Bahasa inggris: THE EFFECT OF REGIONAL TAX, REGIONAL LEVY, AND REVENUE SHARING TOWARDS REGIONAL FINANCIAL INDEPENDENCE BANDAR LAMPUNG CITY Bahasa indonesia : PENGARUH PAJAK DAERAH, RETRIBUSI DAERAH, DAN DANA BAGI HASIL TERHADAP KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH
AND REVENUE SHARING TOWARDS REGIONAL FINANCIAL INDEPENDENCE
BANDAR LAMPUNG CITY By:
MEILIANA
Regional Financial independence is the ability of an area to finance its own governmental activities. The regional financial independence is shown by the amount of revenue sharing compared to regional income from other source for example fund from central government (Revenue Sharing, the General Allocation Fund, the Special Allocation Fund) as well as a loan. The low independence ratio is caused by regional original income that can not be counted on because of low tax basis and regional levy as regional income source. To solve the problem the regional government should optimize the existing potential income acceptance. This study aims to determine whether regional taxes, regional levies, and revenue sharing effect on Regional Financial Independence Bandar Lampung, both partially and simultaneously. The data used are secondary data Realization Reports Budget Revenue of Regional Revenue Office Bandar Lampung 1994/1995 year through 2013 data were analyzed using multiple regression with SPSS.
The results showed that the hypothesis that claims regional taxes, regional levies and revenue sharing have an effect on regional financial independence in Bandar Lampung region is statistically accepted. It is based on the results of the F test obtained results the influence of these three variables was 64.3% with a significance value of 0.000 (less than 0.05). Partially (t test) regional taxes, regional levies and revenue-sharing affect the regional financial independence by Bandar Lampung area. regional tax is the most influential variable on the regional financial independence, this is indicated by the value of the regression coefficient for this variable was 0.410, while the value of the regression coefficient for the variable regional levies and funds for the results of 0.252 and 0.109.
Keywords : Regional Taxes, Regional Levies, Revenue Sharing, and Regional Financial Independence
(2)
DAN DANA BAGI HASIL TERHADAP KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH
KOTA BANDAR LAMPUNG Oleh :
MEILIANA
Kemandirian keuangan daerah menunjukkan kemampuan penerintah darah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahannya. Kemandirian keuangan daerah ditunjukkan oleh besar kecilnya PAD dibandingkan dengan pendapatan daerah yang berasal dari sumber lain, misalnya bantuan dari pemerintah pusat (Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus) maupun dari pinjamin. Rasio kemandirian yang masih rendah disebabkan Pendapatan Asli Daerah masih belum dapat diandalkan, karena relatif rendahnya basis pajak dan retribusi daerah sebagai sumber penerimaan daerah. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah daerah harus mampu mengoptimalkan penerimaan dari potensi pendapatan yang telah ada.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah Pajak Daerah, Retribusi Daerah, dan Dana Bagi Hasil berpengaruh terhadap Kemandirian Keuangan Daerah Kota Bandar Lampung, baik secara parsial dan simultan. Data yang digunakan adalah data sekunder Laporan Realisasi Anggaran Pendapatan Daerah Dinas Pendapatan Daerah Kota Bandar Lampung Tahun 1994/1995 sampai 2013. Data dianalisis menggunakan regresi berganda dengan program SPSS.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hipotesis yang menyatakan Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Dana Bagi Hasil berpengaruh terhadap kemadirian keuangan daerah Kota Bandar Lampung secara statistik dapat diterima. Hal ini berdasarkan dari hasil uji F didapat hasil besarnya pengaruh ketiga variabel ini sebesar 64,3% dengan nilai signifikansi sebesar 0.000 (lebih kecil dari 0.05). Secara parsial ( Uji t) pajak daerah, retribusi daerah dan dana bagi hasil daerah berpengaruh terhadap kemadirian keuangan daerah Kota Bandar Lampung. Pajak daerah merupakan variabel yang paling berpengaruh terhadap kemandirian keuangan daerah, hal ini ditunjukan dengan besarnya nilai koefisien regresi untuk variabel ini sebesar 0.410, sedangkan besarnya nilai koefisien regresi untuk variabel retribusi daerah dan dana bagi hasil sebesar 0,252 dan 0,109.
Kata Kunci : Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Dana Bagi Hasil, dan Kemandirian Keuangan Daerah
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
RIWAYAT HIDUP
MEILIANA, dilahirkan di Tanjung Karang pada tanggal 20 Mei 1976, sebagai
anak kelima dari enam bersaudara dari pasangan Hi. Choiruddin Islamy dan
Hj. Choiratul Aini.
Pendidikan Sekolah Dasar diselesaikan pada tahun 1988, Sekolah Menengah
Pertama pada tahun 1991, Sekolah Menengah Atas pada tahun 1994 dan Fakultas
Ekonomi Universitas Lampung Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan
pada tahun 1999.
Penempatan tugas awal penulis sebagai Pegawai Negeri Sipil pada Dinas
Pendapatan Daerah Kabupaten Tanggamus pada bulan Juni tahun 2000 dan saat
ini penulis melaksanakan tugas di Dinas Pendapatan Daerah Kota Bandar
Lampung.
Pada Tanggal 28 Agustus 2004 penulis menikah di Bandar Lampung dengan
A. Karim Gusani dan dikaruniai seorang putra yang bernama M. Rifath Karlian
Guna dan seorang putri yang bernama Reyhana Karlian Nauri.
Selanjutnya pada tahun 2012 penulis diterima sebagai mahasiswa Program Studi
Magister Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung Jurusan
(8)
(9)
MOTO
“…Sesungguhnya sesudah ada kesulitan itu ada kemudahan, maka apabila kamu
telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan
yang lain) dan ingat kepada tuhanmulah hendaknya kamu berharap….”
(QS. Al Insyiroh : 6-8)
“Allah menitipkan sukacita di setiap dukacita, menitipkan harapan di setiap keraguan. Allah menitipkan kelebihan di setiap kekurangan, menitipkan kekuatan di setiap kelemahan”
"Maha suci Allah menciptakan segala sesuatu berpasangan"
”Jangan mudah putus asa, segala sesuatu membutuhkan proses dan sudah ada jalannya masing-masing, dan yakinlah bahwa akan ada hikmah dibalik semua itu.
(10)
PERSEMBAHAN
Kupersembahkan karya sederhana ini kepada
Kedua orang tuaku tercinta Hi. Choiruddin Islamy dan Hj. Choiratul Aini
yang telah mendidik dan membesarkanku, semoga pengorbanan dan jerih payah keduanya tidak pernah akan sia-sia.
Kupersembahkan pula kepada Suamiku A. Karim Gusani yang telah memberikan dukungan
dalam menyelesaikan perkuliahan dan anak-anakku tersayang M. Rifath Karlian Guna dan
(11)
SANWACANA
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Alhamdulillahirabbil’alamin. Tiada kata yang patut diucapkan selain puji syukur kehadirat Allah SWT, karena hanya atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat
menyelesaikan tesis yang berjudul ”PENGARUH PAJAK DAERAH,
RETRIBUSI DAERAH DAN DANA BAGI HASIL TERHADAP
KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH KOTA BANDAR LAMPUNG”.
Penyusunan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk mencapai gelar
MAGISTER MANAJEMEN (M.M.) pada Program Pascasarjana Magister
Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung. Terwujudnya
tesis ini tidaklah mudah, begitu penuh dengan berbagai rintangan, tantangan, dan
hambatan yang harus dilewati. Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan
tesis ini tidak terlepas dari dukungan, dorongan, nasihat dan bantuan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima
kasih kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Sugeng P. Harianto, M.S. selaku Rektor Universitas Lampung;
2. Prof. Dr. Hi. Satria Bangsawan, S.E., M.Si. selaku Dekan Fakultas Ekonomi
(12)
terima kasih atas segala saran, masukan, dan ilmu yang diberikan;
4. Rinaldi Bursan, S.E., M.Si. selaku Sekretaris Program Studi Magister
Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung, terima kasih
atas segala saran, masukan, dan bantuan yang diberikan pada penulis;
5. Dr. Hi. Toto Gunarto, SE.,M.Si. selaku Pembimbing Utama, terima kasih atas
nasehat, saran, dan masukannya dalam penyempurnaan penulisan tesis ini;
6. Iban Sofyan, SE.,MM. selaku Pembimbing Pembantu, yang dengan ikhlas
mencurahkan waktu dan pemikirannya dalam membimbing penulis
menyelesaikan tesis ini;
7. Bapak dan Ibu Dosen di Program Magister Manajemen yang telah
memberikan ilmu yang sangat berguna selama penulis menimba ilmu di
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung serta para pegawai dan
karyawan yang senantiasa ikhlas dalam melayani administrasi dan segala
sesuatu keperluan akademik yang dibutuhkan penulis;
8. Kedua orang tuaku tercinta Hi. Choiruddin Islamy dan Hj. Choiratul Aini
yang telah mendidik dan membesarkanku, terima kasih atas semangat,
dorongan dan kepercayaan serta kasih sayang yang selalu mengalir tiada henti,
sungguh semua budi dan pengorbanan yang tiada terbalas oleh apapun;
9. Saudara-saudaraku tersayang, Cikwo, Odo, Cikngah, Dongah dan Nini, terima
(13)
Guna dan Reyhana Karlian Nauri, terima kasih atas doa dan dukungannya;
11.Teman-teman seperjuangan dalam menimba ilmu dan silaturrahim seluruh
angkatan 2012 Program Pascasarjana Magister Manajemen Fakultas Ekonomi
dan Bisnis Universitas Lampung, khususnya teman-teman MPKD : Septi,
Iwan, Soni, Arief, Apri, Leo, Heru, Huda, Anto, Pak Joko, Pak Rusdi dan
Mas Aji;
12.Almamaterku tercinta Universitas Lampung yang telah mendidik dan
mendewasakanku dalam berfikir dan bertindak;
13.Semua pihak yang telah memberikan bantuan sehingga terselesaikannya tesis
ini yang tidak dapat penulis sebut satu per satu.
Akhir kata kesempurnaan hanya milik Allah, penulis menyadari bahwa tesis ini
masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik
yang membangun dari berbagai pihak demi kesempurnaan tesis ini. Semoga tesis
ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Wassalammu’alaikum Wr.Wb.
Bandar Lampung, Agustus 2014
MEILIANA
(14)
DAFTAR ISI
Halaman ABSTRAKS ...
