Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kepemimpinan Pendeta Beretnis Tionghoa: studi kasus pada gereja-gereja aliran Pentakosta di Kota Salatiga T2 752013029 BAB II

(1)

17

BAB II

KEPEMIMPINAN, PENDETA, ETNIS TIONGHOA DAN GEREJA ALIRAN PENTAKOSTA

Dalam kerangka teori ini, akan dijelaskan konsep-konsep yang relevan, yang akan digunakan sebagai alur berpikir untuk membedah masalah menuju pada temuan penelitian. Konsep yang akan dijelaskan dalam kerangka teoritis sebagai pisau analisa atas permasalahan dalam penelitian ini adalah konsep kepemimpinan meliputi gaya atau tipe dan karakter kepemimpinan, termasuk didalamnya akan dijelaskan juga tentang konsep kepemimpin yang melayani serta konsep tentang etnis Tionghoa. Selain itu, digunakan pula beberapa konsep pendukung yakni konsep tentang Pendeta sebagai pemimpin yang melayani dan penjelasan tentang gereja aliran pentakosta. Konsep-konsep tersebut diuraikan secara terperinci dan berurutan sebagai berikut:

2.1. KEPEMIMPINAN

2.1.1. Konsep Kepemimpinan

Konsep kepemimpinan menjadi konsep yang terus berkembang dari waktu ke waktu dan telah menjadi objek yang menarik untuk terus diteliti dan dipelajari. Bahkan studi mengenai kepemimpinan yang berkaitan dengan gaya atau tipe kepemimpinan, karakter pemimpin, pekerjaan, lingkungan kerja, motivasi, dan berbagai variabel-variabel lainnya menjadi sangat intensif. Kondisi tersebut menjadi sangat wajar dikarenakan terdapat sesuatu yang mengagumkan tentang kepemimpinan itu sendiri.

Tercatat hampir setiap proses perubahan yang dramatis dalam sejarah manusia dicetuskan, dimotivasi, atau digerakan oleh seorang atau sekelompok pemimpin. Tidak heran kalau konsep dan topik kepemimpinan memiliki daya tarik magnetis yang begitu kuat bagi banyak orang. Kepemimpinan adalah sebuah konsep dan topik yang “mahaada” yang dijumpai dihampir semua


(2)

18 disiplin ilmu yang terkait dengan manusia: Filosofi, psikologi, sosiologi, antropologi, bisnis, politik dan teologi1. Bahkan kepemimpinan telah terbukti merupakan salah satu faktor kunci yang sangat menentukan keberhasilan atau kegagalan sebuah organisasi. Sebelum membahas lebih lanjut maka pada bagian selanjutnya akan dijelaskan apa yang dimaksudkan dengan kepemimpinan.

Kepemimpinan adalah perihal memimpin yang merupakan suatu seni tata cara atau kemampuan untuk membimbing, menuntun seseorang atau kelompok untuk mencapai tujuan tertentu. Dengan kata lain kemampuan mempengaruhi, menuntun, dan membimbing seseorang atau kelompok dan mempunyai visi dalam pribadinya sebagai landasan berpijak untuk mencapai cita-cita ataupun tujuan organisasi tersebut2.

Selanjutnya, menurut Roach dan Behling3, kepemimpinan adalah suatu proses mempengaruhi dan mengorganisir kelompok terhadap pencapaian tujuan-tujuannya. Kemudian dikemukakan pada bagian selanjutnya bahwa kepemimpinan adalah sebuah proses sosial mempengaruhi yang dibagikan di antara semua anggota-anggota grup. Oleh karena itu kepemimpinan tidak dibatasi oleh penggunaan pengaruh seseorang dalam posisi atau peran khususnya melainkan juga para pengikutnya adalah bagian dari proses kepemimpinan itu juga.

Hal yang tidak jauh berbeda diungkapkan oleh Northouse yang mendefeniskan kepemimpinan adalah suatu proses di mana individu mempengaruhi kelompok untuk mencapai

1Sendjaya, Kepemimpinan Kristen: Menjadi Pemimpin Kristen yang Efektif di Tengah Tantangan Arus Zaman (Yogyakarta: Kairos Books, 2004), 9.

2 Jahenos Saragih, Manajemen Kepemimpinan Gereja (Jakarta: Suara GKYE Peduli Bangsa, 2008), 7-8. 3 Richard L. Hughes, Rober C. Ginnet and Gordon J. Curphy, Leadership Enhancing The Lessons of Experience, (Boston: Richard D, Irwin Inc, 1993), 8.


(3)

19 tujuan umum.4 Pengertian ini dipertajam oleh Dubrin bahwa kepemimpinan itu adalah kemampuan untuk menanamkan keyakinan dan memperoleh dukungan dari anggota organisasi untuk mencapai tujuan organisasi5

Berdasarkan uraian di atas, maka yang dimaksudkan dengan kepemimpinan adalah suatu proses dengan berbagai cara mempengaruhi orang atau sekelompok orang, baik itu pikiran, perasaan, tingkah laku, untuk mencapai suatu tujuan bersama yang telah ditetapkan secara bersama-sama pula.

2.1.2. Gaya Kepemimpinan (Leadership Style)

Dalam pembahasan tentang kepemimpinan maka tidak terlepas dari pembahasan komponen seperti tipe atau gaya kepemimpinan. Setiap pemimpian memiliki tipe atau gaya kepemimpinan. Berkaitan dengan hal tersebut, menurut James A.F. Stoner dan R. Edward Freeman, sebagaimana yang dikutip oleh Nawawi, mengatakan bahwa perilaku atau gaya kepemimpinan memberikan kontribusi besar pada efektivitas kepemimpinan untuk mengefektifkan sebuah organisasi6.

Gaya kepemimpinan dipahami oleh Pandji Anoragan sebagai “ciri seorang pimpinan melakukan kegiatannya dalam membimbing, mengarahkan, mempengaruhi, menggerakkan para pengikutnya dalam rangka mencapai tujuan”7

. Pendapat yang tidak jauh berbeda diungkapkan oleh Agus Dharma yang dikutip oleh Nawawi dalam tulisannya, yang mendefinisikan bahwa

4 P.G.Northouse, Leadership: Theory and Practice , Third Edition (New Delhi:Response Book, 2003), 3. 5 Dubrin, A. J. Leadership: Research Findings, Practices, and Skills, Third Edition. (Boston: Houghton Mifflin Company. 2001), 3.

6 Hadari Nawawi, Manajemen Sumber Daya Manusia: Untuk Yang Kompetitif (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006), 111.

7


(4)

20 gaya kepemimpinan adalah pola tingkah laku yang ditunjukkan seseorang pada saat ia mencoba mempengaruhi orang lain8.

Definisi yang sama juga dikemukakan oleh Paul Hersey dan Kenneth Blanchard yang mengungkapkan bahwa “gaya kepemimpinan adalah pola perilaku pada saat seseorang mencoba mempengaruhi orang lain dan mereka menerimanya”9. Sejalan dengan pendapat yang telah diungkapkan sebelumnya, Miftah Toha juga mengungkapkan hal yang sama. Ia berpendapat bahwa “gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku yang digunakan oleh seseorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain seperti yang ia lihat”10.

Dalam penelurusan beberapa literatur berkaitan dengan gaya kepemimpinan maka ditemukan bahwa sebelumnya orang hanya mengenal adanya dua gaya kepemimpinan, yakni gaya kepemimpinan yang berorientasi kepada relasi dan tugas terutama berkaitan dengan suasana organisasi dan dalam pengambilan keputusan.

Menurut Hendayat Soetopo “Gaya kepemimpinan yang berorientasi kepada tugas, yaitu kepemimpinan yang lebih menaruh perhatian pada perilaku pemimpin yang mengarah pada penyusunan rencana kerja, penetapan pola organisasi, adanya saluran komunikasi, metode kerja, dan prosedur pencapaian tujuan yang jelas. Dan gaya kepemimpinan yang berorientasi pada hubungan antar manusia, yaitu kepemimpinan yang lebih menaruh perhatian pada perilaku pemimpin yang mengarah pada hubungan kesejawatan, saling mempercayai, saling menghargai, dan penuh kehangatan hubungan antara pemimpin dengan stafnya.”11

Jadi, realitas dari relasi pemimpin dan orang yang dipimpin berkaitan erat dengan situasi atau suasana kelompok, terutama jika pemimpin menekankan pada orientasi komunikasi dua arah dan mendengarkan kebutuhan dari orang-orang yang dipimpin. Pada gilirannya akan tercipta adanya kepercayaan dan penghormatan secara timbal balik. Sedangkan gaya kepemimpinan yang

8

Hadari Nawawi, Manajemen…, 115. 9 Ibid.

10

Miftah Toha, Perilaku Organisasi (Jakarta:PT Raja Grafindo Utama, 2007), 302

11


(5)

21 berorientasi kepada tugas, pemimpin lebih menekankan kepada tugas organisasi maupun pencapaian prestasi yang tinggi dari orang yang dipimpin.

Pada perkembangan selanjutnya, Keating menjelaskan terdapat 4 (empat) gaya kepempinan yang mendasar. 4 (empat) gaya tersebut berangkat dari dua dimensi tugas kepemimpinan yaitu kepemimpinan yang berorentasi pada tugas (task oriented) dan kepemimpinan yang berorentasi pada manusia (human relationship oriented). Dari dua dimensi tugas kepemimpinan tersebut maka dikembangkan teori (4) gaya kepemimpinan dasar12, antara lain:

a. “Kekompakan tinggi dan kerja lemah, merupakan gaya kepemimpinan yang berusaha menjaga hubungan baik, keakraban dan kekompakan kelompok tetapi kurang memperhatikan unsur tercapainya tujuan kelompok atau penyelesaian tugas bersama. Dengan gaya kepemimpinan ini para anggota yang berminat pada hasil kerja bersama akan kecewa, karena mereka mengira bahwa mereka berkumpul untuk mengerjakan sesuatu, tetapi ternyata hanya untuk senang-senang. Suasana akrab tidak dapat lama bertahan dan pertemuan akan bubar, karena tujuan kelompok tidak tercapai. Gaya kemimpinan ini bermanfaat untuk mempengaruhi semangat kelompok, motivasi bersama, dan rasa setia kawan.”

b. “Kerja tinggi dan kekompakan rendah, merupakan gaya kepemimpinan yang menekankan segi penyelesaian tugas tercapainya tujuan kelompok. Gaya kepemimpinan ini menampilkan gaya kepemimpinan yang amat direktif. Gaya kepemimpinan ini baik untuk kelompok yang baru dibentuk, yang membutuhkan tujuan dan sasaran jelas, dan kelompok yang telah kehilangan arah, tidak mempunyai lagi tujuan dan sasaran, tidak mempunyai kriteria untuk meninjau hasil kerjanya, yang sudah kacau dan tidak berarti lagi. Gaya kepemimpinan kerja tinggi dan kekompakan rendah dapat berguna jika dipergunakan sesuai dengan situasi kelompok. Namun gaya kepemimpinan ini jarang dapat berhasil jika dipergunakan untuk jangka waktu yang terlalu lama. Gaya kepemimpinan ini dapat mendorong usaha kelompok. Tetapi jarang dapat menjaga jalannya, kerena manusia membutuhkan dukungan, dorongan, dan pujian.”

12Charles J Keating, Kepemimpinan….,11-15.

kekompakan tinggi kerja rendah

kerja tinggi kekompakan tinggi

kekompakan rendah kerja rendah

kerja tingi kekompakan rendah


(6)

22 c. “Kerja tinggi dan kekompakan tinggi, merupakan gaya kepemimpinan yang menjaga kerja dan kekompakan kepemimpinan tinggi cocok dipergunakan untuk membentuk kelompok. Kelompok yang baru dibentuk membutuhkan kejelasan tujuan dan sasaran, struktur kerja untuk mencapai tujuan dan sasaran itu, serta usaha untuk membina hubungan antar para anggota. Waktu menggunakan gaya kepemimpinan ini untuk membentuk kelompok, pemimpin perlu melengkapinya dengan contoh. Dalam gaya kepemimpinan ini, pemimpin perlu menjadi model untuk kelompok dengan menunjukan perilaku yang membuat kelompok efektif dan puas.”

d. “Kerja rendah dan kekompakan rendah, merupakan gaya kepemimpinan yang kurang menekankan penyelesaian tugas dan kekompakan kelompok. Gaya kepemimpinan ini cocok untuk kelompok yang sudah jelas akan tujuan dan sasarannya, gamblang akan cara untuk mencapai tujuan dan sasaran itu, dan mengetahui cara menjaga kehidupan kelompok selama mencapai tujuan dan sasaran. Gaya kepemimpinan ini lemah dan tidak menghasilkan apa-apa.”

