Relationship Among Budget Structure and Tipology of Regional problems for Optimazing Regional Development Performance.

(1)

ANALISIS KETERKAITAN

STRUKTUR PENGANGGARAN DENGAN TIPOLOGI

PERMASALAHAN DAERAH UNTUK OPTIMALISASI

KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH

OLEH :

ZUL AMRI

NRP : P.15500038.E

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

ANALISIS KETERKAITAN STRUKTUR PENGANGGARAN

DENGAN TIPOLOGI PERMASALAHAN DAERAH UNTUK

OPTIMALISASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH

ZUL AMRI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(3)

iii ABSTRAK

ZUL AMRI: Analisis Keterkaitan Struktur Penganggaran dengan Tipologi Permasalahan Daerah Untuk Optimalisasi Kinerja Pembangunan Daerah. Dibimbing oleh H.R. SUNSUN SAEFULHAKIM sebagai Ketua dan H. AFFENDI ANWAR sebagai Anggota.

Krisis keuangan yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 memberikan dampak negatif pada kondisi ekonomi secara keseluruhan. Berlarut- larutnya krisis ini dipicu oleh antara lain lemahnya kinerja aparatur pemerintah dan banyaknya kebijakan yang

tidak tepat sasaran, misalnya terjadinya misallocation dalam penganggaran daerah.

Fenomena ini menimbulkan pemikiran bahwa dibutuhkan suatu penelitian atau kajian dengan pendekatan perencanaan pembangunan khususnya perencanaan dalam penganggaran daerah yang berbasis pada tipologi permasalahan daerah untuk mengoptimalkan kinerja pembangunan daerah. Tujuan penelitian adalah: (1) mengidentifikasi profil kinerja pembangunan daerah; (2) mengukur tingkat kesenjangan antar wilayah; (3) mengkaji keterkaitan antara beberapa indikator yang berpengaruh terhadap kinerja pembangunan. Analisis dilakukan dengan: tabulasi, Kuosien Lokasi, Indeks Williamson, korelasi dan regresi.

Penelitian ini menemukan adanya ketimpangan dalam pembangunan antar kabupaten/kota, di mana ketimpangan di Provinsi Banten lebih besar dibandingkan dengan di Provinsi Jawa Barat. Secara keseluruhan ada keterkaitan antara kinerja pembangunan dengan struktur anggaran dan tipologi permasalahan daerah.


(4)

ABSTRACT

ZUL AMRI: Relationship Among Budget Structure and Tipology of Regional problems for Optimazing Regional Development Perfo r mance. Academic Advisor Team: H.R. SUNSUN SAEFULHAKIM as leader and H. AFFENDI ANWAR as memb er.

The financial crisis beginning in medio 1997 that led to economic turbulence has exerted a negative impact on the economic condition. This condition made development performance became quite low and instable. The misallocation of budget also influenced regional development performance. This fenomena create idea that needs a study about relationship between budget structure and tipology of regional problems for optimizing regional development performance. The purpose of the research are (1) to identify profile of development performances; (2) to measure disparity development among regencies/municipalities in the provinces of West Java and Banten; (3) to measure the correlation among budget structure, tipology problems and

development performance; (4) to find principal indicators of development

performance. These research use the analytical tool such as: (1) Tabulation Analysis; (2) Location Quotient; (3) Williamson's Index; (4) Correlation and (5) Natural Logarithmic Regression.

The result of this research indicates that (1) The structure of economics

among regencies/municipalities have led sector s in West Java and

Banten. Some regencies/municipalities led in manufacture industries, such as Bekasi (82.87 percent), Bogor (49.27 percent), Purwakarta (44.80 percent),

Cilegon (61.84 percent), and Tangerang (56. 28 percent). Some

regencies/municipalities give large contribution in agriculture sectors such as Subang (42.89 percent), Garut (40.96 percent), Cirebon (37.47 percent), Lebak (40.35 percent), and Pandeglang (36.13 percent); (2) There are lack of development among regencies/municipalities. Williamson's Indices for West Java and Banten are 0.4158 and 0.5846. The figures indicate that disparity of development in Banten is higher than that in West Java; (3) The correlation between growth of Gross Domestic Regional Product (GDRP) and illiteracy rate

shows negative coefficient (- 0.8) with P- Value 0.000; (4) In the whole are

relationship among performance of development , structure of budget and tipology of regional problems. The regression coefficient of allocation of education budget is 0.419. Meanwhile the regression coefficient rate of illiteracy is - 0.580. This model have P- Value, Multiple R and R Square respectively 0.000, 0.913 and 0.834.

All of the result of the research conclude that (1) The Improving of the matching among the budget patern and tipology regional problems will optimize regional development performance (2) The available of competence human resources will speed the regional development performance.(3) The Larger contribution of education budget will increase the regional development performance.


(5)

vii

Judul Tesis : Analisis Keterkaitan Struktur Penganggaran dengan Tipologi Permasalahan Daerah untuk Optimalisasi Kinerja Pembangunan Daerah

Nama Mahasisiwa : Zul Amri

NRP : P15500038E

Program Studi : Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. H. R. Sunsun Saefulhakim, M.Agr. Prof. Dr. Ir. H. Affendi Anwar, MSc

Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr.Ir. Isang Gonarsyah, MSc. Prof. Dr.Ir. Sjafrida Manuwoto, MSc


(6)

Kata Pengantar

Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT., karena dengan rahmat dan hidayah-Nya tesis yang berjudul Analisis Keterkaitan Struktur Penganggaran Berbasis Tipologi Permasalahan Daerah Untuk Optimalisasi Kinerja Pembangunan Daerah dapat diselesaikan.

Tesis ini disusun sebagai salah satu persyaratan yang diperlukan guna memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, Sekolah Pasacasarjana Institut Pertanian Bogor. Dalam penyusunan Tesis ini penulis banyak mendapat bantuan, dukungan serta bimbingan dari berbagai pihak, terutama dari Komisi Pembimbing yaitu:

1. Bapak Dr. Ir. H. R. Sunsun Saefulhakim, MAgr selaku Ketua Komisi Pembimbing.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Affendi Anwar, MSc dan Bapak Prof. Dr. Ir. Kooswardhono Mudikdjo, MSc. Masing- masing selaku anggota Komisi Pembimbing.

3. Kedua orang tua, istri dan kedua anakku serta saudara-saudaraku yang telah banyak memberikan dukungan do’a, perhatian, pengertian dan dorongan moral dan material yang tidak terhingga.

4. Kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu. Atas bimbingan, arahan dan bantuannya kepada penulis selama ini, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi- tingginya. Mudah- mudahan semua ini menjadi amal ibadah dan mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT, Amin.

Penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Terima Kasih Bogor, Januari 2006 Penulis


(7)

Riwayat Hidup

Penulis dilahirkan di Timbulun, Nagari Surantih, Kecamatan Sutera, Kabupaten Pesisir Selatan, Propinsi Sumatera Barat pada tanggal 23 Februari 1962 sebagai anak ke empat dari enam bersaudara dari pasangan Rapilis Said dan Marianis. Penulis sudah berkeluarga dengan istri Sarwini dan dikaruniai sepasang anak, Syifa Aulia (9 th) dan Muhammad Hasbi.(4 th). Pendidikan dasar sampai menengah penulis tempuh di Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Pendidikan sarjana muda, penulis tempuh di Akademi Ilmu Statistik Jakarta, lulus tahun 1986. Pada tahun 1995 penulis menyelesaikan pendidikan sarjana ekonomi (Strata 1) pada Universitas Indonesia.

Penulis bekerja sebagai staf Badan Pusat Statistik (BPS) sejak bulan Oktober tahun 1986 sampai 1998. Pada tahun 1998 penulis dipercaya pimpinan BPS sebagai Kepala Sub Bagian Neraca Sektor Riil, Biro Neraca Konsumsi. Pada tanggal 1 Maret 2001 penulis dipercaya menjadi Kepala Seksi Neraca Luar Negeri di Direktorat Neraca Konsumsi. Selanjutnya pada 6 Nopember 2003 penulis dipercaya lagi menjadi Kepala Seksi Konsolidasi Neraca Triwulanan pada Direktorat Neraca Produksi. Pada tanggal 9 September 2004 penulis dipercaya menjadi Kepala Seksi Neraca Perdagangan pada Direktorat Neraca Produksi. Terakhir pada tanggal 18 Januari 2006 penulis dipromosikan menjadi Kepala Bidang Neraca Wilayah dan Analisis BPS Provinsi Kepulauan Riau.

Bogor, Januari 2006 Penulis


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBARAN PENGESAHAN ... vi

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar belakang... 1

1.2 Perumusan masalah ... 3

1.3 Tujuan penelitian ... 4

1.4 Kegunaan penelitian ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA... 6

2.1 Pertumbuhan ekonomi dan perubahan strukturnya ... 6

2.2 Anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD)... 6

2.3. Pendapatan asli daerah (PAD)... 10

2.3.1. Pajak daerah ... 10

2.3.2. Retribusi daerah ... 10

2.3.3. Laba perusahaan ... 11

2.3.4. Penerimaan lain- lain ... 12

2.3.5. Bagi hasil pajak dan bukan pajak ... 12

2.3.6. Sumbangan dan bantuan ... 12

2.4. Pengeluaran APBD ... 14

2.4.1. Belanja rutin ... 14

2.4.2. Belanja pembangunan ... 14


(9)

xi

2.5.1. Indeks kemiskinan manusia (IKM) ... 15

2.5.2. Beberapa konsep atau istilah dalam IPM dan IKM ... 16

2.6. Otonomi daerah dan desentralisasi ... 17

2.7. Kewenangan wajib dan standar minimal ... 19

2.8. Implementasi kebijakan keuangan daerah ... 19

2.8.1. Dana perimbangan ... 20

2.8.2. Pengelolaan keuangan daerah ... 20

2.9. Konsep pembangunan berkelanjutan dan good governance ... 20

2.7.1 Pembangunan berkelanjutan ... 20

2.7.2 Good governance ... 23

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 24

3.1 Kerangka metodologi ... 24

3.2 Analisis tabulasi ... ... 25

3.3 Analisis pengembangan sektor prioritas ... 25

3.4 Analisis tingkat ketimpangan wilayah ... 26

3.5 Analisis keterkaitan... 28

IV. GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT DAN BANTEN ... 29

4.1 Jawa Barat ... 29

4.1.1 Sekilas Jawa Barat ... 29

4.1.2 Repetada Jawa Barat... 31

4.1.3 Visi Jawa Barat ... 32

4.1.4 Indikator makro Jawa Barat ... 33

4.2 Banten ... 35

4.2.1 Sejarah singkat Banten... 35

4.2.2 Kondisi geografis dan iklim Banten ... 37

4.2.3 Gambaran umum penduduk Banten ... 40


(10)

