Kelayakan Usaha Produksi Kokon pada Rumah Sutera Kecamatan Tamansari Kebupaten Bogor

KELAYAKAN USAHA PRODUKSI KOKON PADA RUMAH SUTERA
KECAMATAN TAMANSARI KABUPATEN BOGOR

REZA PRAYOGA

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

i

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul “Kelayakan Usaha
Produksi Kokon pada Rumah Sutera Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor“
benar merupakan hasil karya penulis dengan arahan dari komisi pembimbing yang
belum pernah diajukan pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Saya juga
menyatakan bahwa informasi yang berasal dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan

dalam daftar pustaka pada bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
.

Bogor, Juli 2014
Reza Prayoga
NIM H34114068

*Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak
luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.

ii

ABSTRAK
REZA PRAYOGA. Kelayakan Usaha Produksi Kokon pada Rumah Sutera pada
Kecamatan Tamansari Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh YANTI NURAENI
MUFLIKH.
Rumah Sutera merupakan usaha yang melakukanproduksi kokon. Kokon adalah
hasil akhir dari budidaya ulat sutera. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis

kelayakan tanpa pengembangan dan dengan pengembangan usaha produksi kokon dilihat
dari aspek non finansial, aspek finansial, serta melihat nilai switching value. Hasil analisis
finansial, baik tanpa pengembangan maupun dengan pengembangan produksi kokon
menunjukkan layak untuk dijalankan atau diusahakan. Hasil analisis tanpa pengembangan
nilai Net Present Value sebesar Rp29 137 225.8, net B/C sebesar 1.54, Internal Rate of
Return sebesar 14 persen, dan payback period 6 tahun 7 bulan. Sedangkan dengan
pengembangan nilai Net Present Value sebesar Rp364 063 503.3, net B/C sebesar 3.52,
Internal Rate of Return sebesar 40 persen, dan payback period 3 tahun 10 bulan. Nilai
switching value yang dapat ditoleransi yaitu pada saat perubahan penurunan produksi
kokon dan kenaikan harga daun murbei, tanpa pengembangan dan dengan
pengembangan.
Kata kunci: Rumah Sutera, Kelayakan Usaha Produksi Kokon, Analisis Non Finansial,
Analisis Finansial

ABSTRACT
REZA PRAYOGA, Feasibility Analysis on Main Silk Cocoon Production in the
Tamansari District of Bogor regency. Supervised by YANTI NURAENI MUFLIKH
Rumah Sutera is a business that produce cocoon, cocoon is the final product from
silkworm cultivating. This study aimed at analyzing without development and with
development feasibility of produce cocoon from the non-financial aspects and financial

aspects, and at finding out its switching value. Analize result from financial aspect with
development of without development if buying the mulberry leaves show that the
bussuness have appropriateness to be run. The analyse result without development the net
present value is Rp29 137 225, the net B/C is 1.54, Internal Rate of Return 14 percent,
and the payback periode are 6 years and 7 months. If with development, Net Present
Value Rp364 063 503.3, Net B/C 3.52, Internal Rate of Return of 40 percent, Payback
Periode of 3 years and 10 months. Switching value when there is changes ondecreasing
on cocoon production without development and with development if self producing
mulberry leaves the tolerate value production that tolerated.
Keywords : House of Silk , Cocoon Production Feasibility , Analysis of Non Financial ,
Financial Analysis

iii

KELAYAKAN USAHA PRODUKSI KOKON PADA RUMAH
SUTERA KECAMATAN TAMANSARI KABUPATEN BOGOR

REZA PRAYOGA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

iv

Judul skripsi : Kelayakan Usaha Produksi Kokon pada
Kecamatan Tamansari Kebupaten Bogor
Nama
: Reza Prayoga
NIM
: H34114068


Disetujui oleh

Yanti Nuraeni Muflikh, SP MAgribus
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Dwi Rachmina, MSi
Ketua Departemen

Tanggal Lulus :

Rumah

Sutera

v

PRAKATA


Puji dan syukur kepada penulis panjatkan kepada Tuhan Maha Kuasa yang
telah melimpahkan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
yang ini. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejakan bulan
Maret 2013, dengan judul Kelayakan Usaha Produksi Kokon pada Rumah Sutera
Kecamatan Tamansari Kabupaten Bogor.
Penulisan skripsi melalui penelitian ini merupakan salah satu syarat dalam
meraih gelar Sarjana Ekonomi (SE) pada Departemen Agribisnis, Fakultas
Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Terima kasih penulis ucapkan
kepada Ibu Yanti Nuraeni Muflikh, SP, MAgribus sebagai dosen pembimbing
yang telah meluangkan waktu untuk membimbing, mengarahkan, dan mendukung
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, kepada Ibu Tintin Sarianti,SP,
MM sebagai dosen evaluator kolokium yang telah memberikan masukan sebelum
penulis turun lapang. Terimakasih juga penulis ucapkan kapada Bapak Dr Ir
Wahyu Budi Priatna, MSi dan Ibu Situ Jahro, PhD sebagai dosen penguji yang
telah membeirkan masukan dalam penyelesaian skripsi ini dan tidak lupa penulis
ucapkan kepada keluarga besar Rumah Sutera yang telah memberikan kesempatan
untuk melaksanakan penelitian dan telah membantu selama pengumpulan data,
dan juga penulis menghaturkan terima kasih kepada berbagai pihak telah
membantu dama penyelesaian skripsi ini, semoga Tuhan memberikan berkat dan
anugerah yang melimpah.

Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi semua pihak.
Namun demikian, penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan karena
keterbatasan dan kendala yang dihadapi. Oleh karena itu, penulis mengharapkan
masukan berupa saran dan kritik yang dapat bermanfaat bagi perbaikan skripsi ini
kearah yang lebih baik sehingga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi semua
pihak.
.

