Kualitas Nutrien Onggok yang Difermentasi Aspergillus niger dengan Penambahan Level Urea dan Zeolit yang Berbeda

ABSTRACT
Quality of Nutrient Cassava Waste Fermented By Aspergillus niger Addition of
Different Level Urea And Zeolite
Purwanti, F.W., A. D. Lubis and E. B. Laconi
The objective of the research was to determine the best level of urea and zeolite
combination on nutrient quality of cassava byproduct that fermented by Aspergillus
niger. The research was conducted at feed science and technology laboratory,
Animal Science Faculty, Bogor Agricultural Universty. The research treatments
were onggok with addition of urea (0, 2.5 and 5%), zeolite (0, 3 and 6%) and mineral
mix (Ramos, 1983) which fermented with Aspergillus niger for six days. Observed
variables were the Retentions of Dry Matter (RDM), organic matter, Ether Extract
(EE), Crude Fiber (CF), Crude Protein (CP) and True Protein (TP). Data were
analyzed by analysis of variance. If there is a significantly different, analyzed
continued by Duncan's multiple range test. Results of the research showed that the
best for crude protein, pure protein, ash, ether extract, crude fiber and RDM were
13.99%, 10.69%, 6.98%, 1.02% 1.70% and 12.26%, respectively. The conclusion is
the addition of urea 6% and zeolite 5% in Onggok that fermented by Aspergillus
niger have the best nutrient quality due to the highest in CP dan TP.
Keywords : Aspergillus niger, fermented, onggok, urea, zeolite

iii


PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pakan menjadi faktor utama usaha peternakan. Tersedianya pakan yang
cukup kualitas, kuantitas dan kontinuitas sangat berpengaruh terhadap keberhasilan
usaha peternakan. Saat ini industri pakan di Indonesia sangat tergantung bahan pakan
impor, padahal Indonesia memiliki banyak sumber pakan yang sangat berpotensi.
Oleh karena itu, perlu adanya penelitian untuk mencari bahan pakan alternatif yang
ketersediaannya melipah, berkualitas dan kontinuitasnya terjamin. Salah satu peluang
bahan pakan alternatif yang bisa dimanfaatkan secara optimal adalah pemanfaatan
limbah industri pertanian.
Onggok merupakan limbah padat agro-industri pembuatan tepung tapioka
yang dapat dijadikan sebagai media fermentasi dan sekaligus sebagai pakan ternak.
Produksi ubi kayu nasional Indonesia pada Desember tahun 2011 mencapai
20.924.159 ton (Departemen Pertanian, 2011). Data singkong tersebut bila
dikonversi menjadi onggok, maka onggok merupakan salah satu limbah industri
yang ketersediaannya melimpah. Setiap ton ubi kayu mengihasilkan 250 kg tapioka
dan 114 kg onggok. Onggok yang tidak dimanfaatkan dapat berpotensi menjadi
polutan yang mengakibatkan masalah lingkungan di daerah sekitar pabrik.
Pengolahan onggok perlu dilakukan agar onggok tidak menjadi masalah bagi

lingkungan. Salah satunya dengan menjadikannya pakan alternatif, namun untuk
menjadikannya pakan perlu dilakukan pengolahan lebih lanjut. Penggunaan onggok
sebagai pakan ternak dihadapkan pada beberapa kendala, antara lain rendahnya nilai
gizi (khususnya protein), untuk itu dicari teknik pengolahan yang dapat
meningkatkan kandungan nutriennya.
Fermentasi onggok bertujuan untuk dapat meningkatkan kandungan nutrien
onggok, sehingga menjadi pakan yang berkualitas. Onggok dapat dijadikan media
fermentasi dikarenakan onggok merupakan bahan yang kaya akan karbohidrat,
namun onggok sebagai media fermentasi memerlukan bahan tambahan untuk
menunjang pertumbuhan kapang. Kapang memerlukan karbohidrat, nitrogen dan
mineral yang cukup untuk dapat tumbuh dan produksi dengan optimal. Kapang
tumbuh dengan cara merombak kandungan nutrisi yang ada pada media tumbuhnya,
oleh karena itu diperlukan tambahan bahan-bahan sumber nitrogen dan mineral
1

untuk memperkaya kandungan onggok sebagai substrat. Kombinasi onggok-zeoliturea yang difermentasi A. niger merupakan salah satu kombinasi yang dapat
meningkatkan kandungan nutrisi dari onggok. Urea merupakan sumber nitrogen
yang dibutuhkan oleh kapang, selanjutnya zeolit merupakan mineral dengan daya
absorben yang tinggi. Berdasarkan penelitian Pitriyatin (2010), kombinasi onggokurea-zeolit yang difermentasi dengan A. niger (cassabio) dan mendapat penambahan
mineral sulfur (Amonium Sulfat) dapat meningkatkan kandungan protein serta

menjadi sumber sulfur bagi asam amino metionin dan sistin.
Mineral dengan formula Ramos et. al.(1983) mempunyai kandungan unsur
Fe, Zn, Mn, Cu dan Mg. Unsur mineral tersebut merupakan unsur yang penting
untuk pertumbuhan A. niger. Penambahan mineral formula Ramos et al. (1983)
perlu ditambahkan untuk kebutuhan mikroba selama proses fermentasi onggok-ureazeolit, akan tetapi belum diketahui kombinasi terbaik dari urea-zeolit setelah
ditambahkan laruran mineral formula Ramos tersebut. Perlu dilakukan lagi penelitian
mengenai level terbaik dari urea dan zeolit yang digunakan untuk meningkatkan
nutrisi onggok. Level urea dan zeolit yang terbaik diharapkan dapat meningkatkan
kualitas nutrisi onggok.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk menguji level terbaik dari urea dan zeolit
terhadap kandungan nutrien onggok-urea-zeolit yang difermentasi Aspergillus niger.

