PENGARUH SISTEM OLAH TANAH TERHADAP POPULASI DAN BIOMASSA CACING TANAH PADA LAHAN BEKAS ALANG-ALANG (Imperata cylindrica L.) YANG DITANAMI KEDELAI (Glycine max L.) MUSIM KEDUA

(1)

Firmanda Aliesa Sembiring

ABSTRAK

PENGARUH SISTEM OLAH TANAH TERHADAP POPULASI DAN BIOMASSA CACING TANAH PADA LAHAN BEKAS ALANG-ALANG

(Imperata cylindrica L.) YANG DITANAMI KEDELAI (Glycine max L.) MUSIM KEDUA

Oleh

FIRMANDA ALIESA SEMBIRING

Ekstensifikasi pertanian merupakan salah satu cara untuk meningkatkan produksi tanaman pangan, salah satunya dengan pemanfaatan lahan bekas alang-alang bagi pertanaman kedelai. Meskipun lahan yang ditumbuhi alang-alang memiliki sifat tanah yang buruk, namun jika lahan alang-alang diberakan lebih dari 10 tahun dan pengolahan tanah dilakukan secara tepat diduga kandungan bahan organik yang ada telah cukup untuk mendukung perbaikan sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Salah satu parameter sifat biologi tanah yang dapat digunakan untuk mengetahui bahwa lahan tersebut dapat digunakan sebagai lahan pertanian adalah dengan mengetahui keberadaan cacing tanah pada lahan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh sistem olah tanah terhadap populasi dan biomassa cacing tanah pada lahan bekas alang-alang (Imperata cylindrica L.) yang ditanami kedelai (Glycine max L.) musim kedua.


(2)

Firmanda Aliesa Sembiring

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan 6 ulangan. Metode percobaan dilakukan dengan menggunakan tanaman indikator kedelai varietas Ajasmoro. Perlakuan yang diterapkan adalah Olah Tanah Intensif (OTI), Olah Tanah Minimum (OTM) dan Tanpa Olah Tanah (TOT). Data yang diperoleh diuji homogenitas ragamnya dengan uji Bartlett dan diuji aditifitasnya dengan uji Tukey, kemudian dianalisis sidik ragamnya dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) pada taraf 5%. Selanjutnya dilakukan uji korelasi antara variabel utama (populasi dan biomassa cacing tanah) dengan variabel pendukung (pH, C-organik, N-total, suhu, kelembaban dan ruang pori total tanah). Pengamataan cacing tanah dilakukan di tiap petak percobaan dalam beberapa periode waktu pengamatan yakni satu hari setelah pengolahan tanah (1 HST), setelah tanaman kedelai berusia 48 hari (48 HST) dan setelah tanaman kedelai berusia 95 hari (95 HST).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa, populasi dan biomassa cacing tanah pada perlakuan TOT dan OTM lebih tinggi daripada OTI pada periode pengamatan 1 HST, 48 HST dan 95 HST. Penyebaran populasi dan biomassa cacing tanah pada kedalaman 0-10 cm lebih banyak daripada kedalaman 10-20 cm maupun 20-30 cm pada setiap perlakuan sistem olah tanah. Dari hasil identifikasi ditemukan 2 genus cacing tanah, yaitu Pontoscolex sp.dan Pheretima sp.Populasi dan biomassa cacing tanah tidak berkorelasi dengan pH, C-organik, N-total, kelembaban dan suhu tanah tetapi berkorelasi nyata dengan ruang pori total tanah.

Kata Kunci : Alang-alang (Imperata cylindrica L.), cacing tanah dan sistem olah tanah.


(3)

(4)

PENGARUH SISTEM OLAH TANAH TERHADAP POPULASI DAN BIOMASSA CACING TANAH PADA LAHAN BEKAS ALANG-ALANG

(Imperata cylindrica L.) YANG DITANAMI KEDELAI (Glycine max L.) MUSIM KEDUA

(Skripsi)

Oleh

FIRMANDA ALIESA SEMBIRING

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(5)

(6)

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Medan, 21 Juli 1988, anak pertama dari dua bersaudara, dari pasangan Bapak Pelawi Sembiring dan Ibu Ria Ukur Sitepu. Penulis

menyelesaikan Pendidikan Taman Kanak-Kanak (TK) Gloria Medan Sumatera Utara pada tahun 1994, Sekolah Dasar (SD) St. Petrus Medan Sumatera Utara pada tahun 2000, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) St. Petrus Medan Sumatera Utara pada tahun 2003, serta Sekolah Menengah Atas (SMA) Cahaya Medan Sumatera Utara pada tahun 2007. Tahun 2008, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Lampung melalui Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di organisasi Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) sebagai Kader Komisariat Pertanian Teknik Unila dan Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI) sebagai Seketaris Umum DPD Caretaker GAMKI Lampung pada tahun 2011-2014. Pada tahun 2011 penulis melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) Tematik di Desa Rejomulyo Kecamatan Metro Selatan Kotamadya Metro dan Praktik Umum (PU) di PT. Great Giant Pineapple (GGP) Terbanggi Besar Lampung Tengah pada tahun 2012. Penulis pernah menjadi asisten dosen praktikum Teknologi Pengelolaan Agen Biologis Hara (TPABH) pada semester ganjil tahun akademik 2012/ 2013.


(8)

“Kamu

harus menggulung benang yang baik sebelum kamu menenun impian

yang hebat. Oleh sebab itu, 365X

Dia menyatakan jangan pernah menyerah”

“Diberkatilah orang yang mengandalkan Tuhan, yang menaruh harapannya

pada Tuhan. Ia akan seperti pohon yang ditanam di tepi air, yang merambatkan

akar-akarnya ke tepi batang air dan yang tidak mengalami datangnya panas

terik, yang daunnya tetap hijau, yang tidak kuatir dalam tahun kering,

dan yang tidak berhenti menghasilkan buah”

(Yeremia 17:7-8)

“Jangan melihat ke m

asa depan dengan mata buta. Masa yang lampau adalah

berguna sekali untuk menjadi kaca bengala

pada masa yang akan datang”

(Ir. Soekarno)

Pendidikan adalah senjata paling mematikan, karena dengan itu Anda dapat

mengubah dunia”

(Nelson Mandela)

Ilmu pengetahuan pada masa muda akan membuat seseorang

menjadi bijaksana pada masa tua

(Kahli Gibran)

“Education is an ornament in prosperity and a refuge in adversity”


(9)

Kupersembahkan karya sederhana ini sebagai wujud rasa hormat, bakti,

tanggung jawab dan kasih sayangku

kepada :

Ayah, Ibu, dan Adikku Lonika Meifrina Sembiring

atas kasih sayang, nasehat, dorongan serta doa yang tulus hingga

mengantarkan aku ke jenjang Perguruan Tinggi

Almamaterku tercinta, sahabat-sahabatku serta seluruh

orang-orang yang mengasihiku atas dukungannya kepada Penulis


(10)

SANWACANA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan segala berkat, anugerah, dan perlindungan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul “Pengaruh Sistem Olah Tanah Terhadap Populasi dan Biomassa Cacing Tanah Pada Lahan Bekas Alang-Alang (Imperata cylindrica L.) yang Ditanami Kedelai (Glycine max L.) Musim Kedua” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

Pada kesempatan ini, dengan segenap kerendahan hati dan rasa hormat, Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S., selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

2. Bapak Dr. Ir. Kuswanta F. Hidayat, M.P., selaku Ketua Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

3. Ibu Prof. Dr. Ir. Sri Yusnaini, M.Si., selaku Pembimbing Utama, yang telah memberikan motivasi, ide, bimbingan dan pengorbanan selama Penulis melaksanakan penelitian hingga penulisan skripsi ini.

4. Bapak Dr. Ir. Henrie Buchari, M.Si., selaku Pembimbing Kedua, yang telah memberikan motivasi, ide, bimbingan dan pengorbanan selama Penulis melaksanakan penelitian hingga penulisan skripsi ini.


(11)

5. Ibu Prof. Dr. Ir. Ainin Niswati, M.S. M.Agr.Sc., selaku Pembahas, atas segala petunjuk, saran, serta pengarahan dalam penulisan skripsi ini.

6. Bapak Ir. Hermanus Suprapto, M.Sc., selaku Pembimbing Akademik yang telah menuntun dan membimbing Penulis selama menyelesaikan pendidikan di Juruan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

7. Keluargaku tekasih; Ayah, Ibu, dan Adikku Lonika Meifrina Sembiring yang telah mencurahkan segala doa, kasih sayang, perhatian dan dorongan sepanjang hidupku.

8. Sanak-saudaraku terkasih; GMKI-BDL, Pak Tengah, Mak Tengah, Karma Pati Pelawi dan seluruh keluarga yang tidak dapat diucapkan satu per satu yang telah memberikan cinta dan kasih sayang serta motivasi yang penuh perhatian. 9. Rekan-rekan Agroteknologi 2008; Happy Destra Sembiring, Melki Sandro

Samosir, Yures Satrio Wibowo, Ardy Mahendra Saragih, Sella Tiara dan rekan seangkatan atas kebersamaan selama perkuliahan.

10.Sahabatku terkasih; Erika Marsella Sinuraya, Toman Hendra Marbun, Adrian Simamora, Edwin Barus, Van Mayel Nainggolan, Jono Parulian Sitorus, Gata Natanael Marbun dan Samuel Simanungkalit atas kebersamaannya selama ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Bandar Lampung, Juli 2014 Penulis


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... x

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 3

1.3 Kerangka Penelitian ... 3

1.4 Hipotesis ... 10

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Olah Tanah ... 11

2.2 Alang-Alang (Imperata cylindrica L.) ... 14

2.3 Cacing Tanah ... 15

2.4 Pengaruh Lingkungan Terhadap Cacing Tanah ... 18

2.4.1 Bahan Organik Tanah ... 18

2.4.2 pH Tanah ... 18

2.4.3 Kelembaban Tanah ... 19

2.4.4 Suhu Tanah ... 20

2.5 Identifikasi Cacing Tanah ... 20

2.5.1 Klitelum ... 21

2.5.2 Pola Susunan Setae ... 21

2.5.3 Tipe Prostomium ... 22

III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 24

3.2 Bahan dan Alat ... 24

3.3 Metode Penelitian ... 25

3.4 Pelaksanaan Penelitian ... 25

3.4.1 Sejarah Lahan Penelitian ... 25


(13)

ii ii

3.4.2.1 Tanpa Olah Tanah (TOT) ... 26

3.4.2.2 Olah Tanah Minimum (OTM) ... 26

3.4.2.3 Olah Tanah Intensif (OTI) ... 27

3.4.3 Pengamatan Cacing Tanah ... 27

3.5 Pengamatan Penelitian ... 29

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian ... 30

4.1.1 Populasi Cacing Tanah ... 30

4.1.2 Biomassa Cacing Tanah ... 33

4.1.3 Identifikasi Cacing Tanah ... 36

4.1.4 Hubungan Antara Populasi dan Biomassa Cacing Tanah Dengan pH, C-Organik, N-Total,Suhu, Kelembaban dan Ruang Pori Total Tanah ... ... 38

4.2 Pembahasan ... 38

V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 45

5.2 Saran ... 45

PUSTAKA ACUAN ... 47

LAMPIRAN ... 52


(14)

iii DAFTAR TABEL

Tabel Halaman 1. Perbedaan sistem olah tanah pada indikator kualitas lingkungan. ... 14 2. Genus cacing tanah yang teridentifikasi pada periode pengamatan

setelah tanaman kedelai berusia 95 hari (95 HST). ... 36 3. Korelasi antara populasi dan biomassa cacing tanah dengan pH,

C-organik, N-total, suhu, kelembaban dan ruang pori total tanah pada periode pengamatan setelah tanaman kedelai berusia 95 hari

