Mange (kudis) pada kucing lokal di lingkungan kampus Institut Pertanian Bogor Dramaga

MANGE (KUDIS) PADA KUCING LOKAL DI LINGKUNGAN
KAMPUS INSTITUT PERTANIAN BOGOR DRAMAGA

FENI FACHRI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTUTUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Mange (Kudis) pada
Kucing Lokal di Lingkungan Kampus Institut Pertanian Bogor Dramaga adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2013
Feni Fachri
NIM B04090171

ABSTRAK
FENI FACHRI. Mange (Kudis) pada Kucing Lokal di Lingkungan Kampus
Institut Pertanian Bogor Dramaga. Dibimbing oleh SUSI SOVIANA.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi jenis tungau yang
menyebabkan mange pada kucing lokal liar di lingkungan kampus Institut
Pertanian Bogor Dramaga. Tujuh kucing dengan gejala klinis berupa pruritus,
alopecia, dan hiperkeratosis kulit diuji kerokan kulitnya secara mikroskopis. Dua
dari tujuh kucing yang diperiksa lesio kulitnya menunjukkan adanya temuan
tungau Otodectes sp. Tungau Otodectes sp. ditemukan di lesio area telinga dan
kepala. Ditemukannya Otodectes di luar kanal telinga sebagai habitat alaminya
dapat disebabkan oleh perilaku kucing yang menggaruk bagian tubuh yang gatal
sehingga Otodectes dapat berpindah dan menyebar ke bagian tubuh lain.
Makrokonidia dan hifa jamur, serta kutu juga ditemukan pada kerokan kulit
kucing-kucing tersebut. Infestasi jamur dan kutu memiliki gejala klinis yang mirip
dengan infestasi tungau sehingga menjadi diferensial diagnosa yang harus
dipertimbangkan dalam menentukan kausa penyebab penyakit kulit pada kucing.

Sifat Otodectes yang contagious dan dapat menular ke manusia harus
dipertimbangkan sebagai satu penyakit zoonosa yang memiliki potensi merugikan
masyarakat.
Keywords: Otodectes sp., tungau, mange, kucing
ABSTRACT
FENI FACHRI. Mange in Domestic Cat around Bogor Agricultural University
Supervised by SUSI SOVIANA.
This study was conducted to identify the mite that cause mange to local
stray cats found around Bogor Agricultural University, Dramaga. The skin
scraping from seven cats with pruritus, alopecia, and hyperkeratosis were
examined microscopically. Two of seven cats, two showed Otodectes sp. on their
skin scraping examination. Otodectes were found on ear and head area. The mites
can be found outside the ear, as the natural habitat for Otodectes, because cat use
to shake and scratch on the exact area where the mites live which causes the mites
being thrown away and stay on the other part of the body. Besides Otodectes,
fungi and cat lice were also identified on the skin scraping examination. Fungi
and lice infestation caused similar symptoms to mite infestation on cat skin.
These two agents should be considered as the differential diagnoses to mange
caused by mites on cat. Otodectes can be transmitted to human through direct
contact so people awareness should be taken seriously about this zoonotic

disease.
Keywords: cat, mites, mange, Otodectes sp.,

MANGE (KUDIS) PADA KUCING LOKAL DI LINGKUNGAN
KAMPUS INSTITUT PERTANIAN BOGOR DARMAGA

FENI FACHRI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi
Nama

NRP

: Mange (Kudis) pada Kucing Lokal di Lingkungan
Kampus Institut Pertanian Bogor Dramaga
: Feni Fachri
: B04090171

Disetujui oleh

Dr drh Susi Soviana, MSi
Pembimbing

Diketahui

drh H Agus Setiyono, MS, PhD, APVet
Wakil Dekan

Tanggal Lulus:

Judui Skripsi

Nama
NRP

Mange (Kudis) pada Kucing Lokal di Lingkungan
Kampus lnstitut Pertanian Bogor Dramaga
Feni Fachri
B04090171

Disetujui oleh

Dr

. Soviana, MSi
Pembimbing

PhD APYet

Tanggal Lulus:

0 9 SEP lO \.J


PRAKATA
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat
dan karuniaNya, sehingga skripsi dengan judul Mange (Kudis) pada Kucing Lokal
di Lingkungan Kampus Institut Pertanian Bogor Dramaga dapat diselesaikan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr drh Susi Soviana, Msi selaku
dosen pembimbing atas segala bimbingan, dorongan, kritik, dan saran yang telah
diberikan selama penelitian dan penulisan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan
terimakasih kepada drh Dewi Ratih Agungpriyono, PhD selaku dosen
pembimbing akademik yang telah membimbing penulis selama menjadi
mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan IPB, serta Dr drh Amrozi dan drh
Nurhidayat, MS, PhD PAVet selaku dosen penguji. Ungkapan terimakasih penulis
ucapkan kepada drh Supriyono, Pak Heri, Ibu Juju, dan seluruh staff Bagian
Entomologi Kesehatan Fakultas Kedokteran Hewan IPB atas dorongan, masukan,
dan bantuan selama pengumpulan dan pengolahan data.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada papa Fachri Riva’i, mama
Erma Soeki, uda Efri, uda Efandi, uda Efdi dan keponakan-keponakan atas doa,
kasih sayang, dan dukungan yang diberikan selama ini. Ucapan terima kasih
disampaikan juga kepada teman-teman seangkatan Geochelone 46 yang samasama berjuang dalam menempuh pendidikan di IPB. Selanjutnya ungkapan terima
kasih penulis ucapkan kepada teman seperjuangan Anggina, Filuth, dan Fifin,

serta teman-teman Wisma Jelita atas dukungan dan semangatnya. Terimakasih
juga kepada semua pihak yang telah membantu dalam terselesaikannya skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat
kesalahan. Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun
sebagai evaluasi bagi penulis. Terlepas dari kekurangan yang ada, penulis
berharap skripsi ini dapat memberi manfaat bagi yang membutuhkan.

