Study of Processing and Shelf Life Determination of Parboiled Rice in Plastic Film Packaging

(1)

   

KAJIAN PENGOLAHAN DAN PENDUGAAN UMUR SIMPAN

BERAS PRATANAK DALAM KEMASAN FILM PLASTIK

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2013


(2)

(3)

   

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Pengolahan dan Pendugaan Umur Simpan Beras Pratanak Dalam Kemasan Film Plastik adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2013

Syahirman Hakim


(4)

(5)

   

ABSTRACT

SYAHIRMAN HAKIM. Study of Processing and Shelf Life Determination of Parboiled Rice in Plastic Film Packaging. Under the direction of ROKHANI HASBULLAH and SUTRISNO

Parboiled rice has a high nutrient content and low glycemic index value, therefore, it is suitable to be consumed by people suffering diabetes mellitus. The purpose of this study was to study parboiled rice processing technique, examine its physico-chemical characteristics, and determine the shelf life of the parboiled rice during storage. The processing of parboiled rice is by soaking grain in 60 oC temperature for 6 hours, steaming at a temperature of 90 oC for 30 minutes, drying until the grain moisture content to 12-14%, milling and packaging. Determination of parboiled rice shelf life was done by using the critical moisture and Arrhenius methods in polypropylene (PP) and low density polyethylene (LDPE) plastics film packaging. The results showed that the treatment was able to increase the yield of milled parboiled rice, ash content, protein content and fat content, but it also decreased amylase and carbohydrate content. However, the physical quality of parboiled rice was still lower compared to that of the control based on head rice and broken rice contents. The shelf life of parboiled rice stored in LDPE and PP packaging by using the method of critical moisture at 84% RH and a temperature of 30% was 21.73 months and 26.43 months. Whereas the method of Arrhenius in LDPE and PP packaging based on the parameter of TBA (thiobarbituric acid) values at a temperature of 30oC was 10.55 and 13.13 months.


(6)

(7)

   

RINGKASAN

SYAHIRMAN HAKIM. Kajian Pengolahan dan Pendugaan Umur Simpan Beras Pratanak Dalam Kemasan Film Plastik. Dibimbing oleh ROKHANI HASBULLAH dan SUTRISNO

Beras pratanak adalah beras yang dihasilkan melalui proses pemberian air dan uap panas terhadap gabah sebelum gabah tersebut dikeringkan. Tujuan dari proses pratanak adalah mencegah kehilangan unsur-unsur gizi dan memperkecil kerusakan padi selama penggilingan. Beras pratanak mempunyai sifat fungsional memberikan dampak positif bagi kesehatan terutama karena nilai indek glikemiknya yang rendah. Beras pratanak memiliki nilai gizi yang tinggi di bandingkan dengan beras giling biasa sehingga diperlukan penyimpanan dan pengemasan yang sesuai agar mutu fisik, kimianya dan umur simpannya dapat dipertahankan lebih lama.

Tujuan penelitian ini adalah : 1). Mengkaji proses, karakteristik fisik dan kimia beras pratanak, 2). Menentukan umur simpan beras pratanak.

Penelitian ini dilakukan dalam 3 tahap. Tahap pertama adalah pengolahan beras pratanak yaitu melalui perendaman dalam air pada suhu 60oC selama 6 jam, pengukusan pada suhu 90oC selama 30 menit, pengeringan dengan sinar matahari sampai kadar air gabah mencapai 12-14%, penggilingan dan pengemasan. Tahap kedua adalah pendugaan umur simpan beras pratanak berdasarkan kadar air kritis dengan penentuan kadar air awal, kadar air kritis, kadar air kesetimbangan, slope kadar air kesetimbangan, permeabilitas kemasan, luas kemasan, berat padatan per kemasan dan tekanan uap air jenuh pada suhu 30oC. Tahap ke tiga adalah pendugaan umur simpan dengan metode Arrhenius berdasarkan bilangan TBA

(thiobarbituric acid).

Hasil penelitian menunjukan bahwa proses secara pratanak mampu meningkatkan rendemen dari 71.60% sampai 72.58%, namun mutu fisik beras pratanak masih lebih rendah dibandingkan kontrol dilihat dari butir kepala 70.20% dan 84.76%, butir patah 25.96% dan 10.94%. Proses secara pratanak mampu meningkatkan nilai gizi dilihat dari kadar abu 0.81%bk lebih tinggi dibanding kontol 0.60%bk, kadar lemak 0.69%bk lebih tinggi dibanding kontrol 0.42%bk, kadar protein 11.39%bk lebih tinggi dibanding kontrol 10.35%bk, namun kadar amilosa 12.70%bb lebih rendah dibanding kontrol 14.08%bb, karbohidrat 87.11%bk lebih rendah dibanding kontrol 88.63%bk.

Berdasarkan hasil penelitian, kadar air kesetimbangan beras pratanak pada RH 7% sampai RH 84% berturut-turut adalah 6.52%bk, 9.03%bk, 11.29%bk, 13.31%bk, 16.06%bk, 19.64%bk dan 22.76%bk. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi RH penyimpanan maka kadar air kesetimbangan beras pratanak akan semakin meningkat. Berdasarkan hasil perhitungan MRD (Mean Relative Determination) model persamaan yang terpilih untuk pendugaan umur simpan berdasarkan metode kadar air kritis adalah model Hasley dan Chen-Clayton dengan nilai 1.94. Kadar air awal sebesar 14.04%bk, kadar air kritis beras pratanak sebesar 19.91%bk, kadar air kesetimbangan pada RH 84% sebesar 22.76 %bk, slope (b) kurva sorpsi isotermis beras pratanak adalah 0.20, luas permukaan kemasan plastikLDPE (Low Density Polyethylene) dan PP (Polypropilene) adalah 0.012 m2, tekanan uap air jenuh pada suhu penyimpanan 30oC adalah 31.82


(8)

   

menggunakan metode sorpsi isotermis pada RH 84% dan suhu 30 C adalah 21.73 bulan dan 26.43 bulan.

Pendugaan umur simpan menggunakan persamaan Arrhenius berdasarkan parameter mutu kritis peningkatan nilai TBA (thiobarbituric acid). Hasil penelitian menunjukan bahwa, nilai TBA awal beras pratanak adalah 0.01 mg malonaldehid/kg. Nilai TBA kritis berdasarkan uji organoleptik dalam kemasan PP dan LDPE pada suhu 50oC panelis sudah mulai menolak aroma beras pratanak pada hari ke 21 dengan nilai TBA 0.12 mg malonaldehid/kg dan 0.11 mg malonaldehid/kg. Umur simpan beras pratanak dengan metode Arrhenius dalam kemasan LDPE dan PP berdasarkan parameter nilai TBA pada suhu 30oC adalah 10.55 bulan dan 13.31 bulan.


(9)

   

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2013

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(10)

(11)

   

KAJIAN PENGOLAHAN DAN PENDUGAAN UMUR SIMPAN

BERAS PRATANAK DALAM KEMASAN FILM PLASTIK

SYAHIRMAN HAKIM

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada


(12)

   


(13)

   

Dalam Kemasan Film Plastik Nama : Syahirman Hakim NRP : F153100061

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Rokhani Hasbullah, M.Si Dr. Ir. Sutrisno, M.Agr Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Teknologi Pascapanen

Dr. Ir. Sutrisno, M.Agr Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr


(14)

(15)

   

PRAKATA

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan ke Hadirat Allah SWT Yang Maha Kuasa, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Atas rahmat, karunia dan hidayah-Nya penulis akhirnya dapat menyelesaikan tugas akhir dengan judul Kajian Pengolahan dan Pendugaan Umur Simpan Beras Pratanak dalam Kemasan Film Plastik.

Penyelesaian tugas akhir ini tidak luput dari dukungan, bantuan dan doa dari semua pihak. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan penghargaan dan terima kasih kepada bapak Dr. Ir. Rokhani Hasbullah, M.Si dan Bapak Dr. Ir. Sutrisno, M.Agr selaku pembimbing yang telah memberikan saran, arahan dan bimbingan kepada penulis mulai dari penyusunan proposal sampai sampai pada akhir penulisan karya ilmian ini. Bapak Dr. Ir. Usman Ahmad, M.Agr., selaku penguji luar komisi dalam ujian tesis yang telah memberikan masukan dan saran dalam rangka perbaikan akhir karya ilmiah ini. Staf pada Departemen Teknik Mesin dan Biosistem (Bapak Ahmad Mulyatulloh dan Ibu Siti Rusmiyati).

Ungkapan terima kasih tak terhingga juga penulis sampaikan untuk ayah, ibu, kakak Syasmaliana, adik Syafrida dan Sri Aida Fitri atas segala doa, motivasi, nasehat dan kasih sayangnya. Teman-teman seperjuangan TPP 2010 (Kak Tajul, Mbak Elmi, Teh Susi, Mbak Sandra, Cicih, Ani, Putri dan Fajri) atas kebersamaan, motivasi dan cerita yang terukir. Teman-teman seperjuangan dan Seperantauan ASRAMA LUT TAWAR (Bg Iqmal Gopi, Bg Agustia Feriandi, Bg Zuhri, Pun Eka, Sastra, Notok, Fadli Ranggayo, Saddam) atas kebersamaan, nasehat dan motivasi yang selalu diberikan. Bang Zulfikar atas dorongan semangat dan kebersamaannya selama ini. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan namanya satu per satu, yang telah banyak berjasa dalam kelancaran pelaksanaan penelitian ini.

Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini jauh dari sempurna, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi penyempurnaan penelitian berikutnya. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

Bogor, Juni 2013


(16)

(17)

   

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bintang, kebupaten Aceh Tengah pada tanggal 7 Oktober 1985 dari ayah Syamsuddin, S.Pd dan ibu Herlina, A.md. penulis merupakan putra pertama dari empat bersaudara.

Penulis menempuh pendidikan sekolah dasar di SD Negeri 1 Bintang Kabupaten Aceh Tengah (1991-1998), sekolah lanjutan tingkat pertama di SLTP Negeri 1 Bintang Kabupaten Aceh Tengah (1998-2001) dan sekolah menengah umum di SLTA negeri 1 Takengon Kabupaten Aceh Tengah (2001-2004).

Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala, lulus pada tahun 2009. Tahun 2010 Allah SWT memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan S2 pada Departemen Teknik mesin dan Biosistem Mayor Teknologi Pascapanen di Institut Pertanian Bogor.


(18)

(19)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

PENDAHULUAN ... 1 

Latar Belakang ... 1 

Hipotesi ... 2 

Tujuan Penelitian ... 2 

TINJAUAN PUSTAKA ... 3

Struktur Gabah ... 3 

Varietas Gabah ... 5 

Sifat Fisik dan Kimia Beras ... 6

Pengemasan Beras ... 8

Beras Pratanak ... 9

Indeks Glikemik ... 12

Sorpsi Isotermis ... 15

Umur Simpan ... 21

METODE PENELITIAN ... 25 

Lokasi dan Waktu Penelitian ... 25 

Bahan dan Alat ... 25 

Metodologi Penelitian ... 26

Metode Analisis Fisik dan Kimia Beras Pratanak ... 34 

Pengukuran Sifat Fisik Kemasan ... 37 

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 39 

Karakteristik Fisik dan Kimia Beras Pratanak ... 39 

Karakteristik Fisik ... 39

Karakteristik Kimia ... 42

Pendugaan Umur Simpan Metode Kadar Air Kritis ... 46 

Kadar Air Awal (Mi) dan Kadar Air kritis (Mc) ... 47

Kadar Air Kesetimbangan (Me) Beras Pratanak ... 47 

Pola Kurva Sorpsi Isotermis ... 51 

Model Persamaan Sorpsi Isotermis dan Uji Ketepatan Model ... 51 

Nilai Slope (b) Kurva sorpsi isotermis Beras Pratanak ... 56 

Variabel Pendukung Pendugaan Umur Simpan ... 57

Umur Simpan Beras Pratanak ... 59 

Penentuan Umur Simpan Metode Arrhenius ... 61


(20)

Simpulan ... 67 

Saran ... 67 

DAFTAR PUSTAKA ... 68 


(21)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Diskripsi varietas padi Ciherang ... 6