Selanjutnya dijelaskan bahwa “keempat gaya yang telah dijelaskan, tidak ada yang lebih baik atau lebih buruk dibandingkan satu sama lain”13. Tidak ada gaya yang baik atau buruk. Hal ini tergantung dari macam kelompok yang dipimpin14. Kepemimpinan yang baik tergantung dari kemampuan untuk menilai keadaan kelompok dan memberikan kepemimpinan yang dibutuhkan sesuai dengan tingkat perkembangan kelompok yang ada. “Perlu dicatat bahwa kelompok tidak terus menerus ada dalam keadaan yang sama, dengan kata lain kelompok apapun dapat berubah dengan alasan yang beribu macam. Maka suatu gaya kepemimpinan dikatakan tidak boleh dipegang “mati-matian” terus menerus, tetapi selalu disesuaikan dengan keadaan kelompok.”15

Sehubungan dengan itu, dalam penjelasan Hadari Nawawi dan M. Martini Hadari, setidaknya terdapat 9 tipe atau gaya kepemimpinan yang terdiri dari 3 (tiga) tipe atau gaya utama dan 6(enam) tipe atau gaya pelengkap dengan penjelasan yang khas dari setiap tipe atau gaya kepemimpinan16. Untuk keperluan penelitian, berikut akan dikemukakan penjelasan 3 (tiga) tipe

13

Ibid., 15 14 Ibid. 15 Ibid.


(7)

23 atau gaya kepemimpinan utama, diikuti dengan penjelasan singkat 6 (enam) tipe atau gaya kepemimpinan pelengkap. Tipe atau gaya kepemimpinan yang dimaksud antara lain:

2.1.2.1. Gaya Kepemimpinan Otoriter

Seorang pemimpin yang otoriter adalah seseorang yang sangat egois. Egoisme yang sangat besar akan mendorongnya memutarbalikkan kenyataan yang sebenarnya sehingga sesuai dengan apa yang secara subjektif diinterpretasikan sebagai kenyataan. Egonya yang sangat besar menumbuhkan dan mengembangkan persepsinya bahwa tujuan organisasi identik dengan tujuan pribadinya dan oleh karenanya organisasi diperlakukannya sebagai alat untuk mencapai tujuan pribadi tersebut. Dengan kata lain, kepemimpinan dengan tipe ini merupakan kepemimpinan yang bersifat sentralistis sebagai satu-satunya penentu, penguasa dan pengendali anggota organisasi dan kegiatannya dalam usaha mecapai tujuan organisasi.

Menurut Nawawi dampak dari kepemimpinan otoriter ini adalah sebagai berikut:

a. Anggota organisasi cenderung pasif, bekerja menunggu perintah, tidak berani mengambil keputusan dalam memecahkan masalah meskipun menyangkut masalah yang kecil17. b. Anggota organisasi tidak ikut berpartisipasi aktif bukan karena tidak memiliki

kemampuan, tetapi tidak mau atau enggan menyampaikan inisiatif, gagasan, ide, kreativitas, saran, pendapat, kritik atau menciptakan kegiatan pekerjaan sendiri tanpa menunggu perintah18.

c. Kepemimpinan otoriter yang mematikan inisiatif, kreativitas, dan lain-lain, berdampak pada kehidupan organisasi berlangsung statis dengan kegiatan rutin yang sama dari tahun ke tahun sehingga organisasi tidak berkembang secara dinamis19.

d. Pemimpin otoriter tidak membina dan tidak mengembangkan potensi kepemimpinan anggota organisasinya, dalam arti pemimpin tidak melakukan kegiatan suksesi dan pengkaderan, sehingga berakibat sulit memperoleh pemimpin pengganti diantara anggota organisasi jika keadaan mengharuskan20.

e. Disiplin, rajin dalam bekerja dan bersedia bekerja keras serta kepatuhan dilakukan secara terpaksa dan cenderung berpura-pura, karena takut pada sanksi/hukuman dilakukan pada saat pemimpin berada di tempat21.

17

Hadari Nawawi, Manajemen…., 122. 18

Ibid. 19 Ibid. 20 Ibid. 21 Ibid.


(8)

24 f. Secara diam-diam muncul kelompok penantang yang menunggu kesempatan untuk melawan, menghambat untuk melakukan tindakan-tindakan yang dapat merugikan organisasi terutama pimpinan22.

g. Pemimpin cenderung akan kehabisan inisiatif, kreativitas, gagasan, inovasi dan lain-lain sedang anggota organisasi tidak diberi kesempatan untuk membantu akibatnya motivasi, gairah, dan semangat kerja anggota organisasi menjadi rendah/turun23.

h. Tidak ada rapat, diskusi atau musyawarah dalam bekerja karena dianggap membuang-buang waktu24.

i. Disiplin diterapkan secara ketat dan kaku sehingga iklim menjadi tegang, saling mencurigai, dan saling tidak mempercayai antar anggota organisasi yang satu dengan yang lainnya25.

j. Pemimpin tidak menyukai perubahan, perbaikan, dan perkembangan organisasi, dan selalu curiga pada orang luar yang terlihat akrab dengan anggota organisasi dengan prasangka buruk akan menjadi pemicu timbulnya kelompok-kelompok yang akan melakukan perubahan atau menantang kepemimpinannya. Pemimpin cenderung tidak menyukai dan berusaha menghalangi terbentuknya organisasi (serikat pekerja) yang dibentuk anggota organisasi, sebaliknya berusaha untuk membentuk organisasi yang mendukung kepemimpinannya26.

Dari uraian diatas, dapat terlihat bahwa gaya kepemimpinan otoriter cenderung diwujudkan melalui gaya atau perilaku kepemimpinan yang berorientasi pada tugas dan hasil, yang secara ekstrim harus seuai dengan keinginan pemimpin, yang tidak mustahil keluar dari tujuan organisasi.

2.1.2.2. Gaya Kepemimpinan laissez faire (bebas)

Gaya kepemimpinan ini pada dasarnya berpandangan bahwa anggota organisasinya mampu mandiri dalam membuat keputusan atau mampu mengurus dirinya masing-masing, dengan sedikit mungkin pengarahan atau pemberian petunjuk dalam merealisasikan tugas pokok masing-masing sebagai bagian dari tugas pokok organisasi. Sehubungan dengan itu Jenning dan Golembiewski menyatakan bahwa pemimpin membiarkan kelompoknya memantapkan tujuan

22 Ibid.

23 Ibid. 24 Ibid. 25 Ibid. 26 Ibid.


(9)

25 dan keputusannya27. Kontak yang terjadi antara pemimpin dan anggota kelompoknya terjadi apabila pemimpin memberikan informasi yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaannnya. Pemimpin memberikan sedikit dukungan untuk melakukan usaha secara keseluruhan. Kebebasan anggota kadang-kadang dibatasi oleh pimpinan dengan menetapkan tujuan yang harus dicapai disertai parameter-parameternya, sedang yang paling ekstrim adalah pemberian kebebasan sepenuhnya pada anggota organisasi untuk bertindak tanpa pengarahan dan kontrol kecuali jika di minta.

Gaya kepemimpinan ini merupakan kebalikan dari gaya kepemimpinan otoriter, meskipun tidak sama atau kepemimpinan yang demokratis pada titik ekstrim yang paling rendah. Kepemimpinan dijalankan tanpa memimpin atau tanpa berbuat sesuatu dalam mempengaruhi pikiran, perasaan, sikap dan perilaku anggota organisasinya. Dalam keadaan seperti itu, apabila ada anggota organisasi yang bertindak melakukan kepemimpinan, maka kepemimpinan yang sebenarnya menjadi tidak berfungsi. Pemimpin seperti itu pada umumnya seorang yang berusaha mengelak atau menghindar dari tanggung jawabnya, sehingga apabila terjadi kesalahan atau penyimpangan, dengan mudah dan tanpa beban mengatakan bukan kesalahan atau bukan tanggung jawabnya karena bukan keputusannya dan tidak pernah memerintahkan pelaksanaannya.

2.1.2.3. Gaya Kepemimpinan Demokratis

Pemimpin yang Demokratis biasanya memandang perannya selaku koordinator dan integrator dari berbagai unsur dan komponen organisasi sehingga bergerak sebagai suatu totalitas. Karena itu pendekatannya dalan menjalankan fungsi-fungsi kepemimpinannya adalah pendekatan yang holistik dan integralistik. Seorang pemimpin yang demokratis biasanya


(10)

26 menyadari bahwa mau tidak mau organisasi harus disusun sedemikian rupa sehingga menggambarkan secara jelas aneka ragam tugas dan kegiatan yang tidak bisa tidak harus dilakukan demi tercapainya tujuan dan berbagai sasaran organisasi.

Dalam tipe ini pula dikatakan bahwa manusia ditempatkan sebagai faktor terpenting dalam kepemimpinan yang dilakukan berdasarkan dan mengutamakan orientasi pada hubungan dengan anggota organisasi. Filsafat demokratis yang mendasari pandangan gaya kepemimpinan demokratis ini adalah pengakuan dan penerimaan bahwa manusia merupakan makhluk yang memiliki hatkat dan martabat yang mulia dengan hak asasi yang sama.

Nilai-nilai demokratis dalam kepemimpinan tampak dari kebijakan pemimpin yang orientasinya pada hubungan manusiawi, berupa pengakuan yang sama dan tidak membeda-bedakan anggota organisasi atas dasar warna kulit, ras, kebangsaan, agama, status sosial ekonomi, dan lain-lain. Pengimplementasian nilai-nilai demokratis di dalam kepemimpinan dilakukan dengan memberikan kesempatan yang luas pada anggota organsasi untuk berpartisipasi dalam setiap kegiatan sesuai dengan posisi dan wewenang masing-masing.

Selain 3 (tiga) tipe atau gaya kepemimpinan utama tersebut terdapat 6 (enam) tipe atau gaya kepemimpinan pelengkap yang terdiri dari28:

2.1.2.4. Gaya kepemimpinan kharismatik, diartikan kemampuan menggerakan orang lain

dengan mendayagunakan keistimewaan atau kelebihan dalam sifat/aspek kepribadian yang dimiliki pemimpi, sehingga menimbulkan rasa hormat , segan dan kepatuhan pada orang-orang yang dipimpinnya. Tipe kepemimpinan simbol, merupakan tipe kepemimpinan yang menempatkan seseorang pemimpin sekedar sebagai lambing atau simbol, tanpa menjalankan kegiatan kepemimpinan yang sebenarnya.

2.1.2.5. Gaya pengayom, menempatkan seseorang sebagai Kepala pada dasarnya berfungsi

sebagimana layaknya seorang kepala keluarga. Kepemimpinan dijalankan dengan melakukan kegiatan kepeloporan, kesediaan berkorban, pengabdian, melindungi, dan selalu melibatkan diri dalam usaha memecahkan masalah perseorangan atau kelompok.

28


(11)

27 Pemimpin ibarat ayah yang berfungsi mengayom anggotanya ibarat anak-anak dan anggota keluarganya yang lain.

2.1.2.6. Gaya pemimpin ahli (Expert), tipe kepemimpinan ini bertolak dari asumsi bahwa

kegiatan yang menjadi bidang garapan suatu organisasi/kelompok, hanya akan berlangsung efektif dan efisien, bilamana dipimpin oleh seseorang yang memiliki keahlian dalam bidang tersebut. Kepemimpinan harus dijalankan oleh seseorang yang memiliki ketrampilan atau keahlian tertentu yang sesuai dengan bidang garapan atau yang dikelola oleh organisasi /kelompok.

