Pemanfaatan Tepung Kulit Buah Markisa (Passiflora edulisvar.edulis) Fermentasi Phanerochaete chrysosporium sebagai Ransum dalam Bentuk Peletterhadap Performans Kelinci Rex Jantan Lepas Sapih.
35
LAMPIRAN
1. Pengolahan Tepung KBM fermentasi Phanerochaete chrysosporium
Kulit Buah Markisa (KBM) SEGAR
Dicuci
Jemur dibawah sinar matahari (3 hari)
Dicacah
Digiling
Tepung KBM
Disterilkan/diautoclave
0
(15 menit, 121 C)
Tepung KBM +Phanerochaete chrysosporium
Fermentasi selama 15 hari (suhu kamar,
Dosis 106 CFU/g,
1,18 ml suspensi spora untuk
1 gram Tepung KBM)
Pengeringan
Dioven
0
(24 jam, 60 C)
KBM PRODUK FERMENTASI
Universitas Sumatera Utara
36
2. Pembuatan Pakan Bentuk Pelet
Bahan Baku
Bahan Baku digiling
menjadi Tepung
Ditimbang menurut
formulasi
Diaduk rata di tempat
pengadukan
Penambahan bahan baku
cair (kalau dibutuhkan)
Diaduk lagi sampai
bahan baku cair tersebut
dapat tercampur merata
ke seluruh bagian
Bahan baku berbentuk
adonan(kebasahan 60%)
Dimasukkan ke alat pencetak pelet
Dihasilkan ukuran pelet 5-7 mm
Pelet dikeringkan
(dioven selama 12 jam,
temperatur 500C)
Pelet siap diberikan
sebagai pakan kelinci
Universitas Sumatera Utara
37
3. Formula Ransum Kelinci :
No
Bahan
1.
Perlakuan
P0
P1
P2
P3
KBM
30
20
10
0
2.
KBM Fermentasi
0
10
20
30
3.
Tepung Jagung
30
30
30
30
4.
Dedak Padi
11
11
11
11
5.
Bungkil Kedelai
14
14
14
14
6.
Tepung Ikan
7
7
7
7
8.
Top Mix
2
2
2
2
9.
Molases
6
6
6
6
TOTAL
100
100
100
100
Kandungan Nutrisi
1.
PK (%)
15,934
16,937
17,94
19,273
2.
EM (kkal/kg)
2845,75
2849,75
2853,75
2857,75
3.
SK (%)
15,4228
14,9628
14,5028
14,0428
4.
LK (%)
4,1028
4,1818
4,2608
4,3398
5.
Ca (%)
0,8986
0,8986
0,8986
0,8986
6.
P (%)
0,7334
0,7334
0,7334
0,7334
Universitas Sumatera Utara
38
4. Rataan konsumsi bahan kering pelet selama penelitian (g/ekor/hari)
Ulangan
Perlakuan
Total
Rataan Standart
Deviasi
1
2
3
4
5
P0
54.08
55.74
54.76
55.52
58.40
278.50
55.70
1.64
P1
57.39
55.83
59.94
54.20
55.80
283.16
56.63
2.17
P2
54.75
54.37
51.79
60.94
54.38
276.22
55.24
3.40
P3
55.05
55.22
54.79
53.60
53.34
272.01
54.40
0.87
Total
Rataan
221.26 221.16 221.28 224.26 221.92 1109.88
55.32
55.29
55.32
56.06
55.48
55.49
5. Rataan konsumsi bahan kering hijauan selama penelitian (g/ekor/hari)
Ulangan
Perlakuan
Total
Rataan Standart
Deviasi
1
2
3
4
5
P0
14.67
14.82
16.34
15.69
14.32
75.85
15.17
0.83
P1
14.93
14.67
13.86
14.53
14.39
72.38
14.48
0.40
P2
15.92
16.18
16.89
16.11
14.59
79.70
15.94
0.84
P3
16.71
17.02
16.74
16.78
17.15
84.39
16.88
0.19
Total
62.23
62.69
63.84
63.12
60.45
312.32
Rataan
15.56
15.67
15.96
15.78
15.11
15.62
6. Rataan konsumsi ransum kelinci dalam bahan kering (BK) selama penelitian
(g/ekor/hari)
Ulangan
Perlakuan
Total
Rataan Standart
Deviasi
1
2
3
4
5
P0
68.93
70.74
71.28
71.39
72.89
355.24
71.05
1.43
P1
62.08
71.17
72.41
70.53
70.49
346.68
69.34
4.13
P2
70.67
70.54
68.68
77.05
68.97
355.92
71.18
3.40
P3
71.76
72.25
71.53
70.37
70.49
356.40
71.28
0.82
Total
Rataan
273.44 284.70 283.90 289.36
68.36
71.17
70.98
72.34
282.84 1414.24
70.71
70.71
Universitas Sumatera Utara
39
7. Analisis ragam konsumsi ransum kelinci selama penelitian
SK
DB
Jk
Perlakuan
Kt
F Hitung
3
12,75
4,25
Galat
16
125,35
7,83
Total
19
138,09
tn
0,54
F tabel
0,05
0,01
3,23
5,29
Keterangan: tn= tidak berbeda nyata
8. Analisa keragaman pertambahan bobot badan kelinci selama penelitian
F tabel
SK
DB
Perlakuan
Galat
Total
Jk
3
16
19
18,11
74,94
93,05
Kt
6,04
4,68
F Hitung
1,29tn
0,05
3,23
0,01
5,29
Keterangan: tn = tidak berbeda nyata
9. Analisa keragaman konversi ransum kelinci
F tabel
SK
Perlakuan
Galat
Total
DB
Jk
3
16
19
1,51
6,44
7,95
Kt
0,50
0,40
F Hitung
1,25
tn
0,05
3,23
0,01
5,29
Keterangan: tn= tidak berbeda nyata
Universitas Sumatera Utara
40
7. Grafik rataan konsumsi kelinci dalam bahan kering (BK) selama penelitian
(g/ekor/hari)
100,00
Konsumsi
71,05
71,28
71,18
69,34
80,00
60,00
40,00
20,00
0,00
P0
P1
P2
P3
Perlakuan
8. Grafik rataan pertambahan bobot badan kelinci selama penelitian (g/ekor/hari)
50,00
40,00
PBBH
30,00
17,04
17,00
14,96
20,00
17,36
10,00
0,00
P0
P1
P2
P3
Perlakuan
9. Grafik rataan konversi ransum kelinci selama penelitian (g/ekor/hari)
Konversi
4,78
5,00
4,50
4,00
3,50
3,00
2,50
2,00
1,50
1,00
0,50
0,00
P0
4,28
4,28
4,03
P1
P2
P3
Perlakuan
Universitas Sumatera Utara
41
10. Grafik rekapitulasi data performans selama penelitian
80,00
71,05
71,28
71,18
69,34
70,00
60,00
50,00
konsumsi
40,00
PBBh
Konversi
30,00
20,00
17,00
14,96
10,00
4,78
17,36
17,04
4,28
4,28
4,03
0,00
P0
P1
P2
P3
Universitas Sumatera Utara
42
11. Hasil Analisis Proksimat Kulit Buah Markisa yang difermentasi dengan
Phanerochaete chrisosporium selama 15 hari.
Universitas Sumatera Utara
31
DAFTAR PUSTAKA
AAK. 1980. Pemeliharaan Kelinci. Kanisius. Yogyakarta.
Anggorodi, 1990. Ilmu Makanan Ternak Umum. Gramedia. Jakarta.
_________.1995. Nutrisi Aneka Ternak Umum. PT. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.
Astuti, T. 2008. Evaluasi Nilai Nutrisi Kulit Buah Markisa Yang Difermentasi
Dengan Aspergillus Niger Dan Trichoderma Harzianum Sebagai Pakan
Ternak Secara In – Vitro. Tesis. Program Pascasarjana. Universitas
Andalas. Padang.
Anon,
2011. Kebiasaan Kelinci Memakan Kotoran Sendiri (Coprophagy)
http://dinooblog.blogspot.com/2011/01/kebiasaan-kelinci-memakankotoran.html. Disitir 8Juni 2013
Behnke, K. C. 2001. Processing Factors Influencing Pelet Quality. Feed Tech. 5
(4): 1-7. Disitasi Skripsi Rizqiani, A. 2011. Performa Kelinci Potong Jantan
Lokal Peranakan New Zeland WhiteYang Diberi Pakan Silase Atau Pelet
Ransum Komplit. Institup Pertanian Bogor-Press. Bogor.
Buckle, K.A. 1987. Ilmu Pangan.UI Press. Jakarta.
Champbell, J. R. and J.F. Lasley.1985. The Science of Animals that Sarved
Mankid. 3th. Tata Mc Graw. Hill Publishing Company Limited New
Delhi. Pp 390-392.
Cheeke, R.B., N.M. Patton., S.D. Lukefahr and J.I. Mcniit. 1987. Rabbit
production. Sixth Edition. TheInterstate Printers and Publisher, Inc.
Danville, Illinois. Pdf. Aritonang et al. 2003. Laju Pertumbuhan Kelinci
Rex, Satin dan Persilangannya yang Diberi Lactosym@ dalam Sistem
Pemeliharaan Intensif. [10 Maret 2014].
Deblass. C. and J. Wiseman. 1998. The Nutrition of The Rabbit. CABI Publishing.
New York, USA. Skripsi. Risqiani, A. 2011. Performa Kelinci Potong
Jantan Lokal Peranakan New Zeland Whiteyang Diberi Pakan Silase atau
Pelet Ransum Komplit. Institup Pertanian Bogor-Press. Bogor.
Fakaguchi, E. 1992. Fibre Digestion And Digesta Retention From Different
Physical Forms Of The Feed In The Rabbit. Comparative Biochemistry
And Physiology 102A, No. 3: 559-63.
Hartadi, H., 2005. Tabel Komposisi Pakan Untuk Indonesia. Gadjha Mada
University Press. Yogyakarta
Universitas Sumatera Utara
32
Irawati, D. 2006. Pemanfaatan serbuk kayu untuk produksi etanol [tesis]. Bogor:
Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Kamal, M. 1997. Kontrol Kualitas Pakan Ternak.Laboratorium Makanan Ternak
Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan, Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta.
Kartadisastra, H.R. 1994. Komposisi Kandungan Bahan Penyusun Ransum.
Kanisius. Yogyakarta.
_________.2001. Ternak Kelinci. Kanisius. Yogyakarta.
_________.2011. Kelinci Unggul. Penerbit Kanisius, Jakarta.
Lestari, C.M.S., H.I. Wahyuni dan L. Susandari. 2005. Budidaya Kelinci
Menggunakan Pakan Industri Pertanian dan Bahan Pakan Inkonvensional.
Potensi dan Peluang Pengembangan Usaha Kelinci. Bandung 30
September 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan Fakultas Peternakan
Universitas Padjadjaran. Hal 55-60.
Lick, N.Q. and D.V. Hung. 2008. Study and Desig the Rabbit Coop Small-Scale
Farm in Central of Vietnam. Departemen of Agriculture Engineering, Hue
University of Agriculture and Forestry. Vietnam.
Maertens, L., & M. J. Villamide. 1998. Feeding systems for intensive production.
In: C. de Blas and J. Wiseman (ed.) The Nutrition of the Rabbit. CABI
Publishing, London. p 241.
Manshur, F. 2009. Kelinci-Pemeliharaan Secara Ilmiah, Tepat dan Terpadu.
Nuansa. Bandung.
Masanto. 2009. Beternak Kelinci Potong. Penebar Swadaya. Jakarta.
National
Research Council. 1977. Dalam http://www.kelinci.co/2013/09/
pedoman-kebutuhan-gizi-kelinci.html. Diakses tanggal 8 Maret 2015.
Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. Universitas
Indonesia Press. Jakarta.
Patrick, H and P.J Schaaible 1980. Poultry Feds and Nutrition new edn. Avi
Publishing Coy. Incorporated West Port Connecticut, 283-284.
Poerwanto, R. 2005. Pembangunan Kawasan Sentra Produksi Buah Berbasis Mutu.
Makalah disampaikan pada Pertemuan Koordinasi Pengembangan Sentra
Produksi Buah-buahan, Cisarua, Bogor. Direktorat Tanaman Buah.
Direktorat Jenderal Hortikultura.
Universitas Sumatera Utara
33
Priyatna, N. 2011., Beternak dan Bisnis Kelinci Pedaging. Agromedia Pustaka.
Jakarta.
Rasyaf, M., 1996. Pengelolaan Peternakan Unggas Pedaging. Kanisius.
Yogyakarta.
Riadi, Lieke. 2007. Teknologi Fermentasi. Edisi Ke-1. Yogyakarta : Graha Ilmu.
Rokhmani, S.I.W. 2005. Peningkatan Nilai Gizi Bahan Pakan Dari Pertanian
Melalui Fermentasi. Prosiding. Lokakarya Nasional. Potensi dan Peluang
Pengembangan Usaha kelinci. Bandung 30 September 2005. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Peternakan.Badan penelitian dan
Pengembangan Pertanian dan Fakultas Peternakan Universitas
Padjadjaran. Hal 66-74
Rukmana, R., 2003. Usahatani Markisa. Kanisius, Yogyakarta.
_________. 2005. Prospek Beternak Kelinci. http://www.
online.com/news. Diakses tanggal 2 Februari 2015.
suarakarya
Sanusi, A., 2006. Pengaruh Penambahan Starbio Dalam Ransum Terhadap
Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Pada Kelinci Lokal Jantan.
Skripsi S1. Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta
Sarwono, 2007. Kelinci Potong dan Hias. Agromedia Pustaka. Jakarta
_______.2009. Buku Pintar Memelihara Kelinci dan Rodensia. Agromedia
Pustaka. Jakarta.
Sembiring, P. 2006. Biokonversi Limbah Pabrik Minyak Inti Sawit dengan
Phhanerochaete chryssporium dan Implikasinya Terhadap Performans
Ayam Broiler.Disertasi Doktor. Universitas Padjajaran, Bandung.
Sinaga, S. 2009. Pakan Kelinci dan Pemberiannya. http://blogs.unpad ac.id/Suland
Sinaga. Disitir 21 pebruari 2015.
Soeparno 1991. Pertambahan bobot badan karkas dan komposisi kimia daging sapi,
kaitannya dengan bangsa dan macam pakan penggemukan. J. Ilmiah
Penelitian Ternak 2 (1):7-12.
Sumoprastowo. 1985. Beternak kelinci idaman. Bhratara Karya Aksara. Jakarta.
_______1993. Beternak Domba Pedaging dan Wol. Bhratara Karya
Aksara. Jakarta.
Suparjo. 2008. Degradasi komponen lignoselulosa oleh kapang pelapuk.
http://jajo66. files.wordpress.com/2008/10/degradasi-lignoselulosa.pdf [14
November 2008].
Universitas Sumatera Utara
34
Thomas, M., and A. F. B. Van der Poel. 1997. Physical quality of peleted animal
feed 2. contribution of processes and its conditions. Animal Feed Science
and Technology. 61 (1): 89-109.
Tillman AD. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press.
Whendrato, I. dan I.M. Madyana, 1983. Beternak Kelinci Secara Populer. Eka
Offset. Semarang
Williamson. G and W.J.A Payne, 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis.
Gadjah Mada, University Press.Yogyakarta.
Winarno, F. G, 1980. Pengantar Teknologi Pangan. PT. Gramedia. Jakarta.
Universitas Sumatera Utara
18
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Jl. Udara Gg. Rukun (Peternakan Kelinci
Rukun Farm) Berastagi, Kabupaten Karo. Penelitian ini berlangsung selama
3
bulan dimulai dari 03 Agustus 2015 sampai dengan 13 Oktober 2015.