2 Komposisi gizi beras giling dan nasi dari beras giling (dalam 100 gram bahan) ... 7

3 Permeabilitas terhadap gas dan uap air serta transmisi beberapa jenis film plastik ... 8

4 Kandungan zat gizi beras dari berbagai cara pengolahan ... 11

5 Kategori pangan menurut indeks glikemik ... 13

6 Model-model persamaan sorpsi isotermis bahan pangan ... 18

7 Hubungan aktivitas air (aw) dan mutu makanan yang dikemas ... 20

8 Kriteria kadaluarsa beberapa produk pangan ... 22

9 Nilai RH dan aw dari larutan garam jenuh yang digunakan (suhu 30oC) ... 29

10 Linierirasi model-model sorpsi isotermis ... 30

11 Mutu giling beras pratanak ... 41

12 Kandungan gizi beras pratanak ... 42

13 Nilai RH dan aw dari larutan garam jenuh yang digunakan (suhu 30oC) ... 48

14 Kadar air kesetimbangan (Me) beras pratanak dan waktu tercapainya pada beberapa RH penyimpanan ... 49

15 Persamaan kurva sorpsi isotermis beras pratanak ... 52

16 Kadar air kesetimbangan beras pratanak dari model-model persamaan ... 53

17 Hasil perhitungan nilai MRD model-model persamaan ... 55

18 Penentuan permeabilitas (k/x) kemasan ... 58

19 Penentuan luas kemasan (gr) dan berat padatan per kemasan (m2) ... 59

20 Perhitungan umur simpan beras pratanak dalam kemasan PP ... 60

21 Perhutungan umur simpan beras pratanak dalam kemasan LDPE ... 60

22 Persamaan regresi linier pada grafik hubungan antara peningkatan nilai TBA dan lama penyimpanan ... 63

23 Persamaan regresi linier dan persamaan arrhenius pada grafik hubungan 1/T dengan Ln K nilai TBA beras pratanak ... 64


(22)

(23)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Anatomi gabah ... 4 2 Tipe-tipe kurva sorpsi isotermis ... 16 3 Kurva sorpsi isotermis pada bahan pangan secara umum ... 17 4 Unit pengolahan beras pratanak : Drum perendaman (a), tangki

pengukusan dan steam boiler (b) ... 25 5 Alat bantu penelitian : grain moisture tester (a), timbangan analitik (b),

inkubator (c), chamber modifikasi toples (c) ... 26 6 Diagram alir proses pembuatan beras pratanak ... 27 7 Diagram alir penentuan umur simpan beras pratanak berdasarkan kadar

air kritis ... 28 8 Rendemen penggilingan beras pratanak ... 39 9 Nilai derajat keputihan (whiteness meter) beras pratanak ... 40 10 Pertumbuhan kapang pada RH 97% ... 50 11 Grafik hubungan kelembaban relatif (RH) dengan kadar air

kesetimbangan beras pratanak ... 51 12 Kurva sorpsi isotermis model Hasley ... 53 13 Kurva sorpsi isotermis model Chen-Clayton ... 53 14 Kurva sorpsi isotermis model Henderson ... 54 15 Kurva sorpsi isotermis model Caurie ... 54 16 Kurva sorpsi isotermis model Oswin ... 54 17 Kemiringan (slope) kurva sorpsi isotermis pada beras pratanak ... 57 18 Grafik peningkatan nilai TBA beras pratanak dalam plastik LDPE

selama penyimpanan pada suhu 40, 45 dan 50oC ... 62 19 Grafik peningkatan nilai TBA beras pratanak dalam plastik PP selama

penyimpanan pada suhu 40, 45 dan 50oC ... 62 20 Hubungan 1/T dengan nilaim ln K beras pratanak pada kemasan LDPE ... 63 21 Hubungan 1/T dengan nilaim ln K beras pratanak pada kemasan PP ... 64


(24)

(25)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Form isian organoleptik terhadap pengolahan beras pratanak ... 73 2 Data rendemen giling beras pratanak ... 74 3 Data pengukuran kadar air (%bk) beras pratanak ... 74 4 Data pengukuran kadar abu (%bk) beras pratanak ... 74 5 Data pengukuran kadar protein (%bk) beras pratanak ... 74 6 Data pengukuran kadar lemak (%bk) beras pratanak ... 74 7 Data pengukuran kadar karbohidrat (%bk) beras pratanak ... 75 8 Data pengukuran kadar amilosa (%bb) beras pratanak ... 75 9 Data derajat keputihan beras pratanak selama penyimpanan ... 75 10 Analisis sidik ragam mutu giling beras pratanak ... 75 11 Analisis sidik ragam nilai gizi beras pratanak ... 76 12 Kadar air kritis (%bk) pada RH 97% selama penyimpanan ... 77 13 Modifikasi model-model sorpsi isotermis dari persamaan non linier

menjadi persamaan linier ... 77 14 Contoh perhitungan mencari konstanta dan nilai MRD model

persamaan sorpsi isotermis ... 79 15 Penetuan nilai MRD model-model persamaan sorpsi isotermis ... 80 16 Kadar air kesetimbangan beras pratanak berdasarkan model-model

persamaan ... 85 17 Derajat keputihan beras pratanak dalam kemasan PP dan LDPE selama

penyimpanan ... 85 18 Skor uji organoleptik berdasarkan metode Arrhenius  ... 85  19 Peningkatan nilai TBA beras pratanak dalam kemasan PP ... 86 20 Peningkatan nilai TBA beras pratanak dalam kemasan LDPE ... 87 21 Tabel uap air (Labuza, 1982) ... 88 22 Dokumentasi proses pengolahan beras pratanak ... 89 23 Dokumentasi penyimpanan beras pratanak pada suhu 40, 45 dan 50oC ... 89


(26)

(27)

1   

   

PENDAHULUAN  

A. Latar Belakang

Beras merupakan pangan utama yang dikonsumsi oleh hampir setengah populasi dunia. Masyarakat Indonesia menjadikan beras sebagai bahan pangan pokok sehari-hari. Beras dijadikan sebagai sumber karbohidrat utama hampir diseluruh daerah di Indonesia karena rasanya yang enak dan dapat dikombinasikan dengan bahan pangan lain. Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk indonesia serta tingkat pendidikan yang semakin tinggi, permintaan terhadap beras yang berkualitas pun semakin meningkat. Namun beras sering dihindari oleh penderita diabetes melitus (DM) karena anggapan bahwa mengonsumsi nasi dapat meningkatkan kadar glukosa darah dengan cepat. Prevalensi penyakit degeneratif akhir-akhir ini cenderung meningkat secara nyata. Salah satu penyakit degeneratif yang prevalensinya terus meningkat adalah diabetes mellitus.

Menurut survei dari WHO yang dikutip oleh Dep. Kes (2005) menunjukkan bahwa Indonesia menempati urutan ke-4 dengan jumlah penderita diabetes terbesar di dunia setelah India, Cina dan Amerika Serikat. Prevalensi diabetes di Indonesia sebesar 8.60% dari total penduduk, sehingga pada tahun 2025 diperkirakan penderita DM mencapai 12.40 juta jiwa. Jumlah tersebut setara dengan tiga kali kejadian pada tahun 1995, yaitu 4.50 juta penderita (Dep. Kes, 2005). Pencegahan DM dapat dilakukan secara primer maupun sekunder. Pencegahan primer adalah pencegahan terjadinya DM pada individu yang beresiko melalui modifikasi gaya hidup (pola makan dan penenurunan berat badan) dengan dukungan program edukasi berkesinambungan. Pencegahan sekunder dilakukan melaluli pengobatan dan pemeriksaan.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut diperlukan teknologi pengolahan beras yang dapat menghasilkan beras pulen ber-IG (indek glikemik) rendah. Menurut Foster-Powell et al. (2002), beras pratanak (parboiled rice) mempunyai IG yang lebih rendah dibandingkan dengan beras giling. Beras pratanak adalah beras yang dihasilkan melalui proses pemberian air dan uap panas terhadap gabah,


(28)

sebelum gabah tersebut di keringkan dan digiling (Haryadi, 2006). Tujuan dari proses pratanak adalah mencegah kehilangan unsur-unsur gizi dan memperkecil kerusakan gabah selama penggilingan. Beras pratanak mempunyai sifat fungsional memberikan dampak positif bagi kesehatan terutama karena nilai indek glikemiknya yang rendah.

Walaupun beras pratanak memiliki kelebihan dalam hal nilai gizi dan nilai indek glikemik rendah, akan tetapi apabila tidak dilakukan pengemasan dan penyimpanan yang sesuai maka dapat mempengaruhi mutu fisik dan kimia beras pratanak tersebut selama penyimpanan. Pengemasan merupakan tindakan untuk mempertahankan beras pratanak agar tetap dalam keadaan baik dalam jangka waktu tertentu. Kesalahan dalam melakukan pengemasan dapat mengakibatkan terjadinya penurunan mutu beras pratanak dalam penyimpanan. Untuk menghindari hal tersebut maka penyimpanan dengan menggunakan kemasan yang mempunyai permeabelitas uap air yang rendah dapat mempertahankan kadar air beras selama penyimpanan sehingga nilai gizi dan umur simpanya dapat dipertahankan lebih lama. Hal inilah yang menjadi dasar penelitian proses pengolahan dan penentuan umur simpan beras pratanak sehingga dapat diketahui batas simpannya yang masih layak disajikan ke konsumen. Menurut Arpah (2007), umur simpan secara umum mengandung pengertian rentang waktu antara saat produk mulai dikemas atau diproduksi dengan saat mulai digunakan dengan mutu produk masih memenuhu syarat untuk dikonsumsi.

B. Hipotesis

1. Proses pratanak dapat meningkatkan rendemen, mutu fisik dan kimia beras pratanak

2. Perbedaan jenis pengemas dapat mempengaruhi umur simpan beras pratanak

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengkaji proses pengolahan, karakteristik fisik dan kimia beras pratanak 2. Menentukan masa simpan beras pratanak


(29)

3   

   

TINJAUAN PUSTAKA  

A. Struktur Gabah

Padi adalah biji-bijian (serealia) dari famili rumput-rumputan (gramine) yang kaya akan karbohidrat sehingga menjadi makanan pokok manusia, pakan ternak dan industri yang mempergunakan karbohidrat sebagai bahan baku. Terdapat juga jenis biji-bijian yang mengandung minyak, jagung merupakan jenis biji-bijian yang mengandung minyak untuk bahan baku industri minyak nabati. Biji-bijian yang tergolong dalam serealia antara lain padi (Oryza sativa), jagung (Zea mays), gandum (Triticum sp), cantel (Sorghum sp), dan yang jarang dijumpai di Indonesia adalah barley (Horgeum vulgare), rey (Secale cereale), oat (Avena sativa). Satu sama lain mempunyai struktur kimia yang sangat mirip (Muchtadi, 1992).

Padi adalah salah satu tanaman penting dalam kehidupan manusia. Klasifikasi tanaman padi adalah sebagai berikut:

Kingdom : Platae (tumbuhan)

Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh) Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji) Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga) Kelas : Liliopsida (berkeping satu / monokotil) Sub Kelas : Commelinidae

Ordo : Poales

Famili : Poaceae (suku rumput-rumputan) Genus : Oryza

Spesies : Oryza sativa L

Hasil panen padi dari sawah disebut gabah. Gabah tersusun dari 15-30% kulit luar (sekam), 4-5% kulit ari, 12-14% katul, 65-67% endosperm dan 2-3% lembaga. Secara umum biji-bijian serealia terdiri dari tiga bagian besar yaitu kulit biji, butir biji (endosperm) dan lembaga (embrio). Kulit biji padi disebut sekam, sedangkan butir biji dan embrio dinamakan butir beras. Secara berurutan, lapisan terluar disebut perikarp, kemudian lapisan aleuron dan bagian yang dalam adalah endosperm. Beras sendiri secara biologi adalah bagian biji padi yang terdiri dari:


(30)

a. Aleuron : lapis terluar yang sering kali ikut terbuang dalam proses pemisahan kulit.

b. Endospermia : tempat sebagian besar pati dan protein beras berada.

c. Embrio : merupakan calon tanaman baru (dalam beras tidak dapat tumbuh lagi, kecuali dengan bantuan teknik kultur jaringan). Dalam bahasa sehari-hari, embrio disebut sebagai mata beras(Muchtadi, 1992).

