Strategi Pengembangan Wisata Alam Penyu Berbasis Masyarakat Lokal Di Pantai Temajuk Kabupaten Sambas Kalimantan Barat

STRATEGI PENGEMBANGAN WISATA ALAM PENYU
BERBASIS MASYARAKAT LOKAL DI PANTAI TEMAJUK
KABUPATEN SAMBAS KALIMANTAN BARAT

NURITA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Strategi Pengembangan
Wisata Alam Penyu Berbasis Masyarakat Lokal di Pantai Temajuk Kabupaten
Sambas Kalimantan Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2016
Nurita
NIM P052130291

RINGKASAN
NURITA. Strategi Pengembangan Wisata Alam Penyu Berbasis Masyarakat
Lokal di Pantai Temajuk Kabupaten Sambas Kalimantan Barat. Dibimbing oleh
SRI MULATSIH dan METI EKAYANI.
Kabupaten Sambas merupakan salah satu wilayah perbatasan yang masih
jauh dari pembangunan. Kondisi tersebut berdampak pada perekonomian
masyarakat daerah tersebut. Masyarakat lokal yang hidup kekurangan dari segi
ekonomi cenderung melakukan kegiatan ilegal, yaitu menjual telur penyu untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini melanggar peraturan yang ada karena
telur penyu yang dijual merupakan spesies yang dilindungi. Kegiatan ini dapat
mengancam populasi penyu. WWF-Indonesia (2012) menyatakan bahwa periode
tahun 2009–2011 sebanyak 50.92 persen sarang penyu di Pantai Paloh dalam
kondisi terancam, 48 persen tidak dapat diselamatkan dan hanya 1.08 persen yang
mampu diselamatkan.
Berdasarkan kondisi tersebut, maka diperlukan penerapan suatu kebijakan

yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan secara bersamaan usaha
perlindungan penyu dapat dilakukan. Penelitian ini bertujuan: (1) mengkaji
kesediaan membayar (WTP) pengunjung jika diadakan wisata alam penyu di
Pantai Temajuk; (2) mengkaji persepsi kesediaan masyarakat lokal untuk
mengubah pola mencari nafkah dari penjual telur penyu ke usaha di bidang wisata
di Desa Temajuk; (3) mengkaji pendapatan masyarakat lokal dari hasil menjual
telur penyu dan pendapatan dari usaha di bidang wisata di Desa Temajuk; (4)
merumuskan strategi pengembangan wisata alam penyu berbasis masyarakat lokal
di Pantai Temajuk.
Metode penelitian yang digunakan adalah analisis willingness to pay (WTP),
skala likert dengan teknik skoring, analisis pendapatan dan analisis SWOT.
Analisis WTP dilakukan untuk menentukan estimasi tarif tiket wisata alam penyu
yang merupakan nilai WTP pengunjung. Nilai WTP diperoleh melalui tiga
tahapan analisis, yaitu: pembuatan hipotesis pasar, penentuan nilai lelang dengan
metode bidding game dan penghitungan rataan WTP. Kesediaan masyarakat lokal
untuk mengubah pola mencari nafkah dari penjual telur penyu ke usaha di bidang
wisata dianalisis menggunakan skala likert. Analisis pendapatan dilakukan untuk
mengetahui pendapatan masyarakat lokal yang menjual telur penyu dan yang
bekerja di bidang wisata. Analisis SWOT digunakan untuk mengetahui kondisi
wisata saat ini dan merumuskan strategi pengembangan wisata alam penyu.

Analisis ini mencakup empat tahapan, antara lain: analisis matriks IFAS, matriks
EFAS, matriks IE dan matriks SWOT.
Pengunjung yang menyatakan bersedia membayar untuk tarif tiket wisata
alam penyu sebanyak 90 persen yang berpotensi mempengaruhi penerimaan
wisata tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa pengunjung Desa Temajuk memiliki
kecenderungan mendukung pengembangan wisata alam penyu dengan nilai WTP
Rp15 000 per tiket per orang. Masyarakat lokal memberikan respon yang baik
terhadap wisata ini yang ditunjukkan dari hasil penelitian yaitu 40 persen
masyarakat menyatakan sangat bersedia mengubah pola mencari nafkah dari
penjual telur penyu ke usaha di bidang wisata dan kebanyakan memilih sebagai
penjual makanan dan minuman. Pendapatan masyarakat lokal yang bekerja di

bidang wisata lebih tinggi dari hasil menjual telur penyu dengan selisih Rp12 670
350 per tahun per orang. Hasil tersebut berpotensi memberikan motivasi bagi
masyarakat lokal untuk bekerja di bidang wisata. Adapun strategi yang dapat
diterapkan antara lain: (1) pemanfaatan keberadaan aktivitas penyu sebagai salah
satu objek wisata alam yang melibatkan masyarakat dan digabungkan dengan
objek wisata lainnya, (2) penyediaan sarana dan prasarana yang mendukung
wisata dan konservasi penyu, (3) pelatihan untuk masyarakat lokal di bidang
wisata, (4) pemberdayaan masyarakat lokal sebagai pengefektifan peraturan

perlindungan penyu, (5) sosialisasi terhadap pengunjung berkaitan dengan usaha
pelestarian dan potensi penyu sebagai objek wisata, dan (6) pemberdayaan
masyarakat lokal di bidang wisata sebagai usaha peningkatan kualitas SDM
pengelola wisata.
Kata kunci: analisis SWOT, manfaat ekonomi, willingness to pay, wisata alam
penyu

SUMMARY
NURITA. The Development Strategy for Natural Tourism of Sea Turtle Based on
Local Communities in Temajuk Beach Sambas District West Kalimantan.
Supervised by SRI MULATSIH and METI EKAYANI.
Sambas District is one of the border region is still far from development.
That condition has an impact on the local community's economy. Local
communities who live shortcomings in terms of the economy tend to perform
illegal activities, which sell sea turtle eggs to meet their needs. This is in violation
of existing regulations, because the sea turtle eggs are sold is a protected species.
This activity can threaten sea turtle populations. WWF-Indonesia (2012) states
that the period 2009–2011 as much as 50.92 percent of sea turtle nests on the
Paloh Beach under threat, 48 percent cannot be saved and only 1.08 percent were
able to be saved.