2.1.2.7. Gaya kepemimpinan organisatotoris dan administrator, tipe ini dijalankan oleh

para pemimpin yang senang dan memiliki kemampuan mewujudkan dan membina kerja sama, yang pelaksanaannya berlangsung secara sistematis dan terarah pada tujuan yang jelas. Pemimpin bekerja secara berencana, bertahap dan tertib.

2.1.2.8. Gaya kepemimpinan agitator, tipe kepemimpinan yang diwarnai dengan kegiatan

pemimpin dalam bentuk tekanan-tekanan, adu domba, memperuncing perselisihan, menimbulkan dan memperbesar perpecahan/pertentangan dan lain-lain dengan maksud untuk memperoleh keuntungan bagi dirinya sendiri.

James Mc. Gregor, seperti yang dikutip oleh Sedarmayanti menyatakan bahwa terdapat 2 (dua) gaya kepemimpinan29, yaitu:

2.1.2.9. Gaya Kepemimpinan Transaksional, merupakan gaya kepemimpinan dimana

seseorang memimpin cenderung memberikan arahan kepada bawahan, serta memberikan imbalan dan hukuman kepada bawahan. Kepemimpinan transaksional lebih menekankan kepada transaksi antara pemimpin dan bawahan. Pada kepemimpinan transaksional memungkinkan pemimpin memotivasi dan mempengaruhi bawahan dengan cara reward dengan kinerja tertentu, dengan kata lain sebuah transaksi bawahan dijanjikan mendapatkan reward atau penghargaan bila bawahan mampu menyelesaikan tugasnya sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat bersama30. Jadi bertolak dari penjelasan tersebut, maka dapat diringkas gaya kepemimpinan transaksional adalah gaya kepemimpinan yang bercirikan adanya pengorbanan individu terhadap oganisasi dikarenakan adanya kepentingan pribadi.

2.1.2.10. Gaya Kepemimpinan Transformasional, merupakan gaya kepemimpinan bagi

seorang pemimpin yang cenderung memberi motivasi kepada bawahan untuk melakukan tindakan yang lebih baik dan menitik beratkan pada perilaku membantu/transformasi antar individu dengan organisasi. Kepemimpinan transformasional pada hakikatnya menekankan bahwa seorang pemimpin perlu

29 Sedarmayanti, Reformasi Administrasi Publik, Reformasi Birokrasi, dan Kepemimpianan Masa Depan (Bandung: PT. Refika Aditama, 2010), 184-185.


(12)

28 memotivasi bawahannya untuk melakukan tanggung jawab lebih dari apa yang diharapkan. Pemimpin transformasional harus mampu mendefinisikan, mengkomunikasikan dan mengartikulasi visi organisasi dan bawahan harus menerima dan mengakui kredibilitas pemimpinnya.

Sedangkan Nair mendefenisikan gaya kepemimpinan transformasional dalam kaitannya dengan “kemauan pemimpin untuk mempengaruhi nilai-nilai, sikap, kepercayaan dan perilaku dari pihak lain dengan berkerja bersama mereka dengan tujuan untuk mencapai misi dan tujuan oranisasi.”31 Sementara itu Blac dan Porter mendefenisikan gaya kepemimpinan transformasional sebagai “kepemimpinan yang memotivasi para pengikut yang ada untuk mengabaikan kepentingan pribadi mereka dan bekerja untuk kepentingan organisasi untuk mencapai hasil yang signifikan; bertitik beratkan pada pengartikulasian visi yang meyakinkan bawahan untuk melakukan perubahan besar”32.

Menurt Sanusi, selain gaya kepemimpinan transaksional dan transformasional, terdapat 2 (dua) gaya kepemimpinan lainnya yang termasuk dalam gaya kepemimpinan abad ke-2133, yaitu:

2.1.2.11. Gaya Kepemimpinan Situasional, yaitu gaya kepemimpinan yang mencoba

mengidentifikasi karakteristik situasi dan keadaan sebagai faktor penentu utama yang membuat seorang pemimpin berhasil melakukan tugas-tugas organisasi secara efektif dan efisien. Kepemimpinan situasional menekankan bahwa keefektifan kepemimpinan seseorang bergantung pada pemilihan gaya kepemimpinan yang tepat dalam menghadapi situasi tertentu dan tingkat kematangan jiwa bawahan.

Harsey dan Blanchard seperti yang dikutip oleh Thoha, mengembangkan gaya kepemimpinan situasional efektif dengan memadukan tingkat kematangan jiwa bawahan dengan pola perilaku

31 Jony Oktavian Haryanto, KEPEMIMPINAN YANG MELAYANI…., 6. 32 Ibid.


(13)

29 yang dimiliki oleh seorang pemimpin. Ada 4 (empat) perilaku dasar kepemimpinan situasional34, yaitu:

a. Perilaku Direktif

Perilaku direktif adalah perilaku yang diterapkan apabila pemimpin dihadapkan pada tugas yang rumit dan bawahan belum memiliki pengalaman dan motivasi untuk mengerjakan tugas tersebut, atau pemimpin berada di bawah tekanan waktu penyelesaian, maka pemimpin akan menjelaskan apa yang perlu dikerjakan. Perilaku ini ditandai dengan komunikasi satu arah dan pembatasan peran bawahan. Pemecahan masalah dan pengambilan keputusan semata-mata menjadi wewenang pemimpin, serta adanya pengawasan yang ketat oleh pemimpin.

b. Perilaku Konsultatif

Perilaku konsultatif adalah perilaku yang diterapkan ketika bawahan telah termotivasi dan berpengalaman dalam menghadapi suatu tugas. Dalam hal ini pemimpin hanya perlu memberi penjelasan yang lebih terperinci dan membantu bawahan untuk mengerti dengan meluangkan waktu membangun hubungan yang baik dengan mereka. Pada perilaku ini pemimpin masih memberikan instruksi yang cukup besar serta penetapan keputusan-keputusan dilakukan oleh pemimpin, namun dengan adanya komunikasi dua arah dan memberikan dukungan terhadap bawahan serta mau mendengar keluhan dan perasaan mereka, keputusan yang diambil tetap ada pada pemimpin.

c. Perilaku Partisipatif

Perilaku partisipatif diterapkan apabila bawahan telah mengenal teknik-teknik yang dituntut dan telah mengembangkan hubungan yang dekat dengan pemimpin. Pemimpin meluangkan waktu untuk berbincang-bincang dengan bawahan untuk lebih melibatkan mereka dalam pengambilan keputusan. Pemimpin mendengarkan saran dan masukan dari bawahan mengenai peningkatan kerja. Keikutsertaan bawahan dalam memecahkan masalah dan mengambil keputusan berdasarkan pemimpin yang berpendapat bahwa bawahan juga memiliki kecakapan dan pengetahuan yang cukup luas untuk menyelesaikan tugas.

d. Perilaku Delegatif

Perilaku delegatif diterapkan apabila bawahan sepenuhnya paham dan efisien dalam kinerja tugas, sehingga pemimpin dapat melepaskan mereka untuk menjalankan tugasnya sendiri.

Jadi, gaya kepemimpinan situasional yang dikembangkan oleh Harsey dan Blanchard berangkat dari keyakinan dan nilai tentang orang yaitu: Orang dapat dan ingin dikembangkan; Kepemimpinan adalah kemitraan; Orang berkembang dalam keterlibatan dan komunikasi. Hal


(14)

30 utama dalam gaya kepemimpinan ini adalah bagaimana pemimpin dapat mengembangkan semaksimal mungkin kemampuan pengikut mereka sesuai dengan gaya dan tahapan dari pengikut yang ada.35

2.1.2.12. Gaya Kepemimpinan Visioner, yaitu pola kepemimpinan yang ditujukan untuk

memberi arti pada kerja dan usaha yang perlu dilakukan bersama-sama oleh para anggota organisasi dengan cara memberikan arahan dan makna pada kerja, dan usaha yang dilakukan berdasarkan visi yang jelas. Kepemimpinan visioner memerlukan kompetensi tertentu.

Pemimpin visioner setidaknya harus memiliki 4 (empat) kompetensi sebagaimana yang dikemukakan oleh Burt Nanus, seperti yang dikutip oleh Sanusi36, yaitu:

a) Seorang pemimpin visioner harus memiliki kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif dengan manajer dan karyawan lainnya dalam organisasi.

b) Seorang pemimpin visioner harus memahami lingkungan luar dan memiliki kemampuan bereaksi secara tepat atas segala ancaman dan peluang.

c) Seorang pemimpin visioner harus memegang peran penting dalam membentuk dan mempengaruhi praktek organisasi, prosedur, produk dan jasa. Seorang pemimpin dalam hal ini harus terlibat dalam organisasi untuk menghasilkan dan mempertahankan

kesempurnaan pelayanan, sejalan dengan mempersiapkan dan memandu jalan organisasi ke masa depan.

d) Seorang pemimpin visioner harus memiliki atau mengembangkan ceruk untuk mengantisipasi masa depan. Ceruk ini merupakan sebuah bentuk imajinatif, yang berdasarkan atas kemampuan data untuk mengakses kebutuhan masa depan

konsumen,tekhnologi dan lain sebagainya. Hal ini termasuk kemampuan untuk mengatur sumber daya organisasi guna mempersiapkan diri menghadapi kemunculan kebutuhan dan perubahan.

Dari penjelasan dari berbagai literatur berkaitan dengan gaya kepemimpinan maka dapat disimpulkan bahwa setiap pemimpin memiliki gaya kepemimpinan yang berbeda-beda. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu memahami situasi sehingga dapat menyesuaikan gaya kepemimpinannya dengan situasi yang ada. Gaya kepemimpinan seorang pemimpin sangat mempengaruhi keberhasilannya dalam memimpin kelompoknya, karena dengan cara tersebut ia akan menjalankan tugas dan fungsinya sebagai seorang pemimpin.

35

Jony Oktavian Haryanto, KEPEMIMPINAN YANG MELAYANI….,31. 36


(15)

31

2.1.3. Kepemimpinan yang Melayani (Servant Leadership)

Istilah servant leadership dipakai untuk pertama kalinya oleh seorang eksekutif perusahaan telekomunikasi AT&T bernama Robert K. Greenleaf pada tahun 1970, dalam tulisannya yang berjudul The Servant as Leader37. Ide ini kemudian muncul di ruang publik menjadi sebuah gerakan baru pada bidang manajemen38. Ide tulisan The Servant as Leader muncul setelah Greenleaf membaca sebuah cerita mitos dalam buku yang berjudul Journey to the East karangan Hermann Hesse.39 Greenleaf melihat cerita novel yang ia baca menyampaikan pesan sentral terkait pendekatannya sendiri terhadap kepemimpinan, bahwa pemimpin-pemimpin besar adalah mereka yang melayani orang-orang lain. Kemudian dalam mendefinisikan servant leadership, Greenleaf menulis:

The servant-leader is servant first. It begins with the natural feeling that one wants to serve. Then conscious choice brings one to aspire to lead. The best test is: do those served grow as persons; do they, while being served, be come healthier, wiser, freer, more autono-mous, more likely themselves to be come servants? And, what is the effect on the least privileged in society? Will they benefit, or at least not be further deprived?40

Berdasarkan kutipan tersebut Greenleaf menjelaskan bahwa kepemimpinan yang melayani adalah orang yang mula-mula menjadi pelayan, dalam pernyataannya di atas ia mengatakan bahwa “Kepemimpinan yang melayani ini dimulai dengan perasaan alami bahwa orang ingin melayani, meyani lebih dahulu. Kemudian pilihan sadar membawa orang untuk berkeinginan memimpin. Perbedaan ini memanifestasikan diri dalam keperdulian yang diambil oleh pelayan yang mula-mula memastikan bahwa kebutuhan prioritas tertinggi orang lain adalah dilayan.

37

Dirk van Dierendonk dan Kathleen Patterson (Editor), Servant Leadership: Developments in Theory and Research (New York: Palgrave Macmillan, 2010), 12.

38

Fons Trompenaars dan Ed Voerman. Servant-Leadership Across Cultures: Harnessing the strength of the world's most powerful leadership philosophy (New York: Infinite Ideas Limited. 2009), 3.