(95 HST). ... 38 4. Hasil pengamatan pengaruh sistem olah tanah pada lahan alang-alang

terhadap populasi cacing tanah pada periode pengamatan satu hari

setelah pengolahan tanah (1 HST). ... 54 5. Uji homogenitas pengaruh sistem olah tanah pada lahan alang-alang

terhadap populasi cacing tanah pada periode pengamatan satu hari

setelah pengolahan tanah (1 HST). ... 54 6. Analisis ragam pengaruh sistem olah tanah pada lahan alang-alang

terhadap populasi cacing tanah pada periode pengamatan satu hari

setelah pengolahan tanah (1 HST). ... 54 7. Hasil pengamatan pengaruh sistem olah tanah pada lahan alang-alang

terhadap biomassa cacing tanah pada periode pengamatan satu hari

setelah pengolahan tanah (1 HST). ... 55 8. Uji homogenitas pengaruh sistem olah tanah pada lahan alang-alang

terhadap biomassa cacing tanah pada periode pengamatan satu hari

setelah pengolahan tanah (1 HST). ... 55 9. Analisis ragam pengaruh sistem olah tanah pada lahan alang-alang

terhadap biomassa cacing tanah pada periode pengamatan satu hari


(15)

iv 10.Hasil pengamatan pengaruh sistem olah tanah pada lahan alang-alang

terhadap biomassa cacing tanah pada periode pengamatan satu hari

setelah pengolahan tanah (1 HST) (Transformasi x). ... 56 11.Uji homogenitas pengaruh sistem olah tanah pada lahan alang-alang

terhadap biomassa cacing tanah pada periode pengamatan satu hari

setelah pengolahan tanah (1 HST) (Transformasi x). ... 56 12.Analisis ragam pengaruh sistem olah tanah pada lahan alang-alang

terhadap biomassa cacing tanah pada periode pengamatan satu hari

setelah pengolahan tanah (1 HST) (Transformasi x). ... 56 13.Hasil pengamatan pengaruh sistem olah tanah pada lahan alang-alang

terhadap populasi cacing tanah pada periode pengamatan setelah

tanaman kedelai berusia 48 hari (48 HST). ... 57 14.Uji homogenitas pengaruh sistem olah tanah pada lahan alang-alang

terhadap populasi cacing tanah pada periode pengamatan setelah

tanaman kedelai berusia 48 hari (48 HST). ... 57 15.Analisis ragam pengaruh sistem olah tanah pada lahan alang-alang

terhadap populasi cacing tanah pada periode pengamatan setelah

tanaman kedelai berusia 48 hari (48 HST). ... 57 16.Hasil pengamatan pengaruh sistem olah tanah pada lahan alang-alang

terhadap biomassa cacing tanah pada periode pengamatan setelah

tanaman kedelai berusia 48 hari (48 HST). ... 58 17.Uji homogenitas pengaruh sistem olah tanah pada lahan alang-alang

terhadap biomassa cacing tanah pada periode pengamatan setelah

tanaman kedelai berusia 48 hari (48 HST). ... 58 18.Analisis ragam pengaruh sistem olah tanah pada lahan alang-alang

terhadap biomassa cacing tanah pada periode pengamatan setelah

tanaman kedelai berusia 48 hari (48 HST). ... 58 19.Hasil pengamatan pengaruh sistem olah tanah pada lahan alang-alang

terhadap populasi cacing tanah pada periode pengamatan setelah

tanaman kedelai berusia 95 hari (95 HST). ... 59 20.Uji homgenitas pengaruh sistem olah tanah pada lahan alang-alang

terhadap populasi cacing tanah pada periode pengamatan setelah


(16)

v 21.Analisis ragam pengaruh sistem olah tanah pada lahan alang-alang

terhadap populasi cacing tanah pada periode pengamatan setelah

tanaman kedelai berusia 95 hari (95 HST). ... 59 22.Hasil pengamatan pengaruh sistem olah tanah pada lahan alang-alang

terhadap biomassa cacing tanah pada periode pengamatan setelah

tanaman kedelai berusia 95 hari (95 HST). ... 60 23.Uji homogenitas pengaruh sistem olah tanah pada lahan alang-alang

terhadap biomassa cacing tanah pada periode pengamatan setelah

tanaman kedelai berusia 95 hari (95 HST). ... 60 24.Analisis ragam pengaruh sistem olah tanah pada lahan alang-alang

terhadap biomassa cacing tanah pada periode pengamatan setelah

tanaman kedelai berusia 95 hari (95 HST). ... 60 25.Jumlah rata-rata penyebaran populasi cacing tanah di tiap kedalaman

pada masing-masing perlakuan sistem olah tanah periode pengamatan

setelah tanaman kedelai berusia 95 hari (95 HST)... 61 26.Jumlah rata-rata penyebaran biomassa cacing tanah di tiap kedalaman

pada masing-masing perlakuan sistem olah tanah periode pengamatan

setelah tanaman kedelai berusia 95 hari (95 HST)... 61 27.Hasil analisis pH (H2O) tanah terhadap perlakuan sistem olah tanah

pada lahan alang-alang periode pengamatan setelah tanaman kedelai

berusia 95 hari (95 HST). ... 61 28.Uji homogenitas pH (H2O) tanah terhadap perlakuan sistem olah

tanah pada lahan alang-alang periode pengamatan setelah tanaman

kedelai berusia 95 hari (95 HST). ... 62 29.Analisis ragam pH (H2O) tanah terhadap perlakuan sistem olah tanah

pada lahan alang-alang periode pengamatan setelah tanaman kedelai

berusia 95 hari (95 HST). ... 62 30.Hasil analisis C-organik (%) tanah terhadap perlakuan sistem olah

tanah pada lahan alang-alang periode pengamatan setelah tanaman

kedelai berusia 95 hari (95 HST). ... 62 31.Uji homogenitas C-organik (%) tanah terhadap perlakuan sistem olah

tanah pada lahan alang-alang periode pengamatan setelah tanaman


(17)

vi 32.Analisis ragam C-organik (%) tanah terhadap perlakuan sistem olah

tanah pada lahan alang-alang periode pengamatan setelah tanaman

kedelai berusia 95 hari (95 HST). ... 63 33.Hasil analisis N-total (%) tanah terhadap perlakuan sistem olah tanah

pada lahan alang-alang periode pengamatan setelah tanaman kedelai

berusia 95 hari (95 HST). ... 63 34.Uji homogenitas N-total (%) tanah terhadap perlakuan sistem olah

tanah pada lahan alang-alang periode pengamatan setelah tanaman

kedelai berusia 95 hari (95 HST). ... 64 35.Analisis ragam N-total (%) tanah terhadap perlakuan sistem olah

tanah pada lahan alang-alang periode pengamatan setelah tanaman

kedelai berusia 95 hari (95 HST). ... 64 36.Data pengamatan suhu tanah (0C) terhadap perlakuan sistem olah

tanah pada lahan alang-alang periode pengamatan setelah tanaman

kedelai berusia 95 hari (95 HST). ... 64 37.Uji homogenitas suhu tanah (0C) terhadap perlakuan sistem olah

tanah pada lahan alang-alang periode pengamatan setelah tanaman

kedelai berusia 95 hari (95 HST). ... 65 38.Analisis ragam suhu tanah (0C) terhadap perlakuan sistem olah tanah

pada lahan alang-alang periode pengamatan setelah tanaman kedelai

berusia 95 hari (95 HST). ... 65 39.Data pengamatan kelembaban tanah (%) terhadap perlakuan sistem

olah tanah pada lahan alang-alang periode pengamatan setelah

tanaman kedelai berusia 95 hari (95 HST). ... 65 40.Uji homogenitas kelembaban tanah (%) terhadap perlakuan sistem

olah tanah pada lahan alang-alang periode pengamatan setelah

tanaman kedelai berusia 95 hari (95 HST). ... 66 41.Analisis ragam kelembaban tanah (%) terhadap perlakuan sistem

olah tanah pada lahan alang-alang periode pengamatan setelah

tanaman kedelai berusia 95 hari (95 HST). ... 66 42.Hasil analisis ruang pori total (%) tanah terhadap perlakuan sistem

olah tanah pada lahan alang-alang periode pengamatan setelah


(18)

vii 43.Uji homogenitas ruang pori total (%) tanah terhadap perlakuan

sistem olah tanah pada lahan alang-alang periode pengamatan setelah

tanaman kedelai berusia 95 hari (95 HST). ... 67 44.Analisis ruang pori total (%) tanah terhadap perlakuan sistem olah

tanah pada lahan alang-alang periode pengamatan setelah tanaman

kedelai berusia 95 hari (95 HST). ... 67 45.Uji korelasi hubungan antara populasi cacing tanah dengan pH tanah

pada periode pengamatan setelah tanaman kedelai berusia 95 hari

(95 HST). ... 68 46.Analisis ragam hubungan antara populasi cacing tanah dengan pH

tanah pada periode pengamatan setelah tanaman kedelai berusia 95

hari (95 HST). ... 68 47.Uji korelasi hubungan antara biomassa cacing tanah dengan pH tanah

pada periode pengamatan setelah tanaman kedelai berusia 95 hari

(95 HST). ... 69 48.Analisis ragam hubungan antara biomassa cacing tanah dengan pH

tanah pada periode pengamatan setelah tanaman kedelai berusia 95

hari (95 HST). ... 69 49.Uji korelasi hubungan antara populasi cacing tanah dengan C-organik

tanah pada periode pengamatan setelah tanaman kedelai berusia 95

hari (95 HST). ... 70 50.Analisis ragam hubungan antara populasi cacing tanah dengan

C-organik tanah pada periode pengamatan setelah tanaman kedelai

berusia 95 hari (95 HST). ... 70 51.Uji korelasi hubungan antara biomassa cacing tanah dengan

C-organik tanah pada periode pengamatan setelah tanaman kedelai

berusia 95 hari (95 HST). ... 71 52.Analisis ragam hubungan antara biomassa cacing tanah dengan

C-organik tanah pada periode pengamatan setelah tanaman kedelai

berusia 95 hari (95 HST). ... 71 53.Uji korelasi hubungan antara populasi cacing tanah dengan N-total

tanah pada periode pengamatan setelah tanaman kedelai berusia 95

hari (95 HST). ... 72 54.Analisis ragam hubungan antara populasi cacing tanah dengan


(19)

viii N-total tanah pada periode pengamatan setelah tanaman kedelai

berusia 95 hari (95 HST). ... 72 55.Uji korelasi hubungan antara biomassa cacing tanah dengan N-total

tanah pada periode pengamatan setelah tanaman kedelai berusia 95

hari (95 HST). ... 73 56.Analisis ragam hubungan antara biomassa cacing tanah dengan

N-total tanah pada periode pengamatan setelah tanaman kedelai

berusia 95 hari (95 HST). ... 73 57.Uji korelasi hubungan antara populasi cacing tanah dengan suhu

tanah pada periode pengamatan setelah tanaman kedelai berusia 95

hari (95 HST). ... 74 58.Analisis ragam hubungan antara populasi cacing tanah dengan suhu

tanah pada periode pengamatan setelah tanaman kedelai berusia 95

hari (95 HST). ... 74 59.Uji korelasi hubungan antara biomassa cacing tanah dengan suhu

tanah pada periode pengamatan setelah tanaman kedelai berusia 95

hari (95 HST). ... 75 60.Analisis ragam hubungan antara biomassa cacing tanah dengan suhu

tanah pada periode pengamatan setelah tanaman kedelai berusia 95

hari (95 HST). ... 75 61.Uji korelasi hubungan antara populasi cacing tanah dengan

kelembaban tanah pada periode pengamatan setelah tanaman kedelai

berusia 95 hari (95 HST). ... 76 62.Analisis ragam hubungan antara populasi cacing tanah dengan

kelembaban tanah pada periode pengamatan setelah tanaman kedelai

berusia 95 hari (95 HST). ... 76 63.Uji korelasi hubungan antara biomassa cacing tanah dengan

kelembaban tanah pada periode pengamatan setelah tanaman kedelai

berusia 95 hari (95 HST). ... 77 64.Analisis ragam hubungan antara biomassa cacing tanah dengan

kelembaban tanah pada periode pengamatan setelah tanaman kedelai

berusia 95 hari (95 HST). ... 77 65.Uji korelasi hubungan antara populasi cacing tanah dengan ruang

pori total tanah pada periode pengamatan setelah tanaman kedelai


(20)

ix 66.Analisis ragam hubungan antara populasi cacing tanah dengan ruang

pori total tanah pada periode pengamatan setelah tanaman kedelai

berusia 95 hari (95 HST). ... 78 67.Uji korelasi hubungan antara biomassa cacing tanah dengan ruang

pori total tanah pada periode pengamatan setelah tanaman kedelai

berusia 95 hari (95 HST). ... 79 68.Analisis ragam hubungan antara biomassa cacing tanah dengan ruang

pori total tanah pada periode pengamatan setelah tanaman kedelai


(21)

x DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Bagan kerangka pemikiran ... 9