Bahan dan Alat
Bahan
Bahan yang digunakan yaitu kelinci rex jantan lepas sapih 20 ekor dengan
rata-rata bobot badan 918 ± 75,18. Bahan pakan yang terdiri dari tepung kulit buah
markisa, tepung jagung, dedak padi, bungkil kedelai, tepung ikan, top mix dan
molases. Tepung Kulit Buah Markisa (KBM) difermentasi dengan jamur
Phanerochaete chrysosporium kemudian bahan pakan diolah menjadi pakan
berbentuk pelet. Daun wortel sebagai hijauan dan obat-obatan seperti Permentyhl
5% sebagai obat kembung, Pyroxy sebagai antibiotik dan vitamin B-complex serta
rodalon sebagai desinfektan.
Alat
Alat yang digunakan yaitu kandang individu sebanyak 20 petak,
timbangan kapasitas 5 kg untuk menimbang kelinci, pakan dan sisa pakan, tempat
pakan pada tiap kandang dengan total sebanyak 20 unit, mesin giling untuk
menggiling bahan menjadi bentuk tepung, mesin pencetak pelet, autoclave untuk
mensterilkan bahan pakan sebelum difermentasi, oven untuk mengeringkan pelet
dan tepung KBM setelah difermentasi, termometer untuk mengetahui suhu
Universitas Sumatera Utara
19
kandang, alat pembersih kandang, kantong plastik sebagai tempat penyimpanan
bahan pakan dan pelet.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah secara experimental dengan
menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 5 ulangan.
Adapun perlakuan yang diteliti adalah sebagai berikut :
P0
: Ransum dengan penambahan 30% KBM tanpa fermentasi dan 0% KBM
fermentasi Phanerochaete chrysosporium
P1
: Ransum dengan penambahan 20% KBM tanpa fermentasi dan 10% KBM
fermentasi Phanerochaete chrysosporium
P2
: Ransum dengan penambahan 10% KBM tanpa fermentasi dan 20% KBM
fermentasi Phanerochaete chrysosporium
P3
: Ransum dengan penambahan 0% KBM tanpa fermentasi dan 30% KBM
fermentasi Phanerochaete chrysosporium
Sedangkan jumlah ulangan diperoleh dengan menggunakan rumus seperti berikut:
t (n – 1)
4 (n – 1)
4n
n
n
> 15
> 15
> 19
> 19/4
= 4,75 ≈ 5
Kombinasi unit perlakuan sebagai berikut :
P2U3
P0U2
P1U4
P3U2
P2U2
P3U4
P1U3
P0U3
P2U1
P1U1
P0U1
P2U4
P2U5
P1U5
P3U3
P1U2
P3U5
P3U1
P0U4
P0U5
Model linear untuk rancangan acak lengkap (RAL) adalah :
Y ij = µ + σ i + ε ij
Universitas Sumatera Utara
20
Dimana :
Y ij
= Nilai pengamatan yang diperoleh dari satuan percobaan dari
perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
i
= 1, 2, 3, 4 (perlakuan)
j
= 1, 2, 3, 4, 5 (ulangan)
µ
= Nilai tengah umum
σi
= Pengaruh dari perlakuan ke-i
ε ij
= Pengaruh galat percobaan perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
Parameter yang diamati
1. Konsumsi Ransum
Konsumsi ransum dihitung dengan cara menimbang jumlah pakan yang
diberikan dikurangi dengan sisa pakan selama penelitian yang dinyatakan dalam
g/ekor/hari dalam bentuk bahan kering (BK)
Konsumsi = Pakan yang diberikan – pakan sisa (g/ekor/hari)
2. Pertambahan Bobot Badan
Pertambahan bobot badan harian merupakan selisih antara bobot badan
awal dengan bobot badan akhir dibagi dengan lama pemeliharaan dinyatakan
dalam g/ekor/minggu
PBBH = bobot akhir – bobot awal
Waktu (minggu)
3. Konversi ransum
Konversi pakan merupakan perbandingan antara jumlah konsumsi pakan
dengan pertambahan bobot badan harian selama pemeliharaan.
Konversi pakan = Konsumsi pakan (g/hari)
PBB
Universitas Sumatera Utara
21
Pelaksanaan Penelitian
1. Persiapan Kandang dan Peralatan
Kandang yang digunakan adalah kandang individu berukuran 50x50x50 cm
sebanyak 20 petak. Kandang dipersiapkan seminggu sebelum kelinci masuk dalam
kandang agar kandang bebas dari hama penyakit. Kandang beserta peralatan seperti
tempat pakan dan minum dibersihkan dan didesinfektan dengan menggunakan
rodalon.
2. Pemilihan Ternak
Penyeleksian ternak kelinci yang akan digunakan sebagai objek penelitian
melalui beberapa syarat sebagai berikut adalah ternak kelinci dalam keadaan sehat,
lincah, tidak cacat dilihat dari bentuk kaki yang lurus dan lincah, ekor melengkung
keatas lurus merapat ke bagian luar mengikuti tulang punggung, telingga lurus ke
atas dan telinga tidak terasa dingin, mata jernih dan bulu mengkilat. Sebelum
kelinci dimasukkan kedalam kandang, dilakukan penimbangan untuk mengetahui
bobot badan awal dari masing-masing kelinci kemudian dilakukan random
(pengacakan) yang bertujuan untuk memperkecil nilai keragaman. Lalu kelinci
dimasukkan kedalam sebanyak 1 ekor per unit penelitian.
3. Pengolahan Kulit
chrysosporium
Buah
Markisa
Fermentasi
dengan
Phanerochaete
Pengolahan kulit buah markisa dimulai dari pengambilan kulit buah
markisa dari industri pengolahan buah markisa, pencucian, penjemuran dibawah
sinar matahari hingga kering lalu penggilingan hingga menjadi tepung kulit buah
markisa kemudian difermentasi dengan Phanerochaete chrysosporium. Skema
pengolahan kulit buah markisa fermentasi Phanerochaete chrysosporium dapat
dilihat pada Lampiran 1.
Universitas Sumatera Utara
22
4. Penyusunan Pakan dalam Bentuk Pelet
Bahan penyusun pelet yang digunakan terdiri atas Kulit Buah Markisa
(KBM), KBM Fermentasi, tepung jagung, dedak padi, bungkil kedelai, tepung
ikan, molases dan Top Mix. Bahan yang digunakan ditimbang terlebih dahulu
sesuai dengan formulasi ransum yang telah sesuai dengan level perlakuan.
Pembuatan pelet dapat dilihat pada Lampiran 2.
5. Pemeliharaan Kelinci
Sebelum kelinci diberi perlakuan, dilakukan penimbangan bobot badan
awal kelinci kemudian penimbangan kelinci dilakukan seminggu sekali. Pakan
yang diberi terbagi 2 macam yaitu pelet dan daun wortel diberikan secara adlibitum, pelet diberikan pukul 08.00 WIB dan pukul 16.00 WIB dan daun wortel
diberikan 1 jam setelah pemberian pelet. Mengingat kelinci termasuk binatang
malam (nocturnal) dimana aktivitasnya lebih banyak dilakukan pada malam hari
maka pemberian volume pakan terbanyak pada sore hari. Obat-obatan dan vitamin
diberikan sesuai dengan kebutuhan kelinci seperti Permenthyl 5% sebagai obat
kembung dengan dosis 0,2 cc/ekor untuk kelinci umur > 12 minggu (pemberiannya
melalui mulut), Pyroxy sebagai antibiotik dengan dosis 1 cc/ekor untuk kelinci
umur > 12 minggu (disuntikkan secara subkutan) dan vitamin B-complex sebagai
vitamin dengan dosis 0,5 cc/ekor untuk kelinci umur > 12 minggu (disuntikkan
secara subkutan). Tempat pakan dibersihkan setiap hari pada pagi hari dan kandang
dibersihkan pada pagi dan sore hari. Sisa pakan ditimbang pada waktu pagi
keesokan harinya saat sebelum kelinci diberikan makan kembali untuk mengetahui
konsumsi ternak tersebut.
Pengumpulan Data
Universitas Sumatera Utara
23
Pengambilan data untuk konsumsi ransum dilakukan dalam sekali sehari
dan pertambahan bobot badan dilakukan sekali seminggu (g/ekor/minggu) selama
penelitian. Sedangkan untuk mencari konversi ransum dihitung setelah didapatkan
kedua parameter tersebut.
Universitas Sumatera Utara
24
HASIL DAN PEMBAHASAN
Konsumsi Ransum
Tinggi dan rendahnya konsumsi ransum dapat diperoleh dari selisih antara
jumlah pakan yang diberikan dengan sisa pakan (g/ekor/hari). Konsumsi ransum
dihitung setiap hari selama penelitian. Pakan yang dikonsumsi sudah dikonversikan
dalam bentuk bahan kering (total bahan kering dari hijauan dan pelet). Data
konsumsi bahan kering ransum kelinci dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Rataan konsumsi ransum kelinci dalam bahan kering (BK) selama
penelitian (g/ekor/hari)
Perlakuan
Ulangan
Total
Rataan± sd
1
2
3
4
5
P0
68,93
70,74
71,28
71,39
72,89
355,24 71,05±1,43
P1
62,08
71,17
72,41
70,53
70,49
346,68 69,34±4,13
P2
70,67
70,54
68,68
77,05
68,97
355,92 71,18±3,40
P3
71,76
72,25
71,53
70,37
70,49
356,40 71,28±0,82
Total
273,44 284,70 283,90 289,36 282,84 1.414,24
Rataan
68,36
71,17
70,98
72,34
70,71
70,71
Dari Tabel 7 terlihat bahwa rataan total konsumsi ransum dalam BK
adalah sebesar 70.71 g/ekor/hari. Rataan konsumsi tertinggi yaitu pada P3 sebesar
71.28 g/ekor/hari dan rataan konsumsi terendah adalah P1 yaitu 69.34 g/ekor/hari.
Berdasarkan analisa keragaman pada lampiran 7 diketahui bahwa pengaruh
pemberian kulit buah markisa yang dicampur dengan ransum dalam bentuk pelet
menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata terhadap konsumsi. Hal ini
menunjukkan bahwa kulit buah markisa fermentasi mempunyai palatabilitas yang
relatif sama dengan kulit buah markisa tanpa fermentasi.
Universitas Sumatera Utara
25
Dari hasil yang diperoleh pada penelitian ini menunjukkan tingkat
konsumsi ransum yang tidak berbeda nyata. Jumlah konsumsi ransum merupakan
faktor penentu yang paling penting untuk menentukan jumlah nutrien yang didapat
oleh ternak dan selanjutnya mempengaruhi tingkat produksi. Konsumsi ransum
dipengaruhi oleh kondisi ternak itu sendiri dan kondisi lingkungan pada saat
pemeliharaan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kartadisastra (1994) yang
menyatakan bahwa tinggi rendahnya konsumsi pakan dipengaruhi oleh faktor
eksternal yaitu lingkungan dan faktor internal atau kondisi ternak sendiri yang
meliputi temperatur lingkungan, palatabilitas, status fisiologi yaitu umur, jenis
kelamin dan kondisi tubuh, konsentrasi nutrien, bentuk pakan, bobot tubuh dan
produksi.
Pertambahan Bobot Badan
Pertambahan bobot badan dapat diketahui berdasarkan selisih antara
penimbangan bobot akhir dengan penimbangan bobot badan awal yang dihitung
setiap minggu. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh hasil rataan
bobot badan kelinci selama penelitian seperti yang tertera pada Tabel 8 berikut ini.
Tabel 8. Rataan pertambahan bobot badan kelinci (g/ekor/hari) selama penelitian
Perlakuan
Ulangan
Total
Rataan±sd
1
2
3
4
5
P0
16,64
14,21
14,07
14,64
15,21
74,79
14,96±1,04
P1
16,55
13,02
16,16
18,82
20,45
85,00
17,00±2,83
P2
18,45
18,93
19,61
15,00
13,20
85,18
17,04±2,79
P3
19,45
17,13
15,75
16,71
17,75
86,79
17,36±1,38
Total
71,09
63,29
65,59
65,18
66,61
Rataan
17,77
15,82
16,40
16,29
16,65
16,59
Universitas Sumatera Utara
26
Dari Tabel 8. terlihat bahwa rataan total pertambahan bobot badan kelinci
adalah sebesar 16,59 g/ekor/hari. Dengan rataan pertambahan bobot badan tertinggi
pada P3 sebesar 17,36 g/ekor/hari dan pertambahan bobot badan terendah pada P0
yaitu sebesar 14,96 g/ekor/hari.
Berdasarkan analisa keragaman pada lampiran 8 diketahui bahwa
pengaruh pemberian kulit buah markisa yang dicampur dengan ransum dalam
bentuk pelet menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata terhadap pertambahan
bobot badan kelinci rex jantan lepas sapih.
Salah satu faktor yang memberikan pengaruh tidak berbeda nyata pada
pertumbuhan bobot badan pada penelitian ini adalah konsumsi pakan yang tidak
berbeda nyata. Hal ini desebabkan bahwa kulit buah markisa fermentasi dan tanpa
fermentasi sama-sama disukai oleh kelinci. Kelinci yang memiliki tingkat
palatabilitas tinggi dapat mengkonsumsi lebih banyak bahan kering sehingga
pertambahan bobot badannya lebih tinggi. Kualitas ransum akan mempengaruhi
pertumbuhan apabila diberikan dalam jumlah yang cukup hal ini sesuai dengan
pernyataan dari Soeparno (1991) yang menyatakan bahwa kecepatan pertumbuhan
tidak saja dipengaruhi oleh pakan yang digunakan tetapi yang penting adalah
kelengkapan nutrien yang diperoleh.
Menurut
Buckle
(1987),
pertumbuhan
ternak
penghasil
daging
dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu keturunan, reaksi faal terhadap lingkungan
(terutama suhu lingkungan) dan nutrisi pakan yang diberikan pada ternak. Kelinci
mempunyai kecepatan pertumbuhan yang hampir sama dengan ayam broiler, dalam
waktu 56 hari dapat mencapai berat badan 1,8 kg, sedangkan pertambahan bobot
badan kelinci yang ideal adalah 4-21 g/ekor/hari.
Konversi Ransum
Universitas Sumatera Utara
27
Konversi ransum pada penelitian ini dihitung dalam bentuk bahan kering
dengan cara membandingkan banyak jumlah pakan yang dikonsumsi dengan
pertambahan bobot badan yang dicapai setiap minggu. Rataan konversi ransum
selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Rataan konversi ransum kelinci selama penelitian
Perlakuan
Ulangan
Total
Rataan±sd
1
2
3
4
5
P0
4,31
5,08
5,08
4,81
4,63
23,92 4,78±0,33
P1
4,27
5,42
4,25
4,09
3,37
21,41 4,28±0,73
P2
3,74
3,74
3,64
4,76
5,52
21,39 4,28±0,83
P3
3,19
4,16
4,60
4,22
3,97
20,14 4,03±0,52
15,51
18,39
17,57
17,88
17,50
3,88
4,60
4,39
4,47
4,38
Total
Rataan
86,85
4,34
Dari data diatas dapat dilihat bahwa rataan total konversi ransum adalah
4,34. Dengan rataan konversi ransum kelinci tertinggi adalah perlakuan P0 sebesar
4,78 dan yang terkecil yaitu pada perlakuan P3 sebesar 4,03.