Lapisan aleuron merupakan lapisan yang menyelubungi endosperm dan lembaga. Lapisan aleuron terdiri dari 1-7 lapisan sel. Tiap jenis padi mempunyai variasi ketebalan. Beras yang berbentuk bulat cenderung mempunyai lapisan aleuron yang lebih tebal dari pada beras yang lonjong. Lapisan aleuron terdiri dari sel-sel parenkim dengan dinding tipis setebal 2 mm. Dinding sel aleuron bereaksi positif dan terdapat zat pewarna untuk protein, hemiselulosa dan selulosa. Dalam sitoplasma, aleuron berisi aluerin (butiran aleuron). Untuk lebih jelasnya dapat terlihat pada Gambar dibawah ini (Muchtadi, 1992).

Gambar 1. Anatomi Gabah

Pada umumnya bentuk beras adalah lonjong, akan tetapi terdapat pula yang berbentuk agak bulat. Sedangkan berdasarkan bentuknya (perbandingan antara panjang dan lebar), beras dapat dibagi menjadi empat tipe, yaitu : lonjong (lebih

Aleuron

Endosperma

Lembaga

Kulit luar


(31)

5   

   

dari 3), sedang (4.0-3.0), agak bulat (2.0-2.39) dan bulat (< 2). Dalam standarisasi mutu, dikenal empat tipe ukuran beras, yaitu sangat panjang (lebih dari 7 mm), panjang (6-7 mm), sedang (5.0-5.9 mm), dan pendek (kurang dari 5 mm). Menurut Potter (1973), panjang beras antara 5-10 mm, lebar beras antara 1.5-5 mm, berat beras 27 mg/biji, dan densitas kamba 575-600 kg/m3. Tinggi rendahnya mutu beras tergantung kepada beberapa faktor, yaitu spesies, varietas, kondisi lingkungan, waktu pertumbuhan, waktu pemanenan, metode pengeringan dan cara penyimpanan (Muchtadi, 1992).

B. Varietas Gabah

Tanaman padi adalah tanaman yang mempunyai varietas sampai ribuan jumlahnya, lebih dari 90% tumbuh di wilayah Asia Selatan dan Asia Timur, tersebar di negara-negara beriklim tropis. Dari kelompok spesies padi yang telah dibudidayakan terdapat kelompok utama yaitu Oryza sativa yang berasal dari Asia dan Oryza globerima yang berasal dari Afrika Barat.

Tanaman padi (Oryza sativa) diduga berasal dari Asia, terdapat sekitar 20.000 varietas padi di dunia. Tanaman padi tradisional di Asia yang beriklim tropis bersifat tinggi dan lemah, dengan daun-daun yang melengkung ke bawah dan masa dormansinya lama (Juliano dan Haryadi, 2008). Varietas tanaman padi adalah golongan tanaman satu dengan yang lainnya memiliki sifat-sifat yang sama. Varietas unggul adalah varietas padi yang mempunyai sifat-sifat yang lebih daripada sifat yang dimiliki varietas padi lainnya. Seperti daya hasil yang tinggi, umur lebih pendek dan tahan terhadap hama dan penyakit.

Varietas-varietas padi yang ditanam di Indonesia termasuk dalam subspesies indica. Rasio panjang lebar paling rendah 2 ditunjukan oleh PB 36 dengan panjang butiran sekitar 6.40 mm, sedangkan rasio panjang lebar yang tinggi ditunjukan oleh varietas rojolele dan semeru sebesar 2.9 dengan panjang butiran 6.50-7.50 mm (Patiwiri, 2006). Terdapat berbagai macam varietas padi yang dibudidayakan di Indonesia, salah satunya adalah varietas Ciherang. Deskripsi varietas tersebut seperti yang ditunjukan pada Tabel 1.


(32)

Tabel 1 Diskripsi varietas padi Ciherang Nomor seleksi : S3383-1D-PN-41-3-1

Asal persilangan : IR18349-53-1-3-1-3/3*IR19661-131-3-1-3//4*IR64

Golongan : Cere

Umur tanaman : 116-125 hari Bnetuk tananam : Tegak Tinggi tananam : 107-115 cm Anakan produktif : 14-17 batang Warna kaki : Hijau

Warna batang : Hijau

Warna telinga daun : Tidak berwarna Warna lidah daun : Tidak berwarna Warna daun : Hijau

Muka daun : Kasar pada sebelah bawah Posisi daun : Tegak

Daun bendera : Tegak

Bentuk gabah : Panjang ramping Warna gabah : Kuning bersih

Kerontokan : Sedang

Kerebahan : Sedang

Teksur nasi : Pulen Kadar amilosa : 23% Indeks Glikemik : 54 Bobot 1000 butir : 28 g Rata-rata hasil : 6.0 t/ha Potensi hasil : 8.50 t/ha Ketahanan terhadap

hama penyakit : Tahan terhadap wereng coklat biotipe 2 dan agak Tahan biotipe 3

Tahan terhadap hawar daun bakteri strain III dan IV

Anjuran tanam : Baik ditanam di lahan sawah irigasi dataran rendah sampai 500 m dpl

Pemulia : Tarzat T, Z. A. Simanullang, E. Sumadi dan Aan A. Daradjat

Dilepas tahun : 2000

Sumber: Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (2009)

C. Sifat Fisik dan Kimia Beras

Sifat fisikokimia beras yang berkaitan dengan mutu beras adalah sifat yang berkaitan dengan perubahan karena pemanasan dengan air, yaitu suhu gelatinisasi


(33)

7   

   

pati, pengembangan volume, penyerapan air, viskositas pasta dan konsistensi gel pati (Haryadi, 2006). Menurut Winarno (1992) suhu gelatinisasi adalah suhu pada saat granula pati pecah dengan penambahan air panas. Beras dapat digolongkan menjadi tiga kelompok menurut suhu galatinisasinya, yaitu suhu rendah (55-69oC) sedang (70-74oC) dan tinggi (>74oC). Suhu gelatinisasi berpengaruh terhadap lama pemasakan. Beras yang mempunyai suhu galatinisasi tinggi membutuhkan waktu pemasakan lebih lama daripada beras yang mempunyai suhu galatinisasi rendah.

Beras merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi masyarakat Indonesia. Beras sebagai bahan makanan mengandung nilai gizi cukup tinggi yaitu kandungan karbohidrat sebesar 360 kalori, protein sebesar 6.8 gram dan kandungan mineral seperti kalsium dan zat besi masing-masing 6 dan 0.8 mg (Astawan, 2004).

Komposisi kimia beras berbeda-beda bergantung pada varietas dan cara pengolahannya. Selain sebagai sumber energi dan protein, beras juga mengandung berbagai unsur mineral dan vitamin (Lihat Tabel 2). Sebagian besar karbohidrat beras adalah pati (85-90%) dan sebagian kecil adalah pentosa, selulosa, hemiselulosa, dan gula. Dengan demikian, sifat fisikokimia beras ditentukan oleh sifat-sifat fisikokimia patinya (Astawan, 2004).

Tabel 2 Komposisi Gizi Beras Giling dan Nasi dari Beras Giling (dalam 100 gr bahan)

Komposisi Gizi Beras Giling Nasi

Energi (Kal) 360 178

Protein (gr) 6.80 2.10

Lemak (gr) 0.70 0.10

Karbohidrat (gr) 78.90 40.60

Kalsium (mg) 6.00 5.00

Fosfor (mg) 140 22

Besi (mg) 0.80 0.50

Vitamin B1 (mg) 0.12 0.02

Air (gr) 13 57


(34)

D. Pengemasan Beras

Plastik adalah bahan kemasan yang penting didalam industri pangan, kemasan plastik paling banyak digunakan karena harganya yang relatif murah, lebih ringan daripada kemasan metal dan gelas, memerlukan lebih sedikit energi dalam pembuatan, konversi dan pendistribusiannya. Selain sebagai pembungkus, kemasan plastik dapat diperindah penampilan produk dan dapat menampung cairan. Kemasan plastik dapat digunakan sebagai media promosi, karena dapat disablon dan di print, bahkan dapat ditambahkan pewarna kedalam biji plastik sebagai bahan dasar pembuatan plastik. Sebagai bahan pembungkus plastik dapat digunakan dalam bentuk tunggal, komposit, atau berupa lapisan-lapisan dengan bahan lain misalnya kertas atau alumunium foil. Kemasan plastik dapat digunakan oleh industri pangan karena harganya yang relatif murah, lebih ringan daripada kemasan gelas dan metal, memerlukan energi yang kecil dalam pembuatan, konversi, dan pendistribusianya. PE dan PP adalah jenis plastik yang biasa digunakan dalam mengemas produk pertanian.

Tabel 3 Permeabilitas terhadap gas dan uap air serta transmisi beberapa jenis film plastik.

Jenis Film

Permebilitas Transmisi uap air (cc/hari-100 in2-mil) (g/hari-100 in2-mil)

O2 CO2

LDPE 550 2900 1.30

PVC 150 970 4.00

PP 240 800 0.70

PS 310 1050 8.00

Sumber : Buckle et al. (1985) 1. Plastik Polipropilen (PP)

Menurut Syarief et al. (1989), plastik polipropilen termasuk jenis plastik olefin dan merupakan polimer dari propilen. Sifat-sifat utamanya yaitu:

a. Ringan (densitas 0.90 g/cm3), mudah dibentuk, tembus pandang, dan jernih dalam bentuk film

b. Mempunyai kekuatan tarik lebih besar dari PE. Pada suhu rendah akan rapuh dan tidak dapat digunakan untuk kemasan beku


(35)

9   

   

c. Lebih kaku dari PE dan tidak gampang sobek

d. Permeabilitas uap air rendah, permeabilitas gas sedang e. Tahan terhadap suhu tinggi sampai dengan 150oC f. Titik leburnya tinggi

g. Tahan terhadap asam kuat, basa dan minyak 2. Plastik Low Density Polyethylen (LDPE)

Pada plastik polietilen jenis LDPE memiliki sifat bahan yang lemas dan mudah di tarik, daya rentang tinggi tanpa sobek, tidak cocok digunakan pada bahan yang berlemak atau mengandung minyak, mempunyai transmisi gas cukup tinggi sehingga tidak cocok untuk mengemas makanan yang beraroma, memiliki sifat kedap air dan uap air, berwarna buram, mudah di klim, tidak tahan terhadap suhu tinggi (Syarief et al. 1989).

E. Beras Pratanak

Pembuatan beras pratanak merupakan proses yang unik, karena tahap pengolahan dimulai pada saat bahan masih berbentuk gabah (Garibaldi, 1974). Cara pembuatan beras pratanak sangat beragam, namun pada prinsipnya melalui tiga tahapan proses, yaitu perendaman (soaking), pengukusan (steaming), dan pengeringan (drying). Gabah yang telah mengalami perlakuan diatas akan lebih awet, dapat mencegah perkecambahan. Gabah tersebut kemudian digiling hingga diperoleh beras pratanak. Proses pratanak berpengaruh lebih nyata terhadap sifat fisik butiran beras dibandingkan dengan sifat kimianya. Proses pratanak dipilih karena cenderung menurunkan indeks glikemik beras (Foster-Powell et al.,

2002).

Pembuatan beras pratanak merupakan proses pemberian air dan uap panas terhadap gabah sebelum gabah tersebut dikeringkan. Tujuan dari proses pratanak adalah untuk menghindari kehilangan dan kerusakan beras, baik ditinjau dari nilai gizi maupun segi rendeman beras yang dihasilkan. Oleh karena itu proses pratanak harus dilakukan dengan cara yang tepat (De Datta, 1981).

Peningkatan nilai gizi pada beras pratanak disebabkan oleh proses difusi panas yang melekatkan vitamin-vitamin dan nutrisi lainnya dalam endosperm, serta derajat sosoh beras yang rendah akibat mengerasnya lapisan aleuron yang mengakibatkan sedikitnya bekatul dan nutrien yang hilang. Beras pratanak


(36)

memiliki kandungan vitamin B yang lebih tinggi serta kandungan minyak dan lemak yang rendah dibandingkan dengan beras biasa sehingga beras pratanak lebih tahan lama untuk disimpan (Nurhaeni, 1980).

Proses pratanak adalah proses gelatinisasi pati di dalam beras. Pada proses gelatinisasi pati terjadi pengembangan granula secara irreversible dan kompaknya granula pati. Kejadian tersebut membutuhkan kandungan air 30-35% dan panas kurang lebih 26 kkal per kg gabah untuk kesempurnaan proses (Garibaldi, 1974). Pada proses pratanak terjadi perubahan zat gizi (Tabel 4).