2. Klitelum, setae dan prostomium cacing tanah ... 23

3. Populasi cacing tanah pada beberapa perlakuan sistem olah tanah dalam tiga periode waktu pengamatan ... 31

4. Penyebaran populasi cacing tanah pada beberapa perlakuan sistem olah tanah dalam kedalaman tanah yang berbeda ... 32

5. Biomassa cacing tanah pada beberapa perlakuan sistem olah tanah dalam tiga periode waktu pengamatan ... 34

6. Penyebaran biomassa cacing tanah pada beberapa perlakuan sistem olah tanah dalam kedalaman tanah yang berbeda ... 35

7. Klitelum Pontoscolex sp. ... 37

8. Setae lumbrisin ... 37

9. Klitelum Pheretima sp. . ... 37

10.Setae perisetin ... 37

11.Denah petak penelitian ... 53

12.Korelasi antara populasi cacing tanah dengan pH tanah (H2O) pada periode pengamatan setelah tanaman kedelai berusia 95 hari (95 HST) ... 80

13.Korelasi antara biomassa cacing tanah dengan pH tanah (H2O) pada periode pengamatan setelah tanaman kedelai berusia 95 hari (95 HST) ... 80


(22)

xi 14.Korelasi antara populasi cacing tanah dengan C-organik tanah (%)

pada periode pengamatan setelah tanaman kedelai berusia 95 hari

(95 HST) ... 81 15.Korelasi antara biomassa cacing tanah dengan C-organik tanah (%)

pada periode pengamatan setelah tanaman kedelai berusia 95 hari

(95 HST) ... 81 16.Korelasi antara populasi cacing tanah dengan N-total tanah (%) pada

periode pengamatan setelah tanaman kedelai berusia 95 hari

(95 HST) ... 82 17.Korelasi antara biomassa cacing tanah dengan N-total tanah (%)

pada periode pengamatan setelah tanaman kedelai berusia 95 hari

(95 HST) ... 82 18.Korelasi antara populasi cacing tanah dengan kelembaban tanah (%)

pada periode pengamatan setelah tanaman kedelai berusia 95 hari

(95 HST) ... 83 19.Korelasi antara biomassa cacing tanah dengan kelembaban tanah (%)

pada periode pengamatan setelah tanaman kedelai berusia 95 hari

(95 HST) ... 83 20.Korelasi antara populasi cacing tanah dengan suhu tanah (oC) pada

periode pengamatan setelah tanaman kedelai berusia 95 hari

(95 HST) ... 84 21.Korelasi antara biomassa cacing tanah dengan suhu tanah (oC) pada

periode pengamatan setelah tanaman kedelai berusia 95 hari

(95 HST) ... 84 22.Korelasi antara populasi cacing tanah dengan ruang porti total tanah

(%) pada periode pengamatan setelah tanaman kedelai berusia 95 hari

(95 HST) ... 85 23.Korelasi antara biomassa cacing tanah dengan ruang porti total tanah

(%) pada periode pengamatan setelah tanaman kedelai berusia 95 hari


(23)

1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang dan Masalah

Ekstensifikasi pertanian merupakan salah satu cara untuk meningkatkan produksi tanaman pangan. Usaha ekstensifikasi dilakukan dengan cara pembukaan lahan baru bagi pertanian, salah satunya dengan pemanfaatan lahan bekas alang-alang bagi pertanaman kedelai. Tjimpolo dan Kesumaningwati (2009) menyatakan bahwa pemanfaatan lahan alang-alang untuk usaha pertanian relatif lebih baik jika dibandingkan dengan membuka hutan, karena selain biaya lebih murah juga akan memperbaiki lingkungan serta mempertahankan fungsi hidrologis hutan. Selain itu pada umumnya di sekitar lokasi alang-alang telah tersedia infrastruktur walaupun masih sangat terbatas.

Lahan alang-alang merupakan lahan tidak produktif yang tersebar cukup luas di Indonesia. Menurut Marufah (2008), luas lahan alang-alang di Indonesia

mencapai 8,5 juta ha atau sekitar 4,47% dari luas wilayah Indonesia. Di Lampung luas lahan alang-alang sekitar 75.921 ha, artinya jika lahan tersebut dapat

dimanfaatkan dengan baik tentunya peningkatan produksi pertanian akan lebih optimal (Anny, 2005). Alang-alang umumnya tumbuh di wilayah pertanaman tahunan seperti karet, kelapa sawit; pertanaman pangan seperti padi, jagung dan


(24)

2

kedelai; pertanaman industri seperti kapas (Suryaningtyas dkk., dalam Buchari, 2002).

Permasalahan utama pemanfaatan lahan yang ditumbuhi alang-alang untuk pertanian adalah buruknya sifat fisik, kimia dan biologi tanah (Marufah, 2008). Meskipun lahan yang ditumbuhi alang-alang memiliki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah yang buruk, namun jika lahan alang-alang tersebut diberakan lebih dari 10 tahun diduga kandungan bahan organik yang ada telah cukup untuk mendukung perbaikan sifat fisik, kimia, dan biologi tanah pada lahan tersebut. Untuk itu, diperlukan suatu sistem pengolahan tanah yang tepat, sehingga lahan bekas alang-alang dapat menjadi produktif dan mampu menunjang peningkatan produksi pertanian. Pengolahan tanah merupakan setiap manipulasi mekanik terhadap tanah untuk menciptakan keadaan tanah yang baik bagi pertumbuhan tanaman agar dapat berproduksi dengan baik, oleh karena itu diperlukan upaya untuk menciptakan keadaan yang sesuai bagi pertumbuhan tanaman (Manik, Afandi, dan Yuwono, 1996). Pada proses pengolahan tanah tersebut, perubahan tanah seperti sifat fisik, kimia, dan biologi tanah akan terjadi. Salah satu

parameter sifat biologi tanah yang dapat digunakan untuk mengetahui bahwa lahan tersebut telah dapat digunakan sebagai lahan pertanian adalah dengan mengetahui keberadaan cacing tanah pada lahan tersebut. Kualitas tanah

berhubungan secara tertutup dan tercermin dari aktivitas, diversitas, dan populasi mikroflora dan fauna tanah, seperti cacing tanah (Ansyori, 2004).

Cacing tanah merupakan salah satu biota tanah yang memiliki peranan penting sebagai indikator kesuburan tanah. Pola penggunaan lahan yang intensif


(25)

3

berpengaruh terhadap populasi dan biomassa cacing tanah. Sebaliknya cacing tanah mempunyai peranan penting terhadap perbaikan sifat tanah seperti menghancurkan bahan organik dan mencampuradukkannya dengan tanah, sehingga terbentuk agregat tanah dan memperbaiki struktur tanah (Buck, Langmaack dan Schrader, 1999). Cacing tanah juga memperbaiki aerasi tanah melalui aktivitas pembuatan lubang dan juga memperbaiki porositas tanah akibat perbaikan struktur tanah. Selain itu, cacing tanah mampu memperbaiki

ketersediaan unsur hara dan kesuburan tanah secara umum (Edwards dan Lofty, 1977).

Tindakan budidaya pertanian pada lahan bekas alang-alang berupa sistem olah tanah dapat memengaruhi kehidupan cacing tanah. Sistem olah tanah terdiri dari sistem olah tanah intensif (OTI) dan sistem olah tanah konservasi (OTM dan TOT). Penelitian ini mengamati pengaruh sistem olah tanah pada lahan bekas alang-alang yang dimanfaatkan sebagai lahan pertanaman kedelai terhadap populasi dan biomasaa cacing tanah.

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh sistem olah tanah terhadap populasi dan biomassa cacing tanah pada lahan bekas alang-alang (Imperata cylindrica L.) yang ditanami kedelai (Glycine max L.) musim kedua.

1.3 Kerangka Pemikiran

Lahan alang-alang (Imperata cylindrica L.) merupakan tumbuhan pioner pada lahan terbuka akibat penebangan, kebakaran hutan, perladangan berpindah atau


(26)

4

cara pengelolaan tanah yang kurang baik seperti yang terjadi di daerah-daerah transmigrasi. Alang-alang memiliki perakaran yang padat yang terletak dekat dengan permukaan tanah. Hal ini merupakan faktor positif dalam mengontrol erosi dan merupakan sumber karbon. Pada lahan dengan kemiringan yang besar, alang-alang dapat mengurangi hilangnya tanah akibat aliran permukaan. Secara umum, alang-alang digunakan untuk melindungi lahan-lahan terbuka yang mudah tererosi. Selain itu, alang-alang tidak suka tumbuh di tanah yang miskin, gersang atau berbatu-batu. Rumput ini senang dengan tanah-tanah yang cukup subur, banyak disinari matahari sampai agak teduh, dengan kondisi lembab atau kering (Tjimpolo dan Kesumaningwati, 2009). Hal ini didukung oleh hasil penelitian Terry dkk. (1997) yang menyimpulkan bahwa alang-alang bukan merupakan tanaman yang rakus hara dan bahkan seringkali dijumpai pada tanah yang mempunyai tingkat kesuburan sedang sampai tinggi.

Upaya dalam meningkatkan dan mempertahankan ketahanan pangan adalah dengan melalui perluasan lahan pertanian. Salah satu lahan yang cukup potensial untuk pengembangan pertanian adalah lahan alang-alang yang sejauh ini

merupakan lahan terbuka yang dibiarkan dan belum dimanfaatkan. Tentunya dengan semakin luas areal pertanian, diharapkan hasil produksi pertanian juga dapat meningkat.

Meskipun lahan yang ditumbuhi alang-alang memiliki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah yang buruk, namun jika lahan alang-alang tersebut diberakan lebih dari 10 tahun diduga bahwa kandungan bahan organik yang ada telah cukup untuk mendukung perbaikan sifat fisik, kimia dan biologi tanah pada lahan tersebut


(27)

5

(Sari, 2011). Untuk itu, tindakan budidaya pertanian berupa pengolahan tanah pada lahan alang-alang tersebut perlu dilakukan secara tepat untuk dapat pula mendukung pertumbuhan tanaman kedelai. Arsyad (1989) menyatakan bahwa pengolahan tanah merupakan setiap manipulasi mekanik terhadap tanah yang diperlukan untuk menciptakan keadaan tanah yang baik bagi pertumbuhan tanaman. Selain itu, pengolahan tanah juga ditujukan untuk memperbaiki kondisi tanah sehingga memudahkan penetrasi akar, infiltrasi air dan peredaran udara (aerasi).

Sistem olah tanah terdiri dari sistem olah tanah intensif (OTI) dan sistem olah tanah konservasi (OTK). OTI pada mulanya akan bersifat positif, sebab dengan pengolahan tanah intensif maka mineralisasi bahan organik meningkat dan tanah menjadi gembur (Utomo, 2006). Menurut Ansyori (2004) mengatakan bahwa dalam jangka panjang, OTI dapat mendegradasikan suatu lahan yang dicerminkan oleh penurunan produksi pertanian, hal ini didukung oleh pernyataan Arsyad (2010) yang menyimpulkan bahwa pengolahan tanah yang baik merupakan salah satu syarat dalam setiap tindakan budidaya tanaman, walaupun demikian

pengolahan tanah yang berat dan tidak tepat dapat menyebabkan menurunnya kesuburan tanah dengan cepat dan tanah lebih mudah terdegradasi. Pengolahan tanah yang berlebihan (intensif) dalam jangka panjang dapat menjadikan suatu lahan terdegradasi yang berpengaruh terhadap sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Kegiatan ini berpengaruh juga terhadap kehidupan cacing tanah yang terdapat di lahan tersebut.


(28)

6

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa OTI dapat mengubah kelimpahan dan keanekaragaman populasi cacing tanah. Semakin tinggi intensitas pengelolaan lahan menyebabkan biodiversitas makrofauna tanah semakin menurun (Sugiyarto, 2003). Penelitian lain menunjukkan bahwa berkurangnya populasi cacing tanah sering ditemukan pada pengolahan tanah intensif karena adanya perubahan lingkungan tanah yang tidak diinginkan sebagai dampak pengolahan tanah yang berlebihan (Chan, 2001).

Terdegradasinya tanah dicerminkan oleh penurunan produksi pertanian akibat salah pengelolaan masa lalu, sehingga perlu dikembangkan strategi untuk

memelihara produksi agar tetap optimum. Salah satu upaya yang dapat diterapkan dalam meningkatkan produksi kedelai yaitu dengan merubah sistem olah tanah dan memanfaatkan sisa gulma alang-alang sebagai mulsa untuk meningkatkan bahan organik tanah. Perubahan sistem olah tanah menjadi olah tanah konservasi dan ditambah pemanfaatkan sisa gulma alang-alang sebagai mulsa organik di lahan pertanaman kedelai diharapkan dapat memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah yang selanjutnya dapat meningkatkan produksi kedelai. Kegiatan ini diharapkan juga dapat meningkatkan populasi dan biomassa cacing tanah yang dapat dijadikan indikator kesuburan tanah (Ansyori, 2004).

