Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kepemimpinan Pendeta Beretnis Tionghoa: studi kasus pada gereja-gereja aliran Pentakosta di Kota Salatiga T2 752013029 BAB I

(1)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan bangsa yang terdiri atas beragam etnis, ras, dan budaya yang tersebar luas di berbagai pulau di seluruh Nusantara. Dalam keberagaman etnis yang ada di Indonesia, terdapat etnis Tionghoa sebagai salah satu golongan kebudayaan dengan identitas yang khas, yang hidup dan berkembang bersama etnis pribumi lainnya di Nusantara. Hidup dan berkembangnya etnis dan kebudayaan Tionghoa di Indonesia tidak terlepas dari falsah hidup mereka yaitu menyesuaikan diri dengan lingkungan alam sekitarnya1.

Kehadiran orang-orang beretnis Tionghoa sebagai golongan minoritas di Indonesia memunculkan berbagai pandangan dan respon yang dikonstruksi oleh orang-orang non-Tionghoa tentang identitas orang-orang beretnis Tionghoa. Salah satunya adalah terdapat stereotip umum perihal etnis Tionghoa dalam persepsi orang-orang “Pribumi”. Stereotip tersebut dapat diringkas sebagai berikut:

Mereka (baca: orang-orang Tionghoa) adalah kelompok yang kaya karena menguras ekonomi kita. Mereka adalah kelompok yang homogen dan tidak berubah. Mereka merasa lebih hebat dan eksklusif. Kesetiaan mereka kepada Indonesia layak dipertanyakan. Mereka enggan berbaur2.

Dalam pengamatan historis, dapat ditelusuri bahwa secara umum dalam pandangan orang-orang “Pribumi”, orang-orang-orang beretnis Tionghoa yang hidup di Indonesia diidentikan atau dikaitkan dengan golongan yang hanya memiliki kemampuan dalam bidang ekonomi dan bisnis. Pandangan ini diperkuat dan didukung oleh penelitian yang dilakukan, yang mengungkapkan

1 Abdul Rani Usma, Etnis Cina Perantauan di Aceh (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009), 1.

2 Stereotip ini telah merupakan hal yang lazim dalam masyarakat Indonesia sejak zaman colonial.

Ungkapan-ungkapan lazim seperti “sekali China, tetap China”; “Tionghoa yang 3% menguasai 70% ekonomi kita”;”Mereka mengira lebih hebat daripada kita”; “Mereka tidak perduli siapa yang menguasai sapi perah asal mereka bisa

memerahnya”; dan “Mereka tidak ingin berbaur dengan kita”, menunjukan pandangan yang esensial tentag orang


(2)

bahwa di Indonesia, orang-orang Tionghoa walau hanya berjumlah 3-4% di negeri ini dari 210 juta jiwa ternyata berhasil menguasai 70% dari sektor swasta dalam perekonomian negeri ini3.

Berangkat dari data tersebut menurut Skiner orang Tionghoa membuktikan bahwa mereka paling cocok untuk perkembangan ekonomi. Mereka menekankan sistem nilai yang mementingkan kerajinan, kehematan, pengendalian pada diri sendiri, semangat berusaha dan ketrampilan ditambah pula dengan prinsip-prinsip organisasi sosial yang mudah sekali disesuaikan dan digunakan4.

Sehingga tidak jarang kita dapat menemukan banyak dari orang-orang beretnis Tionghoa di Indonesia, lebih memilih untuk berkerja hanya pada sektor ekonomi dengan menjadi pedagang, pengusaha dan pembisnis. Sebaliknya, sangat jarang ditemukan orang-orang beretnis Tionghoa di Indonesia, yang terlibat dalam sektor lain, selain sektor ekonomi. Dapat dilacak melalui pengamatan sejarah bahwa yang menjadi salah satu penyebab terciptanya kondisi ini karena sebelum masa reformasi, selama di Indonesia orang-orang beretnis Tionghoa dibatasi ruang geraknya dibidang lain, seperti bidang pendidikan , politik dan agama. Bahkan bahasa Mandarin pada masa orde baru tidak boleh diajarkan di sekolah umum5. Stereotip perihal orang-orang etnis Tionghoa di Indonesia adalah hasil bentukan sejarah, yang pada mulanya dikonstruksikan oleh Belanda dan kemudian diproduksi oleh rezim-rezim Indonesia pascakolonial selanjutnya, ternyata merasuk begitu mendalam6.

Namun pasca rezim Orde Baru, ruang baru telah dibuka berkat kebijakan multikulturalisme yang memungkinkan ketionghoaan terekspresikan secara bebas ke dalam semua sektor kehidupan. Hasil yang paling berarti adalah pengesahan Undang-Undang Kewarganegaraan

3 Melly G. Tan. Etnis Tionghoa Di Indonesia: Kumpulan Tulisan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), 274. 4 Melly G. Tan. Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia (Jakarta: PT. Gramedia. 1979), vii-xix.

5 Abdul Rani Usma, Etnis Cina Perantauan di Aceh (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009), 3.

6 Chang-Yau Hoon. Identitas Tionghoa Pasca-Soeharto: Budaya, Politik, dan Media (Jakarta: Yayasan Nabil. 2012), 261.


(3)

yang baru, yakni UU Nomor 12 tahun 2006, yang disetujui oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 1 Agustus 2006, yang mendefenisikan ulang istilah “Indonesia asli” mencangkup semua warga negara yang tidak pernah mendapatkan kewarganegaraan asing atas kehendak sendiri7. Dengan adanya pengesahan Undang-undang tersebut memungkinkan orang-orang beretnis Tionghoa di Indonesia mulai memiliki akses dan membuka diri untuk terlibat aktif di bidang lain selain dalam bidang ekonomi.