ABSTRACT ... HALAMAN JUDUL ... HALAMAN PERSETUJUAN ... HALAMAN PENGESAHAN ... PERNYATAAN ... RIWAYAT HIDUP ... PERSEMBAHAN ... MOTTO ... KATA PENGANTAR ... DAFTAR ISI ... DAFTAR TABEL ... DAFTAR GAMBAR ...
BAB I PENDAHULUAN ... 1.1 Latar Belakang ... 1.2 Perumusan Masalah ... 1.3 Tujuan Penelitian ... 1.4 Manfaat Penelitian ... 1.5 Kerangka Pemikiran ... 1.6 Hipotesis ...
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 2.1 Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal ... 2.2 Keuangan Daerah ... 2.3 Sumber Pendapatan Daerah ... 2.3.1 Pendapatan Asli Daerah (PAD) ... 2.3.1.1 Pajak Daerah ... ... 2.3.1.2 Retribusi Daerah ... 2.3.1.3 Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan ... 2.3.1.4 Lain-lain PAD yang Sah ... 2.3.2 Dana Perimbangan ... 2.3.2.1 Dana Bagi Hasil ... 2.3.2.2 Dana Alokasi Umum (DAU) ... 2.3.2.3 Dana Alokasi Khusus (DAK) ... 2.3.3 Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah ...
i ii iii iv v vi vii viii ix x xiii xv xvi 1 1 13 14 14 15 16 17 17 22 24 24 25 31 36 36 37 38 42 43 43
(15)
BAB III METODE PENELITIAN ... 3.1 Pendekaan dan Jenis Penelitian ... 3.2 Jenis dan Sumber Data ... 3.3 Objek Penelitian ... 3.4 Metode Pengumpulan Data ... 3.5 Metode Analisis Data ... 3.6 Definisi Operasional Variabel ... 3.6 Pengujian Hipotesis ...
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 4.1 Hasil Penelitian ... 4.1.1 Hasil Pengujian Model Regresi ... 4.1.2 Hasil Pengujian Hipotesis ... 4.2 Pembahasan ... 4.2.1 Analisis Data ... 1. Perkembangan Pajak Daerah ... 2. Perkembangan Retribusi Daerah ... 3. Perkembangan Dana Bagi Hasil ... 4. Perkembangan Rasio Kemandirian
Keuangan Daerah ... 4.2.2 Analisis Ekonomi ... A. Pengaruh Pajak Daerah Terhadap
Kemandirian Keuangan Daerah ... B. Pengaruh Retribusi Daerah Terhadap Kemandirian Keuangan Daerah ... C. Pengaruh Dana Bagi Hasil Terhadap Kemandirian Keuangan Daerah ...
BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 5.1 Simpulan ... 5.2 Saran ...
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN 50 50 50 51 51 52 57 60 65 65 65 66 71 71 71 74 75 77 78 78 80 82 85 85 86
(16)
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 2.1 2.2 3.1 3.2 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 4.6
Perbedaan Jenis Pajak Kabupaten/Kota Pada UU No.34/2000 dengan UU No. 28/2009 ... Pendapatan Asli Daerah Kota Bandar Lampung Tahun 1994/1995-2013 (dalam rupiah) ... Kontribusi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Terhadap Pendapatan Asli Daerah Kota Bandar Lampung Tahun 1994/1995-2013 (dalam persen) ...
Dana Bagi Hasil Kota Bandar Lampung Tahun 1994/1995-2013 (dalam rupiah) ... Kemandirian Keuangan Daerah Kota Bandar Lampung Tahun 1994/1995-2013 ... Skala Interval Rasio Kemandirian Keuangan Daerah ... Hasil Penelitian terdahulu ... Hasil Uji Asumsi Multikolinieritas ... Hasil Uji Autokorelasi ... Hasil Perhitungan Uji Fisher ... Hasil Perhitungan Pengaruh Masing-Masing Variabel ... Perkembangan Pajak Daerah Terhadap PAD dan Total Pendapatan Daerah Kota Bandar Lampung Tahun 1994/1995-2013 ... Perkembangan Retribusi Daerah Terhadap PAD dan Total
Pendapatan Daerah Kota Bandar Lampung Tahun 1994/1995-2013 ... Perkembangan Dana Bagi Hasil Terhadap Total Pendapatan Daerah Kota Bandar Lampung Tahun 1994/1995-2013 ... Perkembangan Rasio Kemandirian Keuangan Daerah
Kota Bandar Lampung Tahun 1994/1995-2013 ... 5 7 9 11 12 46 47 55 56 66 68 73 74 76 77
(17)
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1.1 2.1 3.1 3.2 3.3 3.4
Kerangka Pemikiran ... Kerangka Hubungan antara Pusat dan Daerah ... Gambar Sebaran Data ... Scetter Plot Data Penelitian ... Daerah Kritis Uji F ... Daerah Kritis Uji t ...
16 21 54 57 62 64
(18)
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.
Otonomi daerah memberikan kesempatan yang luas kepada daerah untuk
berkreasi dalam meningkatkan dan mengembangkan potensi yang dimiliki dan
dinikmati sebesar-besarnya untuk kesejahteraan masyarakat. Disisi lain otonomi
juga sebagai tantangan bagi Pemerintah Daerah dalam mengurangi
ketergantungan kepada Pemerintah Pusat, dan mempercepat peningkatan
kesejahteraan masyarakat.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2008 dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, telah menyebabkan
perubahan yang mendasar mengenai penyelenggaraan pemerintahan daerah
berupa pengaturan hubungan Pusat dan Daerah, khususnya dalam bidang
administrasi pemerintahan maupun dalam hubungan keuangan antara Pemerintah
(19)
Di era otonomi ini diharapkan daerah menjadi mandiri dalam pengelolaan
kewenangannya. Hal ini ditandai dengan makin kuatnya Kapasitas Fiskal atau
Pendapatan Asli Daerah serta Dana Bagi Hasil. Daerah yang mungkin masih
kekurangan dana diberi bantuan dari pemerintah pusat dalam bentuk Dana
Perimbangan. Akan tetapi tujuan pelaksanaan otonomi adalah mewujudkan
Kapasitas Fiskal Daerah (KFD) yang kuat dalam menciptakan kemandirian
daerah.
Persoalan kemandirian keuangan pemerintah daerah ini menjadi tantangan yang
tidak ringan bagi daerah disebabkan oleh masalah makin membengkaknya biaya
yang dibutuhkan pemerintah daerah untuk pelayanan publik (fiscal need),
sementara laju pertumbuhan penerimaan daerah (fiscal capacity) tidak mencukupi.
Oleh karena itu pemerintah daerah harus melakukan upaya peningkatan kapasitas
fiskal daerah (fiscal capacity) untuk mengurangi ketergantungan terhadap
pembiayaan dari pusat. Peningkatan kapasitas fiskal daerah ini pada dasarnya
adalah optimalisasi sumber–sumber penerimaan daerah yang merupakan indikator bagi pengukuran tingkat kemampuan keuangan daerah itu sendiri. Sumber-
sumber pendapatan daerah tersebut berupa: pajak daerah, retribusi daerah, hasil
pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah.
Koswara (2000) mengemukakan bahwa daerah otonom harus memiliki
kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangannya
sendiri, mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai
untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerahnya. Ketergantungan
(20)
bagian sumber keuangan terbesar, yang didukung kebijakan perimbangan
keuangan pusat dan daerah sebagai prasyarat mendasar dalam sistem
pemerintahan negara kesatuan.
PAD harus menjadi bagian sumber keuangan terbesar bagi daerah merupakan
isyarat yang menunjukkan bahwa PAD merupakan tolok ukur terpenting bagi
kemampuan dan kemandirian daerah dalam menyelenggarakan dan mewujudkan
otonomi yang luas, nyata dan bertanggungjawab. Dalam hubungan ini Santoso
(1995) mengemukakan bahwa PAD merupakan sumber penerimaan yang murni
dari daerah, yang merupakan modal utama bagi daerah sebagai biaya
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Meskipun PAD tidak
seluruhnya dapat membiayai total pengeluaran daerah, namun proporsi PAD
terhadap total penerimaan daerah merupakan indikasi derajat kemandirian
keuangan suatu pemerintah daerah.
Pemerintah dalam rangka meningkatkan kemampuan keuangan daerah agar dapat
melaksanakan otonomi khususnya yang berasal dari pajak daerah dan retribusi
daerah, menetapkan berbagai kebijakan perpajakan daerah, diantaranya dengan
menetapkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali atas UU No.34 Tahun
2000 dan UU No.18 Tahun 1997. Undang-Undang No.28 Tahun 2009 yang
disahkan oleh DPR pada 18 Agustus 2009 dan berlaku efektif sejak 1 Januari
2010 diharapkan dapat lebih mendorong peningkatan pelayanan kepada
masyarakat dan kemandirian daerah. Jenis dan pemungutan atas pajak dan
(21)
yang lama tidak memadai dalam mendukung peningkatan pendapatan asli daerah
sehingga daerah selalu menunggu besaran Dana Alokasi Umum untuk membiayai
penyelenggaraan urusan otonomi.
Undang-Undang PDRB tersebut menyatakan bahwa pajak daerah dan retribusi
daerah menjadi salah satu sumber pendapatan daerah yang penting guna
membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah sehingga terdapat perluasan objek
pajak daerah dan retribusi daerah serta adanya pemberian diskresi (keleluasaan)
dalam penerapan tarif. Kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah untuk
kemudian dilaksanakan berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan,
peran serta masyarakat, dan akuntabilitas dengan memperhatikan potensi daerah.
Tujuan penyempurnaan Undang-Undang tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah menurut Eddi Wahyudi (2010) adalah:
1. Memperbaiki Sistem Pemungutan pajak dan retribusi daerah,
2. Meningkatkan Local Taxing Power melalui:
a. Perluasan objek pajak daerah dan retribusi daerah,
b. Penambahan jenis pajak daerah dan retribusi daerah (termasuk
pengalihan PBB dan BPHTB menjadi Pajak Daerah),
c. Menaikkan tarif maksimum beberapa jenis pajak daerah,
d. Memberikan diskresi penetapan tarif pajak kepada daerah.
3. Meningkatkan Efektifitas Sistem Pengawasan dengan cara:
a. Mengubah sistem pengawasan,
(22)
4. Meningkatkan Sistem Pengelolaan melalui penyempurnaan:
a. Sistem bagi hasil pajak Provinsi,
b. Pengembangan sistem earmarking,
c. Memberikan insentif pemungutan.
