Model Pengelolaan Keramba Jaring Apung (KJA) Masyarakat Berkelanjutan di Danau Toba

(1)

MODEL PENGELOLAAN KERAMBA JARING APUNG (KJA)

MASYARAKAT BERKELANJUTAN

DI DANAU TOBA

DISERTASI

Oleh

MINDO TUA SIAGIAN NIM : 068106003 Program Doktor (S3)

Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2013


(2)

MODEL PENGELOLAAN KERAMBA JARING APUNG (KJA) MASYARAKAT BERKELANJUTAN

DI DANAU TOBA

DISERTASI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor dalam Program Doktor Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan pada

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara di bawah pimpinan Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H,

M.Sc (CTM), Sp.A(K)

untuk dipertahankan dihadapan Sidang Terbuka Senat Universitas Sumatera Utara

Oleh

MINDO TUA SIAGIAN NIM : 068106003 Program Doktor (S3)

Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2013


(3)

Judul Disertasi : MODEL PENGELOLAAN KERAMBA JARING APUNG (kja) MASYARAKAT BERKELANJUTAN DI DANAU TOBA

Nama Mahasiswa : Mindo Tua Siagian Nomor Pokok : 068106003

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PS

Menyetujui, Komisi Pembimbing

Promotor

Prof.Dr.Ir. Sengli B. Damanik, MSc

Prof.Dr.Retno Widhiastuti,MS

Co – Promotor Co – Promotor

Prof. Dr. Suwardi Lubis, MS.

Ketua Program Studi Direktur

Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS.

NIP. 196212141991032001 NIP. 196511011991031002 Prof. Dr. Erman Munir, MSc.


(4)

Diuji pada Ujian Disertasi Terbuka (Promosi) Tanggal : 29 Juli 2013

PANITIA PENGUJI DISERTASI Pemimpin Sidang:

Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) (Rektor USU)

Ketua : Prof. Dr. Ir. B. Sengli J. Damanik, M.Sc Anggota : Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS

Prof. Dr. Suwardi Lubis, MS Prof. Dr. Herman Wawengkang Dr. Delvian, SP, MP


(5)

PERNYATAAN

Judul Disertasi

”MODEL PENGELOLAAN KERAMBA JARING APUNG (KJA) MASYARAKAT BERKELANJUTAN

DI DANAU TOBA”

Dengan ini penulis menyatakan bahwa disertasi ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Doktor Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan pada program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil karya penulis sendiri.

Adapun pengutipan-pengutipan yang penulis lakukan pada bagian-bagian tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan disertasi ini, telah penulis cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian disertasi ini bukan hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu, penulis bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang penulis sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, Juli 2013 Penulis,


(6)

MODEL PENGELOLAAN KERAMBA JARING APUNG (KJA) MASYARAKAT BERKELANJUTAN

DI DANAU TOBA

ABSTRAK

Karakteristik perairan danau berkaitan dengan perbedaan penggunaan lahan secara ekologis, sumber daya alam yang dimiliki oleh masyarakat dan juga multi-sektor, dan juga menerima akibat dari berbagai aktifitas di sekitar area perairan danau. Danau Toba, yang merupakan danau terbesar di Indonesia, juga memiliki kondisi yang sama.

Untuk pemanfaatan bersama yang berkesinambungan serta untuk menjaga keseimbangan ekologisnya, diperlukan peran serta masyarakat sebagai subjek yang memiliki aktivitas Danau Toba. Budidaya ikan di dalam keramba jaring apung (KJA) telah berkembang di beberapa danau di Indonesia, diantaranya Danau Toba. Keuntungan dari kegiatan KJA memberikan dampak positif pada sisi ekonomi, karena memberikan nilai tambah bagi sumberdaya perairan. Namun, pada sisi lain, kegiatan KJA di perairan danau sangat rawan terhadap masalah pelestarian lingkungan, selain juga mendorong timbulnya konflik kepentingan.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membangun model yang mengidentifikasi hubungan antara limbah Kerambah Jaring Apung dengan tingkat penurunan kua litas air di Danau Toba dan juga dengan persepsi masyarakat tentang kehadiran KJA masyarakat di Danau Toba. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa sebagian besar masyarakat menyadari perubahan kualitas air di Danau Toba, dan dari hasil penelitian ini juga diperoleh hasil bahwa kualitas air Danau Toba masih memenuhi batas ambang air minum. Disertasi ini menghasilkan model pengelolaan kerambah jaring apung yang berkelanjutan.

Kata kunci: Keramba Jaring Apung, Pengelolaan berkelanjutan, Danau Toba, Model.


(7)

MANAGEMENT MODEL OF SUSTAINABLE COMMUNITIES FLOATING FISH CAGE AT LAKE TOBA

ABSTRACT

The characteristics of lake waters related to difference in ecological land use, common property and multi-sector, and are open to the influence of the impact of various activities in the area. Lake Toba, which is the biggest lake in Indonesia, also have same conditions.

For use with continuous as well as to maintain the ecological balance, which need the role of the community as a subject that has activities in Lake Toba. Fish farming in floating fish cage has been developed in some lake in Indonesia. The benefits of such culture have given a positive impact on the economy, because it adds more value to the water resources. But, on the other hand, it is also highly vulnerable to the environmental issues and also pushes the conflicts appear.

The purpose of this research is to build a model that identify the relationship between the floating fish cage waste and the rate of decrease in the waters quality and the public perception about the floating fish cage belongs to the community at Lake Toba. From the research result gained that largely communities realize the changes of the waters quality of Lake Toba, and also from the research result gained that the quality of Lake Toba waters still meet with the requirement for drinking water standard. This dissertation produces the model of sustainable management of floating fish cage.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang atas karunia dan berkat-Nya yang berlimpah, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan disertasi dengan judul: Model Pengelolaan Keramba Jaring Apung (KJA) Masyarakat di Danau Toba. Disertasi ini disusun dalam rangka memenuhi tugas akhir penyelesaian program Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Selama pelaksanaan penelitian dan penulisan disertasi ini penulis telah banyak mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak.

Untuk itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc., selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS., selaku Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dan selaku Co-Promotor, yang telah membantu penyelesaian disertasi ini.

4. Prof. Dr. Ir. B. Sengli J. Damanik, M.Sc., selaku Promotor yang telah banyak membantu dan mengarahkan penyelesaian disertasi ini.

5. Prof. Dr. Suwardi Lubis, MS., selaku Co-Promotor yang telah memberikan bantuan dalam penyelesaian disertasi ini.

6. Prof. Dr. Herman Mawengkang, selaku Penguji Luar Komisi, yang telah memberikan koreksi, masukan, saran dan perbaikan dalam penyelesaian disertasi ini.

7. Dr. Delvian, SP, MP., selaku Sekretaris Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara


(9)

dan selaku penguji Luar Komisi yang banyak membantu dalam memberikan koreksi, masukan, saran dan perbaikan dalam penyelesain disertasi ini.

8. Dr. Ir. Hotmauli Sianturi, M.Sc., selaku anggota penguji, yang telah memberikan masukan, kritik dan saran dalam rangka penyelesaian disertasi ini. 9. Seluruh staf pengajar dan staf administrasi Program S3 PSL USU.

10. Ayahanda (Alm) Prof. Pemimpin Siagian dan Ibunda Hertha Pardede, yang senantiasa mendorong, memberikan doa restu dan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan pendidikan Doktor di Universitas Sumatera Utara dengan baik.

11. Ayah mertua (Alm) Drs. Manahara Siahaan dan Ibu mertua (Almh) Elseria Tambunan yang mendorong dan memberi doa restu kepada penulis untuk menyelesikan pendidikan Doktor di Universitas Sumatera Utara.

12. Keluargaku tercinta, isteriku Riana Elga Siahaan, SE dan anak-anakku David Siagian, Devina Siagian, Dimitria Siagian, Daniel Siagian dan Dicky Siagian yang telah ikut mendorong penulis dan banyak berkorban selama menempuh dan menyelesaikan pendidikan Doktor di Universitas Sumatera Utara.

13. Kakakku Ir. Morida Siagian, MURP, Cand. Dr./Ir. Rudolf Sitorus, MLA. dan keluarga, adikku Hanny Siagian, SE., MS./Dr. Ir. Gerry Silaban, MS. dan keluarga, adikku Ir. Hotma Siagian, MM./Ir. Ferlist Siahaan, M.Si. dan keluarga serta adikku Ir. Togi Siagian, MM./Dra. Erika Sinaga dan keluarga yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materil selama penulis menempuh pendidikan Doktor di Universitas Sumatera Utara.

14. Iparku Dra. Roulina Siahaan/Ir. Justin Simbolon dan keluarga, Theresia Siahaan, SH., Sp. N/Drs. Fransman Tohom Pardede, BE. dan keluarga, Ir. Bonar Siahan/Terry Silalahi, SH, MA. dan keluarga dan Ir. Rudy Siahaan/Ir. Elviani Simatupang dan keluarga yang telah memberikan bantuan moril dan materil selama penulis menempuh pendidikan Doktor di Universitas Sumatera Utara.

15. Teman-teman, secara khususnya Jamahir Gultom, Ph. D., Parapat Gultom, MSIE, Ph. D., Dr. Kimberly Siagian, MS., MT., Dr. Bahdin Nur Tanjung, MM., Drs. Tahan Manahan Panggabean, MM., Drs. Harry Naibaho, MM., Drs. Ombang Siboro, M.Si., Drs. Herry Zulkarnaen Hutajulu, MM., Oscar


(10)

Siagian, SKM., yang banyak memberikan masukan serta berdiskusi dengan penulis dalam penyelesaian pendidikan Doktor di Universitas Sumatera Utara.