39 Larry C. Spears and Michele Lawrence (Editor), FOCUS ON LEADERSHIP: Servant-Leadership for the Twenty-First Century (New York: John Wiley & Sons, Inc, 2002), 19


(16)

32 Ujian terbaik dalam kepemimpinan ini adalah: apakah mereka yang dilayani tumbuh sebagai pribadi, atau apakah mereka yang dilayani, menjadi lebih sehat, lebih bijaksana, lebih bebas, lebih mandiri, dan lebih memungkinkan diri mereka menjadi pelayan?.” Jadi kepemimpinan yang melayani menurutnya dimulai dari kesadaran seorang pemimpin adalah pelayan.

Berkaitan dengan itu, Neuschel41 menyebut yang melayani adalah seorang pemimpin dengan pengikut yang ia bantu untuk berkembang dalam reputasi, kemampuan atau dalam sejumlah hal memberi kontribusi untuk membangun mereka menjadi orang yang lebih berguna dan bahagia. Pemimpin yang melayani mengembangan kemampuan para pengikutnya untuk memberi kontribusi bagi organisasi. Pemimpin yang melayani membuat para bawahannya berkembang dalam kemampuan mereka untuk berproduksi. Dapat dikatakan bahwa kepemimpinan transformasional dan servant leadership, keduanya berfokus pada proses antara pemimpin dan pengikut. Hubungan antara pemimpin dan pengikutnya menekankan proses antara keduanya yaitu visi, pengaruh, kredibilitas, kepercayaan dan pelayanan. Servant leadership muncul dari prinsip yang dianut oleh pemimpin, nilai-nilai dan kepercayaan. Melayani pihak lain berarti pemimpin memfasilitasi bawahannya untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Pemimpin yang melayani merasa bahwa begitu arahannya jelas, peranannya adalah membantu bawahannya mencapai sasaran.42

Itulah sebabnya pemimpin yang melayani terus menerus mencoba menemukan hal-hal yang diperlukan orang-orang mereka untuk berhasil. Pemimpin yang melayani memiliki rasa kemanusian yang tinggi karena dia melayani orang-orang bukan untuk memperoleh lebih banyak dari mereka; melainkan karena ingin meningkatkan harga diri mereka dan

41

Robert P. Neuschel, PEMIMPIN YANG MELAYANI: Mengerahkan Kekuatan Orang-orang Anda (Jakarta: Academia, 2008), 107.


(17)

33 kebanggaan orang-orang itu. Hal ini semata-mata bukan hanya melayani untuk mendapatkan hasil, tetapi perilaku untuk melayani adalah hasilnya.

Menurut Greenleaf ada beberapa hal yang ditemukan dalam Servant Leadership sebagai berikut: 43

a) Sesuatu diawali dari inisiatif individu. Pikiran, sikap dan tindakan dari setiap orang diawali dari konsep individu yang lahir dari inspirasi. Pemimpin yang melayani membutuhkan lebih dari inspirasi. Pemimpin yang berinisiatif membangun ide dan struktur dan mampu menanggung resiko kegagalan dalam perjalanan menuju sukses.

b) Mimpi adalah konsep visioner menggerakkan dan menjadikan kepemimpinan mencapai gol sehingga sekalipun resiko tinggi, bawahan dapat menerima dan mengikuti pemimpin.

c) Visi, adalah sebuah tindakan untuk melihat objek eksternal, yaitu kemampuan untuk melihat, penglihatan; Visi lebih sempurna dan akurat pada hewan daripada manusia. Dapat juga dikatakan visi sesuatu yang diimpikan untuk dilihat, kadang-kadang tidak nyata dan masih bersifat abstrak. Visi memberikan semangat dan mengubah tujuan menjadi tindakan nyata. Oleh karena itu visi merupakan sebuah realita yang belum nyata dan lebih dari sekedar mimpi. Seorang pemimpin haruslah seseorang yang memiliki visi, pandangan dan mampu untuk mengetahui cara berpikir dari pihak lain. Banyak penulis teori kepemimpinan menekankan pentingnya visi untuk menginspirasikan pihak lain, untuk memotivasi tindakan, untuk bergerak dengan harapan untuk masa depan. Penjelasan yang lebih jauh visi merefleksikan pengertian mendalam yang memungkinkan seseorang mendeteksi pola dan trend yang selama


(18)

34 ini dipegang sehingga dapat menuntun pemimpin untuk masa kini dan masa yang akan datang. Untuk itu seorang pemimpin haruslah pertama sekali mengembangkan semangat dan mental positif dalam mencapai harapan yang dikehendaki. Mental positif ini yang disebut visi atau kadang juga disebut sebagai tujuan dari misi. Kemudian Haryanto dapat menyimpulkan visi, yaitu44: (1)Visi yang profetik (2) Indera untuk mengetahui hal yang tidak belum diketahui, (3) Melihat apa yang tidak terlihat. d) Mendengar dan Memahami

Seorang pemimpin yang benar-benar pelayan secara alami merespon dengan spontan setiap masalah dengan lebih dahulu mendengar. Pemimpin yang secara alami membutuhkan displin belajar mendengar sehingga dapat mendengar dengan benar dan mampu membangun kekuatan bagi orang lain. Oleh karena itu jangan takut diam, sebab dengan diam kita dapat mengembangkan apa yang ada dalam pikiran kita.

e) Pengaruh

Pengaruh memiliki peranan yang sangat penting dalam hubungan antara pemimpin yang dipimpin, terutama dalam pemenuhan tujuan mereka. Oleh sebab itu pengaruh merupakan hal yang vital untuk memperoleh kerjasama dari pihak lain untuk memenuhi tujuan grup dan organisasi.

f) Kredibilitas

Hal yang sangat penting lainnya dalam memahami dan menerapkan servant leadership adalah kredibilitas. Kredibilitas adalah sesuatu yang pemimpin impikan. Seorang pemimpin haruslah mengkomunikasikan kredibilitas kepada mereka yang diinginkannya untuk menjadi bawahan atau pengikutnya. Kredibilitas pemimpin yang


(19)

35 melayani didasarkan pada ketergantungan dan kepercayaan antara atasan dan bawahan. Kredibilitas pemimpin terjadi ketika pemimpin mendemonstrasikan keahlian dan kompetensinya dan menunjukkan pengetahuan berkaitan dengan tehnologi dan pengembangan baru dalam bidangnya. Pemimpin yang memiliki kredibilitas akan senantiasa belajar dan menciptakan situasi pembelajaran didalam organisasi mereka. Pemimpin juga menginspirasikan harapan dan keberanian pada pihak lain dengan memberikan keyakinan, dengan memfasilitasi citra yang positif, dan dengan memberikan bantuan kepada pihak lain.

g) Kepercayaan

Kepercayaan adalah faktor yang sangat penting mempengaruhi hubungan antara pemimpin dan pengikutnya. Kepercayaan adalah akar dari kepemimpinan yang melayani dan pengambilan keputusan. Integritas dipandang sebagai integral dari hubungan kepercayaan. Tanpa integritas, kepercayaan tidak akan pernah dapat diperoleh. Pemimpin yang terbaik adalah yang transparan, melakukan apa yang mereka katakan dan bertindak dalam nilai-nilai yang benar. Kepercayaan sangat penting dalam mengembangkan hubungan interpersonal, terutama dalam proses komunikasi interpersonal. Kepercayaan adalah pusat dari hubungan kemitraan yang diwakili melalui ide dari persahabatan dan kepercayaan dengan pihak lain. Ada 4 komponen yang membangun kepercayaan yaitu: (a) kompetensi (b) keterbukaan (c) keprihatinan (d) reliability.


(20)

36

2.1.4. Karakteristik Pemimpin yang Melayani (Characteristics of the Servant-Leader)

Karakter merupakan fondasi kemampuan kepemimpinan45. Pemahaman mendasar berkaitan dengan karakter biasanya berhubungan dengan sifat-sifat yang ditunjukan oleh seorang pemimpin. Dalam kelompok apa pun, seorang pemimpin akan muncul karena ia memiliki kekuatan karakter dan kepribadian yang diinginkan dan bukan semata karena kapasitas intelektual atau IQ dalam jumlah tertentu46. Karakter yang dimiliki seorang pemimpin lebih penting daripada kecerdasan dalam diri seorang pemimpin. Kecerdasan bukanlah faktor terkuat yang mempengaruhi dan memotivasi orang yang menikutinya. Daya tarik kualitatif dari sifat, seperti integritas, kematangan, konsistensi, antusiasme, dan keuletan membuat orang berbaris di belakang pemimpin47.

Selanjutnya dijelaskan bahwa citra pemimpin bukan pada tampilan luar dirinya, melainkan lebih merupakan seluruh sistem nilai yang ditunjukan terus menerus. Ketika manifestasi ini jelas dan konsisten serta merefleksikan suatu karakter integritas pribadi, citra inilah yang akan menjadi instrument yang efektif dalam mempengaruhi pengikutnya48. Jadi kepempinan tidak hanya bergantung pada kecerdasan intelektual, tetapi yang harus diakui adalah kekuatan dari karakter yang dimiliki oleh pemimpin menjadi faktor yang penting dan mendasar dalam kepemimpinan.

45

Robert P. Neuschel, PEMIMPIN YANG MELAYANI..., 40. 46 Ibid.,39

47 Ibid., 37 48 Ibid.


(21)

37 Dalam tulisannya yang berjudul Servant Leadership and Robert K. Greenleaf Legacy49,

Spears menyebutkan sepuluh karakteristik seorang servant-leader yang dapat diindentifikasikan olehnya dari karya Robert Greenleaf. Sepuluh karakteristik yang dikemukakan, antara lain:

a. Mendengarkan (Listening)

Para pemimpin secara tradisional dinilai berkaitan dengan keterampilan mereka dalam hal berkomunikasi dan pengambilan keputusan. Memang dua hal ini merupakan keterampilan-keterampilan yang penting untuk dimiliki oleh seorang servant-leader,

namun harus diperkuat dengan komitmen mendalam untuk secara intens mendengarkan orang-orang yang berbicara kepadanya. Seorang servant-leader senantiasa berupaya untuk mengetahui kehendak kelompoknya, dan dia mencoba untuk mengklarifikasi kehendak itu. Dia berupaya untuk mendengarkan apa saja yang dikatakan dan tidak dikatakan oleh orang-orang lain kepadanya. Seorang pendengar yang baik juga selalu mendengarkan suara di dalam batinnya, dan berupaya untuk memahami komunikasi yang disampaikan orang-orang lain lewat bahasa tubuh mereka, seperti ekspresi wajah dlsb. Upaya mendengarkan harus disertai refleksi secara teratur demi tercapainya pertumbuhan sang servant-leader itu sendiri50.

b. Empati (Empathy).

Seorang servant-leader senantiasa berupaya untuk memahami dan berempati dengan orang-orang lain. Orang-orang mempunyai kebutuhan untuk diterima dan diakui untuk semangat mereka yang istimewa dan unik. Seorang servant-leader harus mengandaikan adanya niat-niat baik dari orang-orang yang dilayaninya dan tidak menolak mereka sebagai pribadi-pribadi manusia, walaupun dia terpaksa harus menolak perilaku atau prestasi kerja mereka. Para servant-leader yang paling sukses adalah mereka yang menjadi sangat terampil sebagai para pendengar yang penuh empati51.

c. Penyembuhan (healing).

Belajar untuk menyembuhkan adalah suatu kekuatan hebat terciptanya transformasi dan integrasi. Satu dari kekuatan-kekuatan dahsyat servant-leadership adalah dimilikinya potensi untuk menyembuhkan diri sendiri dan orang-orang lain. Banyak orang menderita karena berbagai macam luka emosional. Walaupun ini adalah suatu bagian dari keberadaan kita sebagai manusia, seorang servant-leader melihat hal ini sebagai suatu kesempatan untuk menolong orang lain yang dijumpai agar dapat menjadi seorang pribadi yang utuh52.

49

Dirk van Dierendonk dan Kathleen Patterson (Editor), Servant Leadership….,11. 50 Ibid.,17.

