Persentase Dan Identifikasi Cacing Nematoda Pada Keong Mas (Pomacea Canaliculata) Di Sekitar Kampus Institut Pertanian Bogor Dramaga

PERSENTASE DAN IDENTIFIKASI CACING NEMATODA
PADA KEONG MAS (Pomacea canaliculata) DI SEKITAR
KAMPUS INSTITUT PERTANIAN BOGOR DRAMAGA

SHERLY NOVIARIA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini penulis menyatakan bahwa skripsi berjudul Persentase dan
Identifikasi Cacing Nematoda pada Keong Mas (Pomacea canaliculata) di Sekitar
Kampus Institut Pertanian Bogor Dramaga adalah benar karya penulis dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini penulis melimpahkan hak cipta dari karya tulis penulis kepada

Institut Pertanian Bogor.
Bogor, September 2015
Sherly Noviaria
NIM B04110062

ABSTRAK
SHERLY NOVIARIA. Persentase dan Identifikasi Cacing Nematoda pada Keong
Mas (Pomacea canaliculata) di Sekitar Kampus Institut Pertanian Bogor
Dramaga. Dibimbing oleh RISA TIURIA dan BAMBANG PONTJO
PRIOSOERYANTO.
Pomacea canaliculata yang dikenal dengan nama keong mas adalah salah
satu dari keong air tawar yang menjadi inang antara bagi cacing nematoda. Cacing
nematoda merupakan salah satu cacing parasitik yang dapat menyebabkan
zoonosis. Manusia terinfeksi cacing nematoda dari keong mas yang dikonsumsi
secara mentah atau setengah matang. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui persentase dan mengidentifikasi cacing nematoda pada keong mas.
Desain penelitian yang digunakan adalah cross-sectional secara purposif.
Sebanyak 150 keong mas dikumpulkan dari lima kecamatan di sekitar Kampus
Institut Pertanian Bogor Dramaga. Dari hasil penelitian diperoleh persentase larva
nematoda sebesar 20% (Ciampea), 16% (Dramaga), 6% (Ciomas), 3% (Taman

Sari) dan 0% (Tenjolaya). Rataan persentase larva nematoda yang diperoleh
sebesar 9%. Salah satu cacing nematoda yang teridentifikasi adalah
Angiostrongylus cantonensis. Berdasarkan penelitian ini disimpulkan bahwa P.
canaliculata menjadi inang antara bagi cacing A. cantonensis yang bersifat
zoonotik, oleh karena itu hal tersebut harus menjadi perhatian dari sisi kesehatan
masyarakat veteriner.
Kata kunci: Angiostrongylus cantonensis, keong mas, nematoda, zoonosis

ABSTRACT
SHERLY NOVIARIA. Percentage and Identification of Nematodes on Keong
Mas (Pomacea canaliculata) surrounding Bogor Agricultural University.
Supervised by RISA TIURIA and BAMBANG PONTJO PRIOSOERYANTO.
Pomacea canaliculata known as keong mas in Indonesia is one of the
freshwater snails and has a role as intermediate host for nematodes. Nematodes
are parasitic worm that some of them can cause zoonosis. Humans became
infected with nematodes of snails due to consumed raw or undercooked snail. This
study aimed to elaborate the percentage and identify the nematodes. The study
was designed using a cross-sectional purposively. A total of 150 snails were
collected from five subdistricts around Bogor Agricultural University Campus.
The result showed that percentage of nematodes larvae were 20% (Ciampea), 16%

(Dramaga), 6% (Ciomas), 3% (Taman Sari), and 0% (Tenjolaya). The mean
percentage of nematodes larvae was 9%. One of the nematodes identified is
Angiostrongylus cantonensis. Based on all mentioned above, we concluded that P.
canaliculata is an intermediate host of a zoonotic worm A. cantonensis, therefore
we have to pay attention especially in veterinary public health issue.
Keywords: Angiostrongylus cantonensis, nematodes, snails, zoonosis

PERSENTASE DAN IDENTIFIKASI CACING NEMATODA
PADA KEONG MAS (Pomacea canaliculata) DI SEKITAR
KAMPUS INSTITUT PERTANIAN BOGOR DRAMAGA

SHERLY NOVIARIA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah yang berjudul “Persentase dan Identifikasi
Cacing Nematoda pada Keong Mas (Pomacea canaliculata) di Sekitar Kampus
Institut Pertanian Bogor Dramaga” ini dapat diselesaikan.
Skripsi ini disusun dalam rangka memperoleh gelar sarjana dari Fakultas
Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih
kepada :
1. Ibu Drh Risa Tiuria, MS Ph.D dan Bapak Prof Drh Bambang Pontjo
Priosoeryanto, MS Ph.D APVet selaku komisi pembimbing skripsi yang telah
banyak memberikan bimbingan, pengarahan, dan perbaikan sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini.
2. Ayah dan Ibu tercinta, Abang Torus, Abang Preddy, dan Adik Daniel atas
segala doa dan kasih sayang serta semangat sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
3. Teman tim penelitian yakni Gina dan Dendi atas bantuan selama proses

penelitian.
4. Sahabat penulis yaitu Geffary, Risyad, Ardi, Ida, Fitriatus, Made, Linda, dan
Rianti yang memberikan semangat hingga skripsi ini dapat selesai dengan
baik. Teman-teman Ganglion 48 yang tidak bisa penulis sebutkan satu
persatu.
5. Sahabat dan teman satu rumah yang memberikan masukan dan dukungan
selama penulis menyusun skripsi yaitu Desi, Petriana, Nika, May, Mirfa,
Silpa, dan Arini.
Penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun
bagi pembaca.