Bogor, Juli 2014
Reza Prayoga

vi

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR


vi

DAFTAR LAMPIRAN

vii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Rumusan Masalah

8

Tujuan Penelitian


11

Manfaat Penelitian

12

TINJAUAN PUSTAKA

12

Aspek Non Finansial

13

Aspek Finansial

14

KERANGKA PEMIKIRAN


16

Kerangka Pemikiraan Teoritis

16

Konsep Kelayakan Usaha

17

Aspek Non Finansial

18

Aspek Finansial

20

Kerangka Pemikiran Operasional


22

METODE PENELITIAN

24

Lokasi dan Waktu Penelitian

24

Jenis dan Sumber Data

24

Metode Pengumpulan Data

25

Metode Pengolahan dan Analisis Data

25

Metode Analisis Aspek Non Finansial

25

Analisis Finansial

27

HASIL DAN PEMBAHASAN

30

Gambaran Umum Rumah Sutera

30

Analisis Kelayakan Usaha Kokon

31

HASIL ANALISIS TANPA PENGEMBANGAN

32

Analisis Kelayakan Non Finansial

32

Aspek Pasar

32

vii

Aspek Teknis

35

Aspek Manajemen dan Hukum

39

Aspek Sosial dan Lingkungan

41

Analisis Kelayakan Finansial

42

Analisis Kelayakan Finansial Tanpa Pengembangan Produksi Kokon

44

HASIL ANALISIS DENGAN PENGEMBANGAN

50

Analisis Kelayakan Non Finansial

50

Aspek Pasar

50

Aspek Teknis

52

Aspek Manajemen dan Hukum

53

Aspek Sosial dan Lingkungan

53

Analisis Kelayakan Finansial dengan Pengembangan Produksi Kokon

54

Analisis Kelayakan Finansial

54

Hasil Analisis Aspek Finansial Dengan Pengembangan

58

Analisis Perbandingan tanpa Pengembangan dan dengan Pengembangan

59

SIMPULAN DAN SARAN

61

Simpulan

61

Saran

62

DAFTAR PUSTAKA

63

LAMPIRAN

65

RIWAYAT HIDUP

107

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8

Produk domestik bruto lapangan usaha pertanian tahun 2008 - 2012
Volume impor dan ekspor komoditi kehutanan hasil hutan bukan kayu
2012 - 2013
Perkembangan budidaya ulat sutera di Indonesia tahun 2006-2012
Produksi budidaya sutera alam di Provinsi Jawa Barat tahun 2012
Produksi kokon pada Rumah Sutera tahun 2011-2013
Jenis dan sumber data
Metode pengolahan dan analisis data
Fasilitas - fasilitas yang terdapat pada Rumah Sutera

1
2
5
7
9
24
25
36

viii

9 Kualitas kokon berdasarkan grade pada Rumah Sutera
10 Biaya variabel per tahun produksi tanaman murbei pada Rumah Sutera
11 Biaya investasi tanpa pengembangan produksi kokon pada Rumah
Sutera
12 Biaya reinvestasi tanpa pengembangan produksi kokon pada Rumah
Sutera
13 Biaya tetap produksi kokon tanpa pengembangan produksi kokon pada
Rumah Sutera
14 Proyeksi penerimaan penjualan kokon produksi tanpa pengembangan
pada Rumah Sutera
15 Total nilai sisa dan penyusutan biaya investasi tanpa pengembangan
produksi kokon
16 Hasil analisis aspek finansial tanpa pengembangan
17 Fasilitas - fasilitas yang terdapat pada Rumah Sutera
18 Biaya investasi dengan pengembangan produksi kokon pada Rumah
Sutera tahun 2014
19 Biaya reinvestasi dengan pengembangan produksi kokon pada Rumah
Sutera tahun 2014
20 Biaya tetap per tahun dengan pengembangan produksi kokon pada
Rumah Sutera tahun 2014
21 Proyeksi penerimaan penjualan dengan pengembangan produksi kokon
pada Rumah Sutera
22 Total nilai sisa dan penyusutan biaya investasi dengan pengembangan
produksi kokon pada Rumah Sutera
23 Hasil analisis aspek finansial dengan pengembangan produksi kokon
jika membeli daun
24 Perbandingan analisis tanpa pengembangan dan dengan pengembangan
apabila memproduksi daun murbei

39
44
45
46
47
48
49
49
52
55
56
56
57
58
58
59

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5

Perkembangan produksi kokon di Indonesia
6
Kerangka pemikiran operasional tanpa pengembangan dan dengan
pengembangan
23
Hubungan antara NPV dan IRR
28
Struktur organisasi Rumah Sutera tahun 2013
40
Hubungan NPV dan IRR tanpa pengembangan dan dengan
pengembangan
ERROR! BOOKMARK NOT DEFINED.

ix

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17

Volume ekspor dan impor produksi sutera alam di Indonesia
Pembinaan dan pengembangan Persuteraan Alam Nasional dengan
pendekatan klaster
Hasil-hasil kegiatan persutera alam di Indonesia tahun 2010-2011
Dokumentasi penelitian
Layout tanpa pengembangan produksi kokon pada rumah sutera (lahan
0.5 ha)
Layout dengan pengembangan produksi kokon pada Rumah Sutera
(lahan 1 ha)
Pola produksi kokon pada Rumah Sutera
Biaya variabel tanpa pengembangan produksi kokon
Laba rugi tanpa pengembangan produksi kokon
Arus kas tanpa pengembangan produksi kokon
Switching value penurunan tanpa pengembangan produksi kokon
sebesar 3.86%
Switching value kenaikan harga daun murbei tanpa pengembangan
sebesar 35.11%
Tabel biaya variabel dengan pengembangan produksi kokon
Laba rugi dengan pengembangan produksi kokon
Arus kas dengan pengembangan produksi kokon
Switching value penurunan produksi kokon dengan pengembangan
sebesar 19.19%
Switching value kenaikan harga daun murbei dengan pengembangan
sebesar 88.08%

65
66
69
70
71
72
74
75
76
78
80
82
84
85
87
89
91

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Data Produk Domestik Bruto (PDB) dari Badan Pusat Statistik (BPS) terkait
usaha sektor pertanian terdiri dari beberapa sub sektor, yaitu sub sektor tanaman
bahan makanan, perkebunan, peternakan, kehutanan dan perikanan. Sektor
kehutanan dinilai cukup berpotensi karena mampu menyumbang PDB, walaupun
kontribusinya tidak sebesar dari produk tanaman bahan makanan, perikanan,
perkebunan dan peternakan. Terlihat pada Tabel 1 di bawah ini mengenai data
PDB pada sektor kehutanan sejak tahun 2008 hingga tahun 2011 terjadi
peningkatan, namun tahun 2012 PDB mengalami penurunan. Sektor kehutanan
perlu dikembangkan di Indonesia agar dapat menyumbang PDB lebih besar dan
dapat menyerap tenaga kerja lebih banyak.
Tabel 1 Produk domestik bruto lapangan usaha pertanian tahun 2008 - 2012
Tahun
No

Pertanian

1

Tanaman bahan
makanan
Perkebunan
Peternakan
Kehutanan
Perikanan

2
3
4
5

2008

2009

2010*)

2011**)

2012***)

349 795.0

419 194.8

482 377.1

530 603.7

314 378.9

105 960.5
83 276.1
40 375.1
137 249.5

111 378.5
104 883.9
45 119.6
176 620.0

136 026.8
119 371.7
48 289.8
199 383.4

153 884.7
129 578.3
51 638.1
227 761.2

72 715.3
70 396.4
24 938.4
121 942.3

Keterangan :
*) angka sementara
**) angka sangat sementara
*** ) angka sangat sangat sementara
sumber: Kementerian Pertanian 2013

Peraturan Menteri No.P35/Menhut-II/2007 menyatakan bahwa yang
termasuk Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) adalah hasil hutan hayati baik nabati
maupun hewani beserta produk turunan dan budidaya kecuali kayu sebagai segala
sesuatu yang bersifat material yang dimanfatkan bagi kegiatan ekonomi dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pemerintah telah menetapkan kriteria dan
indikator penentuan jenis HHBK unggulan yang tertuang dalam peraturan Menteri
Kehutanan No.P.21/Menhut-II/2009 tanggal 19 Maret 2009. Komoditas HHBK
unggulan nasional yang diprioritaskan dalam pengembangannya yaitu lebah madu
(madu alam), sutera alam, gaharu, dan bambu.
Karena lebah madu dan sutera alam merupakan HHBK komoditi
peternakkan, sedangkan komoditi gaharu dan bambu bukan merupakan komoditi
peternakkan (kayu), sehingga yang dapat dibandingkan yaitu sutera alam dan
lebah madu. Volume ekspor dan impor terhadap komoditi sutera alam yang
berupa kokon, benang sutera dan kain sutera yang ditunjukkan pada Tabel 2.