16. Rekan pengurus DPD Partai Demokrat Sumatera Utara, khusus kepada H. T. Milwan, Saleh Bangun, Drs. Guntur Manurung, Dra. Hj. Meylizar, MM., Ir. Bangun Tampubolon, M.Si., Ir. Ronald Naibaho M.Si.

17. Rekan Paduan Suara Victory, Drs. Junjungan Simanjuntak, M.Si/Christina Hutauruk, SE., Freddy R. Pasaribu, MBA/Sri Runtha Ulina, Ir. Anung Gunawan, MSi./Kristiasih Wulandari, Basar Hutauruk, S.Sos/Berliana Hutagalung, Drs. Sumardjono Margono/Surtini dan ibu May Reni Napitupulu, Elda Manullang yang banyak mendorong penyelesaian disertasi ini.

18. Seluruh keluarga, teman-teman, dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, yang telah memberikan bantuan moral maupun materil serta dorongan sehingga penulis dapat menyelesaikan program S3 PSL USU ini.

Penulis menyadari disertasi masih banyak memiliki kekurangan dan jauh dari sempurna. Namun harapan penulis semoga disertasi ini dapat bermanfaat dan menjadi acuan bagi pengelolaan keramba jaring apung di perairan danau dalam usaha pelestarian lingkungan. Semoga kiranya Tuhan Yang Esa memberkati kita semua. Amin.

Medan, Juli 2013

Penulis,


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Yogyakarta, Provinsi DI. Yogyakarta pada tanggal 14 Desember 1961 sebagai anak kedua dari pasangan Prof. Pemimpin Siagian (alm) dan Hertha Pardede. Pendidikan strata satu ditempuh di Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Bandung, lulus pada tahun 1986. Pada 1989, penulis diterima di Program Studi Perencanaan Wilayah dan Perdesaan pada Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan menamatkannya pada tahun 1991.

Penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil mulai tahun 1988 di Kantor Wilayah Departemen Pekerjaan Umum Provinsi Sumatera Utara, kemudian diangkat sebagai Kepala Sub Dinas Bina Program pada Dinas Perkotaan, Permukiman dan Pengembangan Wilayah Kabupaten Simalungun pada tahun 2000. Lalu pada tahun 2004 dimutasikan sebagai Kepala Sub Dinas Bina Program pada Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Simalungun. Menjadi Wakil Bupati Kabupaten Toba Samosir periode 2005-2010. Penulis pensiun dari pegawai negeri sipil sejak 2008. Saat ini menjadi pengurus DPD Partai Demokrat Provinsi Sumatera Utara periode 2010-2015.

Sejak tahun 1995, penulis juga bekerja sebagai dosen di Institut Sains T.D. Pardede (ISTP) Medan, pada program studi arsitektur Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan. Mata kuliah yang pernah diajarkan adalah Mekanika Teknik I dan II, Teknologi Bahan, Manajemen Konstruksi dan Manajemen Proyek.


(12)

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP... vi

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 5

1.5 Novelty ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Kawasan Danau Toba ... 6

2.2 Pengelolaan Lingkungan Hidup ... 8

2.3 Pembangunan Berkelanjutan dalam Pengelolaan Lingkungan.. 3

2.4 Pengelolaan Danau Secara Terpadu ... 6

2.5 Keramba Jaring Apung di Danau Toba ... 0

2.6 Ekosistem Danau ... 1

2.6.1 Faktor Fisika dan Kimia air ... 4

2.6.1.1 Suhu Air ... 4

2.6.1.2 Derajat Keasaman (pH) ... 5

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 47

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 47

3.2 Jenis dan Sumber Data ... 47

3.3 Pelaksanaan Penelitian ... 48

3.3.1 Pengambilan Sampel Kualitas Air ... 48

3.3.2 Sumber dan Beban Pencemaran Perairan Danau ... 49

3.3.3 Persepsi Masyarakat ... 49

3.3.4 Membangun Model Pengendalian Pencemaran Perairan 51

3.4 Parameter Penelitian ... 51

3.5 Analisis Data ... 52

3.5.1 Analisis Kualitas Air si Sekitar KJA ... 52

3.5.2 Analisis Fisika dan Kimia Perairan Sekitar KJA ... 53

3.5.3 Analisis Persepsi Masyarakat Sekitar ... 53

3.5.4 Membangun Model Pengelolaan KJA ... 53

3.5.5 Konsep Dasar Proses Permodelan ... 55


(14)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ...

4.1 Letak Geografis ... 58

4.2 Analisis Kualitas Air di Sekitar KJA Masyarakat ... 58

4.2.1 Analisis Kecepatan Air Sebelum dan Sesudah KJA .... 58

4.2.2 Analisis Kualitas Air Berdasarkan Kedalaman ... 59

4.2.3 Analisis Kualitas Air Berdasarkan Jarak dari KJA ... 61

4.3 Analisis Kualitas Fisika dan Kimia Air di Sekitar KJA ... 63

4.3.1 Analisis pH ... 63

4.3.2 Analisis Suhu ... 66

4.3.3 Analisis TDS (Total Disolved Solid) ... 67

4.3.4 Analisis DO (Disolved Oxygen) ... 69

4.3.5 Analisis BOD (Biological Oxygen Demand) ... 71

4.3.6 Analisis COD (Chemical Oxygen Demand) ... 73

4.3.7 Analisis T-P04 ... 74

4.3.8 Analisis N-Total ... 75

4.4 Persepsi Masyarakat Mengenai Danau Toba dan K JA ... 77

4.4.1 Persepsi Masyarakat Mengenai Kualitas Air Danau .... 77

4.4.2 Persepsi Masyarakat Mengenai Lingkungan ... 78

4.4.3 Manfaat KJA bagi Masyarakat ... 78

4.4.4 Persepsi Pemerintah Mengenai KJA ... 79

4.5 Model Pengelolaan KJA Masyarakat Berkelanjutan ... 80

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 93

DAFTAR PUSTAKA ... .. 94


(15)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

Tabel 2.1 Klasifikasi perairan berdasarkan konsentrasi PO3 …..………….. 43

Tabel 3.1 Jumlah masyarakat pengusaha KJA dan non pengusaha KJA ….. 50

Tabel 3.2 Besar sampel di 3 lokasi penelitian ……….. 51

Tabel 4.1 Kecepatan aliran air sebelum dan sesudah melewati KJA ... 59

Tabel 4.2 Analisis kualitas air berdasarkan kedalaman di Onan Runggu ... 60

Tabel 4.3 Analisis kualitas air berdasarkan kedalamandi Haranggaol ... 60

Tabel 4.4 Analisis kualitas air berdasarkan kedalaman di Pangururan ... 61

Tabel 4.5 Analisis kualitas air berdasarkan jarak di Onan Runggu ... 62

Tabel 4.6 Analisis kualitas air berdasarkan jarak di Haranggaol ... 62

Tabel 4.7 Analisis kualitas air berdasarkan jarak di Pangururan ... 63

Tabel 4.8 Analisis pH air di sekitar KJA ... 64

Tabel 4.9 Analisis suhu air di sekitar KJA ... 66

Tabel 4.10 Analisis nilai TDS air di sekitar KJA ………..….……. 67

Tabel 4.11 Analisis nilai DO air di sekitar KJA ………..…... 69

Tabel 4.12 Analisis nilai BOD air di sekitar KJA ………...….... 71

Tabel 4.13 Analisis nilai COD air di sekitar KJA ………...… 73

Tabel 4.14 Analisis nilai T-PO4 air di sekitar KJA ……….…..…... 75


(16)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

Gambar 1 Sketsa Pengembilan Sampel Air di Sekitar KJA ………... 49 Gambar 2 Pemodelan Adalah Proses ………... 54 Gambar 3 Proses Pemodelan ………... 55


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

Lampiran 1 Data hasil penentuan kualitas air pada lokasi Onan Runggu... 104

Lampiran 2 Data hasil penentuan kualitas air pada lokasi Haranggaol... 106

Lampiran 3 Data hasil penentuan kualitas air pada lokasi Pangururan... 108

Lampiran 4 Masyarakat non pengusaha KJA di Onan Runggu (KK)... 110

Lampiran 5 Masyarakat pengusaha KJA di Onan Runggu (KK)... 111

Lampiran 6 Masyarakat non pengusaha KJA di Haranggaol (KK)... 113

Lampiran 7 Masyarakat pengusaha KJA di Haranggaol (KK)... 114

Lampiran 8 Masyarakat non pengusaha KJA di Pangururan (KK)... 116

Lampiran 9 Masyarakat Pengusaha KJA di Pangururan (KK)... 117

Lampiran 10 Kuisioner penelitian... 119

Lampiran 11 Surat pengantar laboratorium... 124

Lampiran 12 Hasil pengambilan data di Onan Runggu... 125

Lampiran 13 Hasil pengambilan data di Haranggaol... 127

Lampiran 14 Hasil Pengambilan Data di Pangururan... 129


(18)

MODEL PENGELOLAAN KERAMBA JARING APUNG (KJA) MASYARAKAT BERKELANJUTAN

DI DANAU TOBA

ABSTRAK

Karakteristik perairan danau berkaitan dengan perbedaan penggunaan lahan secara ekologis, sumber daya alam yang dimiliki oleh masyarakat dan juga multi-sektor, dan juga menerima akibat dari berbagai aktifitas di sekitar area perairan danau. Danau Toba, yang merupakan danau terbesar di Indonesia, juga memiliki kondisi yang sama.

