Dampak Keputusan Menperindag No. 11 Tahun

49 Kepmenperindag. No. 11 Tahun 1996 terkait dengan Perdagangan Kakao. Kebijakan tersebut menjadi salah satu pemicu meningkatnya eksport kakao Indonesia, termasuk ke Malaysia.

3.4.1.2 Dampak Keputusan Menperindag No. 11 Tahun

1996 terhadap Perdagangan Kakao Berkaitan dengan perdagangan kakao, isu yang mengemuka sehubungan dengan beroperasinya perusahaan PMA sebagai ekses terbitnya Keputusan Menperindag No. 11 Tahun 1996 adalah perusahaan PMA menguasai pasar eksport kakao Indonesia. Dukungan penguasaan pangsa pasar yang besar dalam perdagangan dalam negeri memungkinkan perusahaan-perusahaan PMA tersebut mendikte harga domestik untuk keperluan eksport. Sejak beroperasi pada tahun 1996, perusahaan-perusahaan eksportir kakao dalam rangka penanaman modal asing PMA cenderung meningkat dalam jumlah dan penguasaan pasar. Dengan dukungan keuangan yang memadai, perusahaan-perusahaan tersebut diindikasikan memiliki keunggulan bersaing dibandingkan perusahaan eksportir nasional. Perusahaan PMA tersebut juga dapat menikmati harga eksport yang lebih tinggi dibandingkan perusahaan eksportir nasional karena mempunyai keunggulan dalam jaringan pemasaran eksport. Keunggulan ini menyebabkan perusahaan eksportir kakao dalam rangka PMA mendesak eksistensi perusahaan eksportir kakao nasional. Dampak yang terjadi akibat persaingan ini perusahaan eksportir kakao nasional hanya berperan sebagai pedagang yang memasok kakao kepada perusahaan dalam rangka PMA. Perusahaan nasional kini hanya beroperasi pada beberapa aspek pemasaran yang masih tidak mengalami perubahan nyata, seperti penentuan wilayah dan segmen pemasaran, harga dan mutu kakao, dan saluran pemasaran. Rata-rata perusahaan pengolahan kakao di Indonesia saat ini beroperasi dalam kondisi under capacity. Saat ini terdapat 15 perusahaan besar pengolah kakao di Indonesia dengan total kapasitas terpasang sebesar 301.000 tontahun. 50 Namun realisasi produksi kakao olahan hanya sebesar 162.000 ton atau sekitar 54 dari total kapasitas terpasang. Berikut tabel kapasitas produksi perusahaan pengolah kakao di Indonesia : Tabel 13 : Perbandingan Kapasitas Terpasang dan Realisasi NO PERUSAHAAN DAERAH KAPASITAS TERPASANG PER TAHUN 000 TON REALISASI PRODUKSI 000 TON 1 GENARAL FOOD INDUSTRIES JAWA BARAT 70 65 2 DAVOMAS ABADI BANTEN 40 20 3 BUMI TANGERANG MESINDOTAMA BANTEN 30 26 4 MAS GANDA BANTEN 7 2.5 5 CACAO WANGI MURNI BANTEN 15 - 6 KAKAO MAS GEMILANG BANTEN 6 2 7 BUDIDAYA KAKAO LESTARI JAWA TIMUR 15 1 8 TEJA SEKAWAN JAWA TIMUR 15 7.5 9 COCOA VENTURES INDONESIA MEDAN 7 6 10 MAJU BERSAMA COCOA INDUSTRY MAKASAR 25 15 11 KOPI JAYA COCOA MAKASAR 10 2 12 UNICOM KAKAO MAKMUR SULAWESI MAKASAR 10 4 13 HOPE INDONESIA MAKASAR 4 2 14 MARS SYMBIOSCIENCE MAKASAR 12 9 15 INDUSTRI KAKAO UTAMA KENDARI 35 - JUMLAH 301 162 Sumber : askindo.org Mengingat dampak yang terjadi sebagai implikasi pelaksanaan Keputusan Menperindag No. 111996 tersebut, ada baiknya bila regulasi ini ditinjau kembali, khususnya tentang wilayah operasi perusahaan dalam rangka PMA. Wilayah operasi perusahaan dalam rangka PMA perlu dibatasi untuk tidak langsung berhubungan dengan petani. Pembatasan wilayah operasi ini dapat menjadi alternatif solusi guna melindungi dan memberdayakan perusahaan 51 eksportir nasional, namun tetap mengedepankan kepentingan petani kakao. Di samping itu, peran serta perusahaan eksportir asing PMA perlu diarahkan agar pelaksanaan pemasaran lebih baik daripada pelaksanaan pemasaran sebelum adanya perusahaan asing. Terakhir, perlu dikembangkan pola kemitraan antara perusahaan asing dengan perusahaan kakao nasional. Pola join operasi atau sistem kuota penjualanpembelian dapat menjadi alternatif solusi kelembagaan dalam rangka kemitraan tersebut.

3.4.1.3 Permasalahan Harga Kakao Fermentasi dan