Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut Hukum Kepailitan

(1)

STANDAR KEPENTINGAN UMUM DALAM PERMOHONAN

KEPAILITAN OLEH KEJAKSAAN MENURUT

HUKUM KEPAILITAN

T E S I S

Oleh

AGUSSALIM NASUTION

067005027 / HK

SEKOLAH PASCA SARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

2 0 0 8


(2)

NAMA MAHASISWA : AGUSSALIM NASUTION

NOMOR POKOK : 067005027

PROGRAM STUDI : MAGISTER ILMU HUKUM

JUDUL TESIS : STANDAR KEPENTINGAN UMUM DALAM

PERMOHONAN KEPAILITAN OLEH KEJAKSAAN MENURUT HUKUM KEPAILITAN

Menyetujui : Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Bismar Nasution, SH.MH K e t u a

Dr. Sunarmi, SH.M.Hum Dr. T. Keizerina Devi A, SH.CN, M.Hum A n g g o t a A n g g o t a

Ketua Program Studi Ilmu Hukum D i r e k t u r

Prof. Dr. Bismar Nasution, SH.MH Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa, B, MSc.


(3)

ABSTRAK

Gejolak moneter yang melanda Asia pada pertengahan tahun 1997 turut pula menyerang dan merusak tatanan pilar ekonomi Indonesia. Ditandai dengan jatuhnya nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat pada tanggal 14 Agustus 1997, yakni dengan berubahnya sistem pertukaran menjadi free-floating system, berakibat dengan nilai rupiah yang terjun bebas dan terjadinya inflasi tinggi. Terperosoknya nilai tukar rupiah dan setidaknya telah memunculkan 3 (tiga) negatif terhadap perekonomian nasional, yaitu Negative Balance of Payments (Neraca Pembayaran Negatif), Negative Spread (Selisih Bunga Negatif di bidang keuangan) dan Negative

Equity (Defisit Modal). Kondisi ini juga mengakibatkan melemahnya kemampuan

perusahaan memenuhi kewajibannya terhadap kreditor, bahkan ada yang sama sekali dalam kondisi yang tidak mampu membayar lagi. Hal ini menyebabkan pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk memperbaiki berbagai peraturan yang ada, yakni dengan membuat Perppu NO. 1 Tahun 1998 yang kemudian menjadi UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Tugas dan wewenang kejaksaan sebenarnya sangat luas menjangkau area hukum pidana, perdata maupun tata usaha negara. Bahwa tugas-tugas kejaksaan dapat dibagi menjadi dua bidang, yaitu pertama, tugas yudisial, dan kedua, tugas non-yudisial. Meskipun demikian tugas yudisial kejaksaan sebenarnya bertambah, berdasarkan UU No. 5 Tahun 1991 jo UU No. 16 Tahun 2004, kejaksaan mendapat kewenangan sebagai pengacara pemerintah atau negara. Pasal 27 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1991 menyatakan bahwa, “ di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah”. Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan Kejaksaan, seperti yang diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004 jo Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2000 diatur bahwa kejaksaan sebagai salah satu pihak yang dapat mengajukan kepailitan, dapat menggunakan haknya untuk mengajukan kepailitan terhadap seorang kreditor yang tidak mampu membayar utang-utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, dengan persyaratan yang harus dipenuhi adalah tidak ada pihak lain yang mengajukan permohonan serupa. Wewenang mengajukan permohonan pailit yang diberi kepada Kejaksaan adalah demi kepentingan umum.

Pada umumnya, tidak ada peraturan yang standar dan baku mengenai kepentingan umum yang menjadi wewenang kejaksaan dalam mengajukan permohonan kepailitan. Di dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004, diberikan batasan singkat mengenai kepentingan umum. Yang dimaksud dengan “kepentingan umum” adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat, misalnya debitor melarikan diri, debitor menggelapkan bagian dari harta kekayaan, debitor mempunyai utang kepada Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha lainnya yang menghimpun dana dari masyarakat, debitor mempunyai utang yang berasal dari perhimpunan dana dari masyarakat luas, debitor tidak beritikad baik


(4)

atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan masalah utang-piutang yang telah jatuh tempo dan dalam hal lainnya menurut kejaksaan merupakan kepentingan umum.

Maka untuk mengetahui mengenai standar kepentingan umum yang menjadi pedoman bagi lembaga kejaksaan dalam mengajukan permohonan kepailitan, penulis mengadakan penelitian dengan menggunakan metode penelitian yuiridis normative terhadap Putusan Pengadilan Niaga Medan atas perkara No. : 02/Pailit/2005/PN-Niaga/Medan, yang merupakan perkara pailit yang pertama yang diajukan oleh lembaga kejaksaan DI Indonesia. Dalam perkara tersebut Jaksa selaku Pengacara Negara demi kepentingan umum mengajukan kepailitan terhadap PT. Aneka Surya Agung (420 orang karyawan eks PT. Aneka Surya Agung) yang belum dibayar gajinya sesuai dengan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, utang PT. Aneka Surya Agung yang telah jatuh tempo dan belum dibayar kepada beberapa BUMN, seperti PT. Telkom, PT. PLN, PT.Bank Negara Indonesia (BNI) dan PT. JAMSOSTEK.

Dari hasil penelitian penulis, nyatalah bahwa Kejaksaan Negeri Lubuk Pakam memiliki kompetensi untuk mengajukan permohonan kepailitan kepada PT. Aneka Surya Agung, karena walaupun undang-undang belum merumuskan secara tegas mengenai pengertian kepentingan umum, akan tetapi kepentingan umum yang menjadi dasar pengajuan permohonan kepailitan oleh kejaksaan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004 jo Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2000 telah dipenuhi, yaitu kreditor yang tidak mampu membayar utang-utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih kepada masyarakat luas (dalam hal ini 420 orang karyawan eks PT. Aneka Surya Agung yang belum dibayar gajinya sesuai dengan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan) dan kepada beberapa BUMN seperti seperti PT. Telkom, PT. PLN, PT.Bank Negara Indonesia (BNI) dan PT. JAMSOSTEK, dimana dalam hal ini tidak ada pihak lain yang mengajukan permohonan serupa. Saran yang dapat diajukan penulis adalah Pemerintah hendaknya lebih memperjelas maksud dan pengertian “kepentingan umum” yang menjadi dasar bagi lembaga kejaksaan untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit untuk kepentingan umum. Karena rumusan yang jelas dan baku tentang “kepentingan umum” di dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini dikhawatirkan akan menimbulkan penafsiran dan interpretasi yang berbeda nantinya tentang “kepentingan umum”, selain itu masyarakat juga harus lebih berperan serta dengan aktif untuk melaporkan berbagai kasus kepailitan yang terjadi sehingga jaksa sebagai pihak yang berkompeten mengajukan permohonan pernyataan pailit untuk kepentingan umum dapat menjalankan peran, fungsi dan kedudukannya dengan lebih baik berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Permohonan Penundaan Pembayaran Utang.


(5)

ABSTRACT

The monetary fluctuation which overwhelmed in all over Asis in the middle of 1997 also attacked and broke down the economic pillar of Indonesia. Marked with the fallof the price exchange of Rupiah over us Dollar on August 14th 1997, followed with the change of the system into free-floating system, the fall of the price exchange of Rupiah and at least has caused 3 (three) negatives on the national economy, which are Negative Balance of Payments, Negative Spread and Negative Equity. This condition has also made the company frailed it’s ability to fulfill it’s obligation over the creditors, in fact there were ssome of them which were in the condition of not being able to pay at all. This condition has made the government issued the new policy to fix the rules which exist at present, by providing govement regulation to replace law (Perppu) No.1 1998which later became the institution (UU) No. 37 2004 which consist about the Palitness and the delay of obligation and Debt Payment.

The duty and the Authority of the District Attorney office is actually extensively reach the criminal side of law, the civil and the National Administration Court of Justice. That the duties of the District Attorney office can be devided into two fields of work, the first one is the judicial duty and the second one is the non-judicial. Even so the judicial duty of the District Attorney office is actually in creased based decree (UU) No. 5 1991 Jo UU (institution) No. 16 2004, the District Attorney office has the authority as the government or state prosecutor. Decree (UU) No. 5 1991 section 27 sub section (2) declare that “ in the civil court of jaustice and National Administration, the District Authorney office with the special authority has the ability to take action inside and outside the court for and in the name of the state or government”. Therefore, based on the office regulations, as being regulated in the decree (UU) No.37 2004 section (2) sub-section (2) Jo Government Regulation No.17 2000 said the District Attorney office as one that can file for the bankruptcy, can use it’s rights to file for the bankruptcy against the creditor who cannot afford to pay its debt which is fail due and can be changed, under the conditions of which must be fulfilled which there is no other which is given to the District of Authorney office is for the sake of public interests.

Generally, there is no standard or fullfiedged regulation about the public interest which appears to to be the authority of the District Authorney office in filing for the petition of bankruptcy in the description of the decree (UU) No.37 2004 section (2) sub-section (2), has been given the short limitation about the publict interest. “Public Interest here means the interests of the Nation and the state and/or the public interests, such as the escape debitor, the debitor who obscure their properties, the debitor who has debt over the state owned corporation and other corporations which gathers the fund from the society, the debitor who has debt which comes from the fund gathereing from the society, the debitor who has no good willing or not being co-operative in dealing with the debt which is fail due and in other interest which is considered to be the public interestaccording to the Dictrict Attorney office.


(6)

Therefore, in order to find out about the standard public interest which is considered to be the orientation for the District Auttorney office in filing the petition of bankruptcy, the writer conducted the reseach by using the normative judicial reseach method on the decision of court of commerse under the case No : 02/Pailit/2005/PN-Niaga/Medan, which dealed with the case of bankrupt over PT. Aneka Surya Agung which has reach the time limitation and has not been payed to several state-owned, corporation, such as PT. Telkom, PT. PLN, PT. The National Bank of Indonesia (BNI) and PT. JAMSOSTEK.

From the writer’s result of reseach, it is true that the Lubuk Pakam District Attorney office has the competence to file for the petition of bankruptcy over PT. Aneka Surya Agung, because eventhough the institution has not strictly formulated about the defenition of the public interest still the public interest which is being the foundation to file the petition of bankruptcy the District Attorney office as being regulated in the Decree No.37 2004 section (2) sub-section (2) Jo Government Regulation No.17 2000 has been fulfilled, which says the creditor who cannot afford to pay its debt which is fall due and can be changed on the society (in this case, 420 employees of pormer PT. Aneka Surya Agung who have not been paid yet based on the institution No.13 2003 about labourship) and on several Nation Corporation such as PT. Telkom, PT. PLN, PT. The National Bank of Indonesia (BNI) and PT. JAMSOSTEK where there is no other side who file for the same petition. The suggestion which can be persuedby the writer is that the government should give more clear picture of what is meant by “Public Interest” which is considered to be the pondation for the District Attorney office to file for the petition of bankruptcy statement for the sake of the public interest. Because of the clear formulation and fulfledged of “Public Interest” in the government regulation to replace law. This issue is worried will cause the wrong interpretation about “Public Interest”, beside that, the society must also act more actively to report vatious bankruptcy cases occor, so that the prosecutor as the competence side to file for the petition of bankruptcy statement better based on the Decree (UU) No. 37 2004 about the bankruptcy and the application of the delay on the debt payment.


