Selain dari pertimbangan yuridis, kurator yang menjual aset debitor juga harus memperhatikan pertimbangan bisnis. Bila perlu dapat disewa para
ahli untuk memberikan masukan-masukan untuk bahan pertimbangan bagi kurator.
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PENGADILAN NIAGA DAN
DISSENTING OPINION
E. Pengadilan Niaga
Universitas Sumatera Utara
BAB I
PENDAHULUAN
B. Latar Belakang
Globalisasi ditandai dengan berakhirnya perang dingin, peningkatan perdagangan internasional, revolusi teknologi komunikasi, kemajuan bidang
transportasi, dan meningkatnya kreativitas perekonomian dengan menggunakan komputer dan internet. Lebih dari itu sistem yang berlaku akan berubah lebih
efisien dan produktif. Peradilan juga akan terkena dampak globalisasi. Hal ini diungkapkan Hilario G, yaitu:
“Globalisasi adalah pergerakan ekonomi dari masa depan. Dunia Global menyodorkan banyak kesempatan untuk mencapai peradilan yang independen.
Dalam kalimat yang senapas, hal itu juga mengandung jebakan riil yang akan mengikis independensi peradilan itu sendiri.”
1
Gejolak moneter pada pertengahan tahun 1997 menimbulkan kesulitan besar bagi perekonomian nasional, terlebih lagi muncul kondisi sebagian pelaku
usahadebitor tidak mampu memenuhi kewajiban pembayaran utang kepada para lembaga pembiayaankreditor. Hal ini merupakan akibat ekspansi usaha
yang mereka lakukan. Untuk mengatasi persoalan tersebut, pada 22 April 1998 pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
Perpu Nomor 1 tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Banyak negara, khususnya negara berkembang, harus menyesuaikan diri
dan memperbaharui sistem peradilan mereka, karena desakan kebutuhan internasional, yakni masuknya perusahaan-perusahaan asing multinasional.
Kondisi ini ditenggarai sebagai salah satu faktor pendorong perbaikan instrumen badan peradilan di negara berkembang, termasuk di Indonesia.
1
Diani, Eksistensi Pengadilan Niaga Dan Perkembangannya Dalam Era Globalisasi, Direktorat Hukum Dan Hak Asasi Manusia, http\\www.google.com.dessendingopinion, Diakses tanggal 23
Juni 2010. 1
Universitas Sumatera Utara
Kepailitan yang kemudian disahkan menjadi Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan selanjutnya disingkat UUK pada 24 Juli 1998, UUK
merupakan penyempurnaan dari Failissement Verordening Staatsblad tahun 1905 Nomor 217 jo. Staatsblad tahun 1906 No. 348. Tetapi undang-undang
tersebut hanya berlaku beberapa tahun saja karena dengan keluarnya Undang- Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang, maka Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tersebut dicabut.
UUK diharapkan menjadi sarana yang selanjutnya dicabut dengan efektif yang dapat digunakan secara cepat sebagai landasan penyelesaian utang-
piutang. Salah satu soal penting setelah penyempurnaan peraturan kepailitan adalah pembentukan Pengadilan Niaga sebagai pengadilan khusus dalam
lingkungan Peradilan Umum. Pengadilan Niaga yang pertama dibentuk adalah Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
Selanjutnya berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 97 tahun 1999, 18 Agustus 1998, didirikan Pengadilan Niaga di Makassar, Surabaya, Medan, dan
Semarang. Pengadilan Niaga sangat diperlukan untuk menyelesaikan sengketa- sengketa niaga secara cepat; juga menyelesaikan aneka masalah kepailitan,
seperti masalah pembuktian, verifikasi utang, actio pauliana, dan lain sebagainya.
Sistem pemeriksaan di tingkat Pengadilan, termasuk Pengadilan Niaga mengkondisikan adanya tiga hakim yang memeriksa suatu perkara kepailitan.
Perubahan kondisi peradilan Indonesia khususnya dengan keluarnya Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman pada Pasal 14
ayat 3 dan 4 memberikan konstribusi terjadinya perbedaan pendapat para hakim yang memeriksa suatu perkara termasuk perkara kepailitan dalam hal
menjatuhkan putusan. Perbedaan pendapat dalam memutuskan suatu perkara inilah yang disebut dengan istilah “dissenting opinion ”.
Majelis hakim yang menangani suatu perkara menurut kebiasaan dalam hukum acara adalah berjumlah 3 tiga orang, dari ketiga orang anggota majelis
Universitas Sumatera Utara
hakim ini apabila dalam musyawarah menjelang pengambilan putusan terdapat perbedaan pendapat diantara satu sama lain maka putusan akan diambil dengan
jalan voting atau kalau hal ini tidak memungkinkan, pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa yang akan dipakai dalam putusan.
Sedangkan bagi hakim anggota yang kalah suara dalam menentukan putusan, dirinya harus menerima pendapat mayoritas majelis hakim dan dapat
menuliskan pendapatnya yang berbeda dengan putusan dalam buku khusus yang dikelola oleh Ketua Pengadilan Negeri dan bersifat rahasia.