Dalam realita saat ini ditemukan salah satu keterlibatan orang-orang beretnis Tionghoa di sektor lain, selain sektor ekonomi, terlihat dari keberadaan orang-orang beretnis Tionghoa yang menjadi Pendeta jemaat dari sebuah gereja, terutama pada gereja-gereja aliran Pentakosta. Kehadiran orang-orang beretnis Tionghoa di sektor lain selain sektor ekonomi, dengan memilih menjadi pemimpin dalam sebuah institusi keagamaan seperti gereja, menjadi fakta yang melawan stereotipe etnis Tionghoa sebagai “binatang ekonomi”8

. Walaupun ruang baru telah dibuka berkat kebijakan multikulturalisme yang memungkinkan ketionghoaan terekspresikan secara bebas, tetapi hal ini tidak menjamin diterimanya kelompok minoritas ini secara penuh oleh mayoritas non-Tionghoa. Orang-orang etnis Tionghoa masih terus dipandang sebagai orang asing di negeri yang telah mereka angggap sebagai rumah sendiri9. Seiiring dengan pendapat tersebut maka perlunya mengonseptualisasikan dan merekonstruksi ketinghoaan atau identitas Tionghoa di Indonesia, salah satunya melalui studi tentang kepemimpinan Pendeta beretnis Tionghoa.

Selama ini keberadaan orang-orang beretnis Tionghoa di Indonesia yang berprofesi sebagai pendeta belum pernah secara khusus tergambarkan dan terekam melalui sebuah penelitian ilmiah. Dengan melakukan penelitian ilmiah, akan menghasilkan fakta yang berimplikasi dalam upaya merekonstruksi kembali identitas orang-orang Tionghoa yang hidup di Indonesia. Hal ini

7 Ibid., 256. 8 Ibid., 257. 9 Ibid.


(4)

dikarenakan stereotip yang telah lama melekat kuat tentang orang-orang beretnis Tionghoa di Indonesia, yang dipandang hanya memiliki kemampuan dalam sektor ekonomi saja. Pandangan yang telah berakar secara mendalam tersebut tidak cukup kuat dibongkar hanya dengan asumsi atau pun opini semata.

Berkaitan dengan hal tersebut maka menarik untuk melihat keterlibatan orang-orang beretnis Tionghoa di Indonesia dalam kepemimpinan mereka pada institusi keagamaan seperti gereja, dalam hal ini peranan mereka sebagai Pendeta jemaat. Hal tersebut menjadi menarik bagi peneliti karena pembahasan tentang kepemimpinan menjadi hal yang sangat penting dalam sejarah kehidupan manusia, bahkan menentukan dalam pencapaian suatu tujuan kelompok atau organisasi, termasuk suatu jemaat. Tanpa ada pemimpin dan kepemimpinan yang baik dan benar, suatu kelompok bahkan negara sekalipun akan kacau kerena tidak adanya sosok yang mengarahkan dan mengatur orang-orang untuk mencapai tujuan10.

Pembahasan mengenai kepemimpinan dan pemimpin bukanlah hal yang mudah. Hal ini dikarenakan setiap pemimpin tentu mempunyai gaya atau tipe kepemimpinan yang tersendiri dan berbeda antara yang satu dengan lainnya. Kondisi ini disebabkan karena adanya faktor eksternal maupun internal yang turut mempengaruhi dan menentukan kepemimpinan seseorang. Salah satu wujud dari faktor yang mempengharuhi kepemimpinan seseorang adalah berkaitan dengan kultur dari pemimpin tersebut. Pengertian kultural atau budaya yang dimaksudkan mengacu pada perilaku yang dipelajari yang menjadi karakter cara hidup secara total dari anggota suatu kelompok masyarakat tertentu. Kebudayaan atau kultur membentuk perilaku, sikap, dan nilai manusia. Tidak dapat dipungkiri bahwa perilaku manusia adalah hasil dari proses sosialisasi dan

10Retnowati, “Kepemimpinan dan Perubahan Budaya:Refleksi Gaya Kepemimpinan di Era Global, Perpektif


(5)

sosialisasi selalu terjadi dalam konteks lingkungan etnik dan kultur tertentu11. Kondisi ini dikarenakan kultur atau budaya terdiri dari nilai-nilai umum yang dipegang dalam suatu kelompok manusia; merupakan satu set norma, kebiasaan, nilai dan asumsi-asumsi yang mengarahkan perilaku kelompok tersebut. Kultur juga mempengaruhi nilai dan keyakinan serta mempengaruhi gaya kepemimpinan dan hubungan interpersonal seseorang12.

Bagian yang telah dijelaskan sebelumnya menunjukan betapa gereja-gereja sebagai salah satu lembaga atau institusi keagamaan juga membutuhkan pemimpin dan kepemimpinan yang baik, tidak terkecuali bagi gereja-gereja beraliran Pentakosta. Dalam realita, berdasarkan tinjauan dilapangan (pra penelitian) yang dilakukan oleh peneliti, ditemukan banyak Pendeta beretnis Tionghoa yang menjadi pemimpin jemaat atau gembala di gereja-gereja aliran Pentakosta. Dapat diidentifikasi bahwa dibawah kepemimpinan mereka, gereja-gereja beraliran Pentakosta tersebut dari segi kuantitas jemaat yang dipimpin mengalami pertumbuhan jumlah jemaat yang sangat pesat dan gejala peningkatan tersebut berlangsung secara terus menerus. Gereja-gereja tersebut berkembang dengan signifikan dan memperluas pelayanan mereka dengan membuka cabang-cabang gereja diberbagai daerah yang telah menjadi gereja dewasa. Sehingga kemunculan gereja-gereja aliran Pentakosta dipandang memiliki perkembangan paling spektakuler pada abad ini13.

Gereja-gereja aliran Pentakosta yang sering dikenal sebagai gereja-gereja dengan corak baru dan merupakan bagian dari Keristenan gelombang ketiga. Dalam menjalankan kepemimpinan dan manajemen gereja-gereja aliran Pentakosta tidak terikat pada wadah-wadah bersama seperti sinode. Kalau pun ada sinode, biasanya komitmennya sangat longgar. Setiap gereja dalam hal ini pendeta yang merupakan pemimpin jemaat mempunyai kebebasan yang sangat besar dalam hal mengatur gerejanya. Pemimpin memiliki ruang yang besar dan cenderung

11 Zakiyuddin Baidhaiwy. Pendidikan Berwawasan Multikultural, (Jakarta: Erlangga, 2005), 24. 12 A. Nahavandi. The art and science of leadership (2nd Ed). New Jersey: Prentice Hall, 2000. 13Jan S. Aritonang. Berbagai Aliran di dalam dan di Sekitar Gereja (Jakarta: Erlangga, 1995), 166.