5.1 Struktur penerimaan dan pengeluaran AP BD kabupaten dan kota ... 45

5.1.1 Struktur penerimaan APBD kab/kota Jawa Barat dan Banten... 45

5.1.2 Struktur pengeluaran APBD kab/kota Jawa Barat dan Banten ... 45

5.2 Keragaan perekonomian... 49

5.2.1 Keragaan perekonomian kab/kota Jawa Barat ... 49

5.2.2 Keragaan perekonomian Kab/Kota Banten ... 59

5.2.3 Pendapatan perkapita kab/kota Jawa Barat dan Banten ... 63

5.2.4 Analisis sektor unggulan ... ... 64

5.2.5 Ketimpangan wilayah ... ... 64

5.3 Tipologi permasalahan daerah ... 65

5.4 Keterkaitan antara kinerja pembangunan, struktur penganggaran dan tipologi permasalahaan daerah ... 68

5.5 Pembangunan Berkela njutan dan Good Governance. ... 71

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 79

8.1 Kesimpulan ……….….………... 79

8.2 Saran ... ... 82

DAFTAR PUSTAKA ... 84 LAMPIRAN ……… …………. 88-160


(11)

xiii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Indikator makro pencapaian visi dan misi Jawa Barat sampai dengan tahun 2005

34

Tabel 2. Jumlah kecamatan da n desa/kelurahan menurut kabupaten/kota di Banten

40

Tabel 3. Jumlah dan persentase penduduk miskin menurut daerah dan jenis kelamin di Banten tahun 2001-2002

43

Tabel 4. Realisasi penerimaan pemerintah daerah kabupaten/kota Propinsi Jawa Barat dan Banten tahun 1998-2000 (ribu rupiah)

46

Tabel 5. Struktur realisasi penerimaan pemerintah daerah kabupaten/kota Propinsi Jawa Barat dan Banten tahun 1998-2000 (ribu rupiah)

47

Tabel 6. Realisasi pengeluaran pemerintah daerah kabupaten/kota Propinsi Jawa Barat dan Banten tahun 1998-2000 (ribu rupiah)

48

Tabel 7. Struktur realisasi pengeluaran pemerintah daerah kabupaten/kota Propinsi Jawa Barat dan Banten tahun 1998-2000 (ribu rupiah)

49

Tabel 8. Struktur dan pertumbuhan ekonomi beberapa sektor dominan kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat tahun 2002 (persen)

50

Tabel 9. Struktur dan pertumbuhan ekonomi beberapa sektor dominan kabupaten/kota di Propinsi Banten tahun 2002 (persen)


(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Perencanaan pembangunan menurut tingkatan administrasi pemerintah di Indonesia

8

Gambar 2. Jenis dan jenjang perencanaan pembangunan 9

Gambar 3. Skema pengambilan keputusan dana alokasi umum (DAU) 13

Gambar 4. Pembangunan regional dalam perspektif linkage development

dan reform antara rural dan urban

22

Gambar 5. Pola keterkaitan kinerja pembangunan 24

Gambar 6. Pendapatan perkapita kabupaten/kota di Jawa Barat dan Banten tahun 1998 (ribu rupiah)

64

Gambar 7. Angka buta huruf orang dewasa orang dewasa dan balita kurang gizi kabupaten/kota Propinsi Jawa Barat dan Banten tahun 1999 (persen)

66

Gambar 8. Plot garis regresi variable LnYr dengan LnDidik 69


(13)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Distribusi persentase produk domestik bruto Kabupaten Bogor atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha tahun 2000-2003 (persen)

88

Lampiran 2. Pertumbuhan produk domestik bruto Kabupaten Bogor atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha tahun 2000-2003 (persen)

89

Lampiran 3. Distribusi persentase produk domestik bruto Kabupaten Sukabumi atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha tahun 2000-2003 (persen)

90

Lampiran 4. Pertumbuhan produk domestik bruto Kabupaten Sukabumi atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha tahun 2000-2003

(persen)

91

Lampiran 5. Distribusi persentase produk domestik bruto Kabupaten Cianjur atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha tahun 2000-2003 (persen)

92

Lampiran 6. Pertumbuhan produk domestik bruto Kabupaten Cianjur atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha tahun 2000-2003 (persen)

93

Lampiran 7. Distribusi persentase produk domestik bruto Kabupaten Bandung atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha tahun 2000-2003 (persen)

94

Lampiran 8. Pertumbuhan produk domestik bruto Kabupaten Bandung atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha tahun 2000-2003 (persen)

95

Lampiran 9. Distribusi persentase produk domestik bruto Kabupaten Garut atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha tahun 2000-2003 (persen)

96

Lampiran 10. Pertumbuhan produk domestik bruto Kabupaten Garut atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha tahun 2000-2003 (persen)


(14)

Lampiran 11. Distribusi persentase produk domestik bruto Kabupaten Tasikmalaya atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha tahun 2000-2003 (persen)

98

Lampiran 12. Pertumbuhan produk domestik bruto Kabupaten Tasikmalaya atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha tahun 2000-2003

(persen)

99

Lampiran 13. Distribusi persentase produk domestik bruto Kabupaten Ciamis atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha tahun 2000-2003 (persen)

100

Lampiran 14. Pertumbuhan produk domestik bruto Kabupaten Ciamis atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha tahun 2000-2003 (persen)

101

Lampiran 15. Distribusi persentase produk domestik bruto Kabupaten Kuningan atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha tahun 2000-2003 (persen)

102

Lampiran 16. Pertumbuhan produk domestik bruto Kabupaten Kuningan atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha tahun 2000-2003

(persen)

103

Lampiran 17. Distribusi persentase produk domestik bruto Kabupaten Cirebon atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha tahun 2000-2003 (persen)

104

Lampiran 18. Pertumbuhan produk domestik bruto Kabupaten Cirebon atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha tahun 2000-2003 (persen)

105

Lampiran 19. Distribusi persentase produk domestik bruto Kabupaten Majalengka atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha tahun 2000-2003 (persen)

106

Lampiran 20. Pertumbuhan produk domestik bruto Kabupaten Majalengka atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha tahun 2000-2003

(persen)

107

Lampiran 21. Distribusi persentase produk domestik bruto Kabupaten Sumedang atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha


(15)

xvii

Lampiran 22. Pertumbuhan produk domestik bruto Kabupaten Sumedang atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha tahun 2000-2003

(persen)

109

Lampiran 23. Distribusi persentase produk domestik bruto Kabupaten Indramayu atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha tahun 2000-2003 (persen)

110

Lampiran 24. Pertumbuhan produk domestik bruto Kabupaten Indramayu atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha tahun 2000-2003

(persen)

111

Lampiran 25. Distribusi persentase produk domestik bruto Kabupaten Subang atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha tahun 2000-2003 (persen)

112

Lampiran 26. Pertumbuhan produk domestik bruto Kabupaten Subang atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha tahun 2000-2003 (persen)

113

Lampiran 27. Distribusi persentase produk domestik bruto Kabupaten Purwakarta atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha tahun 2000-2003 (persen)

114

Lampiran 28. Pertumbuhan produk domestik bruto Kabupaten Purwakarta atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha tahun 2000-2003

(persen)

115

Lampiran 29. Distribusi persentase produk domestik bruto Kabupaten Karawang atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha tahun 2000-2003 (persen)

116

Lampiran 30. Pertumbuhan produk domestik bruto Kabupaten Karawang atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha tahun 2000-2003

(persen)

117

Lampiran 31. Distribusi persentase produk domestik bruto Kabupaten Bekasi atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha tahun 2000-2003 (persen)


(16)

Lampiran 32. Pertumbuhan produk domestik bruto Kabupaten Bekasi atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha tahun 2000-2003 (persen)

119

Lampiran 33. Distribusi persentase produk domestik bruto Kota Bogor atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha tahun 2000-2003 (persen)

120

Lampiran 34. Pertumbuhan produk domestik bruto Kota Bogor atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha tahun 2000-2003 (persen)

121

Lampiran 35. Distribusi persentase produk domestik bruto Kota Sukabumi atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha tahun 2000-2003 (persen)

122

Lampiran 36. Pertumbuhan produk domestik bruto Kota Sukabumi atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha tahun 2000-2003 (persen)

123

Lampiran 37. Distribusi persentase produk domestik bruto Kota Bandung atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha tahun 2000-2003 (persen)

124

Lampiran 38 Pertumbuhan produk domestik bruto Kota Bandung atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha tahun 2000-2003 (persen)

125

Lampiran 39. Distribusi persentase produk domestik bruto Kota Cirebon atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha tahun 2000-2003 (persen)

126

Lampiran 40. Pertumbuhan produk domestik bruto Kota Cirebon atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha tahun 2000-2003 (persen)

127

Lampiran 41. Distribusi persentase produk domestik bruto Kota Bekasi atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha tahun 2000-2003 (persen)

128

Lampiran 42. Pertumbuhan produk domestik bruto Kota Bekasi atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha tahun 2000-2003 (persen)


(17)

xix

Lampiran 43. Distribusi persentase produk domestik bruto Kota Depok atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha tahun 2000-2003 (persen)

130

Lampiran 44. Pertumbuhan produk domestik bruto Kota Depok atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha tahun 2000-2003 (persen)

131

Lampiran 45. Distribusi persentase produk domestik bruto Kota Cimahi atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha tahun 2000-2003 (persen)

132

Lampiran 46. Pertumbuhan produk domestik bruto Kota Cimahi atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha tahun 2000-2003 (persen)

133

Lampiran 47. Distribusi persentase produk domestik bruto Kota

Tasikmalaya atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha tahun 2000-2003 (persen)

134

Lampiran 48. Pertumbuhan produk domestik bruto Kota Tasikmalaya atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha tahun 2000-2003 (persen)

135

Lampiran 49. Distribusi persentase produk domestik bruto Kota Banjar atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha tahun 2000-2003 (persen)

136

Lampiran 50. Pertumbuhan produk domestik bruto Kota Banjar atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha tahun 2000-2003 (persen)

137

Lampiran 51. Distribusi persentase produk domestik bruto Kabupaten Pandeglang atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha tahun 2000-2002 (persen)

138

Lampiran 52. Pertumbuhan produk domestik bruto Kabupaten Pandeglang atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha tahun 2001-2002 (persen)

139

Lampiran 53. Distribusi persentase produk domestik bruto Kabupaten Lebak atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha tahun 2000-2002 (persen)


(18)

Lampiran 54. Pertumbuhan produk domestik bruto Kabupaten Lebak atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha tahun 2001-2002 (persen)

141

Lampiran 55. Distribusi persentase produk domestik bruto Kabupaten Tangerang atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha tahun 2000-2002 (persen)

142

Lampiran 56. Pertumbuhan produk domestik bruto Kabupaten Tangerang atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha tahun 2001-2003(persen)

143

Lampiran 57. Distribusi persentase produk domestik bruto Kabupaten Serang atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha tahun 2000-2002 (persen)

144

Lampiran 58. Pertumbuhan produk domestik bruto Kabupaten Serang atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha tahun 2001-2002 (persen)

145

Lampiran 59. Distribusi persentase produk domestik bruto Kota Tangerang atas dasar harga berlaku menur ut lapangan usaha tahun 2000-2002 (persen)

