Dampak Kebijakan Subsidi Pupuk pada Sektor Tanaman Bahan Makanan di Kota Bogor terhadap Output, Pendapatan, dan Penyerapan Tenaga Kerja

(1)

1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki lahan pertanian yang sangat luas dan sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai petani. Jawa Barat merupakan salah satu sentra produksi tanaman bahan makanan di Indonesia. Penggunaan lahan sawah untuk tanaman bahan makanan di Jawa Barat menempati urutan kedua setelah Jawa Timur yaitu seluas 1.12 juta ha (BPS, 1999). Namun sebagian besar di wilayah Jawa Barat memiliki lahan pertanian yang telah banyak dikonversi untuk sektor lain seperti industri, perdagangan, jasa, dan lain-lain sehingga daerah-daerah tersebut untuk memenuhi kebutuhan tanaman bahan makanan harus disuplai dari daerah lain. Kota Bogor merupakan salah satu daerah yang dalam menyediakan tanaman bahan makanan harus disuplai oleh luar wilayah. Ketersediaan tanaman bahan makanan yang dibutuhkan penduduk Kota Bogor sebagian besar tidak dapat dipenuhi oleh produksi sendiri, melainkan disuplai oleh luar wilayah seperti Kabupaten Bogor. Kota Bogor bukan merupakan daerah pertanian tetapi masalah pertanian masih sangat diupayakan dalam jajaran Pemerintah Daerah Kota Bogor melalui Dinas Agribisnis karena masih ada lahan yang dapat digunakan sebagai lahan pertanian.

Sektor pertanian di Kota Bogor bukan merupakan sektor ekonomi yang dominan, tetapi penggunaan lahan baik sawah maupun bukan sawah masih tetap mendapat perhatian utama pemerintah daerah Kota Bogor. Pada tahun 2010 terdapat 793 ha lahan sawah dan 2 735 ha lahan bukan sawah di Kota Bogor. Selain padi dan palawija, tanaman holtikultura merupakan andalan sektor pertanian di Kota Bogor. Selain pertanian tanaman bahan makanan, sektor


(2)

2 peternakan dan perikanan juga masih cukup berkembang di Kota Bogor (BPS Kota Bogor, 2011). Namun Sektor pertanian merupakan sektor penting yang menyediakan kebutuhan pokok untuk tanaman bahan makanan penduduk dan sektor pertanian merupakan sektor primer yang berkontribusi nyata terhadap PDRB di Kota Bogor. Berikut ini merupakan struktur ekonomi Kota Bogor menurut kelompok sektor atas dasar harga berlaku dan harga konstan tahun 2009-2010.

Tabel 1.1. Kontribusi Sektor dalam Perekonomian Kota Bogor Tahun 2009-2010

Kode Sektor

PDRB Atas Dasar Harga Berlaku

PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2009*) 2010**) 2009*) 2010**)

A. PRIMER 0.2 0.19 0.3 0.29

1 Pertanian 0.2 0.19 0.3 0.29

2

Pertambangan &

Penggalian 0 0 0 0

B. SEKUNDER 33.12 33.19 38.42 38.4

3 Industri Pengolahan 25.57 25.9 28.25 28.34 4

Listrik, Gas dan Air

Bersih 2.06 2 3.24 3.27

5 Bangunan 5.49 5.29 6.92 6.79

C. TERSIER 66.68 66.63 61.28 61.3

6 Perdagangan, 38.4 37.16 29.54 29.24

7

Angkutan dan

Komunikasi 14.45 15.35 10.06 10.19

8

Keuangan, Persewaan &

Jasa Perusahaan 10.22 10.39 14.39 14.63

9 Jasa-jasa 3.97 3.72 7.29 7.25

*)Angka Perbaikan **)Angka Sementara Sumber : Dinas Pertanian Kota Bogor (2010)

Peran sektor pertanian sangat luas dan mencakup beberapa indikator. Indikator peran sektor pertanian antara lain: 1. pertanian sebagai penyerap tenaga kerja yang cukup besar, 2. pertanian merupakan penghasil makanan pokok penduduk, 3. komoditas pertanian sebagai penentu stabilitas harga. Harga produk-produk pertanian memiliki bobot yang besar dalam indeks harga konsumen


(3)

3 sehingga dinamika sangat berpengaruh terhadap inflasi, 4. akselerasi pembangunan pertanian sangat penting untuk mendorong ekspor dan mengurangi impor, 5. komoditas pertanian merupakan bahan industri manufaktur pertanian. Sektor pertanian adalah prasyarat bagi adanya sektor industri manufaktur pertanian berlanjut, 6. pertanian memiliki keterkaitan sektoral yang tinggi. Keterkaitan antara sektor pertanian dengan sektor lain dapat dilihat dari aspek keterkaitan produksi, keterkaitan konsumsi, keterkaitan investasi, dan keterkaitan fiskal. (Setiawan, 2010)

Produksi tanaman bahan makanan di Kota Bogor yang berasal dari seluruh kecamatan yang ada pada tahun 2004 yaitu tanaman padi sawah sebanyak 5 788.16 ton, jagung 1 424.28 ton, kacang tanah 59 ton, ubi kayu 5 530 ton, ubi jalar 1 219 ton, total produksi sayuran 6 332 ton dengan hasil terbanyak diperoleh dari produksi ketimun sebesar 1 700 ton dan terung sebesar 1 620 ton, total produksi buah-buahan 487 90 ton sebagian besar yang disumbang oleh produksi pepaya 80.30 ton dan rambutan sebesar 55.80 ton. Produksi beras berasal dari padi sawah. Selama periode tahun 2002 sampai 2005 produksi padi mengalami peningkatan. Pada tahun 2002 produksi padi sebesar 4 035 ton, tahun 2003 menjadi 9 953.28 ton, tahun 2004 sebesar 5 788.16 ton dan pada tahun 2005 menjadi 7 185 ton. Peningkatan produksi ternyata tidak mampu memenuhi kebutuhan tanaman bahan makanan yang semakin bertambah. Berikut ini merupakan tabel prediksi kebutuhan konsumsi tanaman bahan makanan penduduk Kota Bogor.


(4)

4

Tabel 1.2. Prediksi Kebutuhan Konsumsi Tanaman Bahan Makanan Penduduk Jenis Bahan Makanan Konsumsi Tabaman (kg/kap/th) Kebutuhan Masyarakat (ton) Pemenuhan Produksi Lokal (ton) Suplai Luar Daerah (ton)

Beras 109.7 91 822.66 6 290.05 92 226.35

Jagung 2.83 2 368.99 2 620.80 16 261.51

Umbi-umbian 17.8 14 897.85 1 523.26 59 885.30

Kacang-kacangan 8.31 6 995.15 51 66 13 658.53

Sayuran 50.73 42 458.88 8 295.78 45 641.95

Buah-buahan 29.41 24 614.93 3 100 00 46 158.20

Daging 5.97 4 996.63 3 091.98 5 199.82

Telur 5.24 3 858.56 0 3 858.56

Susu 1.23 1 029.45 2 148.50 1 859.42

Ikan 18.75 15 692.96 2 247.18 18 901.54

Sumber : Dinas Pertanian Kota Bogor (2004)

Sektor pertanian membutuhkan dukungan dari berbagai pihak karena disamping pertanian sangat terkait dengan masalah fenomena perubahan iklim, bencana banjir, dan kekeringan terdapat fakta bahwa sebagian besar petani kita memiliki luasan lahan yang sempit, yaitu berkisar antara 0.5 ha-1 ha yang bisa disebut gurem dan terdapat sekitar 55 persen dari total petani yang ada di Indonesia. Produksi tanaman bahan makanan umumnya dihasilkan oleh petani gurem yang menggarap lahan yang relatif sempit dengan kemampuan dan keterampilan yang masih sangat terbatas serta kondisi perekonomian yang pada umumnya lemah. Hal ini menyebabkan perlunya perhatian pemerintah terhadap sektor pertanian. Petani dalam memproduksi lahan pertaniannya memerlukan input-input produksi dari mulai penanaman hingga pemanenan. Input produksi yang dibutuhkan seperti bibit atau benih, tenaga kerja, modal, peralatan tanam, peralatan bajak seperti traktor dan peralatan panen seperti rice milling unit (unit penggilingan padi) dan juga pupuk yang sangat bermanfaat untuk tanaman pertanian.


(5)

5 Pupuk merupakan input yang penting dalam pertanian serta memiliki pengaruh nyata pada produksi dan produktifitas komoditas tanaman bahan makanan terutama komoditas padi. Pupuk yang digunakan dalam pertanian terdapat dua macam, yakni pupuk organik dan pupuk anorganik, kedua jenis pupuk ini masih digunakan oleh petani. Pupuk organik menjadi andalan petani karena selain harganya sangat terjangkau dan manfaatnya lebih dirasakan daripada pupuk industri atau pupuk anorganik tapi pupuk anorganik merupakan sarana produksi yang sangat penting dan tidak bisa ditinggalkan oleh petani kita. Walaupun pemerintah telah gencar mengadakan sosialisasi tentang substitusi pupuk anorganik dengan pupuk organik, kenyataannya peran pupuk anorganik masih belum tergantikan oleh pupuk organik. Perhatian pemerintah terhadap pupuk ini dapat diaplikasikan melalui pemberian subsidi pupuk baik pupuk organik maupun anorganik.

Subsidi pupuk merupakan kebijakan pemerintah yang kebanyakan disorot oleh berbagai pihak, baik dari pihak petani, pemerintah itu sendiri, maupun pihak-pihak yang berusaha mengambil keuntungan dari pemberian subsidi pupuk bahkan terdapat banyak pihak yang menyelewengkan atau menyalahgunakan subsidi pupuk dan pada akhirnya subsidi pupuk tersebut banyak yang tidak dinikmati oleh petani serta terdapatnya masalah penggunaan pupuk yang tidak rasional, menurut penelitian bahwa secara agronomis dibutuhkan sekitar 200-250 kg/ha, namun dewasa ini penggunaan pupuk melebihi batas toleransi tersebut, yaitu 350-450 kg/ha yang mengakibatkan penurunan tingkat kesuburan tanah dan menimbulkan masalah pada lingkungan hidup.


(6)

6 Pemerintah sebagai pengambil kebijakan harus sangat berhati-hati terhadap semua kebijakan yang akan diterapkan. Kebijakan subsidi pupuk memiliki pro dan kontra dari berbagai pihak. Disatu sisi pemberian subsidi pupuk menimbulkan banyak masalah jika penggunaan, pendistribusian, dan penerapannya tidak dilakukan secara benar dan tepat sasaran tapi tidak dapat dipungkiri bahwa petani kita sangat membutuhkan subsidi dalam bidang pertanian terutama subsidi pupuk. Subsidi pupuk ini merupakan penolong bagi petani dalam memproduksi hasil pertanian mereka dan pemberian subsidi pupuk dapat meningkatkan kesejahteraaan petani yang dapat dilihat dari berbagai aspek diantaranya output, pendapatan, dan penyerapan tenaga kerja petani di Kota Bogor.

Terjadinya peningkatan maupun pengurangan subsidi dapat mempengaruhi jumlah output, pendapatan, dan penyerapan tenaga kerja. Sektor pertanian merupakan sektor primer sehingga menyebabkan banyaknya penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian, semakin banyaknya perhatian pemerintah melalui subsidi pupuk dibidang tanaman bahan makanan juga akan menyebabkan pendapatan masyarakat pada sektor tanaman bahan makanan juga meningkat karena output tanaman bahan makanan juga akan meningkat seiring dengan murahnya harga input-input produksi termasuk pupuk dan memudahkan petani untuk mencapai penyediaan input tersebut tapi sebaliknya jika terjadi pengurangan subsidi pupuk. Subsidi pupuk yang selama ini diberikan masih dirasakan kurang di Kota Bogor karena terkadang jumlah yang diberikan pemerintah tidak sama dengan jumlah yang diterima petani, hal ini menimbulkan masalah yang cukup besar dalam hal penyaluran pupuk bersubsidi. Berikut ini


(7)

7 merupakan jenis pupuk, target, realisasi dan capaian pupuk bersubsidi di Kota Bogor Tahun 2010.

