Penangguhan Eksekusi (Stay) Benda Agunan Dalam Kepailitan

(1)

PENANGGUHAN EKSEKUSI (STAY) BENDA

AGUNAN DALAM KEPAILITAN

TESIS

Oleh:

FREDDY SIMANJUNTAK

067005010

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(2)

NASKAH PUBLIKASI

PENANGGUHAN EKSEKUSI (STAY) BENDA

AGUNAN DALAM KEPAILITAN

TESIS

Oleh:

FREDDY SIMANJUNTAK

067005010

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(3)

ABSTRAK

Pasal 55 ayat 1 Undang-undang Kepailitan No. 37 Tahun 2004 secara tegas menyebutkan bahwa setiap kreditur separatis dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan, namun dalam Pasal 56 ayat (1) disebutkan bahwa hak eksekusi kreditur tersebut ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit. Kedua ketentuan pasal ini tidak taat asas (inkonsisten). Dua ketentuan dalam Undang-undang Kepailitan tersebut telah mengaburkan konsep dan tujuan dari hukum jaminan. Di satu pihak mengakui hak dari kreditur separatis tetapi di pihak lain justru mengingkari hak separatis tersebut, yaitu dengan tidak menempatkan benda-benda debitur pailit yang dibebani hak jaminan sebagai benda-benda di luar harta pailit.

Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif yuridis, yaitu penelitian hukum yang bertujuan untuk meneliti tentang sinkronisasi dan perbandingan ketentuan hukum. Dalam penelitian ini digunakan data primer dan sekunder. Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis yaitu penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan dengan melakukan analisis terhadap penangguhan eksekusi terhadap benda agunan dalam kepailitan. Adapun pokok permasalahan dalam tesis ini adalah bagaimana eksekusi benda agunan oleh kreditur separatis berdasarkan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan, apakah penangguhan eksekusi (stay) benda agunan yang dianut oleh Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan telah sejalan dengan konsep dan tujuan dari hukum jaminan, bagaimana upaya perlawanan atas penangguhan eksekusi (stay) benda agunan.

Berdasarkan hasil penelitian pernyataan pailit seorang debitur penting bagi kreditur yang terlibat pernyataan pailit, terutama bagi kreditur separatis dan kreditur preferen, dimana mereka dapat mengeksekusi benda agunan seolah-olah tidak ada kepailitan. Penangguhan pelaksanaan eksekusi hak kreditur separatis untuk jangka waktu paling lama 90 hari sejak tanggal putusan pailit ditetapkan. Kreditur atau pihak ketiga yang haknya ditangguhkan dapat mengajukan permohonan kepada kurator untuk mengangkat pengangguhan atau mengubah syarat-syarat penangguhan tersebut dan apabila kurator menolak permohonan pengangkatan penangguhan tersebut, kreditur atau pihak ketiga dapat mengajukan permohonan bersangkutan kepada Hakim Pengawas. Tujuan yang berlaku dalam hukum kepailitan belum berjalan selaras dengan konsep dan tujuan dari hukum jaminan. Hal tersebut disebabkan diberlakukannya penangguhan eksekusi (stay) benda agunan dalam kepailitan, banyak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam hukum jaminan, terutama mengenai harta pailit dan kedudukan kreditur separatis seharusnya tetap dapat melaksanakan haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan, dan terhadap harta debitur yang telah dibebani hak jaminan merupakan harta yang terpisah dari harta pailit. Belum adanya upaya perlawanan kreditur terhadap penetapan penangguhan eksekusi yang dilakukan oleh kurator maupun hakim pengawas, hal


(4)

tersebut dikarenakan kurang efektifnya ketentuan mengenai upaya perlawanan yang diberikan oleh Undang-undang Kepailitan.


(5)

ABSTRACT

In Bankruptcy Law 37/2004 Article 55 paragraph (1) expresses stated that each secured creditor may execute its right as if there is no bankruptcy, however in article 56 paragraph (1) stated that execution right of the creditor postponed for the period at the latest ninety days as of date of awarding of decision of bankruptcy’s declaration. These two rules inconsistence and they made the objective and concept of security law blurred. In one side, it is confess the secured creditor’s right but in other side it is break the secured creditor right and it isn’t place the debtor’s properties that burdened by the security’s right as outer part of bankrupt’s property.

This study is a normative which tends to find the synchronization and comparison of legal provisions. This study used primary and secondary data. This analytical descriptive study describes and analyzes the stay of guarantee object in bankruptcy. The subject matters of this thesis are how is the execution of guarantee object by secured creditors based on the Bankruptcy Law 37/2004, whether the stay of guarantee object in Bankruptcy Law 37/2004 in line with the objective and concept of security law or not, and how is the opposition effort of the stay of guarantee object. Based on the research that was conducted, the debtor’s bankrupt declaration is important to the creditors that related to the bankrupt declaration, especially to the secured creditors. They may enforce their security rights in ram without requiring the court assistance for the purpose of enforcing its security. The creditor’s right to enforce its security rights subject to a stay for ninety days after the debtor declared bankrupt. The creditor or the third party whose the right was stay, may propose the application to the curator for put the execution or change the requirements of the execution and if the curator denied the application, so that the creditor or the third party can propose the application to superintendent judge.

The objective in bankruptcy not in line with the objective and concept of security law yet. That is because of the stay which obtained in bankruptcy against the rules in security law, especially for the bankrupt’s property and the position of secured creditor, that should can enforce their security rights in ram without requiring the court assistance for the purpose of enforcing its security. And for the debtor’s property that burdened by the security right is property that separate from the bankrupt’s property. There is no the creditor’s opposition effort to the stay of the guarantee object yet that held by the curator or the superintendent judge. That is because of the less of effectiveness the rules of opposition effort in bankruptcy law.


(6)

KATA PENGANTAR

Pertama dan yang paling utama saya ucapkan puji syukur ke hadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang atas segala rahmat serta karunia-Nya sehingga segala proses menjadi mudah dan tesis ini dapat saya selesaikan.

Saya menyadari bahwa dalam penyelesaian tesis ini tidak luput dari bantuan dari berbagai pihak, baik itu yang bersifat bantuan materil maupun bantuan moril. Oleh karena itu, saya ingin mengucapkan terima kasih yang terdalam kepada:

1. Rektor Universitas Sumatera Utara , Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A(K), atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada saya untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan program magister;

2. Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc, atas kesempatan bagi saya menjadi mahasiswa Program Magister pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara;

3. Ketua Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas

Sumatera Utara, Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH, atas segala pelayanan, pengarahan serta masukan yang diberikan kepada saya selama menuntut ilmu pengetahuan di Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara;

4. Terima kasih yang sedalm-dalamnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya saya ucapkan kepada Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH, selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Sunarmi, SH, M.Hum serta Dr. Mahmul


(7)

Siregar, SH,M.Hum selaku Anggota Komisi Pembimbing yang dengan penuh perhatian telah memberikan bimbingan, arahan, petunjuk dan ide yang terbaik serta kritik dan saran yang konstruktif demi tercapainya hasil yang terbaik dalam penulisan tesis ini.

5. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum dan Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH selaku penguji tesis penulis.

6. Seluruh Dosen penulis pada Program Pascasarjana USU yang telah banyak memberikan ilmu serta motivasi dalam setiap perkuliahan.

7. Orang tua tercinta, Ayahanda Katio Simanjuntak, Ibunda Siti Murni Siagian yang telah mencurahkan semua kasih sayang kepada ananda serta tidak pernah henti memberikan dukungan baik itu materil maupun moril, serta do’anya yang terus terucap demi kesuksesan ananda.

8. Adik-adikku tercinta, Hendrik Iskandar Simanjuntak, Taufiq Ismail Simanjuntak, A.Md, Asnika Putri Simanjuntak, Siti Maysarah Simanjuntak yang selalu memberikan dorongan dan do’a agar penulis cepat menyelesaikan studi, Abang bangga memiliki kalian.

9. Tulang Abdul Hakim Siagian, SH, M.Hum dan Nantulang Mainilini Butar-butar beserta anak-anaknya.

10.Abang-abang dari Kantor Advokat A. Hakim Siagian & Partners : Bang Asman Siagian, SH, Bang Zulfan, SH, Bang M. Afdal Lubis, SH


(8)

11.Khusus teruntuk Syuratty Astuti Rahayu Manalu, SH, S.Pd yang telah mendukung dan membantu menyelesaikan tesis ini. Semoga Allah membalas kebaikanmu dengan berlipat ganda.

12.Rekan-rekan seperjuangan pada Program Studi Ilmu Hukum Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara angkatan 2006.

13.Seluruh staf pegawai di Program Studi Ilmu Hukum SPS USU atas segala bantuannya serta kemudahan yang kalian berikan.

Akhir kata Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah turut membantu dalam penyelesaian tesis ini. Semoga segala bantuan dan bimbingan yang penulis terima, dibalas oleh Allah SWT dan penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, terutama bagi penulis dan pihak-pihak yang memerlukan dan mengembangkannya.

Medan, Agustus 2008

Penulis


(9)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Fredy

Tempat lahir : Alang Bombon

Tanggal lahir : 09 Juni 1983 Jenis kelamin : Pria

Agama : Islam

Status perkawinan : Belum kawin

Alamat : Jl. Tuar 11 No 22 Lk-11 Kelurahan Amplas Kecamatan

Medan Amplas Kota Medan

Telepon : 081361205380

Pendidikan : - SD Negeri Pulau Rakyat Tahun 1995 - SMP Negeri 1 Pulau Rakyat Tahun 1998 - SMU Negeri 1 Pulau Rakyat Tahun 2001

- Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara Tahun 2006 - Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara 2008


(10)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... iii

KATA PENGANTAR... iv

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vii

DAFTAR ISI... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 9

E. Keaslian Penulisan ... 9

F. Kerangka Teori dan Konsepsi... 11

1. Kerangka Teori ... 11

2. Kerangka Konsepsi... 20

G. Metodologi Penelitian ... 53

1. Jenis dan Sifat Penelitian... 53

2. Sumber Data ... 53

3. Teknik Pengumpulan Data ... 54

4. Analisis Data ... 54

BAB II EKSEKUSI BENDA AGUNAN OLEH KREDITUR SEPARATIS A. Kreditur dalam Hukum Kepailitan... 57


(11)

a. Kreditur Konkuren ... 59

b. Kreditur Preferen ... 59

c. Kreditur Separatis ... 60

d. Kreditur Pemegang Hak Istimewa ... 63

2. Kedudukan Kreditur Separatis dalam Hukum Kepailitan ... 64

3. Akibat Kepailitan bagi Kreditur Separatis... 68

B. Benda Agunan dalam Hukum Kepailitan ... 69

C. Daya Eksekusi Putusan Pailit... 73

D. Eksekusi Benda Agunan oleh Kreditur Separatis ... 76

BAB III PENANGGUHAN EKSEKUSI (STAY) BENDA AGUNAN DALAM HUKUM KEPAILITAN A. Penangguhan Eksekusi (stay) Benda Agunan dalam Hukum Kepailitan... 83

1. Pengertian Stay ... 83

2. Tujuan Stay ... 83

3. Pelaksanaan Hak setelah Stay ... 85

B. Eksekusi Benda Agunan berdasarkan Hukum Jaminan... 85

1. Hukum Jaminan ... 85

a. Asas-asas Hukum Jaminan... 87

b. Sifat dan Bentuk Perjanjian Jaminan ... 88

2. Eksekusi pada Benda Agunan berdasarkan Hukum Jaminan ... 90

C. Penangguhan Eksekusi (Stay) sejalan dengan Konsep dan Tujuan Hukum Jaminan ... 91


(12)

BAB IV UPAYA PERLAWANAN TERHADAP PENANGGUHAN EKSEKUSI (STAY) BENDA AGUNAN

A. Upaya Hukum dalam Kepailitan... 101 1. Kasasi... 101 2. Peninjauan Kembali ... 105

B. Upaya Perlawanan terhadap Penangguhan Eksekusi Benda Agunan dan

Pelaksanaannya ... 107

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 112 B. Saran... 115


(13)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dewasa ini hampir tidak ada negara yang tidak mengenal masalah kepailitan dalam tata hukumnya. Di Indonesia misalnya, secara formal hukum kepailitan sudah ada bahkan telah diatur secara khusus dengan diberlakukannya Faillissements Verordening Stb. Tahun 1905 No. 217 Jo Stb. Tahun 1906 No. 348.