Under these conditions, it would require the implementation of a policy that
can improve the welfare of society and at the same time preserving the sea turtle
can be done. This study aims to: (1) analyzing the willingness to pay (WTP) of
visitors if natural tourism of sea turtle is held in the Temajuk Beach; (2) analyzing
the willingness of local communities to change the patterns of livelihood of sea
turtle egg sellers into businesses in the field of tourism in the Temajuk Village; (3)
analyzing the local communities income from selling sea turtle eggs and the
income from the business in the field of tourism in the Temajuk Village; (4)
formulating development strategy for natural tourism of sea turtle based on local
communities in Temajuk Beach.
The method used is the analysis of WTP, a likert scale with a scoring
technique, revenue analysis and SWOT analysis. WTP analysis performed to
determine the estimated ticket fare of sea turtle nature tourism, which is the value
of WTP visitors. WTP values obtained through three stages of analysis, namely:
the creation of market hypothesis, the determination of the value of the auction by
bidding game method and calculation of the mean WTP. The willingness of local
communities to change the patterns of livelihood of sea turtle egg sellers to
businesses in the field of tourism was analyzed using a likert scale. Income
analysis was conducted to determine the income of local people who sell sea turtle
eggs and working in the field of tourism. SWOT analysis is used to determine the

condition existing and formulate development strategies for nature tourism of sea
turtle. This analysis includes four stages, among others: analysis of IFAS matrix,
the matrix EFAS, IE matrix and SWOT matrix.
Visitors who expressed willing to pay for a ticket fare for nature tourism of
sea turtle of as much as 90 percent of the potentially affect the tourist reception.
This suggests that visitors Temajuk Village has a tendency to support the
development of nature tourism of sea turtle with WTP value is Rp15 000 per
ticket per person. Local communities respond well for activities of this tourism,
which the result of research showed that 40 percent of local communities
expressed very willing to change the patterns of livelihood of turtle egg sellers
into businesses in the field of tourism and most preferred as food and beverage
vendors. Income of local people who work in the field of tourism is higher from
income selling sea turtle eggs with a difference of Rp12 670 350 per year per

person. These results potentially provide motivation for local people to work in
the field of tourism. The strategies that can be applied, among others: (1)
utilization of the existence of the activity of the sea turtle as one of the natural
attractions that involves the community and combined with other attractions, (2)
the provision of facilities and infrastructure that supports tourism and preservation
of sea turtle, (3) training for local communities in the field of tourism, (4)

empowerment of local communities as improve the effectiveness of regulation sea
turtle protection, (5) the socialization of visitors associated with conservation
efforts and potential of sea turtles as a tourist attraction, and (6) the empowerment
of local communities in the field of tourism as an attempt to improve the quality
of human resources tourism manager.
Keywords: economic benefits, nature tourism of sea turtle, SWOT analysis ,
willingness to pay

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

STRATEGI PENGEMBANGAN WISATA ALAM PENYU
BERBASIS MASYARAKAT LOKAL DI PANTAI TEMAJUK

KABUPATEN SAMBAS KALIMANTAN BARAT

NURITA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan
Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis:

Dr Ir Ahyar Ismail, M Agr


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul dalam
penelitian ini yang dilaksanakan sejak bulan September 2014 ini ialah Strategi
Pengembangan Wisata Alam Penyu Berbasis Masyarakat Lokal di Pantai
Temajuk Kabupaten Sambas Kalimantan Barat.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Sri Mulatsih, MSc Agr dan
Ibu Dr Meti Ekayani, SHut MSc selaku pembimbing yang telah banyak memberi
saran sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Terima kasih juga penulis
ucapkan kepada Bapak Dr Ir Ahyar Ismail, M Agr selaku penguji dan Bapak Dr Ir
Haryadi, MS selaku perwakilan dari program studi Pengelolaan Sumberdaya
Alam dan Lingkungan (PSL) atas saran yang diberikan. Terima kasih juga penulis
ungkapkan kepada Bapak Drs Zulfan selaku Kepala Bidang Pariwisata Dinas
Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sambas, Bapak
Suriawan selaku Kepala Bidang Penataan Ruang Pesisir dan Laut Dinas Kelautan
dan Perikanan Kabupaten Sambas dan Bapak Hermanto selaku Anggota WWFKecamatan Paloh yang telah banyak memberikan informasi tentang
perkembangan penyu di Pantai Paloh khususnya Pantai Temajuk serta
perkembangan pariwisata dan infrastruktur Desa Temajuk. Terima kasih penulis
sampaikan kepada Bapak Aman selaku tokoh masyarakat Desa Temajuk dan
Bapak Rasad selaku Pengelola Objek Wisata Teluk Atung Bahari yang telah

banyak memberikan informasi terkait kondisi masyarakat lokal dan kegiatan
wisata di Desa Temajuk. Terima kasih juga penulis sampaikan untuk pengunjung
dan masyarakat lokal Desa Temajuk yang telah memberikan partisipasinya selama
pengambilan data berlangsung. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada
ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Penulis mengakui karya ilmiah ini masih banyak kekurangan sehingga saran
dan kritik dari pembaca sangat penulis harapkan untuk perbaikan di masa yang
akan datang. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2016
Nurita

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian

Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
Kerangka Pikir Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Kondisi Wilayah Perbatasan
Wisata Berbasis Masyarakat
Regulasi Perlindungan Penyu
Penyu Hijau (Chelonia mydas)
Konservasi dan Wisata Alam Penyu
Willingness To Pay (WTP)
Analisis SWOT

vi
vi
vi
1
1
3
4
5
5
5
7
7
8
9
10
11
12
14

3 METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Jenis dan Metode Pengumpulan Data
Analisis Data

15
15
15
16

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
23
Kondisi Geografis Lokasi Penelitian
23
Kondisi Demografis Lokasi Penelitian
25
Kegiatan Ekonomi di Lokasi Penelitian
27
Keadaan Umum Objek Wisata
30
Karakteristik Responden
31
Kesediaan Membayar (WTP) Pengunjung
34
Kesediaan Masyarakat Lokal Mengubah Pola Mencari Nafkah
dari Penjual Telur Penyu ke Usaha di Bidang Wisata
36
Pendapatan Masyarakat Lokal Desa Temajuk
38
Strategi Pengembangan Wisata Alam Penyu Berdasarkan Analisis SWOT 41
5 SIMPULAN DAN SARAN
49
Simpulan
49
Saran
50
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

51
55
63

DAFTAR TABEL
1 Kondisi penyu di Kecamatan Paloh tahun 2009–2011
2 Jenis, jumlah dan kriteria responden
3 Indikator kesediaan responden mengubah pola mencari nafkah dari
penjual telur penyu ke usaha di bidang wisata di Desa Temajuk
4 Matriks IFAS dan EFAS wisata alam penyu di Pantai Temajuk
5 Matriks analisis SWOT wisata alam penyu di Pantai Temajuk
6 Matriks variabel yang diukur, jenis, sumber, teknik pengumpulan, teknik
analisis data dan keluaran berdasarkan tujuan penelitian
7 Distribusi penduduk berdasarkan jenis kelamin per Februari tahun 2015
8 Distribusi jumlah Kepala Keluarga (KK) per Februari tahun 2015
9 Distribusi penduduk berdasarkan jenis mata pencaharian per Februari
2015
10 Karakteristik responden masyarakat lokal Desa Temajuk
11 Karakteristik responden pengunjung Pantai Temajuk
12 Kesediaan membayar (WTP) pengunjung terhadap wisata alam penyu
13 Rataan WTP pengunjung terhadap tiket wisata alam penyu
14 Estimasi penerimaan dengan penerapan harga tiket sesuai WTP
pengunjung
15 Kesediaan masyarakat lokal Desa Temajuk untuk mengubah pola
mencari nafkah dari penjual telur penyu ke usaha di bidang wisata
16 Persepsi masyarakat lokal terhadap jenis pekerjaan yang dipilih
17 Estimasi pendapatan masyarakat lokal Desa Temajuk
18 Target penjualan telur penyu
19 Matriks IFAS wisata alam penyu di Pantai Temajuk
20 Matriks EFAS wisata alam penyu di Pantai Temajuk
21 Matriks analisis SWOT wisata alam penyu di Pantai Temajuk