Haryadi (2006) menyatakan sifat-sifat fisik beras antara lain suhu gelatinisasi, konsistensi gel, penyerapan air, kepulenan, kelengketan, kelunakan, dan kilap nasi. Suhu gelatinisasi adalah suhu pada saat kurva mulai naik, sedangkan suhu puncak gelatinisasi diukur pada saat puncak maksimum viskositas tercapai. Viskositas maksimum adalah besarnya viskositas pada saat titik puncak gelatinisasi yang dinyatakan dalam Brabender Unit (BU). Menurut Winarno (1992) suhu gelatinisasi adalah suhu pada saat granula pati pecah dengan penambahan air panas. Beras dapat digolongkan menjadi tiga kelompok menurut suhu gelatinisasinya, yaitu suhu rendah (55-69oC) sedang (70-74oC) dan tinggi (>74oC). Suhu gelatinisasi berpengaruh terhadap lama pemasakan. Beras yang mempunyai suhu gelatinisasi tinggi membutuhkan waktu pemasakan lebih lama daripada beras yang mempunyai suhu gelatinisasi rendah. Suhu gelatinisasi diawali dengan pembengkakan granula pati dalam air yang bersifat irreversible

dan diakhiri dengan hilangnya sifat kristal dari granula pati. Suhu gelatinisasi pati berbeda untuk setiap jenis bahan, dimana suhu gelatinisasi umumnya dibagi menjadi tiga tahap yaitu: suhu awal, suhu puncak dan suhu akhir (Winarno, 1997).

Jika suspensi pati dipanaskan pada suhu dan waktu tertentu, akan terjadi peristiwa gelatinisasi. Proses ini meliputi pemutusan ikatan hidrogen dan pengembangan granula pati. Gelatinisasi merupakan tahap awal perubahan-perubahan sifat fisik pati. Granula pati alami bersifat tidak larut dalam air, namun dapat menjadi larut dalam air bila suspensi pati dipanaskan di atas suhu gelatinisasinya. Bila pati disuspensikan dalam air yang berlebih dan dipanaskan pada suhu dan waktu tertentu, maka granula pati secara berangsur-angsur mengalami perubahan yang bersifat irreversible, artinya tidak dapat kembali pada


(37)

11   

   

kondisi granula semula. Gelatinisasi pati ditandai dengan terjadinya pengembangan (swelling) granula pati, peluruhan (melting) dari bagian kristalit, hilangnya sifat birefringence, peningkatan kekentalan dan peningkatan kelarutan pati. Secara mikroskopik perubahan granula pati pada saat pemanasan pada saat suhu kamar berlangsung cepat dan meliputi tahap penyerapan air hingga 25-30% yang bersifat dapat balik. Pada tahap selanjutnya, yaitu pada suhu sekitar 65oC, granula pati mulai mengembang dan menyerap air dalam jumlah banyak yang bersifat tidak dapat balik. Akhirnya terjadi pengembangan yang lebih besar lagi, terjadi pelarutan amilosa fraksi rendah dan selanjutnya terjadi pemecahan granula pati yang kemudian tersebar merata (Haryadi, 2008).

Perendaman bertujuan untuk memasukkan air ke dalam ruang interseluler dari sel-sel pati endosperm, dan sebagian air diserap oleh sel-sel pati tersebut sampai tingkat tertentu sehingga cukup untuk proses gelatinisasi (Nurhaeni, 1980 dan De Datta, 1981). Pemasakan bertujuan untuk melunakkan struktur sel-sel pati endosperm sehingga tekstur granula pati endosperm menjadi seperti pasta akibat proses gelatinisasi. Pemasakan harus dilakukan dengan hati-hati agar gelatinisasi pati dan sterilisasi yang homogen dari gabah tercapai, yaitu dengan menggunakan uap panas yang bersuhu tinggi dan tekanan uap yang rendah.

Tabel 4 Kandungan zat gizi beras dari berbagai cara pengolahan Komponen Satuan Beras pecah kulit Beras Giling Beras pratanak

Kadar air (%bb) 12.00 12.00 10.30

Energi (kkal) 360 363 369

Kadar protein (%bk) 7.50 6.70 7.40

Kadar lemak (%bk) 1.90 0.40 0.30

Serat (%bk) 0.90 0.30 0.20

Kadar abu (%bk) 1.20 0.50 0.70

Sumber : Adair et al (1973)

Prinsip proses pengeringan bahan adalah pemindahan uap air dari bahan melalui cara evaporasi. Evaporasi terjadi terutama pada permukaan bahan tersebut, yaitu melalui proses difusi dari air di dalam bahan ke permukaan bahan akibat panas yang diberikan baik secara konveksi, konduksi maupun radiasi (Damardjati, 1981).


(38)

Pengeringan dilakukan dua kali untuk mencapai kadar air 14%. Pengeringan pertama pada suhu 100oC sampai kadar air 20%, pengeringan kedua pada suhu 60oC sampai kadar air 14%. Pengeringan pada proses pembuatan beras pratanak memerlukan suhu yang lebih tinggi (bisa mencapai 100oC) karena kadar air gabah yang tinggi (dapat mencapai 45%), dan tekstur butir yang berbeda akibat pemanasan yang dilakukan terutama pada saat pemasakan (De Datta, 1981). Pengeringan gabah dilakukan hingga kadar air sekitar 14%, karena kadar air 14% merupakan kondisi optimum gabah untuk digiling.

Pengeringan gabah pratanak bertujuan untuk mengurangi kadar air sampai tingkat optimal untuk penggilingan dan penyimpanan, serta memaksimumkan hasil giling. Pengeringan juga mempengaruhi tekstur dan warna produk akhir (Garibaldi, 1974). Pengeringan sebaiknya dilakukan segera setelah pemasakan. Penundaan pengeringan menyebabkan proses gelatinisasi terus berlanjut sehingga warna menjadi lebih gelap. Penundaan pengeringan juga menyebabkan pertumbuhan mikroba meskipun gabah pratanak dalam keadaan steril, karena suhu dan kadar air tersebut sangat disukai mikroba, terutama kapang dan cendawan. Akan tetapi bila pengeringan terlalu cepat akan menyebabkan retak (cracking).

Pada proses penggilingan beras, gabah kering giling yang telah dibersihkan dari kotoran dilakukan proses penghilangan sekam sehingga diperoleh beras pecah kulit (brown rice), dilanjutkan dengan proses penyosohan sehingga diperoleh beras giling. Penyosohan akan menyebabkan kulit ari dan lembaga terpisahkan, yang berarti kehilangan protein, lemak, vitamin dan mineral yang lebih banyak. Proses beras pratanak mampu mengurangi kehilangan zat gizi dalam proses penggilingan. Nilai gizi yang tinggi disebabkan oleh proses difusi dan panas yang melekatkan vitamin-vitamin dan nutrien lainnya dalam endosperm, serta derajat sosoh beras yang rendah akibat mengerasnya aleuron mengakibatkan sedikitnya bekatul dan zat gizi yang hilang (Nurhaeni, 1980).

F. Indeks Glikemik

Indeks Glikemik pertama dikembangkan tahun 1981 oleh Dr. David Jenkins, seorang Profesor Gizi pada Universitas Toronto, Kanada, untuk membantu menentukan pangan yang paling baik bagi penderita diabetes. Pada masa itu, diet


(39)

13   

   

bagi penderita diabetes didasarkan pada sistem porsi karbohidrat. Konsep ini menganggap bahwa semua pangan berkarbohidrat menghasilkan pengaruh yang tidak sama pada kadar glukosa darah (Rimbawan & Siagian 2004).

Indeks glikemik pangan adalah tingkatan pangan menurut efeknya terhadap kadar glukosa darah. Sebagai perbandingannya, indeks glikemik glukosa murni adalah 100. Indeks glikemik merupakan cara ilmiah untuk menentukan makanan bagi penderita diabetes, orang yang sedang berusaha menurunkan berat badan tubuh, dan olahragawan (Rimbawan & Siagian 2004). Karbohidrat dalam pangan yang dipecah dengan cepat selama pencernaan memiliki indeks glikemik tinggi. Respon glukosa darah terhadap jenis pangan ini cepat dan tinggi. Dengan kata lain, glukosa dalam aliran darah meningkat dengan cepat. Sebaliknya, karbohidrat yang dipecah dengan lambat memiliki indeks glikemik rendah sehingga melepaskan glukosa ke dalam darah dengan lambat. Indeks glukosa murni ditetapkan 100 dan digunakan sebagai acuan untuk penentu indeks glikemik pangan lain (Rimbawan & Siagian 2004). Berikut merupakan kategori pangan menurut rentang indeks glikemik.

Tabel 5 kategori pangan menurut indeks glikemik

Kategori pangan Rentang indeks glikemik

Indeks glikemik rendah < 55

Indeks glikemik sedang 55-70

Indeks glikemik tinggi > 70

Sumber: Miller et al. (1996) dalam Rimbawan & Siagian (2004)

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi indeks glikemik pada pangan antara lain: cara pengolahan (tingkat gelatinisasi pati dan ukuran partikel), perbandingan amilosa dengan amilopektin, tingkat keasaman dan daya osmotik, kadar serat, kadar lemak dan protein serta kadar anti-gizi pangan. Berbagai faktor dapat menyebabkan indeks glikemik pangan yang satu berbeda dengan pangan yang lainnya. Bahkan, pangan dengan jenis yang sama bila diolah dengan cara yang berbeda dapat memiliki indeks glikemik yang berbeda, karena pengolahan dapat menyebabkan perubahan struktur dan komposisi kimia pangan. Varietas tanaman yang berbeda juga dapat menyebabkan perbedaan pada indeks glikemik (Rimbawan & Siagian 2004).


(40)

Respon glikemik dan daya cerna pati tidak berhubungan dengan panjangnya rantai sakarida, melainka oleh ukuran partikel (Ludwig, 2000). Karbohidrat sederhana tidak semuanya memiliki indeks glikemik lebih tinggi daripada karbohidrat komplek. Jenis gula yang terdapat dalam pangan mempengaruhi indeks glikemik pangan tersebut. Fruktosa memiliki indeks glikemik sangat kecil (IG=23), sedangkan sukrosa memiliki indeks glikemik sedang (IG=65). Selain itu, kehadiran gula didalam pangan juga menghambat gelatinisasi pati dengan cara mengikat air. Semakin kecil ukuran partikel, semakin mudah pati terdegradasi oleh enzim sehingga semakin cepat pencernaan karbohidrat pati yang dapat menyebabkan indeks glikemik pangan tersebut semakin tinggi (Rimbawan & Siagian 2004).

Struktur amilosa-amilopektin yang berbeda menyebabkan daya cerna yang berbeda. Amilosa mempunyai struktur tidak bercabang sehingga amilosa terikat lebih kuat. Granula pati yang lebih banyak kandungan amilosanya, mempuyai struktur yang lebih kristalin. Dengan demikian amilosa sulit tergelatinisasi dan sulit dicerna. Selain itu, amilosa juga mudah bergabung dan mengkristal sehingga mudah mengalami retrodagasi yang bersifat sulit untuk dicerna (Mayer, 1973). Amilopektin mempunyai struktur bercabang, ukuran molekul lebih besar dan lebih terbuka sehingga lebih mudah tergelatinisasi dan lebih mudah dicerna (Rimbawan & Siagian 2004).

Pati yang dicerna dan diserap oleh tubuh akan menyebabkan kenaikan kadar gula darah (plasma glucose). Puncak kenaikkan akan terjadi sekitar 15-45 menit setelah dikonsumsi, tergantung dari kecepatan pencernaan dan penyerapan karbohidrat dalam tubuh manusia. Kadar glukosa darah akan kembali normal setelah dua sampai tiga jam. Hormon yang diproduksi oleh tubuh untuk menurunkan kadar glukosa darah adalah hormon insulin. Hormon insulin akan diproduksi sebanding dengan jumlah glukosa yang terkandung dalam darah. Hormon insulin dihasilkan di kelenjar Langerhans pada pankreas. Hormon insulin bertugas meningkatkan laju transpor glukosa ke dalam sel dan laju perubahan glukosa menjadi glikogen (Wardlay, 1999).