51 Ibid. 52 Ibid.


(22)

38

d. Kesadaran (Awareness).

Kesadaran umum, dan terutama kesadaran-diri akan memperkuat diri seorang servant-leader. Membuat komitmen untuk memperkuat kesadaran dapat menjadi menakutkan, karena kita tidak pernah tahu apa yang akan kita alami! Kesadaran juga membantu sang

servant-leader dalam memahami isu-isu yang menyangkut etika dan nilai-nilai. Kesadaran akan memampukan sang servant-leader untuk memandang kebanyakan situasi yang dihadapi dari posisi yang lebih terintegrasi dan holistik sifatnya. Kesadaran memang mempunyai risiko-risiko, namun kesadaran membuat hidup ini menjadi lebih menarik; yang jelas kesadaran ini memperkuat keefektifan seseorang sebagai seorang pemimpin. Apabila seseorang senantiasa sadar, hal ini berarti lebih daripada sekadar berjaga-jaga yang biasa, dan sang pemimpin juga berkontak secara lebih intens dengan situasi yang langsung dihadapi53.

e. Persuasif atau bujukan (Persuasion).

Seorang servant-leader menggunakan persuasi, bukannya menggunakan otoritas karena posisinya, dalam meyakinkan orang-orangnya terkait pengambilan keputusan-keputusan dalam sebuah organisasi. Seorang servant-leader berupaya untuk menyakinkan orang-orangnya, bukan dengan memaksakan mereka untuk taat kepada perintahnya. Unsur yang satu ini menunjukkan satu perbedaan paling jelas antara model tradisional yang menekankan otoritas dan servant-leadership. Seorang servant-leader itu efektif dalam membangun konsensus di dalam kelompok-kelompok54.

f. Konseptualisasi (Conceptualization).

Seorang servant-leader berupaya memelihara kemampuannya untuk “memimpikan

mimpi-mimpi besar” (to dream great dreams). Kemampuan untuk melihat sebuah masalah (atau sebuah organisasi) dari perspektif konseptualisasi berarti seseorang harus berpikir melampaui realitas-realitas sehari-hari. Para manajer tradisional dikuasai oleh pemikiran untuk mencapai tujuan operasional yang bersifat jangka pendek. Namun seorang manajer yang juga ingin menjadi seorang servant-leader harus merentangkan pemikirannya agar dapat mencakup pemikiran konseptual yang berbasis lebih luas. Seorang servant-leader dipanggil untuk berupaya memelihara keseimbangan antara pemikiran konseptual dan pendekatan yang terfokus dari hari ke hari55.

g. Kemampuan meramalkan (Foresight).

Yang dimaksudkan dengan foresight adalah kemampuan di atas rata-rata untuk memprakirakan apakah yang akan terjadi dan di manakah terjadinya hal tersebut di masa depan. Kemampuan ini erat terkait dengan “konseptualisasi” yang dikemukakan dalam butir 6 di atas: sulit untuk didefinisikan namun mudah untuk diidentifikasikan. Kita mengetahuinya ketika kita melihatnya. Foresight adalah suatu karakteristik yang memampukan seorang servant-leader memahami pelajaran-pelajaran dari masa lalu, realitas-realitas hari ini, dan konsekuensi-konsekuensi yang dimungkikan dari sebuah keputusan berkaitan dengan masa depan. Foresight juga berakar secara mendalam dalam pikiran yang intuitif. Ada ahli-ahli yang mengatakan bahwa foresight ini adalah

53 Ibid. 54 Ibid., 18. 55 Ibid.


(23)

39 karakteristik bawaan sejak lahir dari seorang pribadi, sedangkan karakteristik-karakteristik lainnya dapat dikembangkan lewat pelatihan dan studi. Yang jelas foresight

ini belum merupakan pokok yang banyak diselidiki dan ditulis oleh para ahli kepemimpinan56.

h. Kepengurusan (Stewardship).

Peter Block, pengarang “Stewardship and The Empowered Manager) mendefinisikan

stewardship ini sebagai memegang/mengurus sesuatu untuk orang lain atas dasar kepercayaan”. Menurut pandangan Robert Greenleaf, semua lembaga adalah tempat di mana CEO, para pekerja dll. Semua memainkan peranan yang signifikan dalam mengurus lembaga-lembaga mereka atas dasar kepercayaan demi kebaikan masyarakat yang lebih besar. Servant-leadership, seperti juga stewardship pertama-tama dan terutama mengandaikan suatu komitmen untuk melayani kebutuhan-kebutuhan orang lain. Hal tersebut juga menitik-beratkan penggunaan keterbukaan dan persuasi, bukan pengendalian (kontrol)57.

i. Komitmen terhadap pertumbuhan orang-orang (Commitment to the growth of people). Seorang servant-leader percaya bahwa pribadi-pribadi memiliki nilai intrinsik yang melampaui kontribusi-kontribusi mereka yang kelihatan sebagai pekerja-pekerja dalam perusahaan (dalam hal dunia bisnis). Dengan demikian sang servant-leader

memiliki komitmen mendalam berkaitan dengan pertumbuhan setiap individu dalam lembaganya. Sang servant-leader di sini mengakui tanggung-jawab yang besar sekali untuk melakukan segala sesuatu di dalam kekuasaannya untuk memelihara pertumbuhan pribadi, pertumbuhan profesional dan pertumbuhan spiritual. Dalam prakteknya, hal ini dapat mencakup (namun tidak terbatas pada) tindakan-tindakan konkret seperti menyediakan dana yang diperlukan untuk pengembangan pribadi dan pengembangan profesional, menaruh perhatian pribadi sang pemimpin pada ide-ide dan usul-usul dari setiap orang, mendorong serta menyemangati keterlibatan orang yang dipimpinnya dalam proses pengambilan keputusan, dan secara aktif membantu para karyawan yang terkena PHK supaya mendapat pekerjaan baru58.

j. Membangun komunitas (Building community). Seorang servant-leader merasakan bahwa masyarakat modern telah kehilangan banyak dalam sejarah manusia – teristimewa akhir-akhir ini – karena adanya pergeseran dari komunitas-komunitas lokal kepada lembaga-lembaga besar sebagai pembentuk utama kehidupan manusia. Kesadaran ini menyebabkan sang servant-leader berupaya untuk mengidentifikasikan beberapa cara untuk membangun komunitas di antara mereka yang bekerja dalam sebuah lembaga tertentu. Servant-leadership menyarankan bahwa komunitas sejati dapat diciptakan di antara mereka yang bekerja dalam bisnis dan lembaga-lembaga lain. Greenleaf sendiri mengatakan, bahwa apa yang diperlukan untuk membangun kembali komunitas sebagai bentuk kehidupan yang dapat hidup terus bagi orang-orang yang berjumlah banyak, adalah agar ada cukup banyak servant-leaders untuk menunjukkan jalannya, tidak dengan gerakan-gerakan massal, melainkan oleh masing-masing servant-leader yang

56 Ibid.,18-19. 57 Ibid.,19. 58Ibid.


(24)

40 mendemonstrasikan kewajibannya sendiri yang tak terbatas untuk melayani kelompok khusus yang terkait komunitas59.

Sebenarnya sepuluh karakteristik servant-leadership masih dapat disempurnakan lagi. Akan tetapi diharapkan bahwa sepuluh karakteristik ini dapat mengkomunikasikan kekuatan dan janji yang ditawarkan oleh konsep kepemimpinan ini, teristimewa bagi segala pihak yang bersedia membuka diri terhadap undangannya dan berbagai tantangannya60.

Pendapat lain berkaitan pembahasan tentang karakteristik kepemimpinan yang melayani diungkapkan oleh Patterson. Patterson (2003) melihat Servant leadership (kepemimpinan melayani) adalah suatu teori mengenai kebajikan atau kesalehan (Virtuous Theory). Kebajikan atau kesalehan adalah karakteristik kualitatif yang merupakan bagian dari karakter seseorang, sesuatu yang ada di dalam diri seseorang yang bersifat internal, atau yang lebih ditekankan disini yakni bersifat spritual atau rohaniah atau batiniah. Teori kebijakan atau kesalehan (Virtue Theory) menunjukan ide dalam melakukan hal-hal yang tepat dengan fokus pada karakter moral, dan mencari hal-hal yang tepat dilakukan dalam situasi tertentu. Kesalehan atau kebajikan berharga bagi kepemimpinan karena berfokus pada kebaikan bersama, bukan pada maksimal keuntungan, karena itu mendapat tempat dalam kepemimpinan61. Model teoritis yang dibuat oleh Patterson (2003) mengenai servant leadership (kepemimpinan melayani), terdiri dari tujuh konstruk kebijakan atau kesalehan62, yaitu:

(a) Kasih yang murni atau Agape (Agape Love), menurut Patterson merupakan landasan

hubungnan kepemimpinan dan pengikut adalah Kasih Agape. Menurut Dennis dan Bocarnea (2006) kasih agape artinya mengasihi dalam arti sosial atau moral. Menurutnya Kasih ini menyebabkan pemimpin untuk menggap setiap orang tidak hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan, tetapi sebagai orang pelengkap antara kebutuhan dan keinginan. Lebih

lanjut menurutnya ”lakukan kepada orang lain seperti yang anda inginkan kepada orang tersebut lakukan kepadamu” terapkan untuk semua. Servant leadership (kepemimpinan melayani) benar-benar peduli untuk orang lain dan tertarik dalam kehidupan pengikutnya63.

59 Ibid., 19-20. 60

Ibid., 20.

61 Dirk van Dierendonk dan Kathleen Patterson (Editor), Servant Leadership…., 67-76. 62 Ibid.,170.


(25)

41

(b) Kerendahan Hati (Humility), menurut Sandage dan Wiens (2001) dalam tulisan

Dennis dan Bocarnea (2006) berpendapat bahwa kemampuan untuk menjaga sebuah sebuah prestsi dan talenta dalam prespektif. Ini berarti berlatih penerimaan diri, tetapi selanjutnya meliputi praktek kerendahan hati yang sejati, yang berarti tidak menjadi berfokus pada diri sendiri melainkan berfokus pada orang lain. Swindoll (1981) dalam tulisan Dennis dan Bocarnea (2006) berpendapat bahwa kerendahan pelayan tidak boleh disamakan dengan miskin harga diri, melainkan bahwa kerendahan hati adalah sejalan dengan ego yang sehat. Dengan kata lain, kerendahan hati bukan berarti memiliki rendahnya pandangan terhadap diri sendiri atau nilai diri seseorang, melainkan berarti melihat sesorang tidak lebih baik atau buru daripada yang lainnya. Servant leadership (kepemimpinan melayani) melihat kerendahan hati sebagai cerminan akurat dari penilain diri dan karena itu, memelihara fokus pada rendah diri (Tangney: 2000)64.

(c) Mengutamakan orang lain (altruism), tulisan Kaplan (2000) menyatakan bahwa altruism

adalah membantu orang lain tanpa pamrih, yang melibatkan pengorbanan pribadi, meskipun tidak ada keuntungan pribadi. sementara Dennis dan Bocarnea (2006) mengutip tulisan Eisenberg (1986) mendefenisikan perilaku altruistik sebagai perilaku sukarela yang dimaksudkan untuk menguntungkan pihak lain dan tidak dimotivasi oleh harapan eksternal yakni penerimaan imbalan atau pahala. Bagi Johnson (2001) dalam tulisan Dennis dan Bocarnea (2006) yang berpendapat bahwa altruism merupakan perspektif etika. Menerapkan teori kognisi sosial untuk menjelaskan altruism, yang berfokus pada faktor-faktor identitas, persepi diri, cara pandangan, dan empati. Lebih lanjut Monroe (1994) mengutip pendapat yang dikemukakan oleh Dennis dan Bocarnea (2006) mendefenisikannya sebagai perilaku yang dimaksukan untuk mendatangkan keuntungan yang lain, bahkan melakukannya mungkin beresiko atau memerlukan pengorbanan untuk kesejahteraan orang lain65.