(7)

KATA PENGANTAR

Syukur Penulis ucapkan ke Hadirat Allah SWT yang telah mengkaruniai kesehatan dan kelapangan berpikir kepada Penulis sehingga akhirnya tulisan ilmiah dalam bentuk tesis ini dapat diselesaikan.

Karya merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister Humaniora sehingga Penulis harus melengkapi syarat tersebut dengan penyusunan tesis yang berjudul : “Standar Kepentingan Umum

Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut Hukum Kepailitan”.

Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp. A (K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan dalam menyelesaikan pendidikan di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Prof. Dr. Ir. Chairun Nisa B, MSc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan beserta seluruh staf, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan dalam meneyelesaikan pendidikan ini.

3. Prof. Dr. Bismar Nasution, SH.MH, selaku pembimbing utama, Ibu Dr. Sunarmi, SH.M.Hum dan Ibu Dr. T. Keizerina Devi. A, SH.CN, M. Hum, atas bimbingan, koreksi, perbaikan dan masukan yang diberikan dalam rangka penyempurnaan tesis ini.


(8)

4. Bapak dan Ibu Dosen di lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara khususnya Bapak dan Ibu Dosen pada Sekolah Pascasarjana Program Ilmu Hukum.

5. Isteri saya tercinta Umi Sri Rezeki Hasibuan, SH, dan anak-anak saya tersayang Farisa Zhafirah Salim Nasution dan Kayla Annisa Salim Nasution yang telah memberikan inspirasi dan motivasi kepada penulis untuk penyelesaian penulisan tesis ini.

5. Seluruh rekan-rekan di Sekolah Pascasarjana Program Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu serta rekan-rekan yang telah membantu penulis dalam penyelesaian tesis ini.

6. Seluruh pegawai sekretariat Sekolah Pascasarjana Program Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan bantuan kepada penulis selama proses penulisan tesis ini.

Demikian Penulis sampaikan, kiranya tesis ini dapat bermanfaat untuk menambah dan memperluas cakrawala berpikir kita bersama.

Medan, September 2008

Penulis,


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ………. i

ABSTRACT ……….. iii

KATA PENGANTAR ……….. v

RIWAYAT HIDUP ………... viii

DAFTAR ISI ………. ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ……….. 1

B. Rumusan Permasalahan .………... 15

C. Keaslian Penulisan ……… 16

D. Tujuan Penulisan ……….. 16

E. Manfaat Penulisan ……… 17

F. Kerangka Teori ………... 18

G. Metode Penelitian ………. 39

BAB II FUNGSI DAN WEWENANG LEMBAGA KEJAKSAAN PENGAJUAN PERMOHONAN KEPAILITAN A. Sejarah Lembaga Kejaksaan di Indonesia ………. 42

B. Tugas dan Wewenang Kejaksaan dalam Proses Penegakan Hukum ……… 52

C. Tinjauan Umum Mengenai Kepailitan berdasarkan UU…. No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan ….. Pembayaran Utang ……….. 82

D. Fungsi dan Kewenangan Lembaga Kejaksaan dalam ……. Kepailitan berdasarkan UU No.37 Tahun 2004 tentang …. Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang …………... 110


(10)

BAB III STANDAR KEPENTINGAN UMUM DALAM PENGAJUAN

PERMOHONAN KEPAILITAN

A. Pengertian Kepentingan Umum ……….. 115 B. Karakteristik Kepentingan Umum ………. 122 C. Kepentingan Umum Dalam Berbagai Peraturan Perundang

Undangan di Indonesia ……… 131 D. Standar Kepentingan Umum Dalam Pengajuan permohonan

Kepailitan ………. 141

BAB IV PROSEDUR PERMOHONAN KEPAILITAN YANG

DIAJUKAN OLEH KEJAKSAAN DEMI

KEPENTINGAN UMUM

A. Para Pihak Yang Terlibat dalam Proses Kepailitan ……. Berdasarkan UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan..

dan Penundaan Pembayaran Utang ……….. 152 B. Proses Acara Penyelesaian Perkara Kepailitan di ……….

Pengadilan Niaga ……….. 157 C. Upaya Hukum yang dilakukan Jaksa Pengacara Negara ...

Demi Kepentingan Umum ………. 167 D. Analisis Kasus Permohonan Kepailitan Yang diajukan ….

Oleh Jaksa Sebagai Pengacara Negara Demi Kepentingan

Umum ………. 173

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ………. 184 B. Saran ………. 188

DAFTAR PUSTAKA ... 190 LAMPIRAN-LAMPIRAN


(11)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

NAMA : AGUSSALIM NASUTION

TEMPAT/TGL.LAHIR : MEDAN / 5 AGUSTUS 1975

JENIS KELAMIN : LAKI – LAKI

AGAMA : ISLAM

PEKERJAAN : PEGAWAI NEGERI SIPIL (PNS)

PENDIDIKAN :

SD Inpres No. 064037 (lulus tahun 1986)

SMP Swasta Persatuan Amal Bhakti 10 (lulus tahun 1989)

SMA Sawasta Joshua (lulus tahun 1992)

FH Universitas Islam Sumatera Utara (lulus tahun 1997)

Program Studi Magister Ilmu Hukum


(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Gejolak moneter yang melanda Asia pada pertengahan tahun 1997 turut pula menyerang dan merusak tatanan pilar ekonomi Indonesia. Ditandai dengan jatuhnya nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat pada tanggal 14 Agustus 1997, yakni dengan berubahnya sistem pertukaran menjadi free-floating system, berakibat dengan nilai rupiah yang terjun bebas dan terjadinya inflasi tinggi. Terperosoknya nilai tukar rupiah, setidaknya telah memunculkan 3 (tiga) dampak negatif terhadap perekonomian nasional, yaitu : 1

1. Negative Balance of Payments (Neraca Pembayaran Negatif).

Neraca pembayaran negatif terutama terjadi karena melonjaknya nilai tukar utang dalam valuta asing (valas) kalau dirupiahkan. Utang perusahaan swasta dan pemerintah yang cukup besar telah memperberat beban neraca pembayaran sementara kenaikan nilai ekspor sebagai akibat dari terdepresiasinya nilai rupiah tidak dapat dengan segera dinikmati.

2. Negative Spread (Selisih Bunga Negatif di bidang keuangan)

Negative spread terutama terjadi pada industri keuangan. Kebijakan pemerintah

untuk menaikkan suku bunga untuk mengerem laju permintaan valas telah

1

Gunadi, Restrukturisasi Perusahaan Dalam Berbagai Bentuk Pemajakannya, (Jakarta : Salemba Empat, 2001), hal 3.


(13)

menyebabkan naiknya bunga bank. Sementara itu, dana yang terkumpul dari masyarakat sulit disalurkan karena jarang ada perusahaan yang mampu memperoleh margin di atas suku bunga.

3. Negative Equity (Defisit Modal)

Perusahaan yang terlanjur memperoleh kredit bank mengalami negative equity karena nilai kekayaannya dalam rupiah tidak cukup lagi dan bahkan berbeda jauh apabila dipersandingkan dengan nilai rupiah dari utang valas. 2

Dari sisi ekonomi patut disimak data yang dikemukakan oleh Lembaga Konsultan (think tank) Econit Advisory Group, yang menyatakan bahwa tahun 1997 merupakan ‘Tahun Ketidak pastian” (A Year of Uncertainty). Sementara itu, Tahun 1998 merupakan “Tahun Koreksi” (A Year of Correction). 3 Pada pertengahan tahun

1997 terjadi depresiasi secara drastis nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, khususnya dari Dollar Amerika sekitar Rp. 2300,00 pada sekitar bulan Maret menjadi sekitar Rp. 5000,00 per Dollar Amerika pada akhir tahun 1997. Bahkan pada pertengahan tahun 1998 nilai tukar rupiah sempat menyentuh Rp. 16.000,00 per Dollar Amerika Kondisi perekonomian ini mengakibatkan keterpurukan terhadap pertumbuhan ekonomi yang sebelumnya positif sekitar 6-7 % telah terkontraksi menjadi minus 13-14 %. Tingkat inflasi meningkat dari di bawah 10 % menjadi sekitar 70 %. Banyak perusahaan yang kesulitan membayar kewajiban utangnya

2

Ibid, hal. 4.

3

Lembaga Konsultan Econit Advisory Group (Prediksi Tahunan, Econit's Economic Outlook 2000), Tahun 2000, Tahun Kelahiran Kembali Indonesia, Harian Kompas, Kamis, 16 Desember 1999, hal. 5, kol. 1.


(14)

terhadap para kreditor dan lebih jauh lagi banyak perusahaan mengalami kebangkrutan (Pailit). Situasi dunia usaha menjadi tidak kondusif dalam melunasi utang, sebab kewajiban dalam waktu singkat telah berkembang menjadi berlipat ganda akibat melemahnya nilai tukar rupiah terhadap semua mata uang asing lainnya, apalagi sebagian besar pinjaman adalah dalam bentuk mata uang asing sedangkan pendapatan usaha dalam bentuk rupiah dan kegiatan usaha telah lumpuh sebagai akibat dari krisis moneter di Indonesia pada waktu itu telah berubah menjadi krisis multidimensional. 4

Pada era globalisasi sekarang ini kegiatan-kegiatan usaha tidak mungkin lepas dari berbagai masalah-masalah. Suatu perusahaan tidak selalu dapat berjalan dengan baik dan seringkali keadaan keuangannya sudah sedemikian rupa sehingga perusahaan tersebut tidak sanggup lagi membayar utang-utangnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa kehidupan suatu perusahaan dapat saja dalam kondisi untung atau dalam keadaan rugi. Kalau dalam keadaan untung, perusahaan berkembang dan terus berkembang sehingga menjadi perusahaan raksasa. Sebaliknya, apabila perusahaan menderita kerugian maka garis hidupnya menurun. Jadi, garis hidup suatu perusahaan pada suatu saat naik dan pada saat lain menurun, begitu seterusnya sehingga garis hidup perusahaan itu merupakan garis yang naik dan turun seperti grafik.5

4

Ibid, hal. 2.

5

Victor M. Situmorang & Hendri Soekarso, Pengantar Hukum Kepailitan di Indonesia, (Jakarta : Rieneka Cipta, 1994), hal. 1.