3
16
18
20
22
22
25
25
26
32
33
35
35
35
37
38
39
40
41
43
47

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8

Kerangka pikir penelitian
Lokasi penelitian
Matriks internal-eksternal (IE matrix)
Peta administratif Desa Temajuk
Kondisi jalan dari Desa Ceremai ke Desa Temajuk
Atraksi panen raya ubur-ubur
Peta wisata Desa Temajuk
Hasil analisis matriks internal-eksternal (IE matrix)

6
15
21
23
27
28
31
45

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7

Karakteristik responden pengunjung Pantai Temajuk
Karakteristik responden masyarakat lokal Desa Temajuk
Pendapatan masyarakat lokal Desa Temajuk
Objek wisata Desa Temajuk
Wisma penginapan di Desa Temajuk
Dokumentasi penelitian
Kondisi aksesibilitas jalan menuju Desa Temajuk

56
57
58
59
60
61
62

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Daerah perbatasan merupakan wilayah strategis yang menjadi wajah sebuah
negara, dalam hal ini Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), karena
wilayah-wilayah tersebut merupakan pintu masuk bagi warga negara asing atau
pihak luar lainnya yang berkepentingan untuk masuk sehingga sudah sewajarnya
wilayah tersebut dibangun. Akan tetapi ironisnya, masyarakat perbatasan yang ada
di NKRI cenderung masuk dalam kategori masyarakat tertinggal dari berbagai
aspek pembangunan (Budianta 2010; Rani 2012). Meskipun faktanya daerah
perbatasan memiliki potensi sumber daya alam sangat besar, wilayah tersebut
belum bisa dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia secara optimal. Dilihat dari
segi letak geografis, sebenarnya Indonesia sangat memungkinkan mengambil
manfaat dari wilayah tersebut, akan tetapi kenyataannya banyak daerah perbatasan
bahkan menjadi beban negara.
Sebagian besar daerah perbatasan di Indonesia masih merupakan daerah
tertinggal dengan sarana dan prasarana sosial ekonomi yang masih sangat terbatas.
Pandangan di masa lalu bahwa daerah perbatasan merupakan wilayah yang perlu
diawasi secara ketat karena merupakan daerah yang rawan keamanan telah
menjadikan paradigma pembangunan perbatasan lebih mengutamakan pada
pendekatan keamanan dari pada kesejahteraan. Hal ini menyebabkan wilayah
perbatasan di beberapa daerah menjadi tidak tersentuh oleh kegiatan
pembangunan.
Persoalan-persoalan perbatasan yang cukup rumit dan kompleks selama ini
kurang mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah. Perencanaan
pembangunan yang tersentralisasi dengan memprioritaskan sasaran makro pada
pertumbuhan ekonomi yang tinggi tanpa mempertimbangkan aspek pemerataan
memberi dampak pada timbulnya kesenjangan antar daerah, sehingga
menyebabkan ketertinggalan daerah perbatasan. Seperti yang dinyatakan oleh
Prasojo (2013) bahwa kurangnya pemerataan pembangunan mengakibatkan
terdapat fakta kesenjangan tingkat ekonomi masyarakat di wilayah perbatasan.
Kalimantan Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang
berbatasan langsung dengan Sarawak (Malaysia). Garis perbatasan tersebut
sepanjang kurang lebih 966 km yang terbentang di 14 kecamatan dan 98 desa
mulai dari Kabupaten Sambas sampai Kabupaten Kapuas Hulu. Dalam Kajian
Ekonomi Regional Provinsi Kalimantan Barat triwulan III tahun 2011 bahwa
terdapat 50 jalan setapak di wilayah perbatasan yang menghubungkan 55 desa di
Kalimantan Barat dengan 32 desa di Sarawak (BI 2011). Kondisi tersebut
menandai dekatnya hubungan masyarakat perbatasan Indonesia dan Malaysia.
Akan tetapi, kedekatan hubungan tersebut belum diikuti dengan kesetaraan
kesejahteraan antara masyarakat perbatasan Kalimantan Barat dan Sarawak. Hal
ini tercermin dari fasilitas atau infrastruktur cukup berbeda antara dua wilayah
yang dimaksud. Berikut adalah kondisi infrastruktur di perbatasan Kalimantan
Barat (BI 2011):
1. Sebagian besar jalan utama desa masih berupa tanah dan terdapat 6 desa yang
media transportasinya menggunakan sarana air.

2
2. Sarana media elektronik khususnya siaran televisi yang dominan di wilayah
perbatasan merupakan saluran luar negeri (31 desa) sedangkan yang mampu
menangkap sinyal saluran nasional hanya 16 desa, dan 8 kecamatan tidak
mendapatkan sinyal televisi.
3. Sumber air di 65 desa menggunakan sungai/danau sebagai sumber air dan 32
desa menggunakan mata air.
4. Sinyal telekomunikasi tidak terdapat di 39 desa, tetapi di 42 desa masih
terdapat sinyal meskipun lemah.
Beberapa kondisi di atas berpotensi menghambat masuknya investasi swasta
sehingga perekonomian di perbatasan hanya digerakkan oleh masyarakat lokal
yang mengakibatkan aktivitas ekonomi kurang berjalan optimal. Hal ini akhirnya
akan mempengaruhi pola pemenuhan kebutuhan masyarakat di wilayah
perbatasan.
Kabupaten Sambas adalah salah satu daerah perbatasan yang memiliki ciriciri tersebut. Dalam RPJM Kabupaten Sambas periode tahun 2012–2016
dimunculkan isu strategis tentang minimnya infrastruktur dasar. Seperti yang
dinyatakan oleh Huruswati et al. (2012) bahwa permasalahan utama di perbatasan
Kabupaten Sambas terkait dengan infrastruktur jalan dan transportasi yang masih
sulit sehingga berdampak pada kehidupan masyarakat sehari-hari.
Kehidupan masyarakat yang jauh dari pembangunan menyebabkan
kecenderungan untuk memanfaatkan sumber daya alam yang ada di daerahnya,
salah satunya adalah memperdagangkan telur penyu. Kegiatan tersebut merupakan
salah satu pelanggaran terhadap peraturan yang ada. Akan tetapi, perdagangan
telur penyu secara ilegal masih terjadi di Kecamatan Paloh Kabupaten Sambas,
karena Pantai Paloh termasuk kawasan open access dan 84 persen dari total
panjang pantai belum berstatus kawasan konservasi (DKP-Kabupaten Sambas
2014).
Pantai Paloh merupakan pantai peneluran penyu terpanjang yang ada di
Indonesia. Panjang Pantai Paloh mencapai 63 km dan 54 km dari total panjang
pantai tersebut merupakan habitat penyu. Akan tetapi, hanya 10 km yang memiliki
status sebagai kawasan lindung yaitu Taman Wisata Alam Tanjung Belimbing.
Kemiringan dan luas Pantai Paloh sangat sesuai sebagai habitat peneluran penyu,
karena penyu cenderung memilih pantai yang landai dan luas untuk melakukan
pendaratan. Hasil penelitian Putra et al. (2014) menyatakan bahwa kemiringan
Pantai Paloh masuk kategori landai (6.81o) dengan lebar pantai rata-rata 30.12 m.
Ada 2 jenis penyu yang sering melakukan aktivitas peneluran di Pantai Paloh,
yaitu penyu hijau (Chelonia mydas) dan penyu sisik (Eretmochelys imbricate),
akan tetapi penyu hijau lebih banyak ditemukan dibandingkan penyu sisik
(Panjaitan et al. 2012; Sheavtiyan et al. 2014).
Menurut penelitian WWF-Indonesia (2012) keberadaan penyu hijau di
Pantai Paloh terancam karena adanya aktivitas perdagangan telur penyu. Kegiatan
pengambilan telur penyu secara ilegal dapat merusak sarang penyu. Periode tahun
2009–2011, sarang yang mampu diselamatkan sangat kecil jumlahnya (hanya 88
sarang dari total 8 183 sarang atau 1.08 persen) dibandingkan dengan jumlah
sarang yang tidak dapat diselamatkan dan sarang yang terancam. Sarang yang
tidak dapat diselamatkan hampir sama jumlahnya dibandingkan sarang yang
berstatus terancam, yaitu masing-masing 3 928 sarang atau 48 persen dan 4 167
sarang atau 50.92 persen. Kondisi penyu tersebut disajikan pada Tabel 1.