(6)

bebas dalam menentukan berbagai kebijakan dalam gereja, serta bisa mengembangkan “teologi”nya sendiri. Hal tersebut memungkinkan munculnya sikap individual dari pemimpin yang cenderung berlebihan sehigga tidak jarang membuat gereja-gereja aliran ini mudah terpecah14.

Selanjutnya, dengan mengacu kepada bagian yang diungkapkan di atas, maka identitas kultural atau budaya yang khas, yang membentuk perilaku, karakter dan sistim nilai yang dimiliki oleh pendeta beretnis Tionghoa akan mempengaruhi bagaimana kepemimpinannya dalam sebuah jemaat. Pendeta beretnis Tionghoa termasuk dalam kelompok yang dikenal sebagai orang-orang yang menekankan sistem nilai yang mementingkan kerajinan, kehematan, pengendalian pada diri sendiri, semangat berusaha dan ketrampilan ditambah pula dengan prinsip-prinsip organisasi sosial yang mudah sekali disesuaikan dan digunakan. Sistem nilai, perilaku, karakter dalam kultur yang dimiliki tersebut dimungkinkan menjadi bagian-bagian yang dapat mempengaruhi gaya atau tipe dan karakter kepemimpinan.

Bertitiktolak dari permasalahan tersebut melalui tulisan ini peneliti berupaya melakukan studi tentang kepemimpinan Pendeta beretnis Tionghoa. Dengan melihat bahwa kultur yang khas yang membentuk perilaku, karakter dan sistem nilai yang kemudian dimiliki sebagai orang Tionghoa, dihubungkan dengan kepemimpinan dalam peranannya sebagai Pendeta jemaat dalam sebuah lembaga atau institusi keagamaan seperti gereja. Untuk mewujudkan hal tersebut, peneliti melakukan penelitian pada gereja-gereja aliran pentakosta di kota Salatiga. Peneliti memilih Gereja Bethel lndonesia (GBI) Salatiga dan Gereja Bethany Salatiga sebagai lokasi penelitian. Alasan pemilihan kedua gereja ini, karena kedua gereja tersebut termasuk gereja-gereja beraliran Pentakosta dengan jumlah jemaat yang terbesar di daerah Salatiga. Selain itu kedua gereja

14 Rijn van Kooij dan Yam'ah Tsalatsa A. Bermain dengan Api: Relasi Antara Gereja-gereja Mainstream dan Kalangan Kharismatik dan Pentakosta, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), xvi.


(7)

tersebut dipimpin oleh Pendeta beretnis Tionghoa. Berdasarkan penjelasan di atas, maka penelitian ini diberi judul: KEPEMIMPINAN PENDETA BERETNIS TIONGHOA (Studi Kasus Pada Gereja-gereja Aliran Pentakosta di Kota Salatiga)

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dari penelitian yang diungkapkan di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: “Bagaimana kepemimpinan Pendeta beretnis Tionghoa dalam gereja-gereja aliran Pentakosta di kota Salatiga?

Rumusan masalah di atas dijabarkan dalam fokus penelitian sebagai berikut:

A. Gaya atau tipe kepemimpinan yang merujuk pada pemetaan, sbb: (a) Gaya kepemimpinan yang menekankan pada relasi dan tugas, yang kemudian dijabarkan dan dijelaskan dalam 4 (empat) gaya kepemimpinan dasar yang yaitu: (1) kekompakan tinggi dan kerja rendah, (2) kerja tinggi dan kekompakan rendah, (3) kerja tinggi dan kekompakan tinggi, (4) kerja rendah dan kekompakan rendah. (b) 3 (tiga) gaya kepemimpinan utama dan 6 (enam) gaya kepemimpinan pelengkap. Gaya atau tipe kepemimpinan yang dimaksud antara lain: (1) gaya atau tipe kepemimpinan otoriter, (2) kepemimpinan bebas/Laissez Faire, (3) gaya atau tipe kepemimpinan demokratis, serta beberapa tipe kepemimpinan pelengkap yang terdiri dari (4) gaya atau tipe kepemimpinan kharismatik, (5) gaya atau tipe kepemimpinan simbol, (6) gaya atau tipe pengayom, (7) gaya atau tipe pemimpin ahli, (8) gaya atau tipe kepemimpinan organisatotoris dan administrator dan (9) gaya atau tipe kepemimpinan agitator.15

15 Hadari Nawawi dan M. Martini Hadari, Kepemimpinan yang Efektif. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1996, 94-109.


(8)

(c) gaya kepemimpinan situasional yang dikembangkan oleh Harsey dan Blanchard, (d) gaya kepemimpinan transformatif serta (e) gaya kepemimpinan transaksional16. B. Karakter kepemimpinan (Leadership Character) dari Pendeta beretnis Tionghoa

ditinjau dari konsep karakteristik pemimpin yang melayani (Characteristics of the Servant-Leader).

C. Pengaruh kultur sebagai seorang etnis Tionghoa dalam proses kepemimpinan. D. Kompetensi Pendeta beretnis Tionghoa sebagai pemimpin.

1.3.Tujuan Penelitian

Tujuan umum dalam penelitian ini ialah mendekripsikan dan menganalisa kepemimpinan Pendeta beretnis Tionghoa dalam Gereja-geeja aliran Pentakosta di Kota Salatiga. Tujuan umum tersebut disesuaikan dengan fokus penelitian, selanjutnya dijabarkan ke dalam tujuan yang bersifat khusus sebagai berikut:

A. Gaya atau tipe kepemimpinan Pendeta beretnis Tionghoa

B. Karakter Kepemimpinan Pendeta beretnis Tionghoa ditinjau dari konsep karakteristik pemimpin yang melayani (Characteristics of the Servant-Leader).