2

TINJAUAN PUSTAKA
Ketersedian Onggok
Indonesia merupakan salah satu penghasil ubi kayu terbesar di dunia.
Berdasarkan data dari Departemen Pertanian (2011) produksi ubi kayu pada
Desember 2011 mencapai 20.924.159 ton. Ubi kayu (Manihot utilissima) dikenal

sebagai salah satu bahan pangan sumber serat. Pengolahan ubi kayu dapat
menghasilkan berbagai produk seperti tepung gaplek, gula cair dan tepung tapioka.
Tepung tapioka dapat digunakan pada industri makanan, pakan ternak,
dekstrin dan bahan baku glukosa. Selain menghasilkan tepung, industri pengolahan
tapioka juga menghasilkan limbah, baik limbah padat maupun limbah cair. Onggok
merupakan salah satu limbah padat agro industri pengolahan ubi kayu menjadi
tepung tapioka, selain kulit ubi kayu. Pengolahan industri tapioka hingga
menghasilkan onggok dapat dilihat pada Gambar 1.
Produksi onggok di Indonesia sangat berlimpah, pada tahun 2010 terjadi
kenaikan angka produksi onggok yaitu sebesar 2.521.249,308 ton (Hidayat, 2010).
Peningkatan produksi onggok sejalan dengan peningkatan produksi tapioka, hal ini
dikarenakan setiap ton ubi kayu mengihasilkan 250 kg tapioka dan 114 kg onggok.
Ketersediaan ubi kayu pada tahun 2011 bila di akumulasi menjadi limbah onggok
dapat menyebabkan ganggu lingkungan (Tabrani et al., 2002). Onggok biasa
dimanfaatkansebagai pakan ternak, bahan baku pembuatan saus tomat,

bahan

penghasil bioetanol dan bahan media pertumbuhan mikroba.
Kualitas Onggok Sebagai Pakan Ternak

Onggok merupakan limbah pertanian yang dijadikan pakan ternak. Onggok
sebagai pakan ternak memiliki kadar protein kasar dan tingginya serat kasar, namun
memiliki kadar karbohidrat mudah larut yang cukup tinggi. Prinsip pengolahan
tapioka (Gambar 1) adalah pemecahan dinding sel, dimana butir pati yang terdapat
didalamnya dapat keluar namun tidak semua pati dapat terlepas. Pati yang tertinggal
menyebabkan onggok memiliki kandungan karbohidrat yang cukup tinggi yaitu 5070% (Anindyawati dan Sukardi, 2001), sehingga dapat dimanfaatkan sebagai media
tumbuh mikroba. Onggok sering dipergunakan sebagai substrat untuk produksi
selulase, amylase, amiloglukosidase, dan angkak.

3

Kandungan zat makanan yang dimiliki onggok adalah protein kasar 1,88%,
serat kasar 15,62%, lemak kasar 0,25%, abu 1,15%, Ca 0,31%, P 0,05% dan bahan
ekstrak tanpa nitrogen (BETN) 81,10% (Wizna et al., 2008). Pada pakan ternak
onggok dipergunakan sebagai salah satu sumber energi, namun mengingat
kandungan serat kasar onggok yang tinggi, onggok tidak dapat digunakan sebagai
pakan ternak unggas. Kualitas dan kuantitas onggok tergantung pada kualitas ubi
kayu yang dijadikan tapioka, jenis ubi kayu, umur panen dan sistem pengolahan.

Singkong

Pengupasan
Pencucian
Pemotongan
Air Sisa Pelarut

Pemarutan

Ampas (Onggok)
Pengambilan Air
Air Sisa

Bubur Singkong

Ampas Basah

Ekstraksi

Belerang

Susu Pati Encer

Pemurnian
Susu Pati pekat
Pengendapan
Pati Basah
Pengeringan 200-230 ˚C
Pengayakan 80 Mesh
Pengemasan
Tapioka
Gambar 1. Alur Proses Pembuatan Tapioka dan Limbah Onggok
Sumber : Prasetyana (2009).

4

Zeolit Alam Secara Umum
Zeolit adalah kristal aluminosilikat terhidrasi yang mengandung kation alkali
atau alkali tanah dalam kerangka tiga dimensi. Zeolit adalah komoditi tambang yang
dapat digunakan sebagai sumber mineral . Mineral ini cukup melimpah di Indonesia
dan mempunyai sifat khas yaitu memiliki daya serap dan kapasitas tukar kation yang
tinggi. Beberapa daerah di Indonesia sangat banyak ditemukan mineral zeolit, seperti
di daerah Jawa Barat (Bayah, Cibinong, Bogor, Sukabumi dan Tasikmalaya) dan

Lampung. Zeolit bukan merupakan mineral tunggal terdiri atas beberapa jenis.
Kandungan mineral zeolit adalah kalsium, natrium, kalium, magnesium, stronsium,
dan barium. Secara umum mineral zeolit adalah senyawa aluminosilikat hidrat
dengan logam alkali (Ming dan Mumpton, 1989).
Bahan tambang zeolit ini mempunyai sifat yang dikenal sebagai penukar
kation, penyerap dan penyaring molekul serta sebagai katalis. Selain mengandung
alkali dan alkali tanah, zeolit alam juga mengandung mineral lain seperti feldspar,
kuarsa dan lainnya. Perbedaan jenis zeolit adalah mempunyai daya serap
(adsorption) molekul yang berbeda-beda secara selektif. Keselektifan ini tergantung
dari struktur masing-masing jenis zeolit (Ginting et al., 2007).
Zeolit dapat menyerap CO, CO2, SO2, H2S, NH3, HCHO, Ar, O2, N2, H2O,
He, H2, Kr, Xe, CH3OH dan gas lainnya. Zeolit mempunyai struktur berongga
biasanya rongga ini diisi oleh air serta kation yang bisa dipertukarkan dan memiliki
ukuran pori tertentu. Oleh karena itu zeolit dapat dimanfaatkan sebagai penyaring
molekuler, senyawa penukar ion, sebagai filter dan katalis (Srihapsari, 2006).
Agustiyani et. al. (2007) yang menyatakan bahwa Zeolit memiliki daya absorben
tinggi dan mampu mengefisienkan nitrifikasi. Efisiensi nitrifikasi oleh zeolit
mencapai 100%.
Pemanfaatan Zeolit sebagai Pakan Ternak
Zeolit klinoptilolit (Na4K4)(Al8Si40O96).24H2O dapat digunakan pada pakan