Bogor, September 2015
Sherly Noviaria

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR


vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA


2

Pomacea canaliculata

2

Nematoda

4

Kasus Kecacingan

5

METODE

6

Waktu dan Tempat


6

Bahan

6

Alat

6

Desain Penelitian

6

Prosedur Penelitian

6

HASIL DAN PEMBAHASAN


7

Persentase Larva Nematoda pada P. canaliculata

7

Identifikasi Nematoda

8

P. canaliculata sebagai Inang antara A. cantonensis
SIMPULAN DAN SARAN

11
11

Simpulan

11


Saran

11

DAFTAR PUSTAKA

12

RIWAYAT HIDUP

14

DAFTAR TABEL
1 Persentase larva nematoda pada P. canaliculata

8

DAFTAR GAMBAR
Morfologi P. canaliculata

Telur P. canaliculata
Morfologi Nematoda
Perbandingan morfologi cacing A. cantonensis bagian anterior yang
ditemukan pada sampel keong mas dengan literatur
5 Perbandingan morfologi cacing A. cantonensis bagian posterior yang
ditemukan pada sampel keong mas dengan literatur
1
2
3
4

3
4
5
9
10

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Keong mas (Pomacea canaliculata) merupakan hama penting pada
tanaman padi saat persemaian yang berasal dari Amerika Selatan. Pada tahun
1981, keong mas dikenal di Indonesia sebagai hewan hias, pembersih akuarium,
penghasil protein hewani, dan komoditas eksport, karena harganya yang tinggi
pada waktu itu (Min dan Yan 2006). Namun pada tahun 1990, sebagian keong
mas lepas dari kolam tertutup melalui saluran pembuangan atau tempat-tempat
genangan air menuju ke sawah dan merusak tanaman padi. Penyebaran keong mas
yang sangat luas disebabkan oleh pergerakan aktif maupun sifatnya yang tahan
kekeringan dan mudah beradaptasi. Adanya irigasi dan transportasi air yang
membawa keong mas melalui aliran air memungkinkan perpindahan dan
penyebaran keong mas secara pasif (Yunidawati 2012).
Keong mas merusak tanaman padi dengan cara memarut dan memakan
jaringannya. Hal tersebut yang menyebabkan adanya bibit yang hilang setelah
ditanam. Bekas potongan daun dan batang yang terserang keong mas terlihat
mengambang di genangan air sawah (Syam dan Wurjandari 2005). Intensitas
kerusakan yang ditimbulkan oleh keong mas mencapai 13.2–96.5% (Pitojo 1996).
Keberadaan keong mas di Indonesia yang dianggap sebagai hama dan ancaman
kini dimanfaatkan sebagai bahan pangan bagi masyarakat. Kandungan protein
yang cukup tinggi menjadikan keong mas sebagai bahan pangan yang layak
dikonsumsi. Namun kewaspadaan perlu diberikan pada masyarakat yang sering
mengonsumsi hewan ini. Hal ini disebabkan oleh adanya beberapa parasit yang
menjadikan keong mas sebagai inang antara. Salah satu golongan parasit yang
menjadi perhatian karena termasuk zoonosis adalah cacing nematoda.
Menurut Onggowaluyo (2001), cacing nematoda yang disebut juga cacing
gilig (round worm) merupakan cacing berbentuk bulat panjang, bilateral simetris,
tidak bersegmen, meruncing di kedua ujung, dan tubuhnya dilapisi oleh kutikula.
Siklus hidup nematoda dibagi menjadi dua, yaitu siklus hidup langsung dan siklus
hidup tidak langsung. Siklus hidup langsung tidak membutuhkan inang antara dan
infeksi dapat terjadi ketika inang definitif menelan larva infektif (larva fase
ketiga). Siklus hidup tidak langsung membutuhkan inang antara dan inang
definitif. Inang definitif terinfeksi cacing nematoda karena menelan larva infektif
dan mengeluarkan feses bersamaan dengan larva fase pertama yang kemudian
tertelan oleh inang antara. Larva fase pertama berkembang di dalam tubuh inang
antara dan menjadi larva yang siap menginfeksi inang definitif ketika inang antara
dimakan oleh inang definitif.
Pada siklus hidup nematoda tidak langsung, keong mas berperan sebagai
inang antara dan tikus sebagai inang definitif. Manusia sebagai inang accidental
terinfeksi oleh larva infektif akibat mengonsumsi keong mas yang mengandung
larva infektif secara mentah atau setengah matang. Cacing nematoda menginfeksi
manusia dalam bentuk stadium larva fase ketiga yang siklusnya tidak dapat
menjadi dewasa (Cowie 2011).