C. Pengaruh kultur sebagai seorang etnis Tionghoa dalam proses kepemimpinan. D. Kompetensi Pendeta beretnis Tionghoa sebagai pemimpin.

16Jony Oktavian Haryanto. KEPEMIMPINAN YANG MELAYANI: Tinjauan Teoritis dan Contoh Penerapan


(9)

1.4. Manfaat Penelitian

Sebagai suatu karya ilmiah maka penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis. Manfaat teoritis, secara umum diharapkan pembahasan tentang kepemimpinan Pendeta beretnis Tionghoa akan memberikan sumbangan pemikiran untuk tipe dan gaya kepemimpinan Kristen dan secara umum dapat mengembangkan secara konseptual dalam bidang teologi kepemimpinan.

Selain itu penelitian ini dapat memberikan kontribusi pada kegiatan praktis dalam pelaksanaan kepemimpinan pendeta yang menjadi pemimpin jemaat. Bagi para pendeta beretnis Tionghoa, sebagai masukan agar dengan menyadari pentingnya peran yang diemban sebagai pemimpin jemaat, yang bersangkutan mampu mengembangkan sumber daya manusia dan mengelola gereja yang dipimpin agar memiliki kualitas yang lebih. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat berkontribusi bagi upaya rekonstruksi identitas orang-orang beretnis Tionghoa di Indonesia, yang selama ini hanya diidentikan mampu bergerak dalam sektor ekonomi saja.

1.5. Metode Penelitian 1.5.1. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif bermaksud untuk memahami fenomena tentang bagian yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain–lain secara holistik17. Pendekatan kualitatif menghasilkan data deskripsi berupa kata-kata, gambar dan bukan angka-angka. Dapat juga berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati18.

17 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi). (Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2002), 6. 18 Robert C. Bogdan & Sari Bikien, Quality Research for Education: An Introduction to Theory and Mathods


(10)

Berkaitan dengan karakteristik seorang peneliti kualitatif, menurut Bogdan & Biklen memiliki 5 aspek penting yaitu: (1) setting dalam pendekatan kualitatif merupakan suatu kondisi yang alami dan peneliti merupakan instrument utama bagi pengumpulan dan analisa data, (2) penyusun deskripsi, harus menekankan proses, makna dan pemahaman yang diperoleh melalui kata-kata atau gambar, (3) lebih mengutamakan proses (aktivitas) dari pada out come atau produk, (4) proses induktif, dalam arti peneliti membangun abstraksi, konsep, hipotesis dan teori dari hal-hal yang detail di lapangang, (5) lebih menekankan pada penemuan makna; di samping itu benar-benar terjun ke lapangan19.

Dari ungkapan aspek-aspek yang dikemukakan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa penelitian yang dilakukan ini membutuhkan pendekatan kualitatif karena memerlukan pengamatan yang mendalam sesuai dengan latar belakang yang dihadapi. Di sini peneliti sebagai intrumen utama, dan harus turun langsung ke lapangan untuk mengumpulkan data maupun menganalisanya sesuai dengan pendapat Bogdan & Biklen tersebut.

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan studi kasus (Case Study), yang merupakan upaya penyelidikan yang sistematis atas suatu kejadian khusus dan berusaha memberikan penjelasan yang jujur dan saksama tentang suatu kasus tertentu sedemikian rupa, sehingga memungkinkan pembacanya untuk menembus ke dalam apa yang tampak di permukaan20. Jadi dapat dikatakan studi kasus merupakan penelitian yang dilakukan secara intensif, terperinci dan mendalam terhadap suatu organisme (individu), lembaga atau gejala tertentu dengan daerah atau subjek yang sempit.

19 Ibid., 27-30

20

J. Nisbet & J. Watt, Studi Kasus (Sebuah Panduan Praktis) (Jakarta: PT. Grasindo dan Satya Wacana University Press, 1994), 4.


(11)

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara21 mendalam (depth interview) dengan para informan kunci yaitu Pendeta beretnis Tionghoa dan beberapa informan pendukung. Selain itu untuk mengumpulkan data-data di lapangan, peneliti juga menggunakan teknik observasi, sebagai teknik yang dilakukan dengan pengamatan secara sistematik terhadap kejadian yang diteliti. Observasi dalam penelitian ini, dilakukan terutama untuk memperoleh data yang berkaitan dengan kepemimpinan pendeta beretnis Tionghoa. Dalam penelitian ini peneliti menempatkan diri sebagai partisipan, dengan turut terlibat dalam kurun waktu tertentu untuk mengamati bagaimana kepemimpinan Pendeta beretnis Tionghoa. Observasi partisipan ini dilakukan untuk menjaga mutu data dalam penelitian kualitatif.

1.5.2. Data Analisa

Data-data yang diperoleh melalui teknik wawancara, dan observasi lapangan tersebut kemudian akan dijelaskan dan diuraikan dalam bentuk deskripsi dengan menggunakan landasan teori sebagai alat bedah analisis. Kesimpulan dari analisis merupakan temuan baru dari hasil penelitian ini

1.5.3. Unit Analisa, Unit Amatan dan Subjek Penelitian

Unit analisis adalah suatu unit tentangnya peneliti menghimpun atau mencari informasi dan membuat kesimpulan terhadapnya. Sedangkan unit amatan adalah suatu unit yang darinya informasi diperoleh guna menggambarkan atau menjelaskan tentang satuan analisa22. Berdasarkan penjelasan ini, maka unit analisa dalam penelitian ini kepemimpinan Pendeta beretnis Tionghoa.

21

Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar, Metode Penelitian Sosial (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), 90.

22


(12)

Sedangkan unit amatannya adalah jemaat Gereja Bethel lndonesia (GBI) Salatiga dan jemaat Gereja Bethany Salatiga.

Konsekwensi logis dari unit analisis dan unit amatan adalah penentuan informasi kunci (subjek penelitian). Dalam penelitian ini subjek yang diteliti relatif terbatas, namun variabel-variabel dan fokus yang diteliti sangat luas dimensinya23. Dalam penelitian ini sampling menggunakan sample sumber data dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan tertentu ini misalnya, orang tersebut dianggap memenuhi kriteria yang kita harapkan yang akan memudahkan peneliti menjelajahi subjek atau permasalahan yang diteliti24.