dan pangan adiktif. Klinoptilolit memiliki banyak pori-pori sehingga mampu
menyerap bau, gas beracun dan ammonia (Polat et al., 2004). Pertukaran ion dan
kemampuan penyerapan dari zeolit dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan efisiensi
penggunaan nitrogen dalam pakan, mengurangi penyakit usus pada anak babi dan
ruminansia, mengendalikan kandungan air dan amonia dalam kotoran ternak,
5

penyaringan air buangan dari industri penetasan, dan untuk menurunkan kandungan
nitrogen dalam pemberian makanan ternak serta air buangan industri peternakan
(Mumpton dan Fishman, 1977). Pemberian zeolit sampai tingkat 8 % dalam ransum
berpengaruh nyata dalam meningkatkan tebal kerabang dan menurunkan kadar lemak
kuning telur (Kurtini, 2006).
Pemanfaatan Urea sebagai Pakan Ternak
Urea (CO(NH2)2) merupakan salah satu sumber non protein nitrogen (NPN)
yang berbentuk kristal putih, bersifat mudah larut dalam air dan mengandung 45%
nitrogen (Parakkasi, 1995). Keuntungan urea diantaranya urea mudah larut dalam air
dan mudah diserap (Poerwanto, 2003). Urea dalam proses fermentasi akan diuraikan
kembali oleh enzim urease menjadi amonia dan karbondioksida, selanjutnya amonia
akan digunakan untuk membentuk asam amino.
Menurut Fardiaz (1992), nitrogen dalam media fermentasi mempunyai fungsi

fisiologis bagi mikroorganisme, yaitu sebagai bahan untuk mensintesis protein, asam
nukleat dan koenzim. Penambahan urea dapat mempengaruhi kadar air bahan pakan.
Air pakan digunakan oleh NH3 hasil proses amoniasi untuk membentuk NH4OH.
Semakin banyak urea yang dipergunakan maka semakin banyak air yang diperlukan
(Andayani dan Yatno, 2001). Lubis (1996) menyatakan bahwa penggunaan urea
dalam proses fermentasi mempengaruhi kandungan protein kasar, protein murni,
serat kasar, lemak kasar, BETN dan bahan kering.
Fermentasi Bahan Pakan
Teknologi biofermentasi dengan menggunakan kapang merupakan suatu
alternatif karena selain dengan melonggarkan ikatan atom hidrogen selulosa dan
melonggarkan ikatan lignosellulosa dengan bantuan enzim sellulotik yang dihasilkan
kapang sehingga pakan berserat juga mampu menghilangkan senyawa beracun dalam
bahan (Jamatun et al., 2000). Fermentasi dapat didefinisikan sebagai perubahan
gradual oleh enzim beberapa bakteri, khamir dan jamur (Hidayat et al. 2006). Proses
fermentasi terjadi melalui serangkaian reaksi biokimiawi yang mengubah bahan
kering bahan menjadi energi (panas), molekul air (H2O) dan CO2. Perubahan bahan
kering dapat terjadi karena pertumbuhan mikroorganisme (bakteri asam laktat),
proses dekomposisi substrat dan perubahan kadar air. Perubahan kadar air terjadi
akibat evaporasi, hidrolisis substrat atau produksi air metabolik (Gervais, 2008).
6


Kadar air mempengaruhi pertumbuhan bakteri dan dinamika yang terjadi selama
proses ensilase karena air dibutuhkan untuk sintesis protoplasma mikroorganisme
dan melarutkan senyawa organik.
Media fermentasi dengan kandungan nutrient yang seimbang diperlukakan
untuk menunjang kapang lebih maksimal dalam memproduksi enzim. Perlu adanya
penambahan bahan-bahan lain yang mampu mencukupi kebutuhan nutrient pada
substrat (media) untuk tumbuh. Penambahan mineral salah satunya untuk menunjang
pertumbuhan kapang dengan memberikan mineral tambahan agar ketersediaan
mineral kapang, dapat terjamin sehingga dapat melakukan metabolismenya dengan
baik dan dapat memproduksi enzim dengan aktivitas terbaik (Thenawidjaja, 1986).
Unsur Fe, Zn, Mn, Cu dan Mg merupakan unsur yang penting untuk pertumbuhan
Aspergilus niger. Mineral dengan formula Ramos et. al. mempunyai kandungan yang
diperlukan oleh Aspergilus niger.
Selama fermentasi, terjadi perubahan terhadap komposisi kimia substrat
(media fermentasi) daiantaranya kandungan asam amino, lemak, karbohidrat, vitamin
dan mineral, selain itu juga terjadi perubahan terhadap pH, kelembaban, aroma dan
beberapa gizi lainnya (Paderson, 1971). Oleh karena itu, feremntasi dapat
meningkatkan palatabilitas pada ternak. Proses fermentasi tidak hanya menimbulkan
efek pengawetan tetapi juga menyebabkan perubahan tekstur, cita rasa dan aroma
bahan pangan yang membuat produk fermentasi lebih menarik, mudah dicerna dan
bergizi (Robert dan Endel, 1989). Surisdiarto (2003) yang menyatakan adanya
penurunan kadar abu setelah fermentasi disebabkan oleh pemakaian mineral oleh
ragi untuk kelangsungan hidupnya.
Pertumbuhan Aspergillus niger
Aspergillus niger termasuk genus Aspergillus, famili Monilliceae, ordo
Monoliales, kelas Ascomycetes. A. niger memiliki kepala konidia yang besar, padat,
bulat dan berwarna hitam coklat atau ungu coklat. Kapang ini bersifat aerobic,
sehingga dalam pertumbuhannya memerlukan oksigen yang cukup. A. niger
merupakan mikroba mesofilik dengan pertumbuhan maksimum pada suhu 35-37˚C,
dan derajat keasaman 2,0-8,5. Pertumbuhan kapang A. niger akan lebih optimal pada
kondisi keasaman (pH) yang rendah (Fardiaz, 1989).