Pemerintah Daerah mempunyai kewenangan lebih luas dalam mengelola
keuangannya sejak terbitnya Undang-Undang PDRB Tahun 2009. Jika
sebelumnya otonomi keuangan daerah lebih kepada sisi pengeluaran, dengan
Undang-Undang tersebut Pemerintah Daerah diberikan kewenangan lebih luas
untuk mengelola sendiri pendapatannya. Hal ini ditandai dengan semakin
banyaknya jenis pajak yang kewenangan pemungutannya dialihkan kepada
Pemerintah Daerah kota/kabupaten seperti Pajak Bumi dan Bangunan untuk
sektor pedesaan dan perkotaan (P2) dan Bea Perolehan Tanah dan/atau Bangunan
yang sebelumnya dikelola oleh Pemerintah Pusat dan Pajak Air Tanah yang
sebelumnya dikelola oleh pemerintah provinsi.
Tabel 1.1
Perbedaan Jenis Pajak Kabupaten/Kota Pada UU No.34/2000 dengan UU No. 28/2009
UU 34/2000 UU 28/2009
1. Pajak Hotel 2. Pajak Restoran 3. Pajak Hiburan 4. Pajak Reklame
5. Pajak Penerangan Jalan (PPJ) 6. Pajak Parkir
7. Pajak Pengambilan Bahan Galian Gol. C
1. Pajak Hotel 2. Pajak Restoran 3. Pajak Hiburan 4. Pajak Reklame
5. Pajak Penerangan Jalan 6. Pajak Parkir
7. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (perubahan nomenklatur)
8. Pajak Air Tanah (pengalihan dari Prov) 9. Pajak Sarang Burung Walet (baru) 10. PBB Pedesaan & Perkotaan (baru) 11. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan (baru)
Sumber: Materi Presentasi “Pengalihan PBB-P2 dan BPHTB sebagai Pajak Daerah,” Direktorat
(23)
Kota Bandar Lampung merupakan sebuah kota, sekaligus ibu kota provinsi
Lampung. Kota Bandar Lampung berlokasi sangat strategis karena merupakan
pintu gerbang Pulau Sumatera, tepatnya kurang lebih 165 km sebelah barat laut
Jakarta dan memiliki peran sangat penting selain dalam kedudukannya sebagai ibu
kota Provinsi Lampung juga merupakan pusat pendidikan, kebudayaan dan
perekonomian bagi masyarakat.
Kota Bandar Lampung diharapkan dapat menjadi salah satu kota mandiri yang
dapat mensejahterakan masyarakatnya serta dapat menjalankan rumah tangga
pemerintahnya secara mandiri. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk
menjadikan Kota Bandar Lampung sebagai kota yang mandiri adalah dengan
mengelola keuangan daerah secara baik dan benar maka pembangunan daerah
akan berjalan lancar.
Bandar Lampung yang juga merupakan pusat perekonomian di Provinsi
Lampung, dimana perekonomian daerah dipicu beberapa faktor, salah satunya
adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD). Untuk itu, demi meningkatkan
penerimaan Pendapatan Asli Daerah, pemerintah Kota Bandar Lampung dinilai
perlu mengidentifikasi dan menggali potensi yang tepat terhadap penerimaan
pajak dan retribusi guna meningkatkan efektivitas dalam mengelolaan dan
pencapaiannya.
Undang-Undang No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menyebutkan bahwa yang menjadi
sumber-sumber pembiayaan untuk pembangunan daerah (capital investment)
(24)
yang diterima oleh daerah dari pemerintah pusat. PAD terdiri dari Pajak Daerah,
Retribusi Daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan
lain-lain PAD yang sah. Meskipun demikian, hanya pajak daerah dan retribusi daerah
yang menyumbang secara siginifkan terhadap total penerimaan PAD suatu daerah.
Sumber yang berasal dari Laba Perusahaan Milik Daerah dan Lain PAD yang sah
masih belum berperan. Sedangkan Dana Perimbangan terdiri dari Dana Bagi Hasil
(DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK). Selain itu
juga ada sumber lain yang berasal dari pembiayaan berupa Pinjaman Daerah.
Tabel 1.2
Pendapatan Asli Daerah Kota Bandar Lampung Tahun 1994/1995-2013 (dalam rupiah)
TAHUN
PENGELOLAAN
PENDAPATAN ASLI DAERAH PAJAK DAERAH RETRIBUSI
DAERAH KEKAYAAN DAERAH LAIN-LAIN PENDAPATAN YANG DIPISAHKAN DAERAH YANG SAH
1994-1995 3.684.249.022,74 3.547.946.974,49 61.543.804,67 297.499.895,82 7.591.239.697,72 1995-1996 5.275.861.262,80 4.470.208.345,51 66.051.366,01 330.033.390,59 10.142.154.364,91 1996-1997 6.261.951.278,77 6.166.613.803,32 92.739.604,96 318.211.424,06 12.839.516.111,11 1997-1998 7.478.808.199,00 6.146.426.566,00 34.086.000,00 781.072.318,00 14.440.393.083,00 1998-1999 7.597.147.578,00 4.198.949.332,00 43.200.000,00 1.019.626.184,00 12.858.923.094,00 1999-2000 8.442.522.480,90 5.083.063.987,17 67.600.000,00 229.815.583,44 13.823.002.051,51 2000 8.230.739.226,00 4.772.213.422,00 170.400.000,00 176.020.943,00 13.349.373.591,00 2001 14.307.605.689,30 8.412.866.452,80 260.000.000,00 887.714.065,78 23.868.186.207,88 2002 19.686.070.727,69 9.814.868.421,50 635.000.000,00 1.745.943.022,11 31.881.882.171,30 2003 22.427.401.047,58 10.279.005.131,00 867.724.770,99 2.604.114.617,90 36.178.245.567,47 2004 23.022.201.494,00 10.481.922.255,00 1.049.979.263,06 6.199.481.651,00 40.753.584.663,06 2005 28.288.078.542,00 12.550.047.209,00 934.373.404,00 2.464.670.977,20 44.237.170.132,20 2006 26.970.625.802,00 11.118.157.376,00 1.256.129.542,00 3.747.273.940,66 43.092.186.660,66 2007 30.432.581.631,81 12.533.254.985,00 2.132.482.627,00 9.288.444.162,15 54.386.763.405,96 2008 39.265.916.881,00 14.414.767.716,00 2.509.144.000,00 8.936.020.117,96 65.125.848.714,96 2009 47.035.295.283,00 15.849.094.531,00 3.087.055.409,20 19.655.328.298,88 85.626.773.522,08 2010 56.627.114.786,48 21.911.821.739,00 3.449.399.341,17 5.723.467.973,76 87.711.803.840,41 2011 112.602.140.715,00 38.431.095.234,00 5.631.089.632,00 6.108.264.750,88 162.772.590.331,88 2012 183.436.575.291,26 68.252.030.150,00 6.862.738.923,00 40.144.717.721,23 298.696.062.085,49 2013 242.651.752.332,18 50.711.105.897,32 8.237.246.269,54 58.024.913.788,57 359.625.018.287,61
Sumber: Laporan Realisasi Anggaran Pendapatan Daerah Dinas Pendapatan Daerah Kota Bandar Lampung Tahun 1994/1995-2013
Tabel 1.2 memperlihatkan bahwa selama tahun 1994/1995-2013 Pendapatan Asli
Daerah Kota Bandar Lampung cenderung meningkat dengan rata-rata peningkatan
sebesar 25,24%. Pajak daerah dan retribusi daerah juga mengalami peningkatan
(25)
kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan yang sah mengalami
fluktuasi. Sejak Tahun 2010 PAD Kota Bandar Lampung mengalami kenaikan
yang cukup signifikan, baik pajak daerah, retribusi daerah, pengelolaan kekayaan
daerah yang dipisahkan maupun lain-lain pendapatan yang sah. Apabila dilihat
dari segi pajak daerah, jumlah penerimaan yang terealisasi pada tahun 2010
sebesar Rp. 56.627.114.786,48 kemudian pada tahun 2013 meningkat sangat
pesat sebesar Rp. 242.651.752.332,18. Begitu juga dengan retribusi daerah
mengalami peningkatan yang cukup signifikan, dimana pada tahun 2010 sebesar
Rp. 21.911.821.739,00 lalu pada tahun 2012 meningkat sangat pesat sebesar Rp.
68.252.030.150,00 namun pada tahun 2013 hanya terealisasi sebesar Rp.
50.711.105.897,32 atau mengalami penurunan sebesar 25,70 %. Perkembangan
rata-rata pajak daerah dan retribusi daerah sejak tahun 2010 adalah sebesar
53,61% dan 41,38%.
Peranan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam penerimaan PAD sangat besar,
kontribusi pajak daerah dan retribusi daerah sangat diharapkan untuk menambah
penerimaan Pendapatan Asli Daerah, sehingga Pemerintah harus lebih
memperhatikan sumber penerimaan pendapatan asli daerah khususnya pajak
daerah dan retribusi daerah serta menggali potensi-potensi pajak daerah di Kota
Bandar Lampung.
Tabel 1.3 terlihat bahwa besarnya sumbangan Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah terhadap PAD kota Bandar Lampung dari Tahun 1994/1995 sampai
dengan tahun 2013 selalu mengalami fluktuasi, namun secara nominal
(26)
terhadap PAD sebesar 48,53 %, sedangkan Retribusi Daerah menyumbang
sebesar 46,74 %. Pada Tahun 2013 kontribusi Pajak Daerah terhadap PAD
mengalami peningkatan sebesar 67,47 %, sedangkan Retribusi Daerah
menyumbang sebesar 14,10 %. Rata-rata kontribusi Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah terhadap PAD Kota Bandar Lampung yaitu sebesar 59,17 % dan
30,51 %.