Berbagai penelitian menunjukkan penggunaan OTK dapat memperbaiki sifat-sifat tanah, terutama sifat biologi tanah. Niswati dkk. (1998) melaporkan bahwa pada OTK, jumlah mesofauna tanah nyata lebih banyak daripada OTI. Adanya sisa-sisa tumbuhan di permukaan tanah yang dapat berfungsi sebagai sumber pakan bagi berbagai jenis fauna tanah serta tidak terganggunya tanah pada OTK


(29)

7

menyebabkan jumlah mesofauna tanah menjadi lebih banyak. Menurut Hubbard, Jordan dan Syecker (1999), sistem olah tanah minimum dan tanpa olah tanah cenderung meningkatkan biomassa cacing tanah yang hidup pada permukaan tanah, sebaliknya pengurangan populasi cacing tanah dapat mencapai 2,5 sampai 6 kali akibat pengolahan tanah.

Selain menggunakan sistem olah tanah konservasi (OTM atau TOT), pemberian bahan organik melalui pemanfaatkan sisa gulma alang-alang sebagai mulsa organik ke dalam tanah dimaksudkan untuk dapat memperbaiki kualitas tanah yang diikuti dengan meningkatnya populasi cacing tanah. Proses penimbunan residu tanaman secara terus menerus selama bertahun-tahun menyebabkan aktivitas biologi tanah dekat permukaan tanah menjadi lebih tinggi dibandingkan lapisan dalam (Muzammil, 2004).Tisdall, Cockroft dan Uren (1978) dalam Umar (2004) menyatakan bahwa pengurangan intensitas pengolahan tanah dipadukan dengan penambahan bahan organik segar dapat memperbaiki aktivitas biota tanah dan agregasi tanah.

Pencampuran bahan tanaman seperti residu tanaman atau cover crop dengan tidak terlalu dalam ke dalam tanah dapat mengubah aktivitas dan biomas cacing tanah khususnya spesies endogeis (Ansyori, 2004). Hasil penelitian Lekasi dkk.(2001) menunjukkan bahwa penggunaan residu tanaman pisang sebagai mulsa mampu meningkatkan populasi cacing tanah pada tanaman kubis. Penelitian lain menunjukkan bahwa pemanfaatan jerami gandum sebagai mulsa mampu meningkatkan populasi cacing tanah, tetapi kecil pengaruhnya terhadap keanekaragaman spesies cacing tanah (Mele dan Carter, 1999).


(30)

8

Kualitas tanah berhubungan secara tertutup dan tercermin dari aktivitas, diversitas dan populasi mikroflora dan fauna tanah, seperti cacing tanah (Ansyori, 2004). Kemelimpahan cacing tanah pada suatu lahan dipengaruhi oleh ketersediaan bahan organik, keasaman tanah, kelembaban dan suhu atau temperatur. Cacing tanah akan berkembang dengan baik bila faktor lingkungan tersebut sesuai dengan kebutuhannya. Tanah yang kaya akan bahan organik merupakan media yang baik bagi kehidupan cacing tanah. Bahan organik sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan populasi cacing tanah karena bahan organik yang terdapat di tanah sangat diperlukan untuk melanjutkan kehidupannya (Lee, 1985). Menurut Russel (1988), bahan organik dapat mempengaruhi sifat fisik-kimia tanah dan bahan organik itu merupakan sumber pakan untuk menghasilkan energi dan senyawa pembentuk tubuh cacing tanah.

Populasi cacing tanah akan menurun seiring dengan bertambahnya kedalaman tanah, pada kedalaman 0-10 cm jumlah cacing tanah akan empat kali lebih banyak dari pada kedalaman 10-20 cm. Hal ini dikarenakan sumbangan bahan organik pada tanah berbeda untuk setiap kedalaman. Pada permukaan tanah lebih banyak bahan organik yang tersedia untuk aktivitas dan metabolisme serta kandungan udara yang cukup untuk kelangsungan hidupnya (Muzammil, 2004).

Pengaruh persiapan lahan menunjukkan bahwa TOT cenderung memiliki lebih banyak efek positif terhadap keanekaragaman beberapa biota tanah dibandingkan dengan pengolahan tanah (Makalew, 2001). Hal ini sejalan dengan penelitian Brown dkk. (2002) yang menyimpulkan bahwa populasi cacing tanah TOT 5 kali lebih tinggi dibandingkan pada OTI.


(31)

9

Gambar 1. Bagan kerangka pemikiran

Lahan Alang-Alang Diberakan > 10 Tahun

Pemanfaatan Bekas Lahan Alang-Alang Sebagai Lahan

Pertanian Kandungan

Bahan Oganik

Tinggi

Mendukung Perbaikan Sifat Fisik, Kimia dan Biologi Tanah

Sistem Olah Tanah

OTI

OTM TOT

Cacing Tanah

Bahan Organik Sebagai Sumber Energi

Kedalaman Tanah


(32)

10

1.4 Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut

1. Populasi dan biomassa cacing tanah pada tanpa olah tanah (TOT) dan olah tanah minimum (OTM) akan lebih tinggi dibandingkan olah tanah intensif (OTI).

2. Penyebaran populasi dan biomassa cacing tanah akan lebih banyak pada kedalaman 0-10 cm dibandingkan kedalaman 10-20 cm dan 20-30 cm pada setiap perlakuan sistem olah tanah.


(33)

11

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistem Olah Tanah

Tanah merupakan benda alam yang bersifat dinamis, sumber kehidupan, dan mempunyai fungsi penting dari ekosistem darat yang menggambarkan

keseimbangan yang unik antara faktor fisik, kimia dan biologi. Komponen utama tanah terdiri dari mineral anorganik, pasir, debu, liat, bahan-bahan organik hasil dekomposisi dari biota tanah, serangga, bakteri, fungi, alga, nematoda dan sebagainya (Abawi dan Widmer, 2000 dalam Subowo dkk., 2002).

Tanah yang mempunyai tekstur sedang, sangat baik bagi pertumbuhan kedelai. Kedelai juga mampu tumbuh baik pada tanah organik, asal hara tanaman dapat dipenuhi. Jenis-jenis tanah dengan tingkat kesuburan rendah dapat diperbaiki dengan memberikan hara yang dianggap kurang berdasarkan analis tanah dan analisa jaringan tanaman (Ismail dan Efendi, 1986). Produktivitas tanah

dipengaruhi oleh kegiatan pengolahan tanah, jika pengolahan kurang tepat maka kualitas tanah sebagai tempat tumbuh tanaman menurun. Akibatnya tentu menurunkan hasil produksi tanaman. Oleh karena itu, untuk meningkatkan produksi tanaman kedelai di lahan kering diperlukan olah tanah yang tepat. Dalam budidaya pertanian, pengolahan tanah merupakan suatu kegiatan yang sangat penting. Pengolahan tanah pada hakikatnya adalah setiap manipulasi


(34)

12

mekanik terhadap tanah yang diperlukan untuk menciptakan keadaan olah tanah yang baik bagi pertumbuhan tanaman, atau menciptakan keadaan tanah olah yang siap tanam (Yunus, 2004). Sedangkan menurut Arsyad (2010), pada umumnya ada tiga tujuan pengolahan tanah, yakni (1) pengendalian gulma, (2) mencampur bahan organik ke dalam tanah, dan (3) memperbaiki sifat fisik tanah. Menurut intensitasnya, pengolahan tanah dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu (1) no tillage (tanpa olah tanah), (2) minimum tillage (pengolahan tanah minimum, hanya pada bagian yang akan ditanami), dan (3) maksimum tillage (pengolahan intensif, pada seluruh lahan yang akan ditanami). Untuk lahan kering dengan jenis tanah podsolik yang lapisan atas tanahnya tipis dan peka terhadap erosi, pengolahan tanah yang terlalu sering harus dihindarkan. Apabila tekstur tanah tidak berat, sistem pengolahan tanah minimumatau zero tillage diikuti dengan sistem pengendalian gulma yang tepat (Ismail dan Efendi, 1986).

Negara (2007) mengungkapkan bahwa pada pembudidayaan tanaman, pengolahan tanah sangat diperlukan jika kondisi kepadatan tanah, aerasi, kekuatan tanah, dan dalamnya perakaran tanaman tidak lagi mendukung untuk penyediaan air dan perkembangan akar. Walaupun demikian, pengolahan tanah yang tidak tepat dapat menyebabkan menurunnya kesuburan tanah dengan cepat dan tanah lebih mudah terdegradasi.

Salah satu upaya untuk mengurangi dampak buruk dari pengolahan tanah jangka panjang yaitu dengan penggunaan sistem olah tanah konservasi. Dalam sistem olah tanah konservasi terdapat dua sistem yang biasa digunakan yaitu tanpa olah tanah dan olah tanah minimum. Agus dan Widianto (2004) mengatakan bahwa olah tanah konservasi adalah suatu sistem pengolahan tanah dengan tetap


(35)

13

mempertahankan setidaknya 30% sisa tanaman menutup permukaan tanah. Sedangkan menurut Utomo (1991), sistem olah tanah konservasi (OTK) merupakan suatu sistem olah tanah yang berwawasan lingkungan, hal ini dibuktikan dari hasil percobaan jangka panjang pada tanah Ultisol di Lampung yang menunjukkan bahwa sistem OTK (olah tanah minimum dan tanpa olah tanah) mampu memperbaiki kesuburan tanah lebih baik daripada sistem olah tanah intensif.

Pada teknik tanpa olah tanah (TOT), tanah dibiarkan tidak terganggu kecuali alur kecil atau lubang tugalan untuk penempatan benih. Sebelum tanam, gulma dikendalikan dengan herbisida layak lingkungan, yaitu yang mudah terdekomposisi dan tidak menimbulkan kerusakan tanah dan sumber daya

lingkungan lainnya. Seperti teknik OTK lainnya, sisa tanaman musim sebelumnya dan gulma dapat digunakan sebagai mulsa untuk menutupi permukaan lahan (Utomo, 1991 dalam Utomo, 2006).

Widiyasari, Sumarni, dan Arifin (2011) menambahkan bahwa tanaman kedelai yang dibudidayakan pada sistem tanpa olah tanah dengan pemulsaan 20 ton ha-1 ternyata memiliki jumlah polong per tanaman yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa pemulsaan, pemulsaan 4 ton ha-1, 8 ton ha-1 dan perlakukan sistem olah tanah minimum dengan pemulsaan memiliki jumlah polong per tanaman yang lebih tinggi dibandingkan tanpa pemulsaan.

Peningkatan ketersediaan air tanah pada sistem TOT berkaitan erat dengan peranan mulsa dalam mengurangi evaporasi dan perbaikan distribusi ukuran pori. Ferreras dkk. (2000) melaksanakan penelitian OTK di tanah Petrocalcic Paleudoll,


(36)

14

Argentina. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketahanan mekanik tanah pada perlakuan TOT lebih baik dibandingkan OTI pada kedalaman 0-20 cm.

Adapun perbedaan sistem olah tanah pada indikator kualitas lingkungan adalah sebagai berikut

Tabel 1. Perbedaan sistem olah tanah pada indikator kualitas lingkungan (Utomo, 2006).

Olah tanah konservasi Olah tanah intensif 1. Infiltrasi meningkat

2. Erosi tanah menurun

3. Bahan organik tanah meningkat 4. Sifat fisika, kimia, dan biologi

tanah meningkat

5. Produktivitas tanaman meningkat 6. Biaya produksi menurun

7. Pendapat petani jangka panjang meningkat

8. Pencemaran air (sedimen, pupuk, pestisida) menurun

9. Pemanasan global menurun

1. Infiltrasi menurun 2. Erosi tanah meningkat

3. Bahan organik tanah menurun 4. Sifat fisika, kimia, dan biologi

tanah menurun

5. Produktivitas tanaman menurun 6. Biaya produksi meningkat

7. Pendapatan petani jangka panjang menurun

8. Pencemaran air (sedimen, pupuk, pestisida) meningkat

9. Pemanasan global meningkat

2.2 Alang-alang (Imperata cylindrica L.)

Pembukaan hutan menyebabkan perubahan lingkungan dari keadaan tertutup menjadi lingkungan yang terbuka, sehingga mendorong tumbuhnya alang-alang. Alang-alang termasuk tanaman C4 yang membutuhkan sinar matahari penuh untuk pertumbuhannya, dengan kata lain alang-alang dapat tumbuh dengan baik pada lahan yang terbuka. Lahan yang ditinggalkan petani atau diberakan akan ditumbuhi dengan alang-alang sehingga akan menurunkan produksi tanaman pangan, yang disebabkan karena tidak adanya pengembalian bahan organik (Purnomosidhi dan Rahayu, 2002). Menurut Adimihardja dan Mappaona (2005)


(37)

15

bahwa alang-alang memiliki ketahanan tinggi. Hal ini mengakibatkan tanaman lain mengalami kesulitan ketika harus bersaing dengan alang-alang dalam memperoleh air, unsur hara dan cahaya. Beberapa jenis tanaman terganggu pertumbuhannya karena adanya zat beracun (allelopati) yang dikeluarkan oleh akar dan rimpang alang-alang.