Lebih lanjut dengan semakin berkembangnya masalah kepailitan dan perdagangan dalam masyarakat, maka dalam rangka pembangunan hukum nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintah berpendapat perlu untuk menerbitkan undang-undang yang baru, yaitu Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, untuk selanjutnya disebut dengan Undang-undang Kepailitan.

Urgensi dari hukum kepailitan di Indonesia terjadi setelah krisis ekonomi melanda Indonesia pada tahun 1997. Salah satu dampak negatif dari krisis ekonomi pada saat itu adalah merosotnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing khususnya Dollar Amerika Serikat, yaitu dari nilai 2.372 rupiah menjadi 17.700 rupiah per dolar.F

1

1

Ginandjar Kartasasmita, Globalization and the Economic Crisis: the Indonesia Story, Harvard University, hal 3, 26 Oktober 2000 dalam Elyta Ras Ginting, Kedudukan Kreditur Separatis


(14)

Keadaan ekonomi semakin buruk karena hampir separuh dari jumlah utang tersebut telah jatuh tempo pada tahun 1998 dan berdasarkan laporan dari Badan Pusat Statistik (BPS), sekitar 23.000 perusahaan besar dan menengah yang ada telah pailit secara tehnis serta merupakan keterpurukan perekonomian Indonesia akan dicatat sebagai krisis ekonomi terburuk di Asia.F

2

Krisis ekonomi tidak hanya menyebabkan debitur mengalami kesulitan likuiditas di bidang bisnis tapi secara praktis, debitur sudah berada dalam keadaan pailit, karena upaya rescheduling tidak lagi bermanfaat ditempuh oleh kreditur untuk menagih piutangnya.

Di sisi lain, keadaan debitur yang sudah pailit atau insolvent secara teknis ini menimbulkan strategic jockeing, dimana para kreditur yang tidak beritikad baik untuk keuntungan dirinya sendiri menggugat debitur ke pengadilan untuk membayar utangnya atau memaksa debitur membayar utang dengan menggunakan jasa debt collector.

Meskipun ada beberapa alternatif yang ditawarkan untuk penyelesaian utang piutang antara debitur dan kreditur namun yang menjadi masalah adalah tidak adanya niat yang sungguh-sungguh dari para debitur untuk melunasi utang-utangnya.F

3

F Dalam

hal ini hukum harus dapat menjadi alat untuk menciptakan keadilan dan kepastian hukum bagi kreditur yang pada akhirnya hukum dapat mendorong pemulihan ekonomi, dengan tujuan untuk menciptakan stabilitas, prediktabilitas dan keadilan

2

Ibid.

3

Komisi Hukum Nasional, “Pengembangan Hukum Dalam Rangka Pemulihan Ekonomi”, Artikel, 14 Maret 2002.


(15)

dalam hukum Negara. Dalam rangka penegakan hukum kepailitan perlu dibuat pendekatan dengan pengkajian hukum yang bertujuan mencapai jaminan dan kepastian hukum bagi para pelaku bisnis.F

4

F Di samping itu, yang harus menjadi

perhatian dalam penegakan hukum adalah sarana yang dapat memperlancar pertumbuhan sektor perekonomian.

Teori universalitas hukum kepailitan di seluruh dunia pada prinsipnya menempatkan kreditur separatisF

5

F berada di luar kepailitan debiturnya. Hal ini

dikarenakan kreditur separatis adalah kreditur yang memegang jaminan atas piutangnya yang dikategorikan sebagai piutang istimewa. Dengan demikian, meskipun debitur dinyatakan pailit oleh Pengadilan, pembayaran atas piutang kreditur separatis tetap dijamin.

Namun demikian dalam Pasal 56 ditentukan bahwa hak kreditur separatis ditangguhkan selama 90 hari sejak dinyatakan debitur dalam keadaan pailit. Tambahan lagi, Pasal 59 ayat (3) menentukan bahwa kurator dapat menjual barang agunan setiap waktu dengan membayar jumlah terkecil antara harga pasar pada pemegang hak. Kedua ketentuan ini seakan-akan bertolak belakang dengan ketentuan Pasal 55 yang menyatakan kreditur separatis dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Ketentuan ini juga menempatkan kreditur separatis sama dengan kreditur lainnya yang pembayarannya dilakukan secara pari passu.

4

Bismar Nasution, “Implikasi AFTA Terhadap Kegiatan Investasi Dan Hukum Investasi Indonesia”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol 22, Januari – Februari 2003, hal 48.

5

Yang dimaksud kreditur separatis adalah kreditur yang memiliki jaminan utang kebendaan (hak jaminan), seperti pemegang hak tanggungan, hipotik, gadai, fidusia. Kreditur dengan jaminan yang bukan jaminan kebendaan seperti bank garansi atau borg, bukan merupakan kreditur separatis.


(16)

Prinsip umum hukum kepailitan di semua negara ialah mengecualikan kreditur separatis dari kepailitan debiturnya. Prinsip ini juga dianut oleh Undang-undang Kepailitan yang dituangkan dalam Pasal 55. Namun demikian, kedudukan kreditur separatis tidak sepenuhnya bebas dari akibat kepailitan debiturnya karena Pasal 56 menangguhkan eksekusi jaminan utang yang disebut juga stay.

Selama jangka waktu penangguhan, kurator dapat menggunakan harta pailit berupa benda tidak bergerak maupun benda bergerak atau menjual harta pailit yang berupa benda bergerak yang berada dalam penguasaan kurator dalam rangka kelangsungan usaha debitur, dalam hal telah diberikan perlindungan yang wajarF

6 F bagi

kepentingan kreditur atau pihak ketiga. Penangguhan bertujuan, antara lain:

1. untuk memperbesar kemungkinan tercapainya perdamaian; atau 2. untuk memperbesar kemungkinan mengoptimalkan harta pailit; atau 3. untuk memungkinkan kurator melaksanakan tugasnya secara optimal.

Stay diberlakukan kepada semua kreditur separatis kecuali terhadap kreditur yang hanya timbul dari perjumpaan utang (set-off) serta terhadap kreditur pemegang piutang yang dijamin dengan uang tunai.

6

Yang dimaksud “perlindungan yang wajar” adalah perlindungan yang perlu diberikan untuk melindungi kepentingan kreditur atau pihak ketiga yang haknya ditangguhkan. Dengan pengalihan harta yang bersangkutan, hak kebendaan tersebut dianggap berakhir demi hukum. Perlindungan dimaksud, antara lain dapat berupa:

1. ganti rugi atas terjadinya penurunan nilai harta pailit;

2. hasil penjualan bersih;

3. hak kebendaan pengganti; atau

4. imbalan yang wajar dan adil serta pembayaran tunai (utang yang dijamin) lainnya. (Penjelasan


(17)

Selama berlangsungnya jangka waktu penangguhan, segala tuntutan hukum untuk memperoleh pelunasan atas suatu piutang tidak dapat diajukan dalam sidang badan peradilan, dan baik kreditur maupun pihak ketiga dimaksud dilarang mengeksekusi atau memohonkan sita atas benda yang menjadi agunan. Termasuk dalam pengecualian terhadap penangguhan dalam hal ini adalah hak kreditur yang timbul dari perjumpaan utang (set off) yang merupakan bagian atau akibat dari mekanisme transaksi yang terjadi di Bursa Efek dan Bursa Perdagangan Berjangka.F

7

Selama masa stay kurator dapat menggunakan atau menjual boedel pailit terbatas pada barang persediaan (inventory) dan atau benda bergerak (current assets), meskipun harta pailit tersebut dibebani dengan hak agunan atas kebendaan.

Jangka waktu penangguhan berakhir demi hukum pada saat kepailitan diakhiri lebih cepat atau pada saat dimulainya keadaan insolvensiF

8

F. Kreditor atau pihak ketiga

yang haknya ditangguhkan dapat mengajukan permohonan kepada kurator untuk mengangkat penangguhan atau mengubah syarat penangguhan tersebutF

9 F.

Dalam memutuskan permohonan mengangkat penangguhan atau mengubah syarat penangguhan, Hakim pengawas mempertimbangkan:

7

Bismar Nasution dan Sunarmi, Hukum Kepailitan Di Indonesia, (Medan: SPS USU, 2007), hal 67.

8

Yang dimaksud dengan insolvensi adalah keadaan tidak mampu membayar.

9

Apabila kurator menolak permohonan, kreditur atau pihak ketiga dapat mengajukan permohonan tersebut kepada hakim pengawas. Hakim pengawas dalam waktu paling lambat 1 (satu) hari setelah permohonan diterima, wajib memerintahkan kurator untuk segera memanggil dengan surat tercatat atau melalui kurir, kreditur dan pihak ketiga untuk didengar pada sidang pemeriksaan atas permohonan tersebut. Hakim pengawas wajib memberikan penetapan atas permohonan dalam waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah permohonan diajukan kepada Hakim Pengawas.


(18)

a. lamanya jangka waktu penangguhan yang sudah berlangsung; b. perlindungan kepentingan kreditur dan pihak ketiga dimaksud; c. kemungkinan terjadinya perdamaian;

d. dampak penangguhan tersebut atas kelangsungan usaha dan manajemen usaha debitur serta pemberesan harta pailit.F

10

Keadaan debitur yang sudah insolvent secara teknis dan juridis ini berakibat hukum bahwa pemberesan atas boedel pailit sudah dapat dimulai dan kreditur separatis sudah dapat melaksanakan sendiri hak eksekusinya atas barang jaminan yang dimilikinya. Namun demikian, Pasal 59 membatasi hak kreditur separatis untuk mengeksekusi haknya yaitu hanya selama 2 (dua) bulan terhitung sejak keadaan insolvensi dimulai. Jika kreditur separatis tidak melaksanakan haknya tersebut dalam jangka waktu 2 (dua) bulan maka kurator yang akan melaksanakan hak kreditur separatis dengan cara menjual sendiri benda agunan tersebut.

Dari Undang-undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan tersebut terdapat dua ketentuan yang tidak taat asas (inkonsisten), yaitu dalam Pasal 55 ayat (1) yang secara tegas menyebutkan bahwa setiap kreditur separatis dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan, namun dalam ketentuan berikutnya yaitu pada Pasal 56 ayat (1) menyatakan bahwa hak eksekusi kreditur tersebut ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama sembilan puluh hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan.