Hasil analisa keragaman pada lampiran 9 menunjukkan bahwa konversi
ransum menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Hasil yang tidak berbeda
nyata tersebut disebabkan karena penggunaan kulit buah markisa juga tidak
mempengaruhi konsumsi pakan dan pertambahan bobot badan karena konversi
pakan merupakan perbandingan antara jumlah konsumsi pakan dengan
pertambahan bobot badan pada satuan yang sama. Hal ini sesuai dengan pendapat
Menurut Champbell dan Lasley (1985) mengatakan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi konversi ransum adalah genetik, umur, berat badan, tingkat
konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, palatabilas dan hormon.
Universitas Sumatera Utara
28
Dengan demikian berdasarkan penelitian pengaruh nilai konversi pakan
yang tidak berbeda nyata ini berkaitan erat dengan konsumsi pakan dan
pertambahan bobot badan harian yang berbeda tidak nyata sehingga menghasilkan
perbedaan konversi pakan yang tidak nyata pula. Semakin kecil nilai konversi
pakan
menunjukkan
semakin
sedikitnya
pakan
yang
dibutuhkan
untuk
menghasilkan per gram bobot badan. Menurut Rasyaf (1996), konversi pakan
digunakan sebagai pegangan berproduksi karena melibatkan bobot badan dan
konsumsi pakan. Menilai pakan dan kualitas pakan yang lebih baik adalah dengan
melihat pertumbuhan dan pertambahan bobot badan ternak. Pertambahan bobot
badan inilah yang mencerminkan bagaimana protein dan keseimbangan asam
amino yang ada di dalam pakan yang diberikan memberikan dampak positif bagi
ternak.
Rekapitulasi Hasil Penelitian
Untuk melihat hasil penelitian terhadap konsumsi ransum, pertambahan
bobot badan dan konversi ransum kelinci maka dilakukan rekapitulasi yang dapat
dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Tabel rekapitulasi hasil penelitian
Rataan Parameter
Perlakuan
Konsumsi Pakan
(g/ekor/hari)
PBB (g/ekor/hari)
Konversi Pakan
P0
71,05 tn
14,96
tn
4,78 tn
P1
69,34 tn
17,00
tn
4,28 tn
P2
71,18 tn
17,04
tn
4,28 tn
P3
71,28 tn
17,36
tn
4,03 tn
Keterangan: tn = tidak berbeda nyata
Universitas Sumatera Utara
29
Berdasarkan hasil rekapitulasi di atas diperoleh bahwa fermentasi kulit
buah markisa yang dijadikan bahan pakan campuran untuk ransum dalam bentuk
pelet tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap konsumsi,
pertambahan bobot badan dan konversi terhadap kelinci peranakan rex lepas sapih.
Universitas Sumatera Utara
30
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Penggunaan tepung kulit buah markisa (Passiflora edulis var.edulis) tanpa
fermentasi danfermentasi Phanerochaete chrysosporium dapat digunakan sebagai
campuran bahan pakan ransum dalam bentuk peletyang diberikan kepada kelinci
rex jantan lepas sapih sampai pada level 30%.
Saran
Disarankan agar peternak menggunakan tepung kulit buah markisa sebagai
bahan pakan untuk ternak, baik difermentasi maupun tidak difermentasi. Bahan
makanan ini cukup palatable, hal ini mungkin disebabkan karena aroma tepung
kulit buah markisa disukai oleh ternak, sehingga pakan yang diberikan dapat
dikonsumsi dalam jumlah besar.
Universitas Sumatera Utara
4
TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik dan Potensi Ternak Kelinci
Ternak Kelinci merupakan salah satu jenis ternak yang dapat digunakan
untuk dapat memenuhi sebagian kebutuhan daging bagi masyarakat. Ternak kelinci
cukup potensial untuk dikembangkan kerena mampu berkembang biak dengan
cepat sehigga cocok untuk diternakkan sebagai penghasil daging komersil. Ternak
kelinci mempunyai keunggulan komparatif karena memiliki kemampuan
berkembang biak yang tinggi, ukuran tubuh yang kecil sehingga tidak memerlukan
banyak ruang dalam pemeliharaannya, tidak memerlukan biaya yang besar dalam
investasi ternak dan kandang, umur dewasa yang singkat (4-5 bulan), masa
penggemukan yang singkat (kurang dari 2 bulan sejak sapih).
Ternak kelinci memiliki klasifikasi taksonomi yaitu Kingdom : Animalia,
Phylum : Chordata, Sub phylum : Vertebrata, Kelas : Mammalia, Ordo :
Lagomorpha, Famili : Leporidae, Sub famili : Leporinae, Genus : Orictolagus
(Kartadisastra, 2001).
Kelinci di Indonesia dapat diternakkan atau dikembangkan dengan baik
didaerah ketinggian 500 meter dari permukaan laut dan suhu udara sejuk, berkisar
antara 15-180C (60-850F). Temperatur yang ideal pada pemeliharaan kelinci adalah
15-160C tetapi pada temperatur antara 10-300C ternak masih dapat hidup dan
berkembang biak dengan baik (Rukmana, 2005).
Berikut ini adalah potensi biologis kelinci berdasarkan aspek reproduksi,
genetika, nutrisi, pertumbuhan, pengelolaan, daging, kulit-bulu dan kotoran. Hal ini
dapat dilihat pada Tabel 1.
Universitas Sumatera Utara
5
Tabel 1. Potensi biologis kelinci
Aspek
Reproduksi
Potensi
Kemampuan reproduksi tinggi, dapat beranak 10–11 kali
pertahun, dengan rataan jumlah anak 4–8 ekor per
kelahiran.
Genetika
Keragaman tinggi antar breed dan warna, memungkinkan
banyak sekali variasi hasil silangan, potensi perbaikan
tinggi.
Nutrisi
Kemampuan memanfaatkan hijauan dan limbah industri
pangan, limbah pertanian, sehingga biaya pakan relatif
murah.
Pertumbuhan
Pengelolaan
Relatif cepat, didaerah tropis, 10–30 g/ekor/hari.
Mudah dikelola, dapat diusahakan pada skala kecil
maupun besar.
Daging
Rendah lemak jenuh, rendah kolestrol.
Kulit-bulu
Bermutu tinggi, kulit lemas, lembut dan menarik.
Kotoran
Tinggi kandungan N, P, K, baik untuk tanaman sayuran,
bunga, buah-buahan
Sumber: Cheeke et al., (1987)
Kelinci merupakan salah satu ternak penghasil daging yang mempunyai
kandungan nutrisi yang cukup tinggi. Rokhmani (2005) menyatakan bahwa daging
kelinci mempunyai serat yang halus dan warna sedikit pucat, sehingga daging
kelinci dapat digolongkan kedalam golongan daging berwarna putih. Daging
kelinci mempunyai kualitas yang lebih baik.
Tabel 2. Kandungan nutrisi berbagai jenis daging
Ternak
Protein (%)
Lemak (%)
Kadar Air (%)
Kalori (%)
Kelinci
20,8
10,2
67,9
7,3
Ayam
20,0
11,0
67,6
7,5
Anak Sapi
18,8
14,0
66,0
8,4
Kalkun
20,1
22,0
58,3
10,9
Sapi
16,3
28,0
55,0
13,3
Domba
15,7
27,7
55,8
13,1
45,0
42,0
18,9
Babi
11,9
Sumber: (Sarwono, 2007)
Universitas Sumatera Utara
6
Rex merupakan salah satu dari berbagai macam jenis kelinci. Jenis rex
pertama kali ditemukan oleh seorang petani bernama M. Caillon yang berasal dari
negara Perancis, kemudian diteruskan oleh Pat Abbe pada tahun 1919.
Cheeke
et al., (1987) menambahkan bahwa bulu kelinci rex sifatnya halus, panjangnya
seragam dan mempunyai variasi warna bulu yang menarik dan beragam sehingga
sangat cocok untuk dijadikan kulit bulu (fur). Kelinci rex juga baik dan
proporsional untuk produksi daging. Jenis ini mempunyai panjang tubuh medium
dan dalam, hips yang bulat dan loin yang berisi, sehingga cocok pula untuk
dijadikan sebagai kelinci pedaging. Umur dewasa kelamin kelinci rex 4-6 bulan
(Sarwono, 2007).
Sistem Pencernaan Kelinci
Sistem pencernaan merupakan sistem yang memproses mengubah makanan
dan menyerap sari makanan yang berupa nutrisi-nutrisi yang dibutuhkan oleh
tubuh. Sistem pencernaan juga akan memecah molekul makanan yang kompleks
menjadi molekul yang sederhana dengan bantuan enzim sehingga mudah dicerna
oleh tubuh.
Kelinci adalah ternak non ruminansia herbivora yang mempunyai lambung
tunggal dengan pembesaran unik di bagian caecum. Bagian alat pencernaan ini
berfungsi mirip dengan rumen sehingga kelinci disebut sebagai hewan ruminansia
semu (pseudo-ruminant). Kelinci dapat mencerna sebagian serat kasar terutama
dari bahan nabati, dengan bantuan bakteri yang hidup di dalam sekum dan klinci
juga bersifat coprophagy (Lestari, 2005)
Kelinci termasuk kedalam autocoprophagy, yaitu kelinci membuang feses
dari saluran pencernaanya dalam 2 bentuk, feses kering keras dan juga feses
Universitas Sumatera Utara
7
lembek berlendir dikeluarkan pada malam hari dan pagi hari. Feses yang lembek
berlendir inilah yang dimakan kembali oleh kelinci langsung dari duburnya, ini
dilakukan untuk memanfaatkan protein, serat kasar tumbuhan, vitamin yang
terkandung dalam feses. Feses yang lembek dan berlendir mengandung banyak
vitamin, dan nutrien seperti riboflavin, sianokobalamin (vitamin B12), asam
pantotenat dan niasin. Dengan memakan kembali fesesnya kelinci tidak akan
kekurangan vitamin dan nutrien karena isi saluran pencernaan berdaur ulang
kembali (Anon, 2011).
Kelinci dewasa menyerap protein (sampai 90%) di usus halus, namun
tergantung pada sumbernya. Kelinci sangat sulit dalam hal mencerna selulosa
hal ini merupakan paradoks bagi hewan pemakan tumbuhan. Daya cerna yang
lemah terhadap serat dan kecepatan pencernaan kelinci untuk menyingkirkan
semua partikel yang sulit dicerna menyebabkan kelinci membutuhkan jumlah
makanan yang besar (Fakaguchi, 1992).
Kebutuhan Pakan dan Nutrisi Kelinci
Menurut Kamal (1997) yang dimaksud dengan pakan adalah segala sesuatu
yang dapat dimakan, disenangi, dapat dicerna sebagian atau seluruhnya, dapat
diabsorpsi dan seekor ternak untuk peroide 24 jam dan pemberiannya dapat
dilakukan sekali atau beberapakali selam 24 jam tersebut. Pakan yang sempurna
berarti cukup mmengandung zat makanan yang dibutuhkan kelinci terdiri dari
protein, karbohidrat, lemak, mineral, vitamin dan air sehingga pakan yang
sempurna mampu mengembangkan pekerjaan sel tubuh untuk proses-proses
pertumbuhan (Hartadi, 2005).
Universitas Sumatera Utara
8
Williamson
dan
Payne
(1993)
menyatakan
bahwa
pakan
dapat
dikelompokkan menjadi dua jenis yakni hijauan dan konsentrat. Hijauan
merupakan bahan pakan pokok kelinci yang memiliki serat kasar tinggi pada bahan
keringnya (20-23%). Secara umum konsentrat mengandung serat kasar lebih sedikit
dari pada hijauan (5-7%) dan mengandung karbohidrat, protein, dan lemak yang
relatif lebih banyak tetapi jumlahnya bervariasi dengan jumlah air yang relatif
sedikit.
Tabel 3. Kebutuhan ransum kelinci lepas sapih
No
Nutrisi
Jumlah
1.
Protein
12-19%**
2.
Lemak
2,5-4%**
3.
Serat Kasar
11-14%**
4.
Energi
2005-2900%*
5.
Calsium
0,9-1,5%**
6.
Phosfor
0,7-0,9%**
7.
Air
12%***
Sumber : AAK (1980)*, Manshur (2009)**, Masanto (2009)***
NRC (1977) menyarankan kandungan energi dalam ransum sebesar 2500
kkal DE/kg dan kandungan protein kasar (PK) 16%, serat 28 kasar (SK) berkisar
antara 10-12 %, Calsium (Ca) 0,4% dan Fosfor (P) 0,22 % untuk kelinci potong.
Lebih lanjut Sinaga (2009) menyarankan kelinci pejantan fase grower memerlukan
protein kasar 16% sedangkan untuk induk menyusui 15 – 16 %. Kandungan serat
kasar pada ransum kelinci jantan fase grower adalah 10 – 27 % dan induk
menyusui adalah 15 – 20%. Menurut Lick dan Hung (2008) kelinci mempunyai
efisiensi penggunaan ransum lebih tinggi dari ruminansia seperti sapi dan kelinci
dapat memanfaatkan pakan hijauan yang tidak disukai sapi.
Universitas Sumatera Utara
9
Untuk peningkatan bobot kelinci pedaging dapat sesuai dengan yang
diinginkan, pemberian pakan harus diatur agar seimbang pakan hijauan dan
konsentrat. Biasanya pada peternakan kelinci intensif, hijauan diberikan sebanyak
60-80%, sedangkan konsentrat sebanyak 20-40% dari total jumlah pakan yang
diberikan (Priyatna, 2011).
Kelinci hanya memerlukan ransum dengan kadar lemak rendah. Bahan
pakan seperti: jagung, bekatul dan dedak sangat cocok untuk kelinci. Protein sangat
penting untuk pertumbuhan anak, pembentukan daging dan pertumbuhan bulu.
Banyaknya ransum untuk induk bunting dan induk menyusui per ekor dewasa per
hari adalah: hijauan sekitar 1-2 kg dan konsentrat 6,7% dari bobot hidupnya.
Sedangkan untuk induk kering, induk muda dan anak kelinci yang telah disapih
banyaknya: rumput/hijauan sekitar 1-2 kg dan konsentrat 3,8% dari berat hidup
(Sumoprastowo, 1985).
Potensi Kulit Buah Markisa (KBM) sebagai Pakan Ternak
Buah markisa merupakan salah satu jenis buah impor yang kemudian
berhasil dikembangkan di Indonesia. Budidaya markisa tidak sulit karena markisa
cocok dengan jenis tanah apapun asalkan unsur hara serta bahan organiknya cukup.
Untuk penanamannya tidak sulit, hanya saja tanaman ini harus dibuatkan tiang
rambatan. Tiang rambatan yang baik adalah dengan menggunakan pucuk bambu
tanpa kawat karena bisa merangsang pertumbuhan markisa serta jumlah buahnya.
Indonesia merupakan negara yang agraris yang beriklim tropis sehingga
perkembangan tanaman markisa sangat bagus.
Di Indonesia terdapat dua jenis markisa yaitu markisa ungu (Passiflora
edulis) dan markisa kuning (Passiflora flavicarva) tumbuh di dataran rendah.
Universitas Sumatera Utara
10
Klasifikasi markisa sebagai berikut: Kingdom: Plantae (tumbuh-tumbuhan),
Divisi: Spermatophyta (tumbuhan berbiji), Subdivisi: agiospermae (berbiji
tertutup), Kelas: Dicotyledonae (biji berkeping dua), Ordo: Passiflorae, Famili:
Passiforaceae, Genus: Passiflora, Spesies: Passifloraquadrangularis L., P. Edulis
(Rukmana, 2003).