Indeks glikemik dikaitkan dengan berbagai isu kesehatan seperti obesitas, diabetes dan penyakit jantung koroner. Menurut Jones (2002), pangan yang


(41)

15   

   

memiliki indeks glikemik tinggi menyebabkan pengeluaran insulin dalam jumlah besar sebagai akibat dari kenaikan gula darah yang tinggi dan cepat. Hal tersebut akan menyebabkan peningkatan rasa lapar setelah makan dan penumpukan lemak pada jaringan adiposa dalam tubuh. Penderita diabetes (baik tipe I maupun tipe II) dianjurkan untuk mengkonsumsi makanan yang mengandung indeks glikemik rendah sehingga membantu kontrol kadar gula darah dalam tubuh. Konsumsi makanan yang memiliki indeks glikemik rendah akan meningkatkan sensitivitas insulin dalam pangkreas (Ragnhild et al. 2004).

G. Sorpsi Isotermis

Bahan makanan sebelum maupun sesudah diolah bersifat higroskopis, yaitu dapat menyerap air dari udara sekelilingnya (adsorpsi), dan sebaliknya dapat melelepaskan sebagian air yang dikandungnya ke udara (desorbsi). Istilah sorpsi air dipakai untuk menunjukan semua proses saat padatan bergabung dengan molekul air secara reversible (Adawiyah, 2006). Perilaku produk makanan terhadap kelembaban udara lingkungannya dapat digambarkan oleh kurva yang menunjukan hubungan antara kadar air bahan pangan dengan kelembaban relatif setimbang ruang penyimpanan (ERH) atau aktivitas air (aw) pada suhu tertentu (Troller dan Christian, 1978). Kurva yang menggambarkan hubungan tersebut disebut kurva isothermis (Syarief dan Halid, 1993).

Sorpsi isothermis suatu bahan pangan dapat digunakan dalam menentukan jenis pengemas yang dibutuhkan, memprediksikan karakteristik kondisi penyimpanan yang sesuai dan penentuan masa simpan (Mir dan Nath, 1995).

1. Kurva Sorpsi Isotermis

Perilaku produk makanan terhadap kelembaban udara lingkungannya dapat digambarkan oleh kurva sorpsi isothermis. Kurva sorpsi isotermis adalah kurva yang menggambarkan hubungan antara kandungan air dalam bahan pangan dengan aktivitas air (aw) atau kelembaban relatif kesetimbangan (ERH) ruang penyimpanan (De man, 2007). Menurut Winarno (2004), setiap jenis bahan pangan memiliki bentuk kurva sorpsi isothermis yang khas. Perubahan kadar air akan mempengaruhi mutu produk pangan, maka dengan mengetahui pola penyerapan airnya dan menetapkan nilai kadar air kritisnya umur simpan suatu


(42)

produk pangan dapat ditentukan. Tipe-tipe kurva sorpsi isothermis bahan pangan dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Tipe-tipe kurva sorpsi isotermis Sumber: Hui et al. (2008)

Menurut Labuza dan Bilge (2007), secara umum ada tiga tipe bentuk kurva isotermis. Tipe I adalah bentuk kurva sorpsi isotermis yang khas untuk bahan pangan antikempal. Tipe II adalah kurva sorpsi isotermis yang berbentuk sigmoid dan paling banyak ditemukan pada produk pangan. Produk pangan kering umumnya memiliki kurva sorpsi isotermis yang berbentuk sigmoid. Tipe III mewakili kurva sorpsi isotermis untuk bahan kristal, misalnya sukrosa. Namun menurut Arpah (2007), beberapa literatur membagi bentuk kurva sorpsi isotermis menjadi lima tipe. Tipe IV dan tipe V merupakan variasi dari tipe II. Tipe IV memiliki kurva yang mirip gabungan antara kurva tipe II dengan tipe III, sedangkan tipe V memiliki kurva yang mirip gabungan antara kurva tipe II dan tipe I.

Berdasarkan keadaan air dalam bahan pangan, kurva sorpsi isotermis terbagi kedalam tiga daerah. Daerah pertama mempunyai nilai aw sampai 0.3, Pada daerah ini air terdapat dalam bentuk monolayer (satu lapis) dengan air yang terikat sangat kuat. Daerah kedua mempunyai kisaran aw dari 0.3-0.7. Pada daerah kedua, air terikat kurang kuat dan merupakan lapisan-lapisan yang disebut dengan air

multilayer. Air yang terdapat pada daerah ini berperan sebagai pelarut sehingga aktivitas enzim dan pencoklatan non enzimatik dapat terjadi. Daerah ketiga

Kadar air

kesetimb

angan

Kadar air

kesetimb

angan

Kadar air

kesetimb

angan

Kadar air

kesetimb

angan

Kadar air

kesetimb

angan

Aktivitas air Aktivitas air Aktivitas air


(43)

17   

   

merupakan daerah yang mempunyai nilai aw di atas 0,7. Daerah ini merupakan daerah air bebas, dimana pada daerah ini terjadi kondensasi air pada pori-pori bahan. Keadaan air dalam kondisi bebas ini dapat mempercepat proses kerusakan produk pangan (Arpah, 2007). Secara umum kurva sorpsi isotermis pada bahan pangan dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Kurva sorpsi isotermis pada bahan pangan secara umum Sumber: Chaplin (2009)

Pada umumnya kurva sorpsi isotermis berbentuk sigmoid yaitu menyerupai huruf S (Buckle et al., 2007). Kurva sorpsi isotermis adsorpsi dimulai dari kondisi kering hingga kondisi basah, misalnya proses rehidrasi/penyerapan air. Sedangkan, kurva sorpsi isotermis desorpsi dimulai dari kondisi basah ke kondisi kering, misalnya proses dehidrasi/proses pengeringan. Pada jenis bahan pangan yang sama grafik penyerapan uap air dari udara oleh bahan pangan (kurva adsorpsi) dan grafik pelepasan uap air oleh bahan pangan ke udara (kurva desorpsi) tidak pernah berhimpit. Kadar air isotermis desorpsi lebih tinggi nilainya dibandingkan dengan isotermis adsorpsi pada nilai aktivitas air (aw) yang sama. Keadaan tersebut disebut sebagai fenomena histeria. Fenomena histeria diperlihatkan oleh perbedaan nilai-nilai kadar air kesetimbangan yang diperoleh dari proses adsorpsi dan desorpsi. Bentuk kurva dan besarnya tingkat histeria

Kadar air k

e

setimbangan (% bk)

Aktivitas air (aw)

Air terikat sangat kuat (Monolayer)

Air terikat kurang kuat

(multilayer) Air bebas

Pelepasan uap air

Penyerapan uap air


(44)

suatu produk pangan sangat beragam tergantung pada komposisi bahan penyusunnya, suhu, dan waktu penyimpanan (Rahman, 2009).

2. Model Persamaan Sorpsi Isotermis

Model matematika mengenai kadar air kesetimbangan atau sorpsi isotermis telah banyak dikemukakan oleh para ahli. Namun model-model matematika yang dikembangkan pada umumnya tidak dapat mencakup keseluruhan kurva sorpsi isotermis dan hanya dapat memprediksi kurva sorpsi isotermis pada salah satu dari ketiga daerah sorpsi isotermis. Kesesuaian setiap model isotermis terhadap isotermis produk pangan tergantung pada kisaran aw dan jenis bahan penyusun produk pangan tersebut (Arpah, 2007).

Ada beberapa model matematika yang umumnya digunakan untuk menentukan kurva sorpsi isotermis bahan pangan, yaitu model Henderson, Caurie, Oswin, Clayton, dan Hasley. Secara empiris, Henderson mengemukakan persamaan yang menggambarkan hubungan antara kadar air kesetimbangan bahan pangan dengan kelembaban relatif ruang simpan. Persamaan ini berlaku untuk bahan pangan pada semua aktivitas air dan merupakan salah satu persamaan yang paling banyak digunakan pada bahan pangan kering. Model Caurie berlaku untuk kebanyakan bahan pangan pada selang aw 0.0-0.85 dan model Oswin berlaku untuk bahan pangan pada RH 0-85%. Model Oswin juga sesuai bagi kurva sorpsi isotermis yang berbentuk sigmoid. Sedangkan model Chen-Clayton berlaku untuk bahan pangan pada semua aktivitas air. Pada percobaanya Hasley mengemukakan suatu persamaan yang dapat menggambarkan proses kondensasi pada lapisan

multilayer. Persamaan tersebut dapat digunakan untuk bahan makanan dengan kelembaban relatif 10-81% (Chirife dan Iglesias, 1978 diacu dalam Arpah, 2007). Adapun persamaan dari model-model tersebut dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Model-model persamaan sorpsi isotermis bahan pangan

Model Persamaan Keterangan

Henderson 1-aw = exp(-KMen) • Me: kadar air kesetimbangan Caurie ln Me = ln P1-P2*aw • aw: aktivitas air

Oswin Me = P1[aw/(1- aw)] P2 • K dan n: konstanta Chen Clayton aw = exp[-P1/exp(P2*Me)] • P1 dan P2 : konstanta Hasley aw = exp[-P1/(Me)P2]


(45)

19   

   

3. Kadar Air Kesetimbangan

Kadar air kesetimbangan adalah kadar air dari suatu produk pangan yang berkesetimbangan pada suhu dan kelembaban tertentu dalam periode waktu tertentu. Pada saat kadar air kesetimbangan tercapai bahan tidak menyerap molekul-molekul air dari udara maupun melepaskan molekul-molekul air ke udara, hal ini terjadi bila bahan berada pada lingkungan tertentu untuk waktu yang lama (Brooker et al., 1992).

Kadar air kesetimbangan dapat dicapai dengan dua cara yaitu proses adsorpsi dan desorpsi (Buckle et al., 2007). Jika kelembaban relatif udara lebih tinggi dari pada kelembaban relatif bahan, maka bahan akan menyerap air (adsorpsi). Sebaliknya, jika kelembaban relatif udara lebih rendah dari pada kelembaban relatif bahan maka bahan akan menguapkan kadar airnya (desorpsi) (Brooker et al., 1992). Kadar air kesetimbangan akan meningkat dengan menurunnya suhu pada kondisi aktivitas air yang konstan (Kapseu, 2006).

Menurut Brooker et al. (1992), penentuan kadar air kesetimbangan dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu metode statis dan dinamis. Pada metode statis, kadar air kesetimbangan suatu bahan diperoleh pada keadaan udara diam. Metode statis umumnya digunakan untuk keperluan penyimpanan karena umumnya udara di sekitar bahan relatif tidak bergerak. Sedangkan pada metode dinamis, kadar air kesetimbangan suatu bahan diperoleh pada keadaan bergerak. Metode dinamis biasanya digunakan untuk mempercepat proses pengeringan dan menghindari penjenuhan uap air di sekitar bahan.

Menurut Lievonen dan Ross (2002) diacu dalam Adawiyah (2006), penentuan kadar air kesetimbangan suatu bahan pangan melalui metode statis akan tercapai yang ditandai dengan konstannya bobot bahan. Bobot bahan dikatakan konstan bila selisih bobot antara tiga kali penimbangan berturut-turut tidak lebih dari 2 mg/g untuk kondisi RH≤90% dan tidak lebih dari 10 mg/g untuk RH>90%. Kadar air kesetimbangan suatu bahan dapat digunakan untuk menggambarkan kurva sorpsi isotermis bahan tersebut.


(46)

4. Aktivitas Air (aw)

Aktivitas air berhubungan erat dengan kandungan air dalam bahan pangan. Air dalam bahan pangan berperan sebagai bahan pereaksi dan pelarut dari beberapa komponen. Secara umum bentuk air dapat ditemukan sebagai air bebas dan air terikat. Air bebas dapat dengan mudah hilang apabila diuapkan atau dikeringkan, sedangkan air terikat sulit hilang dengan cara tersebut. Kadar air bebas dapat berubah secara signifikan selama penyimpanan pada suhu lingkungan terutama untuk parameter higroskopisitas produk kering (Sithole, 2005).

Aktivitas air merupakan faktor utama yang mempengaruhi keamanan pangan dan kualitas pangan. Istilah aktivitas air digunakan untuk menjabarkan air yang tidak terikat atau bebas dalam bahan pangan. Kadar air dan aktivitas air berpengaruh besar terhadap laju reaksi kimia dan juga laju pertumbuhan mikroba dalam bahan pangan (De man, 2007). Menurut Hui et al. (2008), pertumbuhan mikroba, oksidasi lipid, aktivitas non enzimatis, aktivitas enzimatis, dan tekstur suatu produk pangan sangat tergantung pada aktivitas air.