2
Pada tahun 1997 sampai 2008 terjadi outbreak di China akibat kasus
kecacingan yang mengonsumsi keong mas setengah matang (Yang et al. 2013).
Infeksi salah satu cacing nematoda yaitu Angiostrongylus cantonensis dapat
menyebabkan eosinophilic meningitis pada manusia. Infeksi dari cacing nematoda
ini disebut angiostrongyliasis. Eosinophilic meningitis merupakan peradangan
pada selaput otak (meningen) yang ditandai dengan peningkatan jumlah sel
eosinofil akibat infeksi cacing (Lv et al. 2009). Gejala klinis dari
angiostrongyliasis yaitu sakit kepala yang parah disertai dengan muntah,
kekakuan leher, dan paralisis wajah. Manusia merasakan sakit kepala yang parah
disebabkan oleh adanya saluran-saluran yang dibuat oleh larva selama proses
migrasi di sistem saraf pusat (Alto 2001). Sampai saat ini, di Indonesia belum
dilakukan penelitian tentang kasus kecacingan yang melibatkan keong mas
sebagai inang antara.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persentase kecacingan dan
mengidentifikasi jenis cacing nematoda pada keong mas (Pomacea canaliculata)
di sekitar Kampus Institut Pertanian Bogor Dramaga.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi terkait adanya
cacing nematoda pada keong mas. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat
digunakan sebagai acuan program pencegahan dan pengendalian kasus penyakit
yang disebabkan oleh cacing nematoda yang bersifat zoonotik.

TINJAUAN PUSTAKA
Pomacea canaliculata
Taksonomi
Keong mas (P. canaliculata) termasuk famili Ampullaridae dan genus
Pomacea. Penentuan spesies dari famili Ampullariidae adalah berdasarkan bentuk
mulut, warna, dan operkulum cangkang. Taksonomi keong mas menurut
Isnaningsih dan Marwoto (2011) adalah sebagai berikut.
Filum
Kelas
Ordo
Famili
Genus
Spesies

:
:
:
:
:
:

Molluska
Gastropoda
Mesogastropoda
Ampullaridae
Pomacea
Pomacea canaliculata (Lamarck 1822)

3
Morfologi
Cangkang keong mas berbentuk bulat dan arah putaran ke kanan (Gambar
1). Jumlah putaran seluk yang dimiliki keong mas adalah sebanyak 4–5 buah dan
terdapat celah antar putaran seluk yang dalam. Mulut cangkang keong mas
berbentuk oval, pusar besar, dan dalam. Puncak cangkang keong mas sering
mengalami erosi sehingga tumpul. Warna cangkangnya kuning kehijauan,
terkadang ada pola garis melingkar. Penutup cangkang (operkulum) yang dimiliki
keong mas berasal dari khitin dan cukup tebal, berbentuk tipe konsentris dengan
inti terdapat di tengah sisi kiri, dan berwarna coklat (Isnaningsih dan Marwoto
2011).

Gambar 1 Morfologi P. canaliculata
Habitat
Keong mas hidup pada perairan air tawar, seperti kolam, rawa, dan sawah
yang memiliki irigasi. Keong mas memiliki kemampuan beradaptasi dengan cepat.
Selama musim kering, keong mas mampu bertahan hidup hingga enam bulan
dengan membenam diri pada tanah lembab untuk mengurangi metabolisme dan
memasuki masa diapause. Ketika tanah tempat hidupnya tergenang air, keong mas
menjadi aktif kembali. Hewan ini mempunyai insang dan organ menyerupai paruparu untuk beradaptasi di dalam air maupun darat. Organ paru-paru keong mas
selain berfungsi untuk pernapasan juga mengatur pengapungan, sehingga dapat
bertahan pada perairan tercemar dan rendah kandungan oksigen (Riyani 2014).
Siklus hidup
Perkembangbiakkan terjadi saat keong jantan dan betina dewasa bertemu
dan melakukan kopulasi. Keong mas jantan membuahi sel telur yang berada di
dalam tubuh keong mas betina. Telur yang sudah dibuahi diletakkan induk betina
beberapa cm di atas permukaan air pematang sawah atau tempat lainnya secara
berkelompok sekitar 132–1287 butir (Diratmaja dan Permadi 2004). Menurut
Lukito dan Prayugo (2007), keong mas disebut juga keong murbai karena telurnya
yang berkelompok dan berwarna merah muda seperti buah murbei (Gambar 2).
Telur akan mengeras dan merekat pada substratnya, kemudian selama 7–14 hari
menetas menjadi keong mas muda yang berukuran 2.2–3.5 mm. Keong mas muda
meninggalkan cangkang telur dan masuk ke dalam air. Cangkang keong mas akan
mengeras setelah 15–25 hari. Alga dan bagian tanaman yang lunak menjadi

4
makanan keong mas. Keong mas yang berumur 45–59 hari akan mengalami
dewasa kelamin dengan periode reproduksi 2–36 bulan. Kemudian keong mas
jantan dan betina akan saling mencari dan melakukan kopulasi lagi (Suharto 2007).