2

Volume impor sutera alam pada tahun 2012 lebih kecil dari pada madu alam,
namun volume ekspor sutera alam sebesar 495 ton belum mampu bersaing dengan
madu alam yang volume ekspornya mencapai 659 021 ton. Tahun 2013, volume
impor sutera alam semakin berkurang dari tahun 2012 dan volumenya lebih
sedikit dari lebah madu. Volume ekspor sutera alam terjadi peningkatan yang
sebelumnya tahun 2012 mampu mengekspor sebesar 495 ton, namun tahun 2013
meningkat menjadi 141 654 ton. Penurunan volume impor dan peningkatan
volume ekspor merupakan peluang bagi Indonesia untuk dikembangkan lagi,
karena kemampuan Indonesia untuk memenuhi permintaan nasional cukup baik
ditandai dengan menurunnya volume impor dan volume ekspor meningkat, hal ini
dapat menjadi salah satu komoditi unggulan bagi negara Indonesia.
Tabel 2 Volume impor dan ekspor komoditi kehutanan hasil hutan bukan kayu
2012 - 2013
2012
Komoditi
Sutera alam
Madu alam

Volume
impor (ton)
175 620
1 555 725

Volume
ekspor (ton)
495
659 021

2013
Volume
impor (ton)
150 351
1 365 518

Volume
ekspor (ton)
141 654
4

Sumber: Kementerian Pertanian, 2013 (diolah)

Perkembangan sutera alam di Indonesia mulai dikenal pada tahun 1718,
bangsa Belanda membawa teknologi untuk budidaya sutera di Indonesia. Sejak
saat itu, sutera alam mulai dikembangkan di Indonesia. Pada tahun 1950
dicanangkan program multiple use of forest lands oleh dr. Soejarwo, yang
ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan memanfaatkan
lahan kehutanan. Sehingga pada tahun 1954 hingga 1961 pemeliharaan ulat sutera
dilakukan di Cisarua oleh Naito dari Jepang dan Kosasih dari Bandung. Daerah
pengembangan sutera alam diantaranya adalah1.
1. Jawa Barat: Sukabumi, Cianjur dan Garut.
2. Jawa Tengah: Candiroto (Pusat Pembibitan Ulat Sutera/PPUS) dan
Regoloh di Pati (mempunyai usaha persuteraan alam/UPA).
3. Jawa Timur: Gerbo di Pasuruan dan Pare di Kediri.
4. Sumatera Barat: Payakumbuh dan Batu Sangkar.
5. Sumatera Utara: Berastagi dan Dairi.
6. Sulawesi Selatan: Soppeng (sentra produksi benang sutera terbesar di
Indonesia), Wajo dan Majene.
Berdasarkan tahun 2012 dan 2013, negara tujuan ekspor sutera alam adalah
Timor Leste, Amerika Serikat, Switzerland, Denmark, dan Cina, yang merupakan
volume ekspor terbesar yaitu ke Negara Timor Leste pada tahun 2012 hingga
tahun 2013. Sedangkan negara asal impor adalah dari Jepang, Hong Kong, Korea,
Taiwan, Cina, Singapore, India, Australia, Amerika Serikat, Amerika Latin,
Jerman, Malaysia, Sri Lanka, dan Inggris, dan yang merupakan negara asal impor

Kang Ade Bastiawan The Silk Road –Jalur Sutera. 2012. Tersedia pada:
http://bastiawanade.blogspot.com/2012/07/zona-kreatif-kampung-tenun.html

1

3

terbesar adalah dari Cina pada tahun 2012 hingga tahun 20132. Dapat dilihat pada
Lampiran 1 mengenai negara tujuan ekspor dan impor.
Untuk meningkatkan daya saing dan menjadikan Indonesia sebagai
produsen sutera, maka diterbitkan Peraturan Bersama Menteri Kehutanan, Menteri
Perindustrian, dan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah
Nomor: P.47/Menhut-II/2006; Nomor: 29/M-IND/PER/6/2006; dan nomor
07/PER/M.KUKM/VI/20063 terdapat pada Lampiran 2. Faktor-faktor yang
mempengaruhi usaha persuteraan alam, khususnya produksi kokon yaitu Sumber
Daya Alam (SDA), Sumber Daya Manusia (SDM), teknologi dan manajemen,
sumberdaya kapital atau permodalan, pasar dan pemasaran. Sumber Daya Alam
(SDA) merupakan tempat usaha/lokasi usaha yang sesuai dengan kebutuhan yang
diinginkan oleh kegiatan produksi kokon. Sumber daya alam seperti kondisi iklim,
tanah dan air yang sangat menentukan keberlanjutan usaha dan keberhasilan untuk
memproduksi kokon.
Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan penggerak pengelolaan sumber
daya alam. SDM yang dibutuhkan dalam keberhasilan produksi kokon adalah
SDM yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi produksi kokon yang baik
dan terampil. Metode (teknologi dan manajemen) sangat mempengaruhi
keberhasilan produksi kokon yang mana teknologi merupakan teknik yang harus
dikuasai oleh SDM untuk mengolah SDA, agar menghasilkan produk kokon
berlimpah dengan kualitas baik dan dapat bersaing dipasaran. Teknologi dapat
mengefisienkan waktu dan memudahkan pekerjaan, dan manajemen adalah alat
untuk mencapai suatu tujuan bersama dalam suatu organisasi atau perusahaan.
Manajemen yang diperlukan dalam produksi kokon diantaranya manajemen
produk, manajemen SDM, manajemen keuangan dan manajemen pemasaran.
Sumber daya kapital/permodalan merupakan faktor penentu bergeraknya
suatu kegiatan usaha persuteraan alam yang mana seluruh sumber daya akan
bergerak dengan adanya pembiayaan untuk memodali kegiatan produksi kokon.
Faktor pasar dan pemasaran, pasar dan pemasaran merupakan ujung tombak dari
kegiatan usaha produksi kokon karena semua aspek akan menghasilkan produk
kokon yang harus dapat diterima oleh pasar. Pemasaran tersebut harus mampu
menyalurkan produk yang berdasarkan market oriented (sesuai dengan kebutuhan
pasar).
Berdasarkan sistem agribisnis, persuteraan alam merupakan kegiatan
dengan rangkaian usaha yang dimulai dari produksi tanaman murbei,
pemeliharaan ulat (produksi kokon), pemintalan benang dan penenunan kain
sutera. Pada Lampiran 3 dapat dilihat hasil-hasil kegiatan persuteraan alam tahun
2010 hingga 2011 di Indonesia, yang terdiri dari tanaman murbei, bibit telur,
produksi kokon, dan benang sutera. Produksi kokon berpontensi untuk
dikembangkan di Indonesia karena apabila diukur dari kondisi alam, sumber daya

2

Dapertemen Pertanian. 2012. Volume ekspor dan impor ulat sutera di Indonesia. Tersedia pada:
http://database.deptan.go.id/eksim2012asp/eksporSubsek.asp. (diakses tanggal 4 Januari jam
07.23).
3
Departemen kehutanan. 2009. Pembinaan dan Pengembangan Persuteraan Alam
Nasional
Dengan
Pendekatan
Klaster.
Tersedia
pada:
Http://Www.Dephut.Go.Id/Uploads/INFORMASI/RRL/RLPS/Klaster.Htm