Aktivitas air sangat berpengaruh dalam menentukan mutu dan umur simpan produk pangan kering selama penyimpanan (Belitz et al., 2009). Menurut Herawati (2008), aktivitas air berkaitan erat dengan kadar air, yang umumnya dapat menggambarkan pertumbuhan bakteri, jamur, dan mikroba lainnya. Pada umumnya semakin tinggi aktivitas air semakin banyak bakteri yang tumbuh, sedangkan jamur sebaliknya tidak menyukai aktivitas air yang terlalu tinggi. Adapun hubungan aktivitas air dan mutu makanan yang dikemas dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Hubungan aktivitas air (aw) dan mutu makanan yang dikemas

Nilai aw Mutu makanan

0.7–0.75 Produk mulai tidak aman untuk dikonsumsi >0.75

Mikroorganisme berbahaya mulai tumbuh dan produk menjadi beracun

0.6-0.7 Jamur mulai tumbuh

0.35-0.5 Makanan ringan hilang kerenyahan

0.4-0.5 Produk pasta yang terlalu kering akan mudah hancur dan rapuh selama dimasak atau karena goncangan mekanis


(47)

21   

   

H. Umur Simpan

National Food Processor Association mendefinisikan umur simpan sebagai berikut: suatu produk dianggap berada pada kisaran umur simpannya bilamana kualitas produk tersebut secara umum dapat diterima untuk tujuan seperti diinginkan oleh konsumen dan selama bahan pengemas masih memiliki integritas serta proteksi isi kemasan (Arpah, 2007). Penentuan umur simpan suatu produk dilakukan dengan mengamati produk selama penyimpanan sampai terjadi perubahan yang tidak dapat diterima lagi oleh konsumen (Ellis, 1994).

Menurut Syarief dan Halid (1993), hasil atau akibat dari berbagai reaksi kimiawi yang terjadi di dalam produk makanan bersifat akumulatif dan

irreversible (tidak dapat dipulihkan kembali) selama penyimpanan, sehingga pada saat tertentu hasil reaksi tersebut mengakibatkan mutu makanan tidak dapat diterima lagi. Jangka waktu akumulasi hasil reaksi yang mengakibatkan mutu makanan tidak lagi dapat diterima disebut sebagai jangka waktu kadaluarsa. Bahan pangan juga disebut rusak apabila bahan pangan tersebut telah kadaluarsa, yaitu telah melampaui masa simpan optimumnya dan pada umumnya makanan tersebut menurun mutu gizinya meskipun penampakannya masih bagus.

Penentuan umur simpan produk pangan merupakan suatu jaminan mutu industri pangan bahwa produk pangan yang bermutu baik saja yang di distribusikan ke konsumen (Hariyadi, 2006). Menurut Floros (1993), umur simpan produk pangan dapat diduga dan kemudian ditetapkan waktu kadaluarsanya dengan menggunakan dua konsep studi penyimpanan produk pangan yaitu dengan

Extended Storage Studies (ESS) atau metode konvensional dan Accelerated Storage Studies (ASS) atau metode akselerasi. Penentuan umur simpan secara konvensional membutuhkan waktu yang lama karena dilakukan dengan cara menyimpan suatu seri produk pada kondisi normal sehari-hari sambil dilakukan pengamatan penurunan mutunya. Metode akselarasi diterapkan pada produk pangan dengan memvariasikan kondisi kelembaban relatif (RH), suhu, atau intensitas cahaya, baik secara sendiri- sendiri maupun gabungannya (Floros, 1993). Keuntungan metode ini adalah memerlukan waktu yang relatif singkat, tetapi tetap memiliki ketepatan dan akurasi yang tinggi.


(48)

Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya penurunan mutu pada produk pangan menjadi dasar dalam menentukan titik kritis umur simpan. Titik kritis ditentukan berdasarkan faktor utama yang sangat sensitif serta dapat menimbulkan terjadinya perubahan mutu produk pangan selama distribusi, penyimpanan hingga siap dikonsumsi (Herawati, 2008). Menurut Floros dan Gnanasekharan (1993). Kriteria kadaluarsa beberapa produk pangan dapat ditentukan dengan menggunakan acuan titik kritisnya. Kriteria kadaluarsa beberapa produk pangan dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Kriteria kadaluarsa beberapa produk pangan

No Produk Mekanisme penurunan

mutu Kriteria kadaluarsa

1 Teh kering Penyerapan uap air Peningkatan kadar air 2 Susu bubuk Penyerapan uap air Pencoklatan

3 Susu bubuk Oksidasi Laju kosentrasi

4

Makanan laut kering beku

Oksidasi dan

fotodegradasi aktivitas air

5 Makanan bayi Penyerapan uap air Kosentrasi asam askorbat 6 Makanan kering Penyerapan uap air -

7 Sayuran kering Penyerapan uap air Off flavor-perubahan warna 8 Kol kering Penyerapan uap air Pencoklatan

9 Tepung biji kapas Penyerapan uap air Pencoklatan

10 Tepung tomat Penyerapan uap air Kosentrasi asam askorbat 11 Biji-bijian Penyerapan uap air Peningkatan kadar air 12 Bawang kering Penyerapan uap air Pencoklatan

13 Buncis hijau Penyerapan uap air Konsentrasi klorofil 14 Keripik kentang

Penyerapan uap air

dan oksidasi Laju oksidasi

15 udang kering beku Oksidasi

Kosentrasi karoten dan laju kosentrasi O2

16 Tepung gandum

Penyerapan uap air

dan oksidasi Konsentrasi asam askorbat 17 Minuman ringan Pelepasan CO2 Perubahan tekanan Sumber: Floros dan Gnanasekharan (1993)

Perumusan model akselerasi dapat dilakukan dengan dua pendekatan. Pendekatan pertama adalah pendekatan kadar air kritis dengan bantuan teori difusi, yaitu cara yang diterapkan untuk produk pangan kering dengan


(49)

23   

   

menggunakan kadar air atau aw sebagai kriteria kadaluwarsa. Pendekatan kedua adalah pendekatan empiris dengan bantuan Arrhenius, yaitu cara pendekatan yang menggunakan Teori Kinetika yang pada umumnya mempunyai reaksi ordo nol atau satu untuk produk pangan (Arpah, 2007).

Nilai aw dapat digunakan sebagai parameter untuk menduga kerusakan makanan atau menentukan waktu pengeringan yang diperlukan untuk produk pangan stabil. Menurut Labuza (1982), aw bahan pangan sangat menentukan kondisi penerimaan atau kehilangan air dari bahan pangan. Faktor-faktor yang menentukan waktu penerimaan air dari bahan pangan adalah isotermis sorpsi air, permeabelitas film kemasan, ratio luas permukaan kemasan terhadap berat bahan kering, kadar air awal, kadar air kritis, RH dan suhu penyimpanan produk. Labuza (1982) telah mengembangkan model matematik yang dapat digunakan untuk memperkirakan perubahan kadar air produk yang dikemas pada kondisi lingkungan tetap, yaitu :

b Po Ws A x k Mc Me Mi Me t ⎥⎦ ⎤ ⎢⎣ ⎡ − − = ln ………..(1)

Dimana Me= Kadar air bahan pangan pada keadaan setimbang (%bk), Mi= kadar air awal (%bk), Mc= kadar air kritis (%bk), k/x= permeabilitas uap air kemasan (g/m2.hari.mmHg), A= luas permukaan kemasan (m2), Ws= berat bahan (g), Po= tekanan uap air murni/jenuh pada ruang penyimpanan (mmHg), b= slope kurva sorpsi isotermis yang terpilih dan t= umur simpan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi umur simpan bahan pangan yang dikemas adalah keadaan alamiah atau sifat makanan dan mekanisme berlangsungnya perubahan, misalnya kepekaan terhadap air dan oksigen serta kemungkinan terhadap perubahan kimia internal dan fisik, ukuran kemasan dalam hubungan dengan volume, kondisi atmosfer, terutama suhu dan kelembaban dimana kemasan dapat bertahan selama transit dan sebelum digunakan, kemasan keseluruhan dari kemasan terhadap keluar masuknya air, gas dan bau termasuk perekatan, penutupan dan bagian-bagian yang terlipat. Penurunan mutu produk terutama dapat diketahui dari perubahan faktor tersebut, oleh karena itu dalam


(50)

menentukan daya simpan suatu produk perlu dilakukan pengukuran terhadap atribut mutu produk tersebut (Syarief dan Halid, 1993).

Labuza (1982) menyatakan bahwa penilaian umur simpan dapat dilakukan pada kondisi dipercepat (accelerated shelf life test) yang mampu memprediksi umur simpan produk. Metode ini dilakukan dengan mengkondisikan bahan pangan pada suhu dan kelembaban relatif tinggi. Penentuan umur simpan metode Arrhenius termasuk kedalam metode akselerasi ini. Metode Arrhenius merupakan metode simulasi dalam menduga umur simpan produk. Penurunan mutu dengan metode simulasi memerlukan beberapa pengamatan yaitu adanya parameter kuantitatif. Parameter tersebut harus dapat mencerminkan keadaan mutu yang terjadi pada kondisi penyimpanan (Syarif dan Halid, 1993). Syarif dan Halid (1993) menyatakan bahwa suhu merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap perubahan mutu pangan. Suhu ruangan yang konstan akan lebih baik dari suhu penyimpanan yang berubah-ubah. Pendugaan laju penurunan mutu dapat dilakukan dengan persamaan Arrhenius berikut:

k = ko

e

-E/RT ………...(2) Keterangan:

k = konstanta penurunan mutu (per hari)

ko = konstanta laju absolut (tidak tergantung suhu)

E = energi aktivasi reaksi perubahan karakteristik mutu (kal/mol) T = Suhu mutlak (oK)


(51)

25   

   

METODE PENELITIAN  

A. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium TLB (Teknik Lingkungan Biosistem), Laboratorium TPPHP, Departemen Teknik Mesin dan Biosistem. Laboratorium Kimia Pangan, Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2012 sampai November 2012.

B. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis gabah dari varietas Ciherang sebanyak 50 kg. Gabah tersebut diperoleh dari petani di Desa Pura Sari, kecamatan Leuwiliang-Bogor Barat. Dua jenis plastik (LDPE dan PP), garam jenuh NaOH, KF, K2CO3, NaBr, KI, NaCl, KCl, K2SO4, dan akuades. Peralatan yang digunakan adalah unit pengolahan beras pratanak (drum perendaman, tangki pengukusan gabah, steam boiler), thermometer, kompor gas, termokopel, timbangan analitik, grain moisture tester, mesin penggilingan milik petani di desa Marga Jaya tipe ICHI N50. Peralatan yang digunakan dalam penentuan umur simpan adalah inkubator, desikator modifikasi toples, oven, Permatran W 3*31, neraca analitik, cawan alumunium, hygrometer, sealer dan Whitennestester. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 4 dan 5.

(a) (b)

Gambar 4 Unit pengolahan beras pratanak : drum perendaman (a), tangki pengukusan dan steam boiler (b)


(52)

(a) (b)

Gambar 5 Alat bantu penelitian : grain moisture tester (a), Timbangan analitik (b), inkubator (c), dan chamber modifikasi toples (d)

C. Metodologi Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan 3 tahap yaitu tahap proses pengolahan beras pratanak, tahap Pendugaan umur simpan beras pratanak berdasarkan kadar air kritis dan tahap pendugaan umur simpan berdasarkan model Arrhenius.

Tahap I. Proses pengolahan beras pratanak

Pada tahap ini gabah terlebih dahulu di bersihkan dari kotoran-kotoran seperti jerami, benda asing dan gabah hampa dengan menggunakan mesin

precleaner.

Gabah kering giling (GKG) yang telah disortasi direndam dalam air, perendaman dilakukan dengan air hangat di dalam drum pada suhu 60oC selama 4, 6 dan 8 jam dengan terlebih dahulu melakukan penelitian pendahuluan sehingga akan di dapatkan lama perendaman terpilih yang mendekati kadar air


(53)

27   

   

terserap ±30 %. Gabah yang telah direndam selanjutnya dikukus didalam tangki pengukusan pada suhu 90oC selama 30 menit, sehingga diperoleh gabah yang mengalami gelatinisasi dan sekam yang sedikit terbuka (pecah).