10


(19)

Menurut hemat penulis dua ketentuan dalam Undang-undang Kepailitan tersebut telah mengaburkan konsep dan tujuan dari hukum jaminan. Di satu pihak mengakui hak dari kreditur separatis tetapi di pihak lain justru mengingkari hak separatis tersebut, yaitu dengan tidak menempatkan benda-benda debitur pailit yang dibebani hak jaminan sebagai benda-benda di luar harta pailit.

B. Perumusan Masalah

Hukum kepailitan sebagai hukum secara khusus pada dasarnya mengandung dua unsur penting yaitu unsur penting yaitu unsur keadilan dan perlindungan yang seimbang antara debitur dan kreditur. Namun beberapa ketentuan dalam Undang-undang Kepailitan jelas tidak mencerminkan perlakuan yang seimbang (equal treatment) tersebut. Hal ini dikarenakan Undang-undang Kepailitan masih mengadopsi hukum kepailitan Belanda sebagai model dasarnya karenanya Undang-undang Kepailitan Indonesia tetap masih mewarisi elemen sistem hukum kontinental yang berakar dari tradisi sestem hukum yang Eropa Sentris. Rejim hukum kepailitan sistem hukum Eropa (civil law) pada dasarnya lebih memihak pada debitur dari pada kreditur. Karena itu, Undang-undang Kepailitan tidak terlepas dari tradisi keterpihakan kepada debitur dalam kepailitan.

Kedudukan kreditur separatis dalam Undang-undang Kepailitan dianggap kontroversial karena dalam Pasal 55 ditegaskan kreditur separatis berada di luar kepailitan debiturnya. Namun dalam Pasal 56 diatur hak kreditur separatis untuk


(20)

mengeksekusi benda agunan yang ada padanya dibekukan selama 90 hari terhitung sejak debiturnya dinyatakan pailit. Ketentuan automatic stay yang diatur dalam Pasal 56 tersebut bertentangan dengan tradisi kreditur separatis yang menginginkan fleksibilitas yang luas dalam memilih waktu yang tepat untuk melaksanakan hak mereka sesuai dengan keadaan pasar.

Bertitik tolak dari latar belakang tersebut di atas, maka permasalahan yang akan diteliti dan dianalisis dalam tesis ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana eksekusi terhadap benda agunan oleh kreditur separatis berdasarkan Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan?

2. Apakah penangguhan eksekusi (stay) benda agunan yang dianut oleh Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan telah sejalan dengan konsep dan tujuan dari hukum jaminan?

3. Bagaimana upaya perlawanan atas penangguhan eksekusi (stay) benda agunan?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah ditentukan di atas, tujuan yang hendak dicapai dengan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan menganalisis eksekusi terhadap benda agunan oleh kreditur separatis berdasarkan Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan.


(21)

2. Untuk mengetahui dan menganalisis keselarasan penangguhan eksekusi (stay) benda agunan yang dianut oleh Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan telah sejalan dengan konsep dan tujuan dari hukum jaminan.

3. Untuk mengetahui upaya perlawanan atas penangguhan eksekusi (stay) benda agunan.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini memeliki manfaat teoritis dan praktis. Adapun kedua manfaat tersebut adalah sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

Manfaat penelitian yang bersifat teoritis diharapkan bahwa hasil penelitian dapat menyumbangkan pemikiran di bidang hukum terutama hukum bisnis dalam hal penangguhan eksekusi (stay) benda agunan dalam kepailitan.

2. Secara Praktis

Manfaat penelitian yang bersifat praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi kalangan akademisi, praktisi hukum terutama yang berkaitan dengan kepailitan seperti Hakim Niaga.

E. Keaslian Penulisan

Penelitian ini diberi judul “Penangguhan eksekusi (stay) benda agunan dalam kepailitan” sepanjang yang diketahui melalui pengamatan di Perpustakaan Program


(22)

Pascasarjana USU Medan, peneliti mendapati belum ada tesis yang memfokuskan ulasan penangguhan eksekusi (stay) benda agunan. Sebagai catatan ada beberapa penelitian yang telah dilakukan dibidang hukum kepailitan yaitu:

1. Penelitian yang dilakukan oleh Sunarmi yang berjudul “Tinjauan Kritis terhadap Undang-undang Kepailitan: Menuju Hukum Kepailitan yang Melindungi Kepentingan Kreditor dan Debitor”.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Manahan M.P Sitompul yang berjudul “Syarat-syarat Pernyataan Pailit Menurut Pasal 1 Ayat (1) Undang-undang No. 4 Tahun 1998 dan Penerapannya Oleh Pengadilan Niaga”.

3. Penelitian yang dilakukan oleh Kurnia Yani Dharmono yang berjudul “Efektifitas Perlindungan Hukum Kreditor Sebelum Putusan Penjatuhan Pailit Dalam Praktek Penegakan Hukum Di Pengadilan Niaga”.

4. Penelitian yang dilakukan oleh Elyta Ras Ginting yang berjudul “Kedudukan Kreditur Separatis Dalam Perkara Kepailitan”.

Penelitian yang dilakukan oleh Elyta Ras Ginting memang menyinggung sepintas lalu tentang penangguhan eksekusi (stay), akan tetapi pembahasannya hanya terbatas dalam lingkup pengertian dan tujuan stay.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka jelaslah bahwa meskipun ada beberapa penelitian di bidang hukum kepailitan yang pernah dilakukan di Pascasarjana USU Program Ilmu Hukum, namun ternyata topik ulasan dan pembahasannya tidak terfokus pada kajian juridis praktis penangguhan eksekusi (stay) benda agunan dalam


(23)

kepailitan. Dengan demikian, penelitian yang akan dilakukan ini adalah benar-benar asli.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Dalam penelitian ini teori yang dipergunakan adalah “a creditor’s bargain” yang dikemukakan oleh Thomas H Jakson. Tehnik dasar Jackson adalah menyaring hukum kepailitan melalui model “a creditor’s bargain”. Dalam model ini, seseorang yang kehilangan kepemilikannya dalam kepailitan ditunjukkan untuk menyetujui lebih dulu adanya kerugian.F

11

Diharapkan penangguhan eksekusi (stay) tidak merupakan pelanggaran terhadap teori “a creditor’s bargain” tetapi stay merupakan tindak lanjut atas teori “a creditor’s bargain” yaitu antara kreditur separatis dan debitur sama-sama saling diuntungkan atas tindakan penangguhan eksekusi (stay) tersebut.

Walaupun pembebasan debitur dapat menjadi penyebab motivasi dari sebahagian besar kasus-kasus kepailitan, kebanyakan dari proses kepailitan faktanya terkait pertanyaan berapa besar pembagian piutang kepada kreditur yaitu antara lain:

a. Asset disusun sedemikian sehingga mereka dapat dialokasikan diantara pemegang klaim melawan debitur atau kekayaan debitur.

b. Tagihan ditentukan sedemikian sehingga peserta-peserta di dalam proses pembagian mungkin dipertemukan.

11

Sunarmi, Tinjauan Kritis Terhadap Undang-Undang Kepailitan: Menuju Hukum

Kepailitan Yang Melindungi Kepentingan Kriditor Dan Debitor, Disertasi, (Medan; SPS USU, 2005 ), hal 34.


(24)

c. Peraturan menentukan siapa yang diprioritaskan, diantara penagih-penagih, akan mendapatkan apa dan dalam kedudukan sebagai apa.F

12

Ketiga pertimbangan yang telah diuraikan di atas memungkinkan bahwa kreditur tak terjamin pada umumnya akan setuju kepada sistem kolektif sebagai pengganti rencana pemulihan piutang individu karena tidak ada kreditur tunggal. Bagaimanapun para kreditur akan setuju kepada sistem kolektif kecuali jika ada suatu sistem yang mengikat semua kreditur lain. Untuk mengijinkan debitur membuat perjanjian dengan kreditur lain yang akan memilih ke luar daripada kerangka penyelesaian. Hal ini akan menghancurkan keuntungan suatu proses kolektif.

Teori “a creditor’s bargain” kemudian dikembangkan kembali oleh Thomas H. Jackson dan Robert E. Scott yang menyatakan bahwa tujuan utama dari kepailitan untuk memaksimalkan kesejahteraan kelompok secara bersama-sama. Teori ini kemudian dikenal dengan teori Creditors Wealth Maximization yang merupakan teori yang paling menonjol dan paling banyak dianut dalam hukum kepailitan. Jackson merumuskan hukum kepailitan dari perspektif ekonomi sebagai “An acillary, parallel system of debtcollection law”, sedangkan keadaan pailit adalah suatu cara melaksanakan suatu putusan tentang apa yang akan dilakukan terhadap harta debitur. Kritik David Gray Carlson terhadap Versi efisiensi dari kontraktarianisme akan terpusat pada kenyataan bahwa semua atau kebanyakan kreditur akan menawar untuk mendapatkan otoritas yang setara dalam kepailitan.

12


(25)

Menurut Jakcson semua kreditur akan setuju untuk mendapatkan prioritas yang setara dalam kepailitan. Inilah yang disebut dengan “tawar menawar kreditur (creditor bargain). Kesetaraan kreditur pada debitur pada gilirannya adalah esensi dari kepailitan. Kreditur betul-betul mempunyai pandangan yang setara terhadap kesempatan mereka dalam kasus kebangkrutan debitur. Kreditur hanya peduli dengan maksimalisasi recovery mereka. Jika para kreditur bekerja sama, mereka bisa memperoleh keuntungan bahkan dengan menangkap nilai perusahaan yang sedang berjalan (going concern) suatu perusahaan atau paling sedikit dengan mengurangi ongkos administrasi atas recovery dari pengutang.

Tujuan dari kepailitan adalah pemaksimalan hasil ekonomi dari asset yang ada untuk para kreditur sebagai satu kelompok dengan meningkatkan nilai aset yang dikumpulkan untuk mana hak-hak kreditur ditukarkan.

Dalam kepailitan seluruh harta benda debitur diperuntukkan bagi pembayaran tagihan-tagihan kreditur maka jika harta bendanya itu tidak untuk memenuhi kewajiban atas semua tanggungan itu, tentu harta benda itu harus dibagi diantara para kreditur menurut perbandingan tagihan mereka masing-masing.F

13

F Pembagian harta

kekayaan pailit ini dimaksudkan untuk menjamin kepentingan para kreditur.

Hukum yang memberikan perlindungan terhadap kreditur dari kreditur lainnya berupaya mencegah salah satu kreditur memperoleh lebih banyak dari kreditur lainnya dalam pembagian harta kekayaan. Sedangkan perlindungan dari debitur yang tidak jujur diperoleh dengan mewajibkan debitur mengungkapkan secara

13


(26)

penuh (full disclosure) kondisi keuangannya kepada seluruh kreditur secara periodik. Sementara itu, apabila debitur berada keadaan dapat ditolong maka debitur dimungkinkan untuk dapat keluar secara terhormat dari permasalahan utangnya.

Dengan demikian jelas mengapa sejak berabad-abad telah ada peraturan kepailitan, karena dirasakan perlu untuk mengatur hak-hak dan kewajiban debitur yang tidak dapat membayar utang-utangnya serta hak-hak dan kewajiban para kreditur.

Dari kesimpulan ini segera dapat dipahami mengapa masalah kepailitan selalu dihubungkan dengan kepentingan para kreditur, khususnya tentang tata cara dan hak kreditur untuk memperoleh kembali pembayaran piutangnya dari seorang debitur yang dinyatakan pailit. Dan sekaligus juga berhubungan dengan perbedaan kedudukan hak diantara para kreditur.