7

Menurut Gandjar dan Wellyzar (2006) pertumbuhan kapang mempunyai
beberapa fase, antara lain :
1. Fase lag, yaitu fase penyesuaian sel-sel dengan lingkungan pembentukan
enzim-enzim untuk mengurai substrat.
2. Fase akselerasi, yaitu fase mulainya sel-sel membelah dan fase lag menjadi
fase aktif.
3. Fase eksponensial, merupakan fase perbanyakan jumlah sel yang sangat
banyak, aktivitas sel sangat meningkat. Pada awal fase-fase ini kita dapat
memanen enzim-enzim dan akhir pada fase ini.
4. Fase deselerasi, yaitu waktu sel-sel mulai kurang aktif membelah, kita dapat
memanen biomassa sel atau senyawa-senyawa yang tidak lagi diperlukan
oleh sel.
5. Fase stasioner, yaitu fase jumlah sel yang bertambah dan jumlah sel yang
mati relatif seimbang. Banyak senyawa metabolit sekunder yang dapat
dipanen pada fase ini.
6. Fase kematian dipercepat, jumlah sel-sel yang mati lebih banyak daripada selsel yang masih hidup.
Kurva pertumbuhan suatu fungi dapat dilihat pada Gambar 2. Soeprijanto et
al. (2009) menambahkan bahwa kapang A. niger melewati fase adaptasi dimulai
pada jam ke 8, dilanjutkan dengan fase eksponensial pada jam ke 16-24. Fase
stasioner merupakan jumlah kapang yang tumbuh sama dengan kapang yang mati,
fase stasioner terjadi pada jam ke 40-100. Setelah diatas jam ke 100 terjadi
penurunan biomassa kapang yang dinamakan fase kematian, dimana biomassa
kapang yang mati lebih banyak dari yang tumbuh.

Gambar 2. Kurva pertumbuhan Kapang.(1) fase lag ; (2) fase akselerasi; (3) fase
eksponensial; (4) fase deselerasi; (5) fase stationer; (6) fase kematian.
Sumber : Gandjar dan Wellyzar (2006)

8

Aspergillus niger memiliki kelebihan baik dalam penggunaan

substrat,

pertumbuhan A. niger cepat. Selain itu, A. niger mampu menghasilkan enzim-enzim
ekstraseluler seperti selulase, amylase, pektinase, amiloglukosidae, glukosaoksidase
dan katalase. Kelebihan A. niger ini membuat kapang ini sering dipergunakan dalam
memproduksi asam sitrat, asam glukonat dan beberapa enzim lainnya. Menurut Enari
(1983) A. niger telah diketahui dapat menghasilkan enzim pendegradasi serat. Hal ini
terjadi karena selama fermentasi, kapang A. niger menggunakan zat gizi (terutama
karbohidrat) untuk pertumbuhannya dan kandungan protein meningkat. Aktivitas
enzim yang tinggi diperoleh pada saat pasca eksponensial (stasioner) yaitu setelah
hari ke-4 fermentasi. Kapang A. niger memiliki sifat baik terhadap peningkatan
mutu onggok.
Tahnh dan Wu (1976) menyatakan bahwa pertumbuhan kapang yang
maksimal perlu ditunjang dengan kandungan nutrien dasar yang merupakan sumber
karbon, nitrogen, energi, mineral dan vitamin. Hardjo et al.(1989) menambahkan A.
niger

menambahkan unsur utama seperti karbon, nitrogen, dan sulfur dalam

pertumbuhannya serta Fe, Zn, Mn, Co, Li, Na, K dan Rb. Pertumbuhan kapang juga
dipengaruhi oleh pH, suhu dan kebutuhan oksigen yang diatur cermat (Smith et al.,
1980).
Fermentasi dengan Aspergillus niger
Peningkatan kandungan protein yang sejalan dengan pertumbuhan kapang
(jamur) dikarenakan tubuh jamur terdiri dari elemen yang mengandung nitrogen.
Selain itu enzim yang dihasilkan oleh jamur juga merupakan protein (Noferdiman et
al., 2008). Hal ini didukung oleh Garraway dan Evans (1984) yang menyatakan
dinding sel jamur mengandung 6,3% protein, sedangkan membran sel pada jamur
yang berhifa mengandung protein 25-45% dan karbohidrat 25-30%. Dalam
pertumbuhannya jamur menggunakan karbon dan nitrogen untuk komponen sel
tubuh jamur (Musnandar, 2003). Hal ini terjadi karena selama fermentasi, kapang A.
niger menggunakan zat gizi (terutama karbohidrat) untuk pertumbuhannya dan
kandungan protein meningkat.
Dedak yang difermentasi dengan A.niger dengan lama pemeraman 72 jam,
menunjukkan adanya peningkatan kadar protein kasar dan penurunan serat kasar
(Suparjo et al., 2003). Mairizal (2009) menyatakan bahwa fermentasi menggunakan
9

Aspergillus niger mampu menurunkan kadar lemak kasar

yaitu dengan

memanfaatkannya sebagai sumber energi. Hasil penelitian Akmal dan Mairizal
(2003) menunjukan bahwa proses fermentasi pada bungkil kelapa dengan
menggunakan kapang Aspergillus niger dapat meningkatkan protein kasar dari 22,41
menjadi 35,27% dan menurunkan kandungan serat kasar dari 15,15% menjadi
10,24%. Menurut penelitian Putri et al. (2009) lama fermentasi Aspergillus niger
yang terbaik adalah selama enam hari.