Tabel 1.3
Kontribusi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Terhadap Pendapatan Asli Daerah Kota Bandar Lampung Tahun 1994/1995-2013 (dalam persen)
TAHUN
KONTRIBUSI KONTRIBUSI
PAJAK DAERAH RETRIBUSI DAERAH
TERHADAP PAD TERHADAP PAD
1994-1995 48,53% 46,74%
1995-1996 52,02% 44,08%
1996-1997 48,77% 48,03%
1997-1998 51,79% 42,56%
1998-1999 59,08% 32,65%
1999-2000 61,08% 36,77%
2000 61,66% 35,75%
2001 59,94% 35,25%
2002 61,75% 30,79%
2003 61,99% 28,41%
2004 56,49% 25,72%
2005 63,95% 28,37%
2006 62,59% 25,80%
2007 55,96% 23,04%
2008 60,29% 22,13%
2009 54,93% 18,51%
2010 64,56% 24,98%
2011 69,18% 23,61%
2012 61,41% 22,85%
2013 67,47% 14,10%
Rata-rata 59,17% 30,51%
Sumber: Diolah dari Laporan Realisasi Anggaran Pendapatan Daerah Dinas Pendapatan Daerah Kota Bandar Lampung Tahun 1994/1995-2013
Pajak daerah dan retribusi daerah sebagai sumber penerimaan daerah masih sangat
terbatas, maka Pemerintah melakukan transfer ke daerah untuk memenuhi belanja
(27)
transfer Dana Perimbangan yang terdiri dari Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi
Umum, Dana Alokasi Khusus dan Lain-lain Pendapatan yang Sah.
Dana Bagi Hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan kepada Daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai
kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi (UU No. 33 Tahun
2004). Besarnya realisasi Dana Bagi Hasil (DBH), yang terdiri dari DBH pajak
dan DBH Sumber Daya Alam (SDA), selain dipengaruhi oleh kinerja penerimaan
dalam negeri yang dibagihasilkan, juga tergantung kepada peraturan
perundang-undangan mengenai besarnya persentase bagian daerah penghasil.
Dana Bagi Hasil merupakan komponen dana perimbangan yang memiliki peranan
penting dalam menyelenggarakan otonomi daerah karena penerimaannya
didasarkan atas potensi daerah penghasil sumber pendapatan daerah yang cukup
potensial dan merupakan salah satu modal dasar pemerintah daerah dalam
mendapatkan dana pembangunan dan memenuhi belanja daerah yang bukan
berasal dari Pendapatan Asli Daerah selain Dana Alokasi Umum dan Dana
Alokasi Khusus. Oleh karena itu, jika pemerintah daerah menginginkan transfer
Bagi Hasil yang tinggi maka pemerintah daerah harus dapat mengoptimalkan
potensi pajak dan sumber daya alam yang dimiliki oleh masing-masing daerah,
sehingga kontribusi yang diberikan Dana Bagi Hasil terhadap Pendapatan daerah
dapat meningkat.
Tabel 1.4 terlihat bahwa jumlah dana bagi hasil mengalami fluktuasi, hal ini
disebabkan karena besarnya dana bagi hasil yang ditransfer oleh pemerintah pusat
(28)
masing-masing daerah juga tergantung kepada peraturan perundang-undangan
mengenai besarnya persentase bagian daerah penghasil.
Tabel 1.4
Dana Bagi Hasil Kota Bandar Lampung Tahun 1994/1995-2013 (dalam rupiah)
TAHUN DANA BAGI HASIL DANA BAGI HASIL JUMLAH
PAJAK BUKAN PAJAK DANA BAGI HASIL
1994-1995 5.024.560.284,49 392.996.882,00 5.417.557.166,49
1995-1996 7.166.484.395,51 484.772.489,78 7.651.256.885,29
1996-1997 8.062.622.586,00 343.590.990,91 8.406.213.576,91
1997-1998 7.801.399.570,00 410.312.370,00 8.211.711.940,00
1998-1999 8.113.150.505,00 319.806.596,00 8.432.957.101,00
1999-2000 8.529.939.334,07 198.385.946,72 8.728.325.280,79
2000 9.367.311.622,86 127.722.511,22 9.495.034.134,08
2001 17.559.258.727,32 13.497.654.426,00 31.056.913.153,32
2002 23.199.721.816,34 16.261.808.396,00 39.461.530.212,34
2003 28.518.308.625,00 16.058.852.495,00 44.577.161.120,00
2004 34.789.256.279,08 14.757.437.998,00 49.546.694.277,08
2005 41.725.381.692,00 24.791.571.204,00 66.516.952.896,00
2006 36.813.348.979,26 25.598.404.642,00 62.411.753.621,26
2007 53.143.067.163,86 17.438.154.002,00 70.581.221.165,86
2008 55.199.728.758,00 27.401.569.705,00 82.601.298.463,00
2009 60.486.052.987,00 11.915.907.605,00 72.401.960.592,00
2010 81.143.380.841,00 17.510.465.650,00 98.653.846.491,00
2011 63.705.068.271,00 18.595.091.125,00 82.300.159.396,00
2012 67.248.196.471,00 21.436.928.623,00 88.685.125.094,00
2013 45.783.277.461,00 17.267.575.434,00 63.050.852.895,00
Sumber: Laporan Realisasi Anggaran Pendapatan Daerah Dinas Pendapatan Daerah Kota Bandar Lampung Tahun 1994/1995-2013
Kemandirian daearah otonom pada prinsipnya sangat tergantung dari dua hal,
yakni kemampuan keuangan daerah dalam menggali sumber‐sumber keuangan yang ada serta ketergantungan daerah terhadap bantuan dari pemerintah pusat.
Rasio Kemandirian menggambarkan ketergantungan daerah terhadap sumber dana
ekstern. Semakin tinggi rasio kemandirian mengandung arti bahwa tingkat
ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak ekstern (terutama pemerintah pusat
dan propinsi) semakin rendah, dan demikian pula sebaliknya. Rasio kemandirian
(29)
Semakin tinggi rasio kemandirian, semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam
membayar pajak dan retribusi daerah yang merupakan komponen utama
pendapatan asli daerah. Semakin tinggi masyarakat membayar pajak dan retribusi
daerah akan menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat yang semakin
tinggi.
Tabel 1.5 menggambarkan tingkat kemandirian keuangan Kota Bandar Lampung
sejak tahun 1994/1995-2013. Rasio ini menunjukan besarnya perbandingan
antara PAD dengan dana bantuan yang bukan bersumber dari PAD Kota
Bandar Lampung.
Tabel 1.5
Kemandirian Keuangan Daerah
Kota Bandar Lampung Tahun 1994/1995-2013
TAHUN PAD
BANTUAN PEMERINTAH PUSAT/PROPINSI
RASIO KEMANDIRIAN
1 2 3 (1 : 2)
1994-1995 7.591.239.697,72 32.386.111.868,49 23,44%
1995-1996 10.142.154.364,91 38.799.818.686,29 26,14%
1996-1997 12.839.516.111,11 45.857.984.632,91 28,00%
1997-1998 14.440.393.083,00 54.369.146.459,00 26,56%
1998-1999 12.858.923.094,00 57.071.574.017,00 22,53%
2001 23.868.186.207,88 181.143.061.799,32 13,18%
2002 31.881.882.171,30 250.619.641.803,34 12,72%
2003 36.178.245.567,47 315.396.764.870,00 11,47%
2004 40.753.584.663,06 329.859.912.027,08 12,35%
2005 44.237.170.132,20 365.985.795.379,00 12,09%
2006 43.092.186.660,66 496.311.132.302,26 8,68%
2007 54.386.763.405,96 612.171.078.187,86 8,88%
2008 65.125.848.714,96 677.743.478.738,00 9,61%
2009 85.626.773.522,08 706.615.298.384,00 12,12%
2010 87.711.803.840,41 872.324.012.611,00 10,05%
2011 162.772.590.331,88 1.025.098.913.824,32 15,88%
2012 298.696.062.085,49 1.160.775.794.232,69 25,73%
2013 359.625.018.287,61 1.321.132.186.728,00 27,22%
Sumber: Diolah dari Laporan Realisasi Anggaran Pendapatan Daerah Dinas Pendapatan Daerah Kota Bandar Lampung Tahun 1994/1995-2013
Uraian dan perhitungan pada tabel 1.5 dapat disimpulkan bahwa rasio
(30)
Bandar Lampung memiliki rata-rata tingkat kemandirian masih rendah yaitu
sebesar 13,84% dan dalam kategori kemampuan keuangan rendah sekali dengan
pola hubungan instruktif yaitu peranan pemerintah pusat sangat dominan dari
pada daerah, hal ini dapat dilihat dari rasio kemandirian yang dihasilkan masih
antara 0-25 %. Rasio kemandirian yang masih rendah mengakibatkan kemampuan
keuangan daerah Kota Bandar Lampung dalam membiayai pelaksanaan
pemerintahan dan pembangunan masih sangat tergantung pada penerimaan dari
pemerintah pusat.
Rasio kemandirian yang masih rendah dapat disebabkan pada sumber penerimaan
daerah dan dasar pengenaan biaya, tampaknya Pendapatan Asli Daerah masih
belum dapat diandalkan bagi daerah untuk otonomi daerah, karena relatif
rendahnya basis pajak / retribusi yang ada di daerah dan kurangnya pendapatan
asli daerah yang dapat digali oleh pemerintah daerah. Untuk mengatasi hal
tersebut, pemerintah daerah harus mampu mengoptimalkan penerimaan dari
potensi pendapatannya yang telah ada. Inisiatif dan kemauan pemerintah daerah
sangat diperlukan dalam upaya meningkatkan PAD. Berdasarkan uraian tersebut
membuat penulis tertarik untuk melakukan penelitian ini dengan judul “Pengaruh
Pajak Daerah, Retribusi Daerah, dan Dana Bagi Hasil terhadap
Kemandirian Keuangan Daerah Kota Bandar Lampung”.
1.2. Perumusan Masalah
Pokok permasalahan yang dapat diambil dari uraian latar belakang masalah di atas
(31)
Apakah Pajak Daerah, Retribusi Daerah, dan Dana Bagi Hasil berpengaruh
terhadap Kemandirian Keuangan Daerah Kota Bandar Lampung?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
(1) Mengetahui pengaruh Pajak Daerah, Retribusi Daerah, dan Dana Bagi Hasil
terhadap Kemandirian Keuangan Daerah Kota Bandar Lampung.
(2) Mengetahui variabel yang paling berpengaruh terhadap Kemandirian
Keuangan Daerah Kota Bandar Lampung.
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut :
1. Sebagai sumbangan pemikiran dan bahan pertimbangan bagi Pemerintah
Kota Bandar Lampung dalam mengambil kebijakan di masa yang akan
datang terutama mengenai Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Dana Bagi
Hasal sebagai penopang Kemandirian Keuangan Daerah;
2. Sebagai upaya pemahaman yang lebih mendalam mengenai keuangan daerah
bagi kalangan akademik pada umumnya dan bagi penulis pada khususnya.