Bogor, Agustus 2013
Feni Fachri

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

PENDAHULUAN


1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA

2

Tungau Mange


2

Jenis Tungau Penyebab Mange

3

METODE PENELITIAN

5

Waktu dan Tempat

5

Metode

5

HASIL DAN PEMBAHASAN


6

Jenis Ektoparasit yang Ditemukan pada Kucing

6

Temuan Tungau pada Kerokan Kulit Kucing

7

Morfologi Tungau Otodectes sp.

9

Patogenitas dan Infestasi Otodectes sp.

10

Penularan Otodectes sp. pada Manusia


11

SIMPULAN DAN SARAN

11

Simpulan

11

Saran

11

DAFTAR PUSTAKA

12

RIWAYAT HIDUP

15

DAFTAR TABEL
1 Lokasi Lesio dan Temuan Agen pada Kucing Lokal Penderita Mange

6

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7

Pembagian tubuh tungau
Kucing positif terinfestasi Otodectes
Eksudat lilin berwarna kecoklatan pada kanal telinga
Kucing terinfestasi jamur dan kutu, dengan temuan tungau negatif
Kutu Felicola subsostratus
Otodectes betina dewasa dan Otodectes jantan dewasa
Pretarsi tungau Sarcoptes dan Psoroptes dengan pedikel yang panjang,
Psoroptes memiliki pedikel bersegmen. Pretarsi tungau Otodectes dan
Chorioptes dengan pedikel yang pendek

7
7
7
8
8
9

9

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kucing lokal liar di lingkungan kampus Institut Pertanian Bogor (IPB)
Dramaga sering terlihat dalam keadaan tidak terawat dan menderita berbagai jenis
penyakit yang tidak diobati. Satu penyakit yang tampak pada kucing lokal liar ini
adalah mange (kudis) dengan gejala klinis seperti kebotakan rambut, gatal,
keropeng (pembentukan kerak) hingga perlukaan di kepala dan seluruh tubuh.
Kucing yang terinfeksi menunjukkan perilaku menggaruk bagian tubuh yang
terinfeksi sehingga muncul perlukaan yang bila dibiarkan dapat menyebabkan
kucing mengalami stres dan penurunan berat badan (Mange 2012). Keberadaan
kucing lokal tanpa pemilik di lingkungan sekitar kampus IPB Dramaga erat
dengan keberadaan kantin dan lokasi pembuangan sampah sebagai habitat kucing
liar. Tingginya aktivitas masyarakat dan jumlah kucing yang cukup banyak di
lokasi tersebut menyebabkan kontak antara kucing dan manusia umum terjadi.
Mange disebabkan oleh tungau yang hidup dengan membuat sarang di
epidermis. Berbagai tungau yang dikenal dapat menyebabkan mange pada hewan
domestik berasal dari famili Sarcoptidae dan Psoroptidae (Hadi 1991) diantaranya
Sarcoptes, Notoedres, Chorioptes, Psoroptes, dan Otodectes (Wall dan Shearer
1997). Office International des Epizooties (OIE) (2008) menyatakan
bahwa mange bersifat contagious yang dicirikan dengan dermatitis pruritus,
hiperkeratosis, dan alopecia. Kondisi-kondisi lain seperti dermatitis karena
penyebab selain tungau seperti lepuh dan nodul pada kulit sering dikelirukan
dengan mange sehingga harus dipertimbangkan diferensial diagnosanya termasuk
reaksi alergi, gigitan anthropoda, abrasi mekanis karena jamur, atau reaksi fisik
dan kimia akibat tanaman.
Mange dikategorikan sebagai penyakit zoonosa yang bisa ditularkan dari
hewan ke manusia. Manusia yang terinfestasi tungau ini akan mengalami
kegatalan dan kerusakan kulit hingga luka (Hadi 1991). Angka kejadian mange
akibat Sarcoptes pada manusia diperkirakan mencapai tiga ratus juta orang per
tahun (Arlian et al. 1989). Kecelj-leskovec dan Podrumac (1998) menyebutkan
bahwa telah terjadi lebih dari 1000 kasus scabies pada manusia di Slovenia dan
160 diantaranya adalah anak-anak. Di Indonesia, kasus Sarcoptic mange tercatat
pada 915 dari 1008 orang di Desa Sudimoro, Kecamatan Turen, Malang
(Wardhana et al. 2006). Ditambahkan Wardhana et al. (2006), berdasarkan data
yang dihimpun dari klinik Penyakit Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Palang
Merah Indonesia (RS PMI) Bogor, terdapat enam belas pasien scabies pada tahun
2000, delapan belas pasien di tahun 2001, tujuh pasien di tahun 2002, delapan
pasien di tahun 2003, dan lima pasien pada tahun 2004.
Penularan mange dari hewan ke manusia biasa terjadi pada orang yang
memiliki kontak dekat dengan hewan (Hadi dan Soviana 2010). Masyarakat di
lingkungan sekitar IPB Dramaga dapat tertular penyakit ini terkait keberadaan
kucing lokal liar penderita mange yang kontak secara langsung maupun tidak
langsung dengan manusia. Hal inilah yang mendorong dilakukannya penelitian ini
untuk mengetahui agen penyebab mange pada kucing lokal liar di lingkungan
kampus IPB Dramaga dan kaitannya dengan penularan mange ke manusia

2
sehingga meningkatkan awareness masyarakat tentang bahaya penyakit kulit yang
dapat ditularkan dari kucing lokal liar.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi jenis ektoparasit
khususnya tungau berdasarkan lesio yang tampak pada kucing lokal penderita
mange di lingkungan kampus IPB Dramaga.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi keragaman jenis
ektoparasit khususnya tungau yang menyebabkan mange pada kucing di
lingkungan kampus IPB Dramaga. Selain itu, diharapkan penelitian ini dapat
memberikan awareness pada masyarakat lingkungan kampus IPB Dramaga
tentang bahaya penyakit kulit yang dapat ditularkan dari kucing lokal liar.