Tabel 1.3. Jenis Pupuk, Target, Realisasi, dan Capaian Penyaluran Pupuk Bersubsidi di Kota Bogor Tahun 2010

No Jenis Pupuk Target

(Ton)

Realisasi (Ton)

Capaian (persen)

1 Urea 1000 951 95

2 Superphose/SP-36 182 136 75

3 NPK Phonska 400 149 37

4 NPK Kujang 250 - -

5 ZA 100 31 31

6 Organik 100 - -

Jumlah 2 032 1 267 40

Sumber : Dinas Pertanian Kota Bogor (2010)

Penelitian ini merupakan penelitian data sekunder. Data sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber seperti Pemerintah Kota Bogor, Bappeda Kota Bogor, Badan Pusat Statistik, Departemen Pertanian serta sumber-sumber lain yang terkait. Penelitian ini penting dilakukan karena dampak dari kebijakan subsidi pupuk di Kota Bogor mempengaruhi sektor tanaman bahan makanan terutama dalam hal output, pendapatan, dan penyerapan tenaga kerja pada sektor tanaman bahan makanan. Penelitian ini pada akhirnya berusaha merumuskan kebijakan subsidi pupuk yang terbaik oleh pemerintah daerah Kota Bogor disamping banyaknya permasalahan yang menyangkut subsidi pupuk, kebijakan yang baik serta tepat sasaran dengan tujuan menyejahterakan petani di Kota Bogor.

1.2. Perumusan Masalah

Kota Bogor merupakan daerah yang memiliki kebutuhan akan tanaman bahan makanan yang besar namun tidak dapat menyediakan atau memproduksi sendiri melainkan mengandalkan daerah lain dalam penyediaannya. Sektor tanaman bahan makanan di Kota Bogor memerlukan banyak perhatian serta


(8)

8 dukungan agar produksi tanaman bahan makanan dapat meningkat dan pada akhirnya dapat memenuhi kebutuhan tanaman bahan makanan di daerahnya sendiri dan mengurangi suplai dari daerah lain. Dukungan dan perhatian yang diperlukan berasal dari pemerintah karena disamping masalah perubahan cuaca, bencana alam dan kekeringan, sektor tanaman bahan makanan merupakan sektor yang cukup banyak menyerap tenaga kerja di Kota Bogor dan berpengaruh terhadap perekonomian Kota Bogor.

Sektor tanaman bahan makanan membutuhkan banyak input-input produksi yang terkadang menjadi hambatan petani untuk meningkatkan produksinya. Pupuk merupakan salah satu input penting dalam sektor tanaman bahan makanan terutama pertanian. Perhatian pemerintah terhadap petani yang terkait dengan pemberian pupuk adalah subsidi pupuk untuk tanaman bahan makanan. Subsidi pupuk yang diberikan selama ini oleh pemerintah Kota Bogor dapat mempengaruhi output, pendapatan, dan penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian.

Kebijakan subsidi pupuk yang diberikan pemerintah dapat bertambah maupun berkurang. Peningkatan subsidi pupuk ini dapat berpengaruh positif bagi petani karena akan menyebabkan harga eceran pupuk menurun dan mempermudah petani dalam penyediaan input dalam produksi. Sedangkan pengurangan subsidi pupuk ini menyebabkan harga eceran pupuk meningkat. Perubahan harga pupuk akan mempengaruhi struktur biaya usaha tani padi dan permintaan pupuk menurun, hal ini akan berpengaruh pula pada output, pendapatan, dan penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian. Perlunya perhatian pemerintah untuk melakukan kebijakan-kebijakan yang tepat tanpa


(9)

9 harus menyebabkan kesejahteraan petani kita menurun dan kebijakan tersebut dapat menyelesaikan masalah penyalahgunaan subsidi pupuk oleh beberapa pihak agar subsidi pupuk yang diberikan dapat diterima seluruhnya oleh petani. Penelitian ini penting dilakukan karena untuk mengetahui bagaimana dampak dari subsidi pupuk pada sektor tanaman bahan makanan di Kota Bogor terhadap output tanaman bahan makanan itu sendiri, pendapatan, dan penyerapan tenaga kerja. Oleh karena itu, perumusan masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana peran sektor tanaman bahan makanan terhadap perekonomian di Kota Bogor ?

2. Bagaimana dampak kebijakan subsidi pupuk pada sektor tanaman bahan makanan di Kota Bogor terhadap output, pendapatan, dan penyerapan tenaga kerja ?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian yang akan dicapai yaitu :

1. Menganalisis peran sektor tanaman bahan makanan terhadap perekonomian di Kota Bogor.

2. Menganalisis dampak kebijakan subsidi pupuk pada sektor tanaman bahan makanan di Kota Bogor terhadap output, pendapatan, dan penyerapan tenaga kerja.

1.4. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan memiliki batasan-batasan, yaitu:

1. Data yang digunakan yaitu data sekunder tanpa adanya turun lapang langsung ke petani. Sumber data diperoleh dari Dinas Pertanian Kota


(10)

10 Bogor, Bappeda Kota Bogor, Badan Pusat Statistik, serta sumber-sumber lain yang terkait.

2. Penelitian ini menganalisis bagaimana peran sektor tanaman bahan makanan terhadap perekonomian Kota Bogor dari tahun 2008-2012. 3. Penelitian ini menganalisis dampak kebijakan subsidi pupuk baik

peningkatan maupun pengurangan subsidi pupuk di Kota Bogor terhadap output, pendapatan, dan penyerapan tenaga kerja pada sektor tanaman bahan makanan.

4. Penelitian ini hanya menganalisis dampak kebijakan subsidi pupuk di Kota Bogor dari tahun 2008 sampai tahun 2012 dan hanya pada tanaman bahan makanan.

5. Penelitian ini hanya menganalisis jenis pupuk urea bersubsidi karena dibanding dengan jenis pupuk yang lain pupuk urea memiliki dominasi yang cukup besar dalam subsidi pupuk di Kota Bogor atau dapat dikatakan bahwa pupuk bersubsidi adalah pupuk urea yang paling sering dan banyak digunakan oleh petani.

6. Aspek yang dilihat dalam penelitian ini ada empat, diantaranya:

1) Output pada sektor tanaman bahan makanan. Setelah adanya kebijakan subsidi pupuk baik terjadinya peningkatan, pengurangan maupun tetap dari subsidi tersebut, apakah output pada sektor tanaman bahan makanan juga mengalami peningkatan, pengurangan atau tetap dan seberapa besar persentase perubahannya tiap tahun dari tahun 2008 sampai tahun 2012.


(11)

11 2) Pendapatan pada sektor tanaman bahan makanan. Setelah adanya

kebijakan subsidi pupuk baik terjadinya peningkatan, pengurangan maupun tetap dari subsidi tersebut, apakah pendapatan pada sektor tanaman bahan makanan juga mengalami peningkatan, pengurangan, atau tetap dan seberapa besar persentase perubahannya tiap tahun dari tahun 2008 sampai tahun 2012.

3) Penyerapan tenaga kerja pada sektor tanaman bahan makanan. Setelah adanya kebijakan subsidi pupuk baik terjadinya peningkatan, pengurangan maupun tetap dari subsidi tersebut, apakah penyerapan tenaga kerja pada sektor tanaman bahan makanan juga mengalami peningkatan, pengurangan atau tetap dan seberapa besar persentase perubahannya tiap tahun dari tahun 2008 sampai tahun 2012.

4) Kebijakan pemerintah yang paling tepat dalam menyelesaikan masalah kebijakan subsidi pupuk yang terjadi di Kota Bogor tanpa mengurangi kesejahteraan petani dan dapat meningkatan output, pendapatan, dan penyerapan tenaga kerja pada sektor tanaman bahan makanan serta menghindari rent seeking behaviour oleh beberapa pihak.

7. Penelitian ini menggunakan model Input-Output dan model tersebut memiliki beberapa keterbatasan. Menurut West (1993) dalam Hadianto (2010), transaksi-transaksi yang digunakan dalam penyusunan Tabel I-O didasarkan asumsi-asumsi sebagai berikut :


(12)

12 1) Asumsi keseragaman (Homogenitas)

Artinya tiap sektor dalam perekonomian memproduksi satu output tunggal dengan struktur input tunggal.

2) Asumsi kesebandingan (Proporsionalitas)

Artinya dalam proses produksi, hubungan antara input dan output merupakan fungsi linier yaitu tiap jenis input yang diserap oleh sektor tertentu naik (atau turun) sebanding dengan kenaikan (atau penurunan) output tersebut.

3) Asumsi penjumlahan (Addivitas), asumsi ini menjelaskan bahwa dampak total pelaksanaan produksi diberbagai sektor dihasilkan oleh masing-masing sektor secara terpisah. Ini berarti diluar sistem Input-Output semua pengaruh dari luar diabaikan.

Sebagai sebuah model analisis kuantitatif, adanya asumsi-asumsi tersebut menandakan adanya keterbatasan model Input-Output itu sendiri. Asumsi keseragaman menganggap setiap sektor memiliki struktur input tunggal, maka asumsi ini tidak mempertimbangkan adanya kemungkinan setiap sektor produksi untuk melakukan substitusi input, misalnya karena faktor harga yang lebih murah. Setiap sektor hanya memproduksi suatu output tunggal, maka setiap sektor tidak mungkin melakukan variasi produk. Asumsi kesebandingan menganggap rasio input-output tetap dan konstan sepanjang periode analisis, dengan demikian produsen tidak dapat menyesuaikan perubahan-perubahan inputnya atau mengubah proses produksinya. Asumsi ini tidak mempertimbangkan adanya kemajuan teknologi atau produktivitas. Selanjutnya asumsi penjumlahan menganggap proses produksi hanya dipengaruhi faktor dalam sistem input-output.


(13)

13 Asumsi ini tidak mempertimbangkan faktor luar yang sebenarnya berpengaruh terhadap proses produksi.

1.5. Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian diatas maka hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi:

1) Masyarakat Kota Bogor dapat mengetahui peran sektor tanaman bahan makanan terhadap perekonomian Kota Bogor dan dampak kebijakan subsidi pupuk pada sektor tanaman bahan makanan terhadap output, pendapatan, dan penyerapan tenaga kerja.

2) Petani dalam menggunakan subsidi pupuk secara hemat dan tidak ada pemborosan penggunaan pupuk melebihi kapasitas yang dianjurkan yang dapat merusak kesuburan tanah serta pencemaran lingkungan hidup. 3) Pemerintah dapat menerapkan kebijakan yang tepat dalam hal subsidi

pupuk untuk meningkatkan output, pendapatan, dan penyerapan tenaga kerja pada sektor tanaman bahan makanan di Kota Bogor serta menegaskan kebijakan-kebijakan dalam mengatasi masalah subsidi pupuk yang terjadi di Kota Bogor.

4) Banyak pihak terkait serta akademisi mengembangkan pemahaman serta teknologi mengenai pupuk, alternatif pembuatan pupuk dari sumberdaya lokal dengan tujuan memudahkan petani dalam penyediaan pupuk yang merupakan salah satu solusi dalam mengatasi penurunan subsidi pupuk.