Untuk pemanfaatan bersama yang berkesinambungan serta untuk menjaga keseimbangan ekologisnya, diperlukan peran serta masyarakat sebagai subjek yang memiliki aktivitas Danau Toba. Budidaya ikan di dalam keramba jaring apung (KJA) telah berkembang di beberapa danau di Indonesia, diantaranya Danau Toba. Keuntungan dari kegiatan KJA memberikan dampak positif pada sisi ekonomi, karena memberikan nilai tambah bagi sumberdaya perairan. Namun, pada sisi lain, kegiatan KJA di perairan danau sangat rawan terhadap masalah pelestarian lingkungan, selain juga mendorong timbulnya konflik kepentingan.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membangun model yang mengidentifikasi hubungan antara limbah Kerambah Jaring Apung dengan tingkat penurunan kua litas air di Danau Toba dan juga dengan persepsi masyarakat tentang kehadiran KJA masyarakat di Danau Toba. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa sebagian besar masyarakat menyadari perubahan kualitas air di Danau Toba, dan dari hasil penelitian ini juga diperoleh hasil bahwa kualitas air Danau Toba masih memenuhi batas ambang air minum. Disertasi ini menghasilkan model pengelolaan kerambah jaring apung yang berkelanjutan.

Kata kunci: Keramba Jaring Apung, Pengelolaan berkelanjutan, Danau Toba, Model.


(19)

MANAGEMENT MODEL OF SUSTAINABLE COMMUNITIES FLOATING FISH CAGE AT LAKE TOBA

ABSTRACT

The characteristics of lake waters related to difference in ecological land use, common property and multi-sector, and are open to the influence of the impact of various activities in the area. Lake Toba, which is the biggest lake in Indonesia, also have same conditions.

For use with continuous as well as to maintain the ecological balance, which need the role of the community as a subject that has activities in Lake Toba. Fish farming in floating fish cage has been developed in some lake in Indonesia. The benefits of such culture have given a positive impact on the economy, because it adds more value to the water resources. But, on the other hand, it is also highly vulnerable to the environmental issues and also pushes the conflicts appear.

The purpose of this research is to build a model that identify the relationship between the floating fish cage waste and the rate of decrease in the waters quality and the public perception about the floating fish cage belongs to the community at Lake Toba. From the research result gained that largely communities realize the changes of the waters quality of Lake Toba, and also from the research result gained that the quality of Lake Toba waters still meet with the requirement for drinking water standard. This dissertation produces the model of sustainable management of floating fish cage.


(20)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perairan danau merupakan sumberdaya alam yang dimiliki bersama oleh masyarakat (common property), sehingga dalam pemanfaatannya sering dilakukan secara bebas sesuai kebutuhannya. Sejalan dengan waktu, semakin intensif dan semakin beragam kebutuhan masyarakat, sehingga dalam perkembangannya dan dalam kewenangan pengelolaannya muncul kebijakan dan kepentingan bersifat multisektor (Lukman, 2011a.). Apalagi dengan berkembangnya otonomi daerah kepentingan wilayah adminstrasi akan lebih mewarnai variasi pemanfaatan perairan danau.

Fungsi lingkungan perairan Danau Toba secara umum diperuntukkan dan dimanfaatkan sebagai sumber air untuk penyediaan air bersih, air industri, air pengairan pertanian, sebagai sumber daya pariwisata, sumber daya perikanan, sumber daya energi dan prasarana transportasi, tapi sekaligus sebagai penerima berbagai macam limbah.

Kualitas perairan Danau Toba pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia, terutama pemukiman penduduk, peternakan, pertanian, kegiatan industri pariwisata, kegiatan perindustrian dan perdagangan termasuk pasar, hotel dan restoran, serta kegiatan transportasi air. Pengaruh terpenting dari seluruh kegiatan tersebut adalah produksi sampah dan limbah yang secara langsung maupun tidak langsung masuk ke dalam perairan Danau Toba.


(21)

Kegiatan pemanfaatan sumber daya alam Kawasan Ekosistem Danau Toba baik di Daerah Tangkapan Air di Danau Toba, maupun kegiatan di perairan Danau Toba, telah menghasilkan berbagai limbah cair, limbah padat termasuk sampah, serta meningkatnya logam berat dan zat kimia, serta peningkatan zat organik. Kesemuanya ini dapat menimbulkan pencemaran dan kerusakan lingkungan

Kegiatan lain yang telah berkembang di perairan Danau Toba adalah usaha perikanan budidaya sistem keramba jaring apung (KJA), yang pertama kali dicoba pada tahun 1980-an. Aktivitas budidaya ikan sistem KJA di perairan danau, merupakan salah satu usaha peningkatan produksi perikanan dengan memanfaatkan potensi perairan yang ada. Usaha KJA ini banyak menuai perhatian masyarakat, terkait kontroversi antara kebutuhan sosial ekonomi masyarakat dan kelestarian lingkungan, serta antara pencapaian produksi dan daya dukung perairan.

Krismono (1998) mengemukakan bahwa perairan danau dan waduk di Indonesia yang mencapai 2,1 juta ha berpotensi untuk budidaya ikan dengan sistem KJA yang dapat mencapai produksi 800 ton ikan/hari. Batas toleransi diperbolehkan mengoperasikan KJA di perairan Danau Toba yakni 443 ha. Danau Toba dengan luas 110.000 ha saat ini sudah beroperasi 1.780 unit KJA milik perusahaan dan 6.800 unit milik masyarakat. Bila satu unit KJA memiliki luas 16 meter, maka luas Danau Toba yang dipergunakan untuk KJA 137,28 ha.

Jumlah KJA yang telah beroperasi di Danau Toba semakin meningkat dan direncanakan akan dikembangkan lagi (Arifin, 2004). Diperlukan pertimbangan


(22)

dan kebijakan berbeda dari setiap perairan untuk pengembangan KJA, mengingat perbedaan karakter setiap perairan darat.

Usaha budidaya dengan KJA di perairan danau diperkirakan akan terus berkembang sejalan dengan kebutuhan akan protein hewani dan kebijakan pemerintahan setempat yang membutuhkan peningkatan pendapatan asli daerah nya dari sumberdaya alam yang dimilikinya.

Semakin banyak jumlah KJA yang beroperasi di perairan Danau Toba maka semakin banyak pula jumlah pakan yang ditabur ke perairan danau yang merupakan salah satu sumber pencemaran di perairan Danau Toba. Pemeriksaan laboratorium juga menyimpulkan, keruhnya air danau dan tumbuhnya enceng gondok menjadi sebuah ancaman kebersihan dan keindahan danau. Dari berbagai penelitian yang dilakukan memberikan indikasi telah terjadi penurunan kualitas air di lokasi yang terkena dampak kegiatan masyarakat (Barus, 2007). Air Danau Toba telah mengalami penurunan kualitas air, dan diperparah lagi dengan pertumbuhan enceng gondok yang begitu subur menjadi indikator bahwa air kaya akan zat-zat organik (pencemaran organik). Jenis pencemaran tersebut akan menimbulkan gangguan pada kesehatan masyarakat setempat.

Panjaitan (2009) menulis bahwa salah satu perusahaan besar milik PMA yang mengelola keramba jaring apung di Danau Toba adalah PT. Aquafarm Nusantara dengan memasukkan pakan sebesar 200 ton setiap hari. Dari hasil penelitiannya, diperoleh bahwa prosentasi nitrogen dari pakan yang menjadi limbah di perairan Danau Toba adalah sebesar 69,00%, sehingga total limbah nitrogen yang dihasilkan di perairan Danau Toba setiap hari sebanyak 13,80 ton


(23)

setiap hari dengan asumsi 5% pakan tidak terkonsumsi oleh ikan. Hasil penelitian ini juga mencatat bahwa prosentasi nitrogen pakan yang menjadi limbah di perairan Danau Toba didukung oleh hasil penelitian sebelumnya (Beveridge, 1996 dalam Panjaitan, 2009) yang menunjukkan bahwa 70,00% nitrogen yang dikonsumsi oleh ikan akan terbuang di perairan. Lebih lanjut total limbah fosfor yang dihasilkan di periran Danau Toba setiap hari adalah sebanyak 2,27 ton, dengan asumsi 5% pakan tidak terkonsumsi oleh ikan.

Berdasarkan survei awal penulis yang dilakukan di Kabupaten Toba Samosir menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk menggunakan air danau sebagai sumber air minum dan keperluan rumah tangga. Dengan begitu maraknya pertumbuhan aktivitas KJA akan berpotensi mencemari lingkungan perairan Danau Toba jika tidak dikendalikan dengan baik.

Menurut Payne (1986), konsentrasi zat-zat yang terdapat di danau merupakan hasil dari zat-zat yang berasal dari aliran air yang masuk, ini terjadi karena pada umumnya perairan danau menerima masukan air dari daerah tangkapan air di sekitar danau, sehingga perairan danau cenderung menerima bahan-bahan terlarut yang terangkut bersamaan dengan air masuk. Jadi kualitas perairan danau sangat tergantung pada pengelolaan atau pengendalian daerah aliran sungai (DAS) yang berada diatasnya.

Pencemaran yang terjadi di perairan danau merupakan masalah penting yang perlu memperoleh perhatian dari berbagai pihak. Hal ini disebabkan beragamnya sumber bahan pencemar yang masuk dan terakumulasi di danau. Sumber-sumber bahan pencemar tersebut antara lain berasal dari kegiatan


(24)

produktif dan non produktif di up land (lahan atas), dari pemukiman dan dari kegiatan yang berlangsung di badan perairan danau itu sendiri, dan sebagainya. Jenis bahan pencemar utama yang masuk ke perairan danau terdiri dari beberapa macam, antara lain limbah organik dan anorganik, residu pestisida, sedimen dan bahan-bahan lainnya.