Gambar 2 Telur P. canalilucata

Nematoda
Morfologi
Natadisastra dan Agoes (2009) menjelaskan bahwa cacing nematoda
memiliki kepala, ekor, dinding, sistem digesti, sistem saraf, sistem ekskresi,
sistem reproduksi yang terpisah, dan rongga badan yang disebut pseudoselom,
namun tidak memiliki sistem sirkulasi (Gambar 3). Sistem digesti berbentuk
tubular dengan mulut yang umumnya dikelilingi oleh tiga bibir dan terhubung
langsung oleh esofagus. Esofagus memiliki bentuk yang bervariasi dan berfungsi
untuk meneruskan makanan ke usus. Selain itu esofagus menjadi titik kunci untuk
membedakan tiap spesies. Usus memiliki bentuk seperti tabung yang dindingnya
dilapisi oleh lapisan snycytium yang tipis. Sistem reproduksi betina terdiri atas
sepasang ovarium, oviduk, uterus, vagina, dan vulva. Sistem reproduksi jantan
terdiri atas testis, vas deverens, dan saluran ejakulatori di kloaka. Organ tambahan
yang dimiliki cacing jantan yaitu spikulum dan gubernakulum. Spikulum
berfungsi sebagai alat kopulasi, sedangkan gubernakulum berfungsi untuk
mengarahkan spikulum.

5

Gambar 3 Morfologi nematoda (Dixon 2012).

Siklus hidup
Menurut Hendrix dan Robinson (1998), cacing nematoda betina dewasa
memproduksi telur yang akan berkembang menjadi fase morula. Fase morula
berkembang menjadi fase berudu dengan bentuk larva fase pertama yang
dilengkapi oleh cangkang telur. Larva fase pertama yang menetas, keluar dari
cangkang telur kemudian berganti kulit atau melepaskan kutikula ektsternalnya.
Saat berganti kulit, larva fase pertama akan berkembang menjadi larva fase kedua.
Larva fase kedua berganti kulit lagi menjadi larva fase ketiga. Larva fase pertama
sampai ketiga dapat berkembang di lingkungan luar atau di dalam inang antara.
Larva fase ketiga dapat menginfeksi inang dengan penetrasi langsung atau
intervensi inang antara, sehingga disebut larva infektif. Saat larva infektif berada
di dalam tubuh inang definitif, larva ketiga akan berganti kulit menjadi larva fase
keempat, kemudian berganti kulit lagi menjadi larva fase kelima. Larva fase
kelima akan bermigrasi ke suatu organ untuk berkembang menjadi fase yang
dewasa kelamin. Jika cacing nematoda jantan dan betina dewasa melakukan
kopulasi kembali, maka siklus baru dimulai lagi setelah cacing betina dewasa
bertelur (Muryani 2008).

Kasus Kecacingan
Keong mas menjadi inang antara penting bagi cacing nematoda, salah
satunya adalah A. cantonensis. Cacing nematoda ini ditemukan pertama kali pada
arteri pulmonari dari rodensia sehingga disebut juga rat lungworm. Keong mas
yang dikonsumsi dalam kondisi mentah (raw) atau dimasak setengah matang
(undercooked) dapat mengandung larva fase ketiga dari A. cantonensis.
Eosinophilic meningitis yang disebabkan oleh cacing nematoda ini merupakan
penyakit fatal secara potensial, sehingga dapat dikategorikan sebagai emerging
disease (Zhang et al. 2009). Dari 32 spesies moluska di China yang telah diteliti,
hasil yang diperoleh sebesar 69.4% A. cantonensis menginfeksi keong mas (Wang
et al. 2008).

6

METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli 2014 hingga bulan Maret 2015
yang berlokasi di Laboratorium Helmintologi Bagian Parasitologi dan Entomologi
Kesehatan Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat
Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Bahan
Bahan yang digunakan untuk identifikasi cacing nematoda adalah sampel
keong mas sebanyak 150, NaCl fisiologis, alkohol 70%, alkohol 85%, alkohol
95%, alkohol absolut, KOH 10%, Entelan®, dan minyak cengkeh.
Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah cawan petri, mortar, jarum
pengait, keramik hitam, akuarium, plastik, refrigerator, pinset anatomis, gunting
anatomis, gloves, dan mikroskop.

Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional secara purposif
dilakukan di area pedesaan sekitar Kampus Institut Pertanian Bogor (IPB)
Dramaga. Pemilihan tersebut berdasarkan pertimbangan kemudahan dalam
melakukan penelitian dan keterbatasan waktu penelitian.

Prosedur Penelitian
Pengambilan sampel
Pengambilan sampel keong mas berasal dari Kecamatan Dramaga Desa
Cangkurawok, Kecamatan Ciampea Desa Cihideung Hilir, Kecamatan Tenjolaya
Desa Cinangneng, Kecamatan Taman Sari Desa Suka Makmur, Kecamatan
Ciomas Desa Ciapus. Sampel diambil dari persemaian tanaman padi dan sawah
setelah panen yang masih ada genangan air, kemudian dimasukkan ke dalam
plastik dan langsung disimpan di dalam akuarium agar pemeriksaan keong mas
masih dalam keadaan hidup.
Pemeriksaan sampel keong mas
Pemeriksaan sampel keong mas dilakukan untuk menghitung jumlah cacing
nematoda dalam tubuh keong mas. Pemeriksaan dilakukan dengan membuka
cangkang keong mas dengan mortar, kemudian tubuh keong mas dikeluarkan