Hukum kepailitan pada dasarnya mengandung dua unsur penting yaitu unsur keadilan dan perlindungan yang seimbang antara debitur dan kreditur. Namun hukum kepailitan Indonesia dalam beberapa ketentuannya, jelas tidak mencerminkan perlakukan yang seimbang (equal treatment).F

14

F Hal ini disebabkan hukum kepailitan

Indonesia berasal dari hukum kepailitan Belanda yang tetap mewarisi elemen sistem hukum kontinental yang berakar dari tradisi hukum Eropa yang sentries. Rejim hukum kepailitan sistem hukum Eropa (Civil Law) pada dasarnya memihak kepada kreditur daripada debitur.

14


(27)

Di samping teori yang telah diuraikan di atas maka untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang diajukan dipergunakan pendekatan dengan kerangka sistem. Kerangka berfikir menjadikan konsep keadilan dan perlindungan yang seimbang terhadap kepentingan kreditur dan debitur dalam hukum kepailitan sebagai paradigma filosofis. Selanjutnya paradigma yang bersifat konstan ini diinteraksikan dengan potensi yang dimiliki Indonesia dan perkembangan situasi dan kondisi yang berupa kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam hukum kepailitan baik dari segi substansi maupun dalam praktek serta kondisi perdagangan nasional dan global. Interaksi ini menghasilkan wawasan garis politik tentang kepailitan berisi ide-ide perubahan revisi haluan negara termasuk hukum kepailitan yang tertuang dalam propenas yang kemudian dituangkan dalam pembentukan Undang-undang Kepailitan yang mengandung asas keadilan, kepastian hukum, cepat, efektif dan memberikan perlindungan hukum yang seimbang terhadap kreditur dan debitur. Selanjutnya akan berpengaruh terhadap penegakan hukum yang pada akhirnya akan tercipta suatu sistem hukum dan perundang-undangan yang kondusif untuk mendukung dunia usaha khususnya dengan dukungan hukum kepailitan yang lebih kondusif.

Hal ini sesuai dengan asas yang terkandung dalam Undang-undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan yang berisi antara lain adalah:


(28)

Undang-undang ini mengatur beberapa ketentuan yang merupakan perwujudan dari asas keseimbangan, yaitu di satu pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh Debitor yang tidak jujur, di lain pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh kreditur yang tidak beritikad baik.

b. Asas Kelangsungan Usaha.

Dalam Undang-undang ini, terdapat ketentuan yang memungkinkan perusahaan debitur yang prospektif tetap dilangsungkan.

c. Asas Keadilan.

Dalam Kepailitan asas keadilan mengandung pengertian, bahwa ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan. Asas keadilan ini untuk mencegah terjadinya kesewenangan-wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap debitur dengan tidak mempedulikan kreditur lainnya.

d. Asas Integrasi

Asas integrasi dalam Undang-undang ini mengandung pengertian bahwa sistem hukum formal dan hukum materiilnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional.

Jika dirujuk kepada cita-cita yang ingin dicapai hukum, paling tidak ada 3 (tiga) yaitu keadilan, kepastian dan ketertiban. Selanjutnya kehadiran hukum dalam


(29)

masyarakat diantaranya adalah untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan kepentingan-kepentingan yang bisa menimbulkan konflik (conflict of interest). Melalui hukum diharapkan konflik itu bisa ditekan sekecil-kecilnya dan seminimal mungkin.

Formulasi hukum atas fenomena dan formasi transaksi ekonomi sering sulit dijelmakan ke dalam suatu spirit yang sebenarnya. Ajaran Pacta Sun Servanda; siapa berhutang harus membayar, berangkat dari pemikiran logis juridis semata, yaitu debitur (sipenghutang) harus membayar kewajibannya. Tanpa menyentuh soal-soal mendasar mengapa hutang itu harus sampai terjadi. Asas good faith semestinya juga diberlakukan pada kreditur yang nakal. Agar tercipta nilai keadilan yang sebenarnya.F

15

Hukum eksekusi yaitu hukum yang mengatur tentang pelaksanaan hak-hak kreditur dalam suatu perjanjian kredit (utang piutang) yang dijamin dengan harta kekayaan tertentu milik debitur, apabila debitur tersebut ternyata tidak memenuhi prestasinya.F

16

Dalam suatu hubungan utang piutang, ada kewajiban prestasi dari debitur dan hak atas prestasi dari kreditur, hubungan hukum akan terlaksana jika masing-masing pihak memenuhi kewajibannya. Namun dalam hubungan utang piutang yang sudah dapat ditagih (opeisbaar), jika debitur tidak memenuhi prestasinya maka kreditur

15

Robinta Sulaiman dan Joko Prabowo, Lebih Jauh Tentang Kepailitan, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Bisnis Fakultas Universitas Pelita Harapan, 2000), hal xii.

16

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata: Hukum Benda, cet. 5 (Yogyakarta: Liberty, 2001), hal 31.


(30)

mempunyai hak untuk menuntut pemenuhan piutang (hak verhaal atau hak eksekusi), terhadap harta kekayaan debitur yang digunakan sebagai jaminan.F

17

Hak pemenuhan dari kreditur itu dilakukan dengan cara penjualan benda-benda agunan yang hasilnya digunakan untuk pemenuhan utang debitur. Penjualan benda-benda tersebut dapat terjadi melalui penjualan di muka umum karena adanya janji (beding) lebih dahulu (parate executie) terhadap benda-benda tertentu yang dipakai sebagai agunan, juga dapat terjadi melalui penjualan karena adanya penyitaan (beslag) terhadap benda-benda tersebut, atau karena adanya kepailitan.F

18

Suatu penyitaan yang dilakukan terhadap benda-benda tertentu dari debitur, bertujuan untuk kepentingan pelunasan piutang dari kreditur-kreditur tertentu. Sedangkan penyitaan dalam kepailitan tertuju terhadap seluruh harta benda debitur untuk kepentingan para kreditur bersama untuk dapat melaksanakan haknya terhadap benda milik debitur melalui eksekusi, kreditur harus mempunyai alas hak untuk melakukan eksekusi tersebut, yaitu melalui sita eksekutorial (executorial beslag). Syarat diadakannya titel eksekutorial ini adalah demi melindungi debitur terhadap perbuatan yang melampui batas dari kreditur.F

19

Titel eksekutorial dapat timbul pertama berdasarkan keputusan hakim yang dibuat dalam bentuk eksekutorial, yang isinya memutuskan bahwa debitur harus

17

Ibid.

18

Ibid.

19


(31)

membayar sejumlah tertentu, dan yang kedua berdasarkan proses akta notaris yang sengaja dibuat dalam bentuk eksekutorial.F

20

Menurut ketentuan Undang-Undang Pokok Kehakiman, grosse dari akta notaris yang demikian mempunyai kekuatan eksekutorial, yang dalam akta itu dimuat antara lain mengenai pernyataan pengakuan sejumlah utang tertentu dari debitur kepada kreditur dan untuk mempunyai kekuatan eksekutorial seperti putusan pengadilan, maka pada kepala akta harus dicantumkan perkataan “demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.F

21

Sebagai pengecualian dari apa yang diuraikan di atas, jika terjadi kepailitan maka eksekusi dapat dilakukan tanpa memerlukan titel eksekutorial terlebih dahulu, dimana para kreditur dari debitur pailit dapat mengajukan piutangnya masing-masing untuk diverifikatie (pencocokan utang), setelah selesai rapat pencocokan dilakukan penjualan terhadap harta kekayaan debitur dan hasilnya akan dibagikan pada para kreditur. Sedangkan bagi kreditur yang berkedudukan sebagai separatis, mereka tetap melaksanakan haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan.F

22

Kemudian eksekusi juga ternyata dapat dilakukan tanpa mempunyai titel eksekutorial, yaitu melalui parate eksekusi atau eksekusi langsung. Para kreditur separatis dengan adanya janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri, mereka dapat

20

Ibid.

21

Ibid.

22


(32)

melaksanakan haknya secara langsung tanpa melalui keputusan pengadilan atau grosse akta notaris.F

23

Kewenangan untuk melaksanakan parate eksekusi itu pada umumnya timbul karena telah diperjanjikan terlebih dahuluseperti halnya pada hipotek, hak tanggungan atau jaminan fidusia. Hanya pada gadai, parate eksekusi timbul karena ditetapkan oleh undang-undang.F

24

Janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri itu harus didaftarkan dalam register umum untuk mempunyai hak kebendaan, sedangkan penjualan lelangnya harus dilakukan di muka umum, menurut kebiasaan-kebiasaan setempat dan di hadapan pejabat yang berwenang untuk itu.F

25

2. Kerangka Konsepsi

Untuk menghindarkan kesalahpahaman atas berbagai istilah yang dipergunakan, maka di bawah ini akan dijelaskan maksud dari istilah-istilah berikut:

1). Kepailitan dan Hukum Kepailitan

Kata Pailit berasal dari bahasa Perancis yaitu Failite yang berarti kemacetan pembayaran, sedang orang yang berhenti membayar dalam bahasa Perancis disebut “le failli”. Kata kerja “failit” berarti gagal”F

26

F atau yang dalam bahasa belanda dikenal

23

Ibid.

24

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Op. Cit, hal 31-33.

25

R. Soebekti dan Tjirosudibio, Op. Cit, Pasal 1211.

26

Lee Aweng, Tinjauan Pasal Demi Pasal FV (Faillisement Verordening) S.1905.No.217 jo

1906 No 348 Js perpu No 1 Tahun 1998 dan Undang-undang No 4 Tahun 1998, Tanpa penerbit,


(33)

dengan istilah Failiteit. Sedangkan dalam hukum anglo Amerika, pailit dikenal dengan istilah Bankruptcy Act.F

27 F

Dari segi bahasa, arti pailit bermakna negatif sekaligus cermin moral yang tidak diterima oleh masyarakat. Menurut John Duns “The social stigma attached to bankcruptcy was considerable. It was directly linked with criminal behavior. F

28 F

Istilah “Pailit” atau “bankruptcy” juga berkaitan dengan etimologi kata “Bank” yaitu “banc”atau “banca rotta” (Italy) yang artinya bench or table broken atau pailitnya si penukar uang.F

29 F

Dalam bahasa Indonesia, istilah pailit diadopsi dari bahasa belanda failit, dan failit itu sendiri berasal dari kata falere yang artinya menipu atau bohong-bohongan.

Pengertian “Pailit” juga tidak ada dijelaskan baik dalam ordonansi Kepailitan maupun oleh Perpu No 1 Tahun 1998 Jo Undang-undangNo 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan. Istilah “pailit”didefinisikan secara tegas dalam Pasal 1 angka (1) Undang-undangNo 37 tahun 2004 tentang kepailitan dan PKPU yang menggantikan Perpu No 1 tahun 1998 Jo Undang-undang No 4 Tahun 1998 sebagai berikut “ Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini”.

27

Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan, (Malang: UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, 2007), hal 4

28

Jhon Duns, Insolvency Law and Policy, (London: Oxford Univerity Press, 2003), hal 24.

29

C.T.Onions, The Oxford Dictionary of English Etimology, (London: The Clerendon Press,1966), hal.73.