Lahan alang-alang merupakan lahan yang tidak produktif dan tersebar cukup luas di Indonesia. Dengan makin berkurangnya lahan pertanian subur karena beralih fungsi, maka salah satu upaya dalam meningkatkan dan mempertahankan ketahanan pangan adalah dengan melalui perluasan lahan pertanian. Salah satu lahan yang cukup potensial untuk pengembangan pertanian adalah lahan alang-alang yang sejauh ini merupakan lahan terbuka yang dibiarkan dan belum dimanfaatkan (Tjimpolo dan Kesumaningwati, 2009). Masalah yang dihadapi pada lahan alang-alang adalah bagaimana cara mengelolanya sehingga dapat menjadi lahan pertanian yang produktif secara berkesinambungan. Permasalahan utama pemanfaatan lahan yang ditumbuhi alang-alang untuk pertanian adalah buruknya sifat fisik, kimia dan biologi tanah (Marufah, 2008). Menurut Aprisal (2000) dalam Gonggo, Hermawan dan Anggraeni (2005), pemanfaatan lahan alang-alang untuk pertanian dengan memperbaiki produktivitasnya jauh lebih baik dibandingkan dengan membuka hutan, karena pembukaan hutan baru akan

menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. 2.3 Cacing Tanah

Cacing tanah merupakan hewan vertebrata yang hidup di tempat lembab dan tidak terkena sinar matahari langsung. Organisme tanah ini bersifat hemaprodit


(38)

16

biparental dari Philum Annelida, Kelas Clitellata, Ordo Oligochaeta, dengan Famili Lumbricidae dan Megascolecidae yang banyak dijumpai di lahan pertanian (Ansyori, 2004).

Menurut Subowo (2008) cacing tanah mampu hidup 1-10 tahun dan dalam proses hidupnya dapat hidup melalui fragmentasi ataupun reproduksi dengan melakukan kopulasi membentuk kokon. Ukuran cacing tanah yang relatif besar, berkisar 1-8 cm atau lebih, dengan kecepatan berpindah di dalam tanah yang relatif terbatas dan lambat berkoloni kembali membuat cacing tanah mudah ditangkap dan dipilih, sehingga dapat dijadikan bioindikator kesuburan tanah (Ansyori, 2004). Cacing tanah memiliki segmen di bagian luar dan dalam tubuhnya. Antara satu segmen dengan segmen lainya terdapat sekat yang disebut septa. Pembuluh darah, sistem ekskresi dan sistem saraf di antara satu segmen dengan segmen lainnya saling berhubungan menembus septa. Rongga tubuh berisi cairan yang berperan dalam pergerakkan annelida dan sekaligus melibatkan kontraksi otot. Ototnya terdiri dari otot melingkar (sirkuler) dan otot memanjang (longitudinal) (Rukmana, 1999 dalam Merlita, 2005).

Cacing tanah dalam berbagai hal mempunyai arti penting, misalnya bagi lahan pertanian. Lahan yang banyak mengandung cacing tanah akan menjadi subur, sebab kotoran cacing tanah yang bercampur dengan tanah telah siap untuk diserap akar tumbuh-tumbuhan. Cacing tanah juga dapat menigkatkan daya serap air permukaan. Lubang-lubang yang dibuat oleh cacing tanah meningkatkan konsentrasi udara dalam tanah. Disamping itu pada saat musim hujan lubang tersebut akan melipatgandakan kemampuan tanah menyerap air. Secara singkat


(39)

17

dapat dikatakan cacing tanah berperan memperbaiki dan mempertahankan struktur tanah agar tetap gembur (Agustinus, 2009).

Berdasarkan jenis makanan yang dimakan, cacing tanah dikelompokkan dalam tiga kelompok (Minnich, 1977 dalam Subowo, 2002) yaitu:

1. Geofagus : pemakan tanah 2. Limifagus : pemakan tanah basah

3. Litter feeder : pemakan bahan organik (sampah, kompos dan pupuk hijau) Cacing tanah secara umum dapat dikelompokkan berdasarkan tempat hidupnya, kotorannya, kenampakan warna, dan makanan kesukaannya (Edwards, 1998; Paoletti, 1999; Hanafiah dkk., 2005) sebagai berikut:

1. Epigaesis;cacing yang aktif dipermukaan pada kedalaman kurang dari 8 cm, warna gelap, penyamaran efektif, tidak membuat lubang, kotoran tidak nampak jelas, pemakan serasah di permukaan tanah dan tidak mencerna tanah.

2. Endogaesis; hidup di dalam tanah dekat permukaan tanah, membuat lubang terowongan permanen hingga kedalaman sekitar 45 cm, sering dalam dan meluas, kotoran di dalam lubang, tidak berwarna, tanpa penyamaran, pemakan tanah dan bahan organik, serta akar-akar mati.

3. Aneciqueik;berukuran besar, membuat lubang terbuka permanen ke permukaan tanah yang terdapat pada kedalaman 1-2,5 m, pemakan serah di permukaan tanah dan membawanya ke dalam tanah, mencerna sebagian tanah, warna sedang bagian punggung, dengan penyamaran rendah, kotoran di permukaan tanah atau terselip di antara tanah.


(40)

18

4. Coprophagic; hidup pada pupuk kandang.

5. Arboricolous; hidup di dalam suspensi tanah pada hutan tropik basah. 2.4 Pengaruh Lingkungan Terhadap Cacing Tanah

Beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan keberadaan cacing tanah pada suatu lingkungan dapat dilihat di bawah ini:

2.4.1 Bahan Organik Tanah

Bahan organik berfungsi sebagai pakan cacing tanah, bahan organik tersebut berasal dari seresah daun, feses ternak dan tanaman atau hewan yang mati (Budiarti dan Palungkun, 1992). Menurut Hanafiah dkk. (2005), distribusi bahan organik tanah berpengaruh terhadap cacing tanah karena terkait dengan sumber nutrisinya sehingga pada tanah miskin bahan organik hanya sedikit jumlah cacing tanah yang dijumpai. Namun apabila cacing tanah sedikit, sedangkan bahan organik segar banyak, pelapukannya akan terhambat.

2.4.2 pH Tanah

Mashur (2001) menyatakan bahwa cacing tanah sangat sensitif terhadap

perubahan konsentrasi ion hidrogen, sehingga pH tanah menjadi faktor pembatas penyebaran dan populasinya. Menurut Budiarti dan Palungkun (1992), cacing tanah memerlukan pakan atau media dengan pH antara 6,0 sampai 7,2 yaitu pH dimana bakteri bekerja optimal. Cacing tanah memiliki sistem pencernaan yang kurang sempurna, karena sedikitnya enzim pencernaan sehingga cacing tanah memerlukan bantuan bakteri untuk merubah atau memecahkan bahan makanan. Aktivitas bakteri yang kurang dalam makanannya menyebabkan cacing tanah


(41)

19

kekurangan makanan dan akhirnya mati karena tidak ada yang membantu mencerna senyawa karbohidrat dan protein. Namun bila makanan terlalu asam sehingga aktivitas bakteri berlebihan maka akan menyebabkan terjadinya pembengkakan tembolok cacing tanah dan berakhir dengan kematian pula. Keadaan makanan atau lingkungan yang terlalu basah, mengakibatkan cacing tanah kelihatan pucat dan kemudian mati. Pengaruh pH terhadap cacing tanah juga dijelaskan dalam penelitian Syarif (2003) yang menyatakan bahwa jumlah cacing tanah dapat menurun karena adanya perubahan pH tanah yang ekstrim. 2.4.3 Kelembaban Tanah

Bobot cacing tanah terdiri dari 75-90 % air. Kelembaban yang ideal untuk cacing tanah antara 15-50 %, namun kelembaban optimumnya adalah antara 42-60 %. Kelembaban tanah yang terlalu tinggi atau basah menyebabkan cacing tanah berwarna pucat dan kemudian mati. Sebaliknya bila kelembaban tanah terlalu kering, cacing tanah akan segera masuk ke dalam tanah dan berhenti makan kemudian mati(Rukmana, 1999).

Menurut Simanjuntak dan Waluyo (1982), kelembaban sangat diperlukan untuk menjaga agar kulit cacing tanah berfungsi normal. Bila udara terlalu kering, akan merusak keadaan kulit. Untuk menghindarinya cacing tanah segera masuk kedalam lubang dalam tanah, berhenti mencari makan dan akhirnya akan mati. Bila kelembaban terlalu tinggi atau terlalu banyak air, cacing tanah segera lari untuk mencari tempat yang pertukaran udaranya (aerasinya) baik. Hal ini terjadi karena cacing tanah mengambil oksigen dari udara bebas untuk pernafasannya


(42)

20

melalui kulit. Kelembaban yang baik untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan cacing tanah adalah antara 15 % sampai 30 %.

2.4.4 Suhu Tanah

Suhu yang terlalu rendah maupun terlalu tinggi akan mempengaruhi proses-proses fisiologis seperti pernafasan, pertumbuhan, perkembangbiakan, dan metabolisme cacing tanah. Menurut Palungkun (2006), suhu yang dibutuhkan cacing tanah dan penetasan kokon berkisar antara 15-25 oC. Bila suhu lebih rendah dari 15 oC, maka akan menyebabkan kokon sulit menetas. Suhu yang hangat (sedang) menyebabkan cepat menetas dan pertumbuhan cacing tanah serta

perkembangbiakannya akan berjalan sempurna. Suhu yang lebih tinggi dari 25 oC masih baik asalkan ada naungan yang cukup dan kelembaban yang optimal (Agustinus, 2009).

2.5 Identifikasi Cacing Tanah

Cacing tanah memiliki ciri-ciri fisik antara lain tubuhnya berbentuk silindris memanjang terdapat segmen luar dan dalam, berambut, tidak memiliki kerangka luar, tidak memiliki alat gerak, dan tidak memiliki mata (Edwards dan Lofty, 1977). Nuryati (2004) menyatakan bahwa cacing tanah memiliki 1800 spesies yang dikelompokkan menjadi 5 famili terbesar di seluruh dunia. Lima famili cacing tanah tersebut yaitu Moniligastridae, Megascolecidae, Eudrilidae, Glossoscolidae dan Lumbricidae.


(43)

21

Cacing tanah dapat diidentifikasi berdasarkan letak klitellum, pola susunan setae dan tipe prostomium sebagai berikut:

2.5.1 Klitelum

Alat reproduksi cacing tanah dewasa adalah klitelum yang merupakan bagian tubuhnya yang menebal dan warnanya lebih terang dari warna tubuhnya. Pada cacing tanah yang masih muda, klitelum belum tampak karena hanya terbentuk pada saat cacing tanah mencapai dewasa yakni 2-3 bulan (Palungkun, 1999). Menurut Anas (1990), klitelum adalah bagian grandular dari epidermis yang berasosiasi dengan produksi kokon. Bentuknya berupa sadel atau annular. Bentuk sadel biasanya terlihat lebih mengembang sedangkan bentuk annular terlihat seperti bagian penyempitan.

2.5.2 Pola Susunan Setae

Pada setiap segmen tubuh cacing tanah terdapat rambut pendek dan keras yang disebut setae. Setae ditemukan pada setiap segmen di permukaan lateral. Setae berfungsi sebagai pencengkram yang kuat saat cacing tanah bergerak pada tempat geraknya dan membantu cacing tanah pada saat reproduksi (Rukmana, 1999

dalam Merlita, 2005).

Setae tersusun di dalam suatu cincin sekitar pinggiran setiap segmen. Jumlah dan distribusi setae bersifat tipikal, baik yang lumbrisin (lumbricine) atau perisetin (perichaetine): (a) pola susunan lumbrisin seperti pada Lumbricidae terdiri dari 8 setae per segmen pada perut, yang membentuk 4 pasangan leteroventral (menurut garis horizontal pada perut), sedangkan (b) pola susunan perisetin terdiri dari banyak setae per segmen (dari umumnya 12-24 hingga 50-100 setae atau 6-12


(44)

22

hingga 25-50 pasang lateroventral), merupakan karakter pada famili

Megascolecidae (Anas, 1990). Pada pola lumbrisin, berdasarkan jarak antarpartner dalam setiap pasang setae, maka pasangan setae ini dibedakan menjadi tiga tipe, yaitu (a) pasangan intim (closely paired) jika berjarak sangat dekat, (b) pasangan renggang (widely paired) jika berjarak agak jauh, dan (c) pasangan jauh (distant) jika antarpartnernya terpisah sehingga tidak jelas partner (Hanafiah dkk., 2005).