TINJAUAN PUSTAKA
Tungau Mange
Tungau termasuk dalam filum Arthropoda yaitu hewan yang memiliki
eksoskeleton dan tungkai yang bersendi, dan termasuk kelas Arachnida yang tidak
memiliki antenna dan mandibula. Tungau termasuk ke dalam ordo Acarina yang
dicirikan dengan bagian mulut terletak terpisah dari bagian tubuh lain dalam
kapitulum dan segmentasi tubuh yang nyaris tidak ada atau hilang sama sekali
(Wall dan Shearer 1997). Terdapat 60 famili tungau yang hidup di dalam dan di
permukaan kulit serta rambut/bulu vertebrata berdarah panas terutama hewanhewan domestik seperti hewan ternak, hewan kesayangan, dan hewan
laboratorium. Sekitar 50 spesies tungau dari 16 famili dapat menyebabkan mange.
Gejala klinis mange pada kulit inang muncul 3–6 minggu setelah kontak dengan
carrier, berupa papula kecil kemerahan, lapisan kering berwarna kuning keabuan,
pruritus yang progresif dan terus-menerus, alopecia, dan hiperplasia epidermis
yang diikuti desquamasi. Diagnosis mange pada hewan domestik didasarkan pada
manifestasi klinis dan temuan tungau pada kerokan kulit inang (OIE 2008).
Tungau umumnya berukuran kecil, kurang dari 1 mm. Tubuhnya terdiri
atas dua bagian, yaitu anterior gnathosoma (kapitulum) dan posterior idiosoma.
Gnathosoma merupakan bagian berupa mulut sedangkan idiosoma terdiri atas
tungkai dan organ-organ lainnya. Tungkai terbagi menjadi enam segmen dan
melekat ke epimere. Koksa dilanjutkan dengan trokhanter, femur, genu, tibia, dan
tarsus. Diujung tarsus terdapat karankula (alat penghisap berbentuk genta) dengan
pedikel (tangkai) (Hadi dan Soviana 2010). Gambaran pembagian tubuh tungau
dapat dilihat pada Gambar 1.

3

Gambar 1 Pembagian tubuh tungau (Sumber : Krantz 1975).

Tungau betina menghasilkan telur yang kemudian menetas menjadi larva
dengan tiga pasang tungkai. Larva selanjutnya mengalami moulting (pergantian
kulit) menjadi nimfa yang memiliki empat pasang tungkai. Sebelum menjadi
dewasa, nimfa mengalami satu hingga tiga kali perubahan dari protonimfa,
deutonimfa, dan tritonimfa. Jumlah telur yang dapat dihasilkan tungau betina
sekali bertelur bervariasi dengan rataan enam belas telur per tungau betina (Wall
dan Shearer 1997).

Jenis tungau penyebab mange
a. Sarcoptes
Sarcoptes scabiei berbentuk bulat atau oval. Tungau betina berukuran
panjang 300–600 µm dan lebar 250–400 µm sedangkan tungau jantan berukuran
lebih kecil yaitu 200–300 µm dan lebar 100–200 µm (Taylor et al. 2007).
Pasangan tungkai pertama dan kedua memiliki karankula berbentuk lonceng.
Tungkai ketiga dan keempat pada betina memiliki ujung berupa setae yang
panjang dan tidak memiliki karankula (Wall dan Shearer 1997).
Transmisi awal tungau ini terjadi lewat kontak langsung dari hewan yang
terinfeksi ke hewan yang belum terinfeksi. Transmisi juga dapat terjadi tanpa
kontak langsung karena S. scabiei dapat bertahan hidup di lingkungan luar tubuh
inang (Pence dan Ueckermann 2002). Siklus hidup lengkap dari telur menjadi
tungau dewasa memakan waktu 10–19 hari (Gunandini 2006).
Kasus Sarcoptic mange telah dilaporkan terjadi pada 10 ordo, 27 famili,
dan 104 spesies mamalia (Pence dan Ueckermann 2002). Masalah klinis yang
disebabkan oleh S. scabiei umum ditemukan pada anjing, babi, domba, kambing
dan jarang ditemukan pada kucing dan kuda (Bowman et al. 2002). Lesio akibat
tungau ini berupa pruritus berat, hiperkeratosis, alopecia, dan inflamasi pada
epidermis, kulit berkerut, dan tidak berwarna. Pruritus berat menyebabkan hewan
menggaruk dan menggigit bagian tubuh yang terinfeksi dan menyebabkan luka
yang diikuti infeksi sekunder (Bornstein et al. 2001; Pence dan Ueckermann
2002). Bila infestasi tungau ini tinggi, lesio bahkan dapat menyebar ke seluruh
bagian tubuh (Wall dan Shearer 1997). Diagnosis untuk Sarcoptic mange

4
dilakukan melalui pengerokan kulit untuk menemukan tungau tersebut di
epidermis.
b. Notoedres
Notoedres cati berukuran lebih kecil dibandingkan S. scabiei dengan
panjang tubuh jantan 150 µm dan betina 225 µm. Bukaan anal terlihat dengan
jelas di dorsal abdominal dan bukan di posterior (Wall dan Shearer 1997).
Tungkai-tungkainya pendek dan gemuk. Tungkai pertama dan kedua berujung
dengan pedikel yang panjang dan karankula sedangkan tungkai ketiga dan
keempat berujung pada setae yang panjang dan berbentuk seperti cambuk. Sifat
dan perilaku hidup tungau ini sama dengan S. scabiei.
N. cati biasanya menginfeksi kucing dan memiliki range inang yang lebih
sempit dibanding S. scabiei. Bowman et al. (2002) menyatakan bahwa tungau ini
juga dapat ditemukan pada kelinci, tikus, dan kelelawar. N. cati dapat ditemukan
pada stratum corneum epidermis kulit inang, kadang di stratum germinativum,
bahkan di folikel rambut dan kelenjar sebaseous pada lapisan dermis (Pence et al.
1982). Perilaku N. cati yang menggali terowongan pada kulit merusak keratosit
dan memacu pelepasan sitokin (khususnya IL-1) sehingga mengakibatkan
inflamasi kulit. Kerak akan terbentuk, yang pada kasus berat menyebabkan kulit
menjadi keras, menebal, dan tampak terlipat–lipat. Lesio awal tampak pada bagian
ujung pinna telinga dan menyebar di seluruh telinga, wajah, kaki depan, dan kaki
belakang bahkan seluruh tubuh pada kucing muda (Bowman 1999).