146

Lampiran 60. Pertumbuhan produk domestik bruto Kota Tangerang atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha tahun 2001-2002 (persen)

147

Lampiran 61. Distribusi persentase produk domestik bruto Kota Cile gon atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha tahun 2000-2002 (persen)

148

Lampiran 62. Pertumbuhan produk domestik bruto Kota Cilegon atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha tahun 2001-2002 (persen)

149

Lampiran 63. Indeks pembangunan ma nusia (IPM) menurut kabupaten/kota Propinsi Jawa Barat dan Banten tahun 1996 dan 1999

150

Lampiran 64. Indeks kemiskinan manusia (IKM) menurut kabupaten/kota Propinsi Jawa Barat dan Banten tahun 1996 dan 1999

151

Lampiran 65. Kondisi kesehatan menurut kabupaten/kota Propinsi Jawa Barat dan Banten tahun 1996 dan 1999


(19)

xxi

Lampiran 66. Partisipasi sekolah menurut kabupaten/kota Propinsi Jawa Barat dan Banten tahun 1996 dan 1999

153

Lampiran 67. Kondisi perumahan menurut kabupaten/kota Propinsi Jawa Barat dan Banten tahun 1996 dan 1999

154

Lampiran 68. Kinerja perekonomian menurut kabupaten/kota Propinsi Jawa Barat dan Banten tahun 1998

155

Lampiran 69. Jarak antar ibukota di Jawa Barat dan Banten (km) 156

Lampiran 70. Koefisien ”jarak” antar ibukota di Jawa Barat dan Banten 157

Lampiran 71. Logaritma natural variable kinerja pembangunan, matriks kontiguitas, rasio anggaran pendidikan dan tingkat buta huruf tahun 2001

158


(20)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pembangunan wilayah sebagai bagian yang integral dari pembangunan nasional pada hakikatnya dilaksanakan dalam rangka pendayagunaan sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya kapital dan sumber daya buatan secara menye luruh, terencana, rasional, optimal, bertanggungjawab, yang sesuai dengan kemampuannya, sehingga diharapkan mampu memberikan kesejahteraan bagi rakyat secara berkelanjutan.

Terjadinya krisis ekonomi pada semua sektor semenjak pertengahan tahun 1997, di mana ketika itu nilai mata uang rupiah terus terpuruk, daya beli (purchasing power) masyarakat melemah. Dampak krisis yang sampai saat ini masih dirasakan sudah menyentuh ke semua sektor (multidimensi). Berlarut- larutnya krisis ini dipicu oleh antara lain lemahnya kinerja aparatur pemerintah dan banyaknya kebijakan yang tidak tepat sasaran, misalnya terjadinya misalocation dalam penganggaran daerah. Pada gilirannya menjadikan kinerja pembangunan tidak optimal. Fenomena ini menimbulkan pemikiran bahwa dibut uhkan suatu penelitian atau kajian dengan pendekatan analisis keterkaitan antara struktur penganggaran daerah dengan tipologi permasalahan daerah untuk optimalisasi kinerja pembangunan daerah.

Otonomi daerah memberi kesempatan kepada masing-masing daerah untuk lebih menampilkan karakteristik dan potensi lokal. Misalnya penciptaan tata ruang pengolahan sumber daya alam serta aktualisasi sumber daya manusia. Seperti diketahui sumber daya yang dimiliki tiap-tiap daerah bervariasi dan terbatas (nonrenewable). Beberapa daerah memiliki surplus yang besar dalam sumber daya alam misalnya minyak bumi, batu bara, kayu dan hasil laut tetapi terbatas dalam sumber daya manusia dan modal. Sementara daerah lain surplus dalam tenaga kerja tetapi terbatas dalam sumber daya alam. Perbedaan karakter yang ada pada tiap-tiap daerah menuntut adanya suatu manajemen pembangunan sumber daya yang mampu melihat keunggulan dan kemampuan suatu daerah yang pada gilirannya


(21)

2

diharapkan mampu menjadikan kekurangannya untuk berinovasi dan berkreasi serta menjalin kerja sama dengan daerah lain. Namun yang sering terjadi kebijakan pembangunan belum sepenuhnya berbasis pada tipologi wilayah dan standar pelayanan minimal yang merupakan indikator kinerja pembangunan. Hal ini mempunyai implikasi kepada kebijakan pembangunan yang kurang tepat sasaran (efektif) dan efisien serta hasil yang kurang optimal.

Sesuai dengan itu maka pembangunan wilayah diarahkan untuk memberikan manfaat bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan tetap menjaga kelestarian dan kelangsungan sumber daya alam dan fungsi lingkungan hidup serta lestarinya pemanfaatan sumber daya yang lain.

Semenjak bergulirnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, arah perencanaan pembangunan sudah lebih condong ke daerah. Bahkan implementasi UU tersebut cenderung disikapi secara berlebihan oleh tokoh dan birokrat daerah untuk memperoleh kewenangan yang lebih besar lagi.

Dampak euforia terhadap otonomi daerah ini, banyak daerah yang menyikapi dengan menggali sumber-sumber penerimaan asli daerah (PAD) untuk memperkuat APBD-nya tanpa mempertimbangkan prinsip-prinsip demokrasi, partisipasi masyarakat, azas pemerataan dan keadilan, akuntabilitas serta potensi dan keberagaman daerah. Peningkatan PAD dengan cara menaikkan pajak dan retribusi semata sangat berpotensi menimbulkan kerawanan sosial terutama masyarakat miskin. Sedangkan pemanfaatan(eksploitasi) sumber daya alam secara berlebihan akan menimbulkan dampak pada daya dukung alam dan kelestarian lingkungan. Untuk lebih membumi dan bisa mengakomodasi berberbagai kepentingan, Undang-Undang No.22 Tahun 1999 dan Undang-Undang-Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 derevisi menjadi masing- masing Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.

Menurut Anwar (2000) pada era otonomi daerah, penyesuaian proses pembangunan harus lebih mengedepankan pentingnya pembangunan berbasis wilayah ketimbang pendekatan sektoral. Dalam pembangunan yang berbasis wilayah


(22)

sangat mengutamakan keharmonisan dan keterpaduan antar sektor, antar spasial dan antar pelaku pembangunan baik di dalam wilayah tersebut maupun antar daerah.

Jawa Barat dan Banten sebagai daerah penyangga ibu kota didukung oleh sekitar 28 kabupaten/kota memerlukan dukungan infra-struktur termasuk fasilitas sosial dan ekonomi yang memadai, supaya masyarakat dapat melakukan berbagai kegiatan secara mudah. Di sisi lain juga diperlukan peningkatan kinerja pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan serta pelayanan publik. Seiring derap otonomi, harapan terhadap aparatur pemerintah daerahpun semakin tinggi. Seorang kepala daerah tidak hanya harus pintar mengelola pemerintahan, tetapi juga harus cerdik mencari peluang dan mengambil keputusan. Dengan kata lain dibutuhkan aparatur pemerintah daerah yang mempunyai kapasitas sumber daya manusia yang mempunyai vision, value and courage ( Tanri Abeng, Media Otonomi, September 2004). Peningkatan kinerja aparatur pemerintahan daerah pada gilirannya sangat tergantung pada kemampuan sumber daya yang dimilki, antara lain adalah kemampuan APBD. Aparat pemerintah yang profesional selalu berorientasi pada pelayanan yang optimal. Pelayanan yang cepat dan bertanggung jawab akan mempercepat pertumbuhan ekonomi yang pada gilirannya akan memberikan percepatan pada penerimaan PAD. Selanjutnya dengan aparat yang profesional akan memiliki etos kerja dan terhindar dari KKN. Seperti telah disebutkan di atas dengan diundangkannya UU No. 22 dan 25 Tahun 1999, terjadi pergeseran otoritas dalam menggali sumber-sumber pendapatan, dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Sehingga daerah tidak terlalu bergantung pada subsidi pemerintah pusat dalam memperkuat APBDnya. Dengan demikian daerah harus mampu memaksimalkan dan mengefektifkan penerimaan dan pengeluarannya.

1.2. Perumusan Masalah

Kenyataan lapang bisa dilihat/dir asakan bahwa adanya ruang yang masih kosong yang membutuhkan upaya untuk diisi dengan me sinergikan sumberdaya sehingga tercapai tingkat kinerja pembangunan daerah yang optimal. Untuk mengoptimalkan kinerja pembangunan daerah tersebut, maka perlu diperhatikan dan


(23)

4

1. Bagaimana struktur perekonomian dan sektor apa saja yang dominan dan di kabupaten kota mana saja terdapat sentral-sentral sektoral dan berapa besar pertumbuhannya di propinsi Jawa Barat dan Banten ?

2. Rendahnya besaran pendapatan perkapita dan adanya ketimpangan pembangunan. 3. Bagaimana struktur alokasi penganggaran khususnya pengeluaran dua sektor pilar

pembangunan, yaitu: pendidikan dan kesehatan?

4. Apakah sudah match antara tipologi permasalahan daerah dengan alokasi penganggaran daerah?

5. Apa penyebab utama tidak optimalnya kinerja pembangunan daerah tersebut?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang diungkapkan di atas, maka tujuan penelitian adalah sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi profil “kinerja pembangunan daerah” baik ditinjau dari struktur perekonomian, pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita kabupaten/kota. 2. Mengukur tingkat kesenjangan antar wilayah.

3. Mengukur keterkaitan struktur alokasi penganggaran khususnya sektor pilar pembangunan yaitu pendidikan dengan variabel tipologi permasalahan daerah antara lain variabel tingkat buta huruf.

4. Mengukur keterkaitan indikator kinerja pembangunan dengan variabel struktur alokasi penganggaran dan variabel tipologi permasalahan daerah.

5. Mengetahui indikator yang sangat mempengaruhi kinerja pembangunan.

1.4. Kegunaan Penelitian

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi arahan dan dasar pertimbangan:

1. Pada perencanaan anggaran pendapatan dan belanja daerah pada tahun-tahun mendatang.

2. Untuk pemerintah daerah dalam perumusan kebijaksanaan pembangunan daerah khususnya dalam mengoptimalkan kinerja pembangunan dan kinerja perekonomian wilayah.


(24)

3. Dalam perumusan kebijakan dan penyusunan program pembinaan pembangunan yang berkelanjutan serta dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa.

4. Informasi untuk studi dan penelitian yang akan datang khususnya tentang kajian pembangunan wilayah. dan analisis fiskal.


(25)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pertumbuhan Ekonomi dan Perubahan Strukturnya

Kuznet dalam Todaro (1999) memilah menjadi enam bentuk karakteristik yang tercermin dalam pertumbuhan. Keenam karakteristik tersebut adalah sebagai berikut:

a. Tingginya tingkat perkembangan output perkapita dan populasi.

b. Tingginya peningkatan faktor produktivitas terutama produktivitas tenaga kerja.

c. Tingginya tingkat transformasi sosial ekonomi. d. Tingginya tingkat transformasi sosial dan ideologi.

e. Kecenderungan negara- negara yang perekonomian yang sudah maju untuk mengembangkan ke segala pelosok dunia guna untuk memperoleh pasaran dan bahan baku.

f. Pertumbuhan ekonomi ini hanya terbatas pada sepertiga populasi dunia.