(14)

14

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Teori 2.1.1. Subsidi

Menurut Kamus Lengkap Ekonomi Collins (1997) dalam Manaf (2000), subsidi adalah cadangan keuangan dan sumber-sumber daya lainnya untuk mendukung suatu kegiatan usaha atau perorangan oleh pemerintah. Subsidi dapat bersifat langsung (dalam bentuk uang tunai, pinjaman bebas bunga dan sebagainya), atau tidak langsung (pembebasan penyusutan, potongan sewa dan semacamnya). Subsidi dapat bertujuan untuk: 1) subsidi produksi, dimana pemerintah menutup sebagian biaya produksi untuk mendorong peningkatan output produk tertentu dan dimaksudkan untuk menekan harga dan memperluas penggunaan produk tersebut, 2) subsidi ekspor, yang diberikan pada produk ekspor yang dianggap dapat membantu neraca perdagangan negara, 3) subsidi pekerjaan, yang diberikan untuk membayar sebagian dari beban upah perusahaan agar dapat diserap lebih banyak pekerja dan mengurangi pengangguran, dan 4) subsidi pendapatan, yang diberikan melalui sistem pembayaran transfer pemerintah untuk meningkatkan standar hidup minimum sebagian kelompok tertentu seperti tunjangan hari tua dan lainnya. Dari uraian diatas, yang dimaksud dengan subsidi harga pupuk dalam penelitian ini adalah subsidi produksi yang diberikan oleh pemerintah untuk menanggung sebagian biaya produksi pupuk agar bisa dicapai harga jual yang diinginkan.

a) Teori Dasar Subsidi Input

Pembangunan pertanian yang diarahkan untuk mewujudkan pertanian yang tangguh dan efisien memerlukan kebijakan yang berkaitan langsung dengan


(15)

15 pertumbuhan, stabilitas, dan pemerataan pembangunan ekonomi. Salah satu cara untuk menciptakan pertanian yang tangguh adalah melalui peningkatan produksi pertanian yang berkelanjutan. Upaya yang ditempuh untuk meningkatkan produksi pertanian adalah antara lain dengan mendorong petani untuk menerapkan teknologi usaha tani, yaitu berupa penggunaan pupuk sebagai salah satu input produksi. Dalam rangka mencapai tujuan ini, pemerintah selalu berupaya mendorong petani untuk memanfaatkan pupuk secara tepat waktu dan tepat dosis. Konsekuensinya adalah pemerintah juga harus berupaya meningkatkan produksi pupuk, sehingga tercapainya pasokan yang cukup dan juga dengan harga yang dapat dijangkau oleh petani. (Manaf, 2000).

Sebagai tanaman bahan makanan pokok (padi dan palawija) umumnya mempunyai kurva permintaan yang inelastis, sehingga perubahan produksi akan sangat berpengaruh pada perubahan harga tanaman bahan makanan tersebut. Gambar 2.1 memperlihatkan keadaan permintaan dan penawaran dari tanaman bahan makanan pokok pada umumnya. Jika terjadi peningkatan produksi yang didorong dengan penggunaan pupuk, hal ini akan mendorong kurva penawaran ke kanan sehingga produksi akan meningkat dari QE1 ke QE2 dan menekan harga dari PE1 ke PE2. Disisi lain, penurunan harga dari tanaman bahan makanan pokok tersebut tidak akan banyak meningkatkan permintaan karena kurvanya inelastis, sehingga secara umum terjadi penurunan pendapatan bagi petani. Hal ini sering kali juga membuat petani enggan untuk menanam padi kembali.


(16)

16 Harga

P S1

S2 PE1 E1

PE2 E2 D

0 QE1 QE2 Kuantitas Q Sumber : Manaf (2000)

Gambar 2.1. Permintaan dan Penawaran dari Tanaman Bahan Makanan Pokok

b) Teori Kebijakan Pemerintah dalam Perpupukan

Kebijakan pemerintah dalam perpupukan yaitu mengenai kebijakan harga eceran tertinggi. Menurut Manaf (2000), kebijakan ini dilatarbelakangi oleh fungsi pupuk sebagai kebutuhan yang esensial dalam meningkatkan produksi pertanian terutama tanaman bahan makanan. Oleh karena itu pemerintah merasa perlu menetapkan harga eceran tertinggi pupuk untuk melindungi petani sebagai

konsumen pupuk. Dalam penetapan harga tersebut, pemerintah

mempertimbangkan agar harga pupuk tetap berada dalam kisaran kemampuan petani untuk membeli pupuk dalam dosis yang optimal.

Mekanisme pembentukan harga pupuk setelah adanya kebijakan subsidi diperlihatkan oleh gambar berikut ini.


(17)

17 Harga

(P) S

PE E harga tertinggi

PS C

D 0 QS QE QD Pupuk (Q) Sumber : Manaf, 2000

Gambar 2.2. Mekanisme Pembentukan Harga Pupuk Setelah Adanya Kebijakan Subsidi

Pada gambar 2.2, keseimbangan awal (sebelum ada kebijakan pemerintah mengenai harga eceran tertinggi) berada pada titik E dengan tingkat harga sebesar PE dan jumlah pupuk sebesar QE. Saat pemerintah melakukan kebijakan dengan menetapkan harga tertinggi, maka harga yang efektif adalah bila ditetapkan sebesar PS, yaitu dibawah harga keseimbangan. Pada tingkat harga PS produsen hanya mau menawarkan sebesar QS, sementara yang diminta konsumen adalah sebesar QD, sehingga terjadi excess demand sebesar QS QD. Sementara itu titik C menunjukkan keadaan tingkat harga dan jumlah yang seharusnya terjadi dipasar. Campur tangan pemerintah tersebut mendorong peningkatan jumlah penawaran pupuk ke QD pada tingkat harga sebesar PS dengan membiayainya melalui pemberian subsidi kepada produsen pupuk.

2.2. Tanaman Bahan Makanan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996. Dikenal dua istilah penting tentang tanaman bahan makanan, yaitu sistem tanaman bahan


(18)

18 makanan dan ketahanan tanaman bahan makanan. Sistem tanaman bahan makanan diartikan sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan pengaturan, pembinaan, dan/atau pengawasan terhadap kegiatan atau produksi tanaman bahan makanan dan peredaran tanaman bahan makanan sampai dengan siap konsumsi oleh manusia. Sementara itu, ketahanan tanaman bahan makanan diartikan sebagai kondisi terpenuhnya tanaman bahan makanan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya tanaman bahan makanan yang cukup baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau.

Ketergantungan pada padi seperti yang terjadi saat ini sangat tidak menguntungkan bagi kelangsungan ketahanan tanaman bahan makanan nasional. Selain harus dilakukan usaha peningkatan produksi padi, program diverifikasi tanaman bahan makanan dengan sumber karbohidrat lain merupakan tindakan yang sangat strategis. Oleh karena itu perlu mengenal jenis tanaman bahan makanan lainnya.

2.2.1. Pengertian Tanaman Bahan Makanan

Tanaman bahan makanan diartikan sebagai segala sesuatu yang bersumber dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah. Tanaman bahan makanan diperuntukan bagi konsumsi manusia sebagai makanan atau minuman, termasuk bahan tambahan tanaman bahan makanan, bahan baku tanaman bahan makanan, dan bahan-bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau bagi pembuatan makanan atau minuman.

Komoditas tanaman bahan makanan harus mengandung zat gizi yang terdiri dari karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral yang bermanfaat bagi pertumbuhan dan kesehatan manusia. Batasan untuk tanaman bahan makanan


(19)

19 adalah kelompok tanaman sumber karbohidrat dan protein. Namun, secara sempit, tanaman bahan makanan biasanya dibatasi pada kelompok tanaman yang berumur semusim. Batasan ini dimasa mendatang harus diperbaiki karena akan menyebabkan sumber karbohidrat menjadi terbatas. Tanaman bahan makanan sebaiknya memasukkan jenis tanaman yang dapat menjadi sumber karbohidrat tanpa dibatasi pada kelompok tanaman semusim.

2.2.2. Peluang Pasar Tanaman Bahan Makanan

Kebutuhan terhadap tanaman bahan makanan akan selalu ada. Hal ini disebabkan setiap hari tanaman bahan makanan selalu dikonsumsi masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, ketersediaan tanaman bahan makanan harus tetap terjaga. Namun secara umum kebutuhan beberapa jenis tanaman bahan makanan masih belum dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri sehingga harus diimpor setiap tahunnya.

Jagung, kedelai, kacang tanah, dan tepung tapioka masih harus diimpor dalam jumlah yang banyak. Bahkan, pada saat-saat terakhir ini beras juga harus diimpor meskipun dengan alasan untuk memenuhi stok nasional. Impor beras pada tahun 2002 sebanyak 1.79 juta ton, setahun kemudian turun menjadi 1.43 juta ton, dan 0.24 juta ton pada tahun 2004, lalu tinggal 0.17 juta ton pada tahun 2005. Akan tetapi pada tahun 2006, impor beras meningkat mencapai 0.11 juta ton untuk Januari 2006 dan 0.21 juta ton pada Oktober 2006 dan pada tahun 2007 beras akan diimpor sebanyak 1 juta ton. Dengan demikian, jelas sekali peluang pasar terhadap tanaman bahan makanan tidak akan pernah mati.


(20)

20

2.3. Keterkaitan Tanaman Bahan Makanan dan Pupuk 2.3.1. Output Tanaman Bahan Makanan dan Pupuk

Sudaryanto (2000) dalam Manaf (2000) memperlihatkan bahwa penurunan produksi tanaman bahan makanan di Indonesia selain disebabkan oleh kemarau panjang pada tahun 1997-1998, serta kebakaran hutan, juga oleh ketersediaan pupuk utama antara lain Urea, SP-36, dan KCL yang sangat terbatas, ditambah lagi dengan harganya yang melonjak 100-300 persen dari harga eceran tertinggi di pasar.

Namun menurut Wini (2000) dalam Manaf (2000), kenaikan harga input (antara lain pupuk) relatif tidak banyak berpengaruh dalam menurunkan permintaan input itu sendiri. Hal ini disebabkan karena elastisitas permintaan input terhadap harga sendiri adalah inelastis. Di lain pihak, pengaruh harga padi (output) mempunyai pengaruh yang positif terhadap penawaran output dan permintaan input akan lebih efektif melalui kebijakan harga output.

2.3.2. Pendapatan Sektor Tanaman Bahan Makanan dan Pupuk

Untuk mendorong peningkatan pendapatan riil petani diperlukan peningkatan produksi dengan penekanan penggunaan teknologi pertanian seperti pupuk dan bibit unggul, pemerintah perlu memberikan insentif antara lain dengan harga yang murah. Oleh sebab itu, diperlukan subsidi harga agar dapat terjangkau dan mendorong petani menggunakannya. Kebijakan ini adalah salah satu kebijakan yang dianggap memberikan dampak distorsi paling rendah.

Renade dan Herdt (1978) dalam Manaf (2000) pernah menyatakan bahwa kebijakan pemerintah dalam menggunakan teknologi baru bagi pertanian padi dan penyediaan saprodinya memberikan dampak positif bagi peningkatan pendapatan


(21)

21 riil petani secara umum. Memang pada permulaan ekspansi produksi beras secara besar-besaran, semua sarana penunjang produksi diperkenalkan untuk menaikkan output perhektar. Selain subsidi harga pupuk dan pestisida, kebijakan perdagangan yang membatasi impor beras (dan tanaman bahan makanan pokok lainnya), juga pengenalan benih-benih unggulan dan bahkan peralatan pertanian yang modern telah dilakukan. Dan untuk beberapa tahun pertama, hal ini memang dapat meningkatkan output perhektar secara signifikan yang dapat langsung dinikmati oleh petani dan buruh tani.