(34)

Berdasarkan hal itu maka dari arti pailit dalam hukum Indonesia adalah kondisi seseorang yang dalam keadaan berhenti membayar utangnya yang sudah jatuh tempo (default to pay the mature debts which is due and payable). Kepailitan adalah suatu keadaan dimana seseorang berhenti tidak mampu lagi membayar hutangnya dengan putusan hakim atau pengadilan negeri.F

30

F Maka secara sederhana,

kepailitan dapat diartikan sebagai suatu penyitaan umum atas semua asset debitur. Debitur pailit juga tidak serta merta kehilangan kemampuannya untuk melakukan tindakan hukum, akan tetapi hanya kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus harta kekayaannya yang dimasukkan ke dalam harta pailit terhitung sejak pernyataan kepailitan.

Pendapat senada dikemukakan R. Subekti dan R. Tjitrosudibio sebagaimana dikutip Sentosa Sembiring sebagai berikut: Pailit berarti keadaan seorang debitur apabila ia telah menghentikan pembayaran utang-utangnya. Suatu keadaan yang menghendaki campur tangan hakim guna menjamin kepentingan bersama dari para krediturnya.F

31

Para ahli hukum memiliki sudut pandang yang berbeda dalam merumuskan hukum kepailitan tergantung dari teori yang mereka anut. Dalam kepustakaan hukum kepailitan secara umum dikenal ada enam teori hukum kepailitan yang masing-masing memiliki sudut pandang yang berbeda tentang hakekat dan fungsi kepailtan. Menurut Vanessa Finch, ke enam teori tersebut adalah creditors wealth maximization,

30

Lihat Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 37 Tahun 2004

31

Sentosa Sembiring, Hukum Kepailitan dan Peraturan Perundang-undangan yang terkait


(35)

contraction approach, the communitarian vision, the forum vision, the etchical vision, dan the multiple values/electic approach.F

32

Dari sekian banyak teori hukum kepailitan, yang paling menonjol dan paling banyak dianut adalah teori Creditors Wealth Maximization yang dikemukakan oleh Thomas H. Jackson. Jackson merumuskan hukum kepailitan dari perfektif ekonomi sebagai “An acillary, paralel system of debt-collection law,F

33

F sedangkan keadaan

pailit adalah suatu cara melaksanakan suatu putusan tentang apa yang akan dilakukan terhadap harta debitur.F

34

Retnowulan SusantoF 35

F melihat hukum kepailitan itu sebagai suatu prosedur

pembayaran hutang dalam rangka merealisasikan ketentuan Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata yang mengatur tentang tanggung jawab debitur terhadap perikatan-perikatan yang dilakukan krediturnya. Pandangan yang sama dinyatakan oleh Jerry Hoff yang merumuskan hukum kepailitan dari segi fungsinya sebagai suatu sitaan umum; “Bankruptcy is a general statutory attachment encompassing all assets of the debtor.”F

36 F

Ahli hukum insolvency dan kepailitan lainnya, seperti Andrew Keay dan Michael Murray menganut kombinasi teori Creditor’s Wealth Maximization dan Forum Vision, meninjau hukum kepailitan dari sifatnya sebagai hukum yang

32

Vanessa Finch, Corporate Insolvency Law: Perspective And Principles, (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), hal 24-41.

33

Thomas H. Jackson, The Logic And Limits of Bankruptcy Law, Newyork: Harvard University Press), hal 3-4.

34

Ibid, hal 34 “Bankcruptcy is a way of implementing a decision as to what to do with assets

of a debtor”

35

Lihat Bernadette Waluyo, Kepailitan dan PKPU (Bandung: Mandar Maju, 1990), hal 1

36


(36)

memaksa dan berlaku secara kolektif yaitu, “A collective process in that individual creditors are not able to enforce their debts independently of the other creditors.”F

37

Dari beberapa rumusan hukum kepailitan tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa hukum kepailitan adalah sutu prosedur tentang penagihan dan pembayaran utang yang berlaku secara kolektif terhadap debitur yang sudah tidak mampu lagi membayar utangnya dimana dengan dinyatakan debitur dalam keadaan pailit, harta debitur jatuh menjadi boedel pailit yang akan digunakan untuk membayar seluruh utangnya pada kreditur.

Tujuan utama kepailitan adalah untuk melakukan pembagian antara para kreditur atas kekayaan debitur oleh kurator. Kepailitan dimaksudkan untuk menghindari terjadinya sitaan terpisah atau eksekusi terpisah oleh kreditur dan menggantikannya dengan mengadakan sitaan bersama sehingga kekayaan debitur dapat dibagikan kepada semua kreditur sesuai dengan hak masing-masing.

Lembaga kepailitan pada dasarnya merupakan suatu lembaga yang memberikan suatu solusi terhadap para pihak apabila debitur dalam keadaan berhenti membayar/tidak mampu membayar. Lembaga kepailitan pada dasarnya mempunyai dua fungsi sekaligus, yaitu: Pertama, kepailitan sebagai lembaga pemberi agunan kepada kreditur bahwa debitur tidak akan berbuat curang, dan tetap bertanggung jawab terhadap semua hutang-hutangnya kepada semua kreditur. Kedua, kepailitan sebagai lembaga yang juga memberi perlindungan kepada debitur terhadap

37

Andrew Keay, Michaewl Murray, Insolvency: Personal Corporate Law & Practice, (Sidney: LawBook Company, 2002)


(37)

kemungkinan eksekusi massal oleh kreditur-krediturnya. Jadi keberadaan ketentuan tentang kepailitan baik sebagai suatu lembaga atau sebagai suatu upaya hukum khusus merupakan satu rangkaian konsep yang taat asas sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata.

Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata merupakan perwujudan adanya jaminan kepastian pembayaran atas transaksi-transaksi yang telah diadakan oleh debitur terhadap kreditur-krediturnya dengan kedudukan yang proporsional. Adapun hubungan kedua Pasal tersebut adalah bahwa kekayaan debitur (Pasal 1131) merupakan jaminan bersama bagi semua krediturnya (Pasal 1132) secara proporsional, kecuali kreditur dengan hak mendahului (hak Preferens).

Jiwa dari hukum kepailitan Indonesia pada dasarnya ada dalam Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 8 ayat (4).F

38

F Yang mengatur tentang syarat-syarat kepailitan serta sifat

dan karekter dari pembuktian dan prosedur dalam mengajukan kepailitan. Karenanya kedua Pasal ini harus dibaca senafas dalam menentukan pailit tidaknya seorang debitur.

Pasal 2 ayat (1) menentukan syarat materil yang harus dipenuhi sebagai dasar dari timbulnya keadaan pailit terhadap debitur yaitu debitur mempunyai 2 (dua) atau lebih utang atau memiliki lebih dari seorang kreditur (concursus creditorium), debitur tidak membayar lunas sedikitya 1 (satu) utang dan utang yang tidak dibayar itu telah

38

Sebelumnya diatur dalam pasal 1 ayat (1) Jo pasal 6 ayat (3) Perpu No.I Tahun 1998 Jo Undang-undang No 4 Tahun 1998.


(38)

jatuh tempo dan dapat ditagih (due and payable). Di samping syarat materil, syarat formil tidak kalah penting dalam hal mencegah sia-sianya permohonan kepailitan hanya karena formalitas tidak terpenuhi. Permohonan pailit dapat diajukan oleh debitur dan kreditur. Hak persona standing right lainnya untuk memohon pailit debitur adalah:

a. Bank Indonesia dalam hal yang diajukan pailit adalah bank b. Bapepam dalam hal yang diajukan pailit perusahaan efek

c. Menteri Keuangan dalam hal diajukan pailit adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi atau Badan Usaha Miliki Negara yang bergerak dibidang kepentingan publik

d. Kejaksaan bertindak sebagai proxy legal mandatory mewakili kepentingan publik dapat mengajukan kepailitan.

e. Jika permohonan pailit diajukan oleh debitur yang menikah dengan

pencampuran harta perkawinan, permohonan harus disertai izin suami/istri. (Pasal 4 ayat 1 jo Pasal 23 dan 110 ayat (2))

f. Permohonan pailit harus diajukan oleh seorang Advokat (Pasal 7) g. Permohonan pailit harus diajukan ke Pengadilan NiagaF

39

39

Permohonan pailit harus diajukan ke Pengadilan Niaga, yaitu:

a. Ditempat kedudukan hukum dari debitur atau tempat kedudukan hukum terakhir debitur

jika debitur telah meninggalkan wilayah Indonesia. (Pasal 3 ayat (1) dan (2))

b. Ditempat kedudukan dari firma atau CV (Pasal 5).

c. Jika debitur tidak bertempat tinggal di indonesia tapi menjalankan usahanya di Indonesia

maka permohonan diajukan ke tempat kedudukan hukum kantor debitur menjalankan usahanya.(Pasal 3 ayat (4)).


(39)

Mahadi mengatakan bahwa salah satu syarat terbentuknya suatu norma hukum adalah ada asas yang tersebunyi yang menjadi dasar norma hukum itu dan menjiwai norma hukum tersebut. F

40

F Undang-undang Kepailitan dan PKPU

mengandung bebarapa asas sebagai berikut:

1. Asas Transparansi, Cepat, Efektif serta Adil.F 41

2. Asas Lex Speciali Derogat Lege Generali atau Asas Integrasi.F 42

3. Asas Kepailitan Sebagai Sitaan Umum.F 43

d. Jika debitur berbentuk badan hukum (legal entity), permohonan diajukan ketempat

kedudukan hukum sebagaimana telah ditentukan dalam anggaran dasar badan hukum bersangkutan (Pasal 3 ayat (5)).

40

Mahadi, Falsafah Hukum ( Suatu Pengantar), (Bandung: Penerbit Alumni, 1991), hal 85

41

Asas ini dengan tegas dinyatakan dalam Penjelasan Undang-undangKepailitan dan PKPU

sebagai asas keseimbangan yang bertujuan tidak hanya melindungi kepentingan debitur tapi juga melindungi kepentingan kreditur agar hukum kepailitan tidak disalahgunakan untuk kepentingan tertentu.

42 Pada hakekatnya, hukum kepailitan adalah hukum acara yang khusus (Lex Specialis)

mengatur prosedur dari kepailitan, proses pencocokan utang, pemberesan boedel pailit, pembayaran utang dan proses reorganisasi utang atau dikenal sebagai PKPU. Namun demikian, jika ada hal-hal tidak diatur dalam lex Specialis, maka lex generalis merupakan rujukan wajib. Yang termasuk lex Generalis sehubungan dengan kepailitan adalah Herzeine Indosich Reglement/RechtReglement

Buitengewesten (HIR/RBG), Reglement op de Rechtsvordering (RV) dan ketentuan dalam KUH

Perdata. ( dalam Elyta Ras Ginting, Op. Cit, hal 66)

Bandingkan pula Munir Fuady, Op.Cit, hal 6. Berpendapat bahwa pada prinsipnya prosedur hukum acara perdata biasa (HIR atau RBG) tetap berlaku untuk perkara permohonan pailit sepanjang tidak diatur secara khusus dalam Undang-undang Kepailitan tersebut.

43

Asas ini terkandung dalam Pasal 21 Undang-Undang Kepailitan yang menyebutkan “Kepailitan meliputi seluruh kekayaan si berhutang pada saat pernyataan pailit, beserta segala apa yang diperoleh selama kepailitan. Bandingkan juga dengan J.B.Huinzink, Insolventie. Alih Bahasa oleh Linus Doludjawa. (Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hal 8, yang berpendapat PKPU bukanlah merupakan suatu sitaan umum sebagaimana halnya dalam kepailitan, oleh karena itu debitur tetap dapat menjalankan usahanya seperti biasanya.