(15)

Krisis moneter dan perbankan yang melanda Indonesia telah memakan biaya fiskal yang amat mahal yaitu mencapai 51% dari Product National Bruto (PDB). Krisis tersebut telah menumbuhkan kesadaran akan pentingnya stabilitas pasar keuangan dan kesehatan lembaga-lembaga keuangan yang membentuk system keuangan. Kestabilan pasar keuangan dan kesehatan lembaga-lembaga keuangan yang selanjutnya mampu meredam krisis, sebenarnya merupakan interaksi dari beberapa resiko yang harus selalu dikelola dengan baik. Salah satu risiko yang harus dikelola dengan baik sehingga tidak menyebabkan kestabilan pasar keuangan dan kesehatan lembaga keuangan terganggu dan pada akhirnya menyebabkan krisis adalah gagalnya perusahaan di sektor riil mengembalikan pinjaman. Kegagalan perusahaan dalam mengembalikan pinjaman dapat dikategorikan bahwa perusahaan mengalami corporate failure (kepailitan).6

Dalam kondisi yang sangat tidak menguntungkan dan serba tidak menentu, persoalan yang paling krusial adalah bagaimana menyelesaikan utang-piutang di kalangan dunia usaha. Para kreditor baik asing maupun lokal dengan segala daya upayanya mendesak agar kreditor yang mayoritas adalah pengusaha swasta nasional segera melunasi kewajibannya.

Sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang timbul karena dampak krisis moneter, seperti untuk memberikan

6

Muliaman D Hadad, Wimboh Santoso dan Ita Rulina, Indikator Kepailitan di Indonesia : An Additional Early Warning Tools Pada Stabilitas Sistem Keuangan, (Jakarta : Bank Indonesia, Desember 2003), hal. 2.


(16)

kesempatan kepada pihak kreditor dan perusahaan debitor menyelesaikan utang-piutangnya secara adil, meningkatkan kembali kepercayaan investor asing terhadap jaminan penanaman modalnya di Indonesia, juga sebagai reaksi atas permintaan dari Dana Moneter Internasional/International Monetery Fund (IMF) yang mendesak agar Indonesia segera menyempurnakan sarana hukum yang mengatur permasalahan pemenuhan kewajiban oleh debitor kepada kreditor, akhirnya pemerintah Indonesia melakukan perubahan-perubahan yang cukup signifikan dalam peraturan perundang-undangan, salah satunya adalah dengan merevisi Undang-Undang Kepailitan yang ada. Pada tanggal 22 April 1998, pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Kepailitan guna menyempurnakan ketentuan kepailitan sebagaimana diatur dalam Failissement Verordening Staatsblad No. 217 Tahun 1905 jo Staatsblad No. 384 Tahun 1906. Perpu tersebut disahkan sebagai Undang-undang No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan pada tanggal 24 Juli 1998. Sejalan tuntutan perkembangan masyarakat, ketentuan tersebut dirasa belum mampu memenuhi kebutuhan hukum masyarakat, sehingga perlu dilakukan perubahan yang ditetapkan pada tanggal 18 Oktober 2004 melalui Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Berbagai perubahan di bidang hukum ini diharapkan mampu menjawab berbagai persoalan yang berkaitan dengan krisis moneter terutama dalam penyelesaian masalah utang-piutang yang selaras dengan semangat pembangunan ekonomi nasional dan globalisasi.7

7


(17)

Masalah selanjutnya adalah bagaimana dan apa yang diperlukan untuk membantu dunia usaha khususnya untuk mengatasi ketidakmampuan para debitor untuk memenuhi kewajiban membayar utang pada para kreditor.

Secara teoritis, pada umumnya utang-piutang kreditor yang memiliki masalah dengan kemampuan untuk memenuhi kewajibannya membayar utang dapat menempuh berbagai alternatif penyelesaian. Kreditor dan debitor dapat merundingkan permintaan penghapusan utang baik untuk sebagian atau seluruhnya, dapat menjual sebagian asset atau bahkan usahanya serta dapat pula mengubah pinjaman tersebut menjadi penyertaan saham. Para kreditor dapat menggugat berdasarkan hukum Perdata yaitu mengenai wanprestasi atau ingkar janji bila debitor mempunyai keuangan atau harta yang cukup untuk membayar utang-utangnya. Selain itu, bila debitor tidak mempunyai keuangan, harta atau asset yang cukup sebagai jalan terakhir barulah para kreditor menempuh pemecahan melalui peraturan kepailitan seperti yang diatur dalam UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dengan cara mengajukan permohonan pailit kepada Pengadilan Niaga di daerah wilayah hukumnya.

Kepailitan merupakan proses dimana : 8

1. Seorang debitor yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini Pengadilan Niaga, dikarenakan debitor tersebut tidak dapat membayar utangnya.

Grafindo Persada, 2002), hal. 20-21.

8

Rudhy A. Lontoh, dkk, Hukum Kepailitan – Penyelesaian Utang-Piutang – Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung : Alumni, 2001), hal. 23.


(18)

2. Harta debitor dapat dibagikan kepada para kreditor sesuai dengan peraturan kepailitan.

Kepailitan berdasarkan Peraturan Pemerintah pengganti UU No.1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU Kepailitan, yang menyebutkan:

1. Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan tidak dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang, baik atas permohonannya sendiri, maupun atas permintaan seorang atau lebih krediturnya.

2. Permohonan sebagaimana disebut dalam butir di atas, dapat juga diajukan oleh kejaksaan untuk kepentingan umum.

Kepailitan di dalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 disebutkan sebagai sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawaan Hakim Pengawas.

UU kepailitan pada dasarnya menyatakan bagaimana menyelesaikan sengketa yang muncul di kala satu perusahaan tidak bisa lagi memenuhi kewajiban utang, juga bagaimana menangani pertikaian antar individu yang berkaitan dengan bisnis yang dijalankan. Ada beberapa kriteria penting :9

1. Pembukuan harus jelas. Penilaian aktiva harus transparan dan dengan cara yang diakui umum (Internasional Standard)

2. Tingkat gradasi utang piutang berdasarkan tanggungan menentukan siapa yang boleh didahulukan dalam menyelesaikan masalah utang. Misalnya: sebuah

9


(19)

perusahaan bangkrut, siapa yang berhak memperoleh pembayaran terlebih dahulu dan siapa yang kemudian;

3. Acara hukum perdata mengatur siapa yang berkepentingan, pihak pengatur kebangkrutan, pengadilan mana yang kompeten dan bagaimana cara/proses yang harus dilakukan untuk menyelesaikan perkara ini;

4. Penetapan sanksi oleh pengadilan yang berwenang andaikata satu pihak tidak memenuhi janji. Berapa waktu yg diberikan kepada perusahaan yang merasa mampu membereskan utang-utangnya sendiri;

5. Sekalipun dinyatakan pailit, tentunya perusahaan masih bisa berjalan sementara. Dalam hal ini ditetapkan persyaratan-persyaratannya dan siapa yang harus mengawasi proses penyehatannya. Suatu perusahaan yang dinyatakan pailit tidak perlu langsung menghentikan semua kegiatannya. Mereka harus diberi kesempatan untuk membereskan keuangan dan kegiatan yang lain demi kepentingan penagih utang.

6. Penyelesaian sengketa boleh dijalankan lewat arbitrase di luar pengadilan Perusahaan dinyatakan pailit/bangkrut apabila dalam jangka waktu tertentu tidak bisa melakukan pembayaran pokok dan atau bunganya. Kepailitan juga bisa diminta pemilik perusahaan atau juga oleh para penagih utang.

Syarat-syarat untuk mengajukan pailit terhadap suatu perusahaan telah diatur dalam Pasal 2 UU No.37 Tahun 2004. Dari syarat pailit yang diatur dalam pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa syarat yuridis agar dapat dinyatakan pailit adalah :


(20)

1. Adanya hutang;

2. Minimal satu dari hutang sudah jatuh tempo; 3. Minimal satu dari hutang dapat ditagih; 4. Adanya debitur

5. Adanya kreditur 6. Kreditur lebih dari satu

7. Pernyataan pailit dilakukan oleh pengadilan khusus yang disebut dengan Pengadilan Niaga.

8. Permohonan pernyataan pailit diajukan oleh pihak yang berwenang yaitu : a. Pihak debitur

b. Satu atau lebih kreditur

c. Jaksa untuk kepentingan umum d. Bank Indonesia jika debiturnya bank

e. Bapepam jika debiturnya perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, dan lembaga penyimpanan dan penyelesaian

9. Menteri Keuangan jika debiturnya perusahaan asuransi, reasuransi, dana pensiun dan BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik.

Dengan dinyatakan pailit maka seorang debitur pailit tidak memiliki kewenangan apapun lagi atas seluruh harta kekayaannya baik yang sudah ada maupun


(21)

yang akan diterimanya selama kepailitan itu berlangsung. Kepailitan itu sendiri mencakup : 10

1. Seluruh kekayaan si pailit pada saat dia dinyatakan pailit (dengan beberapa pengecualian untuk si pailit perorangan) serta asset-asset yang diperoleh selama kepailitannya.

2. Hilangnya wewenang si pailit untuk mengurus dan mengalihkan hak atas kekayaannya yang termasuk harta kekayaan

Dalam Pasal 281 ayat (1) Perpu No. 1 Tahun 1998, telah dibentuk Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagai pengadilan khusus dalam lingkup peradilan umum sesuai dengan Pasal 10 Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana telah diperbarui dan tertuang dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dengan salah satu kewenangannya untuk menangani permasalahan kepailitan. Selanjutnya, guna memperluas wilayah cakupan kerja Pengadilan Niaga, didirikan Pengadilan Niaga di Makassar, Surabaya, Medan dan Semarang, dengan Keputusan Presiden No. 97 Tahun 1999.

Dengan dibentuk dan didirikannya Pengadilan Niaga tersebut, maka setiap penyelesaian sengketa niaga, khususnya untuk menyelesaikan permohonan kepailitan, seperti pembuktian dan verifikasi utang, actio pauliana, hingga pemberesan harta pailit, menjadi kewenangan absolut Pengadilan Niaga. Sebagai catatan, selain

10

Sunarmi, Perbandingan Sistem Hukum Kepailitan antara Indonesia (Civil Law System) dengan Amerika Serikat (Common System), (Medan : e-USU Repository, 2004), hal. 23.