10

MATERI DAN METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Agustus 2011.
Pelaksanaan penelitian di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Departemen
Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Materi

Peralatan yang dipergunakan dalam penelitian antara lain autoclave,
seperangkat alat analisis proksimat (analisis kadar air, protein kasar, protein murni,
lemak kasar, serat kasar, dan analisi kadar abu) dan analisis protein murni, hammer
mill, dan pH meter. Bahan yang diperlukan untuk penelitian adalah onggok, zeolit,
urea, mineral formula ramos, kapang Aspergillus niger dan seperangkat bahan
analisis proksimat dan protein murni.
Prosedur
Pembiakan Starter Aspergillus niger
Cendawan stok diremajakan pada media Potato Dextrose Agar (PDA).
Biakan diinkubasi pada suhu ruang selama 7 hari. Biakan hasil peremajaan ini
ditumbuhkan kembali pada cawan Petri berisi media PDA dan diinkubasi pada
kondisi dan jangka waktu yang sama. Biakan ini digunakan sebagai sumber
inokulum untuk dibiakkan (10%) pada media cair Buffered Peptone Water (BPW)
dan diinkubasi kembali pada suhu 25oC selama 72 jam. Kemudian di uji pada media
PDA pada cawan, dengan metode pengenceran (1mL biakan ke dalam 9 mL Larutan
BPW (1:9)), diambil 0,1 mL hasil pengenceran dan dimasukkan ke dalam cawan
PDA, diinkubasi selama 7 hari pada suhu ruang. Jika terdapat pertumbuhan
cendawan, maka biakan yang sudah ditumbuhkan pada BPW (1:10) tersebut dapat
digunakan sebagai starter.
Pembuatan Mineral Ramos et al. (1983)
Menimbang (NH4)2SO4 75 gram; Urea 40 gram; NaH2PO4 15 gram; 7H2O 5
gram; KCl 1,5 gram; CaCl2 0,5 gram; dan FeSO4. 7H2O 0,75 gram. Kemudian semua
bahan tersebut dilarutkan dalam satu liter aquades.

11

Onggok dicampur dengan zeolit (0; 2,5 atau 5%
dari BK onggok) hingga homogen

Disterilisasi selama
15 menit

Didinginkan

Ditambahkan Urea (0, 3, atau 6% dari BK onggok), Aspergillus niger (2%
dari BK onggok) , Larutan mineral formula ramos(1,5% dari BK onggok)

Fermentasi selama 6 hari
ditimbang
Dikeringkan pada oven 60 ˚C selama 48 jam
ditimbang
Digiling dengan Hammer mill

Analisis Proksimat (kadar air, abu,
lemak kasar, protein kasar, dan serat
kasar) dan Protein Murni

Gambar 3. Alur Proses Fermentasi

12

Proses Fermentasi
Onggok di peroleh dari industri tapioka dari bogor kemudian dikeringkan dan
digiling. Zeolit dalam bentuk tepung digunakan sebanyak 0; 2,5 dan 5% dari bahan
kering onggok. Kedua bahan tersebut dicampur hingga homogen kemudian
disterilisasi dengan menggunakan autoclave dengan suhu 120°C dan tekanan 250 psi
selama 15 menit. Setelah dingin dicampur dengan urea sebanyak 0; 3 dan 6% dari
bahan kering onggok. Mineral formula Ramos et al. (1983) ditambahkan sebanyak
1,5% dari berat kering onggok. Seluruh bahan tersebut dicampur secara merata dan
ditambahkan aquades untuk mencapai kadar air sekitar 75%. Selanjutnya starter
Aspergillus niger ditambahkan sebanyak 2% dari bahan kering campuran bahan.
Campuran kemudian dimasukkan kedalam ruang fermentasi dan diinkubasikan pada
suhu 28 sampai 32°C selama 6 hari. Setelah waktu inkubasi selesai dilakukan
pemanenan dengan menghentikan aktifitas kapang dengan cara dikeringkan di oven
pada suhu 45°C selama 48 jam. Hasil fermentasi kemudian dianalisa kandungan
bahan kering (BK), abu, lemak kasar (LK), protein kasar (PK), serat kasar (SK), dan
protein murni (Gambar 3).
Analisis Kualitas Nutrisi Onggok Fermentasi
Kualitas onggok dievaluasi dengan menggunakan analisis proksimat yaitu
Bahan Kering, Abu (ash), Protein Kasar, Lemak Kasar, Serat Kasar, BETN sesuai
dengan AOAC (1999).
Analisis Bahan Kering. Penentuan kadar air adalah dengan mengeringkan cawan
dalam oven pada suhu 105˚ C selama 1 jam, kemudian dimasukkan dalam eksikator
dan ditimbang (x), setelah itu sampel ditimbang kira-kira 5 gram (y) dan dimasukkan
ke dalam cawan dan sampel dioven pada suhu 105˚ C selama 8 jam, kemudian
didinginkan dalam eksikator, lalu ditimbang (z). Alur analisis bahan kering dapat
dilihat pada Gambar 4. Bahan kering dapat diketahui dengan menggunakan rumus :
Kadar Air =

(x+y-z) x 100%
y

Bahan Kering = (100 – Kadar Air)%

13

Gambar 4. Alur Proses Analisis Kadar Air
Analisa Kadar Abu. Cawan porselin dikeringkan dalam oven pada suhu 105˚ C
selama beberapa jam, kemudian didinginkan dalam eksikator dan ditimbang (x).
Sampel ditimbang kira-kira 5 gram (y) dan dimasukkan ke dalam cawan porselin.
Setelah itu dipijar sampai tidak berasap, lalu dimasukkan dalam tanur pada suhu 600˚
C. Setelah abu menjadi putih seluruhnya, dimasukkan dalam eksikator dan ditimbang
(z). Alur analisis kadar abu dapat dilihat pada Gambar 5. Kadar Abu dapat diketahui
dengan menggunakan rumus:
Kadar Abu =