Dari sisi transformasi struktur ekonomi, berdasarkan catatan sejarah pertumb uhan ekonomi negara-negara maju, pertumbuhan ekonominya menunjukkan karakteristik penting yaitu tingginya perubahan struktural dan sektoral.Misalnya adanya perubahan secara bertahap dari kegiatan pertanian ke kegiatan non pertanian.

2.2. Anggaran pendapatan dan belanja daerah

Dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 menyebutkan bahwa pemerintahan di Indonesia menganut azas dekonsentrasi, desentralisasi, dan azas pembantuan (medebewind). Oleh sebab itu sistem anggaran di Indonesia merefleksikan pelaksanaan azas-azas pemerintahan tersebut. Sehingga setiap tahun anggaran, perencanaan dan penganggaran dilakukan melalui pendekatan dan mekanisme


(26)

perencanaan pembangunan dari atas ke bawah (top-down planning) dan dari bawah ke atas (bottom-up planning).

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, tahun anggaran daerah sama dengan tahun anggaran negara. Setiap tahunnya, selambat-lambatnya tiga bulan setelah ditetapkannya APBN oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), APBD ditetapan melalui perda oleh DPRD. APBD yang sudah ditetapkan itu dilaksanakan setelah disahkan oleh pejabat yang berwenang. Untuk APBD Propinsi, pejabat yang mengesahkan perda adalah Menteri Dalam Negeri (Mendagri), sedangkan APBD Kabupaten/Kota disahkan oleh gubernur. Sebagai implementasi dari Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999, semenjak tahun 2000 tahun anggaran sudah mengikuti tahun kalender, walaupun untuk tahun 2000 ini tahun anggaran hanya berlangsung sembilan bulan.

Pada tahun 2003 Dewan Perwakilan Rakyat telah mengesahkan Undang-Undang No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Pada undang-Undang ini menetapkan hal- hal baru secara fundamental yang dipandang cukup baik antara lain mengenai keleluasaan yang lebih besar pada Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah dalam menyiapkan rencana kerja dan anggaran. Kemudian juga ditetapkan mengenai adanya kerangka pengeluaran jangka menengah, dan pengintegrasian anggaran rutin dan pembangunan (Diamar 2003).


(27)

8

Gambar 1. Perencanaan pembangunan menurut tingkatan administrasi pemerintahan di Indonesia

Sumber: Tinjauan Umum Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Propinsi

1999/2000, Bappenas 1999.

PRESIDEN TAPMPR No.

X/MPR/1998

APBN

APBD TK I

APBD TKII

PEMBANGUNAN DAERAH


(28)

Gambar 2. Jenis dan jenjang perencanaan pembangunan

Sumber: Deddy Supriady Bratakusumah

UUD 45

GBHN 1999

PROPENAS REPETA

APBN DEPT/LPND

PROPEDA PROPINSI

APBD PROPINSI

PROPEDA

KAB/KOTA

APBD

KAB/KOTA

PEM BANGUNAN NASIONAL DAN


(29)

10 2.3. Pendapatan asli daerah (PAD)

Berdasarkan UU No. 25 Tahun 1999, pendapatan asli daerah (PAD) propinsi terdiri atas :

(i) hasil pajak daerah (ii) hasil retribusi daerah

(iii) hasil perusahaan milik daerah, dan hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan

(iv) lain- lain pendapatan asli daerah yang sah.

Rincian PAD dalam UU no.25 Tahun 1999 ini sama seperti Pendapatan Asli Daerah Sendiri (PADS) yang diatur dalam UU no. 5 Tahun 1974

2.3.1. Pajak daerah

Pelaksanaan pajak daerah diatur oleh UU No. 18 Tahun 1997 mengenai pajak daerah dan retribusi daerah. Hampir di setiap daerah, pajak daerah memberikan kontribusi yang dominan dibanding komponen-komponen Pendapatan Asli Daerah lainnya. Dalam peraturan pelaksanaan Undang-Undang No. 18 ini, Menteri Dalam Negeri telah mengeluarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 10 Tahun 1998 yang memuat jenis pajak dan retribusi yang dicabut dan tidak dapat dipungut lagi oleh pemerintah baik daerah Propinsi maupun daerah Kabupaten/Kota. Pajak yang tidak dapat dipungut lagi oleh propinsi adalah sebagai berikut:

(i) Pajak atas ijin menangkap ikan di perairan umum di wilayahnya. (ii) Pajak alat angkutan air.

(iii) Bea balik nama angkutan air. 2.3.2. Retribusi daerah

Sesuai dengan Undang-Undang yang baru, retribusi daerah propinsi secara umum hanya terdiri dari tiga macam yaitu retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha dan retribusi perizinan tertentu. Retribusi jasa umum adalah retribusi atas jasa yang disediakan oleh pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan kemakmuran dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan. Retribusi jasa usaha adalah retribusi atas jasa yang disediakan oleh pemerintah daerah dengan menganut prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta. Retribusi perizinan


(30)

tertentu adalah retribusi atas kegiatan tertentu pemerintah daerah dalam rangka memberikan izin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana atau fasilitas.

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 10 Tahun 1998, jumlah retribusi propinsi yang dicabut mencapai 16 item retribusi. Ke 16 jenis retribusi tersebut adalah:

(i) pengusahaan tambak ikan di tepi pantai (ii) ijin pengambilan pasir, kerikil dan batu kapur (iii) pengambilan dan pembakaran batu gamping (iv) pengelolaan bahan galian golongan C (v) pengujian mutu hasil perikanan (vi) leges

(vii) dispensasi kelas jalan (viii) tempat pelelangan ikan

(ix) penyelenggaraan benih ikan dan udang (x) pertambangan rakyat untuk galian emas (xi) perizinan pariwisata

(xii) hasil hutan dan laut (xiii) air bawah tanah (xiv) sertifkat prakualifikasi

(xv) pungutan atas dokumen lelang

(xvi) penimbunan dan penyimpangan bahan bakar

2. 3.3. Laba perusahaan

Jika negara memiliki badan usaha milik negara, maka daerah pun punya badan usaha milik daerah (BUMD). BUMD bergerak di berbagai bidang usaha seperti perbankan (BPD), air bersih, dan sebagainya. Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1962 mengenai perusahaan daerah ditujukan untuk turut serta melaksanakan pembangunan daerah khususnya dan pembangunan ekonomi umumnya.


(31)

12 2.3.4. Penerimaan lain-lain

Penerimaan lain- lain adalah penerimaan pemerintah daerah di luar yang telah diuraikan di atas seperti penerimaan dari sewa rumah dinas milik daerah dan penjualan barang milik daerah.

2.3.5. Bagi hasil pajak dan bukan pajak

Yang dimaksud dengan bagi pajak dan bukan pajak adalah bagian pajak dan bukan pajak pusat yang dibagihasilkan kepada daerah, baik daerah propinsi maupun kabupaten/kota. Bagi hasil terdiri atas dua jenis yaitu bagi hasil pajak dari pajak bumi dan bangunan (PBB) dan bukan pajak yang mencakup iuran hak pengusahaan hutan (IHPH) dan iuran hasil hutan (IHH). Berdasarkan SK Menteri Keuangan No.83 Tahun 1994, sejak tahun 1995 bagian penerimaan pusat dibagikan secara merata kepada seluruh daerah kabupaten/kota. Berdasarkan UU No. 25 Tahun 1999, bagi hasil pajak dan bukan pajak akan menjadi bagian terpenting dari dana perimbangan pusat dan daerah.

2.3.6. Sumbangan dan bantuan

Sumbangan dan bantuan yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada daerah baik propinsi maupun kabupaten/kota untuk membantu membiayai belanja pegawai daerah dan pegawai pusat yang diperbantukan dan untuk pembangunan daerah yang bersangkutan. Sebagian besar sumbangan adalah dalam bentuk Subsidi Daerah Otonomi (SDO) yang merupakan perimbangan keuangan pemerintah pusat atas pembiayaan gaji dan tunjangan lainnya termasuk bagi pegawai negeri sipil di daerah. Subsidi lainnya antara lain untuk biaya operasional rumah sakit daerah, biaya pra jabatan dan subsidi pembiayaan penyelenggaraan otonomi daerah.


(32)

Gambar 3. Skema pengambilan keputusan dana alokasi umum (DAU)

Sumber: Rosidi, A., Data Dasar dan Formulasi Penghitungan Dana Alokasi Umum

PEMERINTAH DAERAH/DPRD PROP.,KAB/KOTA, BPS DAERAH

DEPKEU (RAPBN)

PEMERINTAH PUSAT DEPKEU,BI,DEPT. &

LPND (BPS)

DPR RI

PANJA II ANGGARAN

DITJEN PKPD, DEPDIKNAS, KEMPRASWIL, DEPKES,

BPS

DITJEN ANGGARAN, PAJAK, BEA CUKAI,

BAPPENAS

PANJA I ANGGARAN

DANA PERIMBANGAN:

DAU,DAK, DLL.

RAPBN: * PENDAPATAN * PENGELUARAN

PLENO

UU APBN

PEMERINTAH & PARIPURNA


(33)

14 2.4. Pengeluaran APBD

2.4.1. Belanja rutin

Belanja rutin adalah pengeluaran untuk membiayai kegiatan pemerintah daerah yang bersifat administrasi kegiatan pemerintah daerah yang bersifat administrasi dan pelayanan pemerintahan umum. Belanja rutin dalam APBD dapat juga didefinisikan sebagai pengeluaran pemerintah daerah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahannya. Secara umum belanja rutin:

a. Belanja pegawai b. Belanja barang c. Biaya pemeliharaan d. Biaya perjalanan dinas e. Belanja lain- lain

f. Angsuran pinjaman/hutang dan bunga

g. Ganjaran/subsidi/sumbangan kepada daerah bawahan h. Pensiun/bantuan dan onderstand

i. Bantuan keuangan

j. Pengeluaran rutin yang tidak termasuk bagian lainnya k. Pengeluaran tak tersangka

2.4.2. Belanja pembangunan

Belanja Pembangunan adalah pengeluaran untuk membiayai pembangunan dalam kerangka peningkatan kinerja ekonomi sektoral. Belanja Pembangunan dapat dirinci menurut sektor sebagai berikut:

a. Industri

b. Pertanian dan kehutanan c. Sumber daya air dan irigasi d. Tenaga kerja

e. Perdagangan, pengembangan usaha daerah, keuangan dan koperasi f. Transportasi, meteorologi dan geofisika

g. Pertambangan dan energi


(34)

i. Pembangunan daerah

j. Lingkungan hidup dan tata ruang

k. Pendidikan, kebudayaan nasional, pemuda dan olah raga l. Kependudukan dan keluarga berencana

2.5. Konsep indeks pembangunan manusia (IPM)

IPM disusun dari tiga komponen: lamanya hidup, diukur dengan harapan hidup pada saat lahir; tingkat pendidikan, diukur dengan kombinasi antara angka melek huruf pada penduduk dewasa ( dengan bobot dua pertiga) dan rata-rata lama sekolah (dengan bobot sepertiga); dan tingkat kehidupan yang layak, diukur dengan pengeluaran perkapita yang telah disesuaikan (PPP Rupiah).