(22)

memiliki kewenangan absolut terhadap setiap perkara kepailitan sebagai pelaksanaan Perpu No. 1 tahun 1998. Sebagai perluasan kewenangan, Pengadilan Niaga memiliki kompetensi pula untuk menyelesaikan beberapa sengketa di bidang perdagangan, terutama Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI) sebagaimana telah dialokasikan dari beberapa ketentuan perundang-undangan HAKI. Hal tersebut dipahami seperti tertuang dalam 50 program utama yang disyaratkan oleh International Monetary

Fund (IMF) di dalam Letter of Intent kepada pemerintah Indonesia, ide dasar

pembentukan Pengadilan Niaga tidak hanya semata untuk menyelesaikan permasalahan kepailitan, namun juga untuk menangani permasalahan di bidang perdagangan lainnya yang membutuhkan penanganan dalam jangka waktu yang singkat dan efektif namun tetap memperhatikan jaminan dan kepastian hukum, mengingat filosofi perdagangan itu sendiri yang menganut prinsip “time is money”.11

Di dalam perkara kepailitan dapat ditemukan pihak-pihak yang mengajukan dan diajukan dalam proses kepailitan. Salah satu pihak yang terlibat dalam perkara kepailitan adalah pihak yang mengajukan atau pemohon pailit, yakni pihak yang mengambil inisiatif untuk mengajukan permohonan pailit ke pengadilan, yang dalam perkara pailit biasa disebut sebagai pihak penggugat (Pemohon Pailit).

Di dalam Pasal 2 UU Kepailitan yang baru yaitu UU No. 37 Tahun 2004 terdapat 6 (enam) pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit, yaitu :

1. Debitor itu sendiri. 2. Satu atau lebih kreditor.

11


(23)

3. Kejaksaan untuk kepentingan umum.

4. Bank Indonesia jika debitornya adalah suatu bank.

5. Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) jika debitornya adalah perusahaan Efek.

6. Menteri Keuangan jika debitornya adalah Perusahaan Asuransi.

Kejaksaan, seperti yang diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004 sebagai salah satu pihak yang dapat mengajukan kepailitan, dapat menggunakan haknya untuk mengajukan kepailitan terhadap seorang kreditor yang tidak mampu membayar utang-utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Tetapi persyaratan pada ayat (1) tetap harus dipenuhi, disamping alasan tidak ada pihak lain yang mengajukan permohonan serupa. Wewenang serupa juga diberikan kepada Bank Indonesia jika debitornya adalah bank, dan Bapepam jika debitornya perusahaan efek. Wewenang mengajukan permohonan pailit yang diberi kepada Kejaksaan demi kepentingan umum.

Dahulu, sebelum keluarnya UU No. 37 Tahun 2004, dalam Undang-Undang Kepailitan tidak dijumpai penjelasan yang pasti tentang bagaimana batasan kepentingan umum tersebut. Oleh sebab itu, penafsirannya diserahkan kepada doktrin dan yurisprudensi. Praktik hukum menunjukkan bahwa kepentingan umum ada apabila tidak ada kepentingan perorangan, melainkan alalsan-alasan yang bersifat umum dan lebih serius yang mengesankan penanganan oleh lembaga/alat kelengkapan Negara.


(24)

Di dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004, diberikan batasan mengenai kepentingan umum. Yang dimaksud dengan “kepentingan umum” adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat, misalnya : a. Debitor melarikan diri.

b. Debitor menggelapkan bagian dari harta kekayaan.

c. Debitor mempunyai utang kepada Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha lainnya yang menghimpun dana dari masyarakat.

d. Debitor mempunyai utang yang berasal dari perhimpunan dana dari masyarakat luas.

e. Debitor tidak beritikad baik atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan masalah utang-piutang yang telah jatuh tempo.

f. Dalam hal lainnya menurut kejaksaan merupakan kepentingan umum.

Di dalam PP No. 17 Tahun 2000 diatur mengenai Permohonan Pernyataan Pailit untuk Kepentingan Umum. Kejaksaan dapat mengajukan permohonan tanpa melalui jasa advokat. Dalam hal ini kejaksaan bertindak sebagai pengacara negara, sehingga diwakili jajaran Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun). Peraturan yang tertera di dalam Pasal 7 UU No. 37 Tahun 2004 yang mengharuskan permohonan pernyataan pailit diajukan oleh seorang advokat tidak berlaku bagi permohonan kepailitan yang diajukan oleh kejaksaan, maka sebagai gantinya pihak kejaksaan harus membawa Surat Perintah Penunjukkan Jasa Pengacara Negara dalam persidangan di pengadilan.


(25)

Pada umumnya, tidak ada perbedaan mendasar dalam mekanisme permohonan pailit yang diajukan kejaksaan dengan permohonan yang diajukan pihak lain di luar kejaksaan. Di dalam UU No. 37 Tahun 2004, permohonan pernyataan pailit demi kepentingan umum yang diajukan oleh kejaksaan harus diajukan kepada kepada Ketua Pengadilan Niaga yang daerah hukumnya meliputi wilayah hukum debitor pailit dan harus didaftarkan melalui Panitera Pengadilan Niaga tersebut, dimana kepada pemohon diberi tanda terima tertulis yang ditandatangani pejabat yang berwenang pada tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran. Sama dengan perkara Perdata pada umumnya, maka permohonan pernyataan pailit ini bentuknya juga harus tertulis seperti halnya dengan surat gugatan yang memuat identitas para pihak secara lengkap, dasar gugatan (Posita) dan hal-hal yang dimohonkan

(Petitum).12

Selanjutnya Panitera wajib menolak pendaftaran permohonan pernyataan pailit bagi institusi jika dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan dalam ayat-ayat tersebut. anitera menyampaikan permohonan pernyataan pailit kepada Ketua Pengadilan paling lambat (dua) hari setelah tariggal permohonan didaftarkan. Dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan, Pengadilan mempelajari permohonan dan menetapkan hari sidang. Sidang pemeriksaan atas permohonan pernyataan pailit diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 20 (duapuluh) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan. Atas

12

Pasal 6 ayat (1) dan (2) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.


(26)

permohonan Debitor dan berdasarkan alasan yang cukup, Pengadilan dapat menunda penyelenggaraan sidang sampai dengan paling lambat 25 (dua puluh Iima) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan.13

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, peneliti merasa tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai standar kepentingan umum yang melatarbelakangi pihak kejaksaan dalam mengajukan permohonan pernyataan pailit. Apalagi dalam salah satu point dinyatakan bahwa kejaksaan dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit dalam hal lainnya menurut kejaksaan merupakan kepentingan umum. Apakah standar atau kriteria untuk menentukan hal tersebut atau apakah kejaksaan harus melakukan diskresi untuk menentukan kepentingan umum tersebut dan sebagainya.

B. Rumusan Permasalahan

Sejalan dengan hal-hal tersebut di atas, maka rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah, sebagai berikut :

1. Pertimbangan-pertimbangan apakah yang mendasari pemikiran pemberian kewenangan kepada kejaksaan untuk mengajukan permohonan kepailitan?

2. Bagaimana standar kepentingan umum yang harus diperhatikan dalam pengajuan permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh jaksa berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang?

13

Pasal 6 ayat 3-7 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.


(27)

3. Bagaimana proses pengajuan permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh jaksa untuk kepentingan umum melalui Pengadilan Niaga?

C. Keaslian Penulisan.

Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti, diketahui bahwa penelitian tentang Standar Kepentingan Umum dalam Permohonan Kepailitan oleh Kejaksaan menurut Hukum Kepailitan belum pernah dilakukan, baik dalam judul, topik dan permasalahan yang sama. Jadi penelitian ini adalah merupakan hal yang baru dan asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan, yaitu jujur, rasional, objektif dan terbuka, sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka untuk kritikan-kritikan yang sifatnya membangun sehubungan dengan topik dan permasalahan dalam penelitian ini.

D. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian tesis ini, adalah sebagai berikut :

Selanjutnya, penulisan skripsi ini juga diharapkan bermanfaat untuk :

1. Untuk mengetahui pertimbangan-pertimbangan yang mendasari pemikiran pemberian kewenangan kepada kejaksaan untuk mengajukan permohonan kepailitan.


(28)

2. Untuk mengetahui standar kepentingan umum yang harus diperhatikan dalam pengajuan permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh kejaksaan berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004.

3. Untuk mengetahui proses pengajuan permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh kejaksaan untuk kepentingan umum melalui Pengadilan Niaga.

E. Manfaat Penulisan

Dari sudut penerapannya dalam ilmu pengetahuan, penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dan masukan dalam bidang hukum kepailitan di Indonesia pada umumnya dan khususnya tentang permohonan pernyataan kepailitan yang diajukan oleh kejaksaan.

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat, bagi berbagai kalangan, yaitu :

1. Masyarakat umum

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi masyarakat umum yang mencari keadilan yang hak-haknya telah dirugikan oleh orang perorang ataupun

person maupun badan hukum, sehingga masyarakat mendapatkan kepastian dan

perlindungan hukum dari pihak-pihak yang telah merugikan mereka tersebut. 2. Lembaga Kejaksaan

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi lembaga kejaksaan dalam rangka membantu masyarakat umum yang mencari keadilan dan memperjuangkan hak-haknya yang telah dilanggar baik oleh orang perorangan maupun badan hukum,


(29)

sehingga lembaga kejaksaan dapat memberikan solusi yang tepat sehubungan dengan kedudukan lembaga kejaksaan dalam menangani perkara kepailitan di Indonesia khususnya mengajukan permohonan kepailitan demi kepentingan umum yang selama ini kurang efektif walaupun telah diatur di dalam undang-undang, yaitu UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

3. Pemerintah secara umum

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi Pemerintah khususnya untuk lebih menegaskan indikasi dan standar kepentingan umum dalam peraturan perundang-undangan terhadap permohonan pernyataan kepailitan yang diajukan oleh kejaksaan, sehingga akan lebih menjamin rasa keadilan dan kepastian hukum.

F. Kerangka Teori

Bila ditelusuri secara lebih mendasar, istilah “pailit” dijumpai dalam perbendaharaan bahasa Belanda, Prancis, Latin dan Inggris dengan istilah yang berbeda-beda. Di dalam bahasa Prancis, istilah “Faillite” artinya pemogokan atau kemacetan dalam melakukan pembayaran. Oleh sebab itu, orang mogok atau macet atau berhenti membayar utangnya didalam dalam bahasa Prancis disebut “lefailli”.

Secara tata bahasa kepailitan berarti segala hal yang berhubungan dengan “pailit”. Di Negara-negara yang berbahasa Inggris untuk pengertian pailit dan kepailitan mempergunakan istilah-istilah bankrupt dan bankruptcy. .14

14


(30)

Salah satu pengertian kepailitan dapat kita lihat seperti apa yang dikemukakan dalam salah satu kamus karangan Black Henry Campbell (Black’s Law Dictionary) yang mengatakan bahwa :

Pailit atau bankrupt adalah : “the state or condition of a person (individual,

partnership, corporation, municipality) who is unable to pay its debt as they are, or become deu”. The term includes a person against whom an involuntary petition has been filed, or who has filed a voluntary petition, or who has been adjudged a bankrupt”. 15

Dari pengertian di atas, dapat dilihat bahwa pengertian pailit dihubungkan dengan “ketidakmampuan untuk membayar” dari seorang (debitor) atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo.