3. Dapat dijadikan tambahan pengetahuan dan sebagai bahan acuan untuk
(32)
1.5. Kerangka Pemikiran
Kemandirian daearah otonom pada prinsipnya sangat tergantung dari dua hal,
yakni kemampuan keuangan daerah dalam menggali sumber‐sumber keuangan yang ada serta ketergantungan daerah terhadap bantuan dari pemerintah pusat.
Kemandirian keuangan daerah menunjukkan kemampuan pemerintah daerah
dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan
kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber
pendapatan yang diperlukan daerah (Halim, 2002).
PAD harus menjadi bagian sumber keuangan terbesar bagi daerah merupakan
isyarat yang menunjukkan bahwa PAD merupakan tolok ukur terpenting bagi
kemampuan dan kemandirian daerah dalam menyelenggarakan dan mewujudkan
otonomi yang luas, nyata dan bertanggungjawab. Dalam hubungan ini Santoso
(1995) mengemukakan bahwa PAD merupakan sumber penerimaan yang murni
dari daerah, yang merupakan modal utama bagi daerah sebagai biaya
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Meskipun PAD tidak
seluruhnya dapat membiayai total pengeluaran daerah, namun proporsi PAD
terhadap total penerimaan daerah merupakan indikasi derajat kemandirian
keuangan suatu pemerintah daerah.
Peranan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam penerimaan PAD sangat besar,
kontribusi pajak daerah dan retribusi daerah sangat diharapkan untuk menambah
penerimaan Pendapatan Asli Daerah, sehingga Pemerintah harus lebih
(33)
daerah dan retribusi daerah serta menggali potensi-potensi pajak daerah di Kota
Bandar Lampung.
Pajak daerah dan retribusi daerah sebagai sumber penerimaan daerah masih sangat
terbatas, maka Pemerintah melakukan transfer ke daerah untuk memenuhi belanja
daerah yang semakin meningkat. Transfer ke daerah direalisasikan dalam bentuk
transfer Dana Perimbangan yang terdiri dari Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi
Umum, Dana Alokasi Khusus dan Lain-lain Pendapatan yang Sah. Kerangka
Pemikiran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Gambar 1.1 Kerangka Pemikiran
1.6. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah :
Pajak Daerah, Retribusi Daerah, dan Dana Bagi Hasil berpengaruh
(34)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal
Proses menuju era globalisasi secara bertahap membawa perubahan terhadap
sistem pemerintahan dari sentralistik menuju desentralistik. Hal ini diikuti dengan
pelaksanaan otonomi daerah tahun 2001. Proses globalisasi tersebut menyebabkan
pola pembangunan menjadi core competence, yaitu pembangunan dengan
didasarkan pada potensi yang dimiliki suatu daerah.
Sejak Januari 2001 bangsa dan negara Indonesia mulai menyelenggarakan
otonomi daerah yang dilaksanakan di kabupaten/kota. Otonomi daerah di
Indonesia didasarkan pada Undang-Undang No 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah dan telah diperbaharui dengan Undang-Undang No. 32
Tahun 2004 serta Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerahyang telah diperbaharui
dengan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004. Pemerintah daerah diberi kekuasaan
yang lebih besar untuk mengatur anggaran daerahnya.
Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk
(35)
setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah).
Tujuan utama penyelenggaraan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan
pelayanan publik (public service) dan memajukan perekonomian daerah. Pada
dasarnya terkandung tiga misi utama pelaksanaan otonomi daerah dan
desentralisasi fiskal, yaitu:
(1) meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan kesejahteraan
masyarakat,
(2) menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah, dan
(3) memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat (publik) untuk
berpartisipasi dalam proses pembangunan (Mardiasmo, 2002).
Pertimbangan yang mendasari terselenggaranya otonomi daerah adalah rakyat
menghendaki keterbukaan dan kemandirian. Selain itu, semakin maraknya
globalisasi yang menuntut daya saing tiap negara termasuk daerahnya. Daya saing
pemerintah daerah ini diharapkan akan tercapai melalui peningkatan kemandirian
pemerintah daerah.
Implikasi dari pemberian kewenangan otonomi menuntut daerah untuk
melaksanakan pembangunan di segala bidang, terutama untuk pembangunan
sarana dan prasarana publik ( public services ). Pembangunan tersebut diharapkan
dapat dilaksanakan secara mandiri oleh daerah baik dari sisi perencanaan,
pembangunan, serta pembiayaannya. Manfaat dari pembangunan tersebut
diantaranya (Joko Tri, 2006) :
(36)
b. Mendorong perkembangan perekonomian daerah
c. Mendorong peningkatan pembangunan daerah di segala bidang
d. Meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat
e. Meningkatkan pendapatan asli daerah
f. Mendorong kegiatan investasi
Misi utama Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pamarintah Daerah bukan hanya
keinginan untuk melimpahkan kewenangan pembangunan dari pemerintah pusat
dan pemerintah daerah, tetapi juga efisiensi dan efektifitas sumber daya
keuangan. Suatu daerah otonom yang mampu menyelenggarakan otonomi
daerahnya melalui strategi Sumber Daya Manusia (SDM) dan kemampuan di
bidang keuangan daerah.
Desentralisasi fiskal bertujuan untuk memperbaiki relevansi kualitas penyediaan
pelayanan publik terhadap kebutuhan dan kondisi masyarakat lokal dengan tetap
mengacu pada pencapaian tujuan pembangunan ekonomi dan sosial baik regional
maupun nasional. Bentuk desentralisasi fiskal di setiap negara mempunyai derajat
yang berbeda dalam memberikan otonomi kepada pemerintah daerah. Secara
garis besar ada tiga bentuk penerapan desentralisasi fiskal (Budi, 2006), yaitu :
a. Desentralisasi penuh (full decentralization), dimana pendelegasian
tanggungjawab, wewenang, dan fungsi kepada pemerintah daerah dilakukan
(37)
dan kebijakan yang digariskan oleh pemerintah pusat namun tetap
memperoleh kebebasan dalam menentukan cara menjalankan tugas.
b. Dekonsentrasi (Deconcentration), dimana pemerintah pusat melaksanakan
fungsinya di daerah-daerah dengan menggunakan sumber daya dan fasilitas
yang disediakan oleh pemerintah pusat.
c. Ko-administrasi (Co-administration), dimana memberikan kewenangan
kepada pemerintah daerah untuk menjalankan peranan dan fungsi pemerintah
pusat dengan menggunakan fasilitas yang disediakan oleh pemerintah pusat.
Realitas hubungan fiskal antara pusat-daerah ditandai dengan tingginya kontrol
pusat terhadap proses pembangunan daerah. Terlihat dari rendahnya proporsi
PAD terhadap total pendapatan daerah dibanding besarnya subsidi (grants) yang
diberikan dari pusat. Indikator desentralisasi fiskal adalah rasio antara PAD
dengan total pendapatan daerah. PAD terdiri atas pajak-pajak daerah, retribusi
daerah, penerimaan dari dinas, laba bersih proporsi PAD terhadap total
pendapatan daerah kurang dari 50%. Artinya lebih banyak subsidi dari pusat
dibanding PAD dalam pembiayaan pembangunan daerah.
Pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi diharapkan perekonomian daerah
akan semakin kuat dan mandiri sehingga dapat memperkokoh perekonomian
nasional. Hal ini, memberikan implikasi terhadap kinerja perekonomian daerah.
Kinerja perekonomian daerah dipengaruhi oleh arah dan kebijakan fiskal dan
moneter. Oleh karena itu, perlu dilakukan harmonisasi kebijakan fiskal antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang dilakukan melalui penetapan
(38)
dan defisit anggaran harus tetap memperhatikan kepentingan dan kondisi daerah.
Serta mendorong pertumbuhan sektor perbankan di daerah untuk mendorong
ekonomi daerah.
Gambar 2.1
Kerangka Hubungan antara Pusat dan Daerah
Sumber: Mudrajad, 2004
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 yang mengatur tentang Pokok-pokok
Pemerintahan Daerah menjelaskan tentang kerangka struktur sentralisasi
kekuasaan dan otoritas administrasi. UU ini meletakkan dasar-dasar sistem
hubungan pusat-daerah. Desentralisasi merupakan penyerahan urusan
pemerintahan dari pemerintah atau daerah tingkat atasnya. Dekosentrasi
merupakan pelimpahan wewenang dari pemerintah atau kepala wilayah atau
kepala instansi vertikal tingkat atasnya kepada pejabat-pejabat daerah. Tugas
perbantuan (medebewind) merupakan pengkoordinasian prinsip desentralisasi dan
dekosentrasi oleh kepala daerah, yang memiliki fungsi ganda sebagai penguasa
(39)
Kebijakan perpajakan dan retribusi daerah diarahkan untuk lebih memberikan
kepastian hukum, penguatan local taxing power, peningkatan efektivitas
pengawasan dan perbaikan pengelolaan pendapatan pajak daerah dan retribusi
daerah, hal tersebut dilakukan untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah dan
membangun hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan
daerah yang lebih ideal. Kebijakan tersebut tertuang dalam Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) yang
berlaku secara efektif sejak tanggal 1 Januari 2010, sebagai suatu langkah
strategis dan fundamental dalam membangun hubungan keuangan antara pusat
dan daerah yang lebih ideal. Undang-Undang PDRD ini diharapkan dapat
menyempurnakan sistem pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah,
memberikan kewenangan yang lebih luas kepada daerah di bidang perpajakan,
meningkatkan efektivitas pengawasan serta memperbaiki pengelolaan pendapatan
dari beberapa jenis pajak daerah dan retribusi daerah, sehingga dapat mendukung
upaya peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) serta penciptaan iklim
investasi yang kondusif.
2.2. Keuangan Daerah
Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan dan
Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, yang dimaksud dengan pengelolaan
keuangan daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan,
pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban dan pengawasan
keuangan daerah (Halim, 2007). Keuangan daerah adalah semua hak dan
(40)
dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang
berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut, dalam rangka Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Kemampuan Pemerintah Daerah dalam
mengelola keuangan terdapat dalam APBD yang langsung maupun tidak langsung
mencerminkan kemampuan Pemerintah Daerah dalam membiayai pelaksanaan
tugas-tugas pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan sosial masyarakat.