Gabah selanjutnya dikeringkan pada lantai jemur dengan memanfaatkan panas sinar matahari sampai kadar air gabah mencapai 12-14%. Untuk lebih jelasnya diagram alir proses pengolahan beras pratanak dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Diagram alir proses pengolahan beras pratanak Gabah GKG

Perendaman T=60oC selama 6 jam

Pengukusan(steaming) T=90oC selama 30 menit

Pengeringan , (KA = 12- 14 %)

Penggilingan Kontrol

Gabah pratanak

Beras kontrol Beras Pratanak

Pembersihan (Precleaning)

Analisis fisik dan kimia : Rendemen giling, kadar air, mutu giling, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, kadar karbohidrat, kadar amilosa dan derajat keputihan.


(54)

Tahap II. Pendugaan umur simpan berdasarkan kadar air kritis

Untuk menentukan umur simpan beras pratanak berdasarkan kadar air kritis maka diperlukan pengukuran beberapa atribut seperti kadar air awal, kadar air kesetimbangan, kadar air kritis, slope kurva kadar air kesetimbangan, permeabilitas kemasan, luas kemasan, berat padatan per kemasan dan tekanan uap air jenuh pada suhu 30oC. Diagram alir penentuan umur simpan beras pratanak dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Diagram alir pendugaan umur simpan beras pratanak berdasarkan kadar air kritis

a. Penentuan kadar air kesetimbangan (Me)

Penentuan kadar air kesetimbangan diawali dengan melarutkan garam tertentu hingga jenuh atau tidak larut kembali. Garam yang digunakan antara lain NaOH, KF, K2CO3, NaBr, KI, NaCl, KCl dan K2SO4. Sebanyak 200 ml larutan garam jenuh dimasukkan kedalam chamber yang di modifikasi untuk mengatur

Beras pratanak

Pengukuran kadar air awal

Penyimpanan dalam desikator pada suhu 30oC (RH 7%, 27%, 43%, 58%, 69%, 76%, 84% dan 97%)

Penentuan nilai kemiringan (b) kurva sorpsi isotermis

Penimbangan setiap hari sampai kadar air konstan

Penentuan kadar air kesetimbangan

Penentuan pola kurva sorpsi isotermis

Penentuan model persamaan sorpsi isotermis Dan uji ketepatan model


(55)

29   

   

RH ruangan (chamber modifikasi toples). Sekitar ±5 gram sampel diletakkan pada cawan almunium yang telah diketahui beratnya. Cawan berisi sampel tersebut diletakkan di dalam chamber yang telah berisi larutan garam jenuh. Chamber

kemudian disimpan pada suhu ruang (30±1oC) dan sampel ditimbang secara periodik tiap 24 jam hingga mencapai bobot yang konstan yang berarti kadar air kesetimbangan telah tercapai (Arpah, 2001). Menurut Adawiyah (2006), bobot yang konstan ditandai dengan selisih bobot antara tiga kali penimbangan tidak lebih dari 2 mg/g untuk sampel yang disimpan pada RH dibawah 90% dan tidak lebih dari 10 mg/g untuk sampel yang disimpan pada RH diatas 90%. Sampel yang telah mencapai bobot konstan kemudian diukur kadar airnya berdasarkan AOAC 2005. Nilai RH dan larutan garam jenuh yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Nilai RH dan aw dari larutan garam jenuh yang digunakan (Suhu 30oC)

No Larutan garam jenuh RH (%) aw

1 NaOH 7 0.07

2 KF 27 0.27

3 K2CO3 43 0.43

4 NaBr 58 0.58

5 KI 69 0.69

6 NaCl 76 0.76

7 NaI 84 0.84

8 K2SO4 97 0.97

Sumber: Julianti et al., 2005 b. Kurva sorpsi isotermis

Penentuan kurva sorpsi isotermis dibuat dengan cara memplotkan nilai kadar air kesetimbangan hasil percobaan dengan nilai kelembaban relatif (RH) atau aktivitas air (aw). Labuza (1982) menyatakan bahwa aktivitas air suatu bahan pangan dapat dihitung dengan membandingkan tekanan uap air bahan (P) dengan tekanan uap air murni (Po) pada kondisi sama atau dengan membagi kelembaban relatif keseimbangan (equilibrium relative humidity = ERH) lingkungan dengan nilai 100. Rumus aw tersebut adalah:

100

ERH Po

P


(56)

Keterangan:

aw = Aktivitas air

P = Tekanan uap air bahan (mmHg)

Po = Tekanan uap air murni pada suhu yang sama (mmHg) ERH = Kelembaban relatif keseimbangan

c. Penentuan model persamaan sorpsi isotermis

Penentuan model persamaan sorpsi isotermis dilakukan untuk memperoleh kemulusan kurva yang terbaik. Persamaan yang dipilih adalah persamaan yang dapat di aplikasikan pada bahan pangan dengan kisaran RH 0–98% sehingga dapat mewakili ketiga daerah pada kurva sorpsi isotermis. Model persamaan yang digunakan pada penelitian ini ada 5, yaitu model Hasley, Henderson, Caurie, Oswin, dan Chen-Clayton. Henderson mengemukakan persamaan yang menggambarkan hubungan antara kadar air kesetimbangan bahan pangan dengan kelembaban relatif ruang simpan. Persamaan ini berlaku untuk bahan pangan pada semua aktivitas air dan merupakan salah satu persamaan yang paling banyak digunakan pada bahan pangan kering. Model Caurie berlaku untuk kebanyakan bahan pangan pada selang aw 0.0-0.85 dan model Oswin berlaku untuk bahan pangan pada RH 0-85%. Sedangkan model Chen-Clayton berlaku untuk bahan pangan pada semua aktivitas air. Pada percobaanya Hasley mengemukakan suatu persamaan yang dapat menggambarkan proses kondensasi pada lapisan

multilayer. Persamaan tersebut dapat digunakan untuk bahan makanan dengan kelembaban relatif 0-98% (Arpah dan Syarief, 2000).

Model-model persamaan sorpsi isotermis yang digunakan diubah ke dalam bentuk linear, sehingga nilai-nilai konstantanya dapat ditentukan dengan metode kuadrat terkecil (Walpole, 1993). Adapun model persamaan Hasley, Henderson, Caurie, Oswin dan Chen Clayton dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Linierisasi model-model sorpsi isotermi

Model Bentuk linier

Caurie ln Me = ln P(1) - P(2)aw

Chen-Clayton ln(ln(1/aw))=ln P(1)-P(2)Me

Halsey log (ln(1/aw) = log P(1)-P(2)log Me

Henderson log(ln(1/(1-aw))) = log K + n log Me


(57)

31   

   

Keterangan:

Me = Kadar air kesetimbangan aw = Aktivitas air

K dan n = Konstanta P1 dan P2 = Konstanta

Data kadar air kesetimbangan (KAK) dan aw hasil penelitian digunakan dalam perhitungan dengan kelima model diatas, lalu dilakukan evaluasi ketepatan hasil perhitungan KAK berdasarkan model. Uji ketepatan model sorpsi isotermis dilakukan dengan menggunakan perhitungan nilai MRD (Mean Relative Determination) (Walpole, 1990).

⎥⎦ ⎤ ⎢⎣ ⎡ − =

= Mi Mpi Mi n MRD n i 1 100 ………...(4) Dimana Mi adalah kadar air hasil percobaan, Mpi adalah kadar air hasil perhitungan, dan n adalah jumlah data. Jika nilai MRD<5 maka model isotermi sorpsi itu dapat menggambarkan keadaan yang sebenarnya, dan jika nilai 5<MRD<10 maka model tersebut agak tepat. Sedangankan jika nilai MRD>10 maka model tersebut tidak tepat untuk menggambarkan keadaan sebenarnya. Model dengan nilai MRD terkecil dinyatakan sebagai model terbaik dan digunakan dalam perhitungan pendugaan masa simpan beras pratanak (Tarigan et al., 2006).

d. Penentuan nilai kemiringan (b) kurva sorpsi isotermis

Menurut Rahayu dan Arpah (2003), kemiringan (b) kurva sorpsi isotermis ditentukan dari garis lurus yang terbentuk pada kurva model persamaan sorpsi isotermis terpilih. Titik-titik hubungan antara kelembaban relatif (RH) dan kadar air kesetimbangan memiliki persamaan linier y = a + bx. Nilai b dari persamaan linier tersebut merupakan nilai kemiringan kurva sorpsi isotermis. Penentuan nilai kemiringan (b) dilakukan untuk melihat pengaruhnya terhadap umur simpan produk melalui persamaan Labuza.

e. Umur simpan berdasarkan kadar air kritis

Masa simpan beras pratanak ditentukan dengan mensubtitusikan data kadar air awal, kadar air kesetimbangan, kadar air kritis, berat kering bahan, luas


(58)

permukaan kemasan, permeabilitas kemasan, tekanan uap air jenuh, dan nilai

slope sorpsi isotermi kedalam persamaan Labuza (1982).

b Po Ws A x k Mc Me Mi Me t ⎥⎦ ⎤ ⎢⎣ ⎡ − − = ln ……….……..(5)

Dimana t = umur simpan, Me= kadar air kesetimbangan (%bk), Mi= Kadar air awal (%bk), Mc= Kadar air kritis (%bk), Ws= berat kering bahan (g), A= Luas permukaan kemasan (m2), k/x= permeabilitas uap air kemasan (g/m2.hari.mmHg), Po= tekanan uap air jenuh (mmHg), b= slope kurva kadar air kesetimbangan.

Penentuan kadar air kritis dari beras pratanak dilakukan dengan cara menyimpan produk tanpa kemasan pada kondisi suhu 30 oC dan RH 97%. Sampel diamati setiap 3 hari sekali melaluli uji organoleptik terhadap aroma dan tekturnya. Apabila produk tidak dapat diterima lagi oleh panelis maka sampel tersebut sudah pada kondisi kritis dan telah mencapai kadar air kritisnya.

Tahap III. Pendugaan umur simpan berdasarkan model Arrhenius

Pendugaan umur simpan dilakukan dengan metode akselerasi melalui pendekatan metode Arrhenius untuk melihat konstanta penurunan mutu terhadap suhu penyimpanan yang ekstrem. Selama penyimpanan beras pratanak dikemas dalam kemasan plastik LDPE dan PP. Bobot bahan setiap kemasan sebesar 200 gram. Produk disimpan dalam suhu 40, 45, dan 50oC selama 21 hari. Pengamatan dilakukan setiap 7 hari sekali. Parameter uji yang dilakukan setiap minggunya adalah nilai TBA (thiobarbituric acid) dan aroma (ketengikan).

Pendugaan umur simpan dilakukan berdasarkan penurunan parameter kritis mutu atau parameter mutu yang paling cepat menyebabkan kerusakan pada produk selama penyimpanan. Pengujian sampel untuk mengetahui penurunan mutu yang terjadi, dilakukan setiap minggu selama 21 hari masa penyimpanan. Pendugaan umur simpan beras pratanak menggunakan parameter kritis yaitu peningkatan nilai TBA selama penyimpanan. Parameter tersebut dianggap kritis karena peningkatan nilai TBA merupakan indikasi perubahan mutu pada bahan dengan timbulnya ketengikan pada beras pratanak.


(59)

33   

   

Titik kritis yang diperoleh setiap minggunya selama penyimpanan diplotkan pada grafik hubungan antara lama penyimpanan (hari) dan rata-rata penurunan mutu/hari. Sumbu x menyatakan lama penyimpanan (minggu) sedangkan sumbu y menyatakan rata-rata penurunan mutu/hari (k). Langkah berikutnya adalah menentukan regresi linearnya. Setelah diperoleh persamaan regresi untuk masing-masing suhu penyimpanan, dibuat plot dengan sumbu x menyatakan 1/T dan sumbu y menyatakan ln k. Nilai k menunjukkan gradien dari regresi linear yang didapat dari ketiga suhu penyimpanan, sedangkan T merupakan suhu penyimpanan yang digunakan.