Pengertian kepailitan, secara defenitif tidak ada pengaturannya atau penyebutannya di dalam Undang-Undang Kepailitan. Namun para sarjana kebanyakan mendasarkan defenisi kepailitan dari berbagai sudut pandang, juga dari berbagai pasal di dalam Undang-undang itu sendiri. Kepailitan adalah suatu sitaan dan eksekusi atas seluruh kekayaan si debitur (orang-orang yang berhutang) untuk kepentingan semua kreditur-krediturnya (orang-orang berpiutang) bersama-sama, yang pada waktu itu debitur dinyatakan pailit mempunyai hutang dan untuk jumlah piutang masing-masing kreditur memiliki pada saat itu.

Jika diperhatikan didalam pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 disebutkan bahwa : Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan

15

Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis“Kepailitan”, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1999), hal. 26.


(31)

pailit dengan putusan Pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, baik atas permohonan sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih krediturnya.16

Subekti dalam bukunya Pokok-Pokok Hukum Perdata berpendapat bahwa kepailitan adalah suatu usaha bersama untuk mendapatkan pembayaran semua berpiutang.17 JCT. Simorangkir dan Woerjono Sastropranoyo, dalam bukunya Pelajaran Hukum Indonesia menyatakan bahwa kepailitan adalah suatu Beslag

Eksekutorial yang dianggap sebagai hak kebendaan seseorang terhadap barang

kepunyaan debitor.18 Kartono dalam bukunya Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran, bahwa kepailitan adalah suatu sitaan dan eksekusi atas seluruh kekayaan si debitor untuk kepentingan seluruh kreditornya bersama-sama, yang pada waktu si debitor dinyatakan pailit mempunyai piutang dan untuk jumlah piutang yang masing-masing kreditor miliki pada saat itu. 19

Jadi, berdasarkan definisi atau pengertian di atas, maka dapatlah ditarik unsur-unsur kepailitan, sebagai berikut :20

1. Adanya sita dan eksekusi atas seluruh kekayaan debitor. 2. Sita itu semata-mata mengenai harta kekayaan.

3. Sita dan eksekusi tersebut untuk kepentingan para kreditornya bersama-sama.

16

Warta Perundang-undangan : Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 1998 Perubahan Undang-undang Tentang Kepailitan Menjadi Undang-undang, (Jakarta, Warta Perundang-undangan, 1998).

17

Ibid.

18

Ibid, hal. 20.

19

Ibid.

20


(32)

Dewasa ini hampir tidak ada negara yang tidak mengenal kepailitan dalam hukumnya. Di Indonesia sendiri, secara formal hukum kepailitan sudah diatur dalam sebuah undang-undang khusus. Sementara seiring dengan waktu yang berjalan, kehidupan perekonomian berlangsung pesat, maka wajarlah bahkan sudah semakin mendesak untuk menyediakan sarana hukum yang dapat menjawab berbagai kondisi yang terjadi, yang cepat, adil, terbuka dan efektif guna menyelesaikan utang piutang perusahaan yang besar penyelesainnya terhadap kehidupan perekonomian nasional.

Mengingat restrukturisasi utang masih belum dapat diharapkan akan berhasil baik, sedangkan upaya melalui kepailitan dengan menggunakan

Faillissementsverordening yang masih berlaku dapat sangat lambat prosesnya dan

tidak dapat dipastikan hasilnya, maka kreditur, terutama kreditur luar negeri, menghendaki agar Peraturan Kepailitan Indonesia, yaitu Faillissements Verordening, secepatnya dapat diganti atau dirubah. IMF sebagai pemberi utang kepada pemerintah Republik Indonesia berpendapat pula bahwa upaya mengatasi krisis moneter Indonesia tidak dapat terlepas dari keharusan penyelesaian utang-utang luar negeri dari para pengusaha Indonesia kepada para kreditur luar negerinya dan upaya penyelesaian kredit-kredit macet perbankan Indonesia. Oleh karena itu, sebagaimana telah disebutkan di atas, maka IMF mendesak pemerintah Indonesia agar secara resmi mengganti atau mengubah Peraturan Kepailitan berlaku, yaitu Faillissements

Verordening, sebagai sarana penyelesaian utang-utang pengusaha Indonesia kepada

para krediturnya. Sebagai hasil desakan IMF tersebut, akhirnya lahirlah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas


(33)

Undang-Undang tentang Kepailitan (Perpu Kepailitan). Perpu tersebut mengubah dan menambah Peraturan Kepailitan (Faillissementsverordening). Berdasarkan perkembangan yang terjadi, selanjutnya oleh Pemerintah dianggap perlu untuk melakukan perubahan terhadap undang-undang kepailitan di atas yang dilakukan dengan memperbaiki, menambah dan meniadakan ketentuan-ketentuan yang dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan hukum dalam masyarakat, yang jika ditinjau dari materi yang diatur masih memiliki banyak kelemahan. Oleh karena hal tersebut di atas, maka pemerintah menganggap perlu untuk menerbitkan undang-undang kepailitan yang baru, yaitu UU No. 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan pembayaran utang yang dianggap perlu karena : 21

1. untuk menghindari perebutan harta debitur apabila dalam waktu yang sama ada beberapa kreditur yang menagih piutangnya dari debitur.

2. untuk menghindari adanya kreditur pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitur tanpa memperhatikan kepentingan debitur atau para kreditur lainnya.

3. untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang kreditur atau debitur sendiri. Misalnya, debitur berusaha untuk memberi keuntungan kepada seorang atau beberapa kreditur tertentu sehingga kreditur lainnya dirugikan atau adanya perbuatan curang dari debitur untuk melarikan

21

Penjelasan UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.


(34)

semua harta kekayaannya dengan maksud untuk melepaskan tanggung jawabnya terhadap para kreditur.

Sebagaimana telah disinggung di atas, di dalam perkara kepailitan ditemukan pihak-pihak yang mengajukan di diajukan dalam permhonan pernyataan kepailitan. Salah satu pihak yang terlibat dalam perkara kepailitan adalah pihak yang mengajukan atau pemohon pailit yakni pihak yang mengambil inisiatif untuk mengajukan permohonan pailit ke pengadilan, yang dalam perkara biasa disebut sebagai pihak Penggugat (Pemohon Pailit).

Di dalam Pasal 2 UU Kepailitan yang baru yaitu UU No. 37 Tahun 2004 terdapat 6 (enam) pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit, yaitu :

1. Debitor itu sendiri. 2. Satu atau lebih kreditor.

3. Kejaksaan untuk kepentingan umum.

4. Bank Indonesia jika debitornya adalah suatu bank.

5. Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) jika debitornya adalah perusahaan Efek.

6. Menteri Keuangan jika debitornya adalah Perusahaan Asuransi.

Demikian beberapa pihak yang dapat mengajukan kepailitan seperti yang diatur di dalam UU No. 37 Tahun 2004. Dengan diaturnya pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan kepailitan sebagaimana tersebut di atas, diharapkan dapat


(35)

tercapai proses penegakan hukum, sehingga keadilan dan kepastian hukum dan kemanfaatan.

Lembaga kejaksaan sebagai salah satu pihak yang berhak mengajukan permohonan kepailitan, berdasarkan UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, mempunyai tugas dan wewenang kejaksaan, sebagai berikut : 22 1). Di bidang Pidana :

a. Melakukan penuntutan.

b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putuan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyararat.

d. Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang.

e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.

2). Di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.

3). Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan :

22


(36)

a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat. b. Pengamanan kebijakan penegakan hukum. c. Pengawasan peredaran barang cetakan.

d. Pengawasan kepercayaan yang dapat membahayakan msyarakat dan negara. e. Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama.

f. Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa lembaga kejaksaan di Indonesa sebagai salah satu aparat penegak hukum, memiliki fungsi yang besar dan strategis. Hal ini disebabkan karena kejaksaan memiliki tugas dan wewenang yang bukan hanya di bidang Pidana, Perdata, Tata Usaha Negara, juga dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, termasuk mengajukan permohonan kepailitan apabila memang kepentingan umum mengharuskan hal tersebut.

UU No. 16 Tahun 2004 mengukuhkan beberapa fungsi dan tugas lembaga kejaksaan yang bersifat represif maupun preventif yang berkenaan dengan ketertiban dan ketenteraman umum, antara lain meningkatkan kesadaran hukum masyarakat, mengamankan kebijakan penegakan hukum, mengawasi peredaran barang cetakan dan mengawasi aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara.

Fungsi lembaga kejaksaan dalam penegakan hukum pidana sudah lama dikenal, tetapi fungsi kejaksaan di luar hukum pidana, termasuk penegakan hukum kepailitan nampaknya masih kurang popular. Sebenarnya fungsi lembaga kejaksaan di luar hukum pidana sudah dikenal sejak tahun 1922 dimana lembaga kejaksaan


(37)

merupakan wakil negara dalam hukum, yang selanjutnya dikenal dan ditegaskan lagi sebagai Jaksa Pengacara Negara. Sebenarnya fungsi jaksa sebagai pengacara negara bukanlah hal yang baru, karena telah menjadi hukum berdasarkan Koninklijk Besluit tertanggal 27 April 1922 (Stb. 22 – 522). Selanjutnya di dalam UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang menyatakan bahwa pejabat pemerintah manapun yang melakukan tindakan hukum melalui keputusan dan ketetapannya harus menerapkan asas pemerintahan yang baik. Kalau hal tersebut tidak dilaksanakan, maka hakim Tata Usaha Negara dapat membatalkan keputusan atau ketetapan tersebut. Dalam rangka inilah kejaksaan dapat memainkan peranan yang penting sebagai pengacara negara untuk membela dan memberikan nasihatnya kepada para pejabat pemerintah.23

Berdasarkan perkembangan selanjutnya mengenai Jaksa Pengacara Neara dalam bidang Perdata dan Tata Usaha Negara diatur di dalam KEPJA nomor : KEP-039/J.A/4/1993 tanggal 1 April 1993 tentang Administrasi Perkara DATUN dan surat edaran JAM DATUN nomor : B-039/G/4/1993, tanggal 27 April 1993, tanggal 27 April 1993 tentang Sebutan Jaksa Pengacara Negara bagi Jaksa yang melaksanakan tugas DATUN, maka istilah resmi yang digunakan para Jaksa dalam melaksanakan tugas serta fungsi DATUN adalah Jaksa Pengacara Negara (JPN) dan diatur juga pada Pasal 27 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1991 tentang Lembaga Kejaksaan

23

Kejaksaan juga dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi pemerintah lainnya. (Lihat Pasal 34 UU No. 16 Tahun 2004 Kejaksaan Republik Indonesia).