Penyelenggaraan fungsi Pemerintah Daerah akan terlaksana secara optimal
apabila penyelenggaraan urusan Pemerintah diikuti dengan pemberian
sumber-sumber penerimaan yang cukup kepada daerah, dengan mengacu kepada UU
No. 33 Tahun 2004 yang besarnya disesuaikan dan diselaraskan dengan
pembagian kewenangan antara Pusat dan Daerah.
Keuangan daerah di Indonesia meliputi keuangan Provinsi,
Kabupaten/Kotamadya, serta Kecamatan dan Kelurahan. Secara garis besar
keuangan daerah di Indonesia memiliki karakteristik sebagai berikut (Halim,
2001) :
1. Sangat minimnya porsi pendapatan daerah yang dapat dimanfaatkan untuk
kegiatan umum di daerah.
2. Kontribusi pajak daerah dan PAD terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD)
sangat kecil, karena semua pajak di daerah dipungut oleh Pemerintah Pusat.
3. Sebagian besar pendapatan daerah berasal dari sumbangan dan subsidi
Pemerintah Pusat.
(41)
Pemerintah Daerah memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan berbagai usaha
guna melayani kepentingan masyarakat dan menjalankan program-program
pembangunan yang sudah direncanakan dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu,
Pemerintah Daerah dituntut untuk dapat memperoleh dana yang cukup, untuk
membiayai pengeluaran-pengeluaran Pemerintah Daerah. Menurut UU No. 32
Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004 sumber pendapatan daerah terdiri dari :
1. Pendapatan Asli Daerah (PAD).
2. Dana Perimbangan.
3. Lain-lain pendapatan daerah yang sah.
2.3. Sumber Pendapatan Daerah
Sumber pendapatan daerah menurut UU No. 32 Tahun 2004 adalah semua hak
daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun
anggaran yang bersangkutan. Pendapatan daerah terdiri dari :
2.3.1. Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Pendapatan Asli Daerah (PAD) menurut UU No. 33 Tahun 2004 adalah
pendapatan yang diperoleh daerah dan dipungut berdasarkan peraturan daerah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. PAD merupakan
salah satu sumber pendapatan daerah yang diperoleh dari sumber-sumber
penerimaan di daerah. Pelaksanaan pembangunan di daerah membutuhkan dana
yang cukup banyak dan dalam hal ini daerah tidak bisa hanya menggantungkan
dana perimbangan dari pusat, sehingga daerah harus dapat menggali potensi
(42)
pengeluaran pembangunan daerah dalam era otonomi daerah demi meningkatkan
pendapatannya. Dengan adanya PAD, maka dapat dijadikan indikator penting
untuk menilai tingkat kemandirian Pemerintah Daerah di bidang keuangan.
Adapun sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) terdiri dari:
2.3.1.1. Pajak Daerah
Secara umum pajak adalah pungutan dari masyarakat oleh Negara (pemerintah)
berdasarkan Undang-Undang yang bersifat dapat dipaksakan dan terutang oleh
yang wajib membayarnya dengan tidak mendapat prestasi kembali (kontra
prestasi/balas jasa) secara langsung, yang hasilnya digunakan untuk membiayai
pengeluaran Negara dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Hal
ini menunjukkan bahwa pajak adalah pembayaran wajib yang dikenakan
berdasarkan Undang-Undang yang tidak dapat dihindari bagi yang berkewajiban
dan bagi mereka yang tidak mau membayar pajak dapat dilakukan paksaan.
Dengan demikian, akan terjamin bahwa kas Negara selalu berisi uang pajak.
Selain itu, pengenaan pajak berdasarkan Undang-Undang akan menjamin adanya
keadilan dan kepastian hukum bagi pembayar pajak sehingga pemerintah tidak
dapat sewenang-wenang menetapkan besarnya pajak.
Pajak daerah merupakan salah satu elemen PAD yang memberikan kontribusi
yang besar terhadap penerimaan PAD. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah, dapat dijelaskan
sebagai berikut “Pajak Daerah yang selanjutnya disebut pajak adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada Daerah tanpa imbalan
(43)
perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan
pemerintahan Daerah dan pembangunan Daerah”. Pajak Daerah harus ditetapkan
dengan Peraturan Daerah setelah mendapatkan persetujuan DPRD dan tidak boleh
bertentangan dengan pajak Pemerintah Pusat serta tidak boleh bertentangan
dengan kebijakan Pemerintah Pusat.
Pajak daerah memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
(1) Pajak daerah yang berasal dari pajak negara yang diserahkan kepada daerah,
(2) Penyerahannya berdasarkan Undang-Undang,
(3) Pajak daerah dipungut oleh daerah berdasarkan dengan kekuatan Undang-
Undang dan peraturan hukum, dan
(4) Hasil pungutan pajak daerah dipergunakan untuk
membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah.
Jenis-Jenis Pajak Daerah
Jenis pajak menurut pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 adalah
sebagai berikut :
1) Jenis Pajak provinsi (ayat 1) terdiri atas:
(1) Pajak Kendaraan Bermotor;
(2) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;
(3) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
(4) Pajak Air Permukaan; dan
(5) Pajak Rokok.
2) Jenis Pajak kabupaten/kota (ayat 2) terdiri atas:
(44)
(2) Pajak Restoran;
(3) Pajak Hiburan;
(4) Pajak Reklame;
(5) Pajak Penerangan Jalan;
(6) Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
(7) Pajak Parkir;
(8) Pajak Air Tanah;
(9) Pajak Sarang Burung Walet;
(10) Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan
(11) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
1. Pajak Hotel
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 1 angka 20 dan 21,
Pajak Hotel adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh hotel. Sedangkan
yang dimaksud dengan hotel adalah fasilitas penyedia jasa
penginapan/peristirahatan termasuk jasa terkait lainnya dengan dipungut bayaran,
yang mencakup juga motel, losmen, gubuk pariwisata, wisma pariwisata,
pesanggrahan, rumah penginapan dan sejenisnya, serta rumah kos dengan jumlah
kamar lebih dari sepuluh.
2. Pajak Restoran
Pajak Restoran adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh restoran.
Sedangkan yang dimaksud dengan restoran adalah fasilitas penyedia makanan dan
atau minuman dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga rumah makan,
(45)
3. Pajak Hiburan
Pajak Hiburan adalah pajak atas penyelenggaraan hiburan. Sedangkan yang
dimaksud dengan hiburan adalah semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan,
dan atau keramaian yang dinikmati dengan dipungut bayaran.
4. Pajak Reklame
Pajak Reklame adalah pajak atas penyelenggaraan reklame. Sedangkan yang
dimaksud dengan reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk
dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan,
menganjurkan, mempromosikan, atau untuk menarik perhatian umum terhadap
barang, jasa, orang, atau badan, yang dapat dilihat, dibaca, didengar, dirasakan,
dan atau dinikmati oleh umum.
5. Pajak Penerangan Jalan
Pajak Penerangan Jalan (PPJ) adalah pajak atas penggunaan tenaga listrik, baik
yang dihasilkan sendiri maupun diperoleh dari sumber lain. Penerangan jalan
adalah penggunaan tenaga listrik untuk menerangi jalan umum yang rekeningnya
dibayar oleh pemerintah daerah.
6. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah pajak atas kegiatan pengambilan
mineral bukan logam dan batuan, baik dari sumber alam di dalam dan atau
permukaan bumi untuk dimanfaatkan. Sedangkan yang dimaksud dengan mineral
bukan logam dan batuan adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana
dimaksud di dalam peraturan perundang-undangan di bidang mineral dan batu
(46)
Pengambilan Bahan Galian Golongan C yang semua diatur dalam
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 dan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000.
7. Pajak Parkir
Pajak Parkir adalah pajak atas penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan,
baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan
sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor.
Sedangkan yang dimaksud dengan parkir adalah keadaan tidak bergerak suatu
kendaraan yang tidak bersifat sementara.
8. Pajak Air Tanah
Pajak Air Tanah adalah pajak atas pengambilan dan atau pemanfaatan air tanah.
Yang dimaksud dengan air tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah
atau batuan di bawah permukaan tanah. Pajak Air Tanah semula bernama Pajak
Pengambilan dan Pemanfaatan Air Tanah dan Air Permukaan (PPPABTAP)
berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 dan merupakan jenis pajak
provinsi, PPPABTAP dipecah menjadi dua jenis pajak, yaitu Pajak Air
Permukaan dan Pajak Air Tanah; dimana Pajak Air Permukaan dimasukkan
sebagai pajak provinsi sedangkan Pajak Air Tanah ditetapkan menjadi pajak
kabupaten/kota.
9. Pajak Sarang Burung Walet
Pajak Sarang Burung Walet adalah pajak atas kegiatan pengambilan dan atau
pengusahaan sarang burung walet. Yang dimaksud dengan burung walet adalah
satwa yang termasuk marga collocalia, yaitu collocalia fuchliap haga, collocalia
(47)
merupakan jenis pajak kabupaten/kota yang baru diterapkan berdasarkan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009.
10. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Perdesaan dan Perkotaan adalah pajak atas
bumi dan atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan atau dimanfaatkan oleh
orang pribadi atau badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha
perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. Yang dimaksud dengan bumi adalah
permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah
kabupaten/kota. Sedangkan yan dimaksud dengan bangunan adalah konstruksi
teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan atau perairan
pedalaman dan atau laut. PBB Perdesaan dan Perkotaan merupakan jenis pajak
kabupaten/kota yang baru diterapkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2009.
11. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pajak atas
perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Yang dimaksud dengan perolehan
hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum uang
mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang
pribadai atau badan. Adapun yang dimaksud dengan hak atas tanah dan atau
bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan di
atasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang pertanahan dan
bangunan. BPHTB merupakan jenis pajak kabupaten/kota yang baru diterapkan
(48)
2.3.1.2. Retribusi Daerah
Retribusi daerah merupakan pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau
pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/ atau diberikan oleh
Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan.
Beberapa ciri yang melekat pada retribusi daerah yang saat ini dipungut di
Indonesia adalah sebagai berikut:
a. Retribusi merupakan pungutan yang dipungut berdasarkan undang-undang
dan peraturan daerah yang berkenaan.
b. Hasil penerimaan retribusi masuk ke kas pemerintah daerah.
c. Pihak yang membayar retribusi mendapatkan kontra prestasi (balas jasa)
secara langsung dari pemerintah daerah atas pembayaran yang dilakukannya.
d. Retribusi terutang apabila ada jasa yang diselenggarakan oleh pemerintah
daerah yang dinikmati oleh orang atau badan.
e. Sanksi yang dikenakan pada retribusi adalah sanksi secara ekonomis, yaitu
jika tidak membayar retribusi, tidak akan memperoleh jasa yang
diselenggarakan oleh pemerintah daerah.