(d) Visi (Vision), Blanchard (2000) mendefinisikan visi sebagai ”Gambaran masa depan

yang menghasilkan gairah”, selanjutnya dijelaskan bahwa visi diperlukan untuk

kepemimpinan yang baik. Demikian Laub (1999) menemukan bahwa visi bersama membangun orang lain (memberdayakan mereka) dan melayani kebutuhan orang lain (melayani mereka). Menurut Dennis dan Bocarnea (2006) berpendapat bahwa servant leadership (kepemimpinan melayani) harus bermimpi sambil tetap berada di masa lalu dan fokus pada masa depan, karena ini memungkinkan pemimpin untuk mengambil keuntungan dari peluang masa kini. Berkaitan visi dan kerendahan hati Dennis dan Bocarnea (2006) mengutip pendapat yang dikemukakan oleh Buchan (2002) menyatakan bahwa kepemimpinan yang melayani tidak mementingkan diri sendiri, memungkinkan ego pemimpin dengan mendapatkan cara kemampuannya dalam membayangkan masa depan organisasi66.

(e) Percaya (Trust), kepercayaan adalah karakteristik penting dari servant leadership

(kepemimpinan melayani). Model tersebut kebenaran servant leadership (kepemimpinan melayani) dalam cara melatih, memberdayakan dan mempengaruhi. Kepercayaan ini ada sebagai elemen dasar untuk suatu kepemimpinan sejati. Menurut Russell (2001) dalam tulisan Dennis dan Bocarnea (2006) dinyatakan bahwa nilai-nilai integritas dan kejujuran membangun kepercayaan interpersonal, organisasi dan menyebabkan kredibilitas; kepercayaan ini sangat penting dalam servant leadership (kepemimpinan melayani), dan selalu hadir sebagai faktor penting yang merupakan pusat kepemimpinan. Selain itu Melrose (1998) sebagaimana dikutip dalam Dennis dan Bocarnea (2006) menyatakan bahwa para pemimpin melakukan apa yang dikatakan, yang menimbulkan kepercayaan. Keterbukaan seorang

64 Ibid. 65 Ibid. 66 Ibid.


(26)

42 pemimpin untuk menerima masukan dari orang lain meningkatkan kepercayaan pada seorang pemimpin. Pengikut lebih cenderung mengikuti pemimpin dengan perilaku yang konsisten, dapat dipercaya dan dapat langsung terhubung dengan aspirasi pengikutnya67.

(f) Pemberdayanaan (Empowerment), Pemberdayaan adalah mempercayakan kekuasaan kepada orang lain, dan untuk servant leadership (kepemimpinan melayani) menyangkut mendengarkan secara efektif, membuat orang merasa penting, menempatkan penekanan pada kerja sama tim, menghargai cinta dan kesetaraan (Russell dan Stone, 2002). Covey (2002) berpendapat bahwa pemimpin berfungsi sebagai contoh untuk memberdayakan orang lain dan untuk menilai perbedaan pengikutnya. Mcgee-Cooper dan Trammell (2002) sebagaimana dikutip dalam Dennis dan Bocarnea (2006) berpendapat bahwa memahami asumsi dasar dan latar belakang informasi tentang isu-isu penting pemberdayakan masyarakat untuk menemukan makna lebih dalam pekerjaan dan untuk berpartisipasi lebih lengkap dalam pengambilan keputusan yang efektif. Bass (1990) sebagaimana dikutip dalam Dennis dan Bocarnea (2006) mengemukakan bahwa pemberdayaan adalah pembagian kekuasaan dengan pengikut dalam perencanaan dan pengambilan keputusan68.

(g) Pelayanan (Service). Tindakan melayani meliputi misi tanggung jawab kepada orang

lain (Dennis dan Bocarnea: 2006). Pemimpin memahami bahwa pelayanan adalah pusat servant leadership (kepemimpinan melayani). Model servant leadership (kepemimpinan melayani), melayani sesamanya dalam perilaku, sikap, dan nilai-nilai. Menurut Block (1993) sebagaimana dikutip dalam tulisan Dennis dan Bocarnea (2006), pelayanan adalah segalanya. Orang-orang bertanggung jawab kepada siapa yang dilayani apakah itu bawahan atau pengikutnya. Greenleaf (1996) mengemukakan bahwa bagi para pemimpin untuk melayani orang lain, harus memiliki rasa tanggungjawab69.

Patterson (2003) menjadikan kasih sebagai karakteristik dari Servant leadership (kepemimpinan melayani) yang paling mendasar atau utama, dan diakhiri dengan pelayanan. Model yang dibuat Patterson, sesuai dengan ajaran Yesus, yaitu hukum yang kedua, yang sama pentingnya dengan hukum yang terutama, adalah mengasihi sesama manusia. Sebagai orang yang mengasihi sesama manusia dengan baik dan penuh kasih. Dalam kerangka karakteristik ini diawali dengan Kasih sebagai karakteristik dasar servant leadership (kepemimpinan melayani), dan diakhiri dengan motivasi untuk melayani sesama, sebagai akibat yang timbul dari sikap mengasihi tersebut70.

Patterson memakai teori Maslow bahwa, salah satu kebutuhan manusia adalah dikasihi atau dicintai. Kasih dapat memberikan dorongan yang kuat pada diri sesorang untuk berbuat sesuatu. Jadi servant leadership (kepemimpinan melayani) juga perlu memimpin bahwahannya dengan Kasih atau

67

Ibid., 172 68 Ibid. 69 Ibid. 70 Ibid., 67-76


(27)

43 cinta. Sebetulnya dasar dari konsep servant leadership (kepemimpinan melayani), adalah konsep kasih atau cinta kepada sesama, khususnya kepada para bawahannya. Hal ini perlu ditumbuhkan pada para pemimpin, agar seorang pemimpin menumbuhkan potensi yang ada pada bawahannya dengan lebih baik lagi, yaitu dengan mengasihi, mengembangkan dan melayani bawahan-nya, serta mengajar bawahannya untuk kembali mengasihi orang lain dan mau mengembangkan serta melayani orang lain dengan lebih baik lagi71.

Pendapat lain datang dari Sendjaya72, yang mendeskripsikan karakter pemimpin yang perlu dimiliki oleh seorang pemimpin yang melayani dan secara konseptual dikelompokkan dalam enam dimensi, antara lain:

a) Kesadaran Diri sebagai Pelayan (Voluntary Subordination), Pemimpin memprioritaskan kepentingan dan kebutuhan individu lain diatas kebutuhan diri sendiri. Seorang pemimpin pelayan memiliki kencederungan untuk melayani orang lain daripada dilayani. Dengan memandang dirinya sebagai pelayan, maka para pemimpin pelayan melayani orang lain tanpa pandang latar belakang. Kepemimpinan yang melayani menggunakan kuasa untuk melayani orang lain bukan ambisinya sendiri, sebab kekuasaan dipandang hanyalah ala untuk meningkatkan kualitas pelayanan. Kekuasaan bukan tujuan, tetapi pada prinsipnya, kekuasaan, dalam pengertian jabatan formal, tidak menjadi sangat menentukan bagi krdibilitas seorang pemimpin. Ia dapat melayani dalam posisi apapun, namun kesempatan melayani dari posisi kekuasaan yang lebih tinggi memberikan kesadaran padanya untuk melayani dengan kualitas yang lebih baik. Pemimpin melayani dengan menunjukkan rasa keperduliannya melalui tindakan konkrit sebagai seorang pelayan.

71 Ibid.


(28)

44

b) Pribadi yang Otentik (Authentic Self), Pemimpin melakukan setiap tindakan didasarkan pada kerendahan hati. Pemimpin memiliki pandangan ke depan, sehingga pemimpin telah mempertimbangkan setiap konsekuensi untuk setiap perencanaan. Diri yan otentik di sini berhubungan dengan transparansi yaitu keterbukaan diri yang otentik tentang perasaan, keyakinan, dan tindakan seorang pemimpin kepada para pengikutnya, sehingga muncul kerendahan hati yang memungkinkan integritas, dapat dipercaya, bertanggungjawab dan dapat diandalkan.

c) Covenantal Relationship, dalam hal hubungan dengan individu lain, pemimpin mampu menerima individu lain sebagaimana dirinya, dengan kelebihan serta kekurangan dari individu tersebut. Pemimpin memperlakukan individu lain sebagai rekan kerja dibandingkan bawahan. Pemimpin memberikan waktu untuk membangun hubungan secara profesional dengan individu lain. Pemimpin melibatkan individu lain dalam setiap keputusan serta perencanaan. Dimensi ini ditandai dengan adanya sikap penerimaan, keseimbangan, kebergunaan, dan kolaborasi.

d) Responsible Morality, pemimpin membawa individu lain untuk bekerja dengan adanya tujuan moral, sehingga individu memiliki rasa kepemilikan atas apa yang ia kerjakan. Pemimpin mengajak individu untuk bekerja dengan cara yang benar, bukan hanya dengan cara yang terlihat baik. Dalam dimensi ini pemimpin yang melayani tidak bersifat memperbolehkan, tetapi selalu menetapkan standar tinggi dalam keberadaan dan perbiatan.


(29)

45

e) Trancendent Spirituality, pemimpin melakukan hal dengan suatu tujuan yang lebih dari sekedar pencapaian pribadi, melainkan untuk Tuhan dan individu lain. Pemimpin membantu para pengikut untuk menemukan tujuan hidup selain dari menyelesaikan suatu pekerjaan dengan baik. Pemimpin membantu individu lain untuk menemukan rasa kebermaknaan dari kehidupan sehari-hari pada pekerjaan. Pemimpin memberikan suatu nilai kepada para pengikut yang tidak berfokus pada materi dan diri sendiri.

f) Transforming Influence, pemimpin akan memastikan setiap individu dalam organisasi memegang visi yang dibagikan bersama. Pemimpin mengijinkan para pengikut untuk mengekspresikan diri dan menuangkan kreativitas, tanpa harus memaksa mereka mengikuti cara dari pemimpin dan tidak merasa takut untuk mencoba. Pemimpin menjadi teladan dari pengaruh yang dibawa. Pemimpin memberikan timbal balik kepada para pengikut atas peforma dari individu.

6 dimensi karakter dari pemimpin yang melayani, yang telah dijelaskan di atas, secara ringkas diuraikan dalam gambar berikut ini:


(30)

46

Gambar 2.1. Enam Dimensi Karakter Pemimpin yang Melayani

Being a servant Voluntary

subordination

Acts of servive Humility

Authentic self Integrity

Security Accountability

Vulnerability

Availability Acceptance Covenantal

relationship

Equality Collaboration

Moral action Responsible

morality

Moral reasoning

Religiousness Transcendental

spirituality Sense of mision

Interconnectedness

Wholeness

Vision

Transforming influence

Mentoring Modelling

Trust Empowerment


(31)

47

2.2. PENDETA

2.2.1. Pendeta sebagai Pemimpin yang Melayani

Kata pendeta diambil dari kata “Pasteur, Pastor” (bahasa latin dari kata gembala). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pendeta didefinisikan sebagai orang pandai, pertapa (dalam cerita-cerita kuno), pemuka, pemimpin atau guru agama73. Kata ‟Pendeta” sendiri tidak ditemukan dalam Alkitab. Alexander Strauch menyebutkan bahwa kata Pendeta diambil dari luar kekristenan untuk memberikan nama kepada seorang gembala tunggal atau senior yang berkuasa74. Jadi secara umum, berdasarkan pemahaman tersebut maka pendeta dipahami sebagai sebutan bagi pemimpin agama.

Walaupun Pendeta adalah pemimpin, namun menurut pernyataan LCA (Gereja Lutheran di Australia), jabatan kependetaan tidak berarti bahwa mereka yang memegangnya mempunyai kuasa yang sewenang-wenang atas orang Kristen lainnya75. Disamping pendeta sebagai pemimpin dalam jabatan gerejawi, namun jabatan kependetaan seharusnya tidak dipandang dan dihayati hanya sebagai jabatan pribadi yang dimiliki pendeta tanpa memperdulikan makna tugas pelayan yang diemban di dalamnya.