(38)

Republik Indonesia dan sekarang diatur dalam Pasal 32 UU No. 16 Tahun 2004 tentang Lembaga Kejaksaan Republik Inonesia. 24

Di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara, fungsi lembaga kejaksaan dilaksanakan dengan melakukan kegiatan-kegiatan bantuan hukum, penegakan hukum, pelayanan hukum, pertimbangan hukum dan tindakan hukum lain. Tata cara pelaksanaan kegiatan-kegiatan tersebut diatur dalam Instruksi Jaksa Agung nomor : INS-01/Q/12/1992, nomor : INS-02/Q/12/1992 dan nomor : INS-03/Q/12/1992.25 Apabila dicermati lebih lanjut ada persamaan antara fungsi lembaga kejaksaan dalam penegakan hukum pidana dengan fungsi lembaga kejaksaan dalam hukum perdata khususnya dalam hukum kepailitan, dimana keduanya berasal dari peraturan perundang-undangan.

Dari berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat disimpulkan bahwa tugas dan wewenang lembaga kejaksaan meliputi : 26

1). Penuntut umum.27

24

Suhadibroto, Himpunan Pentunjuk Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara, (Jakarta : Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung RI, 1994), hal. 154.

25

Ibid.

26

Hukum dan Kebijakan Pengelolaan Kawasan Konservasi,: http://www.geocities.com/tapakkaki2002/undang2.htm, terakhir diakses pada tanggal 12 Februari 2008. Undang-Undang Dasar 1945 adalah dasar negara yang merulpakan landasan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam kaitannya dengan sumber daya alam, Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyebutkan bahwa : bumi, dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sumber daya alam tersebut berdasarkan Penjelasan UUD 1945 tersebut adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat, dan dipergunakan sebesar-besarnya (untuk) kemakmuran rakyat.

27

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU No. 8 Tahun 1981, http://www.wirantaprawira.de/law/criminal/kuhap/index/htm1#, terakhir diakses pada tanggal 15 Desember 2007. Tentang Penyidik dan Penuntut Umum, Pasal 13 : Penuntut umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.


(39)

2). Penyidik28 tindak pidana tertentu.

3). Mewakili negara/pemerintah dalam perkara perdata dan tata usaha negara. 4). Memberi pertimbangan hukum kepada instansi pemerintah.

5). Mewakili kepentingan umum.

Tugas dan wewenang lembaga kejaksaan tersebut sangat luas untuk kepentingan umum yang di dalamnya menjangkau area hukum pidana, perdata maupun tata usaha negara. Tugas dan wewenang yang sangat luas ini pelaksanaannya dipimpin dan dikendalikan serta dipertanggungjawabkan oleh seseorang yang diberi predikat Jaksa Agung. Oleh karena itu, peranan Jaksa Agung dalam kehidupan bernegara menjadi sangat krusial (vitally important), lebih-lebih pada saat ini, dimana negara sedang dalam proses reformasi yang salah satu agendanya adalah terwujudnya supremasi hukum.

Salah satu wewenang kejaksaan di bidang perdata adalah kejaksaan dapat mengajukan permohonan pailit demi kepentingan umum terhadap debitor yang tidak mampu lagi membayar beberapa utang-utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Berdasarkan keputusan Hof Amsterdam 9 November 1922, N.J. 1923, 171, alasan kepentingan umum itu ada bilamana tidak dapat lagi dikatakan ada

28

Keterangan Ahli/Keterangan Visum Et-Repertum, http://www.informatika.polri.go.id/informatika/m2_link_042.html), terakhir diakses pada tanggal 3 April 2008. Syarat kepangkatan Penyidik seperti ditentukan oleh Peraturan Pemerintah RI No. 27 Tahun 1983, tentang pelaksanaan KUHAP Pasal 2 yang berbunyi :

(1). Penyidik adalah Pejabat Polri yang sekurang-kurangnya berpangkat Pelda Polisi.

(2). Penyidik Pembantu adalah Pejabat Polri yang sekurang-kurangnya berpangkat Serda Polisi. (3). Kapolsek yang berpangkat Bintara di bawah Pelda Polisi karena jabatannya adalah Penyidik.

Kapolsek yang dijabat oleh Bintara berpangkat Serda Polisi, sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 Pasal 2 ayat (2), maka Kapolsek yang berpangkat Serda tersebut karena jabatannya adalah Penyidik.


(40)

kepentingan-kepentingan perseorangan, melainkan alasan-alasan yang bersifat lebih umum dan lebih serius yang memerlukan penanganan oleh suatu lembaga/alat perlengkapan negara.29 Oleh sebab itu, penafsirannya diserahkan pada doktrin dan jurisprudensi. Praktik hukum menunjukkan bahwa kepentingan umum ada apabila tidak ada lagi kepentingan perseorangan, melainkan alasan-alasan yang bersifat umum dan lebih serius yang mengesankan penanganan oleh lembaga/alat kelengkapan negara. 30 Menurut M.H. Tirtaatmidjaja, pailit itu juga dapat dinyatakan atas tuntutan jaksa, tuntutan mana harus berdasarkan alasan-alasan untuk tidak menyelesaikan urusan-urusannya, atau ia sedang berusaha menggelapkan harta kekayaannya dengan merugikan kreditur-krediturnya.31

Dalam ketentuan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas diatur juga mengenai kedudukan, tugas dan wewenang lembaga kejaksaan mengenai pembubaran perseroan berdasarkan putusan pengadilan yang dapat dimohonkan oleh lembaga kejaksaan, yakni : 32

(a). Lembaga kejaksaan berdasarkan alasan yang kuat bahwa perseoran melanggar kepentingan umum atau Perseroan melakukan perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan.

(b). Permohonan pihak yang berkepentingan berdasarkan alasan adanya cacat hukum dalam akta pendirian;

29

Chaidir Ali, Himpunan Yurisprudensi, Hukum Dagang di Indonesia, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1982), hal. 219.

30

Zainal Asikin, Op.cit, hal. 36.

31

Viktor M. Situmorang & Hendri Soekarso, Op. cit, hal. 49.

32


(41)

Berdasarkan beberapa peraturan perundang-undangan tersebut tampak jelas bahwa lembaga kejaksaan memiliki wewenang dalam menangani perkara-perkara perdata, termasuk di dalamnya perkara-perkara niaga di Indonesia.

Permohonan kepailitan yang diajukan oleh lembaga kejaksaan berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adalah untuk kepentingan umum. Pengertian umum mencakup arti yang sangat luas. Pengertian kepentingan umum dalam hal tertentu memang tercantum dalam berbagai peraturan perundang-undangan, akan tetapi tidak diatur secara spesifik dalam sebuah peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur mengenai kepentingan umum.

Di dalam PP No. 17 Tahun 2000 dinyatakan bahwa kejaksaan memiliki wewenang untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit adalah untuk dan atas nama kepentingan umum kepada Pengadilan Niaga di daerah tempat kedudukan hukum Debitur.33 Kewenangan tersebut dapat dilakukan oleh kejaksaan dengan alasan kepentingan umum, apabila :

a. Debitur mempunyai 2 (dua) atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya 1 (satu) utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih;

b. Tidak ada pihak yang mengajukan permohonan pernyataan pailit.34

33

Pasal 1 dan Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2000 tentang Permohonan Pailit untuk Kepentingan umum.

34

Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2000 tentang Permohonan Pailit untuk Kepentingan umum.


(42)

Di dalam Penjelasan Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2000 tentang Permohonan Pailit untuk Kepentingan umum juga belum diberikan batasan yang jelas mengenai kepentingan umum. Apabila Kejaksaan mengajukan permohonan pernyataan pailit, maka dengan sendirinya kejaksaan bertindak demi dan untuk mewakili umum. Yang dimaksud dengan “kepentingan umum” hanya dikatakan hanyalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat, misalnya :

a. Debitor melarikan diri.

b. Debitor menggelapkan bagian dari harta kekayaan.

c. Debitor mempunyai utang kepada Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha lainnya yang menghimpun dana dari masyarakat.

d. Debitor mempunyai utang yang berasal dari perhimpunan dana dari masyarakat luas.

e. Debitor tidak beritikad baik atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan masalah utang-piutang yang telah jatuh tempo.

f. Dalam hal lainnya menurut kejaksaan merupakan kepentingan umum.35

Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut di atas, juga tidak ditemukan definisi yang sifatnya definitif mengenai kepentingan umum. UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan tidak memberikan definisi tentang kepentingan umum. Di dalam undang-undang ini hanya dinyatakan bahwa perkara

35

Penjelasan Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2000 tentang Kepailitan untuk Kepentingan Umum.


(43)

permohonan kepailitan menjadi kewenangan Pengadilan Niaga untuk memeriksa atau memutuskannya. Undang-undang tersebut tidak mengenal atau tidak membedakan adanya aspek kepentingan publik atau kepentingan orang perorang. Pasal 1 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 hanya menentukan mengenai kepentingan publik dalam hal : “debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan”. Berdasarkan hal tersebut, berarti tidak ada pembedaan mengenai kualitas/status debitur, maka kreditur dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit ke Pengadilan Niaga yang memenuhi syarat undang-undang tersebut untuk dinyatakan pailit.

Selanjutnya PP No. 17 Tahun 2000 juga tidak memberikan pengertian yang konkrit mengenai kepentingan umum. PP No. 17 Tahun 2000 hanya memberikan contoh mengenai alasan-alasan kepentingan umum yang memungkinkan lembaga kejaksaan mengajukan permohonan kepailitan. Selanjutnya dalam salah satu alasan adalah bahwa kejaksaan dapat mengajukan permohonan kepailitan apabila menurut kejaksaan hal tersebut memang merupakan kepentingan umum.

Sebagaimana diketahui, berdasarkan PP No. 17 Tahun 2000, lembaga kejaksaan dapat mengajukan permohonan kepailitan atas inisiatif sendiri atau berdasarkan masukan dari masyarakat, lembaga, instansi pemerintah dan badan lain yang dibentuk oleh pemerintah seperti Komite Kebijakan Sektor Keuangan. Yang menjadi persoalan adalah standar kepentingan umum seperti apa yang dapat


(44)

memungkinkan kejaksaan mengajukan permohonan kepailitan selain hal-hal yang disebutkan di dalam PP No. 17 Tahun 2000 di atas khususnya terhadap kasus-kasus permohonan kepailitan yang diajukan oleh jaksa atas inisiatif sendiri karena lembaga kejaksaan menilai hal itu sebagaimana kepentingan umum. Karena itu, perlu ditemukan definisi kepentingan umum (kepentingan publik), untuk mencegah perdebatan yang tidak menentu tentang kepentingan umum.

Kepentingan umum disini bisa disama artikan dengan kepentingan umum sebagai lawan kata dari kepentingan privat atau kepentingan orang perorang. Namun, dapat diduga selanjutnya akan timbul pertanyaan mengenai apa arti “umum” dan “orang perorang” itu.36

Pengertian kepentingan umum sering dijumpai sangat berbeda rumusannya satu dengan yang lainnya. Pasal 33 ayat (2) UUD 1945, menentukan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Berdasarkan ketentuan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 tersebut, kepentingan umum harus memenuhi syarat-syarat, yaitu :

(1) Produksi yang penting bagi negara.