Sebagai sumber bahan baku pakan potensi tanaman markisa terdapat pada
produk limbah yang dihasilkan dari proses pengolahan buah markisa untuk
menghasilkan sari markisa. Secara nasional terdapat potensi produksi buah segar
sebesar 99.000 ton, dan sebagian terbesar (99%) dihasilkan oleh tiga wilayah
penghasil utama. Kontribusi terbesar disumbang oleh Provinsi Sumatera Barat
(53%) diikuti oleh Provinsi Sulawesi Selatan (24%) dan Provinsi Sumatera Utara
(23%). Usaha produksi markisa diperkirakan masih akan meningkat pada tahun
mendatang dan diprediksi akan mencapai 112.000 ton pada tahun 2009.
Tabel 4. Luas lahan, produksi dan wilayah pengembangan tanaman markisa
Wilayah Pengembangan
Luas Lahan (Ha)
Produksi (Ton)
Sumatera Utara
931
22.035
Sumatera Barat
2.117
52.797
Sulawesi Selatan
1.154
23.488
Sumber: Poerwanto (2005).
Rasio kulit buah markisa dengan buahnya adalah 54% dan ketersediaannya
tidak bersifat musiman sehingga dapat diperoleh setiap waktu. Kulit buah markisa
mempunyai kandungan nutrisi yang cukup baik yaitu mengandung Protein Kasar
(PK) 12,37%, Lemak Kasar (LK) 5,28%, Serat Kasar (SK) 30,16% dan Abu 9,26%
(Loka Penelitian Kambing Potong Sei Putih, 2009). Pemanfaatan kulit buah
markisa secara langsung sebagai pakan ternak memiliki beberapa kelemahan
Universitas Sumatera Utara
11
diantaranya masih mengandung anti nutrisi tannin (1,85%) dan lignin 31,79% yang
dapat mengganggu pencernaan jika diberikan dalam bentuk segar(Astuti, 2008).
Fermentasi
Fermentasi adalah segala macam proses metabolisme dimana enzim dari
mikroorganisme (jasad renik) melakukan oksidasi, hidrolisa dan reaksi kimia
lainnya sehingga terjadi perubahan kimia pada substrat organik dengan
menghasilkan produk tertentu. Biokatalis yang digunakan adalah bakteri, yeast atau
jamur (fungi) (Riadi, 2007).
Proses fermentasi bahan pakan oleh mikroorganisme menyebabkan
perubahan-perubahan yang menguntungkan seperti memperbaiki mutu bahan
pakan baik dari aspek gizi maupun daya cerna serta meningkatkan daya tahannya.
Hal tersebut disebabkan karena mikroba yang bersifat katabolik atau memecahkan
komponen-komponen yang kompleks menjadi zat-zat yang lebih sederhana
sehingga lebih mudah dicerna dan juga karena adanya enzim yang dihasilkan oleh
mikroba itu sendiri (Winarno, 1980). Berikut hasil bahan pakan yang difermentasi
dan tanpa fermentasi jamur Phanerochaete chrysosporium dapat dilihat pada Tabel
6.
Tabel 5. Kandungan Kimiawi Kulit Buah Markisa tanpa dan fermentasi
Phanerochaete chrysosporium selama 15 hari
Kandungan Kimiawi
Kulit Buah Markisa
Kulit Buah Markisa Fermentasi
ME (Kkal/kg)
3575
3615
BK (%)
88,9
89,10
PK (%)
8,53
18,56
SK (%)
39,56
34,96
LK (%)
0,6
1,39
Sumber : Laboratorium Pengujian Mutu Pakan Loka Penelitian Kambing Potong (2015)
Universitas Sumatera Utara
12
Selama
proses
fermentasi,
terjadi
bermacam-macam
perubahan
komposisikimia. Kandungan asam amino, karbohidrat, pH, kelembaban, aroma
serta perubahan nilai gizi yang mencakup terjadinya peningkatan protein dan
penurunan serat kasar. Semuanya mengalami perubahan akibat aktivitas dan
perkembangbiakan mikroorganisme selama fermentasi. Melalui fermentasi terjadi
pemecahan substrat oleh enzim-enzim tertentu terhadap bahan yang tidak
dapatdicerna, misalnya selulosa dan hemiselulosa menjadi gula sederhana. Selama
proses fermentasi terjadi pertumbuhan kapang, selain dihasilkan enzim juga
dihasilkan protein ekstraselluler dan protein hasil metabolisme kapang sehingga
terjadi peningkatan kadar protein (Sembiring, 2006).
Jamur Pelapuk Putih Phanerochaete chrysosporium
Jamur Phanerochaete chrysosporium merupakan salah satu jamur yang
dapat menguraikan ikatan dan mendegradasi lignin dengan bantuan enzim
pendegradasi lignin. Jamur ini juga dapat mendegradasi polimer selulosa,
hemiselulosa dan lignin dengan bantuan enzim ekstraseluler (Suparjo, 2008).
Jamur Phanerochaete chrysosporium termasuk dalam kelompok jamur
pelapuk putih dan merupakan jamur kelas Basidiomycetes. Klasifikasi jamur ini
sebagai berikut, kelas: Basidiomycetes, sub kelas: Holobasidiomycetes, ordo:
Aphylophorales, famili: Certiciaceae, genus: Phanerochaete dan spesies:
Phanerochaete chrysosporium burdsall (Irawati, 2006).
Fermentasi dengan menggunakan kapang atau jamur Phanerochaete
chrysosporium secara substrat padat memungkinkan terjadi perubahan komponen
bahan yang sulit dicerna menjadi lebih mudah dicerna serta meningkatkan nilai gizi
protein
dan
energi
metabolis.
Standrat
tumbuh
Phanerochaete
Universitas Sumatera Utara
13
chrysosporium adalah tumbuh pada suhu 390C dengan suhu optimum 370C. Ph
berkisar 4-4,5 dan dalam pertumbuhannya memerlukan kandungan osigen yang
tinggi (Sembiring, 2006).
Pakan Kelinci Berbentuk Pelet
Pelet merupakan bentuk bahan pakan yang dipadatkan sedemikian rupa dari
bahan konsentrat atau hijauan dengan tujuan untuk mengurangi sifat keambaan
pakan. Patrick dan Schaible (1980) menjelaskan keuntungan pakan bentuk pelet
adalah meningkatkan konsumsi dan efisiensi pakan, meningkatkan kadar energi
metabolis pakan, membunuh bakteri patogen, menurunkan jumlah pakan yang
tercecer, memperpanjang lama penyimpanan, menjamin keseimbangan zat-zat
nutrisi pakan dan mencegah oksidasi vitamin.
Pelet merupakan hasil proses pengolahan bahan baku ransum secara
mekanik yang didukung oleh faktor kadar air, panas dan tekanan. Pemberian pakan
bentuk pelet dapat meningkatkan performa dan konversi pakan ternak bila
dibandingkan dengan pakan bentuk mash (Behnke, 2001). Kualitas pelet dapat
diukur dengan mengetahui kekerasan pelet (hardness) dan daya tahan pelet
dipengaruhi oleh penambahan panas yang mempengaruhi sifat fisik dan kimia
bahan pakan (Thomas dan Van der Poel, 1997).
Performa kelinci yang diberi pakan berupa pelet lebih baik dibandingkan
dengan kelinci yang diberi pakan berupa butiran atau mash, hal ini dikarenakan
ternak
tidak
mempunyai
kemampuan
untuk
menyortir
pakan
sehingga
meningkatkan retensi makanan dalam saluran pencernaan dan dapat menyebabkan
radang usus. Pakan pelet yang berdiameter kecil (0,5
Universitas Sumatera Utara
14
cm) akan menghasilkan pembuangan pakan lebih banyak. Panjang pelet untuk
ternak kelinci adalah 0,8 sampai 0,1 cm, karena semakin panjang ukuran pelet akan
memberikan potensi kerusakan pelet yang lebih besar
(Maertens and
Villamide, 1998).
Performans Ternak Kelinci
Konsumsi Ransum
konsumsi ransum adalah kemampuan untuk menghabiskan
sejumlah
ransum yang diberikan. Konsumsi ransum dapat dihitung dengan pengurangan
jumlah ransum yang diberikan dengan sisa dan hamburan. Konsumsi ransum
dipengaruhi oleh kesehatan ternak, palatabilitas, mutu ransum dan tata cara
pemberian (Anggorodi, 1995).
Kartadisastra (1994) menyatakan bahwa tinggi rendahnya konsumsi pakan
dipengaruhi oleh faktor eksternal yaitu lingkungan dan faktor internal atau kondisi
ternak sendiri yang meliputi temperatur lingkungan, palatabilitas, status fisiologi
yaitu umur, jenis kelamin dan kondisi tubuh, konsentrasi nutrien, bentuk pakan,
bobot tubuh dan produksi.
Menurut Sanusi (2006), konsumsi ransum seekor ternak perlu diketahui
untuk dapat mengoptimalkan jumlah ransum yang diberikan, karena pemberian
ransum yang kurang optimal akan mengakibatkan pertumbuhan ternak kurang
maksimal. Tinggi dan rendahnya konsumsi ransum dapat diketahui dengan
menimbang berat ransum ternak yang diberikan dikurangi sisa ransum dalam
jangka waktu tertentu dan umumnya dinyatakan atas dasar bahan kering. Jumlah
konsumsi ransum merupakan faktor penentu yang paling penting untuk
Universitas Sumatera Utara
15
menentukan jumlah nutrien yang didapat oleh ternak dan selanjutnya
mempengaruhi tingkat produksi.
Sarwono (2009) menyatakan seperti halnya ternak ruminansia, kelinci
membutuhkan karbohidrat, lemak, protein, mineral, vitamin, dan air. Jumlah
kebutuhannya tergantung pada umur, tujuan produksi, serta laju atau kecepatan
pertumbuhannya. Banyaknya pakan yang dikonsumsi oleh kelinci tergantung pada
tipe kelinci, berat badan dan umur kelinci. Kelinci tipe sedang memerlukan pakan
lebih banyak dibandingkan tipe kecil tetapi lebih sedikit dibandingkan tipe besar.
Konsumsi pakan pada kelinci dewasa dengan Bobot Badan (BB) sekitar 2-4 kg
tara-rata 120-180 g/ekor/hari (Whendrato dan Madyana, 1983).
Pertambahan Bobot Badan
Pertumbuhan adalah perubahan ukuran yang meliputi perubahan bobot
hidup, bentuk dan komposisi tubuh, termasuk perubahan komponen tubuh seperti
otot, lemak, tulang dan organ. Pertumbuhan dapat dinyatakan dengan pertambahan
bobot badan. Kenaikan bobot badan dapat terjadi karena kemampuan ternak dalam
mengubah nutrien pakan yang dikonsumsi menjadi daging dan lemak. Faktorfaktor yang mempengaruhi pertumbuhan dibedakan menjadi 2 yaitu faktor
lingkungan, seperti iklim, nutrien, kesehatan, manajemen, dan faktor genetik
seperti bangsa, umur dan jenis kelamin. Kecepatan pertumbuhan tidak saja
dipengaruhi oleh pakan yang digunakan tetapi yang penting adalah kelengkapan
nutrien yang diperoleh (Soeparno, 1991).
Pertambahan Bobot Badan (PBB) dapat diketahui dengan pengukuran
kenaikan berat badan yang dengan mudah dapat dilakukan lewat penimbangan
berulang-ulang serta dicatat pertambahan bobot badan tiap hari, minggu, bulan, dan
Universitas Sumatera Utara
16
sebagainya. Kenaikan bobot badan pertumbuhan biasanya diketengahkan sebagai
pertambahan bobot badan harian atau Average Daily Gain .
(Tillman, 1998).
Menurut Buckle (1987), pertumbuhan ternak penghasil daging dipengaruhi
oleh 3 faktor yaitu keturunan, reaksi faal terhadap lingkungan (terutama suhu
lingkungan) dan nutrisi pakan yang diberikan pada ternak. Kelinci mempunyai
kecepatan pertumbuhan yang hampir sama dengan ayam broiler, dalam waktu 56
hari dapat mencapai berat badan 1,8 kg, sedangkan pertambahan bobot badan
kelinci yang ideal adalah 4-21 g/ekor/hari. Pertambahan bobot badan kelinci sesuai
umur dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Pertambahan bobot badan kelinci
No
Umur
BB (g)
PBB/hari (g)
1.
Lahir 3 minggu
45,4 – 362,2
15,1
2.
3 – 8 minggu
362,2 – 1816,0
41,5
3.
8 – 14 minggu
1816,0 – 3268,8
33,2
4.
14 minggu – 5 bulan
3268,8 – 4068,0
16,5
Sumber: Reksohadiprojo (1984)
Pertambahan bobot badan biasanya mengalami tiga tingkat kecepatan yang
berbeda-beda, yang pertama pertambahan tulang, diikuti dengan pertumbuhan otot
dan yang terakhir adalah pertumbuhan jaringan lemak (Anggorodi, 1990),
ditambahkan oleh Sumoprastowo (1993), pertumbuhan pada mulanya lambat,
kemudian berubah menjadi lebih cepat. Tetapi pertumbuhan akan kembali lambat
sewaktu hewan itu mendekati kedewasaannya. Pertambahan bobot badan terjadi
bila pakan yang dikonsumsi telah melebihi kebutuhan hidup pokok, maka
kelebihan dari nutrien akan diubah menjadi otot dan lemak.
Konversi Ransum
Universitas Sumatera Utara
17
Deblass dan Wiseman (1998), menyatakan bahwa konversi pakan
merupakan parameter yang digunakan utuk mengetahui efisiensi penggunaan
pakan. Konversi pakan dapat dihitung dengan membagi antara jumlah pakan yang
dikonsumsi dengan pertambahan berat badan yang dihasilkan, semakin rendah
angka konversi pakan berarti semakin baik efisiensi penggunaan pakannya.
Menurut Champbell dan Lasley (1985) mengatakan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi konversi ransum adalah genetik, umur, berat badan, tingkat
konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, palatabilas dan hormon.
Efisiensi pakan juga dipengaruhi oleh kecernaan pakan. Nilai kecernaan
pakan yang tinggi, akan memberikan nilai pertambahan bobot badan yang tinggi,
kemudian akan berakibat pada efisiensi pakan. Cheeke et al., (1987) menyatakan
bahwa kandungan energi ransum mempengaruhi efisiensi penggunaan ransum
yakni dengan semakin tinggi kandungan energi dalam ransum akan menurunkan
konversi pakan dan meningkatkan efisiensi pakan.
Universitas Sumatera Utara
1
PENDAHULUAN
Latar belakang
Pengembangan sektor peternakan sangat memerlukan upaya-upaya
alternatif dalam membantu meningkatkan nilai gizi masyarakat. Salah satu upaya
dalam peningkatan produktivitas ternak yang harus dilakukan antara lain dengan
memberikan pakan yang berkualitas baik. Menurut Sarwono (2009), dalam
peternakan kelinci secara intensif, pakan yang diberikan selain hijauan sebagai
pakan pokok, diperlukan konsentrat sebagai pakan tambahan atau pakan penguat.
Pakan konsentrat dapat berupa pakan buatan dari pabrik, harganya relatif lebih
mahal, oleh karena itu perlu dicari bahan pakan lain yang sesuai, tidak bersaing
dengan kebutuhan manusia, mudah didapatkan, serta murah harganya.