Untuk itu penentuan informan kunci dalam penelitian ini pertama-tama dipilih informan yang memiliki pengetahuan khusus, mempunyai informasi memadai, dan dekat dengan situasi yang menjadi fokus penelitian, di samping itu orang tersebut memiliki status tertentu. Untuk tujuan ini maka yang menjadi informan kunci yang ditetapkan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah subjek dengan karakteristik berikut ini:

a) Subjek adalah Pendeta yang beretnis Tionghoa, yang memimpin sebuah jemaat dari satu gereja aliran Pentakosta.

b) Subjek adalah pendeta laki-laki maupun perempuan yang belum atau sudah menikah. c) Subjek telah menduduki posisi sebagai pemimpin jemaat tidak kurang dari dua tahun. d) Berdomisili di Salatiga.

1.5.4. Lokasi Penelitian

Lokasi yang dipilih oleh peneliti dalam penelitian ini adalah Gereja Bethel lndonesia (GBI) Salatiga yang beralamat diJalam Hasanudin3B Salatiga dan Gereja Bethany Salatiga yang beralamat di Jalan Jenderal Sudirman 105 Salatiga. Mengapa peneliti memilih Gereja Bethel

23

Sudarwan Danim,. Menjadi Peneliti kualitatif (Bandung : Pustaka Setia, 2002), 55.

24


(13)

lndonesia (GBI) Salatiga dan Gereja Bethany Salatiga? Alasannya, kedua gereja tersebut merupakan gereja yang memiliki jemaat terbesar di lingkungan gereja-gereja beraliran Pentakosta se-Salatiga. Selain itu dalam melaksanakan tugas kepemimpianannya, GBI Salatiga dan Gereja Bethany Salatiga memiliki Pendeta beretnis Tionghoa yang memenuhi kriteria untuk menjadi informan kunci dalam penelitian ini.

1.6. Urgensi Penelitian

Yang menjadi urgensi dalam penelitian ini adalah adanya stereotip umum perihal etnis Tionghoa bahwa orang-orang beretnis Tionghoa yang hidup di Indonesia selalu diidentikan atau dikaitkan dengan golongan yang hanya memiliki kemampuan dalam bidang ekonomi dan bisnis. Stereotip ini berdampak dalam menciptakan ruang gerak yang terbatas bagi orang-orang beretnis Tionghoa di Indonesia untuk aktif terlibat dalam sektor lain. Sehingga dengan melakukan penelitian ini, akan menghasilkan fakta yang berimplikasi dalam upaya merekonstruksi kembali identitas orang-orang Tionghoa yang hidup di Indonesia, karena stereotip yang telah lama melekat kuat tentang orang-orang beretnis Tionghoa di Indonesia, yang dipandang hanya memiliki kemampuan dalam sektor ekonomi saja yang tidak cukup kuat dibongkar hanya dengan asumsi atau pun opini semata. Inilah yang menjadi urgensi mengapa penelitian ini penting untuk dilakukan.

1.7. Output

Dalam melakukan penelitian ini, output penelitian yang diharapkan untuk diperoleh adalah dihasilkannya model dan gaya kepemimpinan yang khas dari Pendeta beretnis Tionghoa. Dengan identitas kultural yang khas sebagai orang beretnis Tionghoa menjadi salah satu faktor yang akan mempengaruhi bagaimana kepemimpinan seseorang. Orang-orang Tionghoa di Indonesia yang telah membuktikan diri mereka sebagai golongan yang sukses dan cocok untuk perkembangan


(14)

ekonomi karena menekankan sistem nilai yang mementingkan kerajinan, kehematan, pengandalan pada diri sendiri, semangat berusaha dan ketrampilan ditambah pula dengan prinsip-prinsip organisasi sosial yang mudah sekali disesuaikan dan digunakan, diharapkan juga memiliki kualitas sebagai seorang pemimpin jemaat. Sehingga model dan gaya kepemimpinan yang dihasilkan akan menjadi referensi bagi pemimpin-pemimpin jemaat lainnya.

1.8. Kajian Pustaka

Berdasarkan penelusuran literatur, maka peneliti tidak menemukan kajian yang secara khusus membahas tentang kepemimpinan Pendeta beretnis Tionghoa. Belum banyak peneliti yang tertarik membahas tentang keterlibatan orang-orang etnis Tionghoa dalam sektor lain, selain sektor ekonomi dan bisnis, dalam hal ini termasuk pembahasan tentang kepemimpinan Kristen.

Namun peneliti menemukan beberapa penelitian yang membahas tentang kepemimpinan Kristen. Salah satunya dalam tesis yang ditulis oleh Eko Purwanto yang berjudul KEPEMIMPINAN YANG MELAYANI: Studi Tentang Pandangan Jemaat Terhadap Implementasi Kepmimpinan Yang Melayani Oleh Majelis Jemaat di Gereja Indonesia (Salatiga). Perhatian utama atau fokus dalam dalam penelitian ini pada karekter servant leadership yang meliputi kesadaran diri sebagai pelayan, peran pemimpin dalam mentransformasikan pengaruh melalui visi, kepercayaan, keteladanan, pemberdayaan SDM dan mentoring.

Kesimpulan dalam penelitian ini adalah secara keseluruhan konsep kepemimpinan yang melayani telah diimplementasikan oleh Majelis Jemaat GKI Salatiga dengan sangat baik. Kesimpulan ini didukung oleh pandangan atau jawaban mayoritas responden yang mencapai sebanyak 90.4% pada kategori sedang sampai tinggi. Demikian juga untuk pandangan jemaat terhadap aspek-aspek dari kepimpinan yang melayani menunjukan hasil bahwa Majelis GKI Salatiga sudah mengimplementasikan aspek-aspek tersebut dengan baik.