2.5.3 Tipe Prostomium

Mulut pada cacing tanah terdapat pada segmen pertama dan anus pada segmen terakhir. Cacing tanah tidak memiliki mata tetapi di dekat mulutnya terdapat prostomium yang merupakan syaraf perasa berbentuk seperti bibir yang menutupi lubang mulut. Prostomium berfungsi untuk membantu cacing tanah menemukan bahan organik yang menjadi makanannya (Edwards dan Lofty, 1977). Sebagai unit mulut, peristomium (bibir) dan prostomium (cuping) menyatu dalam

kombinasi yang bervariasi. Berdasarkan bentuknya, kombinasi peristomium dan prostomium dibedakan atas 4 tipe, yaitu: (a) zygolobus, jika antara keduanya tidak terdapat alur pemisah sehingga prostomium hanya terlihat sebagai pembengkakan peristomium; (b) prolobus, jika antara keduanya terdapat lingkaran alur dangkal sebagai pemisah dan prostomium terlihat sebagai pembengkakan yang lebih menonjol; (c) epilobus, jika antara keduanya terdapat lingkara alur agak dalam (hingga setengah segmen) sebagai pemisah yang terputus atau utuh (kontinyu) dan prostomium terlihat sebagai tonjolan jelas; (d) tanylobus, identik dengan epilobus tetapi alur pemisahnya dalam (hingga setebal satu segmen) (Hanafiah dkk., 2005).


(45)

23

Gambar 2. Klitelum, setae dan prostomium cacing tanah


(46)

24

III. BAHAN DAN METODE

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada lahan bekas alang-alang di Desa Blora Indah Kelurahan Segalamider Kecamatan Tanjung Karang Barat Kota Bandar Lampung. Perhitungan populasi cacing tanah dilakukan di lapang sedangkan biomassa, identifikasi cacing tanah dan analisis contoh tanah dilakukan di Laboratorium Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2012 sampai dengan bulan November 2012.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan adalah contoh tanah yang diambil dari setiap perlakuan, cacing tanah, larutan pengawet formalin 10 % (formalin 10 ml dan air 90 ml) dan bahan-bahan kimia lain untuk analisis kimia tanah.

Alat yang digunakan adalah bingkai kayu berukuran 25 cm x 25 cm, tembilang, koret, nampan plastik, kantung plastik, pinset, alat tulis, timbangan elektrik, mikroskop, soil moisture tester (kelembaban tanah), termometer tanah (suhu tanah) dan alat-alat laboratorium lain untuk analisis tanah.


(47)

25

3.3 Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan 6 ulangan. Perlakuan yang diterapkan adalah:

1. TOT = Tanpa Olah Tanah 2. OTM = Olah Tanah Minimum 3. OTI = Olah Tanah Intensif

Data yang diperoleh diuji homogenitas ragamnya dengan uji Bartlett dan diuji aditifitasnya dengan uji Tukey, kemudian dianalisis sidik ragamnya dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) pada taraf 5 %. Selanjutnya dilakukan uji korelasi antara variabel utama (populasi dan biomassa cacing tanah) dengan variabel pendukung (pH, C-organik, N-total, suhu, kelembaban dan ruang pori total tanah). 3.4 Pelaksanaan Penelitian

3.4.1 Sejarah Lahan Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada lahan alang-alang yang diberakan lebih dari 10 tahun. Selama 10 tahun, lahan ini tidak pernah diolah dan pengelolaan dilakukan hanya dengan memotong alang-alang setiap dua minggu sekali yang dibiarkan hingga menjadi bahan organik. Pada musim tanam pertama, lahan ini ditanami dengan jagung pada bulan Desember 2010 hingga Maret 2011. Setelah musim tanam pertama, lahan tersebut diberakan selama 1,5 tahun dan pengelolaan dilakukan hanya dengan memotong alang-alang setiap dua minggu sekali yang dibiarkan hingga menjadi bahan organik.


(48)

26

3.4.2 Tata Laksana Penelitian

Plot percobaan dibuat secara kelompok dengan enam kelompok dan tiga perlakuan olah tanah. Lahan dibagi menjadi 18 petak percobaan sesuai dengan perlakuan dan dengan ukuran tiap petaknya 4 m x 2 m dengan jarak antar petak yaitu 0,5 m.

3.4.2.1 Tanpa Olah Tanah (TOT)

Pada petak tanah tanpa olah tanah (TOT) dilakukan penyemprotan herbisida berbahan aktif Glifosat dengan dosis 5 liter ha-1 untuk mengendalikan alang-alang gulma yang tumbuh, kemudian gulma yang mati tersebut dibabat dan dibiarkan sebagai mulsa. Pada lahan tersebut tidak dilakukan pengolahan tanah sama sekali, namun dilakukan pembuatan lubang tanam untuk peletakan benih.

3.4.2.2 Olah Tanah Minimum (OTM)

Pada petak olah tanah minimum (OTM) tidak disemprot menggunakan herbisida tetapi hanya dilakukan pembabatan gulma untuk menghilangkan alang-alang dan gulma yang tumbuh. Gulma yang telah dibabat kemudian dikembalikan dan dibiarkan sebagai mulsa. Pada seluruh petak lahan tersebut dilakukan pengolahan tanah seperlunya saja yakni dengan pencangkulan tanah kurang lebih 20 cm dari permukaan tanah.


(49)

27

3.4.2.3 Olah Tanah Intensif (OTI)

Pada petak olah tanah intensif (OTI), tanah dibersihkan dari sisa tanaman alang-alang hingga tidak ada yang tersisa menggunakan arit kemudian diolah hingga tanah menjadi gembur menggunakan cangkul.

Pemberian pupuk dasar dilakukan dengan sedikit memodifikasi dosis pemupukan, dosis N : 50 kg ha-1, P2O5 : 200 kg ha-1 dan K2O : 100 kg ha-1 (Lingga dan

Marsono, 2003). Sebagai indikator kesuburan tanah pada lahan bekas alang-alang yang akan dijadikan lahan pertanian, maka di lahan tersebut ditanami tanaman kedelai varietas Anjasmoro. Benih ditanam secara tugal dengan dua atau tiga benih tiap lubang dengan jarak 25 cm x 25 cm. Setelah 1 minggu tanaman tumbuh disisakan satu tanaman tiap lubang.

Penyiangan gulma pertama dilakukan dua minggu setelah tanam dan penyiangan gulma selanjutnya dilakukan dua minggu kemudian. Penyulaman tanaman kedelai yang mati dilakukan pada waktu tanaman berumur 1 minggu melalui sulam benih. Pencegahan hama dan penyakit dilakukan dengan penyemprotan pestisida yang memiliki bahan aktif Fipronil dengan konsentrasi 4 ml liter-1 air. Panen dilakukan bila polong kedelai telah berwarna kuning kecoklat-coklatan.

3.4.3 Pengamatan Cacing Tanah

Pengamatan cacing tanah dilakukan di tiap petak percobaan dalam beberapa periode waktu pengamatan yakni pada satu hari setelah pengolahan tanah (1 HST), saat fase vegetatif maksimum (setelah tanaman kedelai berusia 48 hari)


(50)

28

(48 HST) dan satu hari sebelum tanaman kedelai dipanen (setelah tanaman kedelai berusia 95 hari) (95 HST).

Contoh cacing tanah diambil menggunakan metode Monolith (Susilo dan Karyanto, 2005). Letak Monolith berada di tengah-tengah tiap petak perlakuan. Bingkai kayu berukuran 25 cm x 25 cm diletakkan, kemudian tanah digali dan diambil 4 monolith pada setiap petak perlakuan sesuai ukuran bingkai kayu dengan kedalaman 30 cm. Penyebaran cacing tanah diamati perlapisan tanah yaitu 0-10 cm, 10-20 cm dan 20-30 cm. Tanah yang telah digali tadi diletakkan pada nampan plastik untuk kemudian dilakukan penghitungan jumlah cacing tanah dengan metode hand sorting, yaitu dengan memisahkan cacing dari tanah secara manual dengan tangan.

Setiap cacing tanah dewasa, cacing tanah juvenil dan telur cacing yang didapat dimasukkan ke dalam botol kecil yang telah diberi larutan pengawet formalin 10 % (formalin 10 ml dan air 90 ml), telur cacing dihitung sebagai satu individu (kokon). Cacing tanah pun siap untuk dihitung populasi, biomassa dan

diidentifikasi. Identifikasi cacing tanah dilakukan secara kasar dengan bantuan mikroskop sesuai dengan metode identifikasi menggunakan kunci determinasi cacing tanah modifikasi Hanafiah (Hanafiah dkk., 2005). Pengidentifikasian cacing tanah dapat dilakukan apabila cacing tanah yang didapatkan berumur cukup dewasa sehingga segmentasi dan letak klitelum sudah tampak jelas.


(51)

29

3.5 Pengamatan Penelitian

Variabel utama yang diamati adalah

1. Jumlah cacing tanah (ekor m-2) (metode hand sorting) 2. Biomassa cacing tanah (g m-2) (metode penimbangan basah) Variabel pendukung yang diamati adalah

1. pH (H2O) tanah (metode elektrometrik)

Data pH tanah diambil pada satu hari setelah pengolahan tanah, saat fase vegetatif maksimum (setelah tanaman kedelai berusia 48 hari) dan setelah tanaman kedelai dipanen (setelah tanaman kedelai berusia 95 hari).

2. Suhu tanah (oC) (termometer tanah)

Data suhu tanah diambil rutin tiap seminggu sekali, sehingga dapat dilihat rata-rata suhu pada masing-masing plot perlakuan.

3. Kelembaban tanah (%) (soil moisture tester)

Data kelembaban tanah diambil rutin tiap seminggu sekali, sehingga dapat dilihat rata-rata kelembaban pada masing-masing plot perlakuan.

4. C-organik tanah (%) (metode Walkley and Black)

Data C-organik tanah diambil setelah tanaman kedelai dipanen (setelah tanaman kedelai berusia 95 hari).

5. N-total tanah (%) (metode Kjeldahl)

Data N-total tanah diambil setelah tanaman kedelai dipanen (setelah tanaman kedelai berusia 95 hari).


(52)

45

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang didapat dari penelitian ini adalah:

1. Populasi dan biomassa cacing tanah pada perlakuan TOT dan OTM lebih tinggi daripada OTI pada periode pengamatan satu hari setelah pengolahan tanah (1 HST), setelah tanaman kedelai berusia 48 hari (48 HST) serta 95 hari (95 HST).

2. Penyebaran populasi dan biomassa cacing tanah pada kedalaman 0-10 cm lebih banyak daripada kedalaman 10-20 cm maupun 20-30 cm pada setiap perlakuan sistem olah tanah.

3. Terdapat 2 genus cacing tanah yang didapat dari hasil identifikasi, yaitu Pontoscolex sp.dan Pheretima sp.

4. Populasi dan biomassa cacing tanah tidak berkorelasi dengan pH, C-organik, N-total, suhu dan kelembaban tanah tetapi berkorelasi nyata dengan ruang pori total tanah.

5.2 Saran

Dari hasil penelitian disarankan para petani menerapkan sistem tanpa olah tanah (TOT) dan olah tanah minimum (OTM) untuk mendukung perbaikan sifat fisik, kimia dan biologi tanah pada lahan bekas alang-alang dan perlu dilakukan


(53)

46

penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh sistem olah tanah terhadap populasi dan biomassa cacing tanah dengan kondisi sifat fisik, kimia dan lingkungan tanah lahan bekas alang-alang dalam periode waktu pengamatan yang berbeda.


(54)

47

PUSTAKA ACUAN

Adimiharja, A. dan Mappaona. 2005. Teknologi Pengelolaan Lahan Kering. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman dan Agroklimat. Bogor. 56 hlm.

Agus, F. dan Widianto. 2004. Petunjuk Praktis Konservasi Tanah Pertania Lahan Kering. Bogor: World Agroforestry Centre ICRAF Southeast Asia. Hal 59-

60.

Agustinus, M.D. 2009. Jurnal Tingkah Laku Cacing Tanah. Diakses tanggal 15 Juli 2012. http://edukasi.kompasiana.com.