3
Tabel 1 Kondisi penyu di Kecamatan Paloh tahun 2009–2011a
Kondisi sarang penyu
Sarang yang terancam
Sarang yang tidak dapat diselamatkan
Sarang yang mampu diselamatkan
Total sarang

Jumlah sarang
4 167
3 928
88
8 183

Persentase
50.92
48.00
01.08
100.00

a

Sumber: Diadaptasi dari hasil presentasi WWF-Indonesia program Kalimantan Barat dalam
pertemuan Forum Koordinasi Penanganan Tindak Lanjut Pidana Perikanan di Kantor Dinas
Kelautan dan Perikanan Provinsi Kalimantan Barat pada tanggal 20 Juli 2011 dalam Anshary et al.
(2014).

Desa Temajuk memiliki Pantai Temajuk yang merupakan bagian dari Pantai
Paloh. Desa Temajuk jauh dari pembangunan dan mengalami ketergantungan
ekonomi terhadap negara tetangga mempengaruhi perilaku masyarakat lokal.
Salah satunya adalah aktivitas perdagangan telur penyu yang dilakukan sebagai
usaha untuk pemenuhan kebutuhan hidup. Aktivitas ini didukung oleh letak Desa
Temajuk yang berbatasan langsung dengan Desa Telok Melano Malaysia,
sehingga berpotensi sebagai target pemasaran telur penyu. Agar masyarakat tidak
melakukan penjualan telur penyu, maka perlu suatu kebijakan yang mendukung
perlindungan penyu dan secara bersamaan dapat meningkatkan pendapatan
masyarakat lokal. Salah satunya adalah dengan memanfaatkan seoptimal mungkin
potensi wisata yang dimiliki Desa Temajuk.
Objek wisata alam Desa Temajuk memiliki beberapa keunikan antara lain:
hamparan pasir sangat luas dengan lebar sekitar 100–150 m di Pantai Sixteen,
Objek Wisata Batu Nenek yang berupa gugusan batu dalam berbagai ukuran dan
membentuk formasi unik, Dermaga Temajuk yang menjorok ke laut sehingga
memudahkan pengunjung untuk melihat fenomena matahari terbenam, Gunung
Tanjung Datuk yang terletak di ekor Pulau Kalimantan, aktivitas panen raya uburubur merupakan atraksi masyarakat lokal setiap tahun dan sebagainya. Selain
potensi tersebut, di Desa Temajuk juga terdapat aktivitas peneluran penyu yang
menarik untuk dijadikan objek wisata alam. Jika objek wisata alam penyu
dikembangkan, maka masyarakat lokal dapat berkontribusi langsung dalam
bentuk usaha di bidang wisata, seperti: penjual makanan dan minuman, pemandu
wisata, penyewaan sarana dan prasarana wisata serta pelayanan jasa ojek. Melalui
upaya pengembangan objek wisata penyu tersebut diharapkan dapat memberikan
income tambahan pada masyarakat lokal tanpa harus mengganggu habitat penyu,
bahkan masyarakat lokal akan menjaga kelestariannya karena besarnya
pendapatan bergantung pada keberadaan penyu. Dengan demikian, upaya tersebut
dapat mendukung usaha pelestarian penyu dan secara bersamaan usaha
peningkatan pendapatan masyarakat lokal dapat dilakukan.
Perumusan Masalah
Dermawan et al. (2009) menyatakan bahwa pengambilan penyu dan
telurnya merupakan salah satu faktor penyebab penurunan populasi penyu.
Karakteristik siklus hidup penyu sangat panjang, sehingga tidak bisa
mengimbangi penurunan populasi yang terjadi. WWF-Indonesia (2009a)
menyatakan Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai masa dewasa sangat lama,
yaitu harus bermigrasi sangat jauh dari habitat satu ke habitat lainnya selama