c. Otodectes
Otodectes cynotis memiliki bentuk tubuh oval dengan ukuran tubuh lebih
kurang 450 µm (Colville 1991 dalam Kustiningsih 2000). Tungau ini tidak
memiliki pedikel yang bersegmen. Pada O. cynotis betina dewasa, tungkai I dan II
berujung pada karankula sedangkan tungkai III dan IV berujung pada setae yang
berbentuk cambuk. Pembukaan genitalnya terletak transversal. Pada O. cynotis
jantan, setiap tungkai memiliki pedikel tidak bersegmen dan karankula berbentuk
genta (Wall dan Shearer 1997).
Transmisi terjadi lewat kontak langsung dan dari inang betina menginfeksi
anaknya. O. cynotis hidup pada telinga eksternal inangnya, namun pada infestasi
berat juga dapat ditemukan pada ekor, punggung, dan kepala. Semua kucing dan
anjing kemungkinan terinfeksi tungau ini dalam populasi kecil dan jarang
menyebabkan masalah (Wall dan Shearer 1997).
O. cynotis tidak membentuk liang pada kulit, tapi menusuk terus menerus
yang menyebabkan iritasi berat. Infestasi pada inang biasanya terjadi bilateral.
Hewan yang terinfeksi memiliki deposit keabuan di dalam kanal telinga,
pembentukan kerak, dan gatal hebat yang menyebabkan hewan terinfeksi
menggaruk dan menggelengkan kepala sehingga menyebabkan pembentukan
haematoma. Diagnosis infestasi O. cynotis dapat dilakukan dengan pengambilan
debris telinga menggunakan cotton swab yang dilanjutkan dengan pengamatan di
bawah mikroskop (Bowman et al. 2002), serta melalui eksaminasi telinga yang
terinfeksi menggunakan otoscope (Soulsby 1982; Anonim 2012).

5
d. Psoroptes
Psoroptes sp. memiliki bentuk tubuh oval dan panjang dengan bagian
depan berbentuk kerucut. Psoroptes mempunyai pedikel yang panjang terhubung
dengan dengan karankula. Tungau betina berukuran besar dengan panjang badan
sekitar 750 µm. Tarsi I dan tarsi II berujung pada karankula sedangkan tarsi III
dengan ukuran tungkai yang sama berujung pada setae yang panjang (Wall dan
Shearer 1997).
Tungau ini memiliki spesifikasi inang yang tinggi. Spesies Psoroptes yang
hidup normal pada satu inang tidak akan menginfestasi inang lain dengan jenis
spesies berbeda. Psoroptes merupakan agen penyebab dermatitis pada sapi,
domba, kambing, dan kelinci (Lekimme et al. 2008). Psoroptes tidak menggali
terowongan di bawah kulit dan hanya hidup pada permukaan, dibawah keropeng,
serta di bawah akumulasi tumpukan kulit bersisik, telinga bagian luar, auditory
canal, dan memperoleh makanan dengan menusuk kulit (Bowman 1999). Gatal
yang hebat berujung pada terbentuknya pustula kecil yang selanjutnya pecah
sehingga serum yang dihasilkannya mengeras dan bercampur dengan darah dan
kotoran (Soulsby 1982).

METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Waktu penelitian berlangsung pada bulan Maret sampai September 2012.
Kucing yang digunakan dalam penelitian ini adalah kucing yang ditemukan di
dalam lingkungan kampus Institut Pertanian Bogor, diantaranya: kantin fakultas,
lokasi pembuangan sampah, dan kantin umum. Pemeriksaan spesimen ektoparasit
dilakukan di Laboratorium Entomologi Kesehatan, Bagian Parasitologi dan
Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan
Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Metode
Pengambilan Sampel Kerokan Kulit
Sampel kerokan kulit diambil dari tujuh kucing liar di lingkungan kampus
IPB Dramaga yang berdasarkan pengamatan memperlihatkan gejala mange
berupa pruritus, alopecia dan hiperkeratosis. Pengerokan kulit dilakukan
menggunakan scalpel dengan mengerok bagian lesio hingga lapisan epidermis
terkelupas. Pengerokan kulit dilakukan pada beberapa regio tubuh yaitu (I) kepala
dan leher, (II) bahu dan kaki depan, (III) punggung dan perut, (IV) paha, kaki
belakang, dan ekor. Kerokan kulit dari masing-masing regio kemudian
dimasukkan dalam vial terpisah berisi larutan KOH 10% dan diperiksa di bawah
mikroskop. Lesio kulit kucing yang telah dikerok kemudian diolesi alkohol dan
Betadine® sebagai antiseptik untuk mencegah infeksi sekunder. Kucing diberikan
ivermectin lewat subkutan sebagai anti tungau (miticide).