Menurut Dahlenburg, posisi pendeta dalam jemaat sesungguhnya adalah pelayan yang tidak lebih tinggi dari pada kaum awam, dengan kata lain Pedeta adalah pelayan di antara pelayan-pelayan lain76. Hal tersebut didasarkan pada pemahaman bahwa panggilan sebagai seorang Kristen adalah panggilan untuk melayani. Walaupun ada pelbagai karunia yang berbeda,

73 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi kedua (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), 747

74

Alexander Strauch, Manakah Yang Alkitabiah: Kepenatuaan atau Kependetaan (Yogyakarta: Andi, 1992), 179

75 G.D.Dahlenburg, Siapakah Pendeta Itu (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999), 10. 76 Ibid., 9.


(32)

48 namun karunia itu bukanlah alat pengukur tingkat dan status umat Allah, karena di hadapan Allah derajat semua umat-Nya sama77.

Selanjutnya dijelaskan bahwa pelayanan kependetaan adalah suatu pelayanan yang umum dan resmi. Luther menyatakan bahwa, “Kalau kita orang Kristen, maka kita semua adalah pendeta. Tetapi pendeta-pendeta yang kita panggil adalah pelayan-pelayan yang kita panggil untuk melayani atas nama kita dan jabatan mereka sebagai pendeta merupakan suatu pelayan saja.”78

Karena tidak semua orang mampu dan boleh berkhotbah, mengajar, memimpin, maka harus ada orang yang dipercayakan dan diutus dengan doa dan penumpangan tangan di hadapan Tuhan dan jemaatnya yang kemudian memegang jabatan sebagai pendeta. Dalam menjalankan tugasnya bukan untuk kepentingan jabatan tersebut melainkan untuk melayani semua anggota yang lain79. Lebih lanjut ditegaskan oleh Dahlenburg bahwa pendeta itu harus berbicara sebagai seorang pelayan kepada pelayan-pelayan lain; sebagai seorang berdosa kepada orang-orang berdosa80.

Penekanan yang terpenting dari pemahan-pemahan yang berkaitan dengan jabatan kependetaan yang telah dijelaskan adalah pendeta seharusnya menjadi pemimpin yang melayani. Pendeta tanpa menyadari posisinya sebagai pelayan maka itu bukan pendeta, karena pada hakikatnya jabatan kependetaan adalah suatu pelayanan kepada Tuhan melalui sesama dan bukan jabatan pribadi yang dimiliki pendeta. Jabatan kependetaan bukan semata tentang posisi sebagai pemimpin, melainkan lebih dari itu fungsi sebagai pemimpin yang melayani. Jadi seorang pendeta adalah seorang pelayan. Ketika dia melayani dan tidak berorentasi pada kepentingan pribadi maka dia disebut pemimpin yang melayani.

77

Ibid.,8. 78 Ibid., 9. 79 Ibid. 80 Ibid.,10.


(33)

49

2.3. ETNIS TIONGHOA

2.3.1. Konsep tentang Etnis dan Kelompok Etnis

Dalam pemahaman tentang etnis (ethinic) akan ditemukan adanya hubungan dengan kelompok sosial dalam kelompok sistem sosial atau kebuadayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama bahasa, dan seterusnya81. Etnis diartikan sebagai seuatu yang terkait pada segolongan rakyat atau suku atau suatu bangsa yang dianggap masih ada hubungan biologis. Etnis juga digunakan untuk menendai suatu golongan atau suku atau bangsa yang merupakan bagian keseluruhan umat manusia di dunia82.

Selain itu terdapat pendapat dari Smith, yang mendefenisikan etnis (ethinic) sebagai berikut:

Ethinics are in turn defined as named units of population with common ancestry myths and historical memories, element of shared culture, some link with a historic territory and some measure of solidarity, at least among their elites83. (Etnis pada gilirannya didefenisikan sebagai unit yang bernama populasi dengan mitos nenek moyang yang sama dan kenangan sejarah yang sama, unsur budaya bersama, adanya keterkaitan yang sama dengan wilayah bersejarah, dan beberapa ukuran solidaritas, setidaknya di antara elite mereka).

Dari defenisi di atas dapat dipahami adanyapenekanan Smith pada keseragaman tipologi masyarakat secara universal dengan kesamaan yang berlatar belakang mitos tentangf kesamaan nenek moyang dan sejarah, kesamaan budaya, adanya keterkaitan sejarah mendiami wilayah yang sama, serta adanya rasa solidaritas terhadap sesame mereka yang setidak-tidaknya setia terhadap pemimpin/tokoh mereka. Berkaitan dengah hal tersebut, terdapat juga pengertian dari kelompok etnis yang dijelaskan oleh Schermerhorn. Ia menjelaskan pengertian kelompok etnis sebagai berikut:

81 Hasan Alwi, dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka 2005), 309. 82 Pringgodigdo, Ensiklopedia Umum (Yogyakarta: Kanisius,1973), 316.


(34)

50 Suatu kelompok etnis adalah suatu masyarakat kolektif yang mempunyai atau digambarkan memiliki kesatuan nenek moyang, mempunyai pengalaman sejarah yang sama di masa lalu, serta mempunyai fokus budaya di dalam satu atau beberapa elemen yang simbolik itu seperti pola keluarga, ciri-ciri fisik, afiliasi agama dan kepercayaan, bentuk dialek atau bahasa, afiliasi kesukuan, nasionaitas, atau kombinasi dari sifat-sifat yang tersebut di atas. Pada dasarnya di dalam kelompok tersebut terdapat sejenis tali pengikat antar anggotanya sebagai suatu kelompok84.

Tentang defenisi kelompok etnis penulis juga merujuk defenisi yang dijelaskan oleh Smith berikut ini:

An ethnic group (or ethnicity) is group of people whose members identify with each other, through a common heritage, consisting of a common language a common culture (often including a shared religion) and a tradition of common ancestry (corresponding to a history of endogamy). Members of an ethnic group are conscious of belonging to an ethnic group:

moreover ethnic identity is further marked by the recognition from others of a group’s

distinctiveness85. (Sebuah kelompok etnis (atau etnis) adalah sekelompok orang yang anggotanya mengidentifikasi satu sama lain, melalui warisan bersama, yang terdiri dari bahasa yang sama, sebuah kebudayaan umum (sering termasuk kesamaan agama) dan tradisi nenek moyang sama ( yang berhubngan dengan sejarah endogami). Anggota kelompok etnis sadar bahwa memiliki kelompok etnis yang sama, apalagi identitas etnis lebih lanjut ditandai oleh pengakuan dari orang lain dari kekhasan suatu kelompok itu).

Bedasarkan defenisi tersebut maka dapat dipahami bahwa kelompok etnis menjadi identitas pada tiap-tiap kelompok etnis yang satu dengan yang lain sekaligus menjadi faktor pembeda yang kontras. Dengan begitu, apabila ada satu individu dari kelompok etnis yang satu masuk ke dalam kelompok etnis yang lain maka akan sangat kelihatan perbedaan secara kontras karena kelompok etnis sebagai identitas selamanya melekat pada individu. Pendapat lain dari seorang sosiolog terkenal dari Jerman yang bernama Max Weber mendefenisikan kelompok etnis sebagai berikut:

84

H.A.R. Tilaar, Mengindonesia Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia (Jakarta:Rineka Cipta, 2007), 5. 85 Smith, 1987; Marcus Banks, Ethnicity: Antropological Constructions (London: 1996), 151.


(35)

51

Those human groups that entertain a subjective belief in their common descent because of similarities of physical type pr of customs or both, or because of memories of colonization and migration; this belief must be important for group formation; furthermore it does not matter whether an objective blood relationship exists86. (Kelompok manusia yang memelihara keyakinan subyektif dalam keturunan bersama mereka karena kesamaan tipe fisik atau kebiasaan atau keduanya, atau karena kenangan kolonisasi dan migrant; selanjutnya tidak perduli apakah ada tujuanhubungan darah atau tidak, namun kepercayaan ini harus dikedepankan untuk pembentukan kelompok).

Berdasarkan defenisi tersebut maka, kelompok etnis dapat didefenisikan kembali yaitu kelompok etnis adalah kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang dianggap masih ada hubungan biologis maupun hubungan antar anggota suatu kelompok atau suku (dominasi atau penguasaan, subordinasi atau sikap tunduk, persahabatan, saingan, dan sebagainya) dan sifat lain menyangkut kelompok itu secara menyeluruh (besarnya kelompok, masuk tidaknya, rasa kekitaan, rasa setia kawan dan sebagainya), yang semuanya memberikan ciri-ciri khas pada kelompok itu dalam hubungannya dengan kelompok lain87.

2.3.2. Identitas Etnis Tionghoa di Indonesia

Istilah Tionghoa (untuk orangnya) dan Tiongkok (untuk negaranya) mulai digunakan oleh etnis Tionghoa sendiri dan kemudian istilah tersebut diikuti oleh kelompok lain. Istilah ini juga diterima oleh pers dan pemerintah Indonesia sampai munculnya Orde Baru88. Tan Chee Beng menyatakan bahwa identitas etnis dan kultur orang Tionghoa di Asia Tenggara telah dibentuk oleh berbagai pengalaman lokal di negara tempat mereka tinggal dalam suatu proses

86 Max Weber, Economy and Society eds. Guenther Roth and Claus Wittich, Trans. Ephraim Fischof, Vol. 2 Bekeley: University of California Press, 1978, 389.

87

M.D. La Ode, ETNIS CINA INDONESIA DALAM POLITIK: Politik Etnis Cina Pontianak dan Singkawang di Era Reformasi 1998-2008 (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2012), 38.

88

Leo Suryadinata, Etnis Tionghoa dan nasionalisme Indonesia: sebuah bunga rampai, 1965-2008 (Jakarta: Kompas, 2010),193.


(1)

62 sangat eksterm , misalnya anti segala macam barang-barang seni untuk koleksi, tidak mau terlibat dalam suatu kegiatan adat istiadat masyarakat maupun bentuk-bentuk budaya lainnya.

Kesucian hidup dalam aliran pentakosta menjadi penting karena pandangan tentang kesucian didasarkan pada hal-hal sebagai berikut:

1. Ada berkat rohani yang akan dirasakan sesudah pertobatan.

2. Seseorang harus mencari pemimpin Roh Kudus dalam setiap aspek kehidupan

3. Kebangunan Rohani diadakan dengan maksud untuk memenangkan jiwa dan untuk memajukan kehidupan rohani.

4. Orang percaya harus mempertahankan pengharapan kedatangan Kristus kembali dengan segera.

5. Seseorang harus meninggalkan kahidupan duniawi dan semua yang berbau keduniawian seperti: hiburan, kemewahan, pemakaian kosmetik dan perhiasan123.

e. Menekankan Bahasa dan karunia Roh Kudus.

Pengalaman dibaptis dan dipenuhi Roh Kudus merupakan pengalaman penting dan sangat diharapka dalam aliran pentakosta. Hal ini didasarkan pada, pertama, “baptisan Roh Kudus merupakan perintah dan perjanjian Tuhan bagi setiap orang percaya”124. Sedangkan kedua, “Baptissan Roh itu harus ada di dalam kehidupan orang percaya. Bahwa orang percaya harus berusaha berusaha memperolehnya”125

. Dipenuhi Roh Kudus akan disertai dengan tanda berbahasa Roh/bahasa asing serta mendapatkan karunia-karunia Roh Kudus, seperti yang tertulis dalam Alkitab. Dalam pemahaman orang-orang pentakosta, berbahasa Roh mempunyai fungsi; “Pertama, berkata-kata dengan bahasa asing sebagai salah satu dari karunia-karunia Roh”126. Maka berbahasa Roh merupakan fenomena yang penting. Menurut golongan pentakosta, terdapat

123

Stevan H. Talumewo, Sejarah Gerakan Pentakosta (Yogyakarta: Yayasan Andi, 1988), 5. 124M. Tapilatu….,178.