4
periode menjadi tukik, remaja dan dewasa (berkisar antara 20–50 tahun). Oleh
sebab itu, sudah seharusnya pelestarian terhadap satwa ini menjadi hal yang
mendesak. Kondisi inilah yang menyebabkan semua jenis penyu di Indonesia
diberikan status dilindungi oleh negara, sebagaimana yang tertuang dalam PP
nomor 7 tahun 1999 tentang pengawetan jenis-jenis tumbuhan dan satwa yang
dilindungi. Apalagi secara internasional, penyu masuk daftar merah (red list) di
IUCN dengan status terancam (endangered) dan CITES Apendiks I yang berarti
bahwa keberadaannya di alam telah terancam sehingga segala bentuk pemanfaatan
dan peredarannya harus mendapat perhatian secara serius. Akan tetapi, pemberian
status perlindungan saja tidak cukup untuk memulihkan atau setidaknya
mempertahankan populasi penyu di Pantai Temajuk. Selama secara ekonomi
masyarakat masih lemah dan tidak mendapatkan pendapatan tambahan, maka
tindakan pengambilan dan penjualan akan tetap terjadi.
Berdasarkan hal tersebut, maka perlunya suatu solusi untuk melindungi
penyu sekaligus meningkatkan pendapatan masyarakat tanpa ada unsur
pemaksaan hukum. Salah satu tindakan yang dapat diambil sebagai suatu
kebijakan adalah dengan mengembangkan salah satu alternatif objek wisata alam
yaitu penyu dengan melibatkan masyarakat lokal secara langsung. Keterlibatan
masyarakat yang dimaksud dalam kegiatan wisata alam tersebut antara lain:
bekerja sebagai penjual makanan dan minuman, penyewaan sarana dan prasarana
wisata, pelayanan jasa ojek dan khususnya sebagai pemandu wisata alam penyu,
karena masyarakat yang biasanya mengambil telur penyu lebih mengetahui dan
memahami keberadaan dan aktivitas penyu. Oleh sebab itu, upaya ini dapat
memberikan manfaat ekonomi terhadap masyarakat lokal secara langsung. Agar
kegiatan konservasi tersebut dapat berjalan dan berkelanjutan, maka salah satu hal
yang perlu dipertimbangkan adalah dana. Dana diperoleh dari besarnya kesediaan
membayar pengunjung sehingga perlu diteliti tentang kesediaan membayar (WTP)
dari setiap pengunjung. Selain itu, perlu juga penelitian tentang kesediaan
masyarakat lokal untuk mengubah pola mencari nafkah dari menjual telur penyu
ke usaha di bidang wisata, serta perbandingan pendapatan masyarakat lokal
sebagai penjual telur penyu dan pendapatan dari usaha di bidang wisata.
Berdasarkan informasi tersebut, maka dapat dirumuskan strategi yang tepat untuk
pengembangan wisata alam penyu berbasis masyarakat lokal.
Berdasarkan kondisi yang melatarbelakangi tersebut, maka pada penelitian
ini dirumuskan beberapa permasalahan antara lain:
1. Bagaimana besaran nilai kesediaan membayar (WTP) pengunjung jika
diadakan wisata alam penyu di Pantai Temajuk?
2. Bagaimana kesediaan masyarakat lokal untuk mengubah pola mencari nafkah
dari penjual telur penyu ke usaha di bidang wisata di Desa Temajuk?
3. Bagaimana pendapatan masyarakat lokal dari hasil penjualan telur penyu dan
penghasilan dari usaha di bidang wisata di Desa Temajuk?
4. Bagaimana strategi yang tepat untuk pengembangan wisata alam penyu
berbasis masyarakat lokal di Pantai Temajuk?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan, maka yang menjadi
tujuan pada penelitian ini adalah:

5
1. Mengkaji kesediaan membayar (WTP) pengunjung jika diadakan wisata alam
penyu di Pantai Temajuk.
2. Mengkaji kesediaan masyarakat lokal untuk mengubah pola mencari nafkah
dari penjual telur penyu ke usaha di bidang wisata di Desa Temajuk.
3. Mengestimasi pendapatan masyarakat lokal dari hasil penjualan telur penyu
dan penghasilan dari usaha di bidang wisata di Desa Temajuk.
4. Merumuskan strategi yang tepat untuk pengembangan wisata alam penyu
berbasis masyarakat lokal di Pantai Temajuk.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat terutama bagi
masyarakat Desa Temajuk dan masyarakat umum agar menumbuhkembangkan
rasa peduli terhadap kondisi penyu saat ini, serta memberikan pemahaman tentang
pentingnya untuk menjaga kelestarian penyu khususnya di Pantai Temajuk. Selain
itu, penelitian ini diharapkan menjadi salah satu masukan sebagai pertimbangan
bagi pengambil kebijakan untuk menentukan alternatif solusi yaitu pengelolaan
kawasan wisata saat ini dipadukan dengan pengembangan wisata alam penyu di
Pantai Temajuk, dan memberikan sumbangan pemikiran berupa penerapan
strategi yang sesuai untuk pengembangan wisata alam penyu berbasis masyarakat
lokal di Desa Temajuk.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini hanya mengkaji besaran kesediaan membayar (WTP)
pengunjung Pantai Temajuk terhadap konsep penawaran yang diberikan sebagai
objek wisata tambahan yaitu objek wisata penyu, sehingga bentuk pemasaran dan
peluang pasar objek wisata penyu serta faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
besaran WTP tidak diteliti secara mendalam. Selanjutnya, penelitian ini hanya
mengkaji kesediaan masyarakat lokal untuk mengubah pola mencari nafkah dari
usaha penjual telur penyu ke usaha di bidang wisata, seperti: penjual makanan dan
minuman, pemandu wisata, penyewaan sarana dan prasarana wisata serta
penyedia jasa ojek. Selain itu, penelitian ini sebatas kajian terhadap penerimaan
dan pendapatan masyarakat lokal yang menjual telur penyu dan masyarakat lokal
yang menggeluti usaha di bidang wisata di Desa Temajuk, sedangkan pendapatan
dari bentuk usaha yang belum dilakukan masyarakat Desa Temajuk tidak dikaji.
Kerangka Pikir Penelitian
Desa Temajuk merupakan daerah perbatasan dengan kondisi jauh dari
pembangunan sehingga berpengaruh terhadap kelancaran kegiatan ekonomi
masyarakat lokal terutama dalam hal pendistribusian barang dan jasa. Oleh sebab
itu, usaha masyarakat sulit berkembang sehingga berdampak pada rendahnya
pendapatan dan kesejahteraan masyarakat lokal. Selain itu, kondisi tersebut juga
menyebabkan timbulnya kesenjangan dari segi tingginya harga bahan pokok lokal
dibandingkan harga bahan pokok di negeri tetangga. Akibatnya pemenuhan
kebutuhan pokok masyarakat lokal masih bergantung kepada negara tetangga.

6
Wilayah perbatasan
Desa Temajuk

Kondisi infrastruktur:

Kondisi masyarakat
lokal:

Sarana transportasi
kurang memadai

Penyu

 Kurangnya pendapatan
 Ketergantungan dengan
negara tetangga

Perdagangan telur penyu

Distribusi barang dan
jasa kurang lancar

Status penyu terancam (Endangered)
Upaya memberikan income
tambahan kepada masyarakat lokal

Upaya pelestarian penyu

Peran pengunjung terhadap
wisata alam penyu

Kesediaan masyarakat lokal mengubah
pola mencari nafkah dari menjual telur
penyu ke usaha di bidang wisata

Penghasilan masyarakat
lokal menjual telur penyu
dan usaha di bidang wisata

WTP

Skala likert

Analisis pendapatan

Estimasi tarif tiket dan
penerimaan wisata alam
penyu

Kesediaan masyarakat lokal
mengubah pola mencari
nafkah

Pendapatan hasil penjualan
telur penyu dan usaha di bidang
wisata

Analisis SWOT (Matriks IFAS, EFAS dan IE)
Matriks SWOT
Alternatif strategi pengembangan wisata alam
penyu berbasis masyarakat lokal

Keterangan:
= dampak/akibat
= ruang lingkup penelitian

Gambar 1 Kerangka pikir penelitian
Atas dasar pemenuhan kebutuhan, masyarakat melakukan salah satu usaha
sebagai salah satu alternatif solusi untuk menambah pendapatan, yaitu dengan
mengambil dan menjual telur penyu yang ada di Pantai Temajuk, sehingga
keberadaan penyu terancam. Bahkan penjualan telur penyu dilakukan di negara
tetangga yaitu Desa Teluk Melano, Malaysia. Aktivitas masyarakat tersebut dapat
mengganggu keberlangsungan penyu Pantai Temajuk, lagi pula penyu merupakan
salah satu fauna yang dilindungi dan termasuk daftar merah (red list) dalam IUCN
dengan status Endangered (EN: genting atau terancam) serta termasuk CITES
Apendiks I (CITES 2012), yang berarti bahwa satwa ini diprediksi beresiko tinggi
untuk punah di alam liar pada masa yang akan datang (IUCN 2013).

7
Berdasarkan hal tersebut, maka perlunya suatu upaya untuk tetap menjaga
kelestarian penyu sekaligus meningkatkan perekonomian masyarakat lokal.
Sebagai salah satu alternatif yang dapat dikembangkan adalah dengan penerapan
wisata alam berintegrasikan penyu dengan melibatkan masyarakat lokal. Jika
upaya tersebut berkembang dengan baik, maka keberadaan penyu tetap lestari dan
pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakat lokal juga terpenuhi.
Pengembangan wisata alam penyu perlu keberlanjutan agar dapat
memberikan manfaat ekonomi yang nyata kepada masyarakat lokal. Oleh sebab
itu, peran pengunjung penting untuk diperhitungkan karena penghasilan diperoleh
dari kesediaan pengunjung untuk membayar yang bersumber dari tiketing (harga
tiket). Selain itu, pandangan positif masyarakat lokal terhadap penambahan
pendapatan dari usaha pelayanan jasa di bidang wisata juga perlu diperhitungkan
karena manfaat ekonomi akan berdampak langsung dari wisata ini jika masyarakat
terlibat langsung dalam kegiatan tersebut.
Terkait hal tersebut, maka dibutuhkan suatu analisis untuk mengestimasikan
kesediaan membayar pengunjung (WTP) terhadap keberadaan wisata alam penyu,
menganalisis kesediaan masyarakat lokal mengubah pola mencari nafkah dari
usaha penjual telur penyu ke usaha di bidang wisata, serta menganalisis besaran
pendapatan masyarakat lokal dari hasil penjualan telur penyu dan dari usaha di
bidang wisata. Informasi yang telah dikumpulkan digunakan untuk menyusun
strategi yang tepat dalam usaha pengembangan wisata alam penyu berbasis
masyarakat lokal di Desa Temajuk. Melalui penerapan wisata ini, selain
membantu pemerintah setempat untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk
perbatasan Temajuk, kegiatan tersebut juga dapat melestarikan keberadaan penyu
di alam.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Kondisi Wilayah Perbatasan
Pembangunan wilayah perbatasan jauh tertinggal dibandingkan
pembangunan wilayah perkotaan maupun wilayah negara tetangga, sehingga
kondisi sosial ekonomi masyarakat lokal juga kurang berkembang. Secara umum
daerah perbatasan termasuk ke dalam kriteria desa miskin dengan pertumbuhan
cenderung lebih lambat dibandingkan dengan desa-desa sekitarnya. Budianta
(2010) menyatakan bahwa beberapa faktor penyebab lambatnya pertumbuhan
daerah perbatasan antara lain:
1. Daerah perbatasan belum digali secara mendalam dan menyeluruh mengenai
potensi sosial ekonomi masyarakatnya yang merupakan faktor pendukung
ketahanan wilayah perbatasan.
2. Lemahnya kemampuan pelayanan sosial dan ekonomi masyarakat di wilayah
perbatasan.
3. Kurangnya distribusi pelayanan sosial ekonomi secara merata di wilayah
perbatasan.
4. Investasi ekonomi (infrastruktur dan kelembagaan) yang cenderung
terkonsentrasi di daerah perkotaan.

8
Wilayah perbatasan merupakan wilayah pertemuan antara dua wilayah
administrasi, sehingga sumber daya alam dan masyarakatnya bisa menjadi bagian
komplementer sistem fungsional untuk pengembangan wilayah yang didukung
oleh ketersediaan sarana dan prasarana. Akan tetapi Huruswati et al. (2010)
menyatakan bahwa daerah perbatasan Indonesia mengalami persoalan sosial
ekonomi dan keterbatasan fasilitas, sehingga masyarakat perbatasan cenderung
menyeberang ke negara tetangga untuk memenuhi kebutuhannya. Masyarakat
memanfaatkan sumber daya yang ada untuk memenuhi kebutuhannya ke dalam
berbagai aktivitas, salah satunya adalah perdagangan. Seperti yang dilaporkan
dalam Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kalimantan Barat triwulan III tahun
2011 bahwa sistem perdagangan yang terjadi di perbatasan adalah masyarakat
menjual hasil pertanian dan laut ke Malaysia, dan kebutuhan pokok diperoleh dari
negara tersebut (BI 2011).
Agar kecenderungan ketergantungan terhadap negara tetangga berkurang,
maka salah satu yang dapat dilakukan adalah membuat rencana tata ruang yang
lebih mendetail di daerah perbatasan dan percepatan pembangunan. Seperti halnya
yang dinyatakan oleh Prayuda dan Harto (2012) bahwa rencana tata ruang sangat
dibutuhkan di daerah perbatasan supaya pengelolaannya berdaya guna, seimbang
dan berkelanjutan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pertahanan
keamanan. Percepatan pembangunan di daerah perbatasan menjadi penting karena
daerah perbatasan memiliki nilai-nilai strategis. Nilai strategis daerah perbatasan
ditentukan oleh kegiatan yang berlangsung di dalamnya. Hasil penelitian Prayuda
dan Harto (2012) menyatakan bahwa terdapat 4 nilai strategis daerah perbatasan,
antara lain:
1. Daerah perbatasan mempunyai potensi sumber daya yang bernilai ekonomi.
2. Daerah perbatasan merupakan faktor pendorong untuk peningkatan sosial
ekonomi masyarakat.
3. Daerah perbatasan mempunyai keterkaitan yang kuat dengan wilayah lainnya
baik dalam lingkup regional, nasional maupun internasional.
4. Daerah perbatasan mempunyai dampak politis dan fungsi pertahanan
keamanan nasional.
Wisata Berbasis Masyarakat
Pariwisata sebagai suatu kegiatan secara langsung menyentuh dan
melibatkan masyarakat, sehingga membawa dampak terhadap masyarakat
setempat. Dampak pariwisata terhadap masyarakat dan daerah tujuan wisata
mencakup dampak terhadap sosial-ekonomi, sosial-budaya dan lingkungan
(Riyadi dan Pambudi 2013; Moscardo dan Murphy 2014).
Pariwisata berbasis masyarakat merupakan wisata yang menitikberatkan
peran aktif komunitas (WWF-Indonesia 2009b). Budaya serta pengetahuan
masyarakat tentang alam dijadikan sebagai potensi dan daya jual melalui daya
tarik wisata. Selain itu, hal tersebut dapat menciptakan kesempatan kerja bagi
masyarakat lokal seperti: fee pemandu, ongkos transportasi, homestay, menjual
kerajinan dan lain-lain. Berikut beberapa aspek kunci dalam pengelolaan
pariwisata berbasis masyarakat (WWF-Indonesia 2009b):

