Perkembangan Perikanan Waduk Budidaya Ikan pada Keramba Jaring Apung

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perkembangan Perikanan Waduk

Menurut Jangkara 2000, waduk adalah wilayah yang digenangi badan air sepanjang tahun serta dibentuk atau dibangun atas rekayasa manusia. Waduk dibangun dengan cara membendung aliran sungai sehingga air sungai tertahan sementara dan menggenangi bagian daerah aliran sungai atau water shed yang rendah. Waduk dapat dibangun di dataran rendah maupun dataran tinggi. Beberapa waduk dapat dibangun disepanjang aliran sungai. Waduk yang dibangun di dataran tinggi atau hulu sungai akan memiliki bentuk menjari, relatif sempit dan bertebing curam serta dalam. Waduk yang dibangun di dataran rendah atau hilir sungai berbentuk bulat, relatif luas dan dangkal. Menurut Rochdianto 2000, Usaha ke arah pembudidayaan ikan di perairan umum kian hari memang terasa kian mendesak. Hal ini perlu dimaklumi karena usaha penangkapan ikan yang tidak diimbangi dengan usaha budidaya dan penebaran ikan restocking, lambat laun akan mengganggu kelestarian sumber daya perairan. Bila di sungai dikenal budidaya ikan sistem keramba, maka di waduk dan danau dapat diterapkan cara budidaya ikan dalam keramba jaring apung. Budidaya ikan dengan sistem ini pada prinsipnya mirip dengan sistem keramba. Keuntungan budidaya ikan dalam keramba jaring apung yaitu ongkos produksi untuk penyediaan tanah untuk membangun kolam berkurang, dapat mengatasi berkurangnya lahan budidaya ikan akibat terdesak oleh kegiatan pertanian, industri serta pembangunan perumahan. Secara teknis keuntungan yang diperoleh antara lain adalah intensifikasi produksi ikan dan optimasi penggunaan pakan dapat diterapkan, pesaing dan pemangsa ikan mudah dikendalikan serta pengelolaan dan pemanenan tidak terlalu rumit. Pemanfaatan danau dan waduk menyangkut kepentingan masyarakat luas, maka dituntut agar fungsi utama perairan, kelestarian sumber daya hayati dan ekosistem perairan harus diperhatikan Rochdianto, 2000.

2.2 Budidaya Ikan pada Keramba Jaring Apung

Budidaya ikan di Keramba Jaring Apung KJA sudah dilakukan sejak tahun 1978 di perairan Situ Lido Bogor, dikembangkan oleh Balai Penelitian Perikanan Darat yang sekarang menjadi Balai Riset Perikanan Air Tawar. Kemudian berturut-turut pada tahun 1982 di Waduk Jatiluhur, Kelapa Dua dan Cibubur Jakarta, tahun 1984 di Danau Tondano Sulawesi Utara, Cekdam Guna Sari Jawa Barat, pada tahun 1986 di Riam Kanan Kalimantan selatan serta Danau Toba Sumatera Utara. Hasil uji coba tersebut menunjukkan bahwa budidaya ikan di KJA memiliki prospek cerah Rochdianto, 2000. Menurut Achmad et al. 1995 dalam Fahrur dan Tamsil 2005, keramba jaring apung biasa digunakan untuk menamai wadah pemeliharaan ikan dari jaring yang dibentuk segi empat atau silindris dan diapungkan dalam air permukaan menggunakan pelampung dan kerangka kayu, bambu atau besi serta pemberian jangkar disetiap sudutnya. Ukuran kantong keramba jaring disesuaikan dengan jenis, ukuran dan kepadatan ikan yang akan dipelihara. Menurut Sutarman et al. 2003 dalam Fahrur dan Tamsil 2005, untuk pembesaran ikan digunakan mata jaring 1 inci 2,54 cm. Bahan yang digunakan harus memenuhi beberapa syarat yang layak seperti simpul kuat dan halustanpa simpul, tidak melukai ikan, dapat melindungi ikan dari predator, mudah dipotong dan dirajut serta mudah dibersihkan. Bahan jaring biasanya dibuat dari bahan polietilen Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, 2005. Budidaya ikan pada KJA terdiri dari sistem jaring tunggal monokultur dan sistem jaring kolor polikultur.

2.2.1 Pembesaran Ikan pada Keramba Jaring Apung KJA Sistem

Tunggal Monokultur Menurut Suyanto dalam Maulana 2003, pembesaran ikan pada KJA tunggal biasanya dilakukan secara monokultur yaitu dalam satu jaring pada lapisan atas ditebarkan hanya satu jenis ikan tanpa ada jenis ikan lain, dimana ikan yang ditebar sebagai komoditas pokok. Pada sistem KJA tunggal pakan tambahan mutlak diberikan karena jumlah pakan alami dalam waduk relatif sedikit, bahkan hampir tidak ada. Pakan tambahan berupa pellet diberikan setiap hari dengan dosis tiga persen dari berat ikan. Jaring apung yang telah terpasang di danau atau waduk biasanya dirakit menjadi satu unit. Satu unit rakit jaring terapung terdiri dari empat net kolam dan satu tempat jaga Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, 2005.

2.2.2 Pembesaran Ikan pada Keramba Jaring Apung KJA Sistem Kolor

Polikultur Menurut penelitian Sukamto dan Maryam 2005, teknik budidaya Keramba Jaring Apung KJA dengan sistem jaring kolor yaitu jaring terdiri atas bagian bawah satu buah jaring dan di bagian atas dua buah jaring dalam dua petakan. Ada lagi jaring kolor empat yang terdiri dari atas satu jaring di bagian bawah dan empat jaring di bagian atas di dalam empat petakan. Berdasarkan teknik budidaya sistem KJA kolor petani ikan tidak harus membudidayakan ikan nila di jaring apung secara khusus, akan tetapi dapat dibudidayakan bersama dengan ikan mas budidaya ikan secara polikultur serta produksi ikan dapat ditingkatkan yaitu dari ikan mas di jaring atas dan ikan nila di jaring bawah. Keramba jaring apung sistem kolor terdiri dari jaring kolor dua dan jaring kolor empat. Jaring kolor dua artinya untuk jaring atas 7x7x3 m 3 terdiri atas dua petak sedangkan untuk di bagian bawah 17x9x5 m 3 , untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 1. Jaring kolor empat memiliki ukuran jaring kolor bagian atas 7x7x3 m 3 yang terdiri atas 4 petak dan bagian bawah berukuran 17x17x 5 m 3 , untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2 Sukamto dan Maryam, 2005. Pada awalnya sistem KJA kolor digunakan oleh para petani ikan di Waduk Jatiluhur, Cirata dan Saguling untuk mengantisipasi kematian massal ikan yang hampir terjadi setiap tahun. Hal ini disebabkan sisa pakan yang terbuang ke dasar perairan, sehingga menyebabkan mutukualitas air menurun. Efisiensi pakan pada sistem KJA kolor bisa ditingkatkan karena pakan atau debu pakan yang terbuang ke bawah atau ke pinggir bisa dimanfaatkan ikan lain yang dipelihara seperti ikan nila, sehingga pakan yang terbuang ke perairan juga semakin berkurang Sukamto dan Maryam, 2005. 9 m 17 m A. Tampak atas 5 m 5 5 5 m B. Tampak samping Gambar 1. Konstruksi Keramba Jaring Apung KJA Kolor II Keterangan : : Pelampung dari drum : Kerangka bambu : Pemberatjangkar : Jaring kolorbawah untuk pemeliharaan ikan nila : Jaring atas untuk pemeliharaan ikan mas Sumber : Sukamto dan Maryam, 2005 Jaring I Jaring II Jaring kolor 3 m 7 m Jaring I 7 m 7 m Jaring II 7 m 17 m 17 m A. Tampak atas 5 m B. Tampak samping Gambar 2. Konstruksi Keramba Jaring Apung KJA Kolor IV Sumber : Sukamto dan Maryam, 2005

2.2.3 Analisis Usaha Budidaya Ikan pada Keramba Jaring Apung KJA

Penelitian mengenai budidaya ikan pada KJA sistem jaring kolor belum banyak dilakukan, tetapi penelitian mengenai analisis kelayakan usaha telah banyak dilakukan. Beberapa penelitian yang berkaitan dengan analisis kelayakan 7 m 7 m Jaring I 7 m 7m Jaring III 7 m 7 m Jaring II 7 m 7 m Jaring IV 3 m Jaring Jaring Jaring kolor 3 M finansial budidaya ikan pada KJA telah dilakukan oleh Mungky 2001, Gultom 2002 dan Maulana 2003. Mungky 2001, melakukan penelitian yang bertujuan membuat desain investasi usaha pembesaran ikan kolam jaring apung sistem tunggal monokultur dengan studi kasus pada KJA Batuhapur, Waduk Cirata, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Analisis yang dilakukan terdiri dari analisis keuntungan usaha, kelayakan finansial dan analisis sensitivitas. Analisis dilakukan selama satu tahun dengan tiga kali musim tanam. Luas kolam 1.568 m 2 32 unit kolam dengan produksi total ikan mas 48.000 kgtahun. Produktifitas lahan sebesar 10,20 kgm 2 . Harga ikan mas di tingkat petani senilai Rp. 5.000kg. Penerimaan total pertahun sebesar Rp. 240.000.000 dengan biaya total sebesar Rp. 215.976.960tahun. Pendapatan pertahun sebesar Rp. 24.023.040. Analisis imbangan penerimaan dan biaya RC Ratio sebesar 1,1. Nilai NPV sebesar Rp. 98.952.859 dengan tingkat diskonto 16 persen. Nilai IRR sebesar 34 persen yang berarti usaha memberikan pendapatan sebesar 34 persentahun dari modal yang diinvestasikan. Nilai Net Benefit Cost Ratio Net BC sebesar 1,93. Gultom 2002, melakukan penelitian mengenai prospek pengembangan usaha budidaya ikan mas dalam jaring apung sistem tunggal monokultur di Danau Toba Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara. Analisis yang dilakukan meliputi analisis usaha, finansial dan sensitivitas. Analisis dilakukan selama setahun dengan dua kali musim tanam. Luas usaha 24 m 2 kolam, namun tidak diketahui jumlah unit kolam yang diteliti. Produksi rata-rata ikan mas 19.914 kgtahun. Harga ikan mas di tingkat petani senilai Rp. 9.000kg. Penerimaan rata-rata pertahun sebesar Rp. 179.229.600 dengan biaya rata-rata sebesar Rp. 141.047.852tahun. Jumlah rata-rata pendapatan pertahun sebesar Rp. 38.181.748. Nilai RC Ratio sebesar 1,27. Nilai NPV sebesar Rp. 55.495.666 dengan tingkat diskonto 18 persen. Nilai IRR sebesar 57,39 persen yang berarti usaha memberikan pendapatan sebesar 57,39 persentahun dari modal yang diinvestasikan. Nilai Net Benefit Cost Ratio Net BC sebesar 2,5. Maulana 2003, melakukan penelitian mengenai kelayakan usahatani pembesaran dan pemasaran ikan nila gift budidaya keramba jaring apung di Desa Cikidang Bayabang, Kecamatan Mande, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Analisis usaha tani dilakukan terhadap budidaya ikan pada KJA dengan sistem tunggal monokultur dan sistem kolor polikultur. Penelitian meliputi analisis usahatani penerimaan, biaya dan pendapatan usahatani, analisis kelayakan investasi aspek pasar, aspek teknik dan teknologi, aspek lingkungan dan aspek finansial dan analisis pemasaran.. Perhitungan dilakukan selama setahun dengan tiga kali musim tanam. Luas usaha KJA monokultur 196 m 2 empat unit kolam. Produksi rata-rata usahatani KJA monokultur 14.400kgtahun. Produktifitas lahan sebesar 73,47 kgm 2 . Harga ikan nila di tingkat petani senilai Rp. 3.800kg. Penerimaan rata-rata pertahun usahatani KJA monokultur sebesar Rp. 54.720.000 dengan biaya rata-rata sebesar Rp. 42.180.642,85tahun. Jumlah pendapatan pertahun sebesar Rp. 12.539.357,15. Nilai RC Ratio sebesar 1,297. Nilai NPV sebesar Rp. 53.856.359,94 dengan tingkat diskonto 12 persen. Nilai IRR sebesar 179 persen. Nilai Net Benefit Cost Ratio Net BC sebesar 7,59. Perhitungan luas usahatani KJA sistem kolor polikultur terdiri dari luas jaring atas dan jaring bawahjaring kolor. Luas jaring atas 588 m 2 12 unit kolam dengan komoditas ikan mas dan jaring bawah 588 m 2 tiga unit kolam dengan komoditas ikan nila. Jumlah produksi ikan mas 30.600 kgtahun dan ikan nila 7.200 kgtahun. Harga ikan mas di tingkat petani senilai Rp. 6.200kg. Total produktifitas lahan sebesar 32,14 kgm 2 . Penerimaan total per tahun dari pemeliharaan ikan mas dan nila sebesar Rp. 217.080.000. dengan biaya total produksi sebesar Rp. 170.779.500tahun. Jumlah pendapatan total pertahun sebesar Rp. 46.300.000. Nilai RC Ratio sebesar 1,271. Nilai NPV sebesar Rp. 193.072.372,67 dengan tingkat diskonto 12 persen. Nilai IRR sebesar 132 persen. Nilai Net Benefit Cost Ratio Net BC sebesar 5,63 Maulana, 2003. Perbandingan hasil penelitian budidaya ikan pada KJA dengan sistem monokultur dan sistem polikultur jaring kolor disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Perbandingan Hasil Penelitian Budidaya Ikan pada KJA dengan Sistem Monokultur dan Sistem Polikultur Jaring Kolor No Uraian Budidaya Monokultur ikan mas Budidaya Monokultur Ikan Mas Budidaya Monokultur Ikan Nila Budidaya Polikultur Ikan Mas dan Nila 1. Luas Usaha m 2 - Jaring Atas - Jaring Bawah 1.568 196 588 2. Produksi Total kgth 48.000 19.914 14.400 37.800 3. Produktifitas Kgm 2 30,61 - 73,47 32,14 4. Penerimaan Total Rp.th 240.000.000 179.229.600 54.720.000 217.080.000 5. Harga Rpkg - Ikan Mas - Ikan Nila 5.000 - 9.000 - 6.200 3.800 6.200 3.800 6. Tingkat Diskonto 16 18 12 12 7. Biaya Total Rp.th 215.976.960 141.047.852 42.180.642,85 170.779.500 8. Pendapatan Total Rp.th 24.023.040 38.181.748 12.539.357,15 46.300.500 9. RC Ratio 1,1 1,27 1,297 1,271 10. NPV Rp. 98.952.859 55.495.666 53.856.359,94 193.073.372,67 11. IRR 34 57,39 179 132 12. Net BC 1,93 2,5 7,59 5,63 Keterangan : Sumber dari penelitian Mungky 2001 Sumber dari penelitian Gultom 2002 Sumber dari penelitian Maulana 2003 Berdasarkan data pada Tabel 7 menunjukkan bahwa produktifitas lahan tertinggi dicapai pada budidaya ikan nila di KJA dengan sistem monokultur tunggal. Capaian penerimaan dan pendapatan total terbesar pada budidaya ikan KJA sistem polikultur sistem jaring kolor. Nilai RC Ratio tertinggi pada budidaya ikan nila pada KJA dengan sistem monokultur sebesar 1,297 yang berarti bahwa setiap Rp. 1 yang dikeluarkan untuk biaya produksi akan menghasilkan Rp. 1,297. Nilai NPV tertinggi diperoleh pada kegiatan budidaya ikan KJA polikultur sebesar Rp. 193.073.372,67. Budidaya ikan nila pada KJA sistem monokultur memberikan keuntungan internal terbesar yaitu 132 persen dari nilai investasi yang ditanamkan. Nilai Net BC tertinggi diperoleh pada budidaya ikan nila dengan sistem monokultur. Studi kali ini melakukan analisis kelayakan finansial usaha pembesaran ikan mas dan nila pada Keramba Jaring Apung KJA sistem jaring kolor di Waduk Cikoncang yang merupakan salah satu waduk yang terletak di dataran rendah. Gejala alam umbalan sangat kecil kemungkinan terjadi di waduk dataran rendah. Umbalan dapat mengakibatkan arus balik dari dasar waduk yang dapat mempengaruhi pengaturan pola tanam dan kelayakan finansial usahanya.

BAB III. KERANGKA PEMIKIRAN