri
9
. Seiiring dengan pendapat tersebut maka perlunya mengonseptualisasikan dan merekonstruksi ketinghoaan atau identitas Tionghoa di
Indonesia, salah satunya melalui studi tentang kepemimpinan Pendeta beretnis Tionghoa. Selama ini keberadaan orang-orang beretnis Tionghoa di Indonesia yang berprofesi
sebagai pendeta belum pernah secara khusus tergambarkan dan terekam melalui sebuah penelitian ilmiah. Dengan melakukan penelitian ilmiah, akan menghasilkan fakta yang berimplikasi dalam
upaya merekonstruksi kembali identitas orang-orang Tionghoa yang hidup di Indonesia. Hal ini
7
Ibid., 256.
8
Ibid., 257.
9
Ibid.
4 dikarenakan stereotip yang telah lama melekat kuat tentang orang-orang beretnis Tionghoa di
Indonesia, yang dipandang hanya memiliki kemampuan dalam sektor ekonomi saja. Pandangan yang telah berakar secara mendalam tersebut tidak cukup kuat dibongkar hanya dengan asumsi
atau pun opini semata. Berkaitan dengan hal tersebut maka menarik untuk melihat keterlibatan orang-orang
beretnis Tionghoa di Indonesia dalam kepemimpinan mereka pada institusi keagamaan seperti gereja, dalam hal ini peranan mereka sebagai Pendeta jemaat. Hal tersebut menjadi menarik bagi
peneliti karena pembahasan tentang kepemimpinan menjadi hal yang sangat penting dalam sejarah kehidupan manusia, bahkan menentukan dalam pencapaian suatu tujuan kelompok atau
organisasi, termasuk suatu jemaat. Tanpa ada pemimpin dan kepemimpinan yang baik dan benar, suatu kelompok bahkan negara sekalipun akan kacau kerena tidak adanya sosok yang
mengarahkan dan mengatur orang-orang untuk mencapai tujuan
10
. Pembahasan mengenai kepemimpinan dan pemimpin bukanlah hal yang mudah. Hal ini
dikarenakan setiap pemimpin tentu mempunyai gaya atau tipe kepemimpinan yang tersendiri dan berbeda antara yang satu dengan lainnya. Kondisi ini disebabkan karena adanya faktor eksternal
maupun internal yang turut mempengaruhi dan menentukan kepemimpinan seseorang. Salah satu wujud dari faktor yang mempengharuhi kepemimpinan seseorang adalah berkaitan dengan kultur
dari pemimpin tersebut. Pengertian kultural atau budaya yang dimaksudkan mengacu pada perilaku yang dipelajari yang menjadi karakter cara hidup secara total dari anggota suatu
kelompok masyarakat tertentu. Kebudayaan atau kultur membentuk perilaku, sikap, dan nilai manusia. Tidak dapat dipungkiri bahwa perilaku manusia adalah hasil dari proses sosialisasi dan
10
Retnowati, “Kepemimpinan dan Perubahan Budaya:Refleksi Gaya Kepemimpinan di Era Global, Perpektif Teori Kebudayaa” Jurnal Studi Agama dan MasyarakatVol. IV No.1, Oktober 2012, 37.