(2) Menguasai hajat hidup orang banyak.37

36

Parwoto Wignjosumarto, Aspek Perlindungan Kepentingan Publik dalam Peradilan Kepailitan, makalah disampaikan pada Diskusi bulanan Judicial Watch Indonesia, dengan tema : “Aspek Perlindungan Publik dalam Peradilan Kepailitan, yang diselenggarakan oleh Judicial Watch Indonesia pada tanggal 29 Juli 2002 di Jakarta

37


(45)

Dari Penjelasan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945, terlihat bahwa alasan penguasaan negara atas kedua syarat tersebut adalah agar tampuk produksi tidak jatuh ke tangan orang perorang yang berkuasa dan rakyat banyak akan ditindasnya. Dari bunyi dan Penjelasan Pasal tersebut dapat ditarik batas antara kepentingan umum dan orang perorang. Dari sinilah lahir pembentukan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945.

UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menyatakan bahwa perseroan terbuka adalah perseroan yang modal dan jumlah pemegang sahamnya memenuhi kriteria tertentu atau perseroan yang melakukan penawaran umum, sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.38

Perseroan terbuka dapat diketahui dengan pencantuman kata “Tbk” di belakang Perseroan Terbatas (PT) tersebut,39 dan hal ini untuk membedakan dengan perseroan Terbatas Tertutup.40 Selanjutnya di dalam undang-undang ini juga dinyatakan bahwa hal ini dilaksanakan oleh suatu perusahaan publik,41 yaitu perseroan yang sahamnya telah dimiliki sekurang-kurangnya oleh 300 (tiga ratus) pemegang saham dan memiliki modal disetor sekurang-kurangnya Rp. 3. 000.000.000,- (tiga milyar rupiah) atau suatu jumlah pemegang saham dan modal disetor yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.42 Dari ketentuan tersebut di atas, dapat ditarik suatu garis bahwa 300 (tiga ratus) pemegang saham

38

Pasal 1 ayat (7) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

39

Pasal 16 ayat (3) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

40

Penjelasan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

41

Pasal 1 ayat (8) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

42


(46)

yang menyetor modal perseroan sebesar Rp. 3. 000.000.000,- (tiga milyar rupiah) menjadi syarat adanya kepentingan publik.

Pengertian kepentingan umum yang lain juga dapat dilihat seperti di dalam Pasal 1 Undang-Undang no 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan benda-benda yang ada diatasnya: Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, demikian pula kepentingan pembangunan, maka Presiden dalam keadaan yang memaksa setelah mendengar Menteri Agraria, Menteri Kehakiman dan Menteri yang bersangkutan dapat mencabut hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya.

Ketentuan lain yang menyangkut tanah yang menyebut mengenai "kepentingan umum" adalah Keppres No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Pasal 1 butir 3 dari keppres tersebut menyebutkan :”kepentingan umum adalah kepentingan seluruh lapisan masyarakat. Jelas definisi ini sangat tidak membantu. Kemudian, Keppres tersebut juga menyebutkan :

(1) Kegiatan pembangunan yang dilakukan dan selanjutnya dimiliki oleh Pemerintah serta tidak digunakan untuk menerima keuntungan, dalam bidang-bidang antara lain sebagai berikut:

a. Jalan umum, saluran pembuangan air.

b. Waduk, bendungan dan bangunan pengairan lainnya termasuk saluran irigasi. c. Rumah Sakit Umum dan Pusat Kesehatan Masyarakat.


(47)

e. Peribadatan.

f. Pendidikan atau sekolahan. g. Pasar Umum atau Pasar Inpres.

h. Fasilitas keselamatan umum seperti antara lain tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar dan lain-lain bencana.

i. Pos dan telekomunikasi j. Sarana olah raga.

k. Stasiun penyiaran radio, televisi beserta sarana pendukungnya. l. Kantor pemerintah.

m. Fasilitas Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.

(2) Kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum selain dimaksud dalam angka 1 adalah yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

“Keputusan Presiden” disini dapat membuka peluang untuk penafsiran subyektif dari penguasa mengenai "kepentingan umum". Dengan terbukanya peluang yang demikian itu tidak mustahil pengadaan tanah yang seharusnya hanya boleh untuk kepentingan umum (kepentingan seluruh lapisan masyarakat saja), kenyataannya hanyalah untuk kepentingan kroni penguasa sebagai akibat kolusi penguasa dengan pengusaha yang lebih lanjut akan melahirkan korupsi.

Selanjutnya di dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (3) huruf i Undang-undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, menyebut pula tentang "kepentingan umum". Pengertian usaha yang semata-mata ditujukan untuk kepentingan umum ialah kegiatan usaha yang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :


(48)

1. Kegiatan usaha harus semata-mata bersifat sosial dalam bidang keagamaan, pendidikan, kesehatan dan kebudayaan.

2. Kegiatan usaha harus semata-mata bertujuan meningkatkan kesejahteraan umum. 3. Kegiatan usaha ini tidak mempunyai tujuan menerima laba.

Namun pengertian ini hanya cocok untk pasal tersebut, yaitu bersifat limitatif, dengan demikian, pengertian "kepentingan umum" hams ditentukan secara kasus demi kasus oleh hakim pada setiap terdapat perkara yang harus diadili.

“Kepentingan umum” di dalam pasal-pasal lainnya adalah terdapat dalam Penjelasan Pasal 49 Undang-undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dimana disebutkan: “yang dimaksud dengan "kepentingan umum" adalah kepentingan bangsa dan Negara dan/atau kepentingan masyarakat bersama dan/atau kepentingan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku".

Kemudian, Penjelasan Pasal 32 huruf c Undang-undang No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang berbunyi: “yang dimaksud dengan "kepentingan umum" adalah kepentingan bangsa dan Negara dan/atau kepentingan masyarakat luas". Penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang-undang No. 5 Tahun 1992 tentang Cagar Budaya :".... Pelestarian tersebut ditujukan unturuk kepentingan umum, yaitu penga-turan benda cagar budaya has dapat menunjang pembangunan nasional di bidang ilmu pengetahuan, pendidikan, pariwisata dan lain-lain"

Penjelasan Pasal 2 huruf d Undang-undang No. 13 Tahun 1992 tentang Perkeretaapian mengemukakan: "Asas kepentingan umum yaitu perkeretaapian harus


(49)

lebih mengutamakan kepentingan pelayanan umum bagi masyarakat luas." Penjelasan Pasal 2 huruf e Undang-undang No. 4 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dan penjelasan Pasal 1 huruf e Undang-undang No. 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan. Asas kepentingan umum yaitu perkeretaapian harus lebih mengutamakan kepentingan pelayanan umum bagi masyarakat luas.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tidak ada batasan yang baku mengenai apa yang dimaksudkan dengan "kepentingan umum". Apabila ada beberapa peraturan perundang-undangan yang telah memberikan batasan mengenai apa yang dimaksudkan dengan "kepentingan umum", batasan kepentingan umum yang dimaksud oleh pengertian itu hanya untuk pengertian peraturan perundang-undangan yang dimaksud itu saja. Pengertian itu tidak dapat dipakai untuk diterapkan bagi pengertian kepentingan umum dalam undang-undang yang lain.

Akhirnya disimpulkan bahwa kepentingan umum memiliki pengertian yang luas dan tidak terdapat kesamaan mengenai kriteria/syarat tentang kepentingan umum. Sehingga tidak aneh apabila dalam masyarakat selalu terjadi perdebatan perihal arti dan maksud kepentingan umum tersebut, dipandang dari segi kepentingan masing-masing. Perdebatan ini bisa berakibat saling menyalahkan dan kadang disertai prasangka. Untuk mengakhiri persengketaan tiada ujung ini, sangatlah terhormat apabila semua pihak berpikir untuk mencari solusinya. Kesatuan persepsi mengenai batasan kepentingan umum dapat dijadikan tolak ukur apakah suatu permohonan kepailitan yang diajukan oleh lembaga kejaksaan sudah memperhatikan aspek kepentingan umum atau belum. Selama belum ada persepsi mengenai tolak


(50)

ukur unsu kepentingan umum tersebut, kebijaksanaan dan hati nurani hakim Pengadilan Niaga yang memeriksa perkara kepailitan sangat dibutuhkan. Hakim hendaknya dapat menetapkan tolak ukur kepentingan umum secara kasuistis terhadap permohonan kepailitan yang diajukan oleh lembaga kejaksaaan. Hal ini sejalan juga semangat ketentuan Pasal 57 Undang-undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum yang memberikan wewenang kepada Ketua Pengadilan untuk menentukan bahwa suatu perkara menyangkut kepentingan umum.

G. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan tesis ini adalah metode penelitian yuridis normatif, yaitu dengan melakukan analisa terhadap permasalahan dalam penelitian melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum serta mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Ronald Dworkin menyebut penelitian seperti ini sebagai penelitian doktrinal

(Doctrinal Research), yaitu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di

dalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law as it is decided by the Judge through Judicial

Process).43

43

Pendapat Ronald Dworkin, sebagaimana dikutip oleh Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, Makalah, disampaikan pada acara Dialog Interaktif tetnang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, 18 Februari 2003, hal. 1.


(51)

Sifat dari penelitian ini adalah deskriptif analitis yang bertujuan untuk membatasi kerangka studi kepada suatu analisis terhadap hukum dan peraturan tentang standar kepentingan umum dalam permohonan kepailitan oleh kejaksaan menurut hukum kepailitan, dengan mengacu pada hukum dan peraturan perundang-undnagan yang berhubungan dengan tujuan penelitian.

Metode penelitian hukum dalam penyusunan tesis ini dilakukan dengan pendekatan yang bersifat kualitatif, dengan memperhatikan kualitas dan kedalaman data yang diperoleh. Jadi data yang diperoleh dalam penyunana tesis ini digunakan sebagai pendukung bagi kelengkapan maksud dan tujuan penelitian.

Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitan ini adalah melalui penelitian kepustakaan (Library Research) untuk mendapatkan konsep-konsep, teori-teori dan informasi-informasi serta pemikiran konseptual dari peneliti pendahulu baik yang berupa peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya.

Sumber data kepustakaan diperoleh dari : 1. Bahan Hukum Primer, terdiri dari :

a. Norma atau kaedah dasar ; b. Peraturan dasar ;

c. Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan kepailitan dan standar kepentingan umum pengajuan kepailitan oleh Kejaksaan berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang beserta peraturan-peraturan terkait lainnya.


(52)

2. Bahan Hukum Sekunder, seperti : hasil-hasil penelitian, laporan-laporan, artikel, majalah dan jurnal ilmiah, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian ini.

3. Bahan Hukum Tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum serta bahan-bahan primer, sekunder dan tersier di luar bidang hukum yang relevan dan dapat dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian ini. 44

Situs Web juga menjadi bahan bagi penulisan tesis ini sepanjang memuat

informasi yang relevan dengan penelitian ini.