2.3.3. Tenaga Kerja Sektor Tanaman Bahan Makanan dan Pupuk

Tenaga kerja merupakan input yang penting dalam suatu sektor perekonomian, tenaga kerja dalam sektor pertanian yang sebagian besar adalah petani yang merupakan tenaga kerja yang bergantung pada hasil panennya. Hasil panen tanaman bahan makanan yang dihasilkan oleh petani dipengaruhi input-input seperti benih, pupuk, alat-alat pertanian, dan faktor eksternal lainnya seperti cuaca dsb. Pupuk merupakan salah satu input yang berkontribusi langsung terhadap pertumbuhan tanaman bahan makanan, jika ketersediaan pupuk pada sektor tanaman bahan makanan memenuhi maka akan memudahkan tenaga kerja pada sektor tersebut dalam meningkatkan produksi pertaniannya. Pemenuhan kebutuhan pupuk secara memadai akan berkorelasi positif dengan peningkatan produksi tanaman bahan makanan, dan semakin banyak produksi tanaman bahan makanan dari tahun ke tahun akan menyebabkan peningkatan tenaga kerja pada sektor tanaman bahan makanan karena semakin dibutuhkannya tenaga-tenaga dalam proses produksi tanaman bahan makanan baik pada proses di hulu maupun hilir. Subsidi pupuk yang diberikan pemerintah baik pemerintah pusat maupun


(22)

22 daerah harus mempertimbangkan ketersediaan tenaga kerja pada sektor tanaman bahan makanan, agar subsidi pupuk tersebut dapat digunakan secara efektif dan efisien di tingkat petani.

2.4. Model Input-Output

Menurut Leontief (1986) dalam Mulyani (2007), analisis I-O merupakan suatu metode yang secara sistematis mengukur hubungan timbal balik diantara beberapa sektor dalam sistem ekonomi yang kompleks. Sistem ekonomi yang dimaksud dapat diterapkan berupa sistem suatu bangsa atau dunia. Kemudian ia juga memfokuskan perhatian terhadap terhadap hubungan antar sektor di dalam suatu wilayah, dan mendasarkan analisisnya terhadap keseimbangan. Kemudian, model I-O dapat dianggap sebagai suatu kemajuan penting di dalam pengembangan teori keseimbangan umum.

2.4.1 Konsep Dasar Model Input-Output

Konsep dasar Model I-O Leontief didasarkan atas : 1) struktur perekonomian tersusun (industri) yang satu sama lain berinteraksi melalui transaksi jual beli, 2) output suatu sektor dijual kepada sektor lainnya untuk memenuhi permintaan akhir rumah tangga, pemerintah, pembentukan modal dan ekspor, 3) input suatu sektor dibeli dari sektor-sektor lainnya, dan rumah tangga dalam bentuk jasa dan tenaga kerja, pemerintah dalam bentuk pajak tidak langsung, penyusutan, surplus usaha dan impor, 4) hubungan input-output bersifat linier, 5) dalam suatu kurun waktu analisis, biasanya satu tahun, total input sama dengan total output, dan 6) suatu sektor terdiri dari satu atau beberapa perusahaan. Suatu sektor hanya menghasilkan suatu output, dan output tersebut dihasilkan oleh suatu teknologi.


(23)

23 Badan Pusat Statistik (BPS) mengembangkan Tabel Input-Output sebagai dasar pengembangan model Input-Output dengan tiga kuadran yaitu matriks input-output (kuadran I), matriks permintaan akhir (kuadran II) dan matriks input antara (kuadran III) seperti pada gambar.

(Kuadran I) (Kuadran II) (Kuadran III) Sumber : Hadianto (2010)

Gambar 2.3. Kuadran Matriks Tabel Input-Output

Keterangan:

Kuadran I : transaksi antar industri, output sektor i menjadi input sektor j. Kuadran II : transaksi antara konsumen akhir (rumah tangga, pemerintah,

investor, dan ekspor) dengan industri penghasil barang dan jasa. Kuadran III : menggambarkan transaksi antara pihak-pihak pemilik faktor

produksi (tenaga dan pemilik modal) dengan unit-unit ekonomi yang menggunakannya.

Tabel 2.1. Kerangka Dasar Tabel Input-Output Sektor Penjual Sektor Pembeli Permintaan Akhir Total Output

1 2 N

1 2 N Nilai Tambah Impor Total Input


(24)

24 Keterangan:

1) Permintaan akhir (F) terdiri dari konsumsi rumah tangga (C), konsumsi pemerintah (G), pembentukan modal/investasi (I), dan Ekspor (E). 2) Xij = besarnya output sektor i yang digunakan sebagai input oleh sektor

j.

3) vj adalah nilai tambah dan IMj adalah impor. 4) xi = ∑ Xj+fi adalah total input = total output.

5) Koefisien langsung, aij = xij/Xj, Xij, xij =aijXj, matriks A = [aij].

6) AX + F = X dengan melakukan transformasi maka diperoleh (I-A)-1F = X.

7) (I-A)-1 adalah matriks kebalikan Leontief.

Matriks kebalikan Leontief mengandung informasi penting tentang bagaimana kenaikan produksi dari suatu sektor (pertanian) akan mempengaruhi pertumbuhan sektor-sektor lainnya. Karena setiap sektor memiliki pola transaksi pembelian maupun penjualan dengan sektor lain yang berbeda-beda, maka dampak dari perubahan produksi dari suatu sektor terhadap total produksi sektor-sektor lainnya juga berbeda-beda. Matriks kebalikan Leontief merangkum seluruh dampak dari perubahan produksi dari suatu sektor terhadap total produksi sektor-sektor lainnya ke dalam koefisien-koefisien yang disebut sebagai multiplier ( ij). Multiplier ini adalah angka-angka yang terlihat di dalam matriks (I-A)-1.

2.4.2. Koefisien Input

Menurut Sahara dan D.S Priyarsono (1998) dalam Mulyani (2007), pada Tabel Input-Output koefisien input merupakan perbandingan antara output sektor i


(25)

25 yang digunakan dalam sektor j atau (Xij) dengan input total sektor j (Xij). Jika koefisien input dilambangkan dengan ij, maka:

ij =

; untuk i dan j = 1,2,....,n. (2.1)

dimana: ij = Koefisien Input

Sesuai dengan perumusan koefisien di atas, maka dapat disusun matriks sebagai berikut:

11X1+ 12X2+...+ 1nXn+F1=X1 11X1+ 12X2+...+ 1nXn+F1=X1

. . . . . . . . . .

n1X1+ n2X2+...+ nnXn+Fn=Xn (2.2)

atau,

||

| |

| |

| |+

| |

| |=

| |

|

| (2.3)

A X + F = X

AX + F = X atau F = (I-A) X

X = (I-A)-1 F (2.4)

dimana:

I : Matriks Identitas F : Permintaan Akhir X : Jumlah Output (I-A) : Matriks Leontief


(26)

26 (I-A)-1 : Matriks Kebalikan Leontief

Matriks kebalikan merupakan alat yang sangat penting dalam melakukan analisis ekonomi karena saling berkaitan dengan tingkat permintaan akhir maupun tingkat produksi. Hasil dari analisis tersebut yaitu,

1) Keterkaitan langsung baik langsung ke depan maupun langsung ke belakang.

2) Pengganda output, pendapatan, dan tenaga kerja. 3) Koefisien dan kepekaan penyebaran.

2.5. Pertumbuhan Ekonomi

Menurut Hess dan Ross (2000) dalam Hadianto (2010), pertumbuhan ekonomi merupakan peningkatan total barang dan jasa yang dihasilkan suatu negara pada periode waktu tertentu yang direpresentasikan oleh peningkatan output perkapita. Lebih jauh menurut Mankiw (2000), dalam terminologi fungsi produksi pertumbuhan ekonomi merupakan peningkatan total output dalam proses produksi akibat peningkatan faktor produksi dan kemajuan teknologi pada periode waktu tertentu.

Dornbush (1992) dalam Hadianto (2010) mengklasifikasikan pengukuran output suatu perekonomian melalui indikator PDB, dibagi dalam dua pendekatan yaitu pendekatan sisi penerimaaan (income side) dan pendekatan sisi pengeluaran (expenditure side). PDB dari sisi penerimaan merupakan nilai tambah yang dihasilkan oleh suatu perekonomian. Sementara PDB dari sisi pengeluaran terdiri dari konsumsi masyarakat, pengeluaran pemerintah, pengeluaran investasi, dan ekspor bersih.


(27)

27

2.6. Penelitian Terdahulu

Penelitian terhadap subsidi pupuk ini sudah sering dilakukan, penelitian ini biasanya meliputi perencanaan, peraturan harga eceran tertinggi, jumlah subsidi, sistem distribusi pupuk, dan dampak dari diterapkan subsidi pupuk tersebut. Penelitian Manaf (2000) yang berjudul “Pengaruh Subsidi Harga Pupuk Terhadap Pendapatan Petani: Analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi”, menganalisis bagaimana pengaruh dari kebijakan subsidi pupuk yang ada di Indonesia terhadap pendapatan petani yang menyangkut aspek-aspek harga eceran tertinggi dari pupuk, permintaan dan penawaran pupuk, penyaluran subsidi pupuk, perkembangan subsidi pupuk, bahkan sampai pada kebijakan ekspor dan impor pupuk kemudian dari aspek-aspek tersebut dilihat pengaruhnya terhadap pendapatan petani yang ada di Indonesia, bagaimana pendapatan rumah tangga petani setelah adanya kebijakan subsidi pupuk. Penelitian ini menggunakan metode Sistem Neraca Sosial Ekonomi yaitu sebuah metode yang merangkum berbagai variabel sosial dan ekonomi secara kompak dan terintegrasi untuk memperlihatkan gambaran umum mengenai perekonomian suatu negara dan keterkaitan antar variabel sosial dan ekonomi pada suatu waktu tertentu.

Penelitian Sudaryanto (2010) yang berjudul “Dampak dan Perspektif Kebijakan Pupuk di Indonesia” membahas mengenai pelaksanaan kebijakan subsidi pupuk telah diterapkan secara komprehensif mulai dari tahap perencanaan, pengaturan harga eceran tertinggi, jumlah subsidi dan sistem distribusi pupuk. Namun, dalam penelitian ini menyatakan bahwa kebijakan tersebut belum mampu manjamin ketersediaan pupuk yang memadai di tingkat petani. Perencanaan jumlah kebutuhan pupuk tidak sepenuhnya akurat, dan membahas mengenai


(28)

28 ketidakoptimalan pengawasan dalam distribusi pupuk. Penelitian ini juga membahas mengenai perubahan mekanisme distribusi subsidi dari subsidi tidak langsung menjadi subsidi langsung kepada petani.

Penelitian yang dilakukan oleh penulis memiliki beberapa perbedaan dengan penelitian sebelumnya. Peneliti ingin mengetahui dampak dari kebijakan subsidi pupuk pada sektor tanaman bahan makanan di Kota Bogor terhadap output, pendapatan, dan penyerapan tenaga kerja. Penelitian ini dilakukan di Kota Bogor karena Kota Bogor merupakan daerah yang telah banyak mengalami konversi lahan pada sektor tanaman bahan makanan menjadi sektor tersier dan primer. Sedangkan kebutuhan tanaman bahan makanan untuk konsumsi penduduk di Kota Bogor terus meningkat dan tidak dapat dipenuhi oleh Kota Bogor sendiri melainkan selalu disuplai oleh daerah lain. Oleh karena itu, peneliti memfokuskan kepada kebijakan pemerintah pada sektor pertanian terutama tanaman bahan makanan dalam bentuk kebijakan subsidi input yaitu subsidi pupuk yang terjadi di Kota Bogor dan bagaimana dampaknya terhadap output tanaman bahan makanan, penyerapan tenaga kerja, serta pendapatan pada sektor tanaman bahan makanan. Dampak tersebut mencakup dampak dari peningkatan maupun pengurangan subsidi pupuk di Kota Bogor yang pada akhirnya merumuskan kebijakan harga subsidi pupuk dan dapat menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi pada penggunaan dan pendistribusian subsidi pupuk tersebut.