4

manusia yang tersedia, dan kebutuhan atau permintaan kokon untuk kebutuhan
industri benang sutera yang setiap tahunnya belum terpenuhi.
Hasil kegiatan persuteraan alam tahun 2010 hingga 2011 di Indonesia,
terdiri dari tanaman murbei, bibit telur, produksi kokon, dan benang sutera yang
tersebar di 33 Provinsi. Produksi kokon di Provinsi Jawa Barat masih kecil
apabila dibandingkan dengan provinsi lainnya, namun Jawa Barat mampu
memproduksi kokon meskipun produksinya kecil. Pada tahun 2010 hingga 2011
produksi menurun, hal ini menjadi menarik untuk dianalisis kenapa di Jawa Barat
produksinya berkurang. Oleh sebab itu, perlu dianalisis apakah usaha produksi
kokon layak untuk diusahakan dianalisis dengan aspek non finansial maupun
aspek finansial. Usaha produksi kokon cukup sulit untuk diusahakan meskipun
produksi kokon dapat dilakukan dalam waktu yang singkat yaitu satu kali
produksi memerlukan waktu kurang lebih 30 hari.
Berdasarkan data Departemen Perindustrian (Depperin) tahun 2011
menyatakan, hingga saat ini produksi kokon hanya sekitar 250 ton per tahun,
jumlah produksi masih jauh di bawah kebutuhan atau permintaan kokon nasional
yang mencapai 700 ton per tahun4 atau dikatakan Indonesia dapat memenuhi
permintaan kokon sebesar 35.7 persen. Produksi ulat sutera nasional saat ini
belum memenuhi kebutuhan bahan baku sutera dalam negeri dengan kesenjangan
yang sangat jauh. Kebutuhan benang sutera 700 000 kg/tahun dengan
kecenderungan semakin meningkat, namun produksi benang hanya 50 000
kg/tahun dan produksi kokon 325 000 kg/tahun. Sebanyak 80 persen dari total
produksi nasional tersebut berasal dari Sulawesi Selatan.
Produksi kokon sebesar 250 ton dapat menghasilkan benang sutera
sebanyak 41.6 ton yang mana dalam satu box telur yang berisi 25 000 telur dapat
menghasilkan benang sutera sebanyak 5 kg, artinya produksi kokon sebesar 250
ton dapat memelihara telur sebesar 8 333.3 box bibit telur ulat, sehingga dipintal
menghasilkan benang sutera sebesar 41.6 ton dan ditenun menghasilkan kain
sutera sepanjang 2 500 000 meter. Padahal saat ini, produksi industri benang
sutera nasional, baik yang menggunakan mesin modern maupun tradisional,
membutuhkan benang sutera hingga mencapai 87.5 ton setahun, sekitar 47.6
persen yang mampu dipenuhi. Sehingga para industri benang sutera lebih banyak
mengimpor kokon, hal ini yang menjadikan letak peluang bisnis usaha produksi
kokon.
Walaupun kondisi alam di Indonesia cocok untuk produksi kokon, namun
sampai saat ini daerah yang mengusahakan produksi kokon tidak banyak tersebar,
sentra produksi kokon di Indonesia masih pada daerah yang sama yaitu Sulawesi
Selatan dan Jawa Tengah. Kokon diolah menjadi benang sutera yang bermutu
tinggi dan memiliki harga sangat tinggi di pasaran, yang mana kegunaan serat
kokon tidak hanya terbatas sebagai bahan busana saja, namun juga dapat
digunakan sebagai keperluan medis dan sebagai bahan pembuat parasut, hal ini
membuat kebutuhan permintaan kokon semakin tinggi.

4

Salman binustech. 2011. Menhut Kunjungi Lumbung Sutera di Indonesia. Tersedia pada:
http://lalulintasberita.blogspot.com/2011/02/menhut-kunjungi-lumbung-sutera-di.html. (diunduh
tanggal 4 Mei 2013)

5

Tabel 3 menunjukkan bahwa perkembangan produksi budidaya sutera alam
di Indonesia setiap tahunnya mengalami kenaikan dan penurunan produksi apabila
diukur dari jumlah luas lahan murbei, jumlah peternak yang mengusakannya,
penyerapan telur, dan produksi benang sutera sejak tahun 2006 hingga tahun
2012. Pada tahun 2011 jumlah lahan murbei yang diusahakan sebanyak 2 178 ha,
peternak yang mengusahakan budidaya sutera alam sebanyak 3 357 dan
penyerapan telur ulat 5 388 box sehingga dapat menghasilkan kokon sebanyak
159 801 kg dan dipintal menghasilkan benang sutera 17 065 kg.
Produksi tanaman murbei, dan jumlah peternak yang mengusahakan sutera
alam tahun 2011 terjadi peningkatan, namun untuk penyerapan telur ulat sutera
dan benang yang diproduksi terjadi penurunan, dan penurunan produksi benang
disebabkan penyerapan telur ulat yang berkurang. Pada tahun 2012 luas lahan
tanaman murbei meningkat menjadi 2 203 hektar, peternak yang
mengusahakannya meningkat menjadi 2 401, dan kokon yang diproduksi
meningkat sebesar 163 119 kg dan benang sutera sebesar 19 050 kg, namun
penyerapan telur ulat menurun menjadi 4 970 box. Dapat dikatakan bahwa
peningkatan produksi kokon ditentukan oleh faktor ketersediaan tanaman murbei,
peternak yang mengusahakannya, dan penyerapan telur ulat sutera.
Tabel 3 Perkembangan budidaya ulat sutera di Indonesia tahun 2006-2012
Tahun
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012

Perkembangan produksi budidaya ulat sutera di Indonesia
Jumlah
Jumlah
Penyerapan
Kokon
Produksi
murbei (ha) peternak (kk) telur fi (box )
(kg)
benang (kg)
1 482
2 936
11 510.25 305.657
43 507
1 520
3 286
12 849.00 384.704
54 923
2 273
3 500
8 401.00 238.315
36 795
2 335
3 377
4 103.50
99.407
15 808
2 025
3 242
5 973.50 155.972
19 661
2 178
3 357
5 388.00 159.801
17 065
2 203
2 401
4 970.88 163.119
19 050

Sumber: Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Ciomas 2012

Berdasarkan data produksi kokon di Indonesia, produksi kokon terendah
dari tahun 2006 hingga tahun 2012 terjadi pada tahun 2009 dan yang tertinggi
tahun 2007. Ditunjukkan pada Gambar 1 di bawah ini, produksi kokon setiap
tahunnya sejak tahun 2006 hingga 2012 produktivitasnya berfluktuatif, fluktuatif
produksi disebabkan oleh perubahan jumlah tanaman murbei (daun murbei),
jumlah peternak yang mengusahakannya dan penyerapan telur ulat sutera yang
diproduksi. Tahun 2011 produksi kokon sebesar 159 801 kg dan tahun 2012
meningkat menjadi 163 119 kg. Peningkatan produksi kokon menjadi hal yang
menarik karena menjadi peluang bagi Indonesia untuk lebih dikembangkan lagi
atau memungkinkan untuk diusahakan.

6

Jumlah

Produksi kokon di Indonesia
600000
400000
200000
0

Produksi kokon

Gambar 1 Perkembangan produksi kokon di Indonesia
Sumber: Rumah Sutera 2013

Perkembangan produksi kokon di Provinsi Jawa Barat tersebar di
Kabupaten Garut, Cianjur, Bandung, Sukabumi, Bogor, Purwakarta, Tasikmalaya,
Majalengka, dan Sumedang. Pada Provinsi Jawa Barat, terdapat kabupatenkabupaten yang hanya melakukan usaha budidaya tanaman murbei yaitu
Purwakarta, Tasikmalaya, Majalengka dan Sumedang. Sedangkan Kabupaten
Bogor, Cianjur, Sukabumi, Bandung dan Garut merupakan kabupaten yang
melakukan usaha budidaya sutera alam secara keseluruhan yaitu memiliki luas
lahan tanaman murbei, mampu menyerap telur ulat, dapat memproduksi kokon
dan benang sutera.
Tabel 4 di bawah ini menunjukkan bahwa Kabupaten Bogor merupakan
kabupaten yang produksi kokon terbesar kedua setelah Kabupaten Sukabumi,
maka Kabupaten Bogor merupakan kabupaten yang cukup berpotensi apabila
dilakukan produksi murbei kokon. Pada tahun 2012, Kabupatan Bogor memiliki
tanaman murbei seluas 22 hektar, namun penyerapan telur ulat yang cukup besar
yaitu sebanyak 24 box dan mampu menghasilkan kokon sebesar 852.4 kg yang
menghasilkan 76 kg benang sutera. Peneliti tertarik melakukan penelitan di
Kabupaten Bogor karena memungkinkan terjadi peningkatan produksi kokon
dengan didukung oleh iklim yang cocok yang mana suhu antara 180C sampai
400C, kelembaban yang sesuai yaitu pada ketinggian 40 sampai 800 di atas
permukaan laut, lahan tanaman murbei, penyerapan telur, kapasitas produksi
kokon dan produksi benang sutera. Berikut ini pada Tabel 4 menunjukkan data
perkembangan produksi kokon di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2012.

7

Tabel 4 Produksi budidaya sutera alam di Provinsi Jawa Barat tahun 2012
No

Kabupaten

Luas tanaman
murbei (ha)

1
2
3
4
5
6
7
8
9

Bogor
Cianjur
Sukabumi
Bandung
Purwakarta
Garut
Tasikmalaya
Majalengka
Sumedang
Jumlah

22
137.10
35
59
45
231
35
45
10
619.10

Kapasitas
Penyerapan
Produksi
telur (box) kokon (kg)
24.00
712.00
21.00
632.00
64.50
2.015.00
17.00
521.00
0.00
0.00
4.00
136.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
130.50
4 016

Produksi
benang (kg)
76.20
70.22
226.89
58.25
0.00
14.50
0.00
0.00
0.00
446 06

Sumber: Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Bogor 2012

Jumlah impor kokon yang setiap tahun semakin meningkat, sehingga
membuat peternak sutera alam di Indonesia, khususnya di Kabupaten Bogor
mengharuskan mengembangkan usaha produksi kokonnya. Peneliti tertarik
melakukan penelitan di Kabupten Bogor dengan topik penelitian kelayakan usaha
produksi kokon. Pengambilan tempat penelitian di Bogor karena berdasarkan
informasi yang didapat dari Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor,
menyatakan bahwa di Kabupaten Bogor yang masih bertahan memproduksi
kokon sejak tahun 2011 adalah Rumah Sutera yang dimiliki oleh Bapak Tatang,
sehingga peneliti mengambil tempat penelitian di Rumah Sutera.
Rumah Sutera terletak di Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor, peneliti
tertarik mengambil judul penelitian mengenai analisis kelayakan usaha produksi
kokon, sebab pada Rumah Sutera belum pernah dilakukan analisis kelayakan
usaha khususnya produksi kokon. Memproduksi kokon sejak tahun 2011 yang
permintaan kokon pada Rumah Sutera setiap tahunnya terjadi peningkatan,
sedangkan produksi kokon belum mampu memenuhi permintaan, karena produksi
kokon sebagian besar setiap tahunnya digunakan sebagai kebutuhan sendiri untuk
dijadikan benang sutera.
Walaupun Rumah Sutera telah berjalan 13 tahun, namun belum pernah
dilakukan analisis kelayakan, maka pada penelitian ini dilakukan analisis
kelayakan agar dapat mengetahui apakah usaha produksi kokon pada Rumah
Sutera ini layak untuk dijalankan atau tidak layak. Oleh sebab itu, peneliti
menganalisis kelayakan usaha produksi kokon berdasarkan tanpa pengembangan
dan dengan pengembangan, kedua analisis ini dianalisis apabila Rumah Sutera
memproduksi daun murbei dan membeli daun murbei berdasarkan aspek non
finansial, dan finansial. Penelitian analisis kelayakan usaha aspek non finansial
diantaranya adalah aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen dan hukum, dan
aspek sosial dan lingkungan. Analisis finansial melalui kriteria finansial yaitu Net
Present Value (NPV), Net benefit Cost ratio (Net B/C), Internal Rate of Return
(IRR), Payback Periode (PP), dan analisis switching value.

8

Rumusan Masalah
Produk sutera memiliki nilai ekonomi tinggi dan banyak digemari
masyarakat tidak hanya di dalam negeri saja tetapi juga di luar negeri, terlihat dari
produksi kokon nasional per tahun rata-rata sebesar 250 ton atau berkisar 31.25
ton benang sutera. Hal ini masih jauh dari kebutuhan atau permintaan kokon
nasional sebesar 700 ton per tahun untuk memenuhi kapasitas produksi industri
pemintalan benang sutera nasional sebesar 87.5 ton setiap tahunnya. Sebanyak 80
persen dari total produksi nasional tersebut berasal dari Sulawesi Selatan 5. Untuk
memenuhi kebutuhan kokon nasional, Indonesia masih impor sebesar 450 ton
kokon per tahun dari China dan Thailand. Potensi ini cukup besar untuk
dikembangkan sebagai komoditas yang bernilai ekonomi, maka teknik budidaya
yang tepat agar dapat menghasilkan kokon yang berkualitas.
Usaha produksi kokon khususnya di Jawa Barat, selama ini banyak
mengalami fluktuasi produksi, hal ini menyebabkan terbatasnya bahan
baku/benang baik dari segi kualitas dan kuantitas. Kabupaten Pati merupakan
sentra produksi benang sutera di Jawa dan sentra produksi kain sutera di Jawa
Barat adalah Garut dan Tasikmalaya. Sejak tahun 2011 Provinsi Jawa Barat, bisa
dikatakan tidak terdapat sentra produksi benang sutera karena setiap peternak
yang memproduksi kokon tidak menjual ke peternak lain, namun diolah sendiri
untuk kebutuhan usaha sendiri dan juga rata-rata peternak yang memproduksi
kokon dan benang sutera dalam jumlah yang sama.
Pada awalnya Rumah Sutera memiliki Peternak kokon plasma, untuk
memenuhi kebutuhan kokonnya. Namun sejak tahun 2012, Rumah Sutera tidak
memiliki pasokan kokon lagi dari plasma, karena peternak plasma tersebut
berhenti melakukan kerjasama alasannya karena keuntungan yang diperoleh tidak
dapat langsung, artinya tingkat pengembalian modal diperoleh dalam waktu
jangka lama. Alasan lain juga karena keterbatasan lahan yang dimilikinya,
sehingga peternak tersebut beralih ke usaha yang lain seperti ke pedagang dan
tanaman hortikultura. Peternak berhenti bekerjasama dengan Rumah Sutera
membuat jumlah kokon yang diproduksi Rumah Sutera menjadi menurun.
Keterbatasan ini membuat menarik perhatian peneliti untuk menganalisis
kelayakan produksi kokon yang diukur berdasarkan analisis kelayakan non
finansial dan finansial dilakukan berdasarkan tanpa pengembangan dan dengan
pengembangan produksi kokon. Rencana pengembangan produksi kokon
dilakukan ditempat usaha yang sama dengan tanpa pengebangan atau dapat
dikatakan dengan mengembangakan usaha produksi kokon yang sudah ada.
Analisis dengan pengembangan dilakukan karena ada permintaan sedangkan
penawaran belum mampu memenuhi permintaan.

5

Salman Binustech. 2011. Menhut kunjungi lumbung sutera di indonesia. Tersedia pada:
Http://lalulintasberita.blogspot.com/2011/02/menhut-kunjungi-lumbung-sutera-di.html.
(diunduh Mei 2013)

9

Tabel 5 Produksi kokon pada Rumah Sutera tahun 2011-2013
Tahun

2011

2012

2013

Asal telur
Soppeng
Candiroto
Balai Persuteraa Alam (BPA) Bilibili
Balai Persuteraa Alam (BPA) Bogor
Total produksi
Soppeng
Candiroto
BPA bili-bili
Total produksi
Soppeng
Candiroto
Balai Persuteraa Alam (BPA) Bogor
Cina
Total produksi

Jumlah telur
(box)
14
1

Jumlah kokon
(kg)
420
6.6

3.5

105

1

31.1
562.7
792
60
852.4
535.3
837
62.9
61.8
1 200

24
2
17
9
2
1

Sumber: Rumah Sutera 2013

Rumah Sutera membeli telur ulat sutera alam dari Soppeng, Candiroto dan
Cina, dan Rumah Sutera memperoleh telur ulat secara gratis dari Balai
Persuteraan Alam (BPA) yang dikelola oleh Lembaga Penelitian dan
Pengembangan Kehutanan Kabupaten Bogor dan Bili-Bili. Telur dari Soppeng
dan Candiroto dibeli dengan harga Rp130 000 dan Cina Rp100 000, harga telur
Cina lebih murah dari pada domestik karena Cina ingin bersaing dengan pasar
Indonesia dibidang sutera alam. Pada tahun 2011, produksi sudah kembali baik
yang mana tahun 2009 hingga tahun 2010, ulat terkena virus febrin, namun tahun
2012 kondisi kembali membaik ditandai dengan produksi kokon meningkat
menjadi 852.4 kg karena virus febrin masih berdampak, sehingga kokon yang
diproduksi tidak maksimal. Rumah Sutera membeli telur ulat sutera dari
Candiroto dan Soppeng dengan tidak membedakan intensitas pembelian,
pembelian dilakukan secara bergantiaan.
Rumah Sutera membeli telur ulat sutera dari Cina karena memiliki
perbedaan kokon yang dihasilkan dari telur ulat sutera, kokon Indonesia
mempunyai panjang filamen berkisar 1000 meter sedangkan kokon asal Cina
hanya 500 meter. Kokon Indonesia lebih panjang tapi per 100 meter putus,
sedangkan kokon Cina dalam 500 meter tidak putus, dan kokon asal China lebih
mudah dipintal. Pada tahun 2012, peternak plasma berhenti bekerjasama dengan
Rumah Sutera, karena pendapatan yang diperoleh hanya sedikit karena telur yang
diproduksi terserang virus febrin, sehingga produksi kokon menjadi berkurang
menjadi 562.7 kg, akibatnya Rumah Sutera memproduksi kokon sendiri. Telur
ulat sutera yang dibeli Rumah Sutera dari semua pemasok bibit telur ulat memiliki
kualitas yang sama.
Produksi kokon berfluktuatif disebabkan karena telur ulat sutera yang
terserang virus febrin, iklim yang tidak menentu (musim kemarau dan hujan)
terjadi pada peralihan dari musim kemarau ke musim hujan menyebabkan

10

munculnya hama dan penyakit yang menyerang ulat sutera dan daun murbei, dan
juga karena peternak plasma berhenti bekerjasama.
Tiga tahun terakhir ini, satu bulan dapat mempoduksi kokon biasanya
Rumah Sutera menghabiskan tiga sampai lima box, alasannya karena keterbatasan
pakan ulat (daun murbei) pada saat pertumbuhan ulat sangat dipengaruhi oleh
pakannya (daun murbei). Produksi kokon ditentukan dari ketersediaan daun
murbei, kemampuan rak pemeliharaan dan alat pengokonan yang tersedia
(serifrem), kokon yang dihasilkan juga bisa berubah karena pada saat
pemeliharaan ulat maupun kokon terserang hama dan penyakit. (Anonoim 1996)
menjelaskan bahwa keterbatasan sumberdaya yang dimiliki oleh peternak ulat
sutera alam ketika memproduksi kokon seperti luas tanaman murbei, upah tenaga
kerja, teknologi yang digunakan peternak, penentuan jumlah bibit yang akan
dipelihara merupakan ukuran skala usaha usaha. Penentuan umur usaha
berdasarkan lamanya umur ekonomis peralatan serifrem yaitu selama 13 tahun
karena merupakan investasi yang paling berpengaruh atau terpenting.
Denir adalah sebutan untuk menjelaskan besar kecilnya filamen atau benang
yang digunakan dalam kain. Semakin tinggi denir berarti kain tersebut semakin
tebal. Serat-serat yang dipergunakan untuk membuat benang dibagi menjadi dua
yaitu serat-serat yang mempunyai panjang terbatas yang disebut stapel dan ada
yang mempunyai panjang tidak terbatas yang disebut filamen. Setiap satu box
berjumlah 25 000 butir telur dan sesuai standar kokon yang akan dihasilkan ratarata sebesar 30 kg/box dan apabila dipintal akan menghasilakan kurang lebih tigak
benang sutera. Rumah Sutera tidak memiliki pesaing usaha di Bogor, karena
Rumah Sutera merupakan Petani satu-satunya yang masih bertahan memproduksi
kokon di Kabupaten Bogor.
Untuk memperoleh hasil kokon yang diproduksi lebih optimal, maka dalam
kegiatan produksi kokon perlu memperhatikan kualitas dan kuantitas bibit telur
ulat sutera, kualitas dan kuantitas daun murbei, ruang pemeliharaan ulat sutera
harus steril, dan perlakukan pemberian desinfeksi dan yang tepat agar kokon yang
dihasilkan lebih optimal dan dapat memenuhi permintaan kokon apabila hal ini
diperhatikan maka produksi kokon dapat optimal, sehingga dapat memenuhi
permintaan pasar Indonesia dan Provinsi Jawa Barat khususnya. Produksi kokon
merupakan salah satu komoditas yang menarik untuk diusahakan karena pasar
kokon masih sangat terbuka baik didalam maupun diluar negeri (ekspor) sehingga
dapat meningkatkan pendapatan dan kesempatan kerja bagi masyarakat.
Usaha produksi kokon masih memiliki prospek yang cukup baik untuk
dikembangkan mengingat kebutuhan nasional akan kokon yang hingga saat ini
sebagian besar belum terpenuhi, serta peluang pasar di luar negeri yang sangat
besar, maka prospek produksi kokon di masa mendatang akan sangat cerah.
Apalagi dengan berkembangnya sektor agrowisata yang antara lain ditandai
dengan meningkatnya arus kunjungan wisatawan yang datang ke Rumah Sutera
yang memberikan dampak positif terhadap usaha produksi kokon. Dari uraian di
atas adanya potensi usaha produksi kokon maka peneliti membahas bagaimana
kelayakan usaha produksi kokon tanpa pengembangan dan dengan pengembangan
jika Rumah Sutera memproduksi daun murbei dan membeli daun murbei. Analisis
aspek non finansial yang meliputi aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen
dan hukum, dan aspek sosial dan lingkungan. Aspek finansial dengan
menganalisis Net Present Value (NPV), Net benefit Cost Rasio B/C, Internal Rate

11

of Return (IRR), dan Payback Periode (PP) dan menganalisis switching value,
terlebih dahulu menganalisis manfaat dan biaya untuk perhitungan laba rugi dan
arus kas.
Analisis kelayakan finansial dianalisis dengan membandingkan tanpa
pengembangan produksi dan dengan pengembangan produksi kokon yang
dianalisis tingkat keuntungan yang diperoleh selama umur usaha yaitu 13 tahun.
Analisis tanpa pengembangan produksi kokon dilakukan karena usaha produksi
kokon belum optimal, yang mana ulat sutera yang dipelihara Rumah Sutera
terserang virus febrin yang berasal dari Soppeng, iklim tidak menentu yang
menyebabkan daun murbei kualitas dan kuantitas berkurang, sehingga kuantitas
dan kontinuitasnya hanya bergantung pada daun murbei yang ada di Rumah
Sutera. Analisis rencana pengembangan usaha, karena produksi kokon pada
Rumah Sutera belum optimal, yang mana input (serifrem, rak pemeliharaan, dan
daun murbei yang diproduksi Rumah Sutera belum optimal), oleh sebab itu
analisis ini dilakukan analisis pengembangan usaha produksi pemeliharaan ulat
sutera agar dapat meningkatkan produksi kokon. Pengembangan produksi kokon
dilakukan dengan menambah kapasitas produksi pemeliharaan telur ulat, membeli
daun murbei, membangun ruang ulat kecil, ruang ulat besar, menambah peralatan
serifrem (alat mengokon).
Daun murbei merupakan hal yang terpenting dan diperlukan ketika
memproduksi kokon, sehingga kebutuhan daun murbei harus terpenuhi. Karena
tanpa pengembangan produksi daun murbei terbatas, maka dengan pengembangan
diasumsikan Rumah Sutera membeli daun murbei untuk menjaga ketersediaan
dan kontinuitasnya. Kondisi seperti berat kokon yang dihasilkan berkurang dari
standar normalnya yang mana standar normal dalam satu box telur ulat
menghasilkan 30 kg kokon, perlu dilakukan analisis switching value mengenai
perubahan jumlah produksi kokon. Perubahan penurunan produksi kokon dapat
menyebabkan penurunan penerimaan yang diterima Rumah Sutera. Apabila bisnis
layak secara aspek finansial dan non finansial maka bisnis dapat dijalankan.
Sebaliknya, ketika bisnis dikatakan tidak layak secara non finansial maupun
finansial, maka perlu dilakukan evaluasi atau perbaikan pada kegiatan yang tidak
efisien. Berdasarkan gambaran permasalahan yang telah dijelaskan di atas dapat
dirumuskan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut.
1. Bagaimana kelayakan usaha produksi kokon diukur dari aspek non
finansial pada Rumah Sutera?
2. Bagaimana kelayakan usaha produksi kokon diukur dari aspek finansial
tanpa pengembangan produksi kokon dan dengan pengembangan produksi
kokon pada Rumah Sutera?
3. Bagaimana tingkat kepekaan kelayakan usaha produksi kokon terhadap
perubahan jumlah produksi kokon dan kenaikan harga daun murbei yang
masih dapat ditoleransi oleh Rumah Sutera?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah dijelaskan sebelumnya, maka
penelitian ini ditujukan untuk:
1. Menganalisis kelayakan usaha produksi kokon berdasarkan aspek non
finansial pada Rumah Sutera.

12

2. Menganalisis kelayakan aspek finansial produksi kokon pada kondisi
dengan pengembangan usaha dan tanpa pengembangan produksi kokon
pada Rumah Sutera.
3. Menganalisis tingkat kepekaan kelayakan usaha produksi kokon terhadap
perubahan jumlah produksi kokon dan kenaikkan harga daun murbei pada
Rumah Sutera.
Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat dan
kontribusi bagi pihak-pihak terkait, seperti:
1. Bagi pengusaha diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai
masukan terhadap manajemen perusahaan untuk mengetahui kelayakan
usaha produksi kokon terkait non finansial dan aspek finansial.
2. Untuk penelitian selanjutnya penelitian ini diharapkan dapat memberikan
informasi atau sebagai bahan acuan dan bahan perbandingan mengenai
kelayakan usaha produksi kokon.
3. Bagi penulis, penelitian ini sebagai media untuk menerapkan ilmu yang
diperoleh penulis berada dibangku perkuliahan dan dapat menjawab
keingintahuan dari penulis mengenai kelayakan usaha produksi kokon.
Ruang Lingkup Penelitian
Rumah Sutera terletak di Kecamatan Tamansari Kabupaten Bogor yang
merupakan usaha yang bergerak di bidang persutera alam yang melakukan
kegiatan agrowisata dan produksi. Produksi sutera alam terdiri dari produksi daun
murbei, produksi kokon, produksi benang sutera dan produksi kain sutera. Pada
penelitian ini ruang lingkup penelitian akan difokuskan pada kelayakkan
pengembangan produksi kokon.

TINJAUAN PUSTAKA
Berdasarkan penelitian terdahulu yang penulis jadikan bahan acuan untuk
menulis skripsi ini,terkait dengan aspek non finansial, aspek finansial dan analisis
switching value. Usaha produksi kokon pada Rumah Sutera termasuk ke dalam
usaha menengah. Pada umumnya jumlah box telur digunakan sebagai unit untuk
menyatakan skala pemeliharaan. Satu box berisi 25.000 butir telur ulat, kokon
yang dihasilkan dalam satu box diharapkan adalah 30 sampai 35 kg. Penelitian
yang dilakukan oleh Widagdho (2008), Pradana (2009), Evin (2011), Nurlaela
(2006), dan Nasution (2011).
Topik penelitian ini mengenai kelayakan usaha produksi kokon, pada
penelitian ini peneliti menganalisis kelayakan aspek non finansial yaitu aspek
pasar, teknis, manajemen dan hukum, sosial dan lingkungan. Sedangkan aspek
kelayakan finansial mengenai analisis kriteria Net Present Value (NPV), Internal
Rate of Return (IRR), Net benefit Cost Ratio (Net B/C), dan Payback Period