2.5.1. Indeks kemiskinan manusia (IKM)

IKM merupakan kombinasi dari berbagai dimensi kemiskinan manusia yang danggap sebagai indicator inti dari ukuran keterbelakangan (deprivasi) manusia. Indeks ini disusun dari tiga indikator: penduduk yang diperkirakan tidak berumur panjang, ketertinggalan dalam pendidikan dan keterbatasan akses terhadap pelayanan dasar. Indikator yang pertama diukur dengan peluang dengan suatu populasi untuk tidak bertahan hidup sampai umur 40 tahun. Indikator kedua diukur dengan angka buta huruf penduduk usia dewasa (15 tahun ke atas). Adapun indil\kator ketiaga, keterbatsan akses terhadap pelayanan dasar terdiri dari variable berikut ini:

1. Persentase penduduk tanpa akses terhadap air bersih, yang didefinisikan sebagai persentase rumah tangga yang tidak menggunakan air PAM, air pompa atau air sumur yang letaknya lebih dari 10 meter dari septic-tank.

2. Persentase penduduk yang tidak memiliki akses ke sarana kesehatan, yang didefinisikan sebagai persentase populasi yang tinggal di tempat yang jaraknya 5 km atau lebih dari sarana kesehatan.

3. Persentase anak berumur lima tahun ke bawah (Balita) dengan status gizi kurang, yang didefinisikan sebagai persentase Balita yang tergolong dalam golongan status gizi rendah dan menengah.


(35)

16

2.5.2. Beberapa konsep atau istilah dalam IPM atau IKM

Akses terhadap air bersih: persentase rumah tangga yang menggunakan air minum yang berasal dari air mineral, air leding/PAM, pompa air, sumur atau mata air yang terlindung

Akses terhadap fasilitas kesehatan: persentase rumah tangga yang tinggal pada jarak kurang dari 5 kilometer dari fasilitas kesehatan (rumah sakit, klinik, puskesmas, dokter, juru rawat, bidan yang terlatih, paramedic, dan sebagainya.

Akses terhadap sanitasi: persentase rumah tangga yang memiliki kamar mandi sendiri atau dapat menggunakan fasilitas kamar mandi umum.

Anak di bawah lima tahun (Balita) yang kekurangan gizi: merujuk pada anak dengan berat badan kurang (menderita kurang gizi tingkat sedang dan parah). Kekurangan gizi sedang merujuk pada persentase anak berusia di bawah lima tahun yang memiliki berat badan di bawah dua standar deviasi dari median berat badan anak berusia tersebut. Kekurangan gizi parah merujuk pada persentase anak berusia di bawah lima tahun yang berada di bawah tiga standar deviasi dari median berat badan anak berusia tersebut. Angka buta huruf (dewasa): proporsi penduduk berusia 15 tahun ke atas yang tidak dapat membaca dan menulis dalam huruf Latin atau lainnya. Dihitung dengan cara 100 dikurang dengan angka melek huruf (dewasa).

Angka harapan hidup pada waktu lahir: perkiraan lama hidup rata-rata penduduk dengan asumsi tidak ada perubahan pola morbiditas.

Angka kematian bayi (IMR): jumlah bayi yang meninggal sebelum mencapai usia satu tahun per 1000 kelahiran hidup.

Angka melek huruf (dewasa): proporsi penduduk berusia 15 tahun ke atas yang dapat membaca dan menulis dalam huruf Latin atau lainnya.

Angka morbiditas: proporsi dari keseluruhan penduduk yang menderita akibat masalah kesehatan hingga menggangu aktivitas sehari- hari selama satu bulan terakhir.

Pertumbuhan ekonomi: perubahan relatif nilai riil produk domestik bruto dalam suatu periode tertentu.

Produk domestik bruto: jumlah nilai tambah bruto(total output dari barang dan jasa ) yang diproduksi oleh semua sector ekonomi di suatu negara selama periode waktu tertentu.


(36)

Produk domestik bruto atas dasar harga berlaku: merujuk pada produk domestik bruto berdasarkan nilai uang yang berlaku pada tahun tertentu.

Produk domestik bruto atas dasar harga konstan: merujuk pada produk domestik bruto berdasarkan nilai uang pada tahun yang dipergunakan sebagai tahun dasar.

Produk domestik bruto per kapita: nilai produk domestik bruto dibagi dengan penduduk pada tengah tahun.

2.6. Otonomi daerah dan desentralisasi

Meskipun telah berlangsung hampir tiga tahun sejak 2001 yang lalu, proses otonomi daerah berikut desentralisasi fiskalnya kenyataan di lapang belum menunjukkan hasil yang maksimal. Bahkan Undang-Undang yang mendasari otonomi daerah dan desentralisasi fiskal itu dirasakan masih banyak kekurangan dan kelemahannya.. Misalnya yang berkaitan dengan formulasi dan penghitungan dana perimbangan, pinjaman daerah dan penyusunan struktur anggaran daerah.

Dengan Undang-Undang yang belum sempurna itu mustahil terwujud otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang ideal. Sebagaimana diketahui, pengelolaan keuangan daerah yang diatur dalam Undang-Undang No.25 /1999 disesuaikan dengan Undang-Undang No.17/2003 tentang keuangan negara, Undang-Undang No.1 /2004 tentang perbendaharaan negara serta Tap MPR No.IV/MPR/2000 tentang rekomendasi kebijakan.

Berdasarkan beberapa hal di atas maka pemerintah saaat ini sedang menyusun usulan perubahan Undang-Undang No.25/1999 yang bertujuan untuk meningkatkan akuntabilitas publik dan pelayanan publik di tingkat local dan sesuai dengan asas demokrasi. Salah satu perubahan penting dalam revisi Undang-Undang No.25/1999 adalah mengenai dana perimbangan, yang meliputi Dana Bagi Hasil (DBH) dan Dana Alokiasi Umum (DAU).

Menurut Anwar (2001), semua keputusan kebijakan yang menyangkut desentralisasi fiskal harus berhubungan dengan empat isu yaitu: 1. efisiensi ekonomi, 2. ketidakmerataan antar wilayah, 3. ketidakstabilan makro ekonomi akibat pelaksanaan desentralisasi fiskal, dan 4. kompetisi regional.


(37)

18

Efisiensi ekonomi yang didefinisikan sebagai peningkatan nilai dalam ukuran uang dari penegluaran pemerintah untuk diterima oleh pembayar pajak, sedangkan nilai outputnya menjadi bertambah besar dari pemanfaatan sejumlah sumber daya tertentu. Kedua aspek dari efisiensi ekonomi tersebut dikenal sebagai “Consumer efficiency dan producer efficiency”. Dalam definisi yang terakhir ini peningkatan output dapat berarti juga dalam memperbaiki kualitas dari output. Perbaikan atau peningkatan efisiensi pada gilirannya tergantung dari perencanaan yang baik dari enam faktor yaitu: 1. penentuan belanja pengeluaran, 2. penentuan sumber-sumber pendapatan, 3. transfer fiskal, 4.manajemen fiscal dan penentuan anggaran, 5. struktur hokum, 6. lembaga serta peran masyarakat.

Ketidakmerataan antar wilayah-wilayah kemungkinan akan dapat memberikan dampak yang baik dengan dilakukannya desentralisasi fiskal dengan syarat apabila pada tindakan pengamanannya dapat dilakukan sehingga akan mencegah terjadinya kesenjangan yang semakin melebar. Dalam hubungan ini sebenarnya beberapa kewenangan juridiksi daerah dan local akan mampu menjaga dari tindakan tidak fair dari pihak lain. Jika kesenjangan regional menjadi bertambah tajam dengan terjadinya desentralisasi fiskal yang menuju ke arah keadaan yang tidak dapat ditolerir atau ke tingkat disparitas yang tidak diinginkan, maka hal ini merupakan satu hasil dengan konsekuensi yang negatif dari akibat desentralisasi.

Stabilitas makro ekonomi dapat terancam oleh desentralisasi fiscal bila dalam pelaksanaannya menjadi terdesak serta di rancang secara gegabah dan terburu-buru, sehingga dapat mengarah pada timbulnya konsekuensi yang negatif. Oleh karena itu adanya pemantauan dan anlisis yang berkelanjutan dapat memberikan umpan balik yang diperlukan.

Kompetisi regional merupakan akibat dari terjadinya proses alamiah yang menyangkut batas juridiksi yang berkait erat dengan perbaikan ke arah peningkatan banyak hal dengan daya tarik yang tercipta untuk menarik lebih banyak sumber daya swasta dan investasi serta proyek-proyek pemerintah dalam rangka alokasi sumber daya publik. Oleh karena itu kompetisi regional dapat mengarah kepada hasil positif, dengan berjalannya waktu yang memaksa pemerintah local untuk bekerja lebih efisien.


(38)

2.7. Kewenangan wajib dan standar pelayanan minimal

Mengacu pada ketentuan Pasal 11 ayat (2) UU 22 Tahun 1999, bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten/Kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri, dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi, dan tenaga kerja. Kemudian dalam penjelasan ditegaskan bahwa untuk menghindari terjadinya kekosongan penyelenggaraan pelayanan mendasar kepada masyarakat, daerah kabupaten dan daerah kota wajib melaksanakan kewenangan dalam bidang tertentu sesuai dengan kondisi daerahnya. Selanjutnya dalam ketentuan pasal 2 ayat (4) huruf (b) PP Nomor 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Propinsi sebagai daerah Otonom, penetapan pedoman untuk menentukan standar pelayanan minimal dalam bidang yang wajib dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota. Sedangkan dalam pengelolaan keuangan daerah ketentuan PP Nomor 105 Tahun 2000 jo Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002, APBD disusun dengan pendekatan kinerja, yaitu suatu system anggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja atau output dari perencanaan alokasi biaya atau input yang ditetapkan.(Jurnal Otonomi Daerah Vol.III No.1 Agustus 2003)

2.8. Implementasi kebijakan keuangan daerah

Wujud penting dari pelaksanaan desentralisasi fiscal adalah pemberian sumber-sumber penerimaan daerah yang dapat digali dan digunakan sendiri sesuai dengan potensinya masing- masing. Kewenangan daerah untuk menarik pajak dan retribusi diatur dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 yang merupakan penyempurnaan dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 yang ditindaklanjuti peraturan pelaksanaannya dengan Peraturan Pemerintah Nomor 65 tahun 2001 dan Peraturan Pemerintah Nomor 66 tahun 2001. Berdasarkan Undang-Undang dan PP ini, daerah diberikan kewenangan untuk memungut 11 jenis pajak dan 28 jenis retribusi. Penetapan jenis pajak dan retribusi tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa jenis pajak dan retribusi tersebut secara umum dipungut di hampir semua daerah dan merupakan jenis pungutan yang secara teoritis dapat dilaksanakan.