(29)

29

III. KERANGKA PEMIKIRAN OPERASIONAL

Kota Bogor merupakan suatu daerah di Jawa Barat yang telah mengalami konversi lahan, yakni dari sektor pertanian menjadi sektor lain seperti industri, perdagangan, hotel, dsb. Hal ini menyebabkan pemenuhan kebutuhan tanaman bahan makanan penduduk Kota Bogor tidak dapat dari dalam daerah melainkan harus disuplai dari daerah lain seperti Kabupaten Bogor bahkan banyak komoditas yang disuplai dari luar daerah seperti Cianjur, Sukabumi, dan Bandung. Pergeseran sektor ini menyebabkan kerawanan tanaman bahan makanan bagi penduduk Kota Bogor. Sektor pertanian terutama tanaman bahan makanan merupakan sektor yang penting dan harus mendapatkan perhatian yang lebih.

Walaupun Kota Bogor bukan merupakan daerah pertanian tetapi masalah pertanian masih sangat diupayakan dalam jajaran Pemerintah Daerah Kota Bogor melalui Dinas Agribisnis karena masih ada lahan dapat digunakan sebagai lahan pertanian dan alasan pemerintah harus memperhatikan sektor pertanian adalah sektor pertanian merupakan sektor primer di Kota Bogor yang masih berkontribusi terhadap PDRB Kota Bogor. Peran sektor pertanian sangat luas terutama mencakup penyediaan output-output tanaman bahan makanan, penyerapan tenaga kerja, dan pendapatan. Sektor pertanian memiliki keterkaitan antar sektor yang dapat dilihat dari aspek keterkaitan produksi, keterkaitan konsumsi, keterkaitan investasi, dan keterkaitan fiskal.

Kebutuhan akan konsumsi tanaman bahan makanan penduduk Kota Bogor dari tahun ke tahun semakin meningkat sedangkan Kota Bogor tidak dapat memproduksi tanaman bahan makanan untuk daerahnya sendiri dan sebagian besar dipenuhi oleh daerah lain. Untuk mendukung pemenuhan kebutuhan


(30)

30 produksi tanaman bahan makanan di Kota Bogor dan mengurangi ketergantungan pemenuhan dari luar daerah menyebabkan perlunya dukungan dari berbagai pihak dalam sektor pertanian terutama tanaman bahan makanan karena selain sektor pertanian merupakan sektor yang dipengaruhi oleh banyak faktor eksternal seperti perubahan iklim, hama, penyakit, dan kekeringan terdapat fakta bahwa sebagian besar petani kita adalah petani gurem yang memiliki luasan lahan yang sempit yaitu hanya berkisar 0.5 ha - 1 ha sehingga menyebabkan kondisi perekonomian mereka relatif rendah.

Salah satu dukungan terhadap sektor pertanian yang dapat membantu menyejahterakan petani yaitu dengan adanya pemberian subsidi dari pemerintah. Pemberian subsidi ini dapat berupa subsidi input pertanian yaitu subsidi pupuk, karena pupuk merupakan input yang penting dalam pertanian serta memiliki pengaruh nyata pada produksi dan produktivitas komoditas tanaman bahan makanan terutama padi. Baik pupuk organik maupun pupuk anorganik merupakan input yang tidak bisa ditinggalkan oleh petani. Subsidi pupuk merupakan kebijakan pemerintah yang kebanyakan disorot oleh berbagai pihak baik dari pihak petani, pemerintah itu sendiri, maupun pihak-pihak yang berusaha mengambil keuntungan dari pemberian subsidi pupuk bahkan terdapat banyak pihak yang menyelewengkan atau menyalahgunakan subsidi pupuk dan pada akhirnya subsidi pupuk tersebut banyak yang tidak dinikmati oleh petani serta terdapatnya masalah penggunaan pupuk yang tidak rasional yang menyebabkan penurunan kualitas tanah dan perusakan lingkungan hidup.

Disatu sisi pemberian subsidi pupuk menimbulkan banyak masalah jika penggunaan, pendistribusian, dan penerapannya tidak dilakukan secara benar dan


(31)

31 tepat sasaran tapi tidak dapat dipungkiri bahwa petani kita sangat membutuhkan subsidi dalam bidang pertanian terutama subsidi pupuk. Subsidi pupuk ini merupakan penolong bagi petani dalam memproduksi hasil pertanian mereka dan pemberian subsidi pupuk dapat meningkatkan kesejahteraaan petani yang dapat dilihat dari berbagai aspek diantaranya output, pendapatan, dan penyerapan tenaga kerja petani di Kota Bogor.

Kebijakan subsidi pupuk yang diberikan oleh pemerintah dapat mengalami peningkatan dan pengurangan sesuai dengan kebutuhan masing-masing daerah di Indonesia termasuk Kota Bogor. Peningkatan maupun pengurangan tersebut dapat mempengaruhi jumlah output tanaman bahan makanan, penyerapan tenaga kerja, dan juga pendapatan. Karena sektor pertanian merupakan sektor primer sehingga menyebabkan banyaknya penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian, semakin banyaknya perhatian pemerintah melalui subsidi pupuk dibidang tanaman bahan makanan juga akan menyebabkan pendapatan masyarakat pada sektor tanaman bahan makanan juga meningkat karena output tanaman bahan makanan juga akan meningkat seiring dengan murahnya harga input-input produksi termasuk pupuk dan memudahkan petani untuk mencapai penyediaan input tersebut tapi sebaliknya jika terjadi pengurangan subsidi pupuk.

Subsidi pupuk yang selama ini diberikan masih dirasakan kurang di Kota Bogor karena terkadang jumlah yang diberikan pemerintah tidak sama dengan jumlah yang diterima petani, hal ini menimbulkan masalah yang cukup besar dalam hal penyaluran pupuk bersubsidi. Jenis pupuk yang dibutuhkan di Kota Bogor dan mendapatkan subsidi adalah Urea, Superphos, NPK Ponska, NPK Kujang, ZA dan Organik. Subsidi pupuk yang menjadi bahasan dalam penelitian


(32)

32 ini hanya subsidi pupuk urea karena persentase terbesar dari subsidi pupuk di Kota Bogor didominasi oleh pupuk urea atau bisa dikatakan bahwa subsidi pupuk di Kota Bogor adalah subsidi urea.

Untuk menganalis dampak dari subsidi pupuk ini baik terhadap output tanaman bahan makanan, penyerapan tenaga kerja, dan pendapatan yaitu dengan menggunakan model input ouput yaitu merupakan suatu metode yang secara sistematis mengukur hubungan timbal balik diantara beberapa sektor dalam sistem ekonomi yang kompleks. Dalam model I-O menganalisis pengaruh interaksi ekonomi yang dapat diklasifikasikan kedalam tiga jenis yaitu: 1) pengaruh langsung, 2) pengaruh tidak langsung, dan 3) pengaruh total. Analisis dampak input primer digunakan untuk melihat pengaruh perubahan dampak input primer yaitu pupuk dalam sektor tanaman bahan makanan terhadap pembentukan output, tenaga kerja, dan pendapatan.


(33)

33 Konversi lahan pertanian di Kota Bogor

Kerawanan pangan

Ketergantungan pada luar daerah

Peningkatan kebutuhan pangan

Pentingnya sektor pangan di Kota Bogor

Perlunya perhatian pemerintah pada sektor pangan

Subsidi pupuk pada tanaman pangan

Dampak subsidi pupuk

Analisis Multiplier

Analisis Lingkages

Dampak terhadap pertumbuhan output

Dampak terhadap pendapatan Dampak terhadap peluang kerja

Masalah penggunaan dan distribusi pupuk

Kebijakan pemerintah dengan analisis deskriptif

Peran sektor pangan terhadap perekonomian

Analisis Dampak

Gambar 3.1. Alur Kerangka Pemikiran Operasional


(34)

34

IV. METODE PENELITIAN

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan dengan memilih lokasi di Kota Bogor. Pemilihan lokasi ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa sektor tanaman bahan makanan merupakan sektor yang penting dan perlu diperhatikan di Kota Bogor oleh pemerintah mengingat semakin berkurangnya lahan pertanian di Kota Bogor karena adanya pergeseran sektor yakni dari sektor pertanian ke sektor lain seperti industri, perdagangan, hotel, transportasi, dan sektor-sektor lainnya sedangkan kebutuhan tanaman bahan makanan semakin meningkat. Salah satu bentuk perhatian dari pemerintah adalah dengan memberikan subsidi pupuk pada sektor tanaman bahan makanan yang pada akhirnya akan meningkatkan kesempatan kerja dan pendapatan. Selain itu tersedianya Tabel Input-Output Kota Bogor yang mendukung penelitian. Penelitian ini dimulai pada bulan Februari sampai bulan Mei 2012.

4.2. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bogor, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Bogor, Dinas Pertanian Kota Bogor, Perpustakaan IPB, Perusahaan Produsen Pupuk Kota Bogor yaitu PT. Pupuk Kujang serta lembaga atau instansi yang terkait lainnya. Data yang digunakan adalah data subsidi pupuk di Kota Bogor dari tahun 2008 sampai tahun 2012 dan tabel Input-Output Kota Bogor tahun 2008 klasifikasi 28 sektor. Jenis data yang digunakan dalam analisis ini adalah data transaksi total atas dasar harga produsen.


(35)

35

Tabel 4.1. Jenis dan Sumber Data Penelitian

No Tujuan Jenis dan Sumber Data Metode

Analisis

1 Menganalisis peran sektor tanaman bahan makanan terhadap perekonomian dan sektor lainnya.

Data Sekunder sumber Dinas Pertanian Kota Bogor, Bappeda Kota Bogor, Badan Pusat Statistik Kota Bogor.

Analisis Input-Output

2 Menganalisis dampak

kebijakan subsidi pupuk pada sektor tanaman bahan makanan di Kota Bogor terhadap output tanaman bahan makanan, pendapatan, dan tenaga kerja.

Data Sekunder sumber Bappeda Kota Bogor, PT. Pupuk Kujang, Cikampek. Analisis Dampak Subsidi Input Primer

4.3. Metode Analisis Data

Alat analisis yang digunakan adalah model input-output dari sisi permintaan (demand). Dari tabel input-output ini peranan subsidi pupuk pada sektor tanaman bahan makanan dalam pembentukan output, pendapatan, dan penyerapan tenaga kerja dapat diketahui secara langsung karena sudah tersaji dalam tabel. Untuk mengetahui peran sektor tanaman bahan makanan terhadap perekonomian Kota Bogor dapat dikaji berdasarkan analisis input-output yang terdiri dari analisis keterkaitan dan multiplier dan untuk menganalisis dampak kebijakan subsidi pupuk pada sektor tanaman bahan makanan untuk meningkatkan ouput, pendapatan, dan penyerapan tenaga kerja dapat dikaji berdasarkan analisis dampak subsidi input primer yang berpengaruh terhadap final demand. Dalam pengolahan datanya didukung dengan Microsoft Office Excel. Daryanto dan Hafizrianda (2010) dalam Mulyani (2007).


(36)

36

4.3.1. Analisis Keterkaitan (Linkages)

Analisis keterkaitan digunakan untuk melihat keterkaitan antar sektor. Analisis ini disebut dengan koefisien penyebaran (backward lingkage) dan kepekaan penyebaran (forward lingkage)

a) Koefisien Penyebaran (Backward Lingkages)

Koefisien penyebaran digunakan untuk mengetahui distribusi manfaat dari pengembangan suatu sektor terhadap perkembangan sektor-sektor lainnya melalui mekanisme transaksi pasar input. Dengan kata lain, koefisien penyebaran dapat didefinisikan sebagai kemampuan suatu sektor untuk meningkatkan pertumbuhan industri hulunya. Sektor j dikatakan mempunyai kaitan ke belakang yang tinggi apabila Pdj mempunyai nilai lebih besar dari satu, begitu juga sebaliknya jika nilai Pdj lebih kecil dari satu. Untuk mengetahui besarnya nilai koefisien penyebaran, digunakan rumus sebagai berikut:

Pdj = ∑

; untuk i dan j = 1,2,...,n (4.1)

dimana:

Pdj = Koefisien Penyebaran sektor j

ij = Unsur matriks kebalikan Leontief

n = Jumlah sektor

Nilai koefisien penyebaran dari suatu sektor menunjukkan tingkat kepekaan suatu sektor tersebut terhadap sektor-sektor lainnya melalui mekanisme pasar output. Konsep ini sering juga diartikan sebagai kemampuan suatu sektor untuk mendorong pertumbuhan produksi sektor-sektor lain yang memakai input dari sektor ini.