(z-x) x 100%
y

Gambar 5. Alur Proses Analisis Kadar Abu
Analisa Kadar Serat Kasar. Sampel kira-kira 1 gram (x) dimasukkan dalam gelas
piala 500 ml dan ditambahkan 50 ml H2SO4 0.3 N, lalu dipanaskan selam 30 menit
(dari mendidih). Setelah itu tambahkan 25 ml NaOH 1.5 N dan dididihkan kembali
selama 30 menit. Cairan disaring dengan kertas saring (a) dengan corong Buchner
dan dicuci berturut-turut dengan: 50 ml air panas, 50 ml H2SO4, 50 ml air panas dan
14

25 ml Aceton. Kertas saring dan isinya dimasukkan dalam cawan porselin, lalu
dioven pada suhu 105˚ C sampai kering. Setelah itu dimasukkan dalam eksikator
selama 1 jam dan ditimbang (y), lalu dipijarkan dalam tanur sampai putih dan
didinginkan kembali serta ditimbang (z). Alur analisis serat kasar dapat dilihat pada
Gambar 6. Penentuan nilai kadar serat kasar dengan menggunakan rumus:
Kadar Serat Kasar =

(y-z-a) x 100%
y

Gambar 6. Alur Proses Analisis Kadar Serat Kasar Kasar
Analisis Protein Kasar. Sampel kira-kira 0,3 gram (x) dimasukkan ke labu destruksi
dan ditambahkatalis secukupnya serta 25 ml H2SO4 pekat. Kemudian dipanaskan
dalam ruangan asam sampai larutan menjadi jernih dan berwarna hijau kekuningan.
Setelah itu didinginkan dan dimasukkan dalam labu penyulingan dan diencerkan
dengan 300 ml air serta ditambah batu didih dan 100 ml NaOH 33%. Labu
penyulingan dipasang dengan cepat diatas alat penyulingan hingga 2/3 cairan dalam
labu penyulingan menguap yang ditangkap larutan H2SO4 berindikator dalam labu
elenmeyer (alur dapat dilihat pada Gambar 7). Hasil penyulingan dalam labu
Erlenmeyer dititar dengan larutan NaOH 0,3N sampai warna menjadi biru kehijauan.
Volume NaOH dihitung sebagai z ml dan dibandingkan dengan titar blanko y ml.
penentuan nilai kadar protein kasar dengan menggunakan rumus:

15

Kadar Protein Kasar =

(y-z) x N NaOH x 0,014 x 6,25
x

x 100%

Gambar 7. Alur Proses Analisis Kadar Protein Kasar
Analisis Kadar Lemak Kasar. Labu lemak yang ukurannya sesuai dengan alat
ektraksi soxhlet dikeringkan dalam oven. Kemudian didinginkan dalam desikator dan
ditimbang hingga bobot tetap. Sebanyak 5 g sampel sampel dibungkus dengan kertas
saring, kemudian ditutup dengan kapas wol yang bebas lemak. Kertas saring yang
berisi sampel tersebut dimasukkan dalam alat ekstrasi soxhlet, kemudian dipasang
alat kondensor di atasnya dan labu lemak dibawahnya. Pelarut dietil eter atau
petroleum eter dituangkan ke dalam labu lemak secukupnya sesuai dengan ukuran
yang digunakan. Selanjutnya dilakukan refluks minimum 5 jam sampai pelarut yang
turun kembali ke labu lemak berwarna jernih. Pelarut yang ada didalam labu lemak
didestilasi dan ditampung. Kemudian labu lemak yang berisi hasil ekstraksi
dipanaskan dalam oven pada suhu 105˚C, selanjutnya didinginkan dalam eksikator
dan dilakukan penimbangan hingga diperoleh bobot tetap. Alur analisis kadar lemak
dapat dilihat pada Gambar 8.
Kadar Lemak Kasar =

Berat Lemak (g)
Berat Sampel (g)

x 100%

Gambar 8. Alur Proses Analisis Kadar Lemak Kasar

16

Analisis Kadar Protein Murni. Sampel kira-kira 1-2 gram kering ditambahkan
batu didih dan 25 ml aquadest. Suspense dikocok dengan keras selama 10 menit
kemudian didiamkan selama 20 menit. Larutan tri-chlor acetic acid 20% sebanyak
25 ml ditambahkan dan dikocok selama 10 menit, kemudian didiamkan selama tiga
jam pada suhu 4˚C (Freezer). Supernatan disaring melalui kertas saring Whatman 41
sampai didapat filtrate yang transparan. Kandungan N dalam filtrate ini ditentukan
dengan metode Kjedahl (Gambar 9). Perbedaan antara protein kasar dengan NPN
(Non Protein Nitrogen) adalah protein murni.

Gambar 9. Alur Proses Analisis Kadar Protein Murni
Rancangan Percobaan dan Analisis Data
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan
Faktorial 3x3x3. Dimana urea sebagai faktor pertama (0%; 3% dan 6%) dan zeolit
sebagai faktor kedua (0%; 2,5% dan 5%). Ulangan yang dilakukan sebanyak 3 kali.
Perlakuan yang digunakan antara lain :
A1

: Onggok

A2

: Onggok+ 3% Urea

A3

: Onggok+ 6% Urea

B1

: Onggok+2.5% Zeolit

B2

: Onggok+ 2.5% Zeolit+3% Urea

B3

: Onggok+ 2.5% Zeolit+6% Urea

C1

: Onggok+5% Zeolit

C2

: Onggok+ 5% Zeolit+3% Urea

C3

: Onggok+ 5% Zeolit+6% Urea
17

Setiap perlakuan ditambahkan larutan mineral formula Ramos et al. (1983)
kemudian difermentasikan dengan Aspergillus niger selama 6 hari. Model matematik
yang digunakan dalam analisa adalah :
Yijk =