6
Pembuatan Slide Preparat Tungau
Semua temuan tungau dari kerokan kulit dipisahkan dan direndam dalam
larutan KOH 10% pada suhu kamar selama 4–7 hari agar kotoran yang menempel
pada tungau terbuang. Spesimen tungau kemudian dicuci sebanyak 3–4 kali
menggunakan air sampai air tidak berkabut. Satu hingga dua tetes larutan Hoyer
diteteskan pada object glass dan ditutup dengan cover glass setelah tungau di
fiksasi pada object glass. Preparat kemudian dipanaskan dalam slide warmer
selama 4–5 hari dalam temperatur 40–50°C.
Identifikasi Spesimen
Identifikasi dilakukan di bawah mikroskop dengan menggunakan kunci
identifikasi Wall dan Shearer (1997).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Jenis Ektoparasit yang Ditemukan pada Kucing dengan Gejala Klinis Mange
Pengerokan kulit dilakukan terhadap tujuh kucing (4 jantan dan 3 betina)
yang diketahui memiliki gejala klinis mange yaitu pruritus, alopecia, dan
hiperkeratosis (Pence dan Ueckermann 2002). Temuan agen berdasarkan lokasi
lesio terlihat pada Tabel 1. Jenis temuan yang diidentifikasi secara mikroskopis
dari kerokan kulit tujuh kucing tersebut diantaranya tungau, makrokonidia dan
hifa jamur, serta kutu. Tungau dan jamur umumnya diperoleh dari kerokan kulit
pada lesio yang terdapat di regio I (kepala dan telinga).
Tabel 1 Lokasi lesio dan temuan agen pada kucing lokal penderita mange
Identitas
Temuan lesio dan tungau
Temuan agen
Kucing
selain tungau
No
Jenis
Regio I
Regio II
Regio III
Regio IV
kelamin Lesio Agen Lesio Agen Lesio Agen Lesio Agen
1
Jantan
+

+





Makrokonidia jamur
3.5 kg
2
Betina
+
+ (13)




+

Hifa dan
2.5 kg
makrokonidia jamur
3
Betina
+








2.7 kg
4
Jantan
+
+ (6)







3.5 kg
5
Jantan
+

+

+



Makrokonidia jamur
4.3 kg
dan kutu (1)*
6
Jantan
+



+



Makrokonidia jamur
3.3 kg
7
Betina
+



+




3.5 kg
Keterangan: *Felicola subrostratus
Lesio +/– = terdapat/ tidak ada lesio; Agen +/– = ditemukan/ tidak ditemukan tungau
Regio I=kepala dan telinga; Regio II= bahu dan kaki depan;
Regio III=abdomen dan punggung; Regio IV= paha, kaki belakang, dan ekor

7
Temuan Tungau pada Kerokan Kulit Kucing
Dari tujuh kucing yang diperiksa kerokan kulitnya, dua kucing ditemukan
terinfestasi tungau. Temuan tungau positif pada kucing diperoleh pada kucing
No.2 (Gambar 2a) dan kucing No.4 (Gambar 2b). Berdasarkan hasil identifikasi
menggunakan kunci identifikasi Wall dan Shearer 1997, diperoleh total 19 tungau
Otodectes yang terdiri atas sepuluh betina dan tiga jantan (kucing No.2) serta lima
betina dan satu jantan (kucing No.4). Temuan Otodectes diperoleh dari kerokan
lesio yang terdapat pada regio telinga dan kepala. Hal ini dapat disebabkan karena
habitat alami tungau Otodectes adalah saluran eksternal telinga kucing sehingga
tungau dapat ditemukan di area telinga dan sekitarnya.
Kucing yang ditemukan dengan infestasi Otodectes memiliki eksudat
seperti lilin berwarna kecoklatan pada kanal telinganya (Gambar 3). Di area
sekitar telinga juga terjadi alopecia dan pembentukan kerak. Gejala ini merupakan
gejala klinis yang umum terjadi pada kasus Otodectic mange (Taylor et al. 2007).
Otodectes merupakan fauna normal yang umum ditemukan pada saluran telinga
eksternal kucing dan tidak akan menyebabkan infeksi bila populasi tungau masih
dapat ditoleransi oleh tubuh inang. Kucing dan anjing kemungkinan terinfeksi
tungau ini dalam populasi kecil dan jarang menyebabkan masalah namun pada
populasi berlebihan yang disertai dengan rendahnya kemampuan tubuh untuk
menolerir maka gejala klinis akan terlihat seperti iritasi (Wall dan Shearer 1997).
Kucing dapat terinfestasi Otodectes disertai agen lain misalnya jamur pada
kulitnya. Mixed infestation Otodectes dengan agen lain dijelaskan oleh Salib dan
Baraka (2011) bahwa infestasi Otodectes dapat bersifat mono–specific infestation
atau mixed infestation dengan Sarcoptes, Demodex, dermatofita, kutu, dan caplak.

a

b
Gambar 2 (a,b) Kucing positif terinfestasi Otodectes.

Gambar 3 Eksudat lilin berwarna kecoklatan pada kanal telinga.