(37)

37

b) Kepekaan Penyebaran (Forward Lingkages)

Kepekaan penyebaran merupakan keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan yang dinormalkan dengan jumlah sektor seluruh koefisien matriks kebalikan Leontief. Untuk mengetahui besarnya nilai kepekaan penyebaran, digunakan rumus sebagai berikut:

Sdi = ∑

; untuk i dan j = 1,2,...,n (4.2)

dimana:

Sdi = Kepekaan Penyebaran sektor j

ij = Unsur matriks kebalikan Leontief n = Jumlah sektor

Nilai kepekaan penyebaran suatu sektor menunjukkan bahwa kenaikan satu unit output dari suatu sektor akan menyebabkan naiknya output sektor-sektor lain yang menggunakan output dari sektor tersebut, termasuk sektor itu sendiri sebesar nilai kepekaan penyebarannya. Apabila nilai kepekaan penyebaran (Sdi) lebih dari satu maka sektor i tersebut mempunyai tingkat kepekaan yang tinggi. Sebaliknya jika nilai Sdi kecil maka sektor i tersebut mempunyai tingkat penyebaran yang rendah. Semakin besar nilai kepekaan suatu sektor menunjukkan bahwa sektor tersebut mampu menumbuhkan sektor hilirnya.

Perbandingan antara nilai kepekaan dan koefisien penyebaran dapat menunjukkan kemampuan menarik atau mendorong suatu sektor. Apabila suatu sektor memiliki koefisien penyebaran lebih besar dari nilai kepekaan penyebaran maka sektor tersebut mempunyai kemampuan menarik yang lebih besar terhadap pertumbuhan sektor hulunya dibandingkan dengan sektor lainnya.


(38)

38

4.3.2. Analisis Pengganda (Multiplier)

Menurut Sahara dan D.S Priyarsono (1998) dalam Mulyani (2007), berdasarkan matriks kebalikan Leontief, baik untuk model terbuka ( ij) atau model tertutup ( *ij) dapat ditentukan nilai-nilai multiplier output, pendapatan, dan tenaga kerja.

a) Multiplier Output

Multiplier Output dihitung dalam per unit perubahan output sebagai efek awal (initial effect), yaitu kenaikan atau penurunan output sebesar satu unit satuan moneter. Setiap elemen dalam matriks kebalikan Leontief (matriks invers) menunjukkan total pembelian input baik tidak langsung maupun langsung dari sektor i yang disebabkan karena adanya peningkatan penjualan dari sektor i sebesar satu unit satuan moneter ke permintaan akhir. Matriks invers dirumuskan dengan persamaan:

= (I-A)-1 =

[

ij

]

; untuk i dan j = 1,2,...,n (4.3)

Dengan demikian matriks mengandung informasi penting tentang struktur perekonomian yang dipelajari dengan menentukan tingkat keterkaitan antar sektor dalam perekonomian suatu wilayah atau negara. Koefisien dari matriks invers ini [ ij] menunjukkan besarnya perubahan aktivitas dari suatu sektor yang akan mempengaruhi tingkat output dari sektor-sektor lain.

b) Multiplier Pendapatan

Multiplier pendapatan mengukur peningkatan pendapatan akibat adanya perubahan output dalam perekonomian. Dalam Tabel Input-Output, yang dimaksud dengan pendapatan adalah upah dan gaji yang diterima oleh rumah tangga. Pengertian pendapatan disini tidak hanya mencakup beberapa jenis


(39)

39 pendapatan yang umumnya diklasifikasikan sebagai pendapatan rumah tangga, tetapi juga dividen dan bunga bank Jensen (1979) dalam Priyarsono, et al.(2007). Angka pengganda pendapatan dapat diperoleh dari rumus :

MI

j=

; untuk i dan j = 1,2,...,n (4.4)

Dimana :

MIj = pengganda tipe II

Dij = unsur matrik kebalikan Leontief tertutup

n+1, j = koefisien input dari gaji/upah rumah tangga sektor j

c) Multiplier Tenaga Kerja

Multiplier tenaga kerja menunjukkan perubahan tenaga kerja yang disebabkan oleh perubahan awal dari sisi output. Multiplier tenaga kerja tidak diperoleh dari elemen-elemen dalam Tabel Input-Output seperti pada multiplier output dan pendapatan, karena dalam Tabel Input-Output tidak mengandung elemen-elemen yang berhubungan dengan tenaga kerja. Untuk memperoleh multiplier tenaga kerja maka pada Tabel Input-Output harus ditambahkan baris yang menunjukkan jumlah dari tenaga kerja untuk masing-masing sektor dalam perekonomian suatu wilayah atau negara. Penambahan baris ini untuk memperoleh koefisien tenaga kerja (wn+1).

Besaran multiplier tenaga kerja dapat diperoleh dengan rumus :

ML

j

=


(40)

40 Dimana :

MLj = pengganda tenaga kerja tipe II

Dij = unsur matrik kebalikan Leontief tertutup wn+1,j = koefisien tenaga kerja sektor j

wn+1,i = koefisien tenaga kerja sektor i

Tabel 4.2. Rumus Multiplier Output, Pendapatan, dan Tenaga Kerja

Nilai Multiplier

Output Pendapatan Tenaga Kerja

Efek Awal 1 hi ei

Efek Putaran Pertama

i iji ijhii ijei

Efek Dukungan Industri

i ij– 1 – �i iji ijhi– hi–�i ijhii ijei– ei–�i ijei

Efek Induksi Konsumsi

�i *ij–�i ij �i *ijhi–�i ijhi �i *ijei–�i ijei

Efek Total �i *iji *ijhii *ijei

Efek Lanjutan

i ij– 1 �i ijhi– hii ijei– ei

Sumber : Sahara dan D.S Priyarsono (1998) dalam Mulyani (2007) Keterangan:

ij = Koefisien Output

hij = Koefisien pendapatan rumah tangga

ei = Koefisien tenaga kerja

ij = Matriks Kebalikan Leontief Model Terbuka

*ij = Matriks Kebalikan Leontief Model Tertutup d) Multiplier Tipe I dan II

Multiplier Tipe I dan II digunakan untuk mengukur efek dari output, pendapatan dan tenaga kerja masing-masing sektor perekonomian yang disebabkan karena adanya perubahan dalam jumlah output, pendapatan, dan


(41)

41 tenaga kerja yang ada di suatu negara atau wilayah. Respon atau efek multiplier output, pendapatan, dan tenaga kerja dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

i) Dampak Awal (Initial Impact)

Dampak awal merupakan stimulus perekonomian yang diasumsikan sebagai peningkatan atau penurunan jumlah dalam satu unit satuan moneter. Dari sisi output, dampak awal ini diasumsikan sebagai peningkatan penjualan ke permintaan akhir sebesar satu unit satuan moneter. Peningkatan output tersebut akan memberikan efek terhadap peningkatan pendapatan dan kesempatan kerja. Efek awal dari sisi pendapatan ditunjukkan oleh koefisien pendapatan rumah tangga (hi). Sedangkan efek awal dari sisi tenaga kerja ditunjukkan oleh koefisien tenaga kerja (ei).

ii) Efek Putaran Pertama (First Round Effect)

Efek putaran pertama menunjukkan efek langsung dari pembelian masing-masing sektor untuk peningkatan output sebesar satu unit satuan moneter. Dari sisi output efek putaran pertama ditunjukkan oleh koefisien langsung (koefisien

input output/ ij). Sedangkan efek putaran pertama dari sisi pendapatan (

i ijhi) menunjukkan adanya efek putaran pertama dari sisi output. Sementara efek

putaran pertama dari sisi tenaga kerja (

ieijhi) menunjukkan peningkatan penyerapan tenaga kerja akibat adanya efek putaran pertama dari sisi output. iii) Efek Dukungan Industri (Industrial Support Effect)

Efek dukungan industri dari sisi output menunjukkan efek dari peningkatan output putaran kedua dan selanjutnya akibat adanya stimulus ekonomi. Dari sisi pendapatan dan tenaga kerja, efek dukungan industri menunjukkan adanya efek peningkatan pendapatan dan penyerapan tenaga kerja


(42)

42 putaran kedua dan selanjutnya akibat adanya dukungan industri yang menghasilkan output.

iv) Efek Induksi Konsumsi (Consumption Induced Effect)

Efek induksi konsumsi dari sisi output menunjukkan efek dari peningkatan output menunjukkan adanya suatu pengaruh induksi (peningkatan konsumsi rumah tangga) akibat pendapatan rumah tangga yang meningkat. Dari sisi pendapatan dan tenaga kerja, efek induksi konsumsi diperoleh masing-masing dengan mengalihkan efek induksi konsumsi output dengan koefisien pendapatan rumah tangga dan koefisien tenaga kerja.

v) Efek Lanjutan (Flow-on-Effect)

Efek lanjutan merupakan efek (dari output, pendapatan, dan tenaga kerja) yang terjadi pada semua sektor perekonomian dalam suatu negara atau wilayah akibat adanya peningkatan penjualan dari suatu sektor. Efek lanjutan dapat diperoleh dari pengurangan efek total dengan efek awal.

Hubungan antara efek awal dengan efek lanjutan per unit pengukuran dari sisi output, pendapatan, dan tenaga kerja, dihitung dengan menggunakan rumus multiplier tipe I dan tipe II, sebagai berikut:

Tipe I

(4.6)

Tipe II

(4.7)

4.4. Penentuan Besarnya Subsidi (external shock)

Kota Bogor mendapatkan subsidi pupuk mulai tahun 2008 hingga saat ini, subsidi pupuk yang diperoleh di Kota Bogor yaitu jenis pupuk urea,


(43)

SP-43 36/superphose, NPK yang terdiri dari NPK phonska dan kujang, ZA, dan Organik namun subsidi pupuk yang selama ini diberikan didominasi oleh pupuk urea yang diproduksi PT. Pupuk Kujang. Kota Bogor merupakan salah satu daerah yang menjadi daerah distribusi pupuk bersubsidi yang dihasilkan dari PT. Pupuk Kujang yang berlokasi di Cikampek. Kota Bogor mendapatkan subsidi dalam tonase per tahun jadi untuk mendapatkan nilai subsidi, perlunya konversi ke rupiah sesuai dengan keputusan Menteri Pertanian nomor 3293/kpts/sr.130/7/2011 yaitu HPP atau harga pokok penjualan yang diperoleh dari total biaya produksi ditambah marjin PT. Pupuk Kujang yang bertindak sebagai produsen pupuk yang kemudian nilai tersebut dikurang dengan harga eceran tertinggi (HET) pupuk. Nilai tersebut akan di shock ke dalam tabel input-output Kota Bogor.