Keberadaan bahan pencemar tersebut dapat menyebabkan terjadinya penurunan kualitas perairan danau, sehingga tidak sesuai lagi dengan jenis peruntukkannya sebagai sumber air baku air minum, perikanan, pariwisata dan sebagainya. Selain itu pencemaran juga dapat menyebabkan hilangnya keaneka ragaman hayati, khususnya spesies endemik (asli) danau tersebut (Khosla et al., 1995., Kumurur, 2002). Dampak negatif lain dari pencemaran perairan danau tidak hanya dapat menimbulkan kerugian secara ekonomis dan ekologis berupa penurunan produktivitas hayati perairan, tetapi juga dapat membahayakan kesehatan bahkan dapat menyebabkan kematian manusia yang memanfaatkan perairan danau untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Fakhrudin et al., 2002).

Nilai penting lainnya dari keberadaan Danau Toba adalah adanya jenis ikan endemik, yakni ikan Batak yang mempunyai nilai ekonomis yang tinggi. Keberadaan ikan tersebut sudah semakin terancam akibat semakin meningkatnya beban pencemaran yang masuk ke badan air danau, sehingga menyebabkan kualitas perairan danau semakin menurun.

Meningkatnya beban pencemaran yang masuk ke perairan danau juga disebabkan oleh kebiasaan masyarakat yang berdomisili di sekitar danau seperti membuang limbah domestik, baik limbah cair maupun padatnya yang dapat


(25)

memberikan tekanan terhadap ekosistem perairan danau (Haryani, 2004). Berbagai aktivitas penduduk yang ada di sempadan danau, seperti permukiman, perhotelan, pertanian dan peternakan merupakan sumber bahan pencemar yang masuk ke perairan danau. Kegiatan di badan perairan danau, berupa pembudidayaan ikan dengan teknik keramba jaring apung (KJA) juga merupakan sumber limbah yang potensial mencemari perairan danau.

Menurut hasil pusat penelitian limnologi LIPI, Lukman (2011b) bahwa produksi ikan perairan Danau Toba pada saat ini telah melebihi daya dukung danau dan sebagai penyebab utama penurunan kualitas air Danau Toba adalah akibat dari kegiatan KJA yang sudah melampaui daya dukung perairan Danau Toba. Kualitas perairan Danau Toba cenderung terus menurun dari waktu ke waktu, yang diakibatkan oleh semakin tingginya tingkat pencemaran dari buangan limbah domestik dan pertanian.

Saat ini kepedulian terhadap ekosistem Danau Toba semakin kurang diperhatikan oleh hampir seluruh pengguna ekosistem perairan danau tersebut. Prinsip-prinsip ekologis bahwa perairan danau memiliki daya dukung dan daya asimilasi terhadap limbah yang terbatas tidak dipahami oleh sebagian besar masyarakat pengguna danau. Sebagai contoh : pemanfaatan danau untuk kegiatan KJA yang meningkat setiap tahunnya (10%) yang akan memberikan tekanan terhadap perairan danau semakin meningkat. Keberadaan keramba jaring apung diperairan Danau Toba menambah beban pencemaran akibat adanya limbah berupa sisa pakan ikan.


(26)

Di satu sisi pengembangan usaha budidaya ikan dalam KJA akan memberikan dampak positip berupa penciptaan lapangan pekerjaan baru dan peningkatan pendapatan masyarakat setempat, namun disisi lain usaha ini juga akan membawa dampak negatif tehadap ekosistem perairan danau. Dalam hal ini, kegiatan dengan budidaya ikan dengan KJA secara langsung akan mempengaruhi (menurunkan) kualitas perairan danau (Barus, 2007). Pengaruh tersebut disebabkan oleh limbah pakan dan zat pemberantas hama perikanan. Bila konsentrasinya melebihi ambang batas, dapat mencemari dan meracuni biota di perairan danau tersebut. Kematian masal ikan dalam KJA sebanyak kurang lebih 700 ton yang terjadi pada tahun 2005 yang menelan miliyaran rupiah, mengindikasikan telah terjadi penurunan kualitas perairan di Danau Toba.

Masuknya limbah pakan ke perairan danau dalam jumlah yang berlebih dapat menyebabkan perairan menjadi kelewat subur, sehingga akan menstimulir ledakan populasi fitoplankton dan mikroba air yang bersifat patogen. Limbah zat hara dan organik baik dalam bentuk terlarut maupun partikel, berasal dari pakan yang tidak dimakan dan ekresi ikan, yang umumnya dikarakterisasi oleh peningkatan total padatan tersuspensi (TSS), Biochemical Oxygen Demand (BOD), Chemical Oxygen Demand (COD), dan kandungan C, N dan P. Secara potensial penyebaran dampak buangan limbah yang kaya zat hara dan bahan organik tersebut dapat meningkatkan sedimentasi, siltasi, hipoksia, hipernutrifikasi dan perubahan produktivitas serta struktur komunitas bentik (Barg, 1992).

Fenomena-fenomena tersebut menunjukkan bahwa pencemaran yang terjadi di perairan Danau Toba semakin mengkhawatirkan karena dapat


(27)

mengan-cam kelestarian fungsi danau. Hal ini merupakan masalah yang perlu segera ditangani secara serius agar tidak meluas dan semakin parah di kemudian hari.

Oleh sebab itu penting sekali dilakukan pengkajian nilai-nilai sosial dan ekonomi dari perairan danau, tidak semata-mata dari pendekatan presepektif biofisik. Klessig (2001) mengemukakan bahwa danau hanya dapat memberikan keuntungan sosial yang optimal jika kebijakan pengelolaannya mengakui settingsepenuhnya dari kontribusi potensial danau yang dapat dibuat untuk masyarakat serta kebijakan pengelolaan tersebut terintegrasi untuk memberikan perhatian yang seimbang pada seluruh nilai-nilai yang dapat danau berikan

Ekosistem danau merupakan suatu sistem, terdiri dari komponen biotik dan abiotik yang saling berinteraksi dengan lingkungannya. Fenomena tentang penurunan kualitas perairan (pencemaran) yang terjadi di perairan Danau Toba, menunjukkan permasalahan yang kompleks dan sulit dipahami jika hanya meng-gunakan satu disiplin keilmuan. Konsep sistem yang berlandaskan pada unit keanekaragaman dan selalu mencari suatu keterpaduan antar komponen melalui pemahaman secara menyeluruh dan utuh, merupakan suatu alternatif pendekatan yang baru dalam memahami dunia nyata. Pendekatan sistem merupa-kan cara penyelesaian persoalan yang dimulai dengan dilakukannya identifikasi terhadap sejumlah kebutuhan, sehingga dapat menhasilkan sejumlah operasi sistem yang efektif (Eriyatno, 2002). Oleh karena itu, kajian tentang pengelolaan KJA berkelanjutan di perairan Danau Toba dapat dilakukan dengan pendekatan sistem dalam membangun model pengelolaan KJA berkelanjutan di perairan Danau Toba dalam upaya mewujudkan perairan danau yang bersih dan lestari, sehingga pemanfaatan fungsi danau dapat berkesinambungan.


(28)

Dalam literatur terdapat beberapa publikasi yang mengetengahkan model kualitas air danau. Dahl et al. (2006) mengajukan model persamaan differensial untuk memodelkan kualitas air danau yang tercemar oleh adanya partikel padat dan posfor. Penelitian mereka ini terutama terpakai untuk danau-danau yang kurang dalam (kedalaman maksimum 27 m). Model kualitas air yang dinamis dipergunakan oleh McKellar et al. (2008) dalam penelitian mereka tentang kualitas danau Greenwood di South Carolina, Amerika Serikat. Namun mereka ini hanya mempergunakan perangkat lunak CE-QUAL-W2. Kemudian Rippey dan McSorley (2009) menyajikan model kualitas air danau yang terkontaminasi oleh logam berat sehingga kadar oksigen air danau menurun. Penelitian mereka ini terutama untuk sendimentasi pada danau. Penelitian yang juga terkait dengan sendimen danau dikemukakan oleh Rippey (2010). Namun dia hanya meneliti tentang konsentrasi Pb dan biphenyl terklorinasi. Terlihat bahwa model-model yang telah diajukan oleh beberapa peneliti tadi belum ada yang menyinggung tentang pemodelan kualitas air danau yang di sekitar danau terdapat kerambah apung. Dalam literatur terdapat beberapa publikasi yang mengetengahkan model kualitas air danau. Dahl et al. (2006) mengajukan model persamaan differensial untuk memodelkan kualitas air danau yang tercemar oleh adanya partikel padat dan posfor. Penelitian mereka ini terutama terpakai untuk danau-danau yang kurang dalam (kedalaman maksimum 27 m). Model kualitas air yang dinamis dipergunakan oleh McKellar et al. (2008) dalam penelitian mereka tentang kualitas danau Greenwood di South Carolina, Amerika Serikat. Namun mereka ini hanya mempergunakan perangkat lunak CE-QUAL-W2. Kemudian Rippey dan McSorley (2009) menyajikan model kualitas air danau yang terkontaminasi oleh


(29)

logam berat sehingga kadar oksigen air danau menurun. Penelitian mereka ini terutama untuk sedimentasi pada danau. Penelitian yang juga terkait dengan sedimentasi danau dikemukakan oleh Rippey (2010). Namun dia hanya meneliti tentang konsentrasi Pb dan biphenyl terklorinasi. Terlihat bahwa model-model yang telah diajukan oleh beberapa peneliti tadi belum ada yang menyinggung tentang pemodelan kualitas air danau yang disekitar danau terdapat kerambah jaring apung.