8
Kucing No.1, 3, 5, 6, dan 7 tidak ditemukan adanya tungau pada kerokan
kulitnya. Sampel kucing No.5 (Gambar 4) adalah contoh kucing yang memiliki
gejala klinis mange namun temuan tungaunya negatif. Kucing ini mengalami
pruritus, alopecia, dan hiperkeratosis di area wajah, kepala, ekstremitas depan, dan
punggung. Pengamatan di bawah mikroskop menunjukkan temuan makrokonidia
jamur serta kutu Felicola subrostratus.
Lesio yang ditimbulkan oleh infestasi Felicola subsostratus (Gambar 5)
mirip dengan lesio yang ditimbulkan oleh infestasi tungau pada kulit. Infestasi
Felicola umumnya terjadi pada kucing dengan lesio seperti pruritus, keropeng,
alopecia, dan papula (Baker 2007; Paterson and Tobias 2012). Lesio yang timbul
akibat infestasi jamur pada kulit kucing juga memiliki kesamaan dengan lesio
akibat infestasi tungau. Gejala klinis berupa alopecia, gatal, dan keropeng kulit
pada kucing sulit untuk didiagnosa kausa pastinya. Terdapat berbagai kausa yang
menyebabkan timbulnya gejala klinis ini sehingga pengamatan secara fisik,
pengambilan sampel kulit dan rambut, serta pemeriksaan di bawah mikroskop
sangat dibutuhkan untuk diagnosis yang tepat.
Dari hasil identifikasi, tidak semua kucing yang memiliki gejala klinis
mange terinfestasi tungau. Hal ini dapat disebabkan oleh kausa agen lain seperti
jamur dan kutu. Jubb et al. (1993) menyatakan bahwa 2/3 anjing yang terinfestasi
mange tidak menunjukkan hasil kerokan kulit positif bahkan setelah pengerokan
dilakukan di berbagai lokasi tubuh yang mengalami lesio. Penebalan kulit,
terbuangnya tungau akibat garukan kucing, dan keadaan patologis lesio yang
sudah berangsur sembuh dapat menyebabkan tungau tidak ditemukan pada lesio.
Tungau sulit untuk dapat ditemukan terutama pada hewan yang lesionya belum
terlalu parah atau hewan yang telah terinfeksi dalam waktu lama (Hammet 1999
dalam Cholillurrahman 2012).

Gambar 4 Kucing terinfestasi jamur dan kutu, dengan temuan tungau negatif.

400 µm

Gambar 5 Kutu Felicola subsostratus.

9
Morfologi Tungau Otodectes sp.
Otodectes hanya memiliki satu spesies yaitu Otodectes cynotis yang
menginfestasi kucing, anjing, dan karnivora lain seperti musang dan rubah
(Soulsby 1982; Wall dan Shearer 1997; Bowman et al. 2002). Pengamatan di
bawah mikroskop menunjukkan anatomi Otodectes dengan ukuran panjang 250
µm sampai dengan 450 µm sesuai dengan Bowman et al. (2002) yang menyatakan
Otodectes memiliki ukuran tubuh 274 µm sampai 451 µm. Pretarsi terlihat pendek
dan pedikelnya tidak memiliki segmentasi dengan karankula yang berbentuk
seperti cangkir. Tungkai pertama dan kedua pada tungau betina dewasa berukuran
pendek, sedangkan tungkai ketiga dan keempat berujung pada setae yang
berbentuk seperti cambuk. Tungkai keempat memiliki ukuran yang sangat kecil
dan pembukaan genital terletak melintang (Gambar 6a dan 6b). Pada tungau
jantan dewasa, tungkai pertama, kedua, ketiga, dan keempat berbentuk kaki
pendek dengan pedikel dan karankula. Bowman (1999) menjelaskan perbedaan
bentuk anatomi pedikel dan karankula untuk membedakan tungau Sarcoptes,
Psoroptes, Chorioptes, dan Otodectes dalam Gambar 7a dan 7b.

b

a

Gambar 6 Otodectes jantan dewasa (6a) Otodectes betina dewasa (6b).

a
Gambar 7

b

c

d

Pedikel tungau Sarcoptes (7a) dan Psoroptes (7b) berukuran panjang, Psoroptes
memiliki pedikel bersegmen. Pedikel tungau Otodectes (7c) dan Chorioptes (7d)
berukuran pendek (Bowman 1999).

10
Patogenitas dan Infestasi Otodectes sp.
Berdasarkan pemeriksaan kerokan kulit, tungau Otodectes tidak hanya
ditemukan pada kanal telinga kucing tapi juga di permukaan kulit sekitar telinga,
area wajah, dan kepala. Ditemukannya tungau di luar kanal telinga eksternal yang
merupakan habitat umum Otodectes dapat terjadi. Tungau Otodectes dapat
ditemukan pada bagian lain tubuh seperti kaki, wajah, leher, ekor, dan tangan
(Kustiningsih 2000). Guaguere (1992) dalam Bowman et al. (2002) melaporkan
kasus dermatitis akibat tungau Otodectes dengan lesio di bagian leher dan
punggung. Perilaku kucing untuk mengusir parasit pada telinga dengan
menggunakan kaki depan dan belakang mengakibatkan bagian tubuh ini menjadi
rentan terhadap infestasi tungau. Perilaku kucing yang tidur melengkung juga
menyebabkan tungau ini dapat ditemukan pada bagian ekor (Jubb et al. 1993;
Akucewich et al. 2002).
Pengamatan yang dilakukan pada kucing sebelum dan setelah pengerokan
kulit menunjukkan perilaku menggaruk dan menggelengkan telinga terus
menerus. Perilaku ini disebabkan oleh rasa gatal yang ditimbulkan oleh Otodectes
dan bila dibiarkan akan menyebabkan terjadinya haematoma dan pendarahan.
Otodectes mange yang disertai infeksi bakteri sekunder dapat menyebabkan
purulent otitis eksterna (Taylor et al. 2007; Bayer 2012). Diperkirakan 85% kasus
otitis externa pada kucing disebabkan oleh infestasi tungau Otodectes disertai
infeksi sekunder (Bayer 2012). Jubb et al. (1993) menyatakan bahwa lima ekor
tungau Otodectes bahkan dapat menginisiasi otitis eksterna pada anjing, dengan
adanya infestasi bakeri dan jamur sekunder pada lesio yang ditimbulkan tungau.
Gejala klinis yang muncul menunjukkan seberapa parah reaksi alergi
akibat hipersensitifitas pada kucing yang terinfeksi akibat senyawa antigen yang
dihasilkan oleh tungau. Patogenesis lesio akibat infestasi tungau mange
disebabkan oleh efek iritasi yang dihasilkan oleh sekresi dan ekskreta, serta reaksi
alergi yang muncul akibat tubuh tungau maupun produk ekstraselulernya dan selftrauma akibat pruritus yang hebat (Jubb et al. 1993; Maazi et al. 2010). Hal ini
terkait dengan siklus hidup Otodectes yang tidak menggali terowongan ke dalam
kulit namun hanya memakan debris kulit (Soulsby 1982). Sementara Powell et al.
(1980) dalam Bowman et al. (2002) menyatakan bahwa tubuh kucing yang
diinfestasi Otodectes memproduksi antibodi IgE empat belas hari pasca infestasi
yang mengindikasikan bahwa Otodectes juga menusuk kulit untuk memperoleh
cairan atau darah dari inangnya. Saliva yang dihasilkan Otodectes menyebabkan
hipersensifitas pada tubuh inang dan memacu pruritus (Greene 2006 dalam Maazi
2010). Mosallanejad et al. (2011) menyatakan bahwa iritasi mekanis yang
disebabkan oleh infestasi tungau di dalam kanal telinga memicu peningkatan
aktivitas kelenjar serumen sehingga menjadi lingkungan predisposisi untuk infeksi
sekunder bakteri dan jamur.
Infestasi Otodectes dapat ditemukan pada kucing di berbagai rentang usia
dan paling umum ditemukan pada kucing muda (Salib dan Baraka 2011).
Kustiningsih (2000) menyatakan bahwa infestasi Otodectes pada kucing muda
(umur 1–12 bulan) pada Januari 1999 sampai dengan Desember 2000 di Rumah
Sakit Hewan Jakarta (RSHJ) mencapai 77.04% sedangkan pada kucing dewasa
hanya mencapai 22.96%. Kucing usia muda lebih rentan terhadap infestasi tungau