Seluruh data yang sudah diperolah dan dikumpulkan selanjutnya akan ditelaah dan dianalisis. Analisis untuk data kualitatif dilakukan dengan pemilihan pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang standar kepentingan umum dalam pengajuan permohonan kepailitan oleh Kejaksaan, kemudian membuat sistematika dari pasal-pasal tersebut sehingga akan menghasilkan klassifikasi tertentu sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini.

Pada bagian akhir, data yang berupa peraturan perundang-undangan ini diteliti dan dianalisis secara induktif kualitatif yang diselaraskan dengan hasil dari data pendukung sehingga sampai pada suatu kesimpulan yang akan menjawab seluruh pokok permasalahan dalam penelitian ini.

44

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitan Hukum, Ghalia Indonesia, Jakrta 1998, hal. 195, sebagaimana dikutip dari Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta : Rajawali Pers, 1990), hal. 41.


(1)

Nasution, Bismar, Sunarmi, Dasar-Dasar Hukum Kepailitan di Indonesia, Magister Kenotariatan Program Pascasarjana, USU, Medan, 2003.

Notulen Presentasi Makalah Diskusi Panel berjudul : “Strategi Peningkatan Kinerja Kejaksaan dalam Rangka Mewujudkan Supremasi Hukum”, Jakarta : Kejati DKI Jakarta, Agustus 2001.

Nusantara, Abdul Hakim Garuda, Politik Hukum Indonesia, Jakarta : Yayasan LBHI, 1988.

Poedjawiyatna, Etika Filsafat Tingkah Laku, Jakarta : Rieneka Cipta, 1995.

Prakoso, Djoko, Studi tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektivitas Pidana Mati di Indonesia Dewasa ini, Cet. 1, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1984.

, Eksistensi Jaksa di Tengah-Tengah Masyarakat, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1985.

Prakoso, Djoko, dan I Ketut Murtika, Mengenal Lembaga Kejaksaan di Indonesia, Cet. 1, Jakarta : Bina Aksara, 1987.

Saherodji, Kedudukan dan Fungsi Kejaksaan dalam Administrasi Peradilan di Indonesia (Desertasi untuk memperoleh gelar Doktor dalam Ilmu Administrasi), Jakarta : 1973.

Saleh, K. Wantjik, Intisari Yurisprudensi Pidana dan Perdata, Jakarta : Pradnya Paramita, 1985.

Santoso, K., Akibat Putusan Pailit, Makalah Seminar Kepailitan, Jakarta, 14 Juli 1998.

Santoso, Topo, Polisi dan Jaksa : Keterpaduan atau Pergulatan, Depok : Pusat Studi Peradilan Pidana Indonesia, 2000.

Sastrawijaya, H.R. Sadili, Lima Windu Sejarah Kejaksaan Republik Indonesia, 1945-1985, Jakarta : Panitia Penyusunan dan Penyempurnaan Sejarah Kejaksaan, 1985.

Sembiring, Sentosa, Hukum Kepailitan dan Peraturan Perundang-Undangan yang terkait dengan Kepailitan, Bandung : Nuansa Aulia, 2006.

Simorangkir, J.C.T., Hukum dan Konstitusi Indonesia, Bagian 3, Cet. I, Jakarta : Haji Masagung, 1988.


(2)

Simorangkir, J.C.T. Rudy T. Erwin, J.T. Prasetyo, Kamus Hukum, Cet. Keenam, Jakarta : Sinar Grafika, 2000.

Simanjuntak, Osman, Tehnik Penuntutan dan Upaya Hukum, Jakarta : Grasindo, 1995.

Sitorus, Oloan, dan Dayat Limbong, Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, Cetakan Pertama, Yogyakarta : Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, 2004.

Situmorang, Victor M. & Hendri Soekarso, Pengantar Hukum Kepailitan di Indonesia, Jakarta : Rieneka Cipta, 1994.

Sjahdeini, Remy, Sutan, Hukum Kepailitan Memahami Faillessementsverordening Juncto Undang-Undang No. 4 Tahun 1998, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2002.

Soekanto, Soerjono Pengantar Sejarah Hukum, Bandung : Alumni, 1983. , Pengantar Sejarah Hukum, Bandung : Alumni, 1997.

, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001.

Soemardjan, Selo, Hukum Kenegaraan Republik Indonesia, Teori Tatanan dan Terapan, Jakarta : Gramedia Widiasarana Indonesia, 1993.

Soemardjono, Maria S.W., Telaah Konseptual terhadap Beberapa Aspek Hak Milik, Konsep Akademis Hak Milik Atas Tanah menurut UUPA, Makalah dalam Seminar Nasional Hukum Agraria III, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Badan Pertanahan Nasional, Medan, 19-20 September 1990.

, Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi, Jakarta : Kompas, 2001.

Soepomo, R. Sistem Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia II, Jakarta : Pradnya Paramita, 1997.

Soeroso, R., Pengantar Ilmu Hukum, Jayakarta : Sinar Grafika, 1992.

Suhadibroto, Himpunan Pentunjuk Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara, Jakarta : Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung RI, 1994.


(3)

Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitan Hukum, Ghalia Indonesia, Jakrta 1998, hal. 195, sebagaimana dikutip dari Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif suatu Tinjauan Singkat, Jakarta : Rajawali Pers, 1990.

Sunarmi, Perbandingan Sistem Hukum Kepailitan antara Indonesia (Civil Law System) dengan Amerika Serikat (Common System), Medan : e-USU Repository, 2004.

Surachman, R.M. dan Andi Hamzah, Jaksa di Berbagai Negara, Peranan dan Kedudukannya, Jakarta : Sinar Grafika Offset, 1996.

Suseno, Frans, Magnis, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia), Jakarta : Gramedia, 1995.

Sutedi, Adrian, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, Jakarta : Sinar Grafika, 2006.

Tresna, R., Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, cet. Ke-3, Jakarta : Pradnya Paramita, 1978.

Utrecht, E., Pengantar dalam Hukum Indonesia, Jakarta : Balai Buku Ichtiar, 1975). Warta Perundang-undangan : Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun

1998 Tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 1998 Perubahan Undang-undang Tentang Kepailitan Menjadi Undang-undang, Jakarta, Warta Perundang-undangan, 1998.

Wignjosumarto, Parwoto, Aspek Perlindungan Kepentingan Publik dalam Peradilan Kepailitan, makalah disampaikan pada Diskusi bulanan Judicial Watch Indonesia, dengan tema : “Aspek Perlindungan Publik dalam Peradilan Kepailitan, yang diselenggarakan oleh Judicial Watch Indonesia pada tanggal 29 Juli 2002 di Jakarta

, Perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), Tugas dan Wewenang Hakim Pemeriksa/Pemutus Perkara Pengawas dan Kurator Pengurus, Jakarta : Tatanusa, 2001.

, Hukum Kepailitan Selayang Pandang, Jakarta : Tatanusa, 2003.

Wojowasito, S. et.al. Kamus Lengkap Inggris-Indonesia-Inggris, dengan ejaan yang disempurnakan, Bandung : Hosta, 1980.


(4)

Yani, Ahmad & Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis“Kepailitan”, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1999.

B. INTERNET

, Debat Publik Seputar Paradigma Kehidupan Masyarakat, Masyarakat Versus Negara, Paradigma Baru Membatasi Dominasi Negara, Seri Debat Publik Seputar Reformasi Opini Masyarakat dari Krisis ke Reformasi, http://www.kompas.com, terakhir diakses pada tanggal 20 April 2008.

Ekopriyono, Adi, Akuntabilitas DPRD, http://www.suaramerdeka.co.id, terakhir diakses pada tanggal 21 Mei 2008.

, Integrated Prosecution Justice System, Suatu Tinjauan Terhadap Pelaksanaan Penuntutan Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, http://www.ipjs.com, terakhir diakses pada tanggal 8 April 2008. Harkrisnowo, Harkristuti, Good Corporate Governance dan Independensi Birokrasi,

http://www.KHN.or.id, terakhir diakses pada tanggal 10 Februari 2008.

, http://www.suaramerdeka.com/harian/0303/03/nas6.htm), terakhir diakses pada tanggal 29 Februari 2008.

, Keterangan Ahli/Keterangan Visum Et-Repertum, http://www.informatika.polri.go.id/informatika/m2_link_042.html), terakhir diakses pada tanggal 3 April 2008.

Lubis, Todung Mulya, Praktek Korupsi di Dunia Peradilan Libatkan Advokat,: http://www.transparansi.or.id/berita-nopember2003/berita_131, terakhir diakses pada tanggal 15 Januari 2008.

---[POLICY] JSI – Polisi dan Jaksa, http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/2001/09/05/0028html, terakhir diakses pada tanggal 6 Mei 2008.

Mahendra, Oka, Hukum dan Politik, http://www.geocities.com/RainForest/Vines/3367/oka.html, terakhir diakses


(5)

Mertokusumo, Sudikno, Kepentingan Umum, http://sudikno.blogspot.com/2008/01/kepentingan umum.html, terakhir

diakses pada tanggal 20 Januari 2008.

Suhadibroto, Reprofesionalisasi Kinerja Kejaksaan, http://www.khn.or.id, terakhir diakses pada tanggal 1 Mei 2008.

, Supremasi Hukum di Indonesia, http://www.groups.yahoo.com/group/indonesia-fr/message/1481, terakhir diakses pada tanggal 30 November 2007.

, Syarat-Syarat Kepailitan, http://www.hukumonline.com, terakhir diakses pada tanggal 2 Juli 2008.

Rachmadi, Sinoeng N,. Pentingnya Akuntabilitas Pemerintahan, http://www.bapeda.id terakhir diakses pada tanggal 16 Januari 2008.

Wiriadinata, Wahyu, Kepentingan Umum, http://www.pikiran-rakyat.co.id/cetak/2007/092007/26/0902.htm, terakhir diakses pada tanggal 26 September 2007.

C. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UUD 1945 dan Perubahannya

UU No. 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kejaksaan UU No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan

UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara UU No. 15 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.

UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia UU No. 28 Tahun 2004 tentang Yayasan


(6)

UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

Peraturan Presiden No. 26 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum

UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

D. SURAT KABAR

, Buntut Kasus Pailit PT AJMI; Ka Pertimbangkan Sanksi Untuk RF, Harian Kompas, edisi tanggal 21 Juni 2002.

Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Kepailitan PT. AJMI Contoh Kasus Kepailitan di Indonesia, Harian Kompas, edisi Rabu, 20 Juni 2002.

Lembaga Konsultan Econit Advisory Group (Prediksi Tahunan, Econit's Economic Outlook 2000), Tahun 2000, Tahun Kelahiran Kembali Indonesia, Harian Kompas, Kamis, 16 Desember 1999.

Menko Perekonomian: Kasus PT AJMI Harus Jadi Pelajaran, Harian Kompas, edisi Kamis, 20 Juni 2002.