Konsekuensi juridisnya adalah dengan adanya pernyataan pailit dari Pengadilan Niaga, maka seluruh harta debitur pailit berada di bawah sitaan umum guna jaminan pembayaran utang-utangnya. Sitaan umum terhadap harta debitur adalah refleksi dari asas pokok dari schuld dan haftung yang terdapat dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata. Schuld adalah kewajiban debitur untuk membayar utangnya dan Haftung adalah debitur berkewajiban membiarkan harta kekayaannya diambil oleh kreditur sebanyak hutang debitur, guna pelunasan hutang tersebut dalam hal debitur cidera janji.

Lihat Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III-Hukum Perikatan dengan


(40)

4. Asas Pasca Sunt Servanda.F 44

5. Asas I’tikad Baik.F 45

6. Asas Pembagian Merata (Asas Pari Passu).F 46

Secara teoritis, ketentuan distribusi budel pailit secara pari passu berlaku untuk semua golongan kreditur tapi prinsip ini menurut Goode tidak bersifat absolut.F

47

F Dalam prakteknya prinsip pari passu ini tidak diterapkan terhadap kreditur

separatis pemegang hak jaminan atas kebendaan (secured creditor).

Dalam ketentuan Kitab Undang-undang hukum Perdata untuk selanjutnya disebut KUH Perdata, tidak dikenal istilah debitur, akan tetapi istilah si berutang atau schuldenaar. Menurut Pasal 1234 KUH Perdata yang dihubungkan dengan Pasal 1235 KUH Perdata, dan Pasal 1239 KUH Perdata, si berutang (schuldenaar) adalah pihak yang wajib memberikan sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu berkenaan dengan

44Misalnya tawaran perdamaian yang diterima dan disahkan oleh Pengadilan Niaga menjadi

bukti hak bagi kreditur untuk menuntut pemenuhannya di kemudian hari. Perdamaian tersebut dianggap sebagai perikatan antara debitur dan krediturnya yaitu bahwa debitur menyanggupi akan membayar kreditur dengan persentase tertentu. Jika ternyata debitur tidak dapat memenuhi isi perdamaian yang telah diterima oleh kreditur tersebut, maka kreditur dapat meminta Pengadilan Niaga untuk membatalkan perdamaian karena perdamaian tersebut tunduk pada azas pacta sunt servanda.

45Unsur I’tikad baik dari debitur (bona fide debtor) maupun kreditur (bona fide creditor)

marupakan hal penting dalam kepailitan, sebab lembaga kepailitan rentan disalahgunakan untuk menguntungkan diri sendiri maupun pihak tertentu yang tidak beri’tikad baik. Guna mengantisipasi

kemungkinan prosedur kepailitan disalahgunakan ini, Undang-undang Kepailitan mengatur tentang

actio pauliana (doctrine of preferential transfer) dalam pasal 41-46.

46

Pada dasarnya, konsep kepailitan dari seluruh dunia menganut asas pembagian secara pari

passu atau pro rata distribution. Menurut Jhon Duns, “it is a common principle of insolvensi law that creditors should share equally in the insolvent estate”. (John Duns, Op.Cit hal 318)

Hal yang sama juga dikemukakan oleh R.M Goode mengatakan “The most fundamental

principle of insolvency law is that of pari passu distribution, all creditors participating in the common pool in proportion to the size of their admitted claims. Sedangkan prinsip yang mendasari pembagian pari passu menurut Shirley Quo adalah untuk menjamin bahwa seorang kreditur konkuren tidak

memperolah prioritas lebih dari kreditur konkuren lainnya secara tidak adil. (R.M Goode. Op.Cit, hal 59.)

47


(41)

perikatannya kepada si berpiutang, baik yang timbul karena perjanjian mmaupun karena undang-undang. Akan tetapi dalam pustaka-pustaka hukum maupun dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, si berutang (schuldenaar) lebih dikenal sebagai debitur. Oleh karena itu dalam Undang-undang Kepailitan digunakan istilah debitur.F

48

Istilah kreditur berasal dari bahasa latin ‘credence’ atau ‘credere’ yang artinya dapat dipercaya. Kata credence ini kemudian menjadi kredit dalam bahasa Inggris yang memiliki arti yang sama dengan faith, trust (favorable) repute, power based on confidence, acknowledgement of merit, confidence in a buyers ability to pay atau reputation of solvency. Kata benda dari credence adalah creditum atau credit (Inggris) yang artinya sesuatu yang dipercayakan kepada seseorang (thing entrusted to one).F

49

Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Kepailitan menyatakan bahwa kreditur adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan

Salah satu pihak yang terlibat dalam perkara kepailitan adalah pihak pemohon pailit, yaitu pihak yang mengambil inisiatif untuk mengajukan permohonan pailit ke pengadilan, yang dalam perkara biasa disebut sebagai pihak penggugat.

48Dalam Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan, yang dimaksud dengan

debitur, dalam Pasal 1 angka (3), adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan.

49

Lihat The Oxford Dictionary of English Etimology, Op.Cit.hal 226. Lihat juga Bryan A.Garner (Editor), The Blacks law Dictionary


(42)

Menurut Undang-undang kepailitan yang dapat menjadi pemohon dalam suatu perkara pailit adalah salah satu dari pihak berikut, yaitu:F

50

(1) Pihak debitur itu sendiri;

(2) Salah satu atau lebih krediturnya;

(3) Pihak Kejaksaan, jika menyangkut dengan kepentingan umum;F 51

(4) Pihak Bank Indonesia, jika debiturnya adaah suatu bank;

(5) Pihak Badan Pangawas Pasar Modal, jika debiturnya adalah suatu perusahaan efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian;

(6) Menteri Keuangan, jika debiturnya adalah perusahaan asuransi, reasuransi, dana pension atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik.

Pihak debitur pailit adalah pihak yang memohon atau dimohonkan pailit ke pengadilan yang berwenang. Yang dapat menjadi debitur pailit adalah debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.

Debitur di sini dapat terdiri dari orang peroangan atau badan pribadi maupun badan hukum. Sehingga berdasarkan hal tersebut, pihak-pihak yang dapat dinyatakan pailit adalah sebagai berikut;

a. Orang perorangan, baik laki-laki maupun perempuan, yang telah menikah maupun yang belum menikah. Jika permohonan pernyataan pailit diajukan oleh debitur peorangan yang telah menikah, maka permohonan tersebut dapat

50

Undang-undang No. 37 Tahun 2004, Op.Cit, Pasal 2

51

Yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan bangsa Indonesia dan Negara, atau kepentingan masyarakat luas. Sebagai contoh apabila debitur dimaksud mempunyai utang yang berasal dari penghimpunan dana dari masyarakat luas.


(43)

diajukan atas dasar persetujuan suami atau isterinya, kecuali antara suami dan isteri tersebut tidak terjadi pencampuran harta.

b. Perserikatan dan perkumpulan tidak berbadan hukum lainnya, permohonan pernyataan pailit terhadap suatu firma harus memuat nama dan tempat kediaman dari masing-masing persero yang secara tanggung jawab renteng terikat untuk seluru utang firma;

c. Perseroan, perkumpulan, koperasi, maupun yayasan yang berbadan

hukum,dalam hal ini berlaku ketentuan mengenai kewenangan masing-masing badan hukum sebagaimana diatur dalam anggaran dasarnya;

d. Harta peninggalan debitur (harta warisan), apabila seseorang atau beberapa kreditur mengajukan permohonan pailit dan mengurikan secara singkat dam permohonan pernyataan pailit tersebut, bahwa orang (debitur) yang meninggal itu dalam keadaan insolvent.

Suatu perkara kepailitan harus diperiksa oleh hakim majelis (tidak boleh hakim tunggal) baik untuk tingkat pertama maupun untuk tingkat kasasi. Hanya untuk perkara perniagaan lain yang bukan perkara kepailitan untuk tingkat pengadilan pertama, boleh iperiksa oleh hakim tunggal dengan penetapan Mahkamah AgungF

52 F

Hakim majelis tersebut merupakan hakim-hakim pada pengadilan niaga, yaitu hakim-hakim dalam lingkup pengadilan negeri yang telah diangkat menjadi hakim pengadilan niaga berdasaran keputusan Mahkamah Agung. Selain itu terdapat juga

52


(44)

Hakim Ad Hoc, yaitu hakim yang diangkat dari kalangan para ahli berdasarkan Keputusan Presiden atas usul dari Ketua Mahkamah Agung.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa terhitung sejak kepailitan diputuskan debitur pailit tidak lagi berhak melakukan pengurusan atas harta kekayaannya. Oleh karena itu, untuk melindungi kepentingan debitur pailit maupun pihak ketiga yang berhubungan hukum dengan debitur pailit sebeum pernyataan paiit dijatuhkan, diangkat kurator kepailitan.

Undang-undang kepailitan dengan tegas telah menunjuk kurator sebagai satu-satunya pihak yang menangani seluruh kegiatan pengurusan dan pemberesan harta pailit. Hal tersebut secara umum dinyatakan dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-undang Kepailitan bahwa “tuntutan mengenai hak atau kewajiban yang menyangkut harta pailt harus diajukan oleh atau terhadap kurator”.F

53

Dalam suatu putusan pernyataan pailit selain dicantumkan mengenai pengangkatan hakim pengawas dan kurator, juga dicantumkan mengenai besarnya imbalan jasa bagi kurator yang ditetapkan berdasarkan pedoman yang ada dalam

53Dalam Pasal 70 ndang-undang Kepailitan disebutkan bahwa terdapat dua macam kurator,

yaitu Balai Harta Peninggalan (BHP) apabila debitur dan keditur yang memohonkan pailit tidak mengajukan usul megenai pengangkatan kurator kepada pengadilan, dan kurator lainnya yaitu:

a. Orang perorangan yang berdomisili di Indonesia, yang memiliki keahlian khusus yang

dibutuhkan dalam rangka mengurus atau membereskan harta pailit;

b. Telah terdaftar pada Departemen Kehakiman (sekarang Departemen Hukum dan Hak Asasi

Manusia)

c. Terhitung sejak tanggal putusan pernyataan pailit ditetapkan, maka kurator berwenang untuk

melaksanakan tugas pengurusan dan pemberesan harta pailit, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali.53


(45)

Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No. 09.HT.05.10 tahun 1998, yang telah ditetapkan di Jakarta tanggal 22 September 1998.

Yang dimaksud dengan imbalan jasaF 54

F adalah upah yang harus dibayarkan

kepada:

a. Kurator, kurator tambahan, atau kurator pengganti dalam rangka pengurusan dan atau pemberesan harta pailit;

b. Kurator sementara dalam rangka mengawasi pengelolaan usaha debitur, dan mengawasi pembayaran kepada debitur, pengalihan atan pangagunan kekayaan debitur dalam rangka kepailitan yang memerlukan persetujuan kurator.

Untuk mengawasi pelaksanaan pengurusan dan pemberesan harta pailit oleh kurator, maka dalam suatu putusan penyataan pailit oleh pengadilan niaga juga harus diangkat Hakim Pengawas.