(4.8)

4.5. Analisis Dampak Perubahan Input Primer terhadap Output, Pendapatan, dan Tenaga kerja

Subsidi yang diberikan oleh pemerintah merupakan pengeluaran pemerintah yang digunakan untuk meningkatkan perekonomian suatu sektor. Subsidi pupuk merupakan salah salah satu perhatian pemerintah dalam hal meningkatkan input primer dari sektor pertanian terutama tanaman pangan. Subsidi pupuk ini memberikan dampak baik bagi output sektor tanaman pangan, penyerapan tenaga kerja, dan pendapatan. Berikut ini merupakan rumus dampak dari pemberian subsidi pupuk terhadap pembentukan output, pendapatan, dan penyerapan tenaga kerja yang merupakan rumus yang diolah dari BPS (2000), yaitu :


(44)

44

a) Dampak Terhadap Pembentukan Output ( Xw )

Xw = (Wsub)(I-A)-1 (4.9)

b) Dampak Terhadap Pembentukan Pendapatan ( Pw )

Pw =

(4.10)

c) Dampak Terhadap Pembentukan Tenaga Kerja ( Tw)

Tw =

(4.11)

dimana :

Xw = matriks baris dampak terhadap output Pw = matriks baris dampak terhadap pendapatan Tw = matriks baris dampak terhadap tenaga kerja Wsub = matriks baris input primer

(I-A)-1 = matriks kebalikan Leontief terbuka

δ(I-A)-1 = matriks kebalikan Leontief terbuka yang masing-masing

sektornya telah dikalikan dengan masing-masing koefisien pendapatan

β(I-A)-1 = matriks kebalikan Leontief terbuka yang masing-masing

sektornya telah dikalikan dengan masing-masing koefisien tenaga kerja

δs = koefisien pendapatan sektor yang mendapat subsidi βs = koefsien tenaga kerja sektor yang mendapat subsidi

4.5.1. Koefisien Pendapatan ( δs )

Menurut Sahara dan D.S Priyarsono (1998) dalam Mulyani (2007), koefisien pendapatan merupakan suatu bilangan yang menunjukkan besarnya


(45)

45 jumlah pendapatan yang diterima oleh pekerja yang diperlukan untuk menghasilkan satu unit output. Koefisien pendapatan diperlukan untuk mencari dampak perubahan input primer terhadap pembentukan pendapatan. Rumusnya adalah :

δs

=

(4.12)

dimana:

δs

=

koefisien pendapatan sektor i Ui = jumlah upah dan gaji

Xi = jumlah input total sektor i

4.5.2. Koefisien Tenaga Kerja ( βs )

Menurut Sahara dan D.S Priyarsono dalam Mulyani (2007), koefisien tenaga kerja merupakan suatu bilangan yang menunjukkan besarnya jumlah tenaga kerja yang diperlukan untuk menghasilkan satu unit output. Koefisien tenaga kerja diperlukan untuk mencari dampak perubahan i primer terhadap pembentukan tenaga kerja. Dirumuskan sebagai berikut:

βs

=

(4.13)

dimana :

βs = koefisien tenaga kerja sektor i Li = jumlah tenaga kerja sektor i Xi = jumlah input


(46)

46

V. GAMBARAN UMUM 5.1. Kondisi Geografis

Kota Bogor mempunyai luas wilayah 118 50 km2 atau 0.27 persen dari luas propinsi Jawa barat. Secara geografis, Kota Bogor terletak diantara 106 derajat 43’30’BT-106 derajat 51’00”BT dan 30’30” LS-6 derajat 41’00” LS. Kota Bogor memiliki ketinggian rata-rata minimal 190 meter dan maksimal 350 meter diatas permukaan laut. Jarak Kota Bogor dengan ibukota Jakarta kurang lebih 60 km.

Kota Bogor memiliki udara yang sejuk dengan suhu udara rata-rata setiap bulannya adalah 26oC dan suhu udara terendah 21oC, dengan kelembaban udara kurang lebih 70 persen disebut sebagai Kota Hujan. Di Kota Bogor mengalir beberapa sungai yang permukaan airnya jauh dibawah permukaan tanah, yaitu sungai Ciliwung, Cisadane, Cikapancilan, Cidepit, Ciparigi, dan Cibalok. Dengan kondisi sungai seperti ini, Kota Bogor relatif aman dari bahaya banjir walaupun memiliki banyak aliran sungai.

Batas-batas wilayah Kota Bogor adalah sebagai berikut :

1. Selatan : berbatasan dengan Kecamatan Cijeruk dan Kecamatan Caringin Kabupaten Bogor

2. Timur : berbatasan dengan Kecamatan Sukaraja dan Kecamatan Ciawi Kabupaten Bogor

3. Utara : berbatasan dengan Kecamatan Sukaraja, Kecamatan Bojonggede, dan Kecamatan Kemang Kabupaten Bogor

4. Barat : berbatasan dengan Kecamatan Kemang dan Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor.


(47)

47 Secara topografi, kemiringan tanah di Kota Bogor berkisar antara 0-15 persen dan hanya sebagian kecil daerahnya mempunyai kemiringan antara 15-30 persen. Jenis tanah dihampir seluruh wilayah adalah lotosil coklat kemerahan dengan kedalaman efektif tanah lebih dari 90 cm dengan tekstur tanah yang halus serta bersifat agak peka terhadap erosi. Berikut ini merupakan gambar lokasi penelitian di Kota Bogor.

Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Bogor (2010)

Gambar 5.1. Peta Kota Bogor


(48)

48

5.2. Kondisi Sosial Ekonomi Daerah

Kedudukan topografis Kota Bogor ditengah-tengah wilayah Kabupaten Bogor serta lokasinya yang dekat dengan Ibukota Negara, merupakan potensi yang strategis untuk perkembangan dan pertumbuhan kegiatan ekonomi. Adanya Kebun Raya yang didalamnya terdapat Istana Bogor di Pusat Kota, merupakan tujuan wisata, serta kedudukan Kota Bogor diantara jalur tujuan wisata Puncak-Cianjur juga merupakan potensi yang strategis bagi pertumbuhan ekonomi. Pembangunan didaerah ini lebih diarahkan pada pemerataan dan pertumbuhan ekonomi, dengan memprioritaskan pembangunan sektor industri yang ditunjang oleh sektor pertanian.

Perkembangan nilai PDRB Kota Bogor tahun 2008 dibandingkan dengan nilai PDRB tahun 2007 masing-masing terjadi peningkatan dan kenaikan sebagai berikut. Nilai PDRB atas dasar harga berlaku tahun 2008 sebesar Rp 10.10 juta sedangkan tahun 2007 sebesar Rp 8.55 juta. Nilai PDRB atas dasar harga konstan tahun 2008 sebesar Rp 4.25 juta, sedangkan tahun 2007 sebesar Rp 4.01 juta.

5.3. Pemerintahan

Secara administrasi Kota Bogor terdiri dari enam Kecamatan, yaitu Kecamatan Bogor Selatan, Kecamatan Bogor Timur, Kecamatan Bogor Utara, Kecamatan Bogor Tengah, Kecamatan Bogor Barat dan Kecamatan Tanah Sareal dengan total kelurahan 68 dan pada tahun 2010 terdapat 758 RW serta 3 392 RT. Jumlah anggota DPRD Kota Bogor adalah 45 orang dengan mayoritas anggota dari Fraksi Partai Demokrat sebanyak 15 orang. Menurut SIMPEG Kota Bogor, tahun 2010 terdapat 3 241 PNS di Lingkungan Pemda Kota Bogor dengan jumlah PNS tertinggi bergolongan II yaitu 1 359 orang (41.93 persen) dan terendah pada


(49)

49 PNS golongan IV yaitu 238 orang (7.34 persen). Pada tahun 2010 terdapat 3 328 anggota Linmas di Kota Bogor.

5.4. Penduduk dan Ketenagakerjaan

Berdasarkan hasil sementara sensus penduduk 2010, jumlah penduduk Kota Bogor adalah 950 334 orang dengan rincian 484 791 laki-laki dan 465 543 perempuan. Sex ratio Kota Bogor tahun 2010 adalah 104 dan jumlah rata-rata anggota 4 orang per rumah tangga. Berikut ini merupakan tabel yang menjelaskan banyaknya penduduk menurut kecamatan dan jenis kelamin di Kota Bogor tahun 2010.

Tabel 5.1. Banyaknya Penduduk Menurut Kecamatan dan Jenis kelamin di Kota Bogor Tahun 2010

Penduduk (orang) Kecamatan

Laki-laki Perempuan Jumlah

Rasio Jenis Kelamin

(1) (2) (3) (4) (6)

Bogor Selatan 93 442 87 950 181 392 106

Bogor Timur 48 350 46 748 95 098 103

Bogor Utara 86 962 83 481 170 443 104

Bogor Tengah 51 296 50 102 101 398 102

Bogor Barat 107 465 103 619 211 084 104

Tanah Sareal 97 276 93 643 190 919 104

Jumlah 484 791 465 543 950 334 104

Sumber : Sensus Penduduk 2010

Kepadatan jumlah penduduk di Kota Bogor adalah 8 020 orang/km2. Kecamatan yang memiliki kepadatan tertinggi adalah Kecamatan Bogor Tengah yaitu 12 470 orang/km2, dan kepadatan terendah ada di Kecamatan Bogor Selatan yaitu 5 887 orang/km2. Pada tahun 2010 di Kota Bogor terdapat 418.742 orang angkatan kerja dengan 82 persen sudah bekerja. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) tahun 2010 adalah 65.56 persen dan tingkat pengangguran 17.20 persen. Proporsi tertinggi penduduk bekerja di Kota Bogor yaitu 31.38 persen adalah di bidang perdagangan, rumah makan, dan hotel.


(50)

50

5.5. Pertanian

Sektor pertanian di Kota Bogor bukan merupakan sektor ekonomi yang dominan, tetapi penggunaan lahan baik sawah maupun bukan sawah masih tetap mendapat perhatian utama pemerintah daerah Kota Bogor. Pada tahun 2010 terdapat 793 ha lahan sawah dan 2 375 ha lahan bukan sawah di Kota Bogor. Selain padi dan palawija, tanaman holtikultura merupakan andalan sektor pertanian di Kota Bogor. Selain pertanian tanaman bahan makanan, sektor peternakan dan perikanan juga masih cukup berkembang di Kota Bogor. Berikut ini merupakan tabel penggunaan lahan pertanian menurut kecamatan di Kota Bogor Tahun 2010.

Tabel 5.2. Penggunaan Lahan Pertanian Menurut Kecamatan di Kota Bogor Tahun 2010

Lahan Sawah (ha) Kecamatan Irigasi

Teknis

Irigasi Setengah Teknis

Irigasi

Sederhana Tadah Hujan

(1) (2) (3) (4) (6)

Bogor Selatan 156 0 127 0

Bogor Timur 139 38 1 0

Bogor Utara 0 0 2 0

Bogor Tengah 0 0 1 0

Bogor Barat 0 76 239 0

Tanah Sareal 0 6 0 8

Jumlah 295 120 370 8

Sumber : Dinas Pertanian Kota Bogor 2010

Penggunaan lahan bukan sawah di Kota Bogor diklasifikasikan menjadi sembilan kategori yaitu tegal/kebun, ladang/huma, perkebunan, hutan rakyat, tambak, kolam/tebat/empang, padang gembala/rumput, lahan yang tidak diusahakan dan lainnya tetapi hanya enam kategori yang masih digunakan. Berikut ini merupakan tabel penggunan lahan bukan sawah menurut kecamatan di Kota Bogor Tahun 2010.