9
1. Masyarakat membentuk panitia atau lembaga untuk pengelolaan kegiatan
wisata di daerahnya, dengan dukungan dari pemerintah dan organisasi
masyarakat (nilai partisipasi masyarakat dan edukasi).
2. Prinsip local ownership (pengelolaan dan kepemilikan oleh masyarakat lokal)
diterapkan sedapat mungkin terhadap sarana dan prasarana wisata, kawasan
wisata dan lain-lain (nilai partisipasi masyarakat).
3. Homestay menjadi pilihan utama untuk sarana akomodasi di lokasi wisata
(nilai ekonomi dan edukasi).
4. Pemandu adalah orang setempat (nilai partisipasi masyarakat).
5. Perintis, pengelolaan dan pemeliharaan objek wisata menjadi tanggung jawab
masyarakat setempat, termasuk penentuan biaya (fee) untuk wisatawan (nilai
ekonomi dan wisata).
Cara untuk menilai seberapa jauh pengaruh pariwisata terhadap kehidupan
masyarakat lokal maka dapat dilihat melalui beberapa kriteria. Damayanti et al.
(2014) menyatakan bahwa upaya pengembangan daerah wisata dinilai dapat
meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat lokal yang dibuktikan
dengan tiga parameter pembangunan ekonomi, yaitu:
1. Meningkatkan pendapatan masyarakat lokal.
2. Meningkatkan pembangunan infrastruktur desa.
3. Meningkatkan lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat lokal.
Regulasi Perlindungan Penyu
Semua jenis penyu laut dilindungi secara internasional melalui konvensi
CITES (Convention on International Trade of Endangered Species of Flora and
Fauna) dan termasuk ke dalam Apendiks I yang artinya pelarangan perdagangan
internasional penyu dan semua jenis produknya baik dalam bentuk daging,
cangkang, telur maupun bagian tubuh lainnya (CITES 2012). Kondisi ini
menyebabkan penyu termasuk daftar merah (red list) di IUCN dengan status
terancam/genting (endangered) atau dengan kata lain beresiko punah di alam liar
dan diprediksi tinggi pada masa yang akan datang (IUCN 2013). Selain di lingkup
internasional, usaha perlindungan penyu juga terdapat dalam kesepakatan di
lingkup regional antara Samudera Hindia dan Asia Tenggara yang dikenal dengan
Indoan Ocean-South East Asian Marine Turtle Memorandum of Understanding
(IOSEA MoU). Kesepakatan ini juga bertujuan melakukan perlindungan terhadap
penyu melalui pengawetan, peningkatan dan penyelamatan habitat penyu khusus
kawasan tersebut, tidak terkecuali Indonesia.
Penyu merupakan bentuk keanekaragaman hayati yang dilindungi karena
statusnya tersebut. Pradana et al. (2013) menyatakan bahwa populasi penyu di
Indonesia terus menurun yang disebabkan oleh pencurian telur dan anak penyu
semakin meningkat, lalu lintas air yang semakin ramai oleh nelayan dan
pengunjung, serta banyaknya vegetasi yang rusak akibat abrasi sehingga terjadi
pendegradasian habitat penyu. Oleh sebab itu, semua jenis penyu di Indonesia
dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 1999 tentang
pengawetan jenis tumbuhan dan satwa artinya segala bentuk perdagangan penyu
baik dalam keadaan hidup maupun mati dilarang negara. Selanjutnya, pada tahun
yang sama dikeluarkan PP nomor 8 tentang pemanfaatan jenis tumbuhan dan
satwa yang mengatur bentuk hukuman terhadap pelaku pelanggaran peraturan

10
yang sudah ditentukan. Selain itu, perlindungan terhadap penyu juga diatur di
dalam Undang Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya yang merumuskan bahwa setiap orang dilarang
menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara,
mengangkut dan memperniagakan satwa dilindungi di antaranya adalah penyu
(pasal 21), dan pada pasal 40 dijelaskan pelaku perdagangan satwa tersebut
(penjual dan pembeli) dikenakan hukuman penjara 5 tahun dan denda 100 juta
rupiah. Di dalamnya juga dinyatakan bahwa pemanfaatan jenis satwa dilindungi
hanya diperbolehkan untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan dan
penyelamatan jenis satwa yang bersangkutan. Selain itu, di dalam Surat
Keputusan Bupati Bandung Nomor 672/1996 diputuskan hanya mengijinkan
pemanfaatan penyu dengan Curve Carapase Length (CCL) atau ukuran lebar
kerapas lebih dari 50 cm.
Semua jenis penyu di Indonesia dilindungi secara hukum. Penyu yang
pertama kali dilindungi adalah penyu belimbing (Dermochelys coriacea) melalui
Keputusan Menteri Pertanian No.327/Kpts/Um/5/1978. Kemudian melalui
Keputusan Menteri Pertanian no.716/Kpts/-10/1980 menyusul penyu abuabu/lekang dan penyu tempayan memiliki status proteksi. Setelah
diberlakukannya regulasi tahun 1992 melalui Keputusan Menteri Kehutanan
No.882/Kpts/-II/92, giliran penyu pipih berstatus dilindungi. Tahun 1996, status
proteksi diberlakukan terhadap penyu sisik melalui Keputusan Menteri Kehutanan
No.771/Kpts/-II/1996. Dengan diberlakukannya PP nomor 7 dan 8 tahun 1999,
maka penyu hijau turut dilindungi.
Penyu Hijau (Chelonia mydas)
Penyu yang ada di dunia terdiri atas tujuh jenis dan enam di antaranya
terdapat di Indonesia. Penyu yang tidak ditemukan di Indonesia adalah penyu
jenis karnivora yaitu penyu lekang kempi (Lepidochelys kempi) atau nama lainnya
Kemp’s ridley turtle. Penyu yang ada di Indonesia antara lain: penyu hijau
(Chelonia mydas), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu lekang
(Lepidochelys olivacea), penyu belimbing (Dermochelys coriacea), penyu pipih
(Natator depressus) dan penyu tempayan (Caretta caretta).
Keberadaan penyu hijau sering ditemukan di Indonesia karena satwa ini
hidup di laut tropis. Salah satu kawasan pendaratan penyu hijau adalah Provinsi
Kalimantan Barat. Seperti yang dinyatakan oleh Anshary et al. (2014) yaitu
kawasan Kalimantan Barat yang menjadi tempat aktivitas peneluran penyu hijau
berada di sepanjang Pantai Paloh. Hasil penelitian tersebut didukung oleh
Sheavtiyan et al. (2014) yang menyatakan bahwa penyu yang lebih banyak
mendarat di Pantai Paloh adalah penyu hijau.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pendaratan penyu hijau yaitu:
faktor lingkungan, kegiatan masyarakat sekitar pantai, pasang surut air laut,
kemiringan dan kebersihan pantai (Rukmi et al. 2011). Faktor lingkungan yang
dimaksud adalah faktor vegetasi pantai yang ada di hamparan pantai. Sheavtiyan
et al. (2014) menyatakan bahwa vegetasi pantai secara tidak langsung membantu
keberhasilan penetasan telur penyu karena vegetasi berpengaruh terhadap
kestabilan suhu yang mengurangi pengaruh langsung sinar matahari terhadap
sarang serta pelindung bagi penyu dari ancaman predator. Kegiatan masyarakat di