Secara umum dalam Pasal 65 Undang-undang Kepailitan dikatakan bahwa hakim pengawas bertugas untuk mengawasi pengurusan dan pemberesan harta pailit, dan sebelum mengambil suatu ketetapan mengenai pengurusan dan pemberesan harta

54 Mengenai besarnya imbalan jasa bagi kurator dalam Pasal 2 ayat (1) Keputusan Menteri

Kehakiman Republik Indonesia No. 09.HT.05.10 tahun 1998, ditentukan sebagai berikut:

a Dalam hal kepailitan berakir dengan perdamaian, maka besarnya imbalan jasa adalah sebesar

suatu presentase dari nilai hasil harta pailit di luar utang sebagaimana ditentukan dalam perdamaian;

b Dalam hal kepailtan berakhir dengan pemberesan, maka besarnya imbalan jasa adalah sebesar

suatu presentase dari nilai pemberesan harta pailit;

c Dalam hal permohonan pernyataan pailit ditolak ditingkat kasasi atau peninjauan kembali,


(46)

pailit, maka pengadilan harus terlebih dahulu mendengar pendapat dari hakim pengawas.

Hakim pengawas juga berhak untuk memperoleh segala keterangan yang diperlukan mengenai kepailitan, mendengar keterangan saksi-saksi, ataupun untuk memerintahkan diadakannya penyidikan oleh ahli-ahli, dan untuk pemanggilan saksi-saksi tersebut di atas, harus atas nama hakim pengawas.F

55

Jumlah kreditur yang berkepentingan dengan kepailitan debitur bisa sangat banyak, jumlahnya bisa mencapai ratusan bahkan tidak mustahil mencapai ribuan. Selain jumlahnya yang sangat banyak, jenis-jenis kreditur juga beragam. Apabila kreditur jumlahnya banyak dan beragam jenisnya, tentu akan sulit bagi kurator untuk dapat berhubungan dengan masing-masing kreditur. Untuk mengatasi kesulitan yang demikian, undang-undang kepailitan sangat memungkinkan dibentuknya suatu Panitia Kreditur oleh pengadilan yang anggota-anggotanya diangkat dari kreditur yang ada.

Dalam Undang-undang Kepailitan, mengenai panitia kreditur diatur pada Bab II Kepailitan, bagian ketiga tentang pengurusan harta pailit khususnya paragraph tiga mulai Pasal 79 sampai dengan Pasal 84. Panitia kreditur sendiri dibedakan menjadi dua yaitu panitia kreditur sementara dan panitia kreditur tetap.F

56

55Apabila saksi mempunyai tempat kedudukan hukum (domisili hukum) di luar kedudukan

hukum pengadilan yang menetapkan putusan pernyataan pailit, maka hakim pengawas dapat melimpahkan pendengaran keterangan dari saksi yang bersangkutan, kepada pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi tempat kedudukan saksi.

56

Panitia kreditur sementara dibentuk atau diangkat oleh pengadilan dengan putusan kepailitan atau dengan penetapan lainnya. Panitia ini diambil dari para kreditur yang ada dan dikenal, dengan jumah anggota satu sampai tiga orang, yang bertugas memberi pendapat dan mendampingi


(47)

Menurut ketentuan undang-undang kepailitan kepada panitia kreditur diberikan hak untuk setiap waktu meminta diperihatkan segala buku atau surat mengenai kepailitan, dan kurator diwajibkan untuk membeikan segala keterangan yang diminta kepada panitia kreditur.

Tugas utama panitia kreditur adalah untuk memberikan pendapat pada kurator, demikian pula kurator dapat meminta pendapat dari panitia kreditur setiap waktu yang dianggap perlu, ataupun untuk mengadakan rapat dengan panitia kreditur.

Selain memberikan pendapat kepada kurator sebagai tugas utama, panitia kreditur juga mempunyai tugas-tugas yang lain, yaitu sebagai berikut:

a. Memeriksa surat-surat atau buku-buku yang berhubungan dengan kepailitan, serta meminta keterangan yang diperlukan;

b. Meminta untuk diadakan rapat kreditur bila dianggap perlu;

c. Wajib memberikan pendapat pada kurator untuk memberikan jawaban terhadap gugatan.

Pendapat yang diberikan oleh panitia kreditur kepada kurator tidaklah mengikat kurator, apabila kurator tidak setuju dengan pendapat dari panitia kreditur tersebut. Apabila terjadi hal yang demikian, maka yang berwenang untuk memutuskan perbedaan pendapat itu adalah hakim pengawas.

kurator dalam tugasnya memeriksa keadaan harta pailit dan melakukan pencocokan kepada hakim pengawas.

Panitia kreditur sementara bertugas selama belum diadakan rapat verifikasi atau pencocokan utang, dan setelah rapat verifikasi selesai dilakukan, hakim pengawas wajib menawarkan kepada para kreditur untuk membentuk panitia kreditur tetap.


(48)

Sebagai suatu hukum acara, Undang-undang Kepailitan mengatur dua jenis prosedur pembayaran utang secara kolektif (One Law-Two Procedures) yang dapat ditempuh umtuk menagih pembayaran utang sebagai berikut:

a. Kepailitan atau Likuidasi

Prosedur likuidasi (formal liquidation preceeding) diatur dalam Bab I Pasal 1 sampai Pasal 221. Dalam prosedur likuidasi dikenal ada dua jenis kepailitan yaitu kepailitan secara paksa (compulsory bankcruptcy) yang dimohonkan oleh kreditur atas debiturnya. Yang kedua adalah kepailitan sukarela (voluntary bankcruptcy) yaitu kepailitan sukarela yang dimohonkan sendiri oleh debitur.

Permohonan pailit dapat diajukan jika debitur yang memiliki dua orang arau lebih kreditur tidak membayar satu dari utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 8 ayat (4), debitur dapat dinyatakan pailit jika ia memiliki lebih dari dua orang kreditur dan ia tidak membayar satu dari utangnya yang telah jatuh tempo.

Ketentuan Undang-undang Kepailitan dalam menjatuhkan putusan pailit terhadap debitur ini sangat sederhana dan tidak membutuhkan pembuktian yang rumit. Hal ini sejalan dengan tujuan dari prosedur likuidasi yaitu untuk membekukan harta pailit dalam hal debitur telah gagal membayar utangnya yang sudah jatuh tempo.


(49)

b. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)

Prosedur PKPU ini dikenal dengan berbagai istilah, seperti reorganization proceeding, suspencion of payment of debt atau moratorium on debt repayment procedures. Ketentuan tentang ini diatur dalam Bab II Pasal 222 sampai 298. Adapun perbedaaannya dengan prosedur likuidasi atau kepailitan adalah:

1. Kondisi debitur bukan dalam keadaan tidak membayar utangnya tapi karena debitur dalam keadaan tidak sanggup meneruskan pembayaran utangnya karena menghadapi masalah likuiditas temporer (temporary liquidity problem) 2. Debitur tetap dianggap cakap mengelola hartanya tapi pengelolaan dilakukan

bersama-sama dengan pengurus (administrator) yang diangkat oleh Pengadilan Niaga.

Dari sudut tujuannya, jelaslah PKPU bertujuan untuk memberi debitur fresh start dalam usahanya dengan cara menjadwalkan kembali pembayaran utang-utangnya dengan kreditur. Penjadwalan utang ini tertuang dalam komposisi yang diajukan debitur baik pada saat mengajukan permohonan PKPU ke Pengadilan Niaga atau diajukan sebelum rapat permusyawaratan hakim dimulai.

Ada beberapa kondisi yang mengakibatkan debitur dalam proses PKPU menjadi pailit, yaitu:

1. Jika debitur tidak datang menghadap pada sidang yang ditentukan setelah PKPU sementara ditetapkan.F

57

57


(50)

2. Jika PKPU berakhir dan tidak ada persetujuan yang dicapai sehubungan dengan komposisi hutang yang diajukan.F

58

3. Jika tidak tercapai persetujuan sehubungan dengan komposisi utang yang diajukan dalam PKPU tetap.F

59

4. Jika kreditur dan administrator mohon kepada Pengadilan Niaga untuk mengakhiri PKPU dengan alasan debitur tidak beritikad baik dalam mengajukan permohonan PKPU.F

60

5. Jika kondisi asset debitur tidak lagi memungkinkan untuk meneruskan PKPU.F

61

6. Jika komposisi yang diajukan ditolak oleh kreditur.

7. Jika komposisi disetujui oleh kreditur tapi Pengadilan niaga menolak mengesahkannya dengan alasan yang ditentukan dalam Undang-undang Kepailitan.F

62

Akibat dari PKPU yang berubah menjadi Kepailitan adalah bahwa pernyataan pailit atas diri debitur sudah dianggap final sehingga debitur tidak lagi diperkenankan mengajukan rencana perdamaianF

63 F

dan pemberesan atas boedel pailit dapat segera dimulai. Di samping itu, Kepailitan yang timbul dari PKPU mengakibatkan uapya

58

Lihat pasal 228 ayat (5) Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan

59

Lihat pasal 228 ayat (5) Jo Pasal 230 ayat (1) Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan

60

Lihat pasal 255 Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan

61

Lihat pasal 255 huruf (e) Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan

62

Lihat pasal 285 ayat (3) Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan

63


(51)

hukum telah tertutup bagi debitur sehingga ia tak dapat lagi melakukan kasasi atau peninjauan kembali.

c. Pengertian Insolvent

Istilah insolvent berasal dari bahasa latin “solvere” yang artinya membayar dan lawan katanya adalah “insolvent” atau “tidak membayar”.F

64 F

Roman Tomasic dan Keturah Whitford berpendapat sama menyatakan bahwa kemampuan membayar utang atau ability to pay the debt adalah kunci dari konsep hukum Kepailitan.F

65

Dalam konteks hukum kepailitan negara-negara common law system pada umumnya, keadaan insolvent debitur biasanya ditest oleh pengadilan dengan menggunakan pendekatan cash flow test atau practical insolvency.F

66

F Cash flow test

adalah pendekatan yang melihat solvabilitas debitur diukur dengan fakta apakah ia membayar utangnya atau tidak.F

67

F Jika ternyata ia membayar utangnya yang telah

64

Lihat The Oxford Dictionary of English Etymology, Op.Cit, hal 845

65

Romas Tomasic, Keturah Whitford, Australian Insolvency and Bancruptcy Law, Edisi ke 2, (Sydney: Butterworth, 1997), hal 207

66

Lihat juga Andrew A Keay, Insolvency: Personal and Corporate Law and Pratice, (Sydney: Law Book Company Service, 1994), hal 3 menyebut istilah ‘cash flow test’ dengan istilah ‘commercial insolvency test’ dan ‘balance sheet test’ sebagai ‘absolute insolvency test’

67

David Morrisondalam Elyta, ‘When a Company Insolvent?’ Insolvency Law Jurnal, Volume 10, 2002, hal 6. Lihat juga Oxford Dictionary of Bussiness, Op.Cit, hal 88 merumuskan cash flow sebagai : “The amount of cash being received and expended by a business, which is often


(52)

jatuh tempo, hal ini mengindikasikan ia ada dalam keadaan solvent atau sanggup membayar.