(15)

Penelitian lain yang ditulis dalam bentuk tesis oleh Icclesia Ratri Kurnia yang berjudul KOSISTENSI PERAN PENDETA TERHADAP PANGGILANNYA: Studi Kasus Pendeta Gereja-Gereja Kristen Jawa), tesis ini secara khusus menguaraikan tentang penilaian perihal konsistensi peran pendeta gereja-gereja Kristen Jawa terhadap panggilan sebagai Pendeta Jemaat. Dalam melihat dan mengetahui mengenai konsistensi peran pendeta gereja-gereja Kristen Jawa terhadap panggilannya, penulis menggunakan teori dramaturgi dan konsistensi sebagai teori utama. Teori ini dijadikan penulis sebagai alat ukur dalam melihat penilaian para pendeta Gereja-gereja Kristen Jawa terhadap dirinya sendiri secara jujur. Teori dramaturgi dari Erving Goffman, yang menjelaskan tentang gambaran seseorang yang memainkan peranan ganda sebagai bentuk ketidakmampuan untuk menjadi diri sendiri, mampu menjadi teori patokan atau arahan sebagai landasan berpikir bagi pembaca untuk memahami tesis ini. Sehingga dari penggunaan teori ini dapat memberikan pengarahan dan perhatian agar tujuan penelitian terstruktur dengan baik.

Dalam kesimpulannya dijelaskan dengan terbuka dan lugas bahwa sebagian besar pendeta GKJ dalam melakukan pelayanan dan kepemimpianan tidak memiliki konsistensi diri yang mengakibatkan sebagaian besar pendeta mengalami kelelahan dan sering nampak konflik-konflik yang terjadi antar pendeta dan jemaat

Selain itu terdapat banyak sekali studi yang membahas tentang identitas orang-orang Tionghoa di Indonesia. Pembahasan yang paling mutahir terdapat dalam disertasi yang ditulis oleh Chang Yau Hoon yang memilih Jakarta sebagai lokasi penelitian. Penelitian lapangan dilakukan Hoon selama setahun di Jakarta pada tahun 2004. Disertasi ini kemudian dijadikan buku dengan judul Identitas Tionghoa Pasca- Suharto: Budaya, Politik, dan Media. Buku ini membahas perihal kebangkitan identitas etnis Tionghoa yang dimungkinkan terjadi karena berakhirnya


(16)

pemerintahan otoriter Suharto, dan munculnya kembali demokrasi serta tumbuhnya civil society di Indonesia.

Dalam buku ini, Hoon sampai kepada kesimpulan bahwa perlunya mengonseptualisasikan dan mengkonstruksi kembali ketinghoaan atau identitas Tionghoa. Dijelaskan dalam buku ini bahwa, stereotip etnis Tionghoa adalah hasil bentukan sejarah, yang pada mulanya dikontruksikan oleh Belanda dan kemudian diproduksi oleh rezim-rezim Indonesia pascakolonial selanjutnya, ternyata merasuk begitu dalam. Akar dari stereotip yang bertahan lama in terletak pada konsepsi yang esensial tentang identitas. Walaupun ruang baru telah dibuka berkat kebijakan multikulturalisme yang memungkinkan ketinghoaan terekspresikan secara bebas, tetapi hal ini tidak menjamin diterimanya kelompok minoritas ini secara penuh oleh mayoritas non-Tionghoa. Dan jika wacana yang esensial tentang identitas tidak dikonseptualisasikan kembali dan digugat, orang Indonesia Tionghoa senangtiasa akan terus dipandang sebagai orang asing di negeri yang telah mereka angggap sebagai rumah sendiri.

Selain itu disimpulkan bahwa kerusuhan anti-China pada Mei 1998 yang menghancurkan bahwa kebijakan asimilasi rezim Suharto telah gagal mewadahi ketionghoaan di Indonesia. Proses reformasi dan demokrasi dan demokratisasi pasca-Suharto membuka ruang artikulasi identitas Tionghoa. Namun dijelaskan juga bahwa kejadian-kejadian anti-China masih hidup dan terpelihara di Indonesia, buktinya dengan adanya kejadian Mei 2006, dimana ratusan mahasiswa dilaporkan tengah mengancam akan melakukan oprasi penyisiran terhadap orang-orang Indonesia-Tionghoa di Makasar, Sulawesi Selatan.


(1)

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara21 mendalam (depth interview) dengan para informan kunci yaitu Pendeta beretnis Tionghoa dan beberapa informan pendukung. Selain itu untuk mengumpulkan data-data di lapangan, peneliti juga menggunakan teknik observasi, sebagai teknik yang dilakukan dengan pengamatan secara sistematik terhadap kejadian yang diteliti. Observasi dalam penelitian ini, dilakukan terutama untuk memperoleh data yang berkaitan dengan kepemimpinan pendeta beretnis Tionghoa. Dalam penelitian ini peneliti menempatkan diri sebagai partisipan, dengan turut terlibat dalam kurun waktu tertentu untuk mengamati bagaimana kepemimpinan Pendeta beretnis Tionghoa. Observasi partisipan ini dilakukan untuk menjaga mutu data dalam penelitian kualitatif.

1.5.2. Data Analisa

Data-data yang diperoleh melalui teknik wawancara, dan observasi lapangan tersebut kemudian akan dijelaskan dan diuraikan dalam bentuk deskripsi dengan menggunakan landasan teori sebagai alat bedah analisis. Kesimpulan dari analisis merupakan temuan baru dari hasil penelitian ini

1.5.3. Unit Analisa, Unit Amatan dan Subjek Penelitian

Unit analisis adalah suatu unit tentangnya peneliti menghimpun atau mencari informasi dan membuat kesimpulan terhadapnya. Sedangkan unit amatan adalah suatu unit yang darinya informasi diperoleh guna menggambarkan atau menjelaskan tentang satuan analisa22. Berdasarkan penjelasan ini, maka unit analisa dalam penelitian ini kepemimpinan Pendeta beretnis Tionghoa.

21

Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar, Metode Penelitian Sosial (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), 90.

22


(2)

Sedangkan unit amatannya adalah jemaat Gereja Bethel lndonesia (GBI) Salatiga dan jemaat Gereja Bethany Salatiga.