Jenis Retribusi Daerah
Sesuai Undang Nomor 34 Tahun 2000 Pasal 18 ayat 2 dan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 108 ayat 2-4, retribusi daerah dibagi atas
tiga golongan, sebagaimana disebut di bawah ini:
1. Retribusi Jasa Umum
2. Retribusi Jasa Usaha
(49)
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 149 ayat 2-4,
penetapan jenis retribusi jasa umum dan retribusi perizinan tertentu untuk daerah
provinsi dan daerah kabupaten/kota disesuaikan dengan kewenangan daerah
masing-masing sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Hal
yang sama juga berlaku untuk penetapan jenis retribusi jasa usaha untuk daerah
provinsi dan kabupaten/kota, dilakukan sesuai dengan jasa/pelayanan yang
diberikan oleh daerah masing-masing. Rincian jenis objek dari setiap retribusi jasa
umum, retribusi jasa usaha, dan retribusi perizinan tertentu diatur dalam peraturan
daerah yang bersangkutan.
1. Retribusi Jasa Umum
Retribusi jasa umum adalah retribusi atas jasa yang disediakan atau diberikan oleh
pemerintah daerah, untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat
dinikmati oleh orang pribadi atau badan. Objek retribusi jasa umum adalah
pelayanan yang disediakan atau diberikan pemerintah daerah untuk tujuan
kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau
badan.
Jenis-jenis retribusi jasa umum saat ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2009 Pasal 110-124, sebagaimana di bawah ini:
a. Retribusi Pelayanan Kesehatan
b. Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan
c. Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akta Catatan
Sipil
(50)
e. Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum
f. Retribusi Pelayanan Pasar
g. Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor
h. Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran
i. Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta
j. Retribusi Penyediaan dan atau Penyedotan Kakus
k. Retribusi Pengolahan Limbah Cair
l. Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang
m. Retribusi Pelayanan Pendidikan
n. Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi
2. Retribusi Jasa Usaha
Retribusi jasa usaha adalah retribusi atas jasa yang disediakan oleh pemerintah
daerah dengan menganut prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula
disediakan oleh sector swasta. Objek retribusi jasa usaha adalah pelayanan yang
disediakan oleh pemerintah daerah dengan menganut prinsip komersial.
Pelayanan yang disediakan oleh pemerintah daerah dengan menganut prinsip
komersial meliputi:
a. Pelayanan dengan menggunakan/memanfaatkan kekayaan daerah yang
belum dimanfaatkan secara optimal; dan
b. Pelayanan oleh pemerintah daerah sepanjang belum memadai disediakan oleh
pihak swasta.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 Pasal 18 ayat 3 huruf b,
(51)
a. Retribusi jasa usaha bersifat bukan pajak dan bersifat bukan retribusi jasa
umum atau retribusi perizinan tertentu.
b. Jasa yang bersangkutan adalah jasa yang bersifat komersial yang seyogianya
disediakan oleh sektor swasta, tetapi belum memadai atau terdapatnya harta
yang dimiliki/dikuaisai daerah yang belum dimanfaatkan secara penuh oleh
pemerintah daerah. Pengertian harta adalah semua harta bergerak dan tidak
bergerak, tidak termasuk uang kas, surat-surat berharga, dan harta lainnya
yang bersifat lancar.
Jenis-jenis retribusi jasa usaha saat ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2009 Pasal 127-138, sebagaimana di bawah ini.
a. Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah
b. Retribusi Pasar Grosir dan atau Pertokoan
c. Retribusi Tempat Pelelangan
d. Retribusi Terminal
e. Retribusi Tempat Khusus Parkir
f. Retribusi Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Villa
g. Retribusi Rumah Potong Hewan
h. Retribusi Pelayanan Kepelabuhanan
i. Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga
j. Retribusi Penyeberangan di Air
k. Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah
3. Retribusi Perizinan Tertentu
Retribusi Perizinan Tertentu adalah retribusi atas kegiatan tertentu pemerintah
(52)
dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas
kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana,
sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga
kelestarian lingkungan. Objek retribusi perizinan tertentu adalah kegiatan tertentu
pemerintah daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau badan
yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan
atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang,
prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan
menjaga kelestarian lingkungan.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 Pasal 18 ayat 3 huruf c,
retribusi perizinan tertentu ditentukan berdasarkan kriteria berikut ini.
a. Perizinan tersebut termasuk kewenangan pemerintah yang diserahkan kepada
daerah dalam rangka asas desentralisasi.
b. Perizinan tersebut benar-benar diperlukan guna melindungi kepentingan
umum.
c. Biaya yang menjadi beban daerah dalam penyelenggaraan izin tersebut dan
biaya untuk menanggulangi dampak negatif dari pemberian izin tersebut
cukup besar sehingga layak dibiayai dari retribusi perizinan.
Jenis-jenis retribusi perizinan tertentu saat ini diatur dalam Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 141-146, adalah sebagai berikut :
a. Retribusi Izin Mendirikan Bangunan
b. Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol
(53)
d. Retribusi Izin Trayek
e. Retribusi Izin Usaha Perikanan.
2.3.1.3. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan
Kekayaan daerah yang dipisahkan adalah suatu badan usaha yang dibentuk oleh
daerah untuk mengembangkan perekonomian daerah dan untuk menambah
penghasilan daerah. Sumber penerimaan ini berasal dari hasil perusahaan milik
daerah dan hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan. Jenis
pendapatan ini dirinci menurut objek pendapatan yang mencakup :
1. Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah/BUMD
2. Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik negara/BUMN
3. Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau
kelompok usaha masyarakat
2.3.1.4. Lain-lain PAD yang Sah
Pendapatan ini merupakan penerimaan daerah yang berasal dari luar pajak dan
retribusi daerah atau lain-lain milik Pemerintah Daerah yang sah dan disediakan
untuk menganggarkan penerimaan daerah. Jenis pendapatan ini meliputi objek
pendapatan berikut:
1. Hasil penjualan aset daerah yang tidak dipisahkan
2. Jasa giro
3. Pendapatan bunga
4. Penerimaan atas tuntutan ganti kerugian daerah
5. Penerimaan komisi, potongan ataupun bentuk lain sebagai akibat dari
(54)
6. Penerimaan keuangan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing
7. Pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan
8. Pendapatan denda pajak
9. Pendapatan denda retribusi
10. Pendapatan hasil eksekusi atas jaminan
11. Pendapatan dari pengembalian
12. Fasilitas sosial dan umum
13. Pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan
14. Pendapatan dari angsuran/cicilan penjualan
2.3.2. Dana Perimbangan
Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan kepada Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka
pelaksanaan Desentralisasi (UU No. 33/2004). Otonomi daerah hingga saat ini
masih memberikan berbagai permasalahan. Kondisi geografis dan kekayaan alam
yang beragam, defferesial potensi daerah, yang menciptakan perbedaan
kemampuan finansial untuk memenuhi kebutuhannya, atau yang biasa disebut
fiscal gap (celah fiskal). Perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah adalah suatu sistem pembagian keuangan yang adil,
proporsional, demokratis, transparan, dan efisien. Dalam rangka pendanaan
penyelenggaraan Desentralisasi, dengan mempertimbangkan potensi, kondisi, dan
kebutuhan daerah, serta besaran pendanaan penyelenggaraan (UU No. 33/2004).
Widjaja (2002) menjelaskan bahwa, “Dana perimbangan merupakan sumber pendapatan daerah yang berasal dari APBN untuk mendukung pelaksanaan
(55)
kewenangan pemerintah daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi
kepada daerah, yaitu terutama peningkatan pelayanan dan kesejahteraan
masyarakat yang sangat baik.” Implementasi kebijakan perimbangan keuangan
pusat dan daerah melalui dana perimbangan ditujukan untuk mengurangi
ketidakmampuan daerah dalam membiayai kebutuhan pengeluarannya dari pajak
dan retribusi dan dengan melihat kenyataan bahwa kebutuhan daerah sangat
bervariasi.
Undang-Undang Nomor 25/1999 dalam Mardiasmo (2004), menjelaskan bahwa
dana perimbangan dari pemerintah pusat terdiri dari bagian daerah dan
penerimaan pajak bumi dan bangunan, bea perolehan hak atas tanah dan
bangunan, dan penerimaan dari sumber daya alam, DAU dan DAK. Dari ketiga
alokasi dana tersebut DAU merupakan alokasi terbesar. Klasifikasi dana
perimbangan berdasarkan Permendagri 13/2006, terdiri atas : Dana bagi hasil,
dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus. Jenis dana bagi hasil dirinci
menurut objek pendapatan yang mencakup bagi hasil pajak dan bagi hasil bukan
pajak. Jenis dana alokasi umum hanya terdiri atas pendapatan dana alokasi umum.
Jenis dana alokasi khusus dirinci menurut objek pendapatan menurut kegiatan
yang ditetapkan oleh pemerintah.
2.3.2.1 Dana Bagi Hasil
Undang-Undang No 33 Tahun 2004, tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, yang dimaksud dengan dana bagi hasil
(56)
Daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam
rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana Bagi Hasil bersumber dari :
A. Dana Bagi Hasil Pajak
Dana bagi Hasil Pajak bersumber dari: 1) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB),
(2) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan (3) Pajak
Penghasilan Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri
(PPh WPOPDN) dan Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh 21).
Adanya revisi UU No. 34 tahun 2000 dengan UU No. 28 tahun 2009
mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, memberikan kewenangan
kepada pemerintah kabupaten/kota untuk memungut Pajak Bumi dan
Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB-P2) dan Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan (BPHTB). Sehingga PBB-P2 dan BPHTB menjadi
pajak daerah dan bukan sebagai komponen pembentuk dana bagi hasil pajak.
Alokasi Dana Bagi Hasil Pajak dilaksanakan seiring dengan pelaksanaan
otonomi daerah sejak adanya Undang-undang No. 25 tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah sebagaimana telah diubah dengan
Undang - undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah.