11
sekitar pantai mempengaruhi penyu hijau saat mendarat dan bertelur di pantai
karena penyu hijau sensitif akan suara dan gangguan lainnya. Pasang surut air laut
berdampak pada kemungkinan tergenangnya sarang penyu sehingga berefek pada
gagalnya penetasan telur (WWF-Indonesia 2012). Anshary (2014) menyatakan
bahwa kemiringan pantai berpengaruh terhadap kemampuan pendaratan penyu.
Pantai yang landai akan mempermudah saat penyu melakukan aktivitas
pendaratan menuju pantai. Kebersihan pantai penting dalam hal kemudahan penyu
hijau beraktivitas terutama menggali lubang untuk bertelur.
Penyu hijau memiliki kepala kecil dan paruh yang tumpul. Bagian tubuh
dari penyu ini yang berwarna hijau adalah warna lemak di bawah lapisan sisik.
Bisanya tubuh penyu hijau berawarna abu-abu, kehitaman atau kecoklatan.
Kerapas yang dimiliki penyu hijau cukup panjang dan lebar. Putra et al. (2014)
menyatakan bahwa khusus untuk penyu hijau di Pantai Paloh memiliki panjang
kerapas (CCL) berkisar antara 88–113 cm dengan rata-rata 97.47 cm dan lebar
kerapas berkisar antara 77–100 cm dengan rata-rata 86.68 cm. Penyu hijau
termasuk omnivora karena saat masih muda, penyu ini akan makan berbagai jenis
biota laut seperti alga, rumput laut, cacing laut, udang remis dan lain-lain, jika
memasuki masa dewasa (ukuran tubuh sudah mencapai 20–30 cm) penyu ini akan
berubah menjadi herbivora dan memakan rumput laut (WWF-Indonesia 2012).
Biasanya lebar jejak (track) kurang lebih 100 cm dan bentuk pintasan berpola
simetris yang dibuat oleh tungkainya, sedangkan kedalaman sarang berkisar
antara 50–60 cm (Dermawan et al. 2009).
Konservasi dan Wisata Alam Penyu
Penyu adalah salah satu satwa yang berstatus terancam, sehingga perlunya
suatu usaha agar keberadaannya di alam tidak punah. Konservasi penyu perlu
dilakukan karena untuk menjamin keberlangsungan populasi penyu. Penangkaran
penyu merupakan salah satu usaha konservasi dangan tujuan meningkatkan
peluang hidup penyu sebelum dilepas ke alam. Kegiatan penangkaran penyu
biasanya melalui beberapa tahapan teknis yaitu: kegiatan penetasan telur yang
dilakukan pada habitat semi alami atau inkubasi, pemeliharaan tukik dan
pelepasan tukik ke laut (Dermawan et al. 2009).
Bentuk nyata konservasi penyu di Indonesia telah dilakukan untuk
perlindungan penyu. Pardede et al. (2015) menyatakan bahwa salah satu bentuk
konservasi penyu adalah pendirian pusat konservasi dan pendidikan penyu yang
dikenal dengan istilah TCEC (Turtle Conservation and Education) yang
merupakan hasil kesepakatan antara Gubernur Bali, Walikota Denpasar, BKSDA
Provinsi Bali dan WWF. Melalui TCEC, potensi penyu dimanfaatkan untuk
pengembangan di bidang pendidikan, penelitian, pariwisata dan bisnis. TCEC
salah satu strategi yang komprehensif untuk menghilangkan perdagangan ilegal
penyu di Pulau Serangan.
Berbeda dengan bentuk usaha konservasi penyu di Bali yang memasukkan
unsur pendidikan, konsep konservasi penyu di Kabupaten Sukabumi lebih
memprioritaskan pada pelibatan masyarakat sebagai stakeholders. Penerapan
usaha konservasi dilakukan di Kawasan Konservasi Penyu di Pangumbahan
melalui konsep pengelolaan kolaboratif yang di dalamnya ada pembagian
wewenang dan tanggung jawab antara pemerintah dan masyarakat (stakeholders).

12
Oleh sebab itu, persepsi masyarakat berperan penting dalam usaha konservasi.
Berdasarkah hasil penelitian Harahap et al. (2015) menyatakan bahwa semakin
baik persepsi masyarakat (stakeholders), maka semakin baik pula pengelolaan
kawasan konservasi tersebut. Pada penelitian tersebut juga menyatakan bahwa
bentuk pelibatan masyarakat berdasarkan masing-masing tingkat perannya dalam
kegiatan wisata.
Agar mempermudah usaha pengelolaan konservasi penyu, penentuan
jejaring area perlindungan penyu digunakan untuk mengestimasi pergerakkan
penyu. Oleh sebab itu, telah dilakukan upaya konservasi dengan cara menentukan
komposisi genetik dan temuan penanda (metal tag). Upaya tersebut telah
dilakukan di Sulawesi sebagai bentuk pengelolaan konservasi penyu hijau
(Chelonia mydas). Berdasarkan hasil penelitian Cahyani et al. (2007) yakni terkait
temuan tag dan data genetik, jejaring pengelolaan konservasi penyu hijau di Laut
Sulu, Sulawesi menunjukkan habitat pakan dan habitat peneluran berkontribusi
pada habitat peneluran di kawasan pantai lain dalam hal ini di Kepulauan
Derawan, Malaysia Turtle Island dan Philipine Turtle Island.
Selain usaha tersebut, usaha konservasi penyu juga dapat dilakukan dengan
cara menjadikannya sebagai objek wisata, sehingga keberadaannya di alam sangat
diperlukan agar aktivitas wisata dapat berjalan. Penerapan wisata berbasis penyu
dapat meningkatkan pendapatan dengan adanya penciptaan lapangan pekerjaan
dan secara bersamaan perlindungan terhadap penyu juga bisa dilakukan. Hasil
penelitian Dermawan et al. (2009) merumuskan beberapa teknis pengelolaan
wisata berbasis penyu, antara lain:
1. Membuat tata ruang wilayah yang akan menjadi objek wisata dan minimal
harus ada ruang untuk kantor pengelolaan dan pusat informasi penyu, lokasi
peneluran, lokasi penetasan semi alami, lokasi pemeliharaan dan pelepasan
tukik, serta desain vegetasi-vegetasi yang sesuai dengan habitat penyu.
2. Konstruksi daerah wisata sesuai dengan poin pertama.
3. Promosi dan