11
karena imunitas tubuh kucing berkembang seiring dengan pertambahan usia.
Kekebalan tubuh dan resistensi tubuh hewan muda yang belum pernah terpapar
tungau sebelumnya menyebabkan infestasi tungau dalam jumlah kecil dapat
menimbulkan iritasi (Sasikala et al. 2011). Infestasi tungau Otodectes pada kucing
lokal di sekitar kampus IPB ditemukan pada kucing berjenis kelamin jantan dan
betina. Infestasi Otodectes tidak dipengaruhi oleh perbedaan jenis kelamin
(Mosallanejad et al. 2011).

Penularan Otodectes sp. pada Manusia
Penularan Otodectes pada manusia dapat terjadi akibat kontak antara
hewan yang mengalami Otodectic mange dan manusia. Bowman et al. (2002)
melaporkan dua kasus infestasi Otodectes pada manusia yaitu pada bagian torso
dan ekstremitas seorang wanita di California setelah kontak dengan anjing cocker
spaniel yang sebelumnya telah terinfeksi, dan pada seorang wanita Belgia dengan
satu Otodectes jantan, satu Otodectes betina, dan empat larva ditemukan pada
keropeng yang terdapat di dalam gendang telinganya. Otodectes juga ditemukan
pada membran timpani telinga seorang wanita yang memelihara anjing dan kucing
secara indoor di Jepang dengan keluhan suara berdengung pada telinganya
(Suetake et al. 1991). Fakta bahwa Otodectes dapat ditularkan dari hewan ke
manusia mengindikasikan bahwa Otodectic mange adalah salah satu penyakit
zoonosa yang dapat menjadi masalah penting dalam kesehatan masyarakat.
Infestasi Otodectes pada manusia kemungkinan terjadi dalam banyak kasus
namun sangat jarang dilaporkan karena kausa yang tidak diketahui atau karena
diagnosa penyakit yang mirip dengan penyakit gatal akibat kausa lain pada
manusia.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Dari hasil identifikasi di bawah mikroskop yang dilakukan pada tujuh ekor
kucing penderita mange di sekitar lingkungan kampus IPB Dramaga ditemukan
dua dari tujuh kucing positif terinfestasi Otodectes sp. disamping temuan lain
berupa jamur dan kutu Felicola subsostratus.

Saran
Diperlukan penelitian lebih lanjut menggunakan sampel kerokan kulit dari
kucing dalam jumlah lebih banyak dan uji laboratorium lain untuk
mengidentifikasi agen seperti kutu dan jamur yang menyebabkan penyakit kulit
mirip mange pada kucing. Selain itu, diperlukan edukasi kepada masyarakat akan
pentingnya penyakit kulit menular dari hewan ke manusia untuk mencegah
penularannya ke manusia.