13

(PP),dan switching value. Persamaan dengan penelitian terdahulu yaitu samasama menganalisis komoditas peternakan, sehingga dapat manjadi bahan
perbandingan dengan penelitian ini. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian
terdahulu yaitu lokasi penelitian pada saat mengambil studi kasus di Kabupaten
Bogor dan komoditinya yaitu produksi kokon.
Aspek Non Finansial
Aspek non finansial terdiri dari beberapa aspek, diantaranya adalah aspek
pasar, aspek teknis, aspek manajemen dan hukum, dan aspek sosial, budaya dan
lingkungan. Penelitan yang dilakukan oleh Arief (2009) menunjukkan bahwa
aspek pasar dikatakan layak karena potensi pasar dan pangsa pasar dinilai
memadai untuk pemasaran produk. Sama halnya berdasarkan penelitian Nandana
Widagdho (2008) aspek pasar ditunjukan dari produk yang dihasilkan pada usaha
budidaya anakan kelinci, budidaya kelinci pedaging sesuai dengan permintaan
pasar dan harga yang ditawarkan merupakan harga yang terjangkau oleh
konsumen. Pradana (2009) apabila diukur dari aspek pasar, peluang pasar masih
terbuka karena permintaan yang tinggi
Aspek teknis dapat dikatakan layak apabila lokasi usaha, peralatan dan
penentuan layout suatu usaha harus efektif dan efisien. Arief (2009) apabila
dianalisis dari segi aspek teknis, perusahaan tersebut memilih lokasi yang tepat
serta memiliki sarana dan prasarana pendukung. Sama halnya hasil penelitian dari
Pradana (2009) bahwa aspek teknis kegiatan budidaya ulat sutera menggunakan
teknologi dan peralatan relatif sederhana seperti budidaya pertanian pada
umumnya. Aspek manajemen dikatakan layak apabila, manajemen usaha yang
dilakukan sesuai dengan kriteria manajemen yaitu stuktur organisasi dan adanya
pembagian pekerjaan yang jelas. Penelitian Pradana (2009) menyimpulkan bahwa
aspek manajemen budidaya ulat sutera dapat dilakukan secara perseorangan dan
tidak memerlukan organisasi yang kompleks. Sedangkan Saputera (2011)
menyatakan aspek manajemen pada usaha peternakan ayam broiler tersebut
menerapkan struktur organisasi sederhana namun dapat membuat kegiatan
pembesaran ayam broiler mampu berjalan lancar.
Hal yang sama juga dijelaskan oleh Widagdho (2008) bahwa analisis aspek
manajemen ditunjukkan dengan adanya struktur organisasi dan pembagian
pekerjaan yang jelas, dan juga telah memenuhi syarat teknis tersebut seperti,
persiapan kandang yang ideal, ketersediaan input, pemilihan indukan yang
unggul, perkawinan induk yang optimal, kontrol mutu, dan keamanan. Aspek
sosial dan lingkungan dapat dijalankan apabila suatu usaha membangun usaha
harus memberikan dampak yang positif bagi masyarakat lingkungannya, seperti
halnya penelitian oleh Pradana (2009) yang mengusahakan budidaya ulat sutera
bahwa mampu menyerap tenaga kerja, memanfaatkan lahan tidur, dan ramah
terhadap lingkungan. Sedangkan penelitian oleh Saputera (2011), aspek sosial dan
lingkungan memperlihatkan dengan kepedulian dan rasa tanggung jawab sosial
peternakan terhadap lingkungan sekitar lokasi kandang.

14

Aspek Finansial
Suatu usaha dapat dikatakan layak dari aspek finansial apabila memenuhi
kriteria finansial seperti nilai NPV lebih besar dari nol, IRR lebih besar dari df,
Net B/C yang lebih besar dari 1, payback period kurang dari umur investasi dan
analisis switching value tidak melebihi persentase batas toleransi. Arief (2009)
menggunakan kritera-kriteria penelitian investasi yaitu NPV, IRR, net B/C dan
Payback Period, yang mana analisis yang dilakukan menggunakan arus kas (cash
flow). Analisis finansial berdasarkan kriteria kelayakan investasi menunjukkan
bahwa layak untuk dijalankan. Karena nilai NPV lebih dari nol, nilai net B/C
lebih dari satu dari tinggkat diskonto yang digunakan dan payback period berada
sebelum masa proyek berakhir. Sama halnya penelitian yang dilakukan oleh
Nandana Duta Widagdho, analisis kelayakan finansial pada usaha peternakan
kelinci untuk ketiga pola usaha layak dilaksanakan.
Menurut penelitian Nasution, hasil kelayakan finansial usaha sapi terhadap
aspek finansial yaitu NPV (Net Present Value), IRR (Inernal Rate Return net B/C
(Net benefit Cost Ratio), PP (Payback Period) dan analisis Sensitivitas (Switching
value) menunjukkan layak. Hasil analisis Pradana (2009) berdasarkan kelayakan
finansial untuk perhitungan NPV, IRR, net B/C, payback periode dan analisis
switching value yang mana dibagi menjadi 3 skenario. Produksi kokon
berdasarkan kodisi usaha saat ini (skenario I), yang mana kondisi belum optimal
dengan lahan 2 ha, skenario II yaitu kondisi sudah optimal dengan luas lahan 2 ha,
dan skenario III dengan meningkatkan luas laha mnejadi 6 ha. Analisis skenario I,
menghasilkan nilai (NPV1), dan IRR sebesar 29 persen. Berdasarkan kriteria payback
period, investasi yang akan kembali dalam 5.12. Berdasarkan hasil analisis
finansial usaha dengan pengembangan produksi kokon layak untuk dijalankan.
Sedangkan skenario III, (NPV>0), net B/C (net B/C>1), dan IRR > df, dan
Investasi yang dikeluarkan kurang dari umur usaha. Berdasarkan hasil analisis
switching value, usaha dengan pengembangan produksi kokon memiliki tingkat
kepekaan terhadap perubahan ketiga variabel yang dianalisis sensitivitas
perubahannya lebih rendah jika dibandingkan dengan usaha tanpa pengembangan
produksi kokon.
Berdasarkan hasil perhitungan analisis finansial yang dilakukan oleh
Nurlaela (2006) padaunit usaha pemintalan dan pertenunan di KOPPUS
Sabilulungan III layak untuk diusahakan. Hal ini terlihat dari nilai NPV yang
positif, net B/C lebih dari satu dan IRR yang lebih besar dari tingkat suku bunga
yang berlaku dan juga pengembalian investasi yang kecil dari umur proyek.
Namun hasil perhitungan analisis ekonomi menunjukkan bahwa unit usaha
pemintalan dan pertenunan tersebut tidak layak untuk dilaksanakan. Hal tersebut
terlihat dari nilai NPV yang negatif, nilai IRR yang lebih kecil dari tingkat
diskonto, nilai net B/C lebih kecil dari nol dan payback period yang lebih
besardari umur proyek.

15

Ketidaklayakan pada analisis ekonomi disebabkan oleh harga bayangan
output yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan harga finasial, karena untuk
produk benang dan kain sutera impor tidak adanya pajak bea masuk sehingga
harga produk sutera impor lebih murah. Hasil analisis sensitivitas secara
menunjukkan bahwa pada unit usaha pemintalan dan pertenunan tersebut tidak
peka terhadap kenaikan harga input. Berdasarkan hasil analisis switching value
menunjukkan bahwa perubahan yang dapat