Di samping pendekatan cash flow test, pengadilan menggunakan pendekatan alternatif lainnya yaitu balance sheet test atau asset test.F

68

F Dalam pendekatan ini,

pengadilan tidak melihat solvabilitas debitur dari fakta apakah debitur membayar utangnya atau tidak tapi dari nilai asset debitur, yaitu apakah assetnya yang dapat direalisasikan melebihi kewajibannya maka debitur dianggap solvent.F

69

Akan halnya Indonesia, konsep insolvensi dalam hukum kepailitan Indonesia memiliki pengertian teknis yang berbeda dengan istilah insolvent yang dianut oleh negara common law system pada umumnya.F

70

F Walaupun Keay menyimpulkan bahwa

“cash flow test telah diterapkan beratus tahun yang lalu dan merupakan konsep klasik dari sistem hukum Eropa Continental,F

71 F

namun dalam hal hukum kepailitan Indonesia, konsep insolvent diaplikasikan dalam fase yang berbeda dengan konsep insolvent negara common law system.F

72

Dalam konteks hukum kepailitan Indonesia, pernyataan pailit oleh Pengadilan Niaga hanya didasarkan pada fakta bahwa debitur tidak membayar satu dari utangnya

68

Oxford Dictionary of Bussiness, Op. Cit, hal 45, merumuskan istilah balance sheet sebagai : ‘A statement of the total assets and liabilities of an organization at a particular date, usually the last

day of the accounting period. The first part of the statement lists the fixed and current assets and the liabilities, the second part shows how they have been financed; the total of each part must be equal’

69

Ibid, hal 7

70

Setiawan, Op. Cit, hal 94

71

Andreaw R. Keay, Avoidance Provisions in Insolvency Law, (Sydney: LBC Information Services, 1997), hal 94

72Pasal 2 ayat (1) Undang-undangKepailitan secara implisit mengadopsi cash flow test dalam

menjatuhkan pernyataan pailit yaitu debitur tidak membayar satu utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Akan tetapi, pernyataan pailit itu sendiri tidak mengindikasikan bahwa debitur berada dalam keadaan insolvent sebagaimana dipraktekkan di negara-negara common law system.


(53)

yang telah jatuh tempo dan dapat dibayar. Sedangkan keadaan solvabilitas debitor akan ditentukan oleh krediturnya.F

73

Dalam Undang-undang Kepailitan ada beberapa kondisi yang

mengindikasikan bahwa debitur ada dalam keadaan insolevent secara teknis atau praktis dan juridis yaitu:

1. Jika debitur tidak mengajukan perdamaian (composition plan) atau; 2. Debitur menawarkan perdamaian tapi ditolak oleh krediturnya, atau;

3. Perdamaian yang ditawarkan debitur diterima oleh krediturnya tapi pengadilan Niaga menolak meratifikasi perdamaian tersebut karena ada dugaan perdamaian dicapai dengan cara curang atau melawan hukumF

74

Adapun akibat hukum dari keadaan insolvent adalah bahwa kepailitan telah bersifat final sehingga harta debitur pailit dapat segera dilikuidasi untuk dibagi-bagikan kepada para krediturnya.

Seperti telah dibahas sebelumnya bahwa suatu putusan pernyataan pailit bersifat serta merta (uit ver baar bij voor raad) dan mempunyai akibat yang konstitutif, yaitu meniadakan keadaan hukum den menciptakan keadaan hukum yang baru.

Dalam suatu putusan tentang pernyataan kepailitan, ada tiga hal yang esensial, yaitu:F

75

73

Lihat Ketentuan Pasal 178 Undang-undang Kepailitan dan PKPU.

74

Lihat Ketentuan Pasal 178 Undang-undang Kepailitan PKPU yang mengatur tentang harta debitur pailit dalam keadaan tidak mampu nmembayar atau insolvent.


(1)

separatis seharusnya tetap dapat melaksanakan haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan, dan terhadap harta debitur yang telah dibebani hak jaminan merupakan harta yang terpisah dari harta pailit. Hukum jaminan sangat berkaitan erat dengan hak tanggungan. Hak tanggungan itu berlaku saat si kreditur melaksanakan haknya pada benda agunan. Ekeskusi hak tanggungan terjadinya sebelum proses kepailitan, sehingga kreditur separatis dapat langsung mengeksekusi benda agunan. Hukum jaminan dan kepailitan objek jaminannya berbeda. Proses hukum jaminan berlangsung sebelum terjadi proses kepailitan, apabila proses hukum jaminan macet maka benda agunan diajukan ke Balai Lelang Negara. Apabila telah terjadi proses pernyataan pailit, maka seluruh benda agunan kembali ke tangan kurator.

3. Belum adanya upaya perlawanan kreditur terhadap penetapan penangguhan eksekusi yang dilakukan oleh kurator maupun hakim pengawas, hal tersebut dikarenakan kurang efektifnya ketentuan mengenai upaya perlawanan yang diberikan oleh Undang-undang Kepailitan. Upaya perlawanan dari pihak mana pun belum ditemui di BHP Kota Medan, hal ini dikarenakan sita atas putusan pailit ini merupakan putusan yang lebih kuat dan sempurna dari sita atass putusan lainnya. Penangguhan eksekusi berlangsung untuk masa waktu paling lama sembilan puluh hari, sementara upaya hukum yang bisa dilakukan oleh kreditur separatis mulai dari permohonan pengangkatan penangguhan eksekusi kepada kurator kemudian kepada hakim pengawas, sampai dengan upaya


(2)

perlawanan di pengadilan dapat memakan waktu kurang lebih tiga puluh hari. Oleh sebab itu para kreditur separatis memilih sikap untuk tidak melakukan upaya hukum perlawanan terhadap penetapan penangguhan eksekusi, karena pertimbangan waktu maupun biaya yang harus dikeluarkannya, sementara kemungkinan diangkatnya penangguhan eksekusi belum dipastikan.

B. Saran

1. Apabila terjadi kepailitan dan enangguhan eksekusi memang harus dilakukan, maka sebaiknya tujuan dari penangguhan eksekusi harus didasarkan atas pertimbangan yang dapat menguntungkan kedua belah pihak (debitur dan kreditur), atau dilakukan perubahan mengenai jangka waktu penangguhan eksekusi menjadi lebih cepat, agar kepentingan kedua belah pihak tetap terpenuhi tanpa merugikan kepentingan salah satu pihak.

2. Terhadap upaya-upaya perlawanan kreditur separatis untuk mengangkat ataupun mengubah syarat-syarat dari penangguhan eksekusi, sebaiknya diberikan time frame yang relative singkat dari yang sebelumnya telah diatur dalam Undang-undang Kepailitan (misalnya kurang lebih sepuluh hari).


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Ali, Achmad, Sosiologi Hukum Kajian Empiris Terhadap Pengadilan, Jakarta: IBLAM, 2004.

Ali, Chidir, Hukum Benda, Bandung: Tarsit, 1990.

Badrulzaman, Mariam Darus, KUH Perdata Buku III-Hukum Perikatan dengan Penjelasan, Bandung: Penerbit Alumni, 1995.

__________. Bab-Bab tentang Credietverband, Gadai dan Fiducia, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 1991.

Aweng, Lee , Tinjauan Pasal Demi Pasal FV (Faillisement Verordening)

S.1905.No.217 jo 1906 No 348 Js perpu No 1 Tahun 1998 dan Undang-undang No 4 Tahun 1998, Medan: Tanpa Penerbit, 2001.

Duns, Jhon, Insolvency Law and Policy, London: Oxford Univerity Press, 2003. Finch, Vanessa , Corporate Insolvency Law: Perspective And Principles, Cambridge:

Cambridge University Press, 2002.

Ginting, Elyta Ras. Kedudukan Kreditur Separatis dalam Perkara Kepailitan. Thesis. Medan: Universitas Sumatera Utara, Unpublished, 2005.

Harahap, M. Yahya, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2007.

Hartini, Rahayu, Hukum Kepailitan, Malang: UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, 2007.


(4)

Huinzink, J.B . Insolventie. Alih Bahasa oleh Linus Doludjawa. Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Jakarta, 2004 Ibrahim, Jhonny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Surabaya:

Bayumedia, 2006.

Jackson, Thomas H., The Logic And Limits of Bankruptcy Law, New York: Harvard University Press, 1986.

Kartono, Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran, Jakarta: Pradnya Paramita, 2004.

Keay, Andrew A, Insolvency: Personal and Corporate Law and Pratice, Sydney: Penerbit Law Book Company Service, 1994.

_______________ . Avoidance Provisions in Insolvency Law, Sydney: LBC Information Service. 1997.

Keay, Andrew and Michael Murray. Insolvency: Personal and Corporate Law

and Pratice, Sydney: LBC Information Service, 2002

Komisi Hukum Nasional, ‘‘Pengembangan Hukum Dalam Rangka Pemulihan Ekonomi’’, Artikel, 14 Maret 2002.

Mahadi, Falsafah Hukum (Suatu Pengantar), Bandung: Penerbit Alumni, 1991. Nasution, Bismar dan Sunarmi, Hukum Kepailitan Di Indonesia, Medan: SPS USU,

2007.

Onions, C.T, Oxford Dictionary of English Etimology, London: The Clerendon Press,1966.

Pramadya Puspa, Yan, Kamus Hukum, Edisi Lengkap, Semarang: Aneka, 1977. Prodjomidjojo, Martiman, Proses Kepailitan, Bandung: Mandar Maju, 1999. Salim, H, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada, 2004

Sastrawidjaja, H. Man S, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban


(5)

Satrio, J, Hukum Jaminan, Hak Agunan Kebendaan, Bandung; Citra Aditya Bakti,

2002.

_______, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Fidusia, Bandung; Citra Aditya Bakti, 2002.

Sembiring, Sentosa, Hukum Kepailitan dan Peraturan Perundang-undangan yang

terkait dengan Kepailitan, Bandung: Nuansa Aulia, 2006.

Setiawan, Konsep-konsep Dasar serta Pengertian Kepailitan, Varia Peradilan, No. 156, 1998.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.

________, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986.

Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen, Hukum Perdata: Hukum Benda, cet. 5 Yogyakarta: Liberty, 2001.

________, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-pokok Hukum Jaminan Perorangan, cet. 5, Yogyakarta:Liberty, 2001.

Sulaiman, Robinta dan Joko Prabowo, Lebih Jauh Tentang Kepailitan, Jakarta: Pusat Studi Hukum Bisnis Fakultas Universitas Pelita Harapan, 2000.

Sunarmi, Tinjauan Kritis Terhadap Undang-Undang Kepailitan: Menuju Hukum

Kepailitan Yang Melindungi Kepentingan Kriditor Dan Debitor, Disertasi,

Medan; SPS USU, 2005 .

Tomasic, Romas and Keturah Whitford, Australian Insolvency and Bancruptcy Law, (Edisi ke 2), Sydney: Butterworth, 1997.

Utrecht, E, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Penerbit PT Penerbit Universitas, Jakarta, 1976.

Yani, Ahmad dan Gunawan Widjaja. Seri Hukum Bisnis Kepailitan. Cet. 4 Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.


(6)

Jurnal Ilmiah

Charles D. Booth, “Report on Joint Symposium on Insolvency”. Diselenggarakan oleh Asean Development Bank (ADB), Manila-Philipine, 26-27 Januari 1999.

Morrison, David, “When a Company Insolvent?” Insolvency Law Jurnal, Volume 10, 2002

Nasution, Bismar, “Implikasi AFTA Terhadap Kegiatan Investasi Dan Hukum Investasi Indonesia”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol 22, Januari – Februari 2003.

Quo, Shirley, “Current Issues Affecting Secured Creditors: Whether Payment To Secured Creditors Can Be Recovered By The Liquidators as Unfair Preferences”, Insolvency Law Journal, Volume 11, Penerbit Law Book Company, Sydney, 2003.

Peraturan Perundang-undangan

Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetbook), diterjemahkan oleh R. Soebekti dan R. Tjirosudibio, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1976.