(39)

20 2.8.1. Dana perimbangan

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 sudah mengatur tentang bagian daerah dalam bentuk bagi hasil penerimaan, yang mengacu pada pendekatan potensi daerah. Bentuk system bagi tersebut sangat berpotensi mempertajam ketimpangan horizontal yang dialami antara daerah penghasil dan non penghasil. Hal ini disebabkan hanya beberapa daerah di Indonesia yang memiliki potensi sumber daya alam secara signifikan, misalnya: minyak bumi dan gas alam, pertambangan dan kehutanan. Demikian juga dengan potensi penerimaan daerah dari Pajak Bumi dan Bangunan, BPHTB, dan PPh perseorangan.

2.8.2. Pengelolaan keuangan daerah

Imp lementasi prinsip-prinsip good governance dalam pengelolaan keuangan daerah sudah diatur dalam PP 105 tahun 2000 sebagai penjabaran lebih lanjut dari UU Nomor 25 Tahun 1999, telah mengatur secara jelas mengenai pengelolaan keuangan daerah yaitu:

a. Perencanaan: penganggaran berdasarkan pendekatan kinerja.

b. Pelaksanaan: penatausahaan berdasarkan standar akuntansi keuangan pemerintah daerah.

c. Pertanggungjawaban keuangan kepala daerah terdiri dari Perhitungan APBD, Nota Perhitungan APBD, Laporan Aliran Kas, dan Neraca.

2.9. Konsep pembangunan berkelanjutan dan good governance

2.9.1. Pembangunan berkelanjutan

Pakar lingkungan, Gordon Conway (2000) memberikan beberapa indikator tentang pembangunan berkelanjutan antara lain:

(i) Produktivitas (diukur dengan mengunakan terminologi hasil atau pendapatan bersih),

(ii) Stabilitas dari hasil atau pendapatan bersih,

(iii) Keberlanjutan dari hasil atau pendapatan bersih, dan (iv) Pemerataan dalam terminologi distribusi pendapatan.

Diseminasi pembanguan berkelanjutan ini menjadi sangat penting karena pemerintah selama ini masih kurang memperhatikan implementasi pembangunan berkelanjutan.


(40)

Misalnya dalam penghitungan Produk Domestik Bruto, pemerintah masih memakai metode konvensional atau kalaupun ada masih dalam bentuk studi. Secara umum konsep pembangunan berkelanjutan sudah mulai dipakai oleh World Commision on Environment

and Development (The Brundtland Commision Report of Our Future) tahun 1987.


(41)

22

Gambar 4. Pembangunan regional dalam perspektif linkage development & reform

antara rural dan urban

Sumber: Materi Kuliah Perencanaan Pembangunan Regional oleh Dr. Ir. H. R. Sunsun Saefulhakim, MAgr.

Struktur Keterkaitan

Tumbuh

Yes

No Linkage

Developme

Pola Keterkaitan

Asymmetric Symmetric

Proses Involutif

Linkages Reform

Proses Eksploratif

Pembangunan Tidak Berimbang yan g Saling Melemakan dan

Tidak Berkelanjutan

Pembangunan Berimbang, Saling Memperkuat dan


(42)

2.9.2. Good governance

Walaupun istilah good governance saat ini sudah semakin mengemuka dan sudah menjadi syarat penting penyelenggaraan pemerintahan, harus pula diakui bahwa istilah dan konsep good governance merupakan hal baru bagi bangsa Indonesia. Bahkan untuk menemukan padanan katanya dalam Bahasa Indonesia pun cukup sulit. Memberikan definisi yang baku untuk istilah tersebut juga bukan merupakan pekerjaan yang mudah. Meskipun demikian, secara umum good governance dapat dipahami sebagai tata cara penyelenggaraan pemerintahan yang baik yang didukung oleh tiga pilar utama yakni lembaga lembaga penyelenggara pemerintah (public governance), pihak swasta/dunia usaha (corporate governance), dan masyarakat sipil (civil society) di mana hubungan di antara ketiganya dan aturan main yang ada di dalamnya harus lahir dari kesepakatan melalui cara-cara yang demokratis.


(43)

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Kerangka Metodologis

Kerangka metodologis penelitian, bahwa ada tiga komponen utama yang saling terkait (lihat gambar 4. di bawah): 1. komponen kinerja pembangunan, 2. tipologi permasalahan daerah dan 3. struktur penganggaran daerah. Dalam kinerja pembangunan ada variabel/indikator sebagai reprensentasi optimalnya performa pembangunan antara lain: pertumbuhan produk ekonomi/produk domestik regional bruto. Sedangkan komponen tipologi permasalahan daerah direpresentasikan oleh variabel pokok yang merupakan pilar pembangunan yaitu variabel pendidikan. Dalam penelitian ini indikator pendidikan direpresentasikan oleh variabel tingkat buta huruf dari kabupaten/kota.

Gambar 5. Pola keterkaitan k inerja pembangunan Kinerja Pembangunan:

Pertumbuhan Ekon.

Tipologi permasalahan Daerah:

Tingkat Buta Huruf

Struktur Penganggaran Daerah:

Rasio Pengeluaran Pendidikan APBD


(44)

Untuk mempresentasikan indikator kesehatan ditunjukkan oleh variabel balita kurang gizi di tingkat kabupaten/kota. Komponen berikutnya dari pola keterkaitan kinerja pembangunan tersebut adalah komponen struktur penganggaran daerah, terutama yang berkaitan dengan struktur pengeluaran untuk bidang pendidikan. Pada komponen ini melihat bagaimana rasio pengeluaran di bidang pendidikan dibandingkan dengan total pengeluaran pembangunan. Variabel ini sangat penting dalam upaya pemerintah untuk mendorong kemajuan di bidang pendidikan terutama untuk menurunkan tingkat buta huruf dan meningkatkan kesehatan masyarakat yang pada gilirannya akan mengoptimalkan kinerja pembangunan.

3.2. Analisis Tabulasi

Untuk menganalisis struktur dan pertumbuhan perekonomian, struktur penerimaan dan pengeluaran APBD kabupaten/kota digunakan analisis tabulasi dan analisis deskriptif. Analisis deskriptif untuk struktur perekonomian dapat menguraikan kontribusi sektor dalam kabupaten/kota sehingga dapat dilihat sektor mana saja yang mempunyai peran yang dominan di kabupaten/kota tersebut. Demikian juga analisis deskriptif/struktur untuk melihat kontribusi penerimaan dan pengeluaran APBD kabupaten/kota terhadap total penerimaan dan pengeluaran dari seluruh kabupaten/kota dalam propinsi.

3.3. Analisis Pengembangan Sektor Prioritas

Untuk mengamati dan mengkaji sektor-sektor apa saja yang menjadi prioritas untuk dikembangkan, digunakan Kuosien Lokasi (LQ= location quotient). Pada hakikatnya, metode ini menampilkan perbandingan relatif antara kemampuan suatu sektor di wilayah yang diamati dengan kemampuan sektor yang sama pada wilayah yang lebih besar. Misalnya kemampuan sektor industri di tingkat wilayah kabupaten di bandingkan dengan kemampuan sektor yang sama untuk wilayah propinsi.

Rumus LQ adalah sebagai berikut:

X X

x x LQ

i j ij ij

/ /


(45)

26

LQij = kuosien lokasi untuk sektor i di kabupaten/kota

xij = output sektor i di kabupaten/kota

xj = total output kabupaten/kota

Xi = output sektor i propinsi

X = total output propinsi

Kriteria yang dipakai dalam menentukan model LQ adalah sebagai berikut:

a. Jika LQ > 1, maka sektor dari wilayah tersebut selain dapat memenuhi kebutuhan wilayah tersebut, juga dapat melakukan ekspor untuk meme nuhi wilayah lain. b. Jika LQ = 1, maka output dari sektor tersebut hanya cukup memenuhi kebutuhan

wilayah sendiri.

c. Jika LQ < 1, maka sektor tersebut belum mampu memenuhi kebutuhan

wilayahnya, sehingga harus dan cenderung melakukan impor dari wilayah lain.

3.4. Analisis Tingkat Ketimpangan Wilayah

Untuk mengukur ketimpangan antar wilayah/daerah biasanya digunakan Indeks Williamson (IWS). Kriteria pengukurannya, jika semakin tinggi indeksnya, maka kesenjangan antar wilayah semakin besar. Sebaliknya, jika semakin kecil indeksnya, maka kesenjangan semakin kecil. Namun ada kelemahan mendasar dari indeks ini, yaitu mengabaikan pertumbuhan yang diakibatkan oleh adanya keterkaitan antar wilayah. Rumus indeks Williamson adalah sebagai berikut:

(

)

y n f y y

V i

i i

w

= −

= 1

2

……….…. (2)

keterangan:

Vw= Indeks Williamson

yi = pendapatan perkapita kabupaten ke-i

y= pendapatan perkapita propinsi fi = jumlah penduduk kabupaten ke- i


(46)

3.5. Analisis Keterkaitan

Untuk memperoleh gambaran keterkaitan faktor alokasi penganggaran dan tipologi permasalahan daerah dan keterkaitan variabel kinerja pembangunan dengan kedua faktor tersebut maka digunakan analisis korelasi dan regresi. Untuk mendapatkan korelasi antar variabel baik faktor alokasi penganggaran dan tip ologi permasalahan daerah dan keterkaitan variable kinerja pembangunan dengan variable tersebut, digunakan analisis koefisien korelasi Pearson atau disebut juga koefisien korelasi sampel (Walpole 1982). Adapun rumus ukuran korelasi ini adalah sebagai berikut:

            −               −             − =

= = = = = = 2 1 2 1 2 1 2

1 1 1

i n i i n i n i i i n i n i i n i i i i y y n x x n y x y x n

r …...(3)

Keterangan:

xi = variabel kinerja pembangunan/pertumbuhan ekonomi

yi = variabel tipologi permasalahan daerah dan variabel alokasi pengeluaran anggaran untuk pendidikan

Di samping menggunakan analisis korelasi, model utama dalam penelitian ini untuk memperoleh gambaran keterkaitan kinerja pembangunan dengan variable alokasi penganggaran dan variable tipologi permasalahan daerah digunakan Spatial Auto

Regression Model (S AR) dalam bentuk regresi logaritma natural (Ln). Persamaan model


(47)

28

LnYr = ß0 + ß1WLnYr + ? ßi Ln X ri +

e

r

... (4)

Keterangan:

LnYr = variabel kinerja pembangunan (pertumbuhan ekonomi) dengan skala logaritma

natural

LnXi = variabel struktur penganggaran untuk pengeluaran pendidikan variabel tipologi permasalahan daerah untuk tingkat buta huruf dengan skala logaritma natural W = matriks kontiguitas berdasarkan jarak

3.6. Cakupan Wilayah Penelitian, Data dan Sumber Data

Kajian/penelitian ini mempunyai cakupan wilayah Jawa Barat dan Banten. Data dan informasi yang digunakan berupa data sekunder yang meliputi:

a. Data Produk Domestik Regional Bruto kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat dan Banten bersumber dari Kantor BPS Jawa Barat dan Banten.

b. Data Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota di Jawa Barat dan Banten bersumber dari Kantor Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Propinsi Jawa Barat dan Propinsi Banten.

c. Data Indeks Pembangunan Manusia dan Indeks Kemiskinan Manusia kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat dan Banten bersumber dari BPS Pusat. d. Data jarak antar kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat dan Banten bersumber


(48)

IV. GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT DAN PROPINSI BANTEN

4.1. Jawa Barat

4.1.1. Sekilas Jawa Barat

Perkembangan Sejarah menunjukkan bahwa Propinsi Jawa Barat merupakan Propinsi yang pertama dibentuk di wilayah Indonesia (staatblad Nomor : 378). Propins i Jawa Barat dibentuk berdasarkan UU No.11 Tahun 1950, tentang Pembentukan Propinsi Jawa Barat. Selama lebih kurang 50 tahun sejak pembentukannya, wilayah Kabupaten/Kota di Jawa Barat baru bertambah 5 wilayah, yakni Kabupaten Subang (1968), Kota Tangerang (1993), Kota Bekasi (1996), Kota Cilegon dan Kota Depok (1999). Padahal dalam kurun waktu tersebut telah banyak perubahan baik dalam bidang pemerintahan, ekonomi, maupun kemasyarakatan.