1.2 Perumusan Masalah

Pada saat ini telah berlangsung berbagai kegiatan usaha di perairan dan berkembang dengan pesat, di antaranya adalah kegiatan KJA. Di perairan Danau Toba ini tempo dulu masih dijumpai ikan asli yaitu ikan batak dan pora-pora. Tetapi saat ini sudah jarang bahkan mungkin sudah hilang dan tidak jelas apa penyebabnya. Pada tahun 1996 usaha perikanan di perairan Danau Toba mulai berkembang dalam bentuk KJA dan hingga saat ini mencapai luas lebih kurang 443 ha. Menurut laporan LP USU tahun 1999, luas perairan yang digarap baru mencapai 0,4% dari ambang luas yang diizinkan sebesar 1% dari luas perairan Danau Toba. Yang menjadi masalah adalah penyebaran lokasi KJA tersebut berada dalam kawasan daerah wisata. Contoh: turis yang datang ke Tomok rata-rata enggan berenang di danau karena airnya kotor. Demikian juga di Haranggaol, sepanjang pantainya penuh dengan KJA sehingga mengganggu sekaligus sebagai kota tujuan wisata potensial di Kabupaten Simalungun dan banyak lagi kota lain di sekitar Danau Toba dan Pulau Samosir. Dengan demikian sudah terjadi konflik penggunaan/pemanfaatan perairan Danau Toba antara para petani KJA dengan


(30)

pariwisata. Demikian juga dengan transportasi perairan danau (perhubungan) dapat terganggu apabila penempatan KJA yang sembarangan (Tumiar, 2004).

Menurut Southwick (1976), terjadinya pencemaran di perairan danau dapat ditentukan oleh dua hal, yaitu (1) adanya pengkayaan unsur hara yang tinggi, sehingga komunitas biota dengan produksi yang berlebihan, (2) air diracuni oleh zat kimia toksik yang menyebabkan lenyapnya organisme hidup, bahkan mencegah semua kehidupan di perairan. Sama dengan Saeni (1989) menyatakan bahwa pencemaran yang terjadi di perairan dapat ditentukan oleh tiga jenis, yaitu (1) pencemaran kimiawi berupa zat-zat beracun, bahan-bahan organik, mineral, dan radioaktif, (2) pencemaran fisik berupa lumpur dan uap panas, dan (3) pencemaran biologis berupa berkembangbiaknya ganggang, tumbuh-tumbuhan pengganggu air, kontaminasi organismo mikro yang berbahaya atau dapat berupa kombinasi dari ketiga pencemaran tersebut.

Pencemaran yang terjadi di Danau Toba diduga berasal dari aliran (masukan) beban limbah dari kegiatan masyarakat yang berlangsung di indogenous (badan air danau) dan di exogenous (luar danau). Limbah yang berasal dari kegiatan yang berlangsung di badan air bersumber dari kegiatan KJA masyarakat maupun industri. Porpraset (1989) mengatakan, limbah organik merupakan sisa atau buangan dari aktivitas manusia, yang biasanya tersusun dari karbon, hidrogen, oksigen, fosfor, sulfur dan mineral lainnya. Sutamihardja (1992) menyatakan bahwa bahan pencemaran yang menurunkan kualitas air dapat menyebabkan gangguan pada kesehatan (health hazard), sanitari (sanitary hazard) dan kerugian-kerugian secara ekonomi dan sosial.


(31)

Beban limbah organik yang bersumber dari KJA berupa sisa pakan dan feses ikan dapat menurunkan kualitas perairan danau. Selain itu penurunan kualitas perairan danau juga disebabkan oleh limbah yang berasal dari luar danau berupa limbah domestik, limbah dari kegiatan pertanian, dan peternakan yang berada di sekitar perairan Danau Toba.

Penumpukan unsur hara hasil dekomposisi bahan organik yang berlebihan di perairan danau, akan menimbulkan permasalahan karena, unsur hara yang berlebihan akan menyebabkan perairan mengalami pengkayaan unsur hara (eutrofikasi). Gejala eutrofikasi yang disebabkan oleh penumpukan zat hara ini dapat menyebabkan peningkatan konsentrasi biomassa di bgian epilimnion danau dan tingginya laju pengendapan alga ke bagian kolom air, sehingga menyebabkan kondisi anaerobik pada daerah hipolimnion (Gather dan Imboden, 1985). Hal yang sama juga dikemukakan oleh Agustiyani (2004), meningkatnya unsur hara pada perairan danau akan mengakibatkan meningkatnya biomassa organismo primer tetapi akan menurunkan jenis konsumer yang selanjutnya mengakibatkan melimpahnya salah satu jenis saja dan mengurangi varietas dan kualitas. Setianna (1996) menyatakan bahwa proses masuknya unsur hara ke badan perairan dapat melalui dua cara, yaitu: 1) penapisan air drainase lewat pelepasan hara tanaman terlarut dari tanah; dan 2) lewat erosi permukaan tanah atau gerakan dari partikel tanah halus masuk ke sistem drainase. Proses tersebut membutuhkan waktu yang cukup lama, namun dapat dipercepat oleh berbagai aktivitas penduduk disekitar perairan danau.

Dekomposisi bahan organik yang berlebihan juga akan menyebabkan perairan mengalami kekurangan oksigen (anoxia). Proses dekomposisi tanpa


(32)

adanya oksigen akan menyebabkan terbentuknya senyawa-senyawa toksik (beracun) sehingga berdampak buruk terhadap organisme akuatik dan manusia yang memanfaatkan perairan danau tersebut.

Pendangkalan yang terjadi di danau diduga berasal dari erosi yang berasal dari tangkapan air danau (DTA) dan sempadan danau. Erosi yang tinggi pada daerah tersebut akan terbawa oleh aliran sungai yang pada akhirnya akan mengendap sebagai sedimen di dasar danau. Akumulasi dari erosi yang terjadi terus-menerus akan mengarah pada terjadinya pendangkalan danau, penurunan kuantitas dan kualitas air serta dapat merusak habitat di badan perairan danau. Oleh sebab itu diperlukan upaya-upaya pengendalian sumber pencemaran yang masuk ke perairan danau melalui pendekatan kesisteman dan kebijakan yang dapat diterima oleh berbagai pihak.

Menurut Manetsch dan Park (1997), suatu pendekatan sistem akan dapat berjalan dengan baik apabila kondisi-kondisi berikut terpenuhi: 1) Tujuan sistem didefenisikan dengan baik dan dapat dikenali jika tidak dapat dikuantifikasikan, 2) prosedur pembuatan keputusan dalam sistem riiladalah tersentralisasi atauj cukup jelas batasannya, dan 3) dalam perencanaan jangka panjang memungkinkan untuk dilakukan. Sedangkan menurut Ford (1999), mendefinisikan sistem sebagai suatu kombinasi dari dua atau lebih elemen yang saling terkait dan memiliki ketergantungan antar komponen.

Menurut Jorgensen (1989) dalam Marganof (2007) penggunaan model sangat cocok untuk memecahkan permasalahan lingkungan yang kompleks. Penggunaan model dalam masalah ekologi adalah keharusan jika ingin memahami


(33)

tentang fungsi sistem yang kompleks seperti dalam ekosistem. Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah tersebut terlihat bahwa ada keterkaitan fungsi danau dengan dampak dari pencemaran yang terjadi di perairan danau. Oleh sebab itu, maka dalam konteks pengelolaan KJA di Danau Toba diajukan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Bagaimana kualitas perairan dan tingkat pencemaran perairan di Danau Toba? 2. Bagaimana persepsi masyarakat terhadap kehadiran keramba jaring apung

yang dikelola oleh masyarakat?

3. Bagaimana Model Pengelolaan keramba jaring apung (KJA) masyarakat yang berkelanjutan di perairan Danau Toba?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian ini adalah membangun model pengelolaan KJA masyarakat berkelanjutan di perairan Danau Toba. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka dalam penelitian ini dilakukan kegiatan-kegiatan :

1. Menganalisis kualitas perairan dan tingkat pencemaran perairan Danau Toba.

2. Menganalisis persepsi masyarakat terhadap kegiatan perikanan keramba jaring apung (KJA) di sekitar Danau Toba.

3. Membangun model yang pengelolaan keramba jaring apung (KJA) masyarakat berkelanjutan di perairan Danau Toba.


(34)

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada berbagai pihak, terutama:

1. Bagi pemerintah daerah, informasi ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan atau acuan dalam memformulasi kebijakan dalam pengelolaan keramba jaring apung (KJA) masyarakat di perairan Danau Toba.

2. Bagi masyarakat sebagai informasi dalam pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya di perairan Danau Toba.

3. Sebagai sumber informasi untuk pengembangan ilmu pengetahuan dalam menyelesaikan masalah pengelolaan keramba jaring apung (KJA) masyarakat, khususnya di Danau Toba.

1.5 Novelty

Model hasil penelitian ini sebagai acuan pengelolaan keramba jaring apung (KJA) masyarakat yang berkelanjutan.


(35)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kawasan Danau Toba

Kawasan Danau Toba adalah Kawasan Strategis Nasional (wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara) yang telah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang Tata Ruang Wilayah Nasional.

Danau Toba terletak di pegunungan Bukit Barisan berlokasi di Provinsi

Sumatera Utara, secara administrasi pemerintahan merupakan bagian dari 7 wilayah kabupaten, yaitu : Kabupaten Karo; Simalungun; Dairi; Toba Samosir;

Samosir; Humbang Hasundutan dan Tapanuli Utara. Secara geografis, Ekosistem Kawasan Danau Toba terletak pada koordinat 980 31’ 2” – 980 09’ 14” Bujur Timur (BT) dan 20 19’ 15” – 20 54’ 02” Lintang Utara (LU), dengan ketinggian permukaan air Danau Toba yang pernah diamati dan dicatat adalah sekitar 906 meter dpl (di atas permukaan laut) (van Bemmelen, 1994 dalam Tumiar, 2004). Tetapi akhir-akhir ini dari data pengamatan perorangan, ada yang menyebutkan bahwa kedalaman permukaan perairan Danau Toba saat ini sudah mengalami penurunan sehingga ketinggian permukaan air Danau Toba sekitar 903 meter dpl (Tumiar, 2004). Danau ini merupakan danau terluas di Indonesia dengan luas 1.124 Km2, kedalaman maksimum 508 m dan total volume air danau lebih kurang 256,8 x 103 m3 (Ardika, 1999).


(36)

Danau Toba adalah perairan daratan yang memiliki peran multi sektor, baik bagi kepentingan masyarakat lokal maupun nasional bahkan internasional. Wilayah Danau Toba adalah pusat kepariwisataan di Sumatera Utara, dengan daya tarik utamanya panorama hamparan air Danau Toba dan kawasan sekitarnya merupakan objek pariwisata yang sudah dikenal ke mancanegara. Hal ini telah menjadi kebijakan nasional, bahwa kawasan Danau Toba menjadi salah satu andalan dan potensi Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Nasional (RIPNAS) (Ardika, 1999). Potensi yang sangat besar dari perairan Danau Toba adalah air yang mengalir melalui outletnya yang telah dimanfaatkan untuk pembangkitan listrik pada Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Sigura-gura yang memiliki kapasitas yang cukup besar (286 Megawatt) dan telah beroperasi sejak tahuh 1982, bandingkan dengan PLTA Maninjau yang hanya 68 MW (Lukman, 2010).

Danau Toba merupakan sumberdaya air yang mempunyai nilai sangat penting ditinjau dari fungsi ekologi, hidrologi serta ekonomi. Hal ini berkaitan dengan fungsi Danau Toba sebagai habitat berbagai organisme air, sebagai sumber air minum bagi masyarakat sekitar, sebagai tempat penangkapan dan budidaya ikan dalam keramba jaring apung (KJA), kegiatan transportasi air, dan menunjang berbagai jenis industri.

Danau Toba dan daerah tangkapan air (catchment area) nya merupakan bentang alam yang sangat luas. Daerah tangkapan air danau meliputi area 369.854 ha yang terdiri dari 190.314 ha daratan di Pulau Sumatera, 69.280 ha daratan Pulau Samosir dan 110.260 ha luas permukaan danau. Kawasan Danau Toba merupakan hulu dari beberapa wilayah Kabupaten/Kota di Sumatera Utara.


(37)

Kondisi ekosistem kawasan ini berpengaruh langsung dan tidak langsung bagi daerah hilirnya. Ekosistem kawasan danau memiliki nilai ekologi, sosial budaya dan ekonomi bagi kehidupan manusia.

Kawasan Danau Toba, adalah salah satu kawasan andalan wisata yang merupakan aset nasional, dan memiliki nilai strategis bagi Propinsi Sumatera Utara, dengan fungsinya yang beraneka ragam, yaitu sebagai andalan daerah tujuan wisata, sumber air bersih bagi penduduk, kegiatan perikanan, baik secara tradisional maupun budidaya KJA, kegiatan pertanian, kegiatan transportasi air dan pembangkit tenaga listrik.

2.2 Pengelolaan Lingkungan Hidup

Lingkungan hidup selalu diartikan sebagai gabungan dari semua faktor-faktor eksternal atau kondisi-kondisi eksternal yang mempengaruhi kehidupan mahluk-mahluk yang yang ada di dalamnya. Karena lingkungan hidup mencakup semua mahluk hidup dan benda-benda mati (seperti udara, tanah, air) yang berpengaruh terhadap organisme.

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 1997, lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda,daya, keadaan, dan mahluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lain dan pengelolaan lingkungan adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup.


(38)

Untuk meningkatkan kualitas hidup, manusia selalu memanfaatkan sumber daya alam bahkan secara berlebihan. Semakin terbatas sumber daya alam untuk mendukung manusia, semakin sulit manusia mempertahankan kualitas hidup yang layak. Hal ini berarti, bahwa banyak masalah lingkungan hidup terjadi karena proses peningkatan kualitas hidup (Soemarwoto, 2004).

Dengan bertambahnya jumlah penduduk, berarti penggunaan sumber daya alam semakin tinggi, akibatnya pelepasan sisi-sisa (limbah) ke lingkungan juga bertambah. Karena lingkungan mempunyai daya dukung terbatas, maka dalam jangka waktu tertentu lingkungan tidak dapat lagi mendukung semua kegiatan dan kebutuhan manusia. Hal ini sangat berbahaya bagi lingkungan, terutama bagi manusia itu sendiri.

Pengelolaan lingkungan dapatlah kita artikan sebagai usaha sadar untuk memelihara atau dan memperbaiki mutu lingkungan agar kebutuhan dasar kita dapat terpenuhi dengan sebaik-baiknya. Karena persepsi tentang kebutuhan dasar, terutama untuk kelangsungan hidup yang manusiawi, tidak sama untuk semua golongan masyarakat dan berubah-ubah dari waktu ke waktu, pengelolaan lingkungan haruslah bersifat lentur. Dengan kelenturan itu kita berusaha untuk menutup pilihan golongan masyarakat tertentu untuk mendapatkan kebutuhan dasarnya atau menutup secara dini pilihan kita untuk kemudian hari (Soemarwoto, 2004).

Manusia mempunyai daya adaptasi yang besar, baik secara hayati maupun kultural. Misalnya, manusia dapat menyesuaikan diri pada penggunaan air yang tercemar, Ia membentuk daya tahan terhadap penyakit dalam tubuhnya dan karena


(39)

kebiasaan menekan rasa jijiknya terhadap air yang kotor, air bersih tidak lagi dirasakan sebagai kebutuhan dasar kelompok manusia tersebut.

Pengelolaan lingkungan sebenarnya bukanlah suatu hal yang baru, sejak manusia ada, ia telah melakukan kegiatan pengelolaan lingkungan. Manusia pemburu harus mencari dan mengejar hewan buruannya. Hasilnya tidak dapat dipastikan. Kadang-kadang banyak dan kadang-kadang sedikit. Jenis hewan yang tertangkap pun tidak dapat dipastikan. Untuk dapat lebih memastikan atau memperbesar kepastian hasilnya, baik dalam jumlah maupun dalam jenis hewan yang dapat ditangkapnya, manusia menjinakkan dan memelihara hewan tertentu sebagai ternak. Ia membuat dan memelihara padang rerumuputan. Ia menjaga pula ternaknya terhadap serangan hewan buas. Dengan perkembangan peternakan itu manfaat lingkungan dapat diperbesar dan resiko lingkungan diperkecil, sehingga kemungkinan terpenuhinya kebutuhan dasarnya dapat lebih terjamin. Hal yang serupa kita dapatkan dalam perikanan, pertanian dan perhutanan. Domestikasi, yaitu penjinakan dan pemeliharaan, ikan, ternak dan tumbuhan merupakan usaha pengelolaan lingkungan yang dimulai sangat awal dalam kebudayaan manusia.

Pembangunan mempunyai tujuan jangka panjang dalam arti kita tidak hanya membangun untuk kita, melainkan juga untuk anak cucu kita, generasi yang akan datang. Dalam hubungan ini patutlah kiranya untuk kita renungkan konsep pembangunan di bumi pada umumnya dan tanah air Indonesia pada khususnya.

Daya dukung berkelanjutan ditentukan oleh banyak faktor, baik faktor biofisik maupun sosial-budaya-ekonomi. Kedua kelompok faktor ini saling


(40)

mempengaruhi. Faktor biofisik penting yang menentukan daya dukung berkelanjutan ialah proses ekologi yang merupakan sistim pendukung kehidupan dan keanekaan jenis yang merupakan sumberdaya gen. Misalnya, hutan adalah salah satu faktor ekologi dalam sistim pendukung kehidupan. Hutan melakukan proses fotosíntesis yang menghasilkan oksigen yang kita perlukan untuk pernafasan kita. Apabila proses fotosíntesis terhenti atau menurun drastis karena hutan atau tumbuhan pada umumnya habis atau sangat berkurang, kandungan oksigen dalam udara akan menurun dan kehidupan kita akan terganggu. Kerusakan hutan akan mengakibatkan rusaknya tata guna air dan terjadinya erosi tanah. Hutan bakau melindungi pantai dari hempasan ombak. Hutan bakau juga merupakan habitat berbagai macam udang, kepiting dan ikan, dan karena itu merupakan ekosistem yang amat penting dalam perikanan.

Pembangunan pada hakekatnya adalah pengubahan lingkungan, yaitu mengurangi resiko lingkungan atau dan memperbesar manfaat linkungan. Sejak berabad tahun yang lalu nenek moyang kita telah mengubah hutan menjadi daerah permukiman dan pertanian. Pengubahan hutan menjadi sawah merupakan usaha untuk memanfaatkan lahan untuk produksi bahan makanan dalam kondisi curah hujan yang tinggi dan juga untuk mengurangi resiko erosi di daerah yang banyak bergunung. Hingga sekarang pencetakan sawah baru masih terus berjalan. Dengan pengubahan hutan atau tataguna lahan menjadi sawah berubahlah pula keseimbangan lingkungan.

Dalam usaha untuk mengubah keseimbangan lingkungan yang ada pada mutu hidup yang rendah ke keseimbangan lingkungan baru pada tingkat mutu hidup yang lebih tinggi, diusahakan agar lingkungan tetap dapat mendukung mutu


(41)

hidup yang lebih tinggi itu. Dengan demikian jelaslah bahwa yang kita lestarikan bukanlah keserasian dan keseimbangan lingkungan, melainkan kita ingin melestarikan daya dukung lingkungan yang dapat menopang secara berkelanjutan pertumbuhan dan perkembangan yang kita usahakan dalam pembangunan. Walaupun lingkungan berubah, kita usahakan agar tetap ada kondisi yang mampu untuk menopang secara terus-menerus pertumbuhan dan perkembangan, sehingga kelangsungan hidup kita dan anak cucu kita dapat terjamin pada tingkat mutu hidup yang makin baik.

Berkenaan dengan pengelolaan ekosistem kawasan Danau Toba, Panjaitan (2009) menyatakan bahwa para pemangku amanah ekosistem kawasan Danau Toba pada tahun 2004 telah menyepakati bahwa Pengelolaan Ekosistem Danau Toba saat ini adalah mengedepankan pendekatan ekosistem dimana pengelolan Ekosistem Kawasan Danau Toba dilakukan secara bersama-sama dan dengan mendefenisikan dan mengintegrasikan keberatan faktor-faktor ekologi, ekonomi dam sosial di wilayah para Pemangku Amanah secara ekologis, bukan berdasarkan batas-batas administratif, sektor, dan kewilayahan semata.

Mengingat fungsi ekosistem Danau Toba yang sangat beranekaragam, diperlukan suatu strategi pengelolaan yang efisien agar kelestarian ekosistem Danau Toba dapat tetap dipertahankan sejalan dengan pemanfaatan yang dilakukan untuk berbagai kepentingan.

2.3 Pembangunan Berkelanjutan dalam Pengelolaan Lingkungan

Secara konseptual, pengertian pembanguan berkelanjutan berasal dari ilmu ekonomi yang terutama dikaitkan dengan persoalan efisiensi dan keadilan (equity)


(42)

untuk menjamin keberlanjutan pembangunan ekonomi bagi kesejahteraan masyarakat. Pengertian dari segi ekonomi ini juga dilatarbelakangi oleh ilmu biologi yang membahas keberlanjutan dari segi kemampuan dan kesesuaian (capability and surtability) suatu lokasi dengan potensi regenarasi/productivitas lingkungan hidupnya.

Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan masa depan (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997).

Konsep ‘berkelanjutan’ (sustainability) sebenarnya telah lama dikenal sebagai bagian dari biologi. Pada konferensi “Analisa dan Manajemen Penggunaan Berkelanjutan Tanah Hutan Tropis” (Forest Land Assessment and Management for Sustainable Uses) perkataan ‘sustainable use’ diartikan sebagai:

continuing national use of land without severe or permanent deterioration in the quality and quantity of one or more component of the

integrated ecosystem or landscape unit’.

Dalam pada itu, istilah ‘pembangunan berkelanjutan’ atau sustainable development merupakan konsep muncul belakangan terkait dengan konsep pembagunan. Arti keterkaitan ini dapat dihubungkan dengan masalah efisien dan keadilan. Didalam melakukan efisiensi untuk memperbesar pembangunan dan keadilan (equity) untuk pembagian yang layak dan menjaga keberlanjutan daripada sebuah ekosistem.


(43)

Pengertian pembangunan berkelanjutan dapat ditemukan baik secara eksplisit maupun implisit dalam berbagai perjanjian internasional dan berbagai instrumen lainnya. Laporan Komisi Brundtland pada tahun 1987 merupakan pengertian hukum yang luas dan dianut secara luas yang memberikan pengertian ‘sustainable development’: ‘development that meet the needs of the present generation without compromising the ability of future generation to meet their

own needs’

Ada dua konsep tentang membangun konsep sustainable development, yaitu konsep kebutuhan (needs) terutama kebutuhan dasar generasi saat ini, dan ide keterbatasan yang didasarkan pada pertimbangan kemajuan teknologi dan organisasi sosial untuk menetapkan daya dukung lingkungan yang mampu menopang kehidupan generasi sekarang dan generasi masa depan. Laporan Brundtland mengidentifikasi beberapa masalah kritis yang perlu dijadikan dasar kebijakan lingkungan bagi konsep pembangunan berkelanjutan:

a) Mendorong pertumbuhan dan meningkatkan kualitas (reviving growth

and changing its quality);

b) Memenuhi kebutuhan pokok mengenai pekerjaan, makanan, energi, air dan sanitasi (meeting essestial needs for jobs, food, energy, water, and sanitation);

c) Menjamin tingkat pertumbuhan penduduk yang mendukung keberlanjutan (ensuring asustainable level of population);


(44)

and enhancing the resource base);

e) Orientasi teknologi dan mengelola resiko (reorienting technology

and managing risks) dan

f) Memadukan pertimbangan lingkungan ekonomi dalam proses pengambilan keputusan (merging environment and economics in decision-making).

Arah dan tujuan pembinaan pengelolaan lingkungan hidup di daerah dijabarkan lebih lanjut sebagai:

1. Meningkatkan mutu lingkungan hidup baik fisik, sosial dan ekonomi yang mendukung pembanguan daerah yang berkelanjutan.

2. Meningkatnya pengenalan jumlah dan mutu sumberdaya alam serta jasa lingkungan, pengenalan tingkat kerusakan, penggunaan dan kemungkinan pengembangannya.

3. Terpeliharanya kawasan konservasi, keanekaragaman hayati

dan fungsi ekosistem khususnya Daerah Aliran Sungai (DAS).

4. Terbentuknya sistem kelembagaan lingkungan hidup yang lebih efisien dan efektif, mulai dari tingkat provinsi sampai tingkat kabupaten/kota, baik dalam lingkungan pemerintahan, dunia usaha maupun kegiatan kemasyarakatan.

5. Terkendalinya pencemaran perairan, tanah dan udara yang

disebabkan oleh kegiatan pembangunan dan ekonomi, terutama bagi keperluan peningkatan kesejahteraan penduduk miskin.


(45)

6. Pulihnya potensi/produktivitas lahan kritis untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan nelayan serta meningkatkan fungsi lingkungan hidup.

7. Meningkatnya ketersediaan data dan informasi lingkungan

hidup yang dipadukan dalam suatu Jaringan Sistem Informasi Lingkungan Hidup Daerah.

Konsep berkelanjutan dalam budidaya ikan menurut Beveridge (1996), ditentukan dari langkah awal dan umumnya dimulai dari dari pemilihan lokasi, karena pemilihan lokasi yang salah akan menyebabkan kegiatan budidaya tidak berlangsung lama.

2.4 Pengelolaan Danau Secara Terpadu

Danau adalah salah satu bentuk ekosistem yang menempati daerah yang relatif kecil pada permukaan bumi dibandingkan dengan habitat laut dan daratan. Bagi manusia kepentingannya jauh lebih berarti dibandingkan dengan luas daerahnya. Untuk memenuhi kepentingan manusia, lingkungan sekitar danau diubah untuk dicocokkan dengan cara hidup dan bermukim manusia. Ruang dan tanah di sekitar kawasan ini dirombak untuk menampung berbagai bentuk kegiatan manusia seperti permukiman, prasarana jalan, saluran limbah rumah tangga, tanah pertanian, rekreasi dan sebagainya (Connell dan Miller, 1995). Sehingga seringkali terjadi pemanfaatan danau dan konservasi danau yang tidak berimbang, dimana pemanfaatan danau lebih mendominasi sumberdaya alam danau dan kawasan daerah aliran sungai (watershed). Mengakibatkan danau berada pada kondisi suksesi, yaitu berubah dari ekosistem perairan ke bentuk ekosistem daratan. Pendangkalan akibat erosi, eutrofikasi merupakan penyebab


(46)

suksesi suatu perairan danau. Hilangnya ekosistem danau mengakibatkan kekurangan cadangan air tanah pada suatu kawasan/wilayah yang bakal mengancam ketersediaan air bersih bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Akibatnya, keberlanjutan suatu lingkungan hidup yang didalamnya terdapat manusia dan alam terancam tak dapat berlanjut. Darmono (2001) menyatakan pengaruh negatif dari eutrofikasi di perairan danau adalah terjadinya perubahan keseimbangan kehidupan antara tanaman air dan hewan air, sehingga beberapa spesies ikan akan musnah dan tanaman air akan menghambat laju arus air.

Beberapa fungsi penting ekosistem ini sebagai berikut:

1. Sebagai sumber plasma nuftah yang berpotensi sebagai penyumbang

bahan genetik.

2. Sebagai tempat berlangsungnya siklus hidup jenis flora/fauna yang

penting.

3. Sebagai sumber air yang dapat digunakan langsung oleh masyarakat

sekitarnya (rumah tangga, industri dan pertanian).

4. Sebagai tempat penyimpanan kelebihan air yang berasal dari air hujan, aliran permukaan, sungai-sungai atau dari sumber-sumber air bawah tanah.

5. Memelihara iklim mikro, di mana keberadaan ekosistem danau dapat

mempengaruhi kelembaman dan tingkat curah hujan setempat.

6. Sebagai sarana transportasi untuk memindahkan hasil-hasil pertanian dari tempat satu ke tempat lainnya.

7. Sebagai penghasil energi melalui PLTA. 8. Sebagai sarana rekreasi dan objek pariwisata.


(47)

Dua hal lain yang ditawarkan ekosistem danau adalah:

1. Sebagai sumber air yang paling praktis dan murah untuk kepentingan domestik maupun industri.

2. Sebagai pembuangan yang memadai dan paling murah (Connell dan

Miller, 1995).

Sebagai sumber air paling praktis, danau sudah menyediakannya melalui terkumpulnya air secara alami melalui aliran permukaan yang masuk ke danau, aliran sungai-sungai yang menuju ke danau dan melalui aliran di bawah tanah yang secara alami mengisi cekungan dimuka bumi ini. Bentuk fisik danau pun memberikan daya tarik sebagai tempat membuang yang praktis. Jika kita membiarkan semua demikian, maka akan mengakibatkan danau tak akan bertahan lama berada di muka bumi ini. Saat ini kita melihat ekosistem danau tidak dikelola sebagaimana mestinya, sebaliknya untuk memenuhi kepentingan manusia, lingkungan sekitar danau diubah untuk dicocokkan dengan cara hidup dan cara bermukim manusia.

Keadaan ekosistem perairan danau kini cenderung mengalami degradasi karena kurang kepedulian dan kesungguhan dalam pengelolaannya. Banyak diantaranya terancam, baik dari segi kuantitas maupun kualitas airnya, juga dari segi kelangsungan hidup biotanya. Hal ini disebabkan terutama oleh meningkatnya kegiatan manusia di perairan maupun di daerah tangkapan airnya (Nurjanah, 2011). Sumber pencemaran air danau adalah limbah domestik berupa bahan organik dari permukiman penduduk. Adanya kegiatan lain berupa usaha pertanian, peternakan, industri rumah, usaha budidaya perikanan keramba jaring


(48)

apung dan pariwisata menambah limbah bahan organik yang masuk ke perairan danau.

Eutrofikasi dan pencemaran merupakan permasalahan lingkungan yang berpengaruh terhadap perairan danau secara umum dimana akibat yang ditimbulkannya akan mempengaruhi kelangsungan hidup. Suryono et al. ( 2010), Eutrofikasi atau sering disebut pengkayaan unsur hara dalam perairan akan mengakibatkan perairan menjadi subur. Proses eutrofikasi sendiri merupakan proses alami yang akan terjadi pada setiap perairan tergenang namun dalam waktu yang lama. Seiring dengan meningkatnya aktifitas masyarakat, maka akan memeberikan masukan berupa unsur hara ke badan air danau dan jika proses pulih diri (self purification) terlampaui maka akan mempercepat proses eutrofikasi.

Kumurur (2002), area danau perlu pengelolaan yang terpadu (integrated) agar fungsi ekologis dan fungsi ekonomis dari sumberdaya alam ini dapat dilestarikan untuk menopang kehidupan generasi pada masa datang. Keberhasilan pelestarian dan pengelolaan sumberdaya alam akan menjadi kunci terpenuhinya harkat hidup seluruh masyarakat. Dalam rangka pengelolaan danau, perlu ditinjau beberapa aspek strategis yang menjadi “focal point” bagi skenario pengelolaan

terwujudnya tujuan atau “goal” di dalam suatu konsep “Integrated Lake

Management” yang “sustainable”. Beberapa aspek strategis yang mesti dipikirkan tersebut adalah: pemanfaaan perairan danau (lake use), keanekaragaman hayati (biodevirsity), polusi aliran permukaan (run-off pollution).


(49)

Rekomendasi yang perlu mendapat perhatian bagi pemerintah daerah dalam menetapkan kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan adalah yang berkaitan dengan:

a. kelebihan kapasitas penangkapan ikan;

b. ketidakseimbangan antara kepentingan berbagai pihak dalam

memanfaatkan sumberdaya;

c. kerusakan habitat, kecenderungan kepunahan jenis ikan tertentu; d. degradasi sumberdaya perikanan;

e. peraturan perundang-undangan dan peraturan kebijakan yang

tersosialisasi dengan baik kepada masyarakat.

2.5 Keramba Jaring Apung di Danau Toba

Kegiatan budidaya ikan di dalam keramba jaring apung (KJA) akan memberikan nilai tambah bagi sumberdaya perairan. Saat ini Danau Toba telah dimanfaatkan antara lain untuk sebagai lokasi penangkapan dan budidaya keramba jaring apung.

Metoda keramba jaring apung (KJA) semakin marak dilakukan oleh masyarakat dalam membudidayakan ikan, khususnya diperairan air tawar. Perkembangan teknologi ini berkembang pesat. Hal ini terbukti dari banyaknya danau-danau di seluruh nusantara yang dipenuhi oleh kerambah jaring apung milik masyarakat. Dilihat dari efektifitas dan efisiensinya, metoda keramba jaring apung ini sangat baik. Dengan memanfaatkan luasnya perairan di danau dan


(50)

ditambah dengan cocoknya iklim di air danau dengan perkembangan ikan, membuat penggunaan KJA semakin banyak.

Namun dalam perkembangannya, pemakaian metode KJA di perairan danau, telah menimbulkan banyak problema. Mulai dari kematian ikan yang mendadak hingga ke persoalan terganggunya ekosistem di danau. Pengembangan KJA akan bernilai positif selama dalam batas kapasitas daya dukung (DD) perairan. Peningkatan KJA yang berlebihan akan menimbulkan dampak yang buruk pada masa yang akan datang (Lukman et al. 2011).

2.6 Ekosistem Danau

Secara umum ekosistem perairan darat dapat dibagi menjadi dua yaitu perairan lentik dan perairan lotik. Perairan lentik disebut juga perairan tenang karena mempunyai kecepatan arus yang lambat sehingga terjadi akumulasi massa air dalam periode waktu yang cukup lama. Yang termasuk perairan lentik adalah danau, kolam rawa, waduk, situ dan telaga. Sementara itu perairan lotik merupakan perairan berarus deras atau memiliki kecepatan arus tinggi yang disertai dengan perpindahan massa air dengan cepat. Yang termasuk kedalam perairan lotik misalnya sungai dan kanal.

Sebagai salah satu bentuk ekosisitem, perairan danau terdiri dari faktor abiotik (fisika dan kimia) dan faktor biotik (produsen, konsumen dan dekomposer), dimana faktor-faktor tersebut membentuk suatu hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Secara fisik, danau merupakan suatu tempat yang luas yang mempunyai air tetap, jernih atau beragam


(51)

dengan aliran tertentu dan keberadaan tumbuhan air terbatas hanya pada daerah pinggir saja (Jorgensen dan Vollenweiden, 1989; Barus, 2004).

Menurut Ruttner (1977), danau adalah suatu badan air alami yang selalu tergenang sepanjang tahun dan mempunyai mutu air tertentu yang beragam dari satu danau ke danau yang lain, serta mempunyai produktivitas biologi yang tinggi.

Sebagai ekosistem perairan lentik, perairan danau ditandai dengan keadaan arus air yang sangat lambat (0,001-0,01 m/detik) atau bahkan tidak ada arus sama sekali, sehingga waktu tinggal air (residence time) dapat berlangsung dalam waktu sangat lama. Karena kondisi arus air pada danau sangat lambat, maka pengaruhnya tidak begitu besar terhadap kehidupan organisme yang ada di dalamnya. Menurut Wetzel (2001), perairan danau biasanya memiliki stratifikasi vertikal kualitas air yang bergantung pada kedalamaan dan musim. Adanya perbedaan sifat air antar lapisan terutama berkaitan dengan perbedaan intensitas cahaya matahari yang diserap, yang selanjutnya menyebabkan terjadinya perbedaan suhu air pada setiap kedalaman.

Berdasarkan adanya perbedaan suhu yang terdapat pada setiap kedalaman air, Effendi (2003) membedakan suatu perairan danau secara vertikal menjadi tiga stratifikasi, yaitu :

1. Epilimnion, merupakan lapisan bagian atas dari perairan danau. Lapisan ini merupakan bagian yang hangat dari kolam air dengan keadaan suhu yang relatif konstan (perubahan suhu secara vertikal sangat kecil). Seluruh massa air pada dibedakan berdasarkan kedalaman penetrasi cahaya matahari kedalam


(52)

badan air lapisan ini dapat bercampur dengan baik akibat dari pengaruh angin dan gelombang.

2. Metalimnion atau yang sering disebut termoklin. Lapisan ini berada di sebelah bawah lapisan epilimnion. Pada lapisan ini perubahan suhu secara vertikal relatif besar, dimana setiap penambahan kedalaman 1 meter, terjadi penurunan suhu air sekitar 10 C.

3. Hipolimnion, adalah lapisan paling dalamdari perairan danau, yang terletak di sebelah bawah lapisan termoklin. Lapisan ini mempunyai suhu yang lebih dingin dan perbedaan suhu vertikal relatif kecil, massa airnya stagnan, tidak mengalami percampuran dan memiliki kekentalan air (densitas) lebih besar. Selain membedakan lapisan air berdasarkan suhu, suatu perairan danau dapat juga menjadi beberapa zona. Dalam hal ini, Odum (1996) membedakan suatu perairan danau menjadi tiga zona, yaitu :

1. Zona litoral, adalah daerah perairan dangkal pada danau, dimana penetrasi cahaya dapat mencapai hingga ke dasar perairan. Organisme utama yang hidup pada zona ini terdiri dari produser yang meliputi tanaman berakar (anggota spermatophyta) dan tanaman yang tidak berakar (fitoplankton, ganggang), sedangkan konsumernya meliputi beberapa larva serangga air, rotifera, moluska, ikan, penyu, zooplankton dan lain sebagainya.

2. Zona limnetik, adalah daerah perairan terbuka sampai pada kedalaman

penetrasi cahaya yang efektif, sehingga daerah ini efektif untuk proses foto sintesis. Organisme utama yang hidup pada zona ini terdiri dari produser yang meliputi fitoplankton dan tumbuhan air yang terapung-apung bebas,


(53)

sedangkan organisme konsumernya meliputi zooplankton dari copepoda, rotifera dan beberapa jenis ikan.

3. Zona profundal, adalah daerah dasar dari perairan danau yang dalam, dimana pada daerah ini tidak dapat lagi dicapai oleh penetrasi cahaya efektif. Sebagai organisme utama yang hidup pada zona ini adalah konsumer yang meliputi jenis cacing dan kerang-kerang kecil.

2.6.1 Faktor Fisika dan Kimia Air

Panjaitan (2009) menyatakan bahwa sekarang ini kualitas fisika dan kimia perairan Danau Toba telah mengalami penurunan oleh berbagai kegiatan manusia terutama kegiatan pemeliharaan ikan di Keramba Jaring Apung (KJA) sehingga sasaran manfaat air Danau Toba layak dikonsumsi sebagai air minum tidak akan tercapai di Ekosistem Kawasan Danau Toba.

2.6.1.1 Suhu Air

Suhu air merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap ekosistem perairan danau. Perubahan suhu