Konsekwensi logis dari unit analisis dan unit amatan adalah penentuan informasi kunci (subjek penelitian). Dalam penelitian ini subjek yang diteliti relatif terbatas, namun variabel-variabel dan fokus yang diteliti sangat luas dimensinya23. Dalam penelitian ini sampling menggunakan sample sumber data dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan tertentu ini misalnya, orang tersebut dianggap memenuhi kriteria yang kita harapkan yang akan memudahkan peneliti menjelajahi subjek atau permasalahan yang diteliti24.

Untuk itu penentuan informan kunci dalam penelitian ini pertama-tama dipilih informan yang memiliki pengetahuan khusus, mempunyai informasi memadai, dan dekat dengan situasi yang menjadi fokus penelitian, di samping itu orang tersebut memiliki status tertentu. Untuk tujuan ini maka yang menjadi informan kunci yang ditetapkan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah subjek dengan karakteristik berikut ini:

a) Subjek adalah Pendeta yang beretnis Tionghoa, yang memimpin sebuah jemaat dari satu gereja aliran Pentakosta.

b) Subjek adalah pendeta laki-laki maupun perempuan yang belum atau sudah menikah. c) Subjek telah menduduki posisi sebagai pemimpin jemaat tidak kurang dari dua tahun. d) Berdomisili di Salatiga.

1.5.4. Lokasi Penelitian

Lokasi yang dipilih oleh peneliti dalam penelitian ini adalah Gereja Bethel lndonesia (GBI) Salatiga yang beralamat diJalam Hasanudin3B Salatiga dan Gereja Bethany Salatiga yang beralamat di Jalan Jenderal Sudirman 105 Salatiga. Mengapa peneliti memilih Gereja Bethel

23

Sudarwan Danim,. Menjadi Peneliti kualitatif (Bandung : Pustaka Setia, 2002), 55. 24


(3)

lndonesia (GBI) Salatiga dan Gereja Bethany Salatiga? Alasannya, kedua gereja tersebut merupakan gereja yang memiliki jemaat terbesar di lingkungan gereja-gereja beraliran Pentakosta se-Salatiga. Selain itu dalam melaksanakan tugas kepemimpianannya, GBI Salatiga dan Gereja Bethany Salatiga memiliki Pendeta beretnis Tionghoa yang memenuhi kriteria untuk menjadi informan kunci dalam penelitian ini.

1.6. Urgensi Penelitian

Yang menjadi urgensi dalam penelitian ini adalah adanya stereotip umum perihal etnis Tionghoa bahwa orang-orang beretnis Tionghoa yang hidup di Indonesia selalu diidentikan atau dikaitkan dengan golongan yang hanya memiliki kemampuan dalam bidang ekonomi dan bisnis. Stereotip ini berdampak dalam menciptakan ruang gerak yang terbatas bagi orang-orang beretnis Tionghoa di Indonesia untuk aktif terlibat dalam sektor lain. Sehingga dengan melakukan penelitian ini, akan menghasilkan fakta yang berimplikasi dalam upaya merekonstruksi kembali identitas orang-orang Tionghoa yang hidup di Indonesia, karena stereotip yang telah lama melekat kuat tentang orang-orang beretnis Tionghoa di Indonesia, yang dipandang hanya memiliki kemampuan dalam sektor ekonomi saja yang tidak cukup kuat dibongkar hanya dengan asumsi atau pun opini semata. Inilah yang menjadi urgensi mengapa penelitian ini penting untuk dilakukan.

1.7. Output

Dalam melakukan penelitian ini, output penelitian yang diharapkan untuk diperoleh adalah dihasilkannya model dan gaya kepemimpinan yang khas dari Pendeta beretnis Tionghoa. Dengan identitas kultural yang khas sebagai orang beretnis Tionghoa menjadi salah satu faktor yang akan mempengaruhi bagaimana kepemimpinan seseorang. Orang-orang Tionghoa di Indonesia yang telah membuktikan diri mereka sebagai golongan yang sukses dan cocok untuk perkembangan


(4)

ekonomi karena menekankan sistem nilai yang mementingkan kerajinan, kehematan, pengandalan pada diri sendiri, semangat berusaha dan ketrampilan ditambah pula dengan prinsip-prinsip organisasi sosial yang mudah sekali disesuaikan dan digunakan, diharapkan juga memiliki kualitas sebagai seorang pemimpin jemaat. Sehingga model dan gaya kepemimpinan yang dihasilkan akan menjadi referensi bagi pemimpin-pemimpin jemaat lainnya.

1.8. Kajian Pustaka

Berdasarkan penelusuran literatur, maka peneliti tidak menemukan kajian yang secara khusus membahas tentang kepemimpinan Pendeta beretnis Tionghoa. Belum banyak peneliti yang tertarik membahas tentang keterlibatan orang-orang etnis Tionghoa dalam sektor lain, selain sektor ekonomi dan bisnis, dalam hal ini termasuk pembahasan tentang kepemimpinan Kristen.

Namun peneliti menemukan beberapa penelitian yang membahas tentang kepemimpinan Kristen. Salah satunya dalam tesis yang ditulis oleh Eko Purwanto yang berjudul KEPEMIMPINAN YANG MELAYANI: Studi Tentang Pandangan Jemaat Terhadap Implementasi Kepmimpinan Yang Melayani Oleh Majelis Jemaat di Gereja Indonesia (Salatiga). Perhatian utama atau fokus dalam dalam penelitian ini pada karekter servant leadership yang meliputi kesadaran diri sebagai pelayan, peran pemimpin dalam mentransformasikan pengaruh melalui visi, kepercayaan, keteladanan, pemberdayaan SDM dan mentoring.

Kesimpulan dalam penelitian ini adalah secara keseluruhan konsep kepemimpinan yang melayani telah diimplementasikan oleh Majelis Jemaat GKI Salatiga dengan sangat baik. Kesimpulan ini didukung oleh pandangan atau jawaban mayoritas responden yang mencapai sebanyak 90.4% pada kategori sedang sampai tinggi. Demikian juga untuk pandangan jemaat terhadap aspek-aspek dari kepimpinan yang melayani menunjukan hasil bahwa Majelis GKI Salatiga sudah mengimplementasikan aspek-aspek tersebut dengan baik.