Di Indonesia produksi jus markisa sampai dewasa ini terlihat cukup banyak,
ini sejalan dengan permintaan dan perkembangan industri pengolah (pabrik
markisa) khususnya di Sumatera Utara. Berastagi merupakan salah satu daerah
sentral produksi markisa (Passiflora edulis). Dalam pengolahan buah markisa
menjadi jus (sari) pada pabrik markisa bagian yang tidak diolah berupa Kulit Buah
Markisa (KBM) sebanyak 2,5-4 ton per hari. Dari buah mark
LAMPIRAN
1. Pengolahan Tepung KBM fermentasi Phanerochaete chrysosporium
Kulit Buah Markisa (KBM) SEGAR
Dicuci
Jemur dibawah sinar matahari (3 hari)
Dicacah
Digiling
Tepung KBM
Disterilkan/diautoclave
0
(15 menit, 121 C)
Tepung KBM +Phanerochaete chrysosporium
Fermentasi selama 15 hari (suhu kamar,
Dosis 106 CFU/g,
1,18 ml suspensi spora untuk
1 gram Tepung KBM)
Pengeringan
Dioven
0
(24 jam, 60 C)
KBM PRODUK FERMENTASI
Universitas Sumatera Utara
36
2. Pembuatan Pakan Bentuk Pelet
Bahan Baku
Bahan Baku digiling
menjadi Tepung
Ditimbang menurut
formulasi
Diaduk rata di tempat
pengadukan
Penambahan bahan baku
cair (kalau dibutuhkan)
Diaduk lagi sampai
bahan baku cair tersebut
dapat tercampur merata
ke seluruh bagian
Bahan baku berbentuk
adonan(kebasahan 60%)
Dimasukkan ke alat pencetak pelet
Dihasilkan ukuran pelet 5-7 mm
Pelet dikeringkan
(dioven selama 12 jam,
temperatur 500C)
Pelet siap diberikan
sebagai pakan kelinci
Universitas Sumatera Utara
37
3. Formula Ransum Kelinci :
No
Bahan
1.
Perlakuan
P0
P1
P2
P3
KBM
30
20
10
0
2.
KBM Fermentasi
0
10
20
30
3.
Tepung Jagung
30
30
30
30
4.
Dedak Padi
11
11
11
11
5.
Bungkil Kedelai
14
14
14
14
6.
Tepung Ikan
7
7
7
7
8.
Top Mix
2
2
2
2
9.
Molases
6
6
6
6
TOTAL
100
100
100
100
Kandungan Nutrisi
1.
PK (%)
15,934
16,937
17,94
19,273
2.
EM (kkal/kg)
2845,75
2849,75
2853,75
2857,75
3.
SK (%)
15,4228
14,9628
14,5028
14,0428
4.
LK (%)
4,1028
4,1818
4,2608
4,3398
5.
Ca (%)
0,8986
0,8986
0,8986
0,8986
6.
P (%)
0,7334
0,7334
0,7334
0,7334
Universitas Sumatera Utara
38
4. Rataan konsumsi bahan kering pelet selama penelitian (g/ekor/hari)
Ulangan
Perlakuan
Total
Rataan Standart
Deviasi
1
2
3
4
5
P0
54.08
55.74
54.76
55.52
58.40
278.50
55.70
1.64
P1
57.39
55.83
59.94
54.20
55.80
283.16
56.63
2.17
P2
54.75
54.37
51.79
60.94
54.38
276.22
55.24
3.40
P3
55.05
55.22
54.79
53.60
53.34
272.01
54.40
0.87
Total
Rataan
221.26 221.16 221.28 224.26 221.92 1109.88
55.32
55.29
55.32
56.06
55.48
55.49
5. Rataan konsumsi bahan kering hijauan selama penelitian (g/ekor/hari)
Ulangan
Perlakuan
Total
Rataan Standart
Deviasi
1
2
3
4
5
P0
14.67
14.82
16.34
15.69
14.32
75.85
15.17
0.83
P1
14.93
14.67
13.86
14.53
14.39
72.38
14.48
0.40
P2
15.92
16.18
16.89
16.11
14.59
79.70
15.94
0.84
P3
16.71
17.02
16.74
16.78
17.15
84.39
16.88
0.19
Total
62.23
62.69
63.84
63.12
60.45
312.32
Rataan
15.56
15.67
15.96
15.78
15.11
15.62
6. Rataan konsumsi ransum kelinci dalam bahan kering (BK) selama penelitian
(g/ekor/hari)
Ulangan
Perlakuan
Total
Rataan Standart
Deviasi
1
2
3
4
5
P0
68.93
70.74
71.28
71.39
72.89
355.24
71.05
1.43
P1
62.08
71.17
72.41
70.53
70.49
346.68
69.34
4.13
P2
70.67
70.54
68.68
77.05
68.97
355.92
71.18
3.40
P3
71.76
72.25
71.53
70.37
70.49
356.40
71.28
0.82
Total
Rataan
273.44 284.70 283.90 289.36
68.36
71.17
70.98
72.34
282.84 1414.24
70.71
70.71
Universitas Sumatera Utara
39
7. Analisis ragam konsumsi ransum kelinci selama penelitian
SK
DB
Jk
Perlakuan
Kt
F Hitung
3
12,75
4,25
Galat
16
125,35
7,83
Total
19
138,09
tn
0,54
F tabel
0,05
0,01
3,23
5,29
Keterangan: tn= tidak berbeda nyata
8. Analisa keragaman pertambahan bobot badan kelinci selama penelitian
F tabel
SK
DB
Perlakuan
Galat
Total
Jk
3
16
19
18,11
74,94
93,05
Kt
6,04
4,68
F Hitung
1,29tn
0,05
3,23
0,01
5,29
Keterangan: tn = tidak berbeda nyata
9. Analisa keragaman konversi ransum kelinci
F tabel
SK
Perlakuan
Galat
Total
DB
Jk
3
16
19
1,51
6,44
7,95
Kt
0,50
0,40
F Hitung
1,25
tn
0,05
3,23
0,01
5,29
Keterangan: tn= tidak berbeda nyata
Universitas Sumatera Utara
40
7. Grafik rataan konsumsi kelinci dalam bahan kering (BK) selama penelitian
(g/ekor/hari)
100,00
Konsumsi
71,05
71,28
71,18
69,34
80,00
60,00
40,00
20,00
0,00
P0
P1
P2
P3
Perlakuan
8. Grafik rataan pertambahan bobot badan kelinci selama penelitian (g/ekor/hari)
50,00
40,00
PBBH
30,00
17,04
17,00
14,96
20,00
17,36
10,00
0,00
P0
P1
P2
P3
Perlakuan
9. Grafik rataan konversi ransum kelinci selama penelitian (g/ekor/hari)
Konversi
4,78
5,00
4,50
4,00
3,50
3,00
2,50
2,00
1,50
1,00
0,50
0,00
P0
4,28
4,28
4,03
P1
P2
P3
Perlakuan
Universitas Sumatera Utara
41
10. Grafik rekapitulasi data performans selama penelitian
80,00
71,05
71,28
71,18
69,34
70,00
60,00
50,00
konsumsi
40,00
PBBh
Konversi
30,00
20,00
17,00
14,96
10,00
4,78
17,36
17,04
4,28
4,28
4,03
0,00
P0
P1
P2
P3
Universitas Sumatera Utara
42
11. Hasil Analisis Proksimat Kulit Buah Markisa yang difermentasi dengan
Phanerochaete chrisosporium selama 15 hari.
Universitas Sumatera Utara
31
DAFTAR PUSTAKA
AAK. 1980. Pemeliharaan Kelinci. Kanisius. Yogyakarta.
Anggorodi, 1990. Ilmu Makanan Ternak Umum. Gramedia. Jakarta.
_________.1995. Nutrisi Aneka Ternak Umum. PT. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.
Astuti, T. 2008. Evaluasi Nilai Nutrisi Kulit Buah Markisa Yang Difermentasi
Dengan Aspergillus Niger Dan Trichoderma Harzianum Sebagai Pakan
Ternak Secara In – Vitro. Tesis. Program Pascasarjana. Universitas
Andalas. Padang.
Anon,
2011. Kebiasaan Kelinci Memakan Kotoran Sendiri (Coprophagy)
http://dinooblog.blogspot.com/2011/01/kebiasaan-kelinci-memakankotoran.html. Disitir 8Juni 2013
Behnke, K. C. 2001. Processing Factors Influencing Pelet Quality. Feed Tech. 5
(4): 1-7. Disitasi Skripsi Rizqiani, A. 2011. Performa Kelinci Potong Jantan
Lokal Peranakan New Zeland WhiteYang Diberi Pakan Silase Atau Pelet
Ransum Komplit. Institup Pertanian Bogor-Press. Bogor.
Buckle, K.A. 1987. Ilmu Pangan.UI Press. Jakarta.
Champbell, J. R. and J.F. Lasley.1985. The Science of Animals that Sarved
Mankid. 3th. Tata Mc Graw. Hill Publishing Company Limited New
Delhi. Pp 390-392.
Cheeke, R.B., N.M. Patton., S.D. Lukefahr and J.I. Mcniit. 1987. Rabbit
production. Sixth Edition. TheInterstate Printers and Publisher, Inc.
Danville, Illinois. Pdf. Aritonang et al. 2003. Laju Pertumbuhan Kelinci
Rex, Satin dan Persilangannya yang Diberi Lactosym@ dalam Sistem
Pemeliharaan Intensif. [10 Maret 2014].
Deblass. C. and J. Wiseman. 1998. The Nutrition of The Rabbit. CABI Publishing.
New York, USA. Skripsi. Risqiani, A. 2011. Performa Kelinci Potong
Jantan Lokal Peranakan New Zeland Whiteyang Diberi Pakan Silase atau
Pelet Ransum Komplit. Institup Pertanian Bogor-Press. Bogor.
Fakaguchi, E. 1992. Fibre Digestion And Digesta Retention From Different
Physical Forms Of The Feed In The Rabbit. Comparative Biochemistry
And Physiology 102A, No. 3: 559-63.
Hartadi, H., 2005. Tabel Komposisi Pakan Untuk Indonesia. Gadjha Mada
University Press. Yogyakarta
Universitas Sumatera Utara
32
Irawati, D. 2006. Pemanfaatan serbuk kayu untuk produksi etanol [tesis]. Bogor:
Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Kamal, M. 1997. Kontrol Kualitas Pakan Ternak.Laboratorium Makanan Ternak
Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan, Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta.
Kartadisastra, H.R. 1994. Komposisi Kandungan Bahan Penyusun Ransum.
Kanisius. Yogyakarta.
_________.2001. Ternak Kelinci. Kanisius. Yogyakarta.
_________.2011. Kelinci Unggul. Penerbit Kanisius, Jakarta.
Lestari, C.M.S., H.I. Wahyuni dan L. Susandari. 2005. Budidaya Kelinci
Menggunakan Pakan Industri Pertanian dan Bahan Pakan Inkonvensional.
Potensi dan Peluang Pengembangan Usaha Kelinci. Bandung 30
September 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan Fakultas Peternakan
Universitas Padjadjaran. Hal 55-60.
Lick, N.Q. and D.V. Hung. 2008. Study and Desig the Rabbit Coop Small-Scale
Farm in Central of Vietnam. Departemen of Agriculture Engineering, Hue
University of Agriculture and Forestry. Vietnam.
Maertens, L., & M. J. Villamide. 1998. Feeding systems for intensive production.
In: C. de Blas and J. Wiseman (ed.) The Nutrition of the Rabbit. CABI
Publishing, London. p 241.
Manshur, F. 2009. Kelinci-Pemeliharaan Secara Ilmiah, Tepat dan Terpadu.
Nuansa. Bandung.
Masanto. 2009. Beternak Kelinci Potong. Penebar Swadaya. Jakarta.
National
Research Council. 1977. Dalam http://www.kelinci.co/2013/09/
pedoman-kebutuhan-gizi-kelinci.html. Diakses tanggal 8 Maret 2015.
Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. Universitas
Indonesia Press. Jakarta.
Patrick, H and P.J Schaaible 1980. Poultry Feds and Nutrition new edn. Avi
Publishing Coy. Incorporated West Port Connecticut, 283-284.
Poerwanto, R. 2005. Pembangunan Kawasan Sentra Produksi Buah Berbasis Mutu.
Makalah disampaikan pada Pertemuan Koordinasi Pengembangan Sentra
Produksi Buah-buahan, Cisarua, Bogor. Direktorat Tanaman Buah.
Direktorat Jenderal Hortikultura.
Universitas Sumatera Utara
33
Priyatna, N. 2011., Beternak dan Bisnis Kelinci Pedaging. Agromedia Pustaka.
Jakarta.
Rasyaf, M., 1996. Pengelolaan Peternakan Unggas Pedaging. Kanisius.
Yogyakarta.
Riadi, Lieke. 2007. Teknologi Fermentasi. Edisi Ke-1. Yogyakarta : Graha Ilmu.
Rokhmani, S.I.W. 2005. Peningkatan Nilai Gizi Bahan Pakan Dari Pertanian
Melalui Fermentasi. Prosiding. Lokakarya Nasional. Potensi dan Peluang
Pengembangan Usaha kelinci. Bandung 30 September 2005. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Peternakan.Badan penelitian dan
Pengembangan Pertanian dan Fakultas Peternakan Universitas
Padjadjaran. Hal 66-74
Rukmana, R., 2003. Usahatani Markisa. Kanisius, Yogyakarta.
_________. 2005. Prospek Beternak Kelinci. http://www.
online.com/news. Diakses tanggal 2 Februari 2015.
suarakarya
Sanusi, A., 2006. Pengaruh Penambahan Starbio Dalam Ransum Terhadap
Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Pada Kelinci Lokal Jantan.
Skripsi S1. Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta
Sarwono, 2007. Kelinci Potong dan Hias. Agromedia Pustaka. Jakarta
_______.2009. Buku Pintar Memelihara Kelinci dan Rodensia. Agromedia
Pustaka. Jakarta.
Sembiring, P. 2006. Biokonversi Limbah Pabrik Minyak Inti Sawit dengan
Phhanerochaete chryssporium dan Implikasinya Terhadap Performans
Ayam Broiler.Disertasi Doktor. Universitas Padjajaran, Bandung.
Sinaga, S. 2009. Pakan Kelinci dan Pemberiannya. http://blogs.unpad ac.id/Suland
Sinaga. Disitir 21 pebruari 2015.
Soeparno 1991. Pertambahan bobot badan karkas dan komposisi kimia daging sapi,
kaitannya dengan bangsa dan macam pakan penggemukan. J. Ilmiah
Penelitian Ternak 2 (1):7-12.
Sumoprastowo. 1985. Beternak kelinci idaman. Bhratara Karya Aksara. Jakarta.
_______1993. Beternak Domba Pedaging dan Wol. Bhratara Karya
Aksara. Jakarta.
Suparjo. 2008. Degradasi komponen lignoselulosa oleh kapang pelapuk.
http://jajo66. files.wordpress.com/2008/10/degradasi-lignoselulosa.pdf [14
November 2008].
Universitas Sumatera Utara
34
Thomas, M., and A. F. B. Van der Poel. 1997. Physical quality of peleted animal
feed 2. contribution of processes and its conditions. Animal Feed Science
and Technology. 61 (1): 89-109.
Tillman AD. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press.
Whendrato, I. dan I.M. Madyana, 1983. Beternak Kelinci Secara Populer. Eka
Offset. Semarang
Williamson. G and W.J.A Payne, 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis.
Gadjah Mada, University Press.Yogyakarta.
Winarno, F. G, 1980. Pengantar Teknologi Pangan. PT. Gramedia. Jakarta.
Universitas Sumatera Utara
18
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Jl. Udara Gg. Rukun (Peternakan Kelinci
Rukun Farm) Berastagi, Kabupaten Karo. Penelitian ini berlangsung selama
3
bulan dimulai dari 03 Agustus 2015 sampai dengan 13 Oktober 2015.