Dalam kurun waktu 1994 –1999 secara kuantitatif jumlah wilayah pembantu gubernur tetap 5, kabupaten tetap 20, kota bertambah dari 5 pada tahun 1994 menjadi 8 pada tahun 1999. Kota administratif berkurang dari 6 menjadi 4, karena kotif Cilegon dan Depok pada tahun 1999 berubah status menjadi kota otonom. Dengan ditetapkannya UU No.23 Tahun 2000, wilayah administrasi pembantu gubernur wilayah I Banten resmi ditetapkan menjadi Propinsi Banten. Dengan demikian saat ini Jawa Barat terdiri dari 16 Daerah Kabupaten, 6 Daerah Kota, 447 Kecamatan, 5.347 Desa dan 399 Kelurahan.

Jawa Barat merupakan salah satu Propinsi di Indonesia yang memiliki alam dan pemandangan yang indah serta memiliki berbagai potensi yang dapat diberdayakan, antara lain menyangkut Sumber Daya Air, Sumber Daya Alam dan Pemanfaatan Lahan, Sumber Daya Hutan, Sumber Daya Pesisir dan Laut serta Sumber Daya Perekonomian.


(49)

30

Propinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5°50' - 7°50' LS dan 104°48' - 104°48 BT dengan batas-batas wilayahnya sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa bagian barat dan DKI Jakarta di utara, sebelah timur berbatasan dengan Propinsi Jawa Tengah, antara Samudra Indonesia di Selatan dan Selat Sunda di barat. Dengan daratan dan pulau-pulau kecil (48 Pulau di Samudera Indonesia, 4 Pulau di Laut Jawa, 14 Pulau di Teluk Banten dan 20 Pulau di Selat Sunda), luas wilayah Jawa Barat 44.354,61 Km2 atau 4.435.461 Ha. Kondisi geografis yang strategis ini merupakan keuntungan bagi daerah Jawa Barat terutama dari segi komunikasi dan perhubungan. Kawasan utara merupakan daerah berdatar renda h, sedangkan kawasan selatan berbukit-bukit dengan sedikit pantai serta dataran tinggi bergunung- gunung ada di kawasan tengah.

Topografi

Ciri utama daratan Jawa Barat adalah bagian dari busur kepulauan gunung api (aktif dan tidak aktif) yang membentang dari ujung utara Pulau Sumatera hingga ujung utara Pulau Sulawesi. Daratan dapat dibedakan atas wilayah pegunungan curam di selatan dengan ketinggian lebih dari 1.500 m di atas permukaan laut, wilayah lereng bukit yang landai di tengah ketinggian 100 – 1.500 m dpl, wilayah dataran luas di utara ketinggian 0 – 10 m dpl, dan wilayah aliran sungai.

Iklim

Iklim di Jawa Barat adalah tropis, dengan suhu 9 0 C di Puncak Gunung Pangrango dan 34 0 C di Pantai Utara, curah hujan rata-rata 2.000 mm per tahun, namun di beberapa daerah pegunungan antara 3.000 sampai 5.000 mm per tahun.

Populasi

Berdasarkan hasil Sensusnas tahun 1999 jumlah penduduk Jawa Barat setelah Banten terpisah berjumlah 34.555.622 jiwa. Pada tahun 2000 berdasarkan sensus penduduk meningkat menjadi 35.500.611 jiwa, dengan kepadatan penduduk


(50)

sebesar 1.022 jiwa per Km2. Sedangkan laju pertumbuhan penduduk selama dasawasra 1990 – 2000 mencapai angka 2,17 persen.

Sosial Budaya

- Masyarakat Jawa Barat di kenal sebagai masyarakat yang agamis, dengan kekayaan warisan budaya dan nilai- nilai luhur tradisional, serta memiliki prilaku sosial yang berfalsafah pada silih asih, silih asah, silih asuh, yang secara harfiah berarti saling mengasihi, saling memberi pengetahuan dan saling mengasuh diantara warga masyarakat.

- Tatanan kehidupannya lebih mengedepankan keharmonisan seperti tergambar pada pepatah; Herang Caina beunang laukna yang berarti menyelesikan masalah tanpa menimbulkan masalah baru atau prinsip saling menguntungkan.

- Masyarakat Jawa Barat memiliki komitmen yang kuat terhadap nilai- nilai kebajikan. Hal ini terekspresikan pada pepatah ulah unggut kalinduan, ulah gedag

kaanginan; yang berarti konsisten dan konsekuen terhadap kebenaran serta

menyerasian antara hati nurani dan rasionalitas, seperti terkandung dalam pepatah

sing katepi ku ati sing kahontal ku akal, yang berarti sebelum bertindak tetapkan

dulu dalam hati dan pikiran secara seksama.

- Jawa Barat di lihat dari aspek sumber daya manusia memiliki jumlah penduduk terbesar di Indonesia dan sebagai Propinsi yang mempunyai proporsi penduduk dengan tingkat pendidikan, jumlah lulusan strata 1, strata 2 dan strata 3, terbanyak dibandingkan dengan propinsi lain.

Sumber : Peraturan Daerah Propinsi Jawa Barat No 01 tahun 2001 tentang Rencana Strategis Propinsi Jawa Barat

4.1.2. Repetada Jawa Barat

Berdasarkan landasan operasional GBHN Tahun 1999-2004 (Tap MPR RI No.IV/MPR/1999), bahwa Program Pembangunan Lima Tahunan (PROPENAS) perlu dirinci dalam Rencana Pembangunan Tahunan (REPETA), yang memuat Anggaran


(51)

32

Dewan Perwakilan Rakyat. Selanjutnya, berdasarkan Undang-undang RI No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000-2004, tiap-tiap lembaga tinggi Negara, departemen dan lembaga pemerintah non departemen perlu menyusun Rencana Strategis (Renstra). Sedangkan bagi Pemerintah Daerah perlu menyusun Program Pembangunan Daerah (PROPEDA) yang mengacu pada PROPENAS dan mengacu pula pada PP No.108 Tahun 2000 tentang Tata cara Pertanggungjawaban Kepala Daerah yang memberi arahan untuk dibuatnya RENSTRA atau dokumen perencanaan lainnya. Propeda tersebut disahkan oleh DPRD dan Kepala Daerah. Selanjutnya dokumen tersebut dijadikan tolok ukur dalam menila i pertanggungjawaban Kepala Daerah yang disampaikan kepada DPRD.

Menindaklanjuti perundang- undangan tersebut, dan untuk mengarahkan seluruh potensi dan dimensi pembangunan di Jawa Barat, maka telah ditetapkan Perda Prov.Jabar No. 1 Tahun 2001 tentang Renstra Provinsi Jawa Barat Tahun 2001-2005 yang mengacu pada PROPEDA. Selanjutnya, Renstra tersebut dapat dijadikan bahan rujukan oleh Perangkat Daerah dalam menyusun rencana strategis masing- masing. Sebagai tindaklanjut disusunnya dokumen-dokumen tersebut, maka disusunlah Rencana Pembangunan Tahunan Daerah (REPETEDA) Provinsi Jawa Barat yang untuk sekarang telah mencapai tahak ke-2 (Tahun 2002). Repeteda ini merupakan tindaklanjuit dari PROPEDA dan RENSTRA dan untuk REPETADA Tahun 2002 telah disahkan dengan Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 050/Kep.1019-Bapeda/2001. Keseluruhan isinya mengakomodasikan kegiatan tahunan Restra Dinas/Badan/Lembaga (DIBALE) dan juga telah mengakomodasikan hasil kesepakatan antara Gubernur bersama Bupati/walikota se-Jawa Barat pada Forum Koordinasi dan konsultasi Pembangunan Tahun 2001.

4.1.3. Visi Jawa Barat

Perubahan paradigma penyelenggaraan pemerintahan dilaksanakan melalui pembaharuan mekanisme perencanaan pembangunan daerah dengan melibatkan semua komponen masyarakat dalam setiap tahapan pelaksanaan. Pelibatan potensi masyarakat tersebut antara lain ditempuh melalui berbagai dialog, seperti Dialog Sunda 2010, Dialog


(52)

Jawa Barat 2010, Dialog Rencana Regional Makro, Dialog Rencana Tata Ruang Wilayah, Dialog Pemberdayaan Ekonomi Rakyat, dan Dialog Delapan Kawasan Andalan yang diikuti oleh unsur masyarakat, pakar Penguruan Tinggi, dan Birokrat yang me miliki kepedulian terhadap kesejahteraan masyarakat. Di samping itu dilaksanakan pula forum koordinasi pembangunan sebagai formulasi baru RAKORBANG dengan nuansa dan semangat yang baru, serta diawali dari motivasi untuk lebih menyerap aspirasi Kabupaten/Kota dan masyarakat. Setelah mengalami proses yang panjang dan telaahan yang mendalam dari berbagai pihak terkait dalam dialog-dialog interaktif,maka diformulasikan visi Jawa Barat yaitu:

JAWA BARAT DENGAN IMAN DAN TAKWA SEBAGAI PROPINSI TERMAJU DI INDONESIA DAN MITRA TERDEPAN IBU KOTA NEGARA TAHUN 2010

Pada penetapan visi tersebut didasarkan kepada beberapa pengertian yaitu untuk mencapai cita-cita Bangsa Indonesia,seluruh lapisan masyarakat Jawa Barat terutama Penyelenggara Negara, para Elit Politik,para Cendekiawan dan Pemuka Masyarakat, harus bersatu dan bekerja keras untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Jawa Barat. Jawa Barat sudah selayaknya berupaya menjadi Propinsi ternaju di Indonesia mengingat banyaknya potensi baik berskala daerah maupun berskala nasional. Seperti; potensi industri strategis, potensi perguruan tinggi, dukungan sumber daya alam, faktor iklim dan budaya gotong royong dan ditunjang oleh kehidupan masyarakat yang agamis.