(5)

Penelitian lain yang ditulis dalam bentuk tesis oleh Icclesia Ratri Kurnia yang berjudul KOSISTENSI PERAN PENDETA TERHADAP PANGGILANNYA: Studi Kasus Pendeta Gereja-Gereja Kristen Jawa), tesis ini secara khusus menguaraikan tentang penilaian perihal konsistensi peran pendeta gereja-gereja Kristen Jawa terhadap panggilan sebagai Pendeta Jemaat. Dalam melihat dan mengetahui mengenai konsistensi peran pendeta gereja-gereja Kristen Jawa terhadap panggilannya, penulis menggunakan teori dramaturgi dan konsistensi sebagai teori utama. Teori ini dijadikan penulis sebagai alat ukur dalam melihat penilaian para pendeta Gereja-gereja Kristen Jawa terhadap dirinya sendiri secara jujur. Teori dramaturgi dari Erving Goffman, yang menjelaskan tentang gambaran seseorang yang memainkan peranan ganda sebagai bentuk ketidakmampuan untuk menjadi diri sendiri, mampu menjadi teori patokan atau arahan sebagai landasan berpikir bagi pembaca untuk memahami tesis ini. Sehingga dari penggunaan teori ini dapat memberikan pengarahan dan perhatian agar tujuan penelitian terstruktur dengan baik.

Dalam kesimpulannya dijelaskan dengan terbuka dan lugas bahwa sebagian besar pendeta GKJ dalam melakukan pelayanan dan kepemimpianan tidak memiliki konsistensi diri yang mengakibatkan sebagaian besar pendeta mengalami kelelahan dan sering nampak konflik-konflik yang terjadi antar pendeta dan jemaat

Selain itu terdapat banyak sekali studi yang membahas tentang identitas orang-orang Tionghoa di Indonesia. Pembahasan yang paling mutahir terdapat dalam disertasi yang ditulis oleh Chang Yau Hoon yang memilih Jakarta sebagai lokasi penelitian. Penelitian lapangan dilakukan Hoon selama setahun di Jakarta pada tahun 2004. Disertasi ini kemudian dijadikan buku dengan judul Identitas Tionghoa Pasca- Suharto: Budaya, Politik, dan Media. Buku ini membahas perihal kebangkitan identitas etnis Tionghoa yang dimungkinkan terjadi karena berakhirnya


(6)

pemerintahan otoriter Suharto, dan munculnya kembali demokrasi serta tumbuhnya civil society di Indonesia.

Dalam buku ini, Hoon sampai kepada kesimpulan bahwa perlunya mengonseptualisasikan dan mengkonstruksi kembali ketinghoaan atau identitas Tionghoa. Dijelaskan dalam buku ini bahwa, stereotip etnis Tionghoa adalah hasil bentukan sejarah, yang pada mulanya dikontruksikan oleh Belanda dan kemudian diproduksi oleh rezim-rezim Indonesia pascakolonial selanjutnya, ternyata merasuk begitu dalam. Akar dari stereotip yang bertahan lama in terletak pada konsepsi yang esensial tentang identitas. Walaupun ruang baru telah dibuka berkat kebijakan multikulturalisme yang memungkinkan ketinghoaan terekspresikan secara bebas, tetapi hal ini tidak menjamin diterimanya kelompok minoritas ini secara penuh oleh mayoritas non-Tionghoa. Dan jika wacana yang esensial tentang identitas tidak dikonseptualisasikan kembali dan digugat, orang Indonesia Tionghoa senangtiasa akan terus dipandang sebagai orang asing di negeri yang telah mereka angggap sebagai rumah sendiri.

Selain itu disimpulkan bahwa kerusuhan anti-China pada Mei 1998 yang menghancurkan bahwa kebijakan asimilasi rezim Suharto telah gagal mewadahi ketionghoaan di Indonesia. Proses reformasi dan demokrasi dan demokratisasi pasca-Suharto membuka ruang artikulasi identitas Tionghoa. Namun dijelaskan juga bahwa kejadian-kejadian anti-China masih hidup dan terpelihara di Indonesia, buktinya dengan adanya kejadian Mei 2006, dimana ratusan mahasiswa dilaporkan tengah mengancam akan melakukan oprasi penyisiran terhadap orang-orang Indonesia-Tionghoa di Makasar, Sulawesi Selatan.


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kepemimpinan Pendeta Beretnis Tionghoa: studi kasus pada gereja-gereja aliran Pentakosta di Kota Salatiga

0 2 25

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kepemimpinan Pendeta Beretnis Tionghoa: studi kasus pada gereja-gereja aliran Pentakosta di Kota Salatiga T2 752013029 BAB II

1 2 51

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kepemimpinan Pendeta Beretnis Tionghoa: studi kasus pada gereja-gereja aliran Pentakosta di Kota Salatiga T2 752013029 BAB IV

0 0 27

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kepemimpinan Pendeta Beretnis Tionghoa: studi kasus pada gereja-gereja aliran Pentakosta di Kota Salatiga T2 752013029 BAB V

0 0 8

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kepemimpinan Pendeta Beretnis Tionghoa: studi kasus pada gereja-gereja aliran Pentakosta di Kota Salatiga

0 0 8

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Indonesia dalam Pemahaman Pendeta Gereja Protestan Maluku (GPM) T2 752011022 BAB I

0 0 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Indonesia dalam Pemahaman Pendeta Gereja Protestan Maluku (GPM) T2 752011022 BAB II

1 6 38

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Indonesia dalam Pemahaman Pendeta Gereja Protestan Maluku (GPM) T2 752011022 BAB IV

0 0 29

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pendeta Perempuan dalam Kepemimpinan di Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) T2 752010013 BAB I

0 0 11

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Politik Pemimpin Gereja Katolik: Studi pada Gereja Katolik St. Paulus Miki Salatiga T2 752014029 BAB I

0 0 17