+

i

+ βj + ( β)ij +

ijk

Keterangan :
Yij : nilai pengamatan perlakuan faktor ke-i dan faktor ke-j
: rataan umum
i

βj
ij

: efek level ke-i pada faktor baris A
: efek level ke-j pada faktor kolom B
: eror perlakuan
Data yang diperoleh dianalisa menggunakan sidik ragam (ANOVA) dan

apabila hasilnya menunjukkan sangan berbeda nyata maka akan dilanjutkan dengan
uji jarak Duncan (Steel dan Torrie, 1997)

18

HASIL DAN PEMBAHASAN
Onggok merupakan limbah padat agro industri pengolahan ubi kayu menjadi
tepung tapioka. Ketersedian onggok yang melimpah merupakan salah satu faktor
menjadikan onggok sebagai pakan alternatif, namun onggok memiliki kandungan
protein kasar yang rendah. Selama ini onggok digunakan sebagai pakan sumber
energi, onggok mengandung karbohidrat yang tinggi. Tingginya kandungan
karbohidrat onggok dapat dilihat dari nilai serat kasar dan bahan ekstrak tanpa
nitrogen (BETN). Komposisi nutrien onggok lebih lanjut dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kandungan Nutrien Onggok ( %BK )
Komposisi Nutrien (%)

Onggok*

Onggok**

Kadar Abu

1,44

1,15

Protein Kasar

3,43

1,88

Serat Kasar

5,12

15,62

Lemak Kasar

0,93

0,25

BETN

89,09

81,10

Keterangan : * hasil analisis pada labolatorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, IPB
(2011).
** Penelitian Wizna et al. (2008)

Kandungan nutrien onggok pada Tabel 1 terlihat onggok memiliki kandungan
protein kasar yang rendah. Kandungan nutrien onggok yang dipergunakan pada
penelitian ini lebih baik dibandingkan dengan onggok pada penelitian Wizna et al.
(2008) terutama karena kandungan protein yang lebih tinggi dan serat kasar yang
rendah. Masing-masing onggok memiliki kandungan nutrien yang berbeda-beda, hal
ini dapat di karena beberapa faktor antara lain umur, jenis, asal singkong dan proses
pengolahan singkong menjadi tapioka.
Kadar protein kasar onggok pada penelitian ini cukup rendah yaitu 3,43%,
walaupun lebih tinggi dibandingakan dengan Wizna et al.(2008). Rendahnya kadar
protein kasar onggok menyebabkan kurang optimalnya pemanfaatan onggok sebagai
pakan ternak. Pengolahan lebih lanjut diperlukan untuk meningkatkan kadar protein
kasar onggok, misalnya dengan fermentasi menggunakan A. niger. Selama proses
fermentasi kapang A. niger memerlukan energi, nitrogen dan mineral yang cukup

19

untuk pertumbuhan. Onggok dapat digunakan sebagai sumber energi selama proses
fermentasi karena mengandung karbohidrat tinggi yaitu sebesar 94,21% (Tabel 1).
Selama fermentasi selain energi, dibutuhkan adanya suplai nitrogen dan
mineral. Kebutuhan mineral dapat dicukupi dengan adanya pertambahan mineral
formula Ramos et al.(1983), yang mengandung (NH4)2SO4, Urea, NaH2PO4, KCL,
CaCl2 dan FeSO4. 7H2O. Penambahan zeolit pun diperlukan karena selain zeolit
sebagai mineral, zeolit juga memiliki daya absorben yang tinggi sehingga dapat
mengefisienkan penggunaan nitrogen selama proses fermentasi. Nitrogen dibutuhkan
dalam pembentukan sel kapang, sintesis protein dan produksi enzim. Oleh sebab itu,
urea sebagai sumber nitrogen ditambahkan dalam proses fermentasi onggok.
Kualitas Fisik Onggok Fermentasi dengan Penambahan Berbagai
Level Urea dan Zeolit
Fermentasi dilakukan selama enam hari selanjutnya dilakukan pengeringan
selama dua hari pada oven 60˚C dan kemudian digiling kembali. Selama fermentasi,
terjadi perubahan terhadap komposisi kimia substrat (media fermentasi) diantaranya
kandungan asam amino, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral, selain itu juga
terjadi perubahan terhadap pH, kelembaban, aroma dan beberapa gizi lainnya
(Paderson, 1971). Pengamatan kualitas fisik yang dilakukan meliputi warna, aroma,
tekstur dan derajat keasaman (pH). Berdasarkan hasil uji kualitas fisik (Tabel 2)
onggok yang difermentasi penampilan fisiknya tidak jauh berbeda dengan onggok
murni (lihat Gambar 10 dan 11). Kualitas fisik yang tidak jauh berbeda ini
memungkinkan onggok dengan penambahan urea-zeolit dan difermentasi dengan
kapang A. niger dipergunakan sebagai pakan. Proses fermentasi tidak hanya
menimbulkan efek pengawetan tetapi juga menyebabkan perubahan tekstur, cita rasa
dan aroma bahan pangan yang membuat produk fermentasi lebih menarik, mudah
dicerna dan bergizi (Robert dan Endel, 1989). Hasil pengamatan kualitas fisik terlihat
pada Tabel 2.