Anas, I. 1990. Metodologi Penelitian Cacing Tanah. Intitut Pertanian Bogor. Bogor.

Anny. 2005. Teknologi untuk Menyulap Lahan Alang-Alang Menjadi Lahan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman dan Agroklimat. Bogor.

Ansyori. 2004. Potensi Cacing Tanah sebagai Alternatif Bio-Indikator Pertanian Berkelanjutan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Makalah Pribadi Falsafah Sains(PPS 702).

Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Institut Pertanian Bogor Press.Bogor. 277 hlm.

Arsyad, S. 2010. Konservasi Tanah dan Air. Institut Pertanian Bogor Press.Bogor. 290 hlm.

Buchari, H. 2002. Kajian Lumbung Karbon dan Nitrogen Labil Pada Lahan Alang-Alang (Imperata cylindria)di Tanah Ultisol. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 47 hlm.

Buck, C., M. Langmaack and S. Schrader. 1999. Nutrient Content of Earthworm Cast Influenced by Different Mulch Types.Eur. Soil. Bio. J. 55: 23-30. Budiarti, A. dan R. Palungkun. 1992. Cacing Tanah: Aneka Cara Budidaya, Penanganan Lepas Panen, Peluang Campuran Ransum Ternak dan Ikan. Penebar Swadaya. Jakarta.


(55)

48

Brown, G.G., N.P. Benito, A. Pasini., K.D. Sautter, M.F. Guimaraes and E. Tores. 2002. No-Tillage Greatly Increases Earthworm Population in Parana State, Brazil. 7th International Symposium on Earthworm Ecology. Cardiff. Wales.

Chan, K.Y. 2001. An Overview of Some Tillage Impact on Earthworm Population Abudance and Diversity-Implications for Functioning in Soils. Soil and Tillage Res. J. 57: 547-554.

Destra, H. 2014. Pengaruh Sistem Olah Tanah Terhadap Infiltrasi Tanah Pada Lahan Bekas Alang-Alang (Imperata cylindrica L.) yang Ditanami Kedelai (Glycine max L.) Musim Kedua. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 67 hlm.

Edwards, C.A. 1998. Earthworm Ecology. St. Lucie Press. Washington, DC. 389 hlm.

Edwards, C.A. and J.R. Lofty. 1977. Biology of Eartworms. A Haalseed Press Book. New York. 255 hlm.

Ferreras, L.A., J.L. Costa, F.O. Garcia and C. Fecorari. 2000. Effect of No

Tillage on Some Soil Physical Properties of a Structural Degraded Petrocalc Paleudoll of the Southern “Pampa” of Argentina. Soil and Tillage Res. J. 54: 31-39.

Gonggo, M.B., B. Hermawan dan D. Anggreni. 2005. Pengaruh Jenis Tanaman Penutup dan Pengolahan Tanah Terhadap Sifat Fiska Tanah Pada Lahan Alang-Alang. Universitas Bengkulu. Bengkulu. J. Ilmu Pertanian Indonesia. ISSN 1411-0067. Hal 44-50.

Hanafiah, K.A., I. Anas, A. Napoleon dan N. Goffar. 2005. Biologi Tanah: Ekologi dan Makrobiologi Tanah. Rajawali Press. Jakarta. 166 hlm.

Hubbard, V.C., D. Jordan and J.A. Stecker. 1999. Earthworm Response Rotation and Tillage in a Missouri Claypan Soil. Biol. Fertil. Soils. J. 29: 343-347. Ismail, I.G. dan S. Effendi. 1986. Pertanaman Kedelai Pada Lahan Kering. Balai Penelitian Tanaman Pangan. Bogor. 21 hlm.

Lee, K.E. 1985. Earthworm. Their Ecology and Relationship with Soil and Land Use. Academic Press. pp. 38-59.

Lekasi, J., P. Woomer, J. Tenywa and M. Bekunda. 2001. Effect of Mulching Cabbage with Banana Residues on Cabbage Yield, Soil Nutrient and Moisture Suply, Soil Biota and Weed Biomas. African Crop Scie. J. 9(3): 499-506.


(56)

49

Lingga, P. dan Marsono. 2003. Petunjuk Penggunaan Pupuk. P.T Penebar Swadaya. Jakarta.

Makelew, D.N. 2001. Keanekaragaman Biota Tanah Pada Agroekosistem Tanpa Olah Tanah (TOT). Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Makalah Falsafah Sains.

Manik, K.E.S., Afandi dan S.B. Yuwono. 1996. Studi Pemadatan Tanah Pada Beberapa Penggunaan Lahan di Lereng Tengah Gunung Betung. J. Tanah

Trop. 2(2): 1-6.

Marufah, D. 2008. Pengelolaan Gulma Alang-Alang Pada Lahan Perkebunan. Diakses tanggal 25 September 2012. http://marufah.blog.uns.ac.id. Mashur. 2001. Kajian Perbaikan Teknologi Budidaya Cacing Tanah Eisenia foetida untuk Meningkatkan Produksi Biomassa dan Kualitas Eksmecat

dengan Memanfaatkan Limbah Organik Sebagai Media. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 37 Hlm.

Mele, P.M. and M.R. Carter. 1999. Impact of Crop Management Factors in Conservation Tillage Farming on Earthworm Density, Age Structure and Spesies Abudance in South-Eastern Australia. Soil and Tillage Res. J. 59: 1- 10.

Merlita. 2005. Struktur Komunitas Cacing Tanah Pada Berbagai Tipe Penggunaan Lahan di Kecamatan Sumber Jaya Lampung Barat. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 63 hlm.

Muzammil. 2004. Aktivitas Cacing Tanah Akibat Pemberian Pupuk Organik dan Anorganik Pada Padi Gogo Musim Tanam Ke Lima Pada Tanah Ultisol Purbolinggo. Skripsi. Univeritas Lampung. Bandar Lampung. 63 hlm. Negara, L.P. 2007. Pengaruh Sistem Olah Tanah pada Pertanaman Jagung terhadap Pemadatan Tanah Inceptisol di Metro Kibang Lampung Timur. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 40 hlm.

Niswati, A., M. Utomo, M.A.S. Arif dan S. Yusnaini. 1998. Olah Tanah Konservasi Jangka Panjang Pengaruhnya Terhadap Mesofauna Tanah. Prosiding Seminar Nasional-VI BDP-OTK. Balai Penelitian Universitas

Lampung. Bandar Lampung. Hlm 110-146.

Nuryati, S. 2004. Manfaat Cacing Tanah Untuk Menghasilkan Pupuk Organik. Berita Bumi edisi 11 Mei 2004.

Palungkun, R. 1999. Sukses Beternak Cacing Tanah Lumbricus rubellus. Penebar Swadaya. Jakarta.


(57)

50

Palungkun, R. 2006. Sukses Beternak Cacing Tanah Lumbricus rubellus. Penebar Swadaya. Jakarta. 88 hlm.

Paoletti, M.G. 1999. The Role of Earthworms for Assessment of Sustainability and as Bioindicators. Agri. Eco. Env. J. 74: 137- 155.

Purnomosidhi dan Rahayu. 2002. Pengendalian Alang-Alang Dengan Pola Agroforesti. ICRAF-SEA. Bogor.

Rachman, A., S.H. Anderson, C.J. Gantzer and A.L. Thompson. 2003. Influence of Long-Term Cropping System on Soil Physical Properties Related to Soil Erodibility. Soil Sci. Soc. Am. J. 67: 637-644.

Rukmana, R. 1999. Budidaya Cacing Tanah. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Russel, E.W. 1988. Soil Condition and Plant Growth. Eleventh Edition. Longman Scientific and Technical. New York: The United States with John Wiley and Sons. pp. 138-151.

Sari, N.N.L.H. 2011. Pengaruh Sistem Olah Tanah Terhadap Populasi, Biomassa dan Keanekaragaman Cacing Tanah Pada Bekas Lahan Alang-Alang

(Imperata cylindrica L.) Berusia Lebih Dari 10 Tahun. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 64 hlm.

Simanjuntak, A.K. dan D. Waluyo. 1982. Cacing Tanah: Budidaya dan Pemanfaatannya. Penebar Swadaya. Jakarta.

Subowo, G. 2002. Pemanfaatan Cacing Tanah (Pheretima hupiensis) untuk Meningkatkan Produktivitas Ultisol Lahan Kering. Disertasi. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. 95 hlm.

Subowo, G. 2008. Prospek Cacing Tanah untuk Pengembangan Teknologi Resapan Biologi di Lahan Kering. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Yogyakarta.

Sugiarto, Y., E. Handayanto dan L. Agustina. 2002. Pengaruh Sistem Penggunaan Lahan Hutan terhadap Diversitas Makroinvertebrata Tanah di RPH Jatirejo. Kediri. Jawa Timur. BioSmart 4(2): 66-69.

Sugiyarto. 2003. Konservasi Makrofauna Tanah dalam Sistem Agroforestri. Puslitbang Bioteknologi dan Biodiversitas LPPM UNS. Surakarta.

Susilo, F.X. dan A. Karyanto. 2005. Methods for Assesment of Below-Ground Biodiversity in Indonesia. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 58 hlm.


(58)

51

Syarif, S. 2003. Pengaruh Sistem Olah Tanah Konservasi Jangka Panjang yang Diolah Kembali dan Residu N terhadap Populasi Cacing Tanah di Lahan Kering Hajimena Bandar Lampung. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 50hlm.

Terry, P., G. Adjers, I. Akobundu, A. Anoka, M. Drilling, S. Tjitrosemito and M. Utomo. 1997. Herbicides and Mechanical Control of Imperata cylindrica

as a First Step in Grassland Rehabilitation. Agro. Sys. J. 36: 151-179. Tjimpolo, Z.L. dan R. Kesumaningwati. 2009. Pengelolaan Lahan Alang-Alang. Diakses tanggal 28 September 2012. http://www.kesumaningwati@yahoo. com.

Umar, I. 2004. Pengolahan Tanah Sebagai Suatu Ilmu: Data, Teori dan Prinsip Prinsip. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Makalah Pribadi Falsafah Sains.

Utomo, M. 1991. Budidaya Pertanian Tanpa Olah Tanah Teknologi untuk Pertanian Berkelanjutan. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 22 hlm.

Utomo, M. 2006. Bahan Buku Pengelolaan Lahan Kering Berkelanjutan. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 25 hlm.

Wallwork, J.A. 1976. The Distribustion and Diversity of Soil Fauna. London: Academic Press inc. pp. 36.

Widiyasari, L., T. Sumarni dan Ariffin. 2011. Pengaruh Sistem Olah Tanah dan Mulsa Jerami Padi Pada Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Kedelai (Glicine max L.). Skripsi. Universitas Brawijaya. Malang.

Yunus, Y. 2004. Tanah dan Pengolahan. Alfabeta. Bandung.

Yusnaini, S., A. Niswati, M.A.S. Arif and M. Nonaka. 2008. The Changes of Earthworm Population and Chemical Properties of Tropical Soils under Different Land Use Systems. J. Tanah Trop. 13: 131-137.


(1)

penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh sistem olah tanah terhadap populasi dan biomassa cacing tanah dengan kondisi sifat fisik, kimia dan lingkungan tanah lahan bekas alang-alang dalam periode waktu pengamatan yang berbeda.


(2)

PUSTAKA ACUAN

Adimiharja, A. dan Mappaona. 2005. Teknologi Pengelolaan Lahan Kering. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman dan Agroklimat. Bogor. 56 hlm.

Agus, F. dan Widianto. 2004. Petunjuk Praktis Konservasi Tanah Pertania Lahan Kering. Bogor: World Agroforestry Centre ICRAF Southeast Asia. Hal 59-

60.

Agustinus, M.D. 2009. Jurnal Tingkah Laku Cacing Tanah. Diakses tanggal 15 Juli 2012. http://edukasi.kompasiana.com.

Anas, I. 1990. Metodologi Penelitian Cacing Tanah. Intitut Pertanian Bogor. Bogor.

Anny. 2005. Teknologi untuk Menyulap Lahan Alang-Alang Menjadi Lahan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman dan Agroklimat. Bogor.

Ansyori. 2004. Potensi Cacing Tanah sebagai Alternatif Bio-Indikator Pertanian Berkelanjutan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Makalah Pribadi Falsafah Sains (PPS 702).

Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Institut Pertanian Bogor Press.Bogor. 277 hlm.

Arsyad, S. 2010. Konservasi Tanah dan Air. Institut Pertanian Bogor Press.Bogor. 290 hlm.

Buchari, H. 2002. Kajian Lumbung Karbon dan Nitrogen Labil Pada Lahan Alang-Alang (Imperata cylindria) di Tanah Ultisol. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 47 hlm.