12

DAFTAR PUSTAKA
Acar A, Kurtdede A, Ural K, Cing CC, Karakurum MC, Yagci BB, Sari B. 2007.
An ectopic case of Psoroptes cuniculi infestation in a pet rabbit. Turk J Vet
Anim Sci. 31(6):423–425
Akucewich LH, Kendra P, Clark A, Gillespie J, Kunkle G, Nicklin CF, Greiner
CE. 2002. Prevalence of ectoparasites in a population of feral cats from north
central Florida during the summer. Vet Parasitol. 109(1&2):129–139
Arlian LG, Runyan RA, Achar S, Estes SA. 1984. Survival and infestivity of
Sarcoptes scabiei var. canis and var. hominis. J Am Ac Dermatol. 11:210–215.
Baker DG. 2007. Flynn’s Parasites of Laboratory Animals. Ed ke22. Oxford
(UK): Blackwell Publishing
Bayer. 2012. Ear mites [Internet]. [diunduh 2012 Des 13]. Tersedia pada
http://www.animalhealth.bayer.com/4906.0.html
Bornstein S, Morner T, Samuel WM. 2001. Sarcoptes scabiei and sarcoptic
mange. Parasitic Diseases of Wild Mammals. Samuel WM, Pybus MJ, editor.
Iowa (US): Iowa State University Pr.
Bowman DD, Hendrix CM, Lindsay DS, Barr SC. 2002. Feline Clinical
Parasitology. Iowa (US): Iowa State University Pr.
Bowman DD. 1999. Georgis’ Parasitology for Veterinarian. Ed ke–8. Missiori
(US): Saunders
Cholillurrahman. 2012. Studi kasus scabies anjing di Rumah Sakit Hewan Jakarta
(Januari 2005-Desember 2010) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor
Gunandini DJ. 2006. Tungau dalam Hama Pemukiman Indonesia Pengenalan,
Biologi dan Pengendalian. Sigit SH, Hadi UK, editor. Bogor (ID): Unit Kajian
Pengendalian Hama Pemukiman Institut Pertanian Bogor
Hadi UK, Soviana S. 2010. Ektoparasit: Pengenalan, Diagnosis, dan
Pengendaliannya. Bogor (ID): IPB Pr.
Hadi UK. 1991. Kudisan bisa berasal dari hewan. Poultry Indonesia No.132/TH
XII
Jubb KVF, Kennedy PC, Palmer N. 1993. Pathology of Domestic Animals. Ed ke–
4. London (GB): Academi Pr.
Kecelj–leskovec N, Podrumac B. 1998. Scabies in children. Act Dermatoven APA.
7:3184–3187.
Krantz GW. 1975. A manual of Acarology. Oregon (US): O.S.U Book Stores, Inc.
Kustiningsih, H. 2000. Studi kasus otitis akibat Otodectes cynotis pada kucing di
rumah sakit hewan Jakarta sejak Januari 1999 sampai dengan Desember 2000
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor
Lekimme M, Focant C, Farnir F, Mignon B, Losson B. 2008. Pathogenicity and
thermotolerance of entomopathogenic fungi for the control of the scab mite,
Psoroptes ovis. J Exp Appl Acarol. 46(1–4):95–104
Maazi N, Jamshidi S, Hadadzadeh HR. 2010. Ear mite infestation in four
imported dogs from Thailand. Iran J Arthropod-Borne Dis. 4(2):68–71
Mange. 2012. Mange [Internet]. [diunduh 2012 Des 10]. Tersedia pada
http://www.dogorcat.eu/Cats/Cats-Diseases/Mange.asp

13
Mosallanejad B, Alborzi AR, Katvandi. 2011. Prevalence and intensity of
Otodectes cynotis in client-owned cats in Ahvaz, Iran. Asian J Anim Vet Adv.
(1–6)
[OIE] Office International des Epizooties. 2012. Mange. OIE Terrestrial Manual
2008 Chapter 2.9.8:1255–1265 [Internet]. [diunduh 2012 Nov 12]. Tersedia
pada:
http://www.oie.int/fileadmin/Home/eng/Health_standards/tahm/2.09.0
_MANGE.pdf
Paterson S, Tobias KM. 2012. Atlas of Ear Diseases of the Dog and Cat. (US):
Wiley-Blackwell
Pence DB, Matthews FD, Windberg LA. 1982. Notoedric mange in the bobcat,
Felis rufus, from South Texas. J Wildl Dis. 18(1):47–50
Pence DB, Ueckermann E. 2002. Sarcoptic mange in wildlife. Rev sci tech Off Int
Epiz. 21:385–398
Salib FA, Baraka TA. 2011. Epidemiology, genetic divergence and acaricides of
Otodectes cynotis in cats and dogs. Vet World. 4(3):109–112
Sasikala V, Saravanan M, Ranjithkumar M, Sarma K, Vijayakaran K. 2011.
Management of ear mites in cats. Indian Pet J 11:(5–9)
Soulsby EJ. 1982. Helminths, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animal.
Ed ke-7. London (GB): Balliere Tindall
Suetake M, Yuasa R, Saijo S, Kakehata S, Katori Y, Koizumi A, Kamiya H, Inaba
T. 1991. Canine ear mite, Otodectes cynotis, found on both tympanic
membranes of an adult woman. Practica Oto Rhino-Laryngologica 8(6):(739–
742)
Taylor MA, Coop RL, Wall RL. 2007. Veterinary Parasitology. Oxford (GB):
Blackwell
Wall R, Shearer D. 1997. Veterinary Entomology: Arthropod Ectoparasites of
Veterinary Importance. London (GB): Chapman and Hall.
Wardhana AH, Manurung J, Iskandar T. 2006. Skabies: tantangan penyakit
zoonosis masa kini dan masa datang. Balai Penelitian Veteriner. [Internet].
[diunduh 2013 Mei 11]. Tersedia pada http://bbalitvet.litbang.deptan.go.id/
ind/attachments/247_16.pdf

14
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kota Sawahlunto, Sumatera Barat pada tanggal 01
Oktober 1991 dari Ayahanda Fachri Riva’i dan Ibunda Erma Soeki. Penulis
merupakan putri keempat dari empat bersaudara. Penulis menyelesaikan
pendidikan dasar di SDN 03 Aur Tajungkang Kota Sawahlunto, lalu melanjutkan
ke SMPN 1 Kota Sawahlunto dan lulus pada tahun 2006, setelah itu penulis
melanjutkan pendidikan ke SMAN 1 Kota Sawahlunto dan lulus pada tahun 2009
dan pada tahun yang sama melanjutkan ke Fakultas Kedokteran Hewan Institut
Pertanian Bogor melalui jalur SPMB/SNMPTN. Selama berada di bangku
perkuliahan penulis aktif di beberapa organisasi diantaranya Badan Eksekutif
Mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama (BEM TPB) Divisi Advokasi, Uni
Konservasi Fauna Divisi Karnivora, Himpunan Profesi (HIMPRO) Hewan
Kesayangan dan Satwa Akuatik Eksotik Divisi Hewan Kecil, serta Ikatan
Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia (IMAKAHI) Divisi Penyakit Zoonosis,
Penelitian, dan Pengabdian Mayarakat. Penulis juga pernah menjadi Asisten di
Laboratorium Histologi serta Laboratorium Bedah dan Radiologi Fakultas
Kedokteran Hewan Insitut Pertanian Bogor.