B. Dana Bagi Hasil Sumber daya Alam
Dana bagi Hasil Sumber daya alam adalah bagian daerah yang berasal dari
penerimaan sumber daya alam, penerimaan Dana Bagi Hasil Sumber Daya
(57)
(3) Perikanan, (4) Pertambangan Minyak Bumi, (5) Pertambangan Gas Bumi,
dan (6) Pertambangan Panas
.
Sumber daya alam tiap-tiap daerah tidak sama, ada daerah dengan sumber daya
alam tidak besar dan ada daerah dengan sumber daya alam yang cukup besar,
untuk itu pemerintah mengesahkan UU No 33 Tahun 2004 bertujuan untuk
memperkecil gap dan menjaga terciptanya Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang utuh dan tidak terpecah belah. Pada umumnya setiap daerah memiliki sektor
unggulan sendiri-sendiri dalam hal keuangan dan hal ini sangat bergantung pada
pemerintah daerah itu sendiri dalam menggali dan mengembangkan
potensi-potensi yang ada. Demikian halnya dalam sistem Dana Bagi Hasil yang
bersumber dari pajak dan Sumber Daya Alam. Mekanisme bagi hasil Sumber
Daya Alam dan pajak bertujuan untuk mengurangi ketimpangan vertikal (vertical
imbalance) pusat-daerah. Namun, pola bagi hasil tersebut dapat berpotensi mempertajam ketimpangan horisontal (horizontal imbalance) yang dialami antara
daerah penghasil dan non penghasil.
LPEM-FEUI (2002) menyatakan bahwa untuk melihat kesiapan pemerintah
daerah dalam menghadapi otonomi daerah khususnya di bidang keuangan, diukur
dari seberapa jauh kemampuan pembiayaan urusan bila didanai sepenuhnya oleh
Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Bagi Hasil (DBH). Apabila penerimaan
pajak serta sumber daya alam yang diperoleh semakin tinggi maka transfer Dana
Bagi Hasil yang diterima pun cenderung akan semakin besar. Untuk mengetahui
kesiapan pemerintah daerah dalam hal keuangan, atau mengetahui kinerja
(1)
terhadap kemandirian keuangan daerah Kota Bandar Lampung adalah variabel dana bagi hasil sebesar 0.109.
5.2 Saran
Saran yang dapat diberikan oleh peneliti adalah sebagai berikut :
1. Pajak daerah merupakan komponen yang berpengaruh terhadap peningkatan pendapatan asli daerah, oleh karena itu pajak daerah harus terus ditingkatkan. Prosentase kenaikan tarif pajak daerah bukan merupakan solusi yang tepat untuk meningkatkan jumlah pendapatan karena kenaikan tarif pajak daerah akan memberatkan wajib pajak dan mematikan sektor ekonomi. Beberapa hal penting yang perlu dilakukan untuk mewujudkan peningkatan pendapatan daerah antara lain dengan memperbaharui data obyek pajak, peningkatan pelayanan dan perbaikan administrasi perpajakan, peningkatan pengawasan terhadap wajib pajak, peningkatan pengawasan internal terhadap petugas pajak, dan mencari sumber-sumber pendapatan lainnya yang sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
2. Pajak dan retribusi daerah perlu dimonitor secara teratur dan metode menghitung potensi pajak dan retribusi daerah yang efektif sehingga pendapatan dari sektor pajak dan sektor retribusi daerah cukup besar. Dan yang terpenting adalah meningkatkan kepatuhan (kesadaran) masyarakat untuk membayar pajak dan retribusi.
3. Meskipun dana bagi hasil bukan yang utama pengaruhnya terhadap kemandirian keuangan daerah tetapi dana bagi hasil merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang cukup potensial dan merupakan salah satu
(2)
87
modal dasar pemerintah daerah dalam mendapatkan dana pembangunan yang bukan berasal dari PAD dan DAU. Sehingga Setiap daerah dituntut untuk secara intensif menggali potensi yang ada karena penerimaannya didasarkan oleh potensi daerah penghasil. Melalui pengaturan dana bagi hasil, daerah diharapkan mampu mengelola keuangannya dan mengalokasikannya untuk belanja-belanja pembangunan daerah secara tepat sesuai dengan kebutuhan pembangunan.
(3)
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharismi, 2001. Prosedur Penelitian. Jakarta:Rineka Cipta.
Badan Pusat Statistik. 2012. Profil dan potensi Kota Bandar Lampung, Bandar Lampung Dalam Angka 2012.
Bambang K, 2009. Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, dan Belanja Rutin terhadap Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah (Studi Empiris Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Tengah. Skripsi. Universitas Jember.
Brotodihardjo, R.Santoso, 1995. Pengantar Ilmu Hukum Pajak. Bandung, PT. Eresco.
Budi, Subhan, Kuwat. 2006. Keuangan daerah : Prespektif Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan APBD di Indonesia, Tim LPKPAP BPPK Departemen Keuangan Republik Indonesia.
Dian N, 2008. Pengaruh Rasio Efektivitas PAD dan DAU Terhadap Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah Pada Pemkab/Pemko di Sumatera Utara. Jurnal Ekonomi: Respository USU.
Fitriyanti, Ismi Rizky dan Pratolo, Suryo. 2009. Pengaruh Pendapatan Asli Daerah dan Belanja Pembangunan terhadap Rasio Kemandirian dan Pertumbuhan Ekonomi, Studi pada Kota/Kabupaten dan Propinsi di DIY. Makalah dalam Konferensi Penelitian Keuangan Sektor Publik II. Jakarta.
Ghozali, Imam, 2009. Aplikasi Analisis Multivariate dengan program SPSS, Edisi Keempat, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.
Gujarati, Damodar N, 2003. Basic Econometrics. New York : McGraw-Hill. Halim, Abdul, 2009. Sistem Pengendalian Manajemen. UPP STIM YKPN.
Cetakan Ketiga Maret.
Halim, Abdul, 2007. Pengelolaan Keuangan Daerah. Yogyakarta : UPP STIM YPKN.
(4)
Halim, Abdul, 2002. Akuntansi Sektor Publik Akuntansi Keuangan Daerah, edisi Pertama, Salemba Empat, Jakarta
Halim, Abdul, 2001. Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah Edisi Pertama UPP AMP YKPN. Yogyakarta.
Haryanto, Joko, 2006. Kemandirian Daerah sebuah Perspektif dengan Metode Analysis Path. Jurnal Departemen Keuangan.
Helvyra, 2010. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Kemandirian Daerah (Studi Kasus Kabupaten/Kota di Sumatera Barat). Jurnal Ekonomi Universitas Andalas:Respository Unand.
Isdijoso, Brahmantio, 2002. Analisis Kebijakan Fiskal Pada Era Otonomi Daerah (Studi Kasus: Sektor Pendidikan di Kota Surakarta), Kajian Ekonomi Dan Keuangan Vol. 6 No. 1.
Kadafi Muhammad dan Wendy Wewisa Putra. 2013. Kemandirian Keuangan Daerah (Studi Kasus Pemerintah Kota Samarinda Tahun 2001-2010), Prosiding Simposium Nasional Akuntansi Vokasi ke-2, Politeknik Negeri Bali, 17-18 Mei 2013Koswara, 2000. Otonomi dan Pajak Daerah. Jogjakarta : PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
Kuncoro Thesaurianto, 2007. Analisis Pengelolaan Keuangan daerah terhadap Kemandirian Daerah. Tesis tidak diterbitkan. Semarang Program Pascasarjana Universitas Diponegoro.
Ladjin, N. 2008. Analisis Kemandirian Fiskal di Era Otonomi Daerah Studi Kasus Provinsi Sulawesi Tengah. Tesis. Universitas Diponegoro, Semarang.
Mardiasmo, 2002. “Otonomi Daerah Sebagai Upaya Memperkokoh Basis Perekonomian Daerah”. Artikel – Th. I – No. 4.
Mardiasmo, 2004. Otonomi & Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: Andi. Materi Presentasi, 2011. “Pengalihan PBB-P2 dan BPHTB sebagai Pajak
Daerah,” Direktorat Jenderal Pajak, Agustus 2011.
Mudrajad Kuncoro, 2004. Otonomi Daerah dan Pembangunan Daerah : Reformasi, Perencanaan, Strategis dan Peluang. Erlangga, Jakarta. Mahmudi. 2010. Buku Seri Membudayakan Akuntabilitas Publik: Analisis
Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Panduan bagi Eksekutif, DPRD, dan Masyarakat dalam Pengambilan Keputusan Ekonomi, Sosial, dan Politik. Yogyakarta: Unit Penerbit dan Percetakan Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN.
(5)
M. Nazir, 1988. Metode Penelitian Jakarta: Ghalia Indonesia, cet. 4.
Nur Indriantoro & Bambang Supomo, 2002. Metodologi Penelitian Bisnis: BPFE Yogyakarta.
Saifuddin Azwar, 2004. Metodologi Penelitian . Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Santoso, Singgih. 2002. Buku Latihan SPSS Statistik Parametrik.Jakarta: PT Elex
Media Komputindo
Sumadi Suryabrata, 1987. Motode Penelitian, Jakarta: Rajawali. Sudjana, Nana, 1995. Metode Statistika. Bandung: Tarsito.
Wahyudi, Eddi, 2010. Mulai 1 Januari 2011 BPHTB Telah Resmi Menjadi Pajak Daerah, http://eddiwahyudi.wordpress.com/2010/12/31/mulai-1-januari-2011-bphtb-telah-resmi-menjadi-pajak-daerah.
Wahyuni, 2009. Analisis Pertumbuhan dan Kontribusi Dana Bagi Hasil Terhadap Pendapatan Daerah. Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Sutabaya.
Widjaja, 2002. ’’ Pendapatan Asli Daerah’’.Jakarta: UI.
Wulandari, Anita. 2001. Kemampuan Keuangan Daerah. Jurnal Kebijakan dan Adminislrasi Publik Vol 5 No 2 November. (Online) (http://www.scribd.com/doc/101754251/JAUJ-Vol-09-No-2-Desember-2011 diakses tanggal 17 Agustus 2012).
______________, 2002. ”Penerimaan Daerah dari Bagi Hasil Sumber Daya
Alam”. LPEM FEUI. www. Bappenas.go.id.
______________, 2013. Laporan Realisasi Anggaran Pendapatan Daerah
Pemerintah Kota Bandar Lampung.
______________, 2011. Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung Nomor 01
Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah.
______________, 2004. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah.
______________, 2004. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang
(6)
______________, 2000. Undang-Undang Nomor.34 Tahun 2000 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
______________, 2009. Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah.