Error in Persona Eksepsi syarat formil a. Surat kuasa khusus tidak sah

menyinggung bantahan terhadap pokok perkara verweer ten principale.

1. Eksepsi kompetensi

A. Tidak berwenang mengadili secara absolut Kompetensi absolut berkaitan dengan kewenangan absolut 4 empat lingkungan pengadilan Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Agama, dan Peradilan Militer, Peradilan Khusus Arbitrase, Pengadilan Niaga, dan lain-lain. B. Tidak berwenang mengadili secara relative Kompetensi relatif berkaitan dengan wilayah hukum dari suatu pengadilan dalam satu lingkungan peradilan yang sama, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 118 Herziene Inlandsch Reglement “HIR”  Menurut Pasal 134 HIR maupun Pasal 132 Reglement op de Rechsvordering “Rv”, eksepsi kewenangan absolut dapat diajukan oleh tergugat setiap saat selama proses pemeriksaan berlangsung di persidangan tingkat pertama sampai sebelum putusan dijatuhkan. Sedangkan menurut Pasal 125 ayat 2 dan Pasal 133 HIR eksepsi tentang kompetensi relatif diajukan bersamaan dengan pengajuan jawaban pertama terhadap materi pokok perkara. Tidak terpenuhinya syarat tersebut mengakibatkan hak tergugat untuk mengajukan eksepsi relatif menjadi gugur. Pasal 136 HIR memerintahkan hakim untuk memeriksa dan memutus terlebih dahulu pengajuan eksepsi kompetensi tersebut sebelum memeriksa pokok perkara. Penolakan atas eksepsi kompetensi dituangkan dalam bentuk putusan sela Interlocutory, sedangkan pengabulan eksepsi kompetensi, dituangkan dalam bentuk bentuk putusan akhir Eind Vonnis.

2. Eksepsi syarat formil a. Surat kuasa khusus tidak sah

Surat kuasa khusus dapat dinyatakan tidak sah karena sebab-sebab tertentu, misalnya suarat kuasa bersifat umum Putusan Mahkamah Agung no.531 KSIP1973, surat kuasa tidak mewakili syarat formil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 HIR, surat kuasa dibuat bukan atas nama yang berwenang Putusan Mahkamah Agung no. 10.KN1999.

b. Error in Persona

Suatu gugatanpermohonan dapat dianggap error in persona apabila diajukan oleh anak dibawah umur Pasal 1330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata “KUH Perdata”, mereka yang berada dibawah pengampuancuratele Pasal 446 dan Pasal 452 KUH Perdata, seseorang yang tidak memiliki kedudukan hukumlegal standing untuk mengajukan gugatan persona standi in judicio. c. Nebis in Idem Nebis in Idem adalah sebuah perkara yang memiliki para pihak yang sama, obyek yang sama, dan materi pokok yang sama sehingga perkara tersebut tidak dapat diperiksa kembali. d. Gugatan Prematur Suatu gugatanpermohonan disebut prematur apabila ada faktor hukum yang menangguhkan adanya gugatanpermohonan tersebut, misalnya gugatan waris disebut prematur jika pewaris belum meninggal dunia. e. Obscuur Libel Obscuur libel dapat disebut secara sederhana sebagai “tidak jelas”. Ketidakjelasan misalnya terletak pada:  ketidakjelasan mengenai objek gugatan, misalnya dalam hal tanah tidak disebutkan luas atau letak atau batas dari tanah tersebut.  petitum yang tidak jelas, atau  terdapat kontradiksi antara posita dan petitum Menurut Pasal 125 ayat 2 jo. Pasal 133 dan Pasal 136 HIR eksepsi lain dan eksepsi kompetensi relatif hanya dapat diajukan secara terbatas, yaitu pada jawaban pertama bersama sama dengan bantahan pokok perkara. Tidak terpenuhinya syarat tersebut mengakibatkan hak tergugat untuk mengajukan eksepsi menjadi gugur. Berdasarkan Pasal 136 HIR penyelesaian eksepsi lain diluar eksepsi kompetensi diperiksa dan diputus bersama-sama dengan pokok perkara. Dengan demikian pertimbangan dan amar putusan mengenai eksepsi dan pokok perkara, dituangkan bersama secara keseluruhan dalam putusan akhir. Apabila eksepsi dikabulkan maka putusan bersifat negatif, sedangkan apabila eksepsi ditolak maka putusan bersifat positif berdasarkan pokok perkara. JAWABAN YANG LANGSUNG MENGENAI POKOK PERKARA A. konvensi gugatan penggugat awal B. rekonvensi  Dalam hukum acara perdata gugatan rekonvensi ini dikenal dengan “gugatan balik”. Gugatan rekonvensi dapat diajukan untuk mengimbangi gugatan penggugat. Gugatan rekonvensi dapat diperiksa bersama-sama dengan gugatan konvensi sehingga akan menghemat biaya dan waktu, mempermudah acara pembuktian, dan menghindarkan putusan yang saling bertentangan satu sama lain.  Pasal 132 huruf a Herziene Inlandsch Reglement “HIR” mendefinisikan rekonvensi adalah gugatan yang diajukan tergugat sebagai gugatan balasan terhadap gugatan yang diajukan penggugat kepadanya. Gugatan rekonvensi tersebut diajukan tergugat kepada Pengadilan Negeri, pada saat berlangsung proses pemeriksaan gugatan yang diajukan penggugat. Pasal 224 Reglement op de Rechsvordering “Rv” juga memberikan definisi atas gugatan rekonvensi. Gugatan rekonvensi adalah gugatan balik yang diajukan tergugat terhadap penggugat dalam suatu proses perkara yang sedang berjalan.  Syarat materil gugatan rekonvensi berkaitan dengan intensitas hubungan antara materi gugatan konvensi dengan gugatan rekonvensi. Peraturan perundang-undangan tidak mengatur mengenai syarat materil gugatan rekonvensi. Ketentuan Pasal 132 huruf a HIR hanya berisi penegasan bahwa:  tergugat dalam setiap perkara berhak mengajukan gugatan rekonvensi;  tidak disyaratkan antara keduanya harus mempunyai hubungan erat atau koneksitas yang substansial.  Walaupun tidak terdapat pengaturan mengenai syarat harus adanya koneksitas antara gugatan rekonvensi dengan konvensi, ternyata dalam prakteknya, pengadilan cenderung menerapkannya. Seolah-olah koneksitas merupakan syarat materil gugatan rekonvensi. Oleh karena itu, gugatan rekonvensi baru dianggap sah dan dapat diterima untuk diakumulasi dengan gugatan konvensi, apabila terpenuhi syarat:  terdapat faktor pertautan hubungan mengenai dasar hukum dan kejadian yang relevan antara gugatan konvensi dengan rekonvensi;  Salah satu tujuan pokok sistem rekonvensi adalah untuk menyederhanakan proses serta sekaligus untuk menghemat biaya dan waktu. Sehingga memperbolehkan pengajuan gugatan rekonvensi yang tidak mempunyai hubungan sama sekali dengan gugatan rekonvensi, tidak akan menyederhanakan proses pemeriksaan karena memerlukan perlakuan khusus dan tersendiri. Oleh karena itu, agar tujuan yang diamanatkan dalam sistem rekonvensi ini Pasal 132 huruf a HIR tidak menyimpang dari arah yang dicita-citakan, sedapat mungkin gugatan rekonvensi mempunyai koneksitas yang substansial dan relevan dengan gugatan konvensi. Namun, prinsip ini tidak boleh mengurangi hak tergugat untuk mengajukan gugatan rekonvensi yang bersifat berdiri sendiri yang benar-benar terlepas kaitannya dengan gugatan konvensi.  Pada dasarnya eksistensi gugatan rekonvensi tidak tergantung asesor pada gugatan konvensi dan dapat berdiri sendiri serta dapat diajukan secara terpisah dalam proses penyelesaian yang berbeda. Hanya secara eksepsional hukum memberikan hak kepada tergugat menggabungkan gugatan rekonvensi kedalam gugatan konvensi.  Dalam hal terdapat hubungan erat atau koneksitas antara gugatan konvensi dengan rekonvensi, dan putusan yang dijatuhkan atas gugatan konvensi bersifat negatif yaitu gugatan tidak dapat diterima, dengan alasan gugatan mengandung cacat formil eror in personal, obscuur libel, tidak berwenang mengadili, dan lain sebagainya, maka berakibat pada putusan rekonvensi asesor mengikuti putusan konvensi. Dengan demikian, oleh karena putusan konvensi menyatakan gugatan tidak dapat diterima, dengan sendirinya menurut hukum putusan rekonvensi juga harus dinyatakan tidak dapat diterima.  Namun, dalam hal lain, apabila terdapat gugatan rekonvensi tidak mempunyai hubungan erat atau koneksitas dengan gugatan konvensi, kemudian gugatan konvensi dinyatakan tidak dapat diterima atas alasan cacat formil, maka gugatan rekonvensi tidak tunduk mengikuti putusan konvensi tersebut. Materi gugatan rekonvensi tetap dapat diperiksa dan diselesaikan, meskipun gugatan konvensi dinyatakan tidak dapat diterima, apabila secara objektif tidak terdapat hubungan atau koneksitas antara keduanya.  Replik = jawaban penggugat terhadap jawaban tergugat  Duplik = jawaban tergugat terhadap replik Dalam hukum acara perdata, setiap orang danatau badan hukum yang digugat oleh penggugat di pengadilan, disebut sebagai tergugat dan diberikan hak untuk mengajukan jawaban dan bantahan terhadap pokok perkara dalam gugatan penggugat tersebut. Bantahan yaitu upaya tangkisan atau pembelaan yang diajukan tergugat terhadap pokok perkara. Pengertian ini dapat pula diartikan:  Jawaban tergugat mengenai pokok perkara;  Bantahan yang langsung ditujukan tergugat terhadap pokok perkara.  Intisari esensi dari bantahan terhadap pokok perkara, berisi alasan dan penegasan yang sengaja dibuat dan dikemukakan tergugat, baik secara lisan maupun secara tulisan dengan maksud untuk menyanggah atau menyangkal kebenaran dalil gugatan yang dituangkan tergugat dalam jawabannya. Dengan kata lain, bantahan terhadap pokok perkara disampaikan dalam jawaban tergugat untuk menolak dalil gugatan penggugat.  Secara teknis, pemeriksaan perkara menjalani proses jawab-menjawab di sidang pengadilan sebagaimana digariskan dalam ketentuan Pasal 142 Rv yang menegaskan para pihak dapat saling menyampaikan surat jawaban serta replik dan duplik. HAL-HAL YANG TAK PERLU DIBUKTIKAN  sesuatu yang diakui pihak lawan  yang dilihat sendiri oleh hakim  yang diketahui oleh umum notoire feiten  yang diketahui oleh hakim karena pengetahuannya. Beban pembuktian berdasarkan pedoman Pasal 163 HIRPasal 283 RBgPasal 1865 BW yaitu : “yang megakui haknya atau mengatakan peristiwa untuk menegaskan haknya atau untuk membantah adanya hak orang lain, dia harus membuktikan” ALAT-ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA PASAL 164 HIRPASAL 284 RBGPASAL 1866 BW  Tulisan  Saksi-saksi  Persangkaan  Pengakuan  Sumpah Putusan Pengadilan = pernyataan untuk menyelesaikan atau mengakhiri perkara perdata. SUSUNAN DAN ISI PUTUSAN 1. Kepala Putusan ~ berbunyi : “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004.

2. Identitas pihak-pihak yang berperkara ~ identitas pihak penggugat, tergugat dan turut tergugat