Bahan dan Alat
Bahan
Bahan yang digunakan yaitu kelinci rex jantan lepas sapih 20 ekor dengan
rata-rata bobot badan 918 ± 75,18. Bahan pakan yang terdiri dari tepung kulit buah
markisa, tepung jagung, dedak padi, bungkil kedelai, tepung ikan, top mix dan
molases. Tepung Kulit Buah Markisa (KBM) difermentasi dengan jamur
Phanerochaete chrysosporium kemudian bahan pakan diolah menjadi pakan
berbentuk pelet. Daun wortel sebagai hijauan dan obat-obatan seperti Permentyhl
5% sebagai obat kembung, Pyroxy sebagai antibiotik dan vitamin B-complex serta
rodalon sebagai desinfektan.
Alat
Alat yang digunakan yaitu kandang individu sebanyak 20 petak,
timbangan kapasitas 5 kg untuk menimbang kelinci, pakan dan sisa pakan, tempat
pakan pada tiap kandang dengan total sebanyak 20 unit, mesin giling untuk
menggiling bahan menjadi bentuk tepung, mesin pencetak pelet, autoclave untuk
mensterilkan bahan pakan sebelum difermentasi, oven untuk mengeringkan pelet
dan tepung KBM setelah difermentasi, termometer untuk mengetahui suhu
Universitas Sumatera Utara
19
kandang, alat pembersih kandang, kantong plastik sebagai tempat penyimpanan
bahan pakan dan pelet.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah secara experimental dengan
menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 5 ulangan.
Adapun perlakuan yang diteliti adalah sebagai berikut :
P0
: Ransum dengan penambahan 30% KBM tanpa fermentasi dan 0% KBM
fermentasi Phanerochaete chrysosporium
P1
: Ransum dengan penambahan 20% KBM tanpa fermentasi dan 10% KBM
fermentasi Phanerochaete chrysosporium
P2
: Ransum dengan penambahan 10% KBM tanpa fermentasi dan 20% KBM
fermentasi Phanerochaete chrysosporium
P3
: Ransum dengan penambahan 0% KBM tanpa fermentasi dan 30% KBM
fermentasi Phanerochaete chrysosporium
Sedangkan jumlah ulangan diperoleh dengan menggunakan rumus seperti berikut:
t (n – 1)
4 (n – 1)
4n
n
n
> 15
> 15
> 19
> 19/4
= 4,75 ≈ 5
Kombinasi unit perlakuan sebagai berikut :
P2U3
P0U2
P1U4
P3U2
P2U2
P3U4
P1U3
P0U3
P2U1
P1U1
P0U1
P2U4
P2U5
P1U5
P3U3
P1U2
P3U5
P3U1
P0U4
P0U5
Model linear untuk rancangan acak lengkap (RAL) adalah :
Y ij = µ + σ i + ε ij
Universitas Sumatera Utara
20
Dimana :
Y ij
= Nilai pengamatan yang diperoleh dari satuan percobaan dari
perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
i
= 1, 2, 3, 4 (perlakuan)
j
= 1, 2, 3, 4, 5 (ulangan)
µ
= Nilai tengah umum
σi
= Pengaruh dari perlakuan ke-i
ε ij
= Pengaruh galat percobaan perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
Parameter yang diamati
1. Konsumsi Ransum
Konsumsi ransum dihitung dengan cara menimbang jumlah pakan yang
diberikan dikurangi dengan sisa pakan selama penelitian yang dinyatakan dalam
g/ekor/hari dalam bentuk bahan kering (BK)
Konsumsi = Pakan yang diberikan – pakan sisa (g/ekor/hari)
2. Pertambahan Bobot Badan
Pertambahan bobot badan harian merupakan selisih antara bobot badan
awal dengan bobot badan akhir dibagi dengan lama pemeliharaan dinyatakan
dalam g/ekor/minggu
PBBH = bobot akhir – bobot awal
Waktu (minggu)
3. Konversi ransum
Konversi pakan merupakan perbandingan antara jumlah konsumsi pakan
dengan pertambahan bobot badan harian selama pemeliharaan.
Konversi pakan = Konsumsi pakan (g/hari)
PBB
Universitas Sumatera Utara
21
Pelaksanaan Penelitian
1. Persiapan Kandang dan Peralatan
Kandang yang digunakan adalah kandang individu berukuran 50x50x50 cm
sebanyak 20 petak. Kandang dipersiapkan seminggu sebelum kelinci masuk dalam
kandang agar kandang bebas dari hama penyakit. Kandang beserta peralatan seperti
tempat pakan dan minum dibersihkan dan didesinfektan dengan menggunakan
rodalon.
2. Pemilihan Ternak
Penyeleksian ternak kelinci yang akan digunakan sebagai objek penelitian
melalui beberapa syarat sebagai berikut adalah ternak kelinci dalam keadaan sehat,
lincah, tidak cacat dilihat dari bentuk kaki yang lurus dan lincah, ekor melengkung
keatas lurus merapat ke bagian luar mengikuti tulang punggung, telingga lurus ke
atas dan telinga tidak terasa dingin, mata jernih dan bulu mengkilat. Sebelum
kelinci dimasukkan kedalam kandang, dilakukan penimbangan untuk mengetahui
bobot badan awal dari masing-masing kelinci kemudian dilakukan random
(pengacakan) yang bertujuan untuk memperkecil nilai keragaman. Lalu kelinci
dimasukkan kedalam sebanyak 1 ekor per unit penelitian.
3. Pengolahan Kulit
chrysosporium
Buah
Markisa
Fermentasi
dengan
Phanerochaete
Pengolahan kulit buah markisa dimulai dari pengambilan kulit buah
markisa dari industri pengolahan buah markisa, pencucian, penjemuran dibawah
sinar matahari hingga kering lalu penggilingan hingga menjadi tepung kulit buah
markisa kemudian difermentasi dengan Phanerochaete chrysosporium. Skema
pengolahan kulit buah markisa fermentasi Phanerochaete chrysosporium dapat
dilihat pada Lampiran 1.
Universitas Sumatera Utara
22
4. Penyusunan Pakan dalam Bentuk Pelet
Bahan penyusun pelet yang digunakan terdiri atas Kulit Buah Markisa
(KBM), KBM Fermentasi, tepung jagung, dedak padi, bungkil kedelai, tepung
ikan, molases dan Top Mix. Bahan yang digunakan ditimbang terlebih dahulu
sesuai dengan formulasi ransum yang telah sesuai dengan level perlakuan.
Pembuatan pelet dapat dilihat pada Lampiran 2.
5. Pemeliharaan Kelinci
Sebelum kelinci diberi perlakuan, dilakukan penimbangan bobot badan
awal kelinci kemudian penimbangan kelinci dilakukan seminggu sekali. Pakan
yang diberi terbagi 2 macam yaitu pelet dan daun wortel diberikan secara adlibitum, pelet diberikan pukul 08.00 WIB dan pukul 16.00 WIB dan daun wortel
diberikan 1 jam setelah pemberian pelet. Mengingat kelinci termasuk binatang
malam (nocturnal) dimana aktivitasnya lebih banyak dilakukan pada malam hari
maka pemberian volume pakan terbanyak pada sore hari. Obat-obatan dan vitamin
diberikan sesuai dengan kebutuhan kelinci seperti Permenthyl 5% sebagai obat
kembung dengan dosis 0,2 cc/ekor untuk kelinci umur > 12 minggu (pemberiannya
melalui mulut), Pyroxy sebagai antibiotik dengan dosis 1 cc/ekor untuk kelinci
umur > 12 minggu (disuntikkan secara subkutan) dan vitamin B-complex sebagai
vitamin dengan dosis 0,5 cc/ekor untuk kelinci umur > 12 minggu (disuntikkan
secara subkutan). Tempat pakan dibersihkan setiap hari pada pagi hari dan kandang
dibersihkan pada pagi dan sore hari. Sisa pakan ditimbang pada waktu pagi
keesokan harinya saat sebelum kelinci diberikan makan kembali untuk mengetahui
konsumsi ternak tersebut.
Pengumpulan Data
Universitas Sumatera Utara
23
Pengambilan data untuk konsumsi ransum dilakukan dalam sekali sehari
dan pertambahan bobot badan dilakukan sekali seminggu (g/ekor/minggu) selama
penelitian. Sedangkan untuk mencari konversi ransum dihitung setelah didapatkan
kedua parameter tersebut.
Universitas Sumatera Utara
24
HASIL DAN PEMBAHASAN
Konsumsi Ransum
Tinggi dan rendahnya konsumsi ransum dapat diperoleh dari selisih antara
jumlah pakan yang diberikan dengan sisa pakan (g/ekor/hari). Konsumsi ransum
dihitung setiap hari selama penelitian. Pakan yang dikonsumsi sudah dikonversikan
dalam bentuk bahan kering (total bahan kering dari hijauan dan pelet). Data
konsumsi bahan kering ransum kelinci dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Rataan konsumsi ransum kelinci dalam bahan kering (BK) selama
penelitian (g/ekor/hari)
Perlakuan
Ulangan
Total
Rataan± sd
1
2
3
4
5
P0
68,93
70,74
71,28
71,39
72,89
355,24 71,05±1,43
P1
62,08
71,17
72,41
70,53
70,49
346,68 69,34±4,13
P2
70,67
70,54
68,68
77,05
68,97
355,92 71,18±3,40
P3
71,76
72,25
71,53
70,37
70,49
356,40 71,28±0,82
Total
273,44 284,70 283,90 289,36 282,84 1.414,24
Rataan
68,36
71,17
70,98
72,34
70,71
70,71
Dari Tabel 7 terlihat bahwa rataan total konsumsi ransum dalam BK
adalah sebesar 70.71 g/ekor/hari. Rataan konsumsi tertinggi yaitu pada P3 sebesar
71.28 g/ekor/hari dan rataan konsumsi terendah adalah P1 yaitu 69.34 g/ekor/hari.
Berdasarkan analisa keragaman pada lampiran 7 diketahui bahwa pengaruh
pemberian kulit buah markisa yang dicampur dengan ransum dalam bentuk pelet
menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata terhadap konsumsi. Hal ini
menunjukkan bahwa kulit buah markisa fermentasi mempunyai palatabilitas yang
relatif sama dengan kulit buah markisa tanpa fermentasi.
Universitas Sumatera Utara
25
Dari hasil yang diperoleh pada penelitian ini menunjukkan tingkat
konsumsi ransum yang tidak berbeda nyata. Jumlah konsumsi ransum merupakan
faktor penentu yang paling penting untuk menentukan jumlah nutrien yang didapat
oleh ternak dan selanjutnya mempengaruhi tingkat produksi. Konsumsi ransum
dipengaruhi oleh kondisi ternak itu sendiri dan kondisi lingkungan pada saat
pemeliharaan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kartadisastra (1994) yang
menyatakan bahwa tinggi rendahnya konsumsi pakan dipengaruhi oleh faktor
eksternal yaitu lingkungan dan faktor internal atau kondisi ternak sendiri yang
meliputi temperatur lingkungan, palatabilitas, status fisiologi yaitu umur, jenis
kelamin dan kondisi tubuh, konsentrasi nutrien, bentuk pakan, bobot tubuh dan
produksi.
Pertambahan Bobot Badan
Pertambahan bobot badan dapat diketahui berdasarkan selisih antara
penimbangan bobot akhir dengan penimbangan bobot badan awal yang dihitung
setiap minggu. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh hasil rataan
bobot badan kelinci selama penelitian seperti yang tertera pada Tabel 8 berikut ini.
Tabel 8. Rataan pertambahan bobot badan kelinci (g/ekor/hari) selama penelitian
Perlakuan
Ulangan
Total
Rataan±sd
1
2
3
4
5
P0
16,64
14,21
14,07
14,64
15,21
74,79
14,96±1,04
P1
16,55
13,02
16,16
18,82
20,45
85,00
17,00±2,83
P2
18,45
18,93
19,61
15,00
13,20
85,18
17,04±2,79
P3
19,45
17,13
15,75
16,71
17,75
86,79
17,36±1,38
Total
71,09
63,29
65,59
65,18
66,61
Rataan
17,77
15,82
16,40
16,29
16,65
16,59
Universitas Sumatera Utara
26
Dari Tabel 8. terlihat bahwa rataan total pertambahan bobot badan kelinci
adalah sebesar 16,59 g/ekor/hari. Dengan rataan pertambahan bobot badan tertinggi
pada P3 sebesar 17,36 g/ekor/hari dan pertambahan bobot badan terendah pada P0
yaitu sebesar 14,96 g/ekor/hari.
Berdasarkan analisa keragaman pada lampiran 8 diketahui bahwa
pengaruh pemberian kulit buah markisa yang dicampur dengan ransum dalam
bentuk pelet menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata terhadap pertambahan
bobot badan kelinci rex jantan lepas sapih.
Salah satu faktor yang memberikan pengaruh tidak berbeda nyata pada
pertumbuhan bobot badan pada penelitian ini adalah konsumsi pakan yang tidak
berbeda nyata. Hal ini desebabkan bahwa kulit buah markisa fermentasi dan tanpa
fermentasi sama-sama disukai oleh kelinci. Kelinci yang memiliki tingkat
palatabilitas tinggi dapat mengkonsumsi lebih banyak bahan kering sehingga
pertambahan bobot badannya lebih tinggi. Kualitas ransum akan mempengaruhi
pertumbuhan apabila diberikan dalam jumlah yang cukup hal ini sesuai dengan
pernyataan dari Soeparno (1991) yang menyatakan bahwa kecepatan pertumbuhan
tidak saja dipengaruhi oleh pakan yang digunakan tetapi yang penting adalah
kelengkapan nutrien yang diperoleh.
Menurut
Buckle
(1987),
pertumbuhan
ternak
penghasil
daging
dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu keturunan, reaksi faal terhadap lingkungan
(terutama suhu lingkungan) dan nutrisi pakan yang diberikan pada ternak. Kelinci
mempunyai kecepatan pertumbuhan yang hampir sama dengan ayam broiler, dalam
waktu 56 hari dapat mencapai berat badan 1,8 kg, sedangkan pertambahan bobot
badan kelinci yang ideal adalah 4-21 g/ekor/hari.
Konversi Ransum
Universitas Sumatera Utara
27
Konversi ransum pada penelitian ini dihitung dalam bentuk bahan kering
dengan cara membandingkan banyak jumlah pakan yang dikonsumsi dengan
pertambahan bobot badan yang dicapai setiap minggu. Rataan konversi ransum
selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Rataan konversi ransum kelinci selama penelitian
Perlakuan
Ulangan
Total
Rataan±sd
1
2
3
4
5
P0
4,31
5,08
5,08
4,81
4,63
23,92 4,78±0,33
P1
4,27
5,42
4,25
4,09
3,37
21,41 4,28±0,73
P2
3,74
3,74
3,64
4,76
5,52
21,39 4,28±0,83
P3
3,19
4,16
4,60
4,22
3,97
20,14 4,03±0,52
15,51
18,39
17,57
17,88
17,50
3,88
4,60
4,39
4,47
4,38
Total
Rataan
86,85
4,34
Dari data diatas dapat dilihat bahwa rataan total konversi ransum adalah
4,34. Dengan rataan konversi ransum kelinci tertinggi adalah perlakuan P0 sebesar
4,78 dan yang terkecil yaitu pada perlakuan P3 sebesar 4,03.