Nilai regresi yang diperoleh dalam kurva hubungan 1/T dan ln k, digunakan untuk menentukan nilai konstanta penurunan mutu produk. Nilai konstanta penurunan mutu tersebut ditunjukkan seperti berikut.

k= ko

e

-E/RT ………(6)

Nilai ko menunjukkan konstanta penurunan mutu yang tidak tergantung pada suhu yang diperoleh dari ln nilai intersep persamaan regresi. Nilai k menyatakan konstanta penurunan mutu pada suhu penyimpanan tertentu, sedangkan E/R merupakan gradien yang diperoleh dari nilai regresi. Selanjutnya umur simpan produk dihitung berdasarkan persamaan berikut:

t ………...(7)

Keterangan:

t = Pendugaan waktu umur simpan produk (hari) Ao = Nilai mutu awal produk

At = Nilai mutu produk setelah waktu penyimpanan t k = Konstanta penurunan mutu beras pratanak (per hari)

Pengujian organoleptik yang dilakukan adalah uji mutu hedonik terhadap parameter aroma (ketengikan). Tiga puluh panelis tidak terlatih diminta untuk membandingkan parameter aroma (ketengikan). Skala yang digunakan adalah 1-7, untuk parameter ketengikan skala 1 (ketengikan tercium sangat kuat), 2 (ketengikan tercium kuat), 3 (ketengikan tercium agak kuat), 4 (netral), 5 (ketengikan tercium agak lemah), 6 (ketengikan tercium lemah), 7 (ketengikan tercium sangat lemah). Skor 3 digunakan untuk menentukan bahwa sampel tersebut sudah pada kondisi kritis.


(60)

D. Metode analisis fisik dan kimia beras pratanak 1. Rendemen (Muchtadi dan Sugiyono, 1992)

Pengukuran rendemen beras pratanak dihitung berdasarkan perbandingan berat beras pratanak yang dihasilkan (b gr) terhadap berat awal gabah yang digunakan (a gr). Rendemen dihitung dengan rumus:

Rendemen = b/a x 100% ……….(8) 2. Mutu giling (SNI 1999)

Sampel beras giling dan beras pratanak ditimbang sebanyak 100 gram, dengan 3 ulangan. Sampel dipisahkan menjadi beras kepala (>2/3), beras patah (1/3-2/3) dan beras menir (<1/3). Sampel tersebut selanjutnya ditimbang. Mutu giling beras pratanak ditentukan dengan rumus :

Beras kepala (%)= Berat beras kepala (>2/3)/Berat awal x 100% ………….….(9) Beras patah (%) = Berat beras patah (1/3-2/3)/Berat awal x100% …………..(10) Berat Menir (%) = Berat beras menir (<1/3)/Berat awal x 100% ………(11) 3. Kadar air beras pratanak, metode oven (AOAC, 2005)

Penentuan kadar air awal perlu dilakukan untuk mengetahui kondisi awal produk. Penentuan kadar air ini diawali dengan mengambil sampel secara acak dari masing-masing perlakuan sebanyak kira-kira 5-10 gram. Sebelum bahan dimasukan kedalam cawan, terlebih dahulu cawan diberi label dengan jelas, kemudian ditimbang sebagai berat A gram. Selanjutnya sampel dimasukan kedalam cawan tersebut dan di timbang sebagai berat B (berat awal). Proses selanjutnya di oven selama 72 jam pada suhu 100 oC sampai berat bahan konstan. Setelah selesai, cawan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam desikator dan dibiarkan sampai dingin lalu sebagai berat C gram (berat akhir). Kadar air dapat dihitung dengan rumus:

% bb = {(berat awal-berat akhir)/(berat awal)}x 100%, atau

) 12 ...( ... ... ... ... ... ... % 100 ) ( ) ( ) ( x A B A C A B − − − − =

% bk = {(berat awal-berat akhir)/(berat akhir)}x 100%, atau % 100 ) ( ) ( ) ( x A C A C A B − − − −

= ……….…..(13) 


(61)

35   

   

Ditimbang sampel sebanyak 2 gram (a gr), dimasukan kedalam cawan porselin yang telah dikeringkan dan diketahui beratnya (b gr), kemudian di abukan dalam tanur pengabuan dalam suhu 450–550oC selama 2 jam atau sampai semua sampel telah menjadi abu, di dinginkn dalam desikator dan di timbang (c gr). % 100 ) ( ) ( ) (% x a b a c bb abu Kadar − −

= ……….…..(14)

% 100 100 ) (% ) (% x air Kadar bb abu Kadar bk abu Kadar

= ……….………….(15)

5. Kadar Lemak, Metode Soxhlet (AOAC, 2005)

Labu lemak yang akan digunakan dikeringkan dalam oven bersuhu 100-110oC, di dinginkan dalam desikator, dan ditimbang. Sampel ditimbang sebanyak 5 gram dibungkus dengan kertas saring lalu dimasukan kedalam alat ekstraksi

(soxhlet) yang berisi pelarut heksana.

Reflux dilakukan selama 5 jam, kemudian pelarut yang ada di dalam labu lemak di destilasi. Selanjutnya labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan di dalam oven pada suhu 100oC hingga beratnya konstan, di dinginkan dalam desikator, lalu ditimbang. Kadar lemak ditentukan dengan rumus sebagai berikut : % 100 %) ( x sampel Berat awal labu Berat akhir labu Berat bb lemak

Kadar = − …….…..(16)

% 100 100 ) (% ) (% x air kadar bb lemak Kadar bk lemak Kadar

= ………….………..(17)

6. Kadar Protein, Metode mikro Kjeldahl (AOAC 1995)

Sampel di timbang sebanyak 0.2 gram, kemudian dimasukan ke dalam labu kjeldahl 100 ml dan di tambahkan 2 gram K2SO4, 40 mg HgO dan 2.5 H2SO4 pekat, setelah itu di destruksi selama 30 menit sampai warna cairan berwarna hijau jernih, di biarkan sampai dingin, lalu di tambahkan 35 ml air suling dan 10 ml NaOH pekat sampai berwarna coklat kehitaman, kemudian di destilasi. Hasil destruksi di tamping dalam Erlenmeyer 125 ml yang berisi H3BO3 dan indikator, lalu dititrasi dengan HCl 0.02 N, larutan blanko dianalisis seperti sampel. Kadar nitrogen dihitung berdasarkan rumus :


(1)

 

   

Lampiran 22. Dokumentasi proses pengolahan beras pratanak

Lampiran 23. Dokumentasi penyimpanan beras pratanak pada suhu 40, 45 dan 50oC

Perendaman Gabah Pengukusan Gabah 

Gabah hasil pengukusan Pengeringan gabah 

Hari ke- 0


(2)

90   

Hari ke- 14


(3)

   

SYAHIRMAN HAKIM. Study of Processing and Shelf Life Determination of Parboiled Rice in Plastic Film Packaging. Under the direction of ROKHANI HASBULLAH and SUTRISNO

Parboiled rice has a high nutrient content and low glycemic index value, therefore, it is suitable to be consumed by people suffering diabetes mellitus. The purpose of this study was to study parboiled rice processing technique, examine its physico-chemical characteristics, and determine the shelf life of the parboiled rice during storage. The processing of parboiled rice is by soaking grain in 60 oC temperature for 6 hours, steaming at a temperature of 90 oC for 30 minutes, drying until the grain moisture content to 12-14%, milling and packaging. Determination of parboiled rice shelf life was done by using the critical moisture and Arrhenius methods in polypropylene (PP) and low density polyethylene (LDPE) plastics film packaging. The results showed that the treatment was able to increase the yield of milled parboiled rice, ash content, protein content and fat content, but it also decreased amylase and carbohydrate content. However, the physical quality of parboiled rice was still lower compared to that of the control based on head rice and broken rice contents. The shelf life of parboiled rice stored in LDPE and PP packaging by using the method of critical moisture at 84% RH and a temperature of 30% was 21.73 months and 26.43 months. Whereas the method of Arrhenius in LDPE and PP packaging based on the parameter of TBA (thiobarbituric acid) values at a temperature of 30oC was 10.55 and 13.13 months.


(4)

(5)

   

SYAHIRMAN HAKIM. Kajian Pengolahan dan Pendugaan Umur Simpan Beras Pratanak Dalam Kemasan Film Plastik. Dibimbing oleh ROKHANI HASBULLAH dan SUTRISNO

Beras pratanak adalah beras yang dihasilkan melalui proses pemberian air dan uap panas terhadap gabah sebelum gabah tersebut dikeringkan. Tujuan dari proses pratanak adalah mencegah kehilangan unsur-unsur gizi dan memperkecil kerusakan padi selama penggilingan. Beras pratanak mempunyai sifat fungsional memberikan dampak positif bagi kesehatan terutama karena nilai indek glikemiknya yang rendah. Beras pratanak memiliki nilai gizi yang tinggi di bandingkan dengan beras giling biasa sehingga diperlukan penyimpanan dan pengemasan yang sesuai agar mutu fisik, kimianya dan umur simpannya dapat dipertahankan lebih lama.

Tujuan penelitian ini adalah : 1). Mengkaji proses, karakteristik fisik dan kimia beras pratanak, 2). Menentukan umur simpan beras pratanak.

Penelitian ini dilakukan dalam 3 tahap. Tahap pertama adalah pengolahan beras pratanak yaitu melalui perendaman dalam air pada suhu 60oC selama 6 jam, pengukusan pada suhu 90oC selama 30 menit, pengeringan dengan sinar matahari sampai kadar air gabah mencapai 12-14%, penggilingan dan pengemasan. Tahap kedua adalah pendugaan umur simpan beras pratanak berdasarkan kadar air kritis dengan penentuan kadar air awal, kadar air kritis, kadar air kesetimbangan, slope kadar air kesetimbangan, permeabilitas kemasan, luas kemasan, berat padatan per kemasan dan tekanan uap air jenuh pada suhu 30oC. Tahap ke tiga adalah pendugaan umur simpan dengan metode Arrhenius berdasarkan bilangan TBA

(thiobarbituric acid).

Hasil penelitian menunjukan bahwa proses secara pratanak mampu meningkatkan rendemen dari 71.60% sampai 72.58%, namun mutu fisik beras pratanak masih lebih rendah dibandingkan kontrol dilihat dari butir kepala 70.20% dan 84.76%, butir patah 25.96% dan 10.94%. Proses secara pratanak mampu meningkatkan nilai gizi dilihat dari kadar abu 0.81%bk lebih tinggi dibanding kontol 0.60%bk, kadar lemak 0.69%bk lebih tinggi dibanding kontrol 0.42%bk, kadar protein 11.39%bk lebih tinggi dibanding kontrol 10.35%bk, namun kadar amilosa 12.70%bb lebih rendah dibanding kontrol 14.08%bb, karbohidrat 87.11%bk lebih rendah dibanding kontrol 88.63%bk.

Berdasarkan hasil penelitian, kadar air kesetimbangan beras pratanak pada RH 7% sampai RH 84% berturut-turut adalah 6.52%bk, 9.03%bk, 11.29%bk, 13.31%bk, 16.06%bk, 19.64%bk dan 22.76%bk. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi RH penyimpanan maka kadar air kesetimbangan beras pratanak akan semakin meningkat. Berdasarkan hasil perhitungan MRD (Mean Relative Determination) model persamaan yang terpilih untuk pendugaan umur simpan berdasarkan metode kadar air kritis adalah model Hasley dan Chen-Clayton dengan nilai 1.94. Kadar air awal sebesar 14.04%bk, kadar air kritis beras pratanak sebesar 19.91%bk, kadar air kesetimbangan pada RH 84% sebesar 22.76 %bk, slope (b) kurva sorpsi isotermis beras pratanak adalah 0.20, luas permukaan kemasan plastikLDPE (Low Density Polyethylene) dan PP (Polypropilene) adalah 0.012 m2, tekanan uap air jenuh pada suhu penyimpanan 30oC adalah 31.82


(6)

mmHg (Labuza 1982), permeabilitas kemasan (k/x) plastik PP dan LDPE adalah 0.53 g/m2.hari.mmHg dan 0.65 g/m2.hari.mmHg, berat per kemasan 719.20 g. Umur simpan beras pratanak dalam kemasan LDPE dan PP dengan perhitungan menggunakan metode sorpsi isotermis pada RH 84% dan suhu 30oC adalah 21.73 bulan dan 26.43 bulan.

Pendugaan umur simpan menggunakan persamaan Arrhenius berdasarkan parameter mutu kritis peningkatan nilai TBA (thiobarbituric acid). Hasil penelitian menunjukan bahwa, nilai TBA awal beras pratanak adalah 0.01 mg malonaldehid/kg. Nilai TBA kritis berdasarkan uji organoleptik dalam kemasan PP dan LDPE pada suhu 50oC panelis sudah mulai menolak aroma beras pratanak pada hari ke 21 dengan nilai TBA 0.12 mg malonaldehid/kg dan 0.11 mg malonaldehid/kg. Umur simpan beras pratanak dengan metode Arrhenius dalam kemasan LDPE dan PP berdasarkan parameter nilai TBA pada suhu 30oC adalah 10.55 bulan dan 13.31 bulan.