Kerahasiaan pendapat hakim yang kalah suara dalam menentukan putusan, sebagaimana yang tertuang dalam Buku II MA tentang Pedoman
Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan telah membuat peradilan menjadi tidak terbuka dan masyarakat yang menaruh harapan tinggi terhadap
para hakim untuk mencari keadilan semakin tidak percaya lagi pada dunia peradilan, timbul kecurigaan dari masyarakat tentang adanya praktek KKN dan
mafia peradilan. Permasalahan inilah yang hendak Penulis kaji secara mendalam,
kaitannya dengan pencantuman perbedaan majelis hakim dalam putusan Dissenting Opinion dikaitkan dalam perkara kepailitan. Berangkat dari hal
tersebut, Penulis berharap bahwa dengan penulisan Tugas Akhir skripsi ini, kita akan mengetahui dan memahami penerapan praktis Dissenting Opinion
dalam lingkup Hukum Acara Pengadilan Niaga dalam perkara kepailitan serta mengetahui arti pentingnya Dissenting Opinion dalam rangka penegakkan
supremasi hukum di Indonesia khususnya dalam menciptakan peradilan yang terbuka dan transparan.
Secara umum dapat dijabarkan, bahwa di negara yang menganut Sistem Hukum Anglo Saxon meskipun seorang hakim yang memiliki pendapat yang
berbeda dengan putusan hakim mayoritas, dirinya harus mengalah dan mengakui putusan hakim mayoritas tetapi pendapat dari hakim yang berbeda
dengan putusan akan ikut dilampirkan dalam putusan dan menjadi Dissenting Opinion. Belajar dari sini, hakim tidak selalu terpaku pada sistem hukum yang
Universitas Sumatera Utara
ada, untuk mewujudkan keadilan para hakim berkewajiban menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang ada dalam masyarakat atau
dengan kata lain melakukan terobosan hukum agar tidak terjadi kekosongan hukum.
Pelaksanaan Dissenting Opinion sebagai salah satu terobosan hukum yang tidak memungkinkan untuk dilakukan pada Sistem Hukum Eropa
Kontinental seperti Indonesia, karena selain Peraturan Perundang-undangannya yang sudah ada, juga ketentuan yang ada dalam Buku II MA melarang untuk
dilakukan Dissenting Opinion tetapi ternyata hakim ad hoc yang menangani perkara kepailitan dapat melakukan Dissenting Opinion dengan dasar penguat
PERMA Nomor. 2 tahun 2000 tentang Perubahan dan Penyempurnaan PERMA Nomor 3 tahun 1999 tentang Hakim Ad Hoc yang dibuat MA untuk mengisi
kekosongan hukum dalam hal mengatur Dissenting Opinion. Nilai-nilai positif yang bisa diambil dari pelaksanaan Dissenting
Opinion selain dapat digunakan masyarakat untuk mengontrol hakim adalah : 1
Akan diketahui pendapat hakim yang berbobot, dalam upaya hukum banding atau kasasi akan menjadi pertimbangan pendapat hakim mana
dalam majelis tingkat pertama yang sejalan dengan putusan banding atau kasasi tersebut.
2 Untuk indikator menentukan jenjang karir hakim, karena dari sinilah bisa
dijadikan pijakan bersama dalam standar penentuan pangkat dan jabatan, sehingga untuk mengukur prestasi hakim tidak hanya dilihat dari segi usia
dan etos kerja semata. Akan tetapi juga mulai dipikirkan penilaian prestasi hakim berdasarkan kualitas putusan hakim.
3 Sebagai upaya untuk menghindari kecurigaan dari masyarakat terhadap
praktek KKN dan mafia peradilan. 4
Bahwa dengan Dissenting Opinion, bisa diketahui apakah putusan hakim tersebut sesuai dengan aspirasi hukum yang berkembang dalam masyarakat.
5 Dissenting Opinion juga dapat dipakai mengukur apakah suatu Peraturan
Perundang-undangan cukup responsif.
Universitas Sumatera Utara
Kebijakkan untuk memberlakukan Dissenting Opinion, harus didukung juga kemudahan bagi masyarakat untuk mendapatkan salinan putusan
pengadilan, karena kalau saja masyarakat tetap kesulitan untuk mendapatkan salinan putusan pengadilan seperti saat ini, kebijakkan untuk memberlakukan
Dissenting Opinion takkan berarti karena masyarakat tetap saja kesulitan untuk mengetahui pendapat hakim yang berbeda dengan putusan.
Tentunya banyak kondisi dari perubahan dan perkembangan hukum di Indonesia yang memberikan pengaruh terhadap terjadinya dissenting opinion.
Dalam hukum kepailitan khususnya dengan dibentuknya Pengadilan Niaga sebagai pengadilan yang berwenang memeriksa perkara kepailitan maka
keadaan ini juga sangat memberikan andil yang besar terjadinya dessending opinion. Belum lagi dicampurnya antara Hakim Ad-Hoc dengan Hakim Karir
dalam memeriksa suatu perkara kepailitan tentunya sangat sensitif dalam melahirkan perbedaan pendapat para hakim dalam memutuskan suatu perkara
kepailitan. Kondisi apapun yang diciptakan dari keadaan di atas tentunya suatu hal
yang perlu diamati dalam proses hukum kepailitan yaitu tercapai dan terpenuhinya kepentingan hukum pihak-pihak yang berperkara dalam suatu
proses pemeriksaan perkara di tingkat Pengadilan Niaga.
C. Perumusan Masalah