125 Ibid., 179. 126 Ibid., 183


(2)

63 beberapa syarat yang harus dipenuhi, agar seseorang dapat mengalami baptis Roh Kudus, antara lain: “penyerahan kepada kehendak Allah, doa yang berapi-api dan bertekun iman”127.

f. Kesembuhan Ilahi

Kesembuhan ilahi merupakan salah satu pokok pengakuan iman yang penting dalam aliran pentakosta. Allah sebagai pencipta, Dia juga sebagai pemelihara Allah menciptakan manusia dengan sempurna, tanpa cacat dan kelemahan. Apabila ada yang mengalami kelemahan dan sakit penyakit, dalam pandangan aliran pentakosta, disebabkan karena orang tersebut masih dalam belenggu dosa”128. Pandangan ini disadarkan prinsip “Kalau kejatuhan manusia membawa penyakit, maka penebusan Kristus haruslah membawa penyembuhan”129

.

Maka apabila dosa telah diampuni maka sakit penyakit tidak aka nada. Darah-Nya yang tercurah “mempunyai kuasa untuk menyucikan hati manusia dari segala dosa, begitupun bilurnya, mempunyai kuasa untuk menyembuhkan tubuh manusia dari segala penyakit (Yesaya 53: 5,1, I Petrus 2:24)130. Maka dalam suatu kebaktian baik kabaktian umu setiap hari minggu maupun dalam kebaktian kebangunan rohani, kesaksian tentang kesembuhan ilahi maupun undangan untuk menerima kesembuhan ilahi menjadi hal yang penting. Karena kuatnya kepercayaan tentang Tuhan Yesus sebagai tabib/ahli obat131 dan penyembuh, maka pada tingkat tertentu menebabkan penganut pentakosta anti obat-obatan dan dokter. Minum obat dan pergi ke dokter menunjukan tanda kurang beriman.

127 Ibid., 186. 128 Ibid., 210.

129Stevan H. Talumewo…., 9. 130 M. Tapilatu…., 210.

131 Muler Kruger, Gerakan-gerakan Pentakosta, 30, menyebutkan bahwa salah satu kepercayaan dari gereja pentakosta adalah Yesus adalah ahli obat bagi segala penyakit dan cacat.


(3)

64 g. Tema-tema Khotbah lebih bersifat praktis dan mengarah dunia “sana”

Pemahaman Alkitab yang biblisistis, fragmentaris serta fundamentalis, menyebabkan khotbah-khotbah yang disampaikan sangat bersifat praktis. Alkitab ditafsirkan secara alegoris132, da seperti apa yang tertulis, merupakan cir yang menonjol dalam khotbah-khotbah di gereja aliran pentakosta. Khotbah-khotbah yang dogmatis sistematis, pengajaran serta etis kurang disukai. “Khotbah yang disampaikan biasanya dalam bahasa yang sederhana, panjang dan penuh emosi”133

. Khotbah yang disertai cerita kesaksian merupakan hal-hal yang sangat disukai. Dalam khotbah tersebut juga censerng mengajak umat untuk masuk dalam dunia dan pengalaman rohani, dunia yang jauh dari realitas, dnia sana.

h. Kegiatan sosial hanya untuk kalangan sendiri.

Mementingkan hal-hal yang bersifat rohani, berusaha mencapai pengalaman kepenuhan Roh Kudus dengan segala manifestasi dan karunianya, serta pengjaran-pengajaran yang mementingkan dunia sana; menyebabkan jemaat kurang memperhatikan dalam masalah-masalah sosial disekitarny. Masalah-masalah sosial kurang mendapat perhatian secara serius. Jika memaruh perhatian pada masalah sosial hanya bersifat incidental misalnya, “dalam rangaka penanggulangan benca alam (banjir) yang menimpa masyarakat di lingkungannya dan kerja bakti membersihkan lingkungan dimana mereka berada”134

.

Disamping kegiatan yang insidental, juga terlibat dalam kegiatan sosial yang terstruktur dan terprogram, misalnya dalam bentuk lembaga pelayanan sosial, yang berbentuk yayasan. Lembaga pelayanan sosial yang diselenggarakan tersebut misalnya: “panti asuhan dan panti

132M. Tapilatu…., 108. 133Ibid., 12.


(4)

65 wreda (perumahan jompo), poliklinik dan sekolah”135

. Lahirnya lembaga pelayana sosial, apabila diperhatikan dan diteliti, ternyata kegiatan yang diadakan itu lebih ditunjukan kedalam lingkungan gereja gereja pentakosta sendiri.

i. Kerjasama dengan gereja lain hanya pada aras praktis .

Kebutuhan praktis, merupakan faktor yang mendorong gereja aliran pentakosta untuk bekerjasama dengan gereja lain baik dalam kelompok alira pentakosta maupun dengan gereja aliran utama. “Hubungan kerjasama yang diadakan dibatasi pada kebersamaan dalam progam kesaksian dan pelayanan saja. Tujuan utamanya adalah untuk memperoleh kemudahan-kemudahan dalam kaitannya dengan pelaksanaan tugas-tugas pelayanan dan kesaksian gereja”136

. Ini mungkin merupakan ciri pentakosta yang tidak dibangun dari suatu dasar yang dirumuskan secara sistematis, tetapi berdasarkan pada hal-hal yang praktis, sehingga kerjasamapun lebih untuk kepentingan sasaat dan sangat pragmatis. Maka aliran pentakosta lebih cenderung bekerja sama dalam lembaga-lembaga yang tidak mengikat dan juga menangani berbagai persoalan praktis misalnya di “badan musyawarah antar gereja, Persekutuan Injili Indonesia (PPI)dan Persekutuan umat Kristen Oikumene (PUKO)137.

2.4.2. Kepemimpinan, Tata Gereja dan Tata Tertib Gereja dalam Gereja Aliran

Pentakosta.

Gereja aliran Pentakosta pada awalnya merupakan sautu gerakan, sehingga masalah organisasi kurang mendapat perhatian bahkan dilihat secara negatif. Organisasi gereja tidak diperlukan, disebabkan karena: Kristus akan segera datang pada kali yang kedua, Roh Kudus sendirilah yang akan memimpin gereja sehingga manusia tidak perlu ikut campur organisasi

135 Ibid. 136 Ibid., 250. 137 Ibid., 251.


(5)

66 mengandung unsur keduniawian138. Pengharapan akan kedatangan Krstus yang kedua kali ternyata masih tertunda, sehinga mau tidak mau gerakan pentakosta harus menata diri dalam bentuk organisasi. Dalam perkembangan selanjutnya, sebagai organisasi, Gereja-gereja aliran pentakosta memerlukan tata gereja dan tata tertib gereja.

Tata Gereja dan tata tertib gereja merupakan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. Sebagai anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, tata gereja memuat pokok-pokok peraturan dasar maupun prosedur pelaksanaan peraturan, struktur kepemimpinan dan jabatan serta prosedur pengambilan keputusan, maupun hal-hal lain yang berhubungan dengan masalah organisasi. Sebagai anggaran dasar dan anggaran rumah tangga , tata gereja dan tata tertib gereja, menjadi dasar/acuan dalam membuat kebijakan dan menjadi sumber peraturan yang dapat dipakai untuk menyelesaikan berbagai masalah yang timbul dalam oraganisasi, dibawah Alkita. Namun dalam kenyataan , tata gereja dan tata tertib gereja lebih merupakan suatu aturan formal dan dokumen tertulis yang dapat diabaikan. Hal ini terjadi karena dalam kehidupan sehari-hari kebijakan pemimpin setempat lebih mempunyai wibawa daripada tata gereja dan tata tertib gereja. Kurang efektifnya pelakasanaan tata gereja dan tata tertib gereja, seperti yang sudah dilansir di atas, disebabkan karena dalam organisasi gereja aliran pentakosta, peran pemimpin sangat dominan.

Hal ini tidak dipisahkan dari sejarahnya. Sebagai gerakan yang bersifat revival, pemimpin gereja aliran pentakosta mendapat wewenang sebagai pemimpin dari kharisma yang dimiliki seseorang. Meskipun sudah merupakan sebagai organisasi, masalah kharisma merupakan hal penting yang harus dimiliki seorang pemimpin gereja aliran pentakosta. “Jabatan atau kepemimpinan yang diperoleh seseorang dalam gereja adalah berdasarkan kharisma yang dimiliki. Atau dengan kata lain, kepemimpinan yang terdapat di dalam gereja-gereka aliran

138


(6)

67 pentakosta adalah kepimpinan kharismatis, yaitu kepemimpinan yang diterima karena kharisma”139

. Pentingnya kharisma, dalam kepemimpinan jemaat, juga ditunjukan syarat yang harus dimiliki oleh seseorang calon pendeta di lingkungan gereja-gereja aliran pentakosta. Dalam persyaratan untuk menjadi calon pendeta disebutkan:

1. Tamatan sekolah Alkitab atau lulusan kursus kependetaan yang diselenggarakan oleh badan gerejawi yang ditunjuk untuk itu, misalnya Badan Pekerja Harian.

2. Sudah menerima Baptis Roh Kudus dengan salah satu manifestasi karunia dan terlihat Buah Roh Kudus dalam kehidupannya.

3. Merasa dan menerima panggilan Tuhan untuk bekerja di lading-Nya.

4. Kehidupan pribadi yang kehidupan rumah tangga sesuai dengan Firman Tuhan. 5. Menghayati dan mengamalkan azaz pengajaran dan pengakuan iman gerejanya. 6. Taat pada tata gereja dan tata tertib gereja, atau anggaran dasar dan anggaran rumah

tangga140.

Meskipun sudah ada aturan persyaratan menjadi seorang pendeta seperti tersebut di aas, namun dalam pelaksanannya, ternyata persyaratan yang paling penting adalah “faktor kesucian hidup sebagai perwujudan dari kelahiran baru, penerima Baptis Roh Kudus dan karunia-karuniaRoh dan [yang tampak dalam] kehidupan sehari-hari141. Tipe kepemimpinan kharismatik, serta hak otonomi gereja lokal, menyebabkan pesan pemimpin lokal sangat kuat dalam gereja. Gembala Sidang sebagai pemimpin tunggal.

Hal ini menyebabkan jemaat, taat dan tunduk kepada segala keputusan Gembala Sidang maupun pengajaran-pengajaran yang disampaikan. Gembala Sidang sebagai pemimpin, sebagai bapak menjadi teladan yang harus dituruti dan diikuti. Ia sebagai teladan, dalam perilaku dan kehidupan. Dengan orentasi gembala sidang hanya dalam kehidupan jemaat lokal dan diri sendiri serta kurang dibekalinya dengan pengetahuan umum, menyebabkan jemaat hanya mengorientasikan dirinya untuk kehidupan sendiri, kurang menaruh perhatian pada masalah-masalah lain di luar gereja, misalnya persoalan sosial masyarakat.

139 Ibid., 84. 140 Ibid., 81. 141 Ibid., 82.


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kepemimpinan Pendeta Beretnis Tionghoa: studi kasus pada gereja-gereja aliran Pentakosta di Kota Salatiga

0 2 25

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kepemimpinan Pendeta Beretnis Tionghoa: studi kasus pada gereja-gereja aliran Pentakosta di Kota Salatiga T2 752013029 BAB I

0 0 16

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kepemimpinan Pendeta Beretnis Tionghoa: studi kasus pada gereja-gereja aliran Pentakosta di Kota Salatiga T2 752013029 BAB IV

0 0 27

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kepemimpinan Pendeta Beretnis Tionghoa: studi kasus pada gereja-gereja aliran Pentakosta di Kota Salatiga T2 752013029 BAB V

0 0 8

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kepemimpinan Pendeta Beretnis Tionghoa: studi kasus pada gereja-gereja aliran Pentakosta di Kota Salatiga

0 0 8

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Indonesia dalam Pemahaman Pendeta Gereja Protestan Maluku (GPM) T2 752011022 BAB I

0 0 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Indonesia dalam Pemahaman Pendeta Gereja Protestan Maluku (GPM) T2 752011022 BAB II

1 6 38

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Indonesia dalam Pemahaman Pendeta Gereja Protestan Maluku (GPM) T2 752011022 BAB IV

0 0 29

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pendeta Perempuan dalam Kepemimpinan di Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) T2 752010013 BAB II

0 2 49

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Politik Pemimpin Gereja Katolik: Studi pada Gereja Katolik St. Paulus Miki Salatiga T2 752014029 BAB II

0 1 34