7
dengan pinset anatomis dan diletakkan pada cawan petri. Air dituangkan sedikit
pada cawan petri, kemudian tubuh keong mas dipotong kecil-kecil dengan gunting
anatomis. Cawan petri diletakkan di atas keramik hitam untuk memudahkan
pemeriksaan adanya cacing nematoda yang berwarna putih. Tubuh keong mas
dikoyak dengan jarum pengait supaya cacing nematoda dapat keluar dari organ
tubuh keong mas. Jika terdapat cacing nematoda maka dipisahkan dari organ
tubuh keong mas lalu diletakkan ke cawan petri yang sudah dituangkan sedikit
NaCl fisiologis. Setelah itu cawan petri disimpan dalam refrigerator selama 2–3
hari untuk merelaksasi tubuh cacing parasitik agar dapat diwarnai.
Pewarnaan spesimen
Pewarnaan cacing nematoda menggunakan teknik pewarnaan semi
permanen. Tahapan pewarnaannya adalah penipisan dan penghilangan lapisan
kutikula cacing nematoda yang dilakukan dengan cara spesimen direndam dalam
KOH 10% selama 1–3 menit sampai lapisan kutikula terlihat tembus pandang.
Kemudian spesimen dipindahkan ke dalam minyak cengkeh selama 30–60 detik
sampai organ-organ tubuh terlihat jelas. Setelah itu cacing dimasukkan ke dalam
alkohol bertingkat (70%, 85%, 95%, absolut) masing-masing selama 15–30 detik.
Selanjutnya dilakukan proses mounting dengan Entelan® sebagai bahan perekat
(Khairunnisa 2007).
Identifikasi nematoda
Identifikasi nematoda dilakukan hanya pada sampel nematoda dari Kecamatan
Dramaga, sedangkan empat kecamatan lain tidak masuk dalam skripsi ini.
Nematoda diidentifikasi menggunakan mikroskop dengan acuan Medical and
Economic Malacalogy (Malek dan Cheng 1974) dan Biology A. cantonensis
(Cowie 2011).
Persentase
Perhitungan persentase dilakukan untuk mengetahui persentase jumlah keong mas
yang terinfeksi nematoda dari total keong mas yang diperiksa.
Persentase =

HASIL DAN PEMBAHASAN

Persentase Larva Nematoda pada P. canaliculata
Dari lima kecamatan di sekitar Kampus IPB Dramaga, Kecamatan Ciampea
memiliki persentase paling tinggi yaitu sebesar 20% diikuti oleh Kecamatan
Dramaga (16%), Kecamatan Ciomas (6%), dan Kecamatan Taman Sari (3%). Di

8
Kecamatan Tenjolaya tidak ditemukan adanya infeksi nematoda pada keong mas
(Tabel 1). Rataan persentase keong mas yang terinfeksi nematoda adalah sebesar
9%.
Tabel 1 Persentase larva nematoda pada P. canaliculata
No

Kecamatan

Jumlah yang
diperiksa (ekor)

Jumlah yang
terinfeksi (ekor)

Persentase
(%)

1
2
3
4
5

Dramaga
Ciampea
Taman Sari
Ciomas
Tenjolaya

30
30
30
30
30

5
6
1
2
0

16
20
3
6
0

150

14

45

Total
Rata-rata

9

Tingginya persentase di Kecamatan Ciampea dan Dramaga diduga
dipengaruhi oleh lokasi pengambilan sampel. Lokasi pengambilan sampel di
Kecamatan Ciampea dan Dramaga berada di sawah yang berdekatan dengan
selokan yang berisi tumpukan sampah dan pemukiman penduduk. Rendahnya
persentase di Kecamatan Taman Sari dan Ciomas disebabkan oleh lokasi
pengambilan sampel yang tidak berdekatan dari pemukiman namun masih
ditemukan sampah sisa makanan yang menumpuk di area genangan air sawah.
Tidak ditemukannya infeksi nematoda pada keong mas di Kecamatan Tenjolaya,
karena lokasi pengambilan sampel berada jauh dari pemukiman dan
lingkungannya relatif tidak banyak sampah.
Cheng et al. (2011) menyatakan bahwa kontaminasi lingkungan memiliki
peran penting dalam infeksi nematoda pada keong mas. Persentase paling tinggi
dari nematoda disebabkan oleh lokasi sawah yang berdekatan dengan tumpukan
sampah dari pemukiman penduduk yang terhubung dengan dapur rumah tangga.
Hal tersebut memungkinkan hewan vertebrata sebagai inang definitif untuk
mencari makan di tumpukan sampah dan pemukiman penduduk lalu
mengeluarkan feses di area genangan air sawah.
Infeksi nematoda berhubungan dengan faktor lingkungan makro dan mikro
(macro-micro environment). Faktor lingkungan makro yang dapat mempengaruhi
infeksi nematoda seperti kondisi geografis, ketinggian, tumbuhan, dan satwa liar.
Sedangkan faktor lingkungan mikro yaitu habitat keong mas itu sendiri. Habitat
alam dari nematoda tergantung pada spesies, populasi, distribusi dari keong mas
sebagai inang antara dan hewan vertebrata sebagai inang definitif (Cheng et al.
2011).
Identifikasi Nematoda
Dari hasil penelitian yang dilakukan pada keong mas diketahui bahwa
terdapat cacing nematoda. Hasil identifikasi nematoda yang ditemukan pada
penelitian ini digolongkan dalam kelompok superfamili Metastrongyloidea, famili
Angiostrongylidae, dan genus Angiostrongylus (Chen 1935). Ubelaker (1986)

9
mengelompokkan Angiostrongylidae menjadi enam genus berdasarkan
karakteristik morfologi dari bursa kopulatoris jantan dan spesifitas grup inang.
Pada inang tikus telah dilaporkan sebanyak 14 spesies dari genus
Angiostrongylus. Malek dan Cheng (1974) melaporkan bahwa di negara Asia
Timur dan Australia ditemukan tiga spesies Angiostrongylus yaitu A. cantonensis
(Chen 1935), A. mackerrasae (Bhaibulaya 1968), dan A. malaysiensis
(Bhaibulaya dan Cross 1971).
NR

KT
RS
RS

EP
E

(A)
Gambar 4

(B)

(C)

Perbandingan morfologi cacing A. cantonensis bagian anterior yang
ditemukan pada sampel keong mas dengan literatur. Keterangan
gambar: KT (struktur bentuk T atau seperti kenop); RS (struktur
bentuk batang); NR (nervus ring); EP (lubang ekskretori); E
(esofagus); (A) Sumber: Maldonado et al. (2012); (B) Gambar
cacing nematoda yang diperoleh dari keong mas asal Kecamatan
Dramaga dengan pembesaran 10x; (C) Sumber: Cowie (2011).

Nematoda pada keong mas yang diidentifikasi adalah larva fase ketiga
Angiostrongylus. Hasil tersebut memiliki kesamaan morfologi dengan penemuan
larva fase ketiga dari Spratt (2015). Larva yang ditemukan memiliki bentuk tubuh
silindris memanjang. Pada bagian anterior nematoda larva fase ketiga memiliki
struktur bentuk T, struktur seperti batang, dan esofagus (Gambar 4). Hasil
pengukuran panjang dan lebar larva fase ketiga adalah 498 μm dan 80 μm.
Maldonado et al. (2012) menyatakan bahwa kesamaan dari ciri khusus morfologi
yang sesuai dapat dijadikan dasar untuk menggolongkan larva fase ketiga
Angiostrongylus. Ciri khusus morfologi yang diperoleh sesuai dengan ciri spesies
yang ditemukan oleh Cowie (2011) yaitu A. cantonensis. Struktur khusus bagian
anterior yang dimiliki A. cantonensis adalah struktur bentuk T atau seperti kenop,
struktur bentuk batang, nervus ring, esofagus, dan lubang ekskretori.
Menurut Malek dan Cheng (1974), bagian posterior cacing betina
Angiostrongylus menjadi kunci morfologi untuk menggolongkan spesies.
Morfologi A. cantonensis memiliki kesamaan bentuk dengan A. mackerrasae dan
A. malaysiensis. Cacing betina A. cantonensis tidak memiliki penonjolan di ujung
ekor, sedangkan A. mackerrasae dan A. malayensis memiliki penonjolan di ujung

10
ekor. A. malayensis memiliki penonjolan yang lebih pendek jika dibandingkan
dengan A. mackerrasae. Hasil identifikasi bagian posterior yang diperoleh tidak
memiliki penonjolan, sehingga hasil identifikasi menunjukkan bahwa ditemukan
larva fase ketiga betina dari jenis A. cantonensis (Gambar 5).

TPT

(A)

(B)

(C)
Gambar 5

Perbandingan morfologi cacing A. cantonensis bagian posterior yang
ditemukan pada sampel keong mas dengan literatur. Keterangan
gambar: TPT (ekor yang menajam ke ujung); (A) Gambar cacing
nematoda yang diperoleh dari keong mas asal Kecamatan Dramaga
dengan pembesaran 20x; (B) Sumber: Maldonado et al. (2015); (C)
Sumber: Malek dan Cheng (1974).

A. cantonensis pertama kali dilaporkan berasal dari tikus di China (Chen
1935). Yokogawa (1937) melaporkan spesies yang sama sebagai
Haemostrongylus ratti. Kemudian terjadi perubahan nomenklatur, genus
Haemostrongylus dirubah dengan nama Angiostrongylus, dan spesies ratti dirubah
dengan nama cantonensis. Perubahan tersebut diterima secara luas, sehingga nama
yang paling umum digunakan untuk spesies ini adalah A. cantonensis (Cowie
2011).

11
P. canaliculata sebagai Inang antara A. cantonensis
Golongan Molluska yaitu keong darat dan air tawar berperan sebagai
inang antara A. cantonensis (Yang et al. 2013). Keong mas (P. canaliculata)
menjadi salah satu keong air tawar yang berperan penting dalam epidemiologi
angiostrongyliasis. Manusia secara tidak sengaja terinfeksi karena mengonsumsi
keong mas yang mengandung larva fase ketiga dalam kondisi mentah (raw) atau
dimasak setengah matang (undercooked). Perkembangan larva fase ketiga sejalan
dengan siklus hidupnya pada tikus sebagai inang definitif, namun hanya sampai
pada stadium sub-adult di otak manusia. Umumnya larva stadium sub-adult tidak
mampu untuk masuk ke sistem sirkulatori dan setelah bergerak di sekitar jaringan
otak, kemudian larva akan mati. Hal tersebut juga berhubungan dengan sifat
neurotropik yang dimiliki A. cantonensis pada manusia. Kerusakan neurologis
yaitu eosinophilic meningitis ditandai dengan adanya inflamasi akibat pergerakan
larva hidup dan keberadaan larva stadium sub-adult yang telah mati di selaput
otak (Alto 2001).
Hasil identifikasi A. cantonensis yang ditemukan di Kecamatan Dramaga
sebesar 20% (1 nematoda teridentifikasi dari total 5 nematoda). Lv et al. (2008)
melaporkan bahwa P. canaliculata menjadi inang antara A. cantonensis yang
cukup banyak ditemukan (69.4%), karena memiliki suseptibilitas dan toleransi
lingkungan yang tinggi pada parasit tersebut. P. canaliculata merupakan sajian
makanan di restoran di China yang distribusinya tidak hanya di satu daerah
melainkan meliputi beberapa daerah, akibatnya penyebaran A. cantonensis juga
semakin luas (Yang et al. 2013). Penyebaran yang cepat dan distribusi yang luas
dari P. canaliculata menyebabkan peningkatan persentase dan intensitas dari
infeksi A. cantonensis.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1.
2.
3.

Terdapat infeksi nematoda pada keong mas di empat kecamatan di sekitar
Kampus IPB Dramaga.
Persentase yang diperoleh bervariasi mulai dari 0–20% dengan rataan 9%.
Satu nematoda yang teridentifikasi adalah Angiostrongylus cantonensis yang
bersifat zoonotik.

Saran
Dari hasil penelitian ini disarankan agar dilakukan penelitian lanjutan
dengan menambah jumlah dan lokasi pengambilan sampel. Adanya pembuatan
preparat histopatologi pada keong mas yang positif terinfeksi cacing nematoda
perlu dilakukan untuk mengetahui lesio patologinya. Keong mas sebaiknya tidak
dikonsumsi dalam kondisi mentah (raw) atau dimasak setengah matang
(undercooked) untuk mencegah dan mengurangi zoonosis.

12

DAFTAR PUSTAKA
Alto W. 2001. Human infections with Angiostrongylus cantonensis. Pacific Hlth
Dialog. (8):176-182.
Bhaibulaya M dan Cross JH. 1971. Angiostrongylus malaysiensis (nematoda:
Metastrongylidae), a new species of rat lung-worm from Malaysia. Trop
Med Pub Hlth. 2:527-533.
Bhaibulaya M. 1968. A new species of Angiostrongylus in an Australian rat,
Rattus fuscipes. Parasitol. 58:789-799.
Chen HT. 1935. Un nouveau nématode pulmonaire, Pulmonema cantonensis n.g.,
n.sp., des rats de Canton. Ann Parasit Hum Comp. 13:312-370.
Cheng YZ, Hou J, He XH, Hong ZK, Li LS, Lin GH, Chen MX, Chen SH. 2011.
Prevalence of Paragonimus and Angiostrongylus cantonensis infections in
snails in Southeastern China. J Animal Vet Adv. 10(19):2599-2602.
Cowie RH. 2011. Biology: Taxonomy, Identification, and Life Cycle of
Angiostrongylus cantonensis. Hawaii (US): Pacific Biosciences Research
Center University of Hawaii.
Diratmaja, Permadi K. 2004. Tingkat serangan keong mas (Pomacea canaliculata)
pada padi sawah . J Agrivigor. 4(1):35-39.
Dixon J. 2012. Nematode Roundworms. [Internet]. [diunduh 2014 Sep 29].
Tersedia pada: http://sharonapbio-taxonomy.wikispaces.com/file/view
/nematode.jpg/50864359/nematode.jpg
Harahap IS, Tjahjono B. 2003. Pengendalian Hama dan Penyakit Padi. Bogor
(ID): Penebar Swadaya.
Hendrix CM dan Robinson E. 1998. Diagnostic Parasitology for Veterinary
Technicians. St. Louis (US): Mosby.
Isnaningsih NR dan Marwoto RM. 2011. Keong hama Pomacea di Indonesia:
karakter morfologi dan sebarannya (Mollusca, Gastropoda: Ampullariidae).
Berita Biologi. 10(4):441-447.
Khairunnisa. 2007. Minyak cengkeh (Eugenia aromatica) dan kalium hidroksida
10% sebagai bahan pewarna semi permanen pada cacing nematoda dan
Acatocephala ikan air laut [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Lukito A dan Prayugo S. 2007. Panduan Lengkap Lobster Air Tawar. Jakarta
(ID): Penebar Swadaya.
Lv S, Zhang Y, Liu HX, Zhang CW, Steinmann P, Zhou XN, Utzinger J. 2009.
Angiostrongylus cantonensis: morphological and behavioral investigation
within the freshwater snail Pomacea canaliculata. Parasitol Res. 104:
1351-1359.
Lv S, Zhang Y, Steinmann P, Zhou XN. 2008. Emerging angiostrongyliasis in
mainland China. Emerg Infect Dis. 14(1):161-164.
Maldonado AJ, Simões R, Thiengo S. 2012. Angiostrongyliasis in the Americas,
Zoonosis. Rio de Janeiro (BR): InTech.
Malek EA, Cheng TC. 1974. Medical and Economic Malacology. London (UK):
Academic Pr.
Martin AA, Abreu YE, Feliu C, Mas CS, Bargues MD, Valladares B, et al. 2015.
Intermediate hosts of Angiostrongylus cantonensis in Tenerife, Spain.
PLoS One [Internet]. [diunduh 2015 Juni 10]; 10(3):1-10. Tersedia

13
pada:http://journals.plos.org/plosone/article?id=10.1371/journal.pone.0120
686.
Min W, Yan X. 2006. The golden apple snail (Pomacea canaliculata) in China.
Phil Rice. 2006: 285-289.
Muryani A. 2008. Kecacingan pada tinja badak sumatera (Dicerorhinus
sumatrensis) dan gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) di taman
nasional way kambas Lampung (semi insitu) [skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Natadisastra D, Agoes R.2009. Parasitologi Kedokteran Ditinjau dari Organ
Tubuh yang Diserang. Jakarta (ID): EGC.
Onggowaluyo J. 2001. Parasitologi Medik I (Helmintologi). Jakarta (ID):
Universitas Indonesia.
Pitojo S. 1996. Petunjuk Pengendalian dan Pemanfaatan Keong Mas. Jakarta
(ID): Trubus Agriwidya.
Riyani S. 2014. Mortalitas keong mas (Pomacea canaliculata) setelah pemberian
testa jambu mete (Anacardium occidentale) [skripsi]. Yogyakarta (ID):
UIN Sunan Kalijaga.
Spratt DM. 2015. Species of Angiostrongylus (Nematoda: Metastrongyloidea) in
wildlife: A review. J Parasitol [Internet]. [diunduh 2015 Juni 10]; 4:178189. Tersedia pada: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/25853051.
Sugeng H. 2001. Bercocok Tanam Padi. Semarang (ID): Aneka Ilmu.
Suharto H, Kurniawati H. 2009. Keong mas, dari hewan peliharaan menjadi hama
utama padi sawah [Internet]. [diunduh 2014 Sep 29]. Tersedia pada:
http://www.litbang.deptan.go.id/special/padi/bbpadi_2009_itp_14.pdf.
Syam M, Wurjandari D. Masalah Lapang Hama Penyakit Hara. 2003.
Yogyakarta (ID): IRRI.
Ubelaker JE. 1986. Systematics of species referred to the genus Angiostrongylus. J
Parasitol. 72:237-244.
Wang QP, Lai DH, Zhu XQ, Chen XG, Lun ZR. 2008. Human angiostrongyliasis.
Lancet Infect Dis. 2008(8):621-630.
Widiastuti D. 2011. Angiostrongylus cantonensis. BALABA [Internet]. [diunduh
2014
Sep
29];
7(1):25-26.
Tersedia
pada:
http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/blb/article/view/1198/3247.
Yang BT, Wu ZD, Lun ZR. 2013. The apple snail Pomacea canaliculata, a novel
vector of the rat lungworm, Angiostrongylus cantonensis its introduction,
spread, and control in China. Hawai’i J Med Pub Hlth [Internet]. [diunduh
2014
Sep
29];
72(6):23-25.
Tersedia
pada:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3689487.
Yokogawa S. 1937. A new species of nematode found in the lungs of rats.
Haemostrongylus ratti n. sp. Trans Nat Hist Soc Formosa. 27:247-250.
Yunidawati W. 2012. Pengendalian hama keong mas (Pomacea canaliculata
Lamarck) dengan ektstrak biji pinang pada tanaman padi [tesis]. Medan
(ID): Universitas Sumatera Utara.
Zhang Y, Lv S, Yang K, et al. 2009. The first national survey on natural of
Angiostrongylus cantonensis in China. Chin J Parasitol Dis. 227(6):508512.

14

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kudus pada tanggal 29 Maret 1993 dari pasangan
Bapak Mangido Sabam Samosir Pakpahan dan Ibu Lamria Sitohang. Penulis
merupakan anak ketiga dari empat bersaudara. Penulis memiliki tiga orang
saudara laki-laki yaitu Torus Frans Pardomuan Pakpahan, Preddy Ray Satrio
Pakpahan, dan Daniel Christ Parsaulian Pakpahan. Penulis menempuh pendidikan
formal dimulai dari tahun 1997 pada tingkat TK Masehi Kudus selama dua tahun,
kemudian pada tahun 2000 melanjutkan pendidikan dasar di SD Masehi Kudus,
kemudian menempuh pendidikan menengah pertama di SMP Negeri 1 Kudus dan
lulus pada tahun 2008. Penulis lulus dari SMA Negeri 1 Kudus pada tahun 2011.
Penulis melanjutkan pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan Institut
Pertanian Bogor (FKH IPB) pada tahun 2011 melalui Seleksi Nasional Masuk
Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) jalur undangan. Selama menempuh
pendidikan di FKH IPB, penulis aktif dalam organisasi Himpunan Profesi
(HIMPRO) Ruminansia. Penulis juga berkesempatan menjadi asisten praktikum
mata kuliah Anatomi Veteriner I pada tahun 2013.