Hasil analisa keragaman pada lampiran 9 menunjukkan bahwa konversi
ransum menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Hasil yang tidak berbeda
nyata tersebut disebabkan karena penggunaan kulit buah markisa juga tidak
mempengaruhi konsumsi pakan dan pertambahan bobot badan karena konversi
pakan merupakan perbandingan antara jumlah konsumsi pakan dengan
pertambahan bobot badan pada satuan yang sama. Hal ini sesuai dengan pendapat
Menurut Champbell dan Lasley (1985) mengatakan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi konversi ransum adalah genetik, umur, berat badan, tingkat
konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, palatabilas dan hormon.
Universitas Sumatera Utara
28
Dengan demikian berdasarkan penelitian pengaruh nilai konversi pakan
yang tidak berbeda nyata ini berkaitan erat dengan konsumsi pakan dan
pertambahan bobot badan harian yang berbeda tidak nyata sehingga menghasilkan
perbedaan konversi pakan yang tidak nyata pula. Semakin kecil nilai konversi
pakan
menunjukkan
semakin
sedikitnya
pakan
yang
dibutuhkan
untuk
menghasilkan per gram bobot badan. Menurut Rasyaf (1996), konversi pakan
digunakan sebagai pegangan berproduksi karena melibatkan bobot badan dan
konsumsi pakan. Menilai pakan dan kualitas pakan yang lebih baik adalah dengan
melihat pertumbuhan dan pertambahan bobot badan ternak. Pertambahan bobot
badan inilah yang mencerminkan bagaimana protein dan keseimbangan asam
amino yang ada di dalam pakan yang diberikan memberikan dampak positif bagi
ternak.
Rekapitulasi Hasil Penelitian
Untuk melihat hasil penelitian terhadap konsumsi ransum, pertambahan
bobot badan dan konversi ransum kelinci maka dilakukan rekapitulasi yang dapat
dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Tabel rekapitulasi hasil penelitian
Rataan Parameter
Perlakuan
Konsumsi Pakan
(g/ekor/hari)
PBB (g/ekor/hari)
Konversi Pakan
P0
71,05 tn
14,96
tn
4,78 tn
P1
69,34 tn
17,00
tn
4,28 tn
P2
71,18 tn
17,04
tn
4,28 tn
P3
71,28 tn
17,36
tn
4,03 tn
Keterangan: tn = tidak berbeda nyata
Universitas Sumatera Utara
29
Berdasarkan hasil rekapitulasi di atas diperoleh bahwa fermentasi kulit
buah markisa yang dijadikan bahan pakan campuran untuk ransum dalam bentuk
pelet tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap konsumsi,
pertambahan bobot badan dan konversi terhadap kelinci peranakan rex lepas sapih.
Universitas Sumatera Utara
30
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Penggunaan tepung kulit buah markisa (Passiflora edulis var.edulis) tanpa
fermentasi danfermentasi Phanerochaete chrysosporium dapat digunakan sebagai
campuran bahan pakan ransum dalam bentuk peletyang diberikan kepada kelinci
rex jantan lepas sapih sampai pada level 30%.
Saran
Disarankan agar peternak menggunakan tepung kulit buah markisa sebagai
bahan pakan untuk ternak, baik difermentasi maupun tidak difermentasi. Bahan
makanan ini cukup palatable, hal ini mungkin disebabkan karena aroma tepung
kulit buah markisa disukai oleh ternak, sehingga pakan yang diberikan dapat
dikonsumsi dalam jumlah besar.
Universitas Sumatera Utara
4
TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik dan Potensi Ternak Kelinci
Ternak Kelinci merupakan salah satu jenis ternak yang dapat digunakan
untuk dapat memenuhi sebagian kebutuhan daging bagi masyarakat. Ternak kelinci
cukup potensial untuk dikembangkan kerena mampu berkembang biak dengan
cepat sehigga cocok untuk diternakkan sebagai penghasil daging komersil. Ternak
kelinci mempunyai keunggulan komparatif karena memiliki kemampuan
berkembang biak yang tinggi, ukuran tubuh yang kecil sehingga tidak memerlukan
banyak ruang dalam pemeliharaannya, tidak memerlukan biaya yang besar dalam
investasi ternak dan kandang, umur dewasa yang singkat (4-5 bulan), masa
penggemukan yang singkat (kurang dari 2 bulan sejak sapih).
Ternak kelinci memiliki klasifikasi taksonomi yaitu Kingdom : Animalia,
Phylum : Chordata, Sub phylum : Vertebrata, Kelas : Mammalia, Ordo :
Lagomorpha, Famili : Leporidae, Sub famili : Leporinae, Genus : Orictolagus
(Kartadisastra, 2001).
Kelinci di Indonesia dapat diternakkan atau dikembangkan dengan baik
didaerah ketinggian 500 meter dari permukaan laut dan suhu udara sejuk, berkisar
antara 15-180C (60-850F). Temperatur yang ideal pada pemeliharaan kelinci adalah
15-160C tetapi pada temperatur antara 10-300C ternak masih dapat hidup dan
berkembang biak dengan baik (Rukmana, 2005).
Berikut ini adalah potensi biologis kelinci berdasarkan aspek reproduksi,
genetika, nutrisi, pertumbuhan, pengelolaan, daging, kulit-bulu dan kotoran. Hal ini
dapat dilihat pada Tabel 1.
Universitas Sumatera Utara
5
Tabel 1. Potensi biologis kelinci
Aspek
Reproduksi
Potensi
Kemampuan reproduksi tinggi, dapat beranak 10–11 kali
pertahun, dengan rataan jumlah anak 4–8 ekor per
kelahiran.
Genetika
Keragaman tinggi antar breed dan warna, memungkinkan
banyak sekali variasi hasil silangan, potensi perbaikan
tinggi.
Nutrisi
Kemampuan memanfaatkan hijauan dan limbah industri
pangan, limbah pertanian, sehingga biaya pakan relatif
murah.
Pertumbuhan
Pengelolaan
Relatif cepat, didaerah tropis, 10–30 g/ekor/hari.
Mudah dikelola, dapat diusahakan pada skala kecil
maupun besar.
Daging
Rendah lemak jenuh, rendah kolestrol.
Kulit-bulu
Bermutu tinggi, kulit lemas, lembut dan menarik.
Kotoran
Tinggi kandungan N, P, K, baik untuk tanaman sayuran,
bunga, buah-buahan
Sumber: Cheeke et al., (1987)
Kelinci merupakan salah satu ternak penghasil daging yang mempunyai
kandungan nutrisi yang cukup tinggi. Rokhmani (2005) menyatakan bahwa daging
kelinci mempunyai serat yang halus dan warna sedikit pucat, sehingga daging
kelinci dapat digolongkan kedalam golongan daging berwarna putih. Daging
kelinci mempunyai kualitas yang lebih baik.
Tabel 2. Kandungan nutrisi berbagai jenis daging
Ternak
Protein (%)
Lemak (%)
Kadar Air (%)
Kalori (%)
Kelinci
20,8
10,2
67,9
7,3
Ayam
20,0
11,0
67,6
7,5
Anak Sapi
18,8
14,0
66,0
8,4
Kalkun
20,1
22,0
58,3
10,9
Sapi
16,3
28,0
55,0
13,3
Domba
15,7
27,7
55,8
13,1
45,0
42,0
18,9
Babi
11,9
Sumber: (Sarwono, 2007)
Universitas Sumatera Utara
6
Rex merupakan salah satu dari berbagai macam jenis kelinci. Jenis rex
pertama kali ditemukan oleh seorang petani bernama M. Caillon yang berasal dari
negara Perancis, kemudian diteruskan oleh Pat Abbe pada tahun 1919.
Cheeke
et al., (1987) menambahkan bahwa bulu kelinci rex sifatnya halus, panjangnya
seragam dan mempunyai variasi warna bulu yang menarik dan beragam sehingga
sangat cocok untuk dijadikan kulit bulu (fur). Kelinci rex juga baik dan
proporsional untuk produksi daging. Jenis ini mempunyai panjang tubuh medium
dan dalam, hips yang bulat dan loin yang berisi, sehingga cocok pula untuk
dijadikan sebagai kelinci pedaging. Umur dewasa kelamin kelinci rex 4-6 bulan
(Sarwono, 2007).
Sistem Pencernaan Kelinci
Sistem pencernaan merupakan sistem yang memproses mengubah makanan
dan menyerap sari makanan yang berupa nutrisi-nutrisi yang dibutuhkan oleh
tubuh. Sistem pencernaan juga akan memecah molekul makanan yang kompleks
menjadi molekul yang sederhana dengan bantuan enzim sehingga mudah dicerna
oleh tubuh.
Kelinci adalah ternak non ruminansia herbivora yang mempunyai lambung
tunggal dengan pembesaran unik di bagian caecum. Bagian alat pencernaan ini
berfungsi mirip dengan rumen sehingga kelinci disebut sebagai hewan ruminansia
semu (pseudo-ruminant). Kelinci dapat mencerna sebagian serat kasar terutama
dari bahan nabati, dengan bantuan bakteri yang hidup di dalam sekum dan klinci
juga bersifat coprophagy (Lestari, 2005)
Kelinci termasuk kedalam autocoprophagy, yaitu kelinci membuang feses
dari saluran pencernaanya dalam 2 bentuk, feses kering keras dan juga feses
Universitas Sumatera Utara
7
lembek berlendir dikeluarkan pada malam hari dan pagi hari. Feses yang lembek
berlendir inilah yang dimakan kembali oleh kelinci langsung dari duburnya, ini
dilakukan untuk memanfaatkan protein, serat kasar tumbuhan, vitamin yang
terkandung dalam feses. Feses yang lembek dan berlendir mengandung banyak
vitamin, dan nutrien seperti riboflavin, sianokobalamin (vitamin B12), asam
pantotenat dan niasin. Dengan memakan kembali fesesnya kelinci tidak akan
kekurangan vitamin dan nutrien karena isi saluran pencernaan berdaur ulang
kembali (Anon, 2011).
Kelinci dewasa menyerap protein (sampai 90%) di usus halus, namun
tergantung pada sumbernya. Kelinci sangat sulit dalam hal mencerna selulosa
hal ini merupakan paradoks bagi hewan pemakan tumbuhan. Daya cerna yang
lemah terhadap serat dan kecepatan pencernaan kelinci untuk menyingkirkan
semua partikel yang sulit dicerna menyebabkan kelinci membutuhkan jumlah
makanan yang besar (Fakaguchi, 1992).
Kebutuhan Pakan dan Nutrisi Kelinci
Menurut Kamal (1997) yang dimaksud dengan pakan adalah segala sesuatu
yang dapat dimakan, disenangi, dapat dicerna sebagian atau seluruhnya, dapat
diabsorpsi dan seekor ternak untuk peroide 24 jam dan pemberiannya dapat
dilakukan sekali atau beberapakali selam 24 jam tersebut. Pakan yang sempurna
berarti cukup mmengandung zat makanan yang dibutuhkan kelinci terdiri dari
protein, karbohidrat, lemak, mineral, vitamin dan air sehingga pakan yang
sempurna mampu mengembangkan pekerjaan sel tubuh untuk proses-proses
pertumbuhan (Hartadi, 2005).
Universitas Sumatera Utara
8
Williamson
dan
Payne
(1993)
menyatakan
bahwa
pakan
dapat
dikelompokkan menjadi dua jenis yakni hijauan dan konsentrat. Hijauan
merupakan bahan pakan pokok kelinci yang memiliki serat kasar tinggi pada bahan
keringnya (20-23%). Secara umum konsentrat mengandung serat kasar lebih sedikit
dari pada hijauan (5-7%) dan mengandung karbohidrat, protein, dan lemak yang
relatif lebih banyak tetapi jumlahnya bervariasi dengan jumlah air yang relatif
sedikit.
Tabel 3. Kebutuhan ransum kelinci lepas sapih
No
Nutrisi
Jumlah
1.
Protein
12-19%**
2.
Lemak
2,5-4%**
3.
Serat Kasar
11-14%**
4.
Energi
2005-2900%*
5.
Calsium
0,9-1,5%**
6.
Phosfor
0,7-0,9%**
7.
Air
12%***
Sumber : AAK (1980)*, Manshur (2009)**, Masanto (2009)***
NRC (1977) menyarankan kandungan energi dalam ransum sebesar 2500
kkal DE/kg dan kandungan protein kasar (PK) 16%, serat 28 kasar (SK) berkisar
antara 10-12 %, Calsium (Ca) 0,4% dan Fosfor (P) 0,22 % untuk kelinci potong.
Lebih lanjut Sinaga (2009) menyarankan kelinci pejantan fase grower memerlukan
protein kasar 16% sedangkan untuk induk menyusui 15 – 16 %. Kandungan serat
kasar pada ransum kelinci jantan fase grower adalah 10 – 27 % dan induk
menyusui adalah 15 – 20%. Menurut Lick dan Hung (2008) kelinci mempunyai
efisiensi penggunaan ransum lebih tinggi dari ruminansia seperti sapi dan kelinci
dapat memanfaatkan pakan hijauan yang tidak disukai sapi.
Universitas Sumatera Utara
9
Untuk peningkatan bobot kelinci pedaging dapat sesuai dengan yang
diinginkan, pemberian pakan harus diatur agar seimbang pakan hijauan dan
konsentrat. Biasanya pada peternakan kelinci intensif, hijauan diberikan sebanyak
60-80%, sedangkan konsentrat sebanyak 20-40% dari total jumlah pakan yang
diberikan (Priyatna, 2011).
Kelinci hanya memerlukan ransum dengan kadar lemak rendah. Bahan
pakan seperti: jagung, bekatul dan dedak sangat cocok untuk kelinci. Protein sangat
penting untuk pertumbuhan anak, pembentukan daging dan pertumbuhan bulu.
Banyaknya ransum untuk induk bunting dan induk menyusui per ekor dewasa per
hari adalah: hijauan sekitar 1-2 kg dan konsentrat 6,7% dari bobot hidupnya.
Sedangkan untuk induk kering, induk muda dan anak kelinci yang telah disapih
banyaknya: rumput/hijauan sekitar 1-2 kg dan konsentrat 3,8% dari berat hidup
(Sumoprastowo, 1985).
Potensi Kulit Buah Markisa (KBM) sebagai Pakan Ternak
Buah markisa merupakan salah satu jenis buah impor yang kemudian
berhasil dikembangkan di Indonesia. Budidaya markisa tidak sulit karena markisa
cocok dengan jenis tanah apapun asalkan unsur hara serta bahan organiknya cukup.
Untuk penanamannya tidak sulit, hanya saja tanaman ini harus dibuatkan tiang
rambatan. Tiang rambatan yang baik adalah dengan menggunakan pucuk bambu
tanpa kawat karena bisa merangsang pertumbuhan markisa serta jumlah buahnya.
Indonesia merupakan negara yang agraris yang beriklim tropis sehingga
perkembangan tanaman markisa sangat bagus.
Di Indonesia terdapat dua jenis markisa yaitu markisa ungu (Passiflora
edulis) dan markisa kuning (Passiflora flavicarva) tumbuh di dataran rendah.
Universitas Sumatera Utara
10
Klasifikasi markisa sebagai berikut: Kingdom: Plantae (tumbuh-tumbuhan),
Divisi: Spermatophyta (tumbuhan berbiji), Subdivisi: agiospermae (berbiji
tertutup), Kelas: Dicotyledonae (biji berkeping dua), Ordo: Passiflorae, Famili:
Passiforaceae, Genus: Passiflora, Spesies: Passifloraquadrangularis L., P. Edulis
(Rukmana, 2003).
Sebagai sumber bahan baku pakan potensi tanaman markisa terdapat pada
produk limbah yang dihasilkan dari proses pengolahan buah markisa untuk
menghasilkan sari markisa. Secara nasional terdapat potensi produksi buah segar
sebesar 99.000 ton, dan sebagian terbesar (99%) dihasilkan oleh tiga wilayah
penghasil utama. Kontribusi terbesar disumbang oleh Provinsi Sumatera Barat
(53%) diikuti oleh Provinsi Sulawesi Selatan (24%) dan Provinsi Sumatera Utara
(23%). Usaha produksi markisa diperkirakan masih akan meningkat pada tahun
mendatang dan diprediksi akan mencapai 112.000 ton pada tahun 2009.
Tabel 4. Luas lahan, produksi dan wilayah pengembangan tanaman markisa
Wilayah Pengembangan
Luas Lahan (Ha)
Produksi (Ton)
Sumatera Utara
931
22.035
Sumatera Barat
2.117
52.797
Sulawesi Selatan
1.154
23.488
Sumber: Poerwanto (2005).
Rasio kulit buah markisa dengan buahnya adalah 54% dan ketersediaannya
tidak bersifat musiman sehingga dapat diperoleh setiap waktu. Kulit buah markisa
mempunyai kandungan nutrisi yang cukup baik yaitu mengandung Protein Kasar
(PK) 12,37%, Lemak Kasar (LK) 5,28%, Serat Kasar (SK) 30,16% dan Abu 9,26%
(Loka Penelitian Kambing Potong Sei Putih, 2009). Pemanfaatan kulit buah
markisa secara langsung sebagai pakan ternak memiliki beberapa kelemahan
Universitas Sumatera Utara
11
diantaranya masih mengandung anti nutrisi tannin (1,85%) dan lignin 31,79% yang
dapat mengganggu pencernaan jika diberikan dalam bentuk segar(Astuti, 2008).
Fermentasi
Fermentasi adalah segala macam proses metabolisme dimana enzim dari
mikroorganisme (jasad renik) melakukan oksidasi, hidrolisa dan reaksi kimia
lainnya sehingga terjadi perubahan kimia pada substrat organik dengan
menghasilkan produk tertentu. Biokatalis yang digunakan adalah bakteri, yeast atau
jamur (fungi) (Riadi, 2007).
Proses fermentasi bahan pakan oleh mikroorganisme menyebabkan
perubahan-perubahan yang menguntungkan seperti memperbaiki mutu bahan
pakan baik dari aspek gizi maupun daya cerna serta meningkatkan daya tahannya.
Hal tersebut disebabkan karena mikroba yang bersifat katabolik atau memecahkan
komponen-komponen yang kompleks menjadi zat-zat yang lebih sederhana
sehingga lebih mudah dicerna dan juga karena adanya enzim yang dihasilkan oleh
mikroba itu sendiri (Winarno, 1980). Berikut hasil bahan pakan yang difermentasi
dan tanpa fermentasi jamur Phanerochaete chrysosporium dapat dilihat pada Tabel
6.
Tabel 5. Kandungan Kimiawi Kulit Buah Markisa tanpa dan fermentasi
Phanerochaete chrysosporium selama 15 hari
Kandungan Kimiawi
Kulit Buah Markisa
Kulit Buah Markisa Fermentasi
ME (Kkal/kg)
3575
3615
BK (%)
88,9
89,10
PK (%)
8,53
18,56
SK (%)
39,56
34,96
LK (%)
0,6
1,39
Sumber : Laboratorium Pengujian Mutu Pakan Loka Penelitian Kambing Potong (2015)
Universitas Sumatera Utara
12
Selama
proses
fermentasi,
terjadi
bermacam-macam
perubahan
komposisikimia. Kandungan asam amino, karbohidrat, pH, kelembaban, aroma
serta perubahan nilai gizi yang mencakup terjadinya peningkatan protein dan
penurunan serat kasar. Semuanya mengalami perubahan akibat aktivitas dan
perkembangbiakan mikroorganisme selama fermentasi. Melalui fermentasi terjadi
pemecahan substrat oleh enzim-enzim tertentu terhadap bahan yang tidak
dapatdicerna, misalnya selulosa dan hemiselulosa menjadi gula sederhana. Selama
proses fermentasi terjadi pertumbuhan kapang, selain dihasilkan enzim juga
dihasilkan protein ekstraselluler dan protein hasil metabolisme kapang sehingga
terjadi peningkatan kadar protein (Sembiring, 2006).
Jamur Pelapuk Putih Phanerochaete chrysosporium
Jamur Phanerochaete chrysosporium merupakan salah satu jamur yang
dapat menguraikan ikatan dan mendegradasi lignin dengan bantuan enzim
pendegradasi lignin. Jamur ini juga dapat mendegradasi polimer selulosa,
hemiselulosa dan lignin dengan bantuan enzim ekstraseluler (Suparjo, 2008).
Jamur Phanerochaete chrysosporium termasuk dalam kelompok jamur
pelapuk putih dan merupakan jamur kelas Basidiomycetes. Klasifikasi jamur ini
sebagai berikut, kelas: Basidiomycetes, sub kelas: Holobasidiomycetes, ordo:
Aphylophorales, famili: Certiciaceae, genus: Phanerochaete dan spesies:
Phanerochaete chrysosporium burdsall (Irawati, 2006).
Fermentasi dengan menggunakan kapang atau jamur Phanerochaete
chrysosporium secara substrat padat memungkinkan terjadi perubahan komponen
bahan yang sulit dicerna menjadi lebih mudah dicerna serta meningkatkan nilai gizi
protein
dan
energi
metabolis.
Standrat
tumbuh
Phanerochaete
Universitas Sumatera Utara
13
chrysosporium adalah tumbuh pada suhu 390C dengan suhu optimum 370C. Ph
berkisar 4-4,5 dan dalam pertumbuhannya memerlukan kandungan osigen yang
tinggi (Sembiring, 2006).
Pakan Kelinci Berbentuk Pelet
Pelet merupakan bentuk bahan pakan yang dipadatkan sedemikian rupa dari
bahan konsentrat atau hijauan dengan tujuan untuk mengurangi sifat keambaan
pakan. Patrick dan Schaible (1980) menjelaskan keuntungan pakan bentuk pelet
adalah meningkatkan konsumsi dan efisiensi pakan, meningkatkan kadar energi
metabolis pakan, membunuh bakteri patogen, menurunkan jumlah pakan yang
tercecer, memperpanjang lama penyimpanan, menjamin keseimbangan zat-zat
nutrisi pakan dan mencegah oksidasi vitamin.
Pelet merupakan hasil proses pengolahan bahan baku ransum secara
mekanik yang didukung oleh faktor kadar air, panas dan tekanan. Pemberian pakan
bentuk pelet dapat meningkatkan performa dan konversi pakan ternak bila
dibandingkan dengan pakan bentuk mash (Behnke, 2001). Kualitas pelet dapat
diukur dengan mengetahui kekerasan pelet (hardness) dan daya tahan pelet
dipengaruhi oleh penambahan panas yang mempengaruhi sifat fisik dan kimia
bahan pakan (Thomas dan Van der Poel, 1997).
Performa kelinci yang diberi pakan berupa pelet lebih baik dibandingkan
dengan kelinci yang diberi pakan berupa butiran atau mash, hal ini dikarenakan
ternak
tidak
mempunyai
kemampuan
untuk
menyortir
pakan
sehingga
meningkatkan retensi makanan dalam saluran pencernaan dan dapat menyebabkan
radang usus. Pakan pelet yang berdiameter kecil (0,5
Universitas Sumatera Utara
14
cm) akan menghasilkan pembuangan pakan lebih banyak. Panjang pelet untuk
ternak kelinci adalah 0,8 sampai 0,1 cm, karena semakin panjang ukuran pelet akan
memberikan potensi kerusakan pelet yang lebih besar
(Maertens and
Villamide, 1998).
Performans Ternak Kelinci
Konsumsi Ransum
konsumsi ransum adalah kemampuan untuk menghabiskan
sejumlah
ransum yang diberikan. Konsumsi ransum dapat dihitung dengan pengurangan
jumlah ransum yang diberikan dengan sisa dan hamburan. Konsumsi ransum
dipengaruhi oleh kesehatan ternak, palatabilitas, mutu ransum dan tata cara
pemberian (Anggorodi, 1995).
Kartadisastra (1994) menyatakan bahwa tinggi rendahnya konsumsi pakan
dipengaruhi oleh faktor eksternal yaitu lingkungan dan faktor internal atau kondisi
ternak sendiri yang meliputi temperatur lingkungan, palatabilitas, status fisiologi
yaitu umur, jenis kelamin dan kondisi tubuh, konsentrasi nutrien, bentuk pakan,
bobot tubuh dan produksi.
Menurut Sanusi (2006), konsumsi ransum seekor ternak perlu diketahui
untuk dapat mengoptimalkan jumlah ransum yang diberikan, karena pemberian
ransum yang kurang optimal akan mengakibatkan pertumbuhan ternak kurang
maksimal. Tinggi dan rendahnya konsumsi ransum dapat diketahui dengan
menimbang berat ransum ternak yang diberikan dikurangi sisa ransum dalam
jangka waktu tertentu dan umumnya dinyatakan atas dasar bahan kering. Jumlah
konsumsi ransum merupakan faktor penentu yang paling penting untuk
Universitas Sumatera Utara
15
menentukan jumlah nutrien yang didapat oleh ternak dan selanjutnya
mempengaruhi tingkat produksi.
Sarwono (2009) menyatakan seperti halnya ternak ruminansia, kelinci
membutuhkan karbohidrat, lemak, protein, mineral, vitamin, dan air. Jumlah
kebutuhannya tergantung pada umur, tujuan produksi, serta laju atau kecepatan
pertumbuhannya. Banyaknya pakan yang dikonsumsi oleh kelinci tergantung pada
tipe kelinci, berat badan dan umur kelinci. Kelinci tipe sedang memerlukan pakan
lebih banyak dibandingkan tipe kecil tetapi lebih sedikit dibandingkan tipe besar.
Konsumsi pakan pada kelinci dewasa dengan Bobot Badan (BB) sekitar 2-4 kg
tara-rata 120-180 g/ekor/hari (Whendrato dan Madyana, 1983).
Pertambahan Bobot Badan
Pertumbuhan adalah perubahan ukuran yang meliputi perubahan bobot
hidup, bentuk dan komposisi tubuh, termasuk perubahan komponen tubuh seperti
otot, lemak, tulang dan organ. Pertumbuhan dapat dinyatakan dengan pertambahan
bobot badan. Kenaikan bobot badan dapat terjadi karena kemampuan ternak dalam
mengubah nutrien pakan yang dikonsumsi menjadi daging dan lemak. Faktorfaktor yang mempengaruhi pertumbuhan dibedakan menjadi 2 yaitu faktor
lingkungan, seperti iklim, nutrien, kesehatan, manajemen, dan faktor genetik
seperti bangsa, umur dan jenis kelamin. Kecepatan pertumbuhan tidak saja
dipengaruhi oleh pakan yang digunakan tetapi yang penting adalah kelengkapan
nutrien yang diperoleh (Soeparno, 1991).
Pertambahan Bobot Badan (PBB) dapat diketahui dengan pengukuran
kenaikan berat badan yang dengan mudah dapat dilakukan lewat penimbangan
berulang-ulang serta dicatat pertambahan bobot badan tiap hari, minggu, bulan, dan
Universitas Sumatera Utara
16
sebagainya. Kenaikan bobot badan pertumbuhan biasanya diketengahkan sebagai
pertambahan bobot badan harian atau Average Daily Gain .
(Tillman, 1998).
Menurut Buckle (1987), pertumbuhan ternak penghasil daging dipengaruhi
oleh 3 faktor yaitu keturunan, reaksi faal terhadap lingkungan (terutama suhu
lingkungan) dan nutrisi pakan yang diberikan pada ternak. Kelinci mempunyai
kecepatan pertumbuhan yang hampir sama dengan ayam broiler, dalam waktu 56
hari dapat mencapai berat badan 1,8 kg, sedangkan pertambahan bobot badan
kelinci yang ideal adalah 4-21 g/ekor/hari. Pertambahan bobot badan kelinci sesuai
umur dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Pertambahan bobot badan kelinci
No
Umur
BB (g)
PBB/hari (g)
1.
Lahir 3 minggu
45,4 – 362,2
15,1
2.
3 – 8 minggu
362,2 – 1816,0
41,5
3.
8 – 14 minggu
1816,0 – 3268,8
33,2
4.
14 minggu – 5 bulan
3268,8 – 4068,0
16,5
Sumber: Reksohadiprojo (1984)
Pertambahan bobot badan biasanya mengalami tiga tingkat kecepatan yang
berbeda-beda, yang pertama pertambahan tulang, diikuti dengan pertumbuhan otot
dan yang terakhir adalah pertumbuhan jaringan lemak (Anggorodi, 1990),
ditambahkan oleh Sumoprastowo (1993), pertumbuhan pada mulanya lambat,
kemudian berubah menjadi lebih cepat. Tetapi pertumbuhan akan kembali lambat
sewaktu hewan itu mendekati kedewasaannya. Pertambahan bobot badan terjadi
bila pakan yang dikonsumsi telah melebihi kebutuhan hidup pokok, maka
kelebihan dari nutrien akan diubah menjadi otot dan lemak.
Konversi Ransum
Universitas Sumatera Utara
17
Deblass dan Wiseman (1998), menyatakan bahwa konversi pakan
merupakan parameter yang digunakan utuk mengetahui efisiensi penggunaan
pakan. Konversi pakan dapat dihitung dengan membagi antara jumlah pakan yang
dikonsumsi dengan pertambahan berat badan yang dihasilkan, semakin rendah
angka konversi pakan berarti semakin baik efisiensi penggunaan pakannya.
Menurut Champbell dan Lasley (1985) mengatakan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi konversi ransum adalah genetik, umur, berat badan, tingkat
konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, palatabilas dan hormon.
Efisiensi pakan juga dipengaruhi oleh kecernaan pakan. Nilai kecernaan
pakan yang tinggi, akan memberikan nilai pertambahan bobot badan yang tinggi,
kemudian akan berakibat pada efisiensi pakan. Cheeke et al., (1987) menyatakan
bahwa kandungan energi ransum mempengaruhi efisiensi penggunaan ransum
yakni dengan semakin tinggi kandungan energi dalam ransum akan menurunkan
konversi pakan dan meningkatkan efisiensi pakan.
Universitas Sumatera Utara
1
PENDAHULUAN
Latar belakang
Pengembangan sektor peternakan sangat memerlukan upaya-upaya
alternatif dalam membantu meningkatkan nilai gizi masyarakat. Salah satu upaya
dalam peningkatan produktivitas ternak yang harus dilakukan antara lain dengan
memberikan pakan yang berkualitas baik. Menurut Sarwono (2009), dalam
peternakan kelinci secara intensif, pakan yang diberikan selain hijauan sebagai
pakan pokok, diperlukan konsentrat sebagai pakan tambahan atau pakan penguat.
Pakan konsentrat dapat berupa pakan buatan dari pabrik, harganya relatif lebih
mahal, oleh karena itu perlu dicari bahan pakan lain yang sesuai, tidak bersaing
dengan kebutuhan manusia, mudah didapatkan, serta murah harganya.
Di Indonesia produksi jus markisa sampai dewasa ini terlihat cukup banyak,
ini sejalan dengan permintaan dan perkembangan industri pengolah (pabrik
markisa) khususnya di Sumatera Utara. Berastagi merupakan salah satu daerah
sentral produksi markisa (Passiflora edulis). Dalam pengolahan buah markisa
menjadi jus (sari) pada pabrik markisa bagian yang tidak diolah berupa Kulit Buah
Markisa (KBM) sebanyak 2,5-4 ton per hari. Dari buah mark