20

Tabel 2. Kualitas Fisik dan Derajat Keasaman (pH) Onggok serta Onggok yang
Difermentasi
Parameter

Onggok

Onggok Fermentasi

Tekstur

Halus

Halus

Aroma

Apek

Aroma Asam

Warna

Putih keabu-abuan

Coklat

4,19

6,21-8,48

pH

Pertumbuhan kapang juga dipengaruhi oleh pH, suhu dan kebutuhan oksigen
yang diatur cermat (Smith et al., 1980). Kapang A. niger bersifat aerobik, sehingga
dalam pertumbuhannya memerlukan ketersedian oksigen yang cukup. Penggunaan
kapang A. niger pada fermentasi dikarenakan kapang A. niger dapat tumbuh pada
kondisi lingkungan dengan suhu ruang, walaupun demikian A. niger merupakan
mikroba mesofilik dengan pertumbuhan maksimum pada suhu 35-37˚C (Fardiaz,
1989). Sebagian besar kapang tumbuh pada media yang memiliki nilai derajat
keasaman yang rendah. Kapang A. niger dapat tumbuh pada derajat keasaman 2
hingga 8,5 akan tetapi semakin rendah pH maka semakin optimal pertumbuhan A.
niger (Fardiaz, 1989). Onggok sebelum diberi perlakuan memiliki derajat keasaman
sebesar 4,19 sedangkan onggok setelah difermentasi antara 6,21 hingga 8,48.
Kenaikan pH onggok setelah difermentasi seiring dengan peningkatan penambahan
kadar urea dan zeolit. Hal ini dikarenakan urea dan zeolit merupakan bahan yang
memiliki sifat basa, sehingga mempengaruhi nilai pH pada akhir fermentasi.

(a)
(b)
Gambar 10. Onggok Sebelum Diberi Perlakuan.(a) Onggok Setelah Digiling (b)
Bongkahan Onggok

21

A1

A3

A2

B2

B1
C1

B3

C2

C3

Gambar 11. Onggok Fermentasi yang Telah Diberi Perlakuan. A1= Onggok (tanpa
penambahan urea dan zeolit); A2=Onggok+ 3% Urea; A3=Onggok+ 6%
Urea; B1=Onggok+2.5% Zeolit; B2= Onggok+ 2.5% Zeolit+3% Urea;
B3=Onggok+ 2.5% Zeolit+6% Urea; C1= Onggok+5% Zeolit; C2=
Onggok+ 5% Zeolit+3% Urea; C3= Onggok+ 5% Zeolit+6% Urea
Perubahan warna onggok setelah difermentasi yaitu dari putih keabu-abuan
menjadi coklat. Selama fermentasi onggok tercampur bahan-bahan lain dan adanya
pertumbuhan misselium kapang A. niger yang tumbuh pada onggok menyebabkan
warna onggok berubah. Perubahan aroma pun terjadi pada hasil fementasi. Onggok
selama fermentasi mengeluarkan bau asam. Bau asam yang keluar mulai terasa
menyengat pada hari ke 3, selanjutnya semakin hari semakin menyengat. Hal ini
disebabkan A. niger mulai menghasilkan enzim dan asam organik selama fermentasi,
diduga pada hari ke-3 mulai memasuki fase stasioner.
Soeprijanto et al. ( 2009) menyatakan bahwa kapang A. nger melewati fase
adaptasi dimulai pada jam ke 8, dilanjutkan dengan fase eksponensial pada jam ke
16-24. Fase stasioner merupakan jumlah kapang yang tumbuh sama dengan kapang
yang mati, fase stasioner terjadi pada jam ke 40-100. Setelah diatas jam ke 100
terjadi penurunan biomassa kapang yang dinamakan fase kematian, dimana biomassa
kapang yang mati lebih banyak dari yang tumbuh.
Onggok pada kondisi awal berupa bongkahan, yang kemudian digiling dan
sering disebut sebagai tepung asia. Tepung asia sering dipergunakan dalam bahan
makanan maupun pakan ternak. Tekstur onggok yang telah difermentasi setelah
digiling sama seperti sebelum difermentasi yaitu berupa mesh atau bubuk, onggok
yang dipergunakan untuk fermentasi sudah lebih dulu digiling bukan lagi bongkahan

22

onggok (Gambar 10b). Proses fermentasi dapat meningkatkan aroma, rasa, dan
tekstur produk fermentasi (Aro, 2008).
Kualitas Kimia Onggok Fermentasi dengan Penambahan Berbagai
Level Urea dan Zeolit
Analisis pada onggok yang difermentasi perlu dilakukan untuk mengetahui
berapa jumlah zat makanan, sehingga dapat menentukan kualitas bahan tersebut.
Secara garis besar jumlah zat makanan dapat dianalisis dengan analisis kimia, seperti
analisis proksimat. Zat makanan adalah komponen bahan makanan yang dapat
dicerna, diserap serta dimanfaatkan bagi tubuh. Penambahan berbagai level urea dan
zeolit menmberikan pengaruh terhadap komposisi zat makanan. Ada 6 (enam) jenis
zat makanan yang dikenal yaitu air, kabohidrat, protein kasar, lemak, vitamin dan
mineral.
Bahan Kering
Bahan kering (BK) merupakan berat suatu bahan setelah dilakukan
pengeringan pada suhu 105 ˚C (Suparjo, 2000). Bahan kering sering dipengaruhi
jumlah kadar air suatu bahan. Pada proses fermentasi diperlukan air dalam jumlah
yang banyak, air digunakan oleh NH3 hasil proses amoniasi untuk membentuk
NH4OH. Semakin banyak urea yang dipergunakan maka semakin banyak air yang
diperlukan (Andayani dan Yatno, 2001), selain itu selama proses fermentasi terjadi
perombakan bahan kering. Data bahan kering onggok setelah fermentasi dapat dilihat
pada Tabel 3.
Tabel 3. Pengaruh Level Urea dan Zeolit pada Kandungan Bahan Kering Onggok
yang Difermentasi (%)
Zeolit (%)

Urea (%)

Rata-Rata

0

3

6

0

58,38±6,55

54,45±4,35

52,01±1,01

54,95±4,84b

2,5

70,00±4,14

60,90±1,51

69,34±7,08

66,75±6,06a

5

67,60±17,19

60,06±12,44

54,26±1,48

60,64±12,11ab

Rata-Rata

65,33±10,82

58,47±7,30

58,54±8,94

Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama dan baris yang berbeda menunjukkan
berbeda nyata pada (P