Pengertian 'termaju' memberi implikasi munculnya ketergantungan propinsi-propinsi lain kepada Jawa Barat. Sedangkan ketergantungan Propinsi Jawa Barat kepada propinsi lain diusahakan sekecil mungkin. Propinsi Jawa Barat selama ini dijadikan sebagai penyangga Ibu Kota Negara dengan segala konsekuensinya harus bergeser dan menjadi 'mitra ' terdepan yang dilandasi dengan asas kesetaraan dan kesepahaman dalam arti tidak lagi terekploitasi segala potensinya.

4.1.4. Indikator Makro


(53)

34

ekonomi makro dan sosial makro yang dijabarkan dalam tiga belas item yang semuanya bermuara pada indikator Indek Pengembangan Manusia (IPM)

Indikator IMP tersebut diarahkan untuk mencapai kategori maju pada skala yang telah ditetapkan oleh UNDP, yang dicirikan dengan pencapaian IPM sebesar 80. Kondisi inilah yang merupakan indikator pencapai visi Jawa Barat Dengan Iman Dan Takwa Sebagai Propinsi Di Indonesia Dan Mitra Terdepan Ibu Kota Negara Tahun 2010.

Pencapaian indikator makro tidak hanya merupakan kinerja pemerintah daerah pemerintah propinsi Jawa Barat saja. Melainkan merupakan kinerja bersama antara Pemerintah, Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten dan Kota, masyarakat serta pihak swasta. Hal ini terkait dengan paradigma baru Pemerintah Daerah sebagaimana diamanatkan Undang- undang Nomor 22 Tahun 1999 dan PP 25 Tahun 2000.

Tabel 1. Indikator M akro Pencapaian Visi dan Misi Jawa Barat

Sampai dengan tahun 2005

N O I N D I KATOR M AKRO Sa t u a n 2 0 0 3 2 0 0 4 2 0 0 5

1 I ndek s Pem bangunan 0 -1 0 0 7 2 . 3 7 7 3 . 5 3 7 4 . 5 6 2 Jum lah Penduduk Juta Jiwa 3 7 . 9 3 8 . 8 39.6 3 Laj u Per t um buhan Penduduk per sen 2 . 2 9 2 . 2 2 2 . 1 6 4 Jum lah Penduduk Miskin Juta Jiwa 9 . 2 8 9 . 2 5 9.21 5 PDRB ( Berlaku) Tr ily un Rupiah 1 81.7 1 9 9 . 6 2 1 9 . 4

6 I nflasi ( Propenas) Per sen 6 6 6

7 Laj u Per t um buhan Ek onom i ( Konst an 93)

Per sen 4 . 6 0 4 . 6 2 4 . 6 5

8 PDRB/ Kapit a ( Ber lak u) Jut a Rupiah 4 . 7 8 5 . 1 4 5.53 9 I nv est asi ( 1) ( Ber lak u) Tr ily un Rupiah 5 4 . 0 6 3 . 5 74.7 1 0 Laj u I n v est asi ( Kon stan 93) per sen 1 2 1 2 1 2

1 1 Konsum si Pem er int ah ( G) ( Ber laku)

Tr ily un Rupiah 1 2 . 9 1 4 . 1 15.2

1 2 Proporsi Jum lah Penduduk Juta Jiwa 1 5 . 4 3 1 6 . 0 9 1 6 . 7 9 1 3 Jum lah Penduduk Bekerj a per sen 4 0 . 6 4 4 1 . 4 6 4 2 . 3 4

1 4 Jum lah Penganggur an Ter buk a

Juta Jiwa 0 . 7 2 2 0.6 15 0 . 5 2 5

Sumber : Perda Propinsi Jawa Barat No. 1 tahun 2001 tentang Rencana Strategis Tahun 2001-2005


(1)

(2)

Lampiran 67.

Kondisi perumahan menurut Kabupaten/Kota Propinsi Jawa Barat dan Banten tahun 1999

Kab/Kot

1996

1999

1996

1999

1996

1999

Jawa Barat

41,8

37,9

10,4

7,1

22,8

20,8

01. Pandeglang

56,7

47,4

18,0

11,4

57,2

60,6

02. Lebak

38,8

39,4

7,1

9,3

55,7

50,6

03. Bogor

39,0

41,0

5,0

2,0

15,1

10,8

04. Sukabumi

34,5

43,4

3,8

2,7

24,4

30,5

05. Cianjur

39,6

37,8

0,5

0,3

28,6

25,7

06. Bandung

35,0

29,2

0,2

0,6

9,4

6,3

07. Garut

30,2

35,1

0,6

0,5

15,0

12,2

08. Tasikmalaya

35,5

20,0

2,0

1,1

10,5

15,0

09. Ciamis

48,8

39,3

8,2

6,6

21,3

8,4

10. Kuningan

41,0

34,7

5,9

3,0

18,7

15,0

11. Cirebon

45,4

43,1

23,7

12,5

39,8

36,7

12. Majalengka

40,7

46,5

7,8

6,0

26,6

25,1

13. Sumedang

47,2

40,9

0,6

0,0

15,2

15,9

14. Indramayu

48,9

40,3

34,0

24,2

48,7

39,4

15. Subang

39,1

29,3

24,9

13,5

35,9

31,3

16. Purwakarta

40,0

46,9

3,3

2,9

17,9

17,5

17. Karawang

39,3

29,9

41,6

30,0

36,1

39,6

18. Bekasi

45,8

48,8

12,9

28,4

5,6

12,0

19. Tangerang

29,8

22,7

20,0

13,6

17,3

21,2

20. Serang

41,4

36,1

16,5

11,2

61,5

56,3

71. Bogor

63,0

31,1

0,5

0,2

3,9

45,5

72. Sukabumi

54,9

52,8

0,7

0,7

0,5

2,4

73. Bandung

64,6

66,2

0,7

0,5

0,6

0,2

74. Cirebon

52,9

82,2

17,2

3,0

37,7

3,3

75. Tangerang

40,2

32,2

4,2

1,4

3,5

6,7

76. Bekasi

25,1

0,7

0,3

Sumber: Laporan Pembangunan Manusia, Kerjasama BPS, Bappenas dan UNDP Tahun 2001

Rumah tangga yang mempunyai akses terhadap air bersih

(%)

Rumah tangga yang tinggal di rumah

berlantai tanah

(%)

Rumah tangga tanpa akses terhadap sanitasi

(%)


(3)

158

Lampiran 72. Output pengolahan keterkaitan kinerja

pembangunan

Hasil Olah dengan Software Statistica

Multiple Regression Results

Dependent: LnYr Multiple R = .84603104 F = 18.46723

R²= .7157 6852 df = 3,22

No. of cases: 26 adjusted R²= .67700969 p = .000003

Standard error of estimate: .506523060

Intercept: 3.181963888 Std.Error: 1.395254 t( 22) = 2.2806 p = .0326

WLnYr beta=-.14 LnDidik beta=.271 LnBH beta=-.59 (significant betas are highlighted)

Multiple Regression Results (Step 2)

Dependent: LnYr Multiple R = .83898919 F = 27.33861

R²= .70390286 df = 2,23

No. of cases: 26 adjusted R²= .67815529 p = .000001

Standard error of estimate: .505623979

Intercept: 1.944886595 Std.Error: .5286279 t( 23) = 3.6791 p = .0012

LnBH beta=-.65 LnDidik beta=.317 (significant betas are highlighted)

Welcome to Minitab, press F1 for help.

Regression Analysis: LnYr versus WlnYr, LnDidik, LnBH

The regression equation is

LnYr = 3.18 - 1.12 WlnYr + 0.528 LnDidik - 0.778 LnBH

Predictor Coef SE Coef T P

Constant 3.182 1.395 2.28 0.033

WlnYr -1.122 1.171 -0.96 0.348

LnDidik 0.5282 0.2654 1.99 0.059

LnBH -0.7781 0.1856 -4.19 0.000


(4)

Analysis of Variance

Source DF SS MS F P

Regression 3 14.2142 4.7381 18.47 0.000

Residual Error 22 5.6444 0.2566

Total 25 19.8586

Source DF Seq SS

WlnYr 1 7.4300

LnDidik 1 2.2734

LnBH 1 4.5108

Unusual Observations

Obs WlnYr LnYr Fit SE Fit Residual St Resid

17 1.25 -1.4974 0.2627 0.1804 -1.7601 - 3.72R

R denotes an observation with a large standardized residual.

Correlations: LnYr, LnDidik

Pearson correlation of LnYr and LnDidik = 0.726

P-Value = 0.000

Correlations: LnYr, LnBH

Pearson correlation of LnYr and LnBH = -0.817

P-Value = 0.000

Dengan N=25

Multiple Regression Results

Dependent: LnYr Multiple R = .91343881 F = 35.26299

R²= .83437045 df = 3,21

No. of cases: 25 adjusted R²= .81070909 p = .000000

Standard error of estimate: .315960038

Intercept: 2.230342330 Std.Error: .8848521 t( 21) = 2.5206 p = .0199

WLnYr beta=-.09 LnDidik beta=.419 LnBH beta=-.58 (significant betas are highlighted)


(5)

160

Multiple Regression Results (Step 2)

Dependent: LnYr Multiple R = .91077106 F = 53.51762

R²= .82950393 df = 2,22

No. of cases: 25 adjusted R²= .81400429 p = .000000

Standard error of estimate: .313197830

Intercept: 1.587180259 Std.Error: .3325564 t( 22) = 4.7727 p = .0001

LnBH beta=-.62 LnDidik beta=.450


(6)

2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023

Nilai Ekonomi Total Skenario A 116,42 108,30 107,43 105,40 105,31 107,23 107,34 108,66 109,16 110,75 112,87 114,39 119,39 123,03 127,14 132,52 138,01 144,26 151,84 130,68 148,78 Nilai Ekonomi Total Skenario B 135,45 128,33 123,39 119,21 116,02 114,07 112,35 111,57 110,94 115,44 110,83 111,00 112,10 112,65 113,13 113,39 113,23 112,42 110,74 107,61 102,63 Nilai Ekonomi Total Skenario A 116,42 108,3 107,43 105,4 105,31 107,23 107,34 108,66 109,16 110,75 112,87 114,39 119,39 123,03 127,14 132,52 138,01 144,26 151,84 130,68 148,78 Nilai Ekonomi Total Skenario B 135,45 128,33 123,39 119,21 116,02 114,07 112,35 111,57 110,94 115,44 110,83 111 112,1 112,65 113,13 113,39 113,23 112,42 110,74 107,61 102,63

GRAFIK SELISIH MANFAAT

0 20 40 60 80 100 120 140 160

2003 2005 2007 2009 2011 2013 2015 2017 2019 2021 2023

Tahun

Nilai Ekonomi Total

Nilai Ekonomi Total Skenario A Nilai Ekonomi Total Skenario B