Buck, C., M. Langmaack and S. Schrader. 1999. Nutrient Content of Earthworm Cast Influenced by Different Mulch Types. Eur. Soil. Bio. J. 55: 23-30. Budiarti, A. dan R. Palungkun. 1992. Cacing Tanah: Aneka Cara Budidaya, Penanganan Lepas Panen, Peluang Campuran Ransum Ternak dan Ikan. Penebar Swadaya. Jakarta.


(3)

Brown, G.G., N.P. Benito, A. Pasini., K.D. Sautter, M.F. Guimaraes and E. Tores. 2002. No-Tillage Greatly Increases Earthworm Population in Parana State, Brazil. 7th International Symposium on Earthworm Ecology. Cardiff. Wales.

Chan, K.Y. 2001. An Overview of Some Tillage Impact on Earthworm Population Abudance and Diversity-Implications for Functioning in Soils. Soil and Tillage Res. J. 57: 547-554.

Destra, H. 2014. Pengaruh Sistem Olah Tanah Terhadap Infiltrasi Tanah Pada Lahan Bekas Alang-Alang (Imperata cylindrica L.) yang Ditanami Kedelai (Glycine max L.) Musim Kedua. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 67 hlm.

Edwards, C.A. 1998. Earthworm Ecology. St. Lucie Press. Washington, DC. 389 hlm.

Edwards, C.A. and J.R. Lofty. 1977. Biology of Eartworms. A Haalseed Press Book. New York. 255 hlm.

Ferreras, L.A., J.L. Costa, F.O. Garcia and C. Fecorari. 2000. Effect of No

Tillage on Some Soil Physical Properties of a Structural Degraded Petrocalc Paleudoll of the Southern “Pampa” of Argentina. Soil and Tillage Res. J. 54: 31-39.

Gonggo, M.B., B. Hermawan dan D. Anggreni. 2005. Pengaruh Jenis Tanaman Penutup dan Pengolahan Tanah Terhadap Sifat Fiska Tanah Pada Lahan Alang-Alang. Universitas Bengkulu. Bengkulu. J. Ilmu Pertanian Indonesia. ISSN 1411-0067. Hal 44-50.

Hanafiah, K.A., I. Anas, A. Napoleon dan N. Goffar. 2005. Biologi Tanah: Ekologi dan Makrobiologi Tanah. Rajawali Press. Jakarta. 166 hlm.

Hubbard, V.C., D. Jordan and J.A. Stecker. 1999. Earthworm Response Rotation and Tillage in a Missouri Claypan Soil. Biol. Fertil. Soils. J. 29: 343-347. Ismail, I.G. dan S. Effendi. 1986. Pertanaman Kedelai Pada Lahan Kering. Balai Penelitian Tanaman Pangan. Bogor. 21 hlm.

Lee, K.E. 1985. Earthworm. Their Ecology and Relationship with Soil and Land Use. Academic Press. pp. 38-59.

Lekasi, J., P. Woomer, J. Tenywa and M. Bekunda. 2001. Effect of Mulching Cabbage with Banana Residues on Cabbage Yield, Soil Nutrient and Moisture Suply, Soil Biota and Weed Biomas. African Crop Scie. J. 9(3): 499-506.


(4)

Lingga, P. dan Marsono. 2003. Petunjuk Penggunaan Pupuk. P.T Penebar Swadaya. Jakarta.

Makelew, D.N. 2001. Keanekaragaman Biota Tanah Pada Agroekosistem Tanpa Olah Tanah (TOT). Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Makalah Falsafah Sains.

Manik, K.E.S., Afandi dan S.B. Yuwono. 1996. Studi Pemadatan Tanah Pada Beberapa Penggunaan Lahan di Lereng Tengah Gunung Betung. J. Tanah Trop. 2(2): 1-6.

Marufah, D. 2008. Pengelolaan Gulma Alang-Alang Pada Lahan Perkebunan. Diakses tanggal 25 September 2012. http://marufah.blog.uns.ac.id. Mashur. 2001. Kajian Perbaikan Teknologi Budidaya Cacing Tanah Eisenia foetida untuk Meningkatkan Produksi Biomassa dan Kualitas Eksmecat dengan Memanfaatkan Limbah Organik Sebagai Media. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 37 Hlm.

Mele, P.M. and M.R. Carter. 1999. Impact of Crop Management Factors in Conservation Tillage Farming on Earthworm Density, Age Structure and Spesies Abudance in South-Eastern Australia. Soil and Tillage Res. J. 59: 1- 10.

Merlita. 2005. Struktur Komunitas Cacing Tanah Pada Berbagai Tipe Penggunaan Lahan di Kecamatan Sumber Jaya Lampung Barat. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 63 hlm.

Muzammil. 2004. Aktivitas Cacing Tanah Akibat Pemberian Pupuk Organik dan Anorganik Pada Padi Gogo Musim Tanam Ke Lima Pada Tanah Ultisol Purbolinggo. Skripsi. Univeritas Lampung. Bandar Lampung. 63 hlm. Negara, L.P. 2007. Pengaruh Sistem Olah Tanah pada Pertanaman Jagung terhadap Pemadatan Tanah Inceptisol di Metro Kibang Lampung Timur. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 40 hlm.

Niswati, A., M. Utomo, M.A.S. Arif dan S. Yusnaini. 1998. Olah Tanah Konservasi Jangka Panjang Pengaruhnya Terhadap Mesofauna Tanah. Prosiding Seminar Nasional-VI BDP-OTK. Balai Penelitian Universitas Lampung. Bandar Lampung. Hlm 110-146.

Nuryati, S. 2004. Manfaat Cacing Tanah Untuk Menghasilkan Pupuk Organik. Berita Bumi edisi 11 Mei 2004.

Palungkun, R. 1999. Sukses Beternak Cacing Tanah Lumbricus rubellus. Penebar Swadaya. Jakarta.


(5)

Palungkun, R. 2006. Sukses Beternak Cacing Tanah Lumbricus rubellus. Penebar Swadaya. Jakarta. 88 hlm.

Paoletti, M.G. 1999. The Role of Earthworms for Assessment of Sustainability and as Bioindicators. Agri. Eco. Env. J. 74: 137- 155.

Purnomosidhi dan Rahayu. 2002. Pengendalian Alang-Alang Dengan Pola Agroforesti. ICRAF-SEA. Bogor.

Rachman, A., S.H. Anderson, C.J. Gantzer and A.L. Thompson. 2003. Influence of Long-Term Cropping System on Soil Physical Properties Related to Soil Erodibility. Soil Sci. Soc. Am. J. 67: 637-644.

Rukmana, R. 1999. Budidaya Cacing Tanah. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Russel, E.W. 1988. Soil Condition and Plant Growth. Eleventh Edition. Longman Scientific and Technical. New York: The United States with John Wiley and Sons. pp. 138-151.

Sari, N.N.L.H. 2011. Pengaruh Sistem Olah Tanah Terhadap Populasi, Biomassa dan Keanekaragaman Cacing Tanah Pada Bekas Lahan Alang-Alang

(Imperata cylindrica L.) Berusia Lebih Dari 10 Tahun. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 64 hlm.

Simanjuntak, A.K. dan D. Waluyo. 1982. Cacing Tanah: Budidaya dan Pemanfaatannya. Penebar Swadaya. Jakarta.

Subowo, G. 2002. Pemanfaatan Cacing Tanah (Pheretima hupiensis) untuk Meningkatkan Produktivitas Ultisol Lahan Kering. Disertasi. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. 95 hlm.

Subowo, G. 2008. Prospek Cacing Tanah untuk Pengembangan Teknologi Resapan Biologi di Lahan Kering. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Yogyakarta.

Sugiarto, Y., E. Handayanto dan L. Agustina. 2002. Pengaruh Sistem Penggunaan Lahan Hutan terhadap Diversitas Makroinvertebrata Tanah di RPH Jatirejo. Kediri. Jawa Timur. BioSmart 4(2): 66-69.

Sugiyarto. 2003. Konservasi Makrofauna Tanah dalam Sistem Agroforestri. Puslitbang Bioteknologi dan Biodiversitas LPPM UNS. Surakarta. Susilo, F.X. dan A. Karyanto. 2005. Methods for Assesment of Below-Ground Biodiversity in Indonesia. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 58 hlm.


(6)

Syarif, S. 2003. Pengaruh Sistem Olah Tanah Konservasi Jangka Panjang yang Diolah Kembali dan Residu N terhadap Populasi Cacing Tanah di Lahan Kering Hajimena Bandar Lampung. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 50hlm.

Terry, P., G. Adjers, I. Akobundu, A. Anoka, M. Drilling, S. Tjitrosemito and M. Utomo. 1997. Herbicides and Mechanical Control of Imperata cylindrica as a First Step in Grassland Rehabilitation. Agro. Sys. J. 36: 151-179.

Tjimpolo, Z.L. dan R. Kesumaningwati. 2009. Pengelolaan Lahan Alang-Alang. Diakses tanggal 28 September 2012. http://www.kesumaningwati@yahoo. com.

Umar, I. 2004. Pengolahan Tanah Sebagai Suatu Ilmu: Data, Teori dan Prinsip Prinsip. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Makalah Pribadi Falsafah Sains. Utomo, M. 1991. Budidaya Pertanian Tanpa Olah Tanah Teknologi untuk Pertanian Berkelanjutan. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 22 hlm.

Utomo, M. 2006. Bahan Buku Pengelolaan Lahan Kering Berkelanjutan. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 25 hlm.

Wallwork, J.A. 1976. The Distribustion and Diversity of Soil Fauna. London: Academic Press inc. pp. 36.

Widiyasari, L., T. Sumarni dan Ariffin. 2011. Pengaruh Sistem Olah Tanah dan Mulsa Jerami Padi Pada Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Kedelai (Glicine max L.). Skripsi. Universitas Brawijaya. Malang.

Yunus, Y. 2004. Tanah dan Pengolahan. Alfabeta. Bandung.

Yusnaini, S., A. Niswati, M.A.S. Arif and M. Nonaka. 2008. The Changes of Earthworm Population and Chemical Properties of Tropical Soils under Different Land Use Systems. J. Tanah Trop. 13: 131-137.


Dokumen yang terkait

Tanggap Tanaman Kedelai (Glycine mca L. Merill.) Terhadap Pemberian Mikoriza Vesikular Arbuskular (MVA) dan Rhizobium Pada Tanah Ultisol

1 22 102

Uji Ketahanan Beberapa Varietas Kedelai (Glycine max L.) Di Luar Musim Tanam Terhadap Penyakit Karat Daun (Phakopsora pachyrhizi Syd.) Di Lapangan

3 63 80

Laju Penutupan Tanah dengan Tanaman Kacang- kacangan (Leguminous) pada Lahan Alang-Alang

3 31 74

Seleksi Massa Beberapa Varietas Kedelai (Glycine max L. Meril) Terhadap Radiasi Sinar Gamma Pada Turunan Kedua

7 121 76

Tanggap Tanaman Kedelai Di Tanah Gambut Terhadap Pemberian Beberapa Jenis Bahan Perbaikan Tanah

1 35 168

Respon Tanaman Kedelai (Glycine Max (L.) Merril) Pada Tanah Masam

0 24 21

PENGARUH SISTEM PENGOLAHAN TANAH TERHADAP KANDUNGAN BIOMASSA NITROGEN MIKROORGANISME (N-mik) LAHAN BEKAS ALANG-ALANG (Imperata cylindrica L.) UMUR LEBIH DARI 10 TAHUN YANG DITANAMI JAGUNG (Zea mays L.)

3 21 43

PENGARUH SISTEM OLAH TANAH TERHADAP TOTAL BAKTERI TANAH PADA PERTANAMAN KEDELAI MUSIM TANAM KEDUA SETELAH PERTANAMAN JAGUNG DI LAHAN BEKAS ALANG-ALANG(Imperata cylindrica. L)

3 22 56

PENGARUH SISTEM OLAH TANAH TERHADAP KANDUNGAN C-ORGANIK TANAH DAN PRODUKSI KEDELAI (Glycine max L) PADA LAHAN BEKAS ALANG-ALANG (Imperata cylindrica) MUSIM TANAM KEDUA

0 8 38

PEMAKAIAN KOMPOS ALANG-ALANG (Imperata cylindrica L. BEAUV) PADA TANAH ULTISOL DAN PENGARUHNYA TERHADAP KETERSEDIAAN P DAN PRODUKSI KEDELAI(Composed Alang-alang (Imperata cylindrica L. BEAUV) used to P-aviable and Soybean yield on Ultisol soil).

2 3 4