5 sosialisasi selalu terjadi dalam konteks lingkungan etnik dan kultur tertentu
11
. Kondisi ini dikarenakan kultur atau budaya terdiri dari nilai-nilai umum yang dipegang dalam suatu kelompok
manusia; merupakan satu set norma, kebiasaan, nilai dan asumsi-asumsi yang mengarahkan perilaku kelompok tersebut. Kultur juga mempengaruhi nilai dan keyakinan serta mempengaruhi
gaya kepemimpinan dan hubungan interpersonal seseorang
12
. Bagian yang telah dijelaskan sebelumnya menunjukan betapa gereja-gereja sebagai salah
satu lembaga atau institusi keagamaan juga membutuhkan pemimpin dan kepemimpinan yang baik, tidak terkecuali bagi gereja-gereja beraliran Pentakosta. Dalam realita, berdasarkan tinjauan
dilapangan pra penelitian yang dilakukan oleh peneliti, ditemukan banyak Pendeta beretnis Tionghoa yang menjadi pemimpin jemaat atau gembala di gereja-gereja aliran Pentakosta. Dapat
diidentifikasi bahwa dibawah kepemimpinan mereka, gereja-gereja beraliran Pentakosta tersebut dari segi kuantitas jemaat yang dipimpin mengalami pertumbuhan jumlah jemaat yang sangat
pesat dan gejala peningkatan tersebut berlangsung secara terus menerus. Gereja-gereja tersebut berkembang dengan signifikan dan memperluas pelayanan mereka dengan membuka cabang-
cabang gereja diberbagai daerah yang telah menjadi gereja dewasa. Sehingga kemunculan gereja- gereja aliran Pentakosta dipandang memiliki perkembangan paling spektakuler pada abad ini
13
. Gereja-gereja aliran Pentakosta yang sering dikenal sebagai gereja-gereja dengan corak
baru dan merupakan bagian dari Keristenan gelombang ketiga. Dalam menjalankan kepemimpinan dan manajemen gereja-gereja aliran Pentakosta tidak terikat pada wadah-wadah
bersama seperti sinode. Kalau pun ada sinode, biasanya komitmennya sangat longgar. Setiap gereja dalam hal ini pendeta yang merupakan pemimpin jemaat mempunyai kebebasan yang
sangat besar dalam hal mengatur gerejanya. Pemimpin memiliki ruang yang besar dan cenderung
11
Zakiyuddin Baidhaiwy. Pendidikan Berwawasan Multikultural, Jakarta: Erlangga, 2005, 24.
12
A. Nahavandi. The art and science of leadership 2
nd
Ed. New Jersey: Prentice Hall, 2000.
13
Jan S. Aritonang. Berbagai Aliran di dalam dan di Sekitar Gereja Jakarta: Erlangga, 1995, 166.
6 bebas dalam menentukan berbagai kebijakan dalam gereja, serta bisa mengembangkan
“teologi”nya sendiri. Hal tersebut memungkinkan munculnya sikap individual dari pemimpin yang cenderung berlebihan sehigga tidak jarang membuat gereja-gereja aliran ini mudah
terpecah
14
. Selanjutnya, dengan mengacu kepada bagian yang diungkapkan di atas, maka identitas
kultural atau budaya yang khas, yang membentuk perilaku, karakter dan sistim nilai yang dimiliki oleh pendeta beretnis Tionghoa akan mempengaruhi bagaimana kepemimpinannya dalam sebuah
jemaat. Pendeta beretnis Tionghoa termasuk dalam kelompok yang dikenal sebagai orang-orang yang menekankan sistem nilai yang mementingkan kerajinan, kehematan, pengendalian pada diri
sendiri, semangat berusaha dan ketrampilan ditambah pula dengan prinsip-prinsip organisasi sosial yang mudah sekali disesuaikan dan digunakan. Sistem nilai, perilaku, karakter dalam kultur
yang dimiliki tersebut dimungkinkan menjadi bagian-bagian yang dapat mempengaruhi gaya atau tipe dan karakter kepemimpinan.
Bertitiktolak dari permasalahan tersebut melalui tulisan ini peneliti berupaya melakukan studi tentang kepemimpinan Pendeta beretnis Tionghoa. Dengan melihat bahwa kultur yang khas
yang membentuk perilaku, karakter dan sistem nilai yang kemudian dimiliki sebagai orang Tionghoa, dihubungkan dengan kepemimpinan dalam peranannya sebagai Pendeta jemaat dalam
sebuah lembaga atau institusi keagamaan seperti gereja. Untuk mewujudkan hal tersebut, peneliti melakukan penelitian pada gereja-gereja aliran pentakosta di kota Salatiga. Peneliti memilih
Gereja Bethel lndonesia GBI Salatiga dan Gereja Bethany Salatiga sebagai lokasi penelitian. Alasan pemilihan kedua gereja ini, karena kedua gereja tersebut termasuk gereja-gereja beraliran
Pentakosta dengan jumlah jemaat yang terbesar di daerah Salatiga. Selain itu kedua gereja
14
Rijn van Kooij dan Yamah Tsalatsa A. Bermain dengan Api: Relasi Antara Gereja-gereja Mainstream dan Kalangan Kharismatik dan Pentakosta, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007, xvi.
7 tersebut dipimpin oleh Pendeta beretnis Tionghoa. Berdasarkan penjelasan di atas, maka
penelitian ini diberi judul: KEPEMIMPINAN PENDETA BERETNIS TIONGHOA Studi Kasus Pada Gereja-gereja Aliran Pentakosta di Kota Salatiga
1.2. Rumusan Masalah