(51)

51

Tabel 5.3. Penggunaan Lahan Bukan Sawah Menurut Kecamatan di Kota Bogor Tahun 2010

Lahan Bukan Sawah (ha)

Kecamatan Tegal Kebun Hutan Kolam Tdk

Diusahakan*)

Lain **)

(1) (10) (12) (13) (15) (17) (18)

Bogor Selatan 282 0 73 19 11 195

Bogor Timur 137 0 54 18 7 167

Bogor Utara 195 0 93 13 3 192

Bogor Tengah 3 0 3 5 0 5

Bogor Barat 128 30 72 8 2 235

Tanah Sareal 219 0 71 12 5 118

Jumlah 964 30 366 75 28 912

Sumber : Dinas Pertanian Kota Bogor 2010

Catatan : *) lebih dari 1 tahun tapi <2 tahun termasuk lahan sawah yang tidak diusahakan >2 tahun **)pekarangan yang ditanami tanaman pertanian

5.6. Pengeluaran dan Konsumsi Penduduk

Tingkat kesejahteraan masyarakat dapat ditinjau dari segi pendapatannya. Namun karena data pendapatan sulit diperoleh maka tingkat kesejahteraan masyarakat didekati dari sisi pengeluaran rumah tangga. Berdasarkan hasil SUSENAS 2010, rata-rata pengeluaran per kapita sebulan di Kota Bogor tahun 2010 Rp 328 776 untuk kelompok barang makanan dan Rp 417 704 untuk kelompok barang non makanan.

Jika melihat perkembangan dari tahun ke tahun, pengeluaran rata-rata per kapita untuk kelompok barang makanan pada tahun 2010 mengalami penurunan sekitar 26.97 persen dibanding tahun 2009 dan 16.20 persen dibanding tahun 2008. Sementara unutk pengeluaran rata-rata per kapita kelompok barang non makanan meningkat 5.13 persen dibanding tahun 2009.


(52)

52

5.7. Pendapatan Regional

Secara umum keadaaan ekonomi Kota Bogor dapat dilihat dari laju pertumbuhan PDRB menurut tanaman bahan makanan Usaha Atas Dasar harga Konstan. Laju pertumbuhan ekonomi Kota Bogor tahun 2010 tetap didominasi oleh sektor perdagangan, hotel, dan restoran dengan kontribusi sebesar 38.04 persen diikuti oleh sektor industri pengolahan sebesar 25.57 persen.


(1)

72 Dampak subsidi pupuk di Kota Bogor masih dirasakan kecil dan kurang mampu mendorong sektor tanaman bahan makanan dan sektor lainnya. Menurut Dinas Pertanian Kota Bogor (2010) terjadinya masalah penggunaan dan distribusi pupuk. Terjadinya masalah penggunaan dan distribusi pupuk tidak hanya terjadi di Kota Bogor tetapi banyak daerah di Indonesia mengalami masalah tersebut. Ini masalah yang sangat krusial bagi masyarakat terutama petani dan membutuhkan banyak perhatian dari berbagai pihak untuk mengatasi masalah tersebut agar kedepannya pupuk bersubsidi dapat digunakan secara efektif dan efisien serta tepat sasaran demi mencegah kelangkaan pupuk saat petani membutuhkan.

Berikut ini merupakan masalah penggunaan dan distribusi pupuk bersubsidi di berbagai daerah termasuk Kota Bogor. Terjadinya banyak penyimpangan dalam penggunaan dan penyaluran pupuk bersubsidi yaitu penggunaan pupuk yang tidak rasional, menurut penelitian bahwa secara agronomis dibutuhkan sekitar 200-250 kg/ha, namun dewasa ini penggunaan pupuk melebihi batas toleransi tersebut yaitu sekitar 350-500 kg/ha yang dapat mengakibatkan penurunan tingkat kesuburan tanah dan menimbulkan masalah pada lingkungan hidup. Penggunaan yang tidak rasional ini terutama disebabkan oleh harga pupuk urea yang terlalu murah. Perbedaan harga dengan jenis pupuk lain, menyebabkan komposisi pupuk tidak berimbang menyebabkan rendemen dari gabah ke beras rendah dibandingkan dengan pupuk yang berimbang (majemuk) NPK.

Subsidi yang besar menyebabkan terjadinya kebocoran (leakage) kepada perkebunan besar bukan kepada sektor pertanian terutama sektor tanaman bahan makanan yang membutuhkan pupuk sebagai input primer sehingga menimbulkan


(2)

73 kelangkaan pupuk namun hal ini memancing pemerintah untuk mengurangi subsidi pupuk dengan meningkatkan harga eceran tertinggi (HET) yang menimbulkan banyak pro dan kontra di berbagai kalangan.

Setiap pemerintah mengumumkan kebijakan mengenai kenaikan HET pupuk, maka kebijakan ini selalu direspon negatif oleh sebagian masyarakat karena kebijakan ini dapat menambah beban petani dalam menyediakan biaya produksi dan timbulnya masalah distribusi pupuk yaitu dengan terjadinya aktivitas penimbunan dan pemburuan rente (rent seeking activity) tumbuh subur yang dilakukan oleh pecundang yang menangguk keuntungan dari kebijakan ini sehingga pupuk bersubsidi yang harusnya sampai ketangan petani dengan harga yang sesuai bagi petani tetapi sampai kepada pihak-pihak yang tidak tepat yang kemudian meningkatkan harga subsidi tersebut sehingga petani harus membayar lebih dari HET yang dianjurkan oleh pemerintah.

Mengatasi masalah-masalah diatas tidak hanya dibutuhkan bantuan oleh pemerintah saja tetapi banyak pihak dapat bekerjasama untuk mengatasniya. Kenaikan HET pupuk yang tidak dilakukan secara bertahap maka akan sangat memberatkan petani terutama untuk petani yang memilki lahan sempit. Fakta lain petani kecil umumnya masih menghadapi persoalan kegagalan pasar kredit sehingga mempunyai masalah pada pembiayaan input dalam produksi padi. Oleh karena itu, perlu adanya : (i) pengurangan subsidi pupuk harus dilakukan secara bertahap; (ii) mekanisme alternatif untuk mengatasi persoalan kegagalan pasar kredit.

Satu hal yang dalam waktu dekat ini harus diwaspadai oleh seluruh pemangku kepentingan, utamanya Komisi Pengawas Pupuk dan Pestisida (KP-3)


(3)

74 di berbagai tingkatan, adalah kemungkinan terulangnya kelangkaan pupuk menjelang pergantian tahun. Kata kunci dari semua itu adalah pengawasan dan penegakan hukum yang ketat terhadap pecundang yang sengaja menangguk keuntungan dari kebijakan ini. Anggota KP-3 harus bekerja ekstrakeras untuk mengawasi distribusi pupuk bersubsidi hingga barang tersebut sampai di tangan petani.

Untuk mengatasi masalah penggunaan pupuk yang tidak rasional maka harus banyak diadakannya penyuluhan-penyuluhan oleh penyuluh pertanian dari desa-desa terpencil bahkan sampai kota termasuk Kota Bogor dan penyebaran atau distribusi harus merata dan tepat sasaran untuk pembagian pupuk bersubsidi, tidak hanya fokus kebeberapa daerah yang memiliki lahan pertanian yang luas tapi daerah bahkan kota pun yang masih memiliki lahan pertanian harus terus diperhatikan agar tidak semakin berkurangnya lahan pertanian di daerah tersebut karena apabila terjadinya konversi lahan pertanian secara terus-menerus akan meningkatkan kerawanan pangan serta ketergantungan terhadap tanaman bahan makanan pada daerah lain.


(4)

75 VII. SIMPULAN DAN SARAN

7.1. Simpulan

Berdasarkan hasil analisis terhadap Tabel Input-Output Kota Bogor Tahun 2008 klasifikasi 28 sektor yang diagregasi menjadi 12 sektor, dapat diambil simpulan bahwa :

1. Kontribusi sektor tabaman dalam perekonomian Kota Bogor terhadap pembentukan permintaan antara menempati urutan kedelapan, permintaan akhir menempati urutan keenam, permintaan total menempati urutan ketujuh. Dalam hal nilai tambah bruto yang terdiri upah dan gaji, surplus usaha, penyusutan, dan pajak tidak langsung. Untuk upah dan gaji menempati urutan kesembilan, surplus usaha menempati urutan kedelapan, penyusutan menempati urutan ketujuh, dan pajak tidak langsung menempati urutan kedelapan.

2. Berdasarkan hasil analisis keterkaitan, dapat dilihat bahwa sektor tabaman memiliki nilai koefisien penyebaran lebih besar daripada nilai kepekaan penyebaran. Hal ini dapat disimpulkan bahwa sektor tabaman lebih mampu meningkatkan sektor hulunya daripada sektor hilirnya.

3. Hasil analisis multiplier menunjukkan bahwa sektor tabaman tipe I pada

multiplier output tipe I menempati urutan ketujuh dan multiplier

pendapatan tipe I urutan keenam sedangkan untuk multiplier tenaga kerja tipe I menempati urutan ketujuh. Hal ini menunjukkan bahwa jika terjadi peningkatan pada output maka akan meningkatkan pendapatan dan tenaga kerja pula.


(5)

76 4. Berdasarkan hasil analisis dampak sektor tabaman selama pemberian

subsidi yaitu dari tahun dimulainya pemberian subsidi 2008 sampai 2012 yaitu rata-rata per tahun sebesar Rp 772 juta akan meningkatkan output total sebesar Rp 788.93 juta atau sebesar 96.94 persen bagi sektor tabaman, dan meningkatkan pendapatan sebesar Rp 754.88 atau 97.78 persen dan juga pada penyerapan tenaga kerja sebesar Rp 25.16 juta atau 97.05 persen yaitu total tenaga kerja yang diserap sebanyak 135 orang. Dampak ini masih dirasakan kurang untuk mendorong sektor tanaman bahan makanan dan sektor lainnya karena masih terjadinya masalah penggunaan dan distribusi pupuk.

7.2. Saran

Dengan melihat hasil penelitian analisis Input-Ouput Kota Bogor tahun 2008 tentang sektor tabaman, maka beberapa saran yang dapat disampaikan diantaranya :

1. Meskipun sektor tanaman bahan makanan bukan merupakan sektor yang paling berpengaruh bagi perekonomian Kota Bogor, sektor ini merupakan sektor primer yang terus diperhatikan oleh berbagai pihak terutama pemerintah dan salah satunya dengan cara meningkatkan subsidi pupuk agar dapat mengurangi kerawanan pangan, mengurangi ketergantungan terhadap daerah lain akan konsumsi penduduk lokal, dan mencegah terus menerus konversi lahan pada sektor ini.

2. Sektor tabaman tidak hanya mampu dapat meningkatkan sektor hulu tapi juga dapat meningkatkan sektor hilir dari produk tabaman itu sendiri dengan cara meningkatkan aktifitas pascapanen seperti peningkatan variasi


(6)

77 dari produk-produk tersebut tidak hanya berbentuk makanan pokok tapi berbagai jenis makanan olahan yang lain agar dapat meningkatkan pemasaran pada sektor hilir.

3. Pemerintah, masyarakat, dan akademisi perlu meningkatkan pemahaman serta teknologi mengenai pupuk, alternatif pembuatan pupuk dari sumberdaya lokal dengan tujuan memudahkan petani dalam penyediaan pupuk yang merupakan solusi dalam mengatasi penurunan subsidi pupuk. 4. Dengan adanya subsidi pupuk pada sektor tabaman sangat mempengaruhi

peningkatan output, pendapatan dan tenaga kerja sektor tersebut walaupun masih dirasakan kurang untuk mendorong pertumbuhan sektor tanaman bahan makanan dan sektor lainnya dikarenakan terjadinya masalah penggunaan dan distribusi pupuk. Untuk mengatasi masalah penggunaan pupuk bersubsidi secara berlebihan dan tidak sesuai dosis maka harus banyaknya penyuluhan-penyuluhan pertanian secara intensif terutama tentang dosis pupuk serta bahayanya jika berlebihan bukan hanya di desa atau kabupaten tapi juga di kota sedangkan untuk mengatasi masalah distribusi yang tidak merata dan tepat sasaran yaitu dengan penegasan dan penegakan hukum yang ketat untuk pihak-pihak yang sengaja menangguk keuntungan dari kebijakan ini serta lebih efektifnya kinerja Komisi Pengawas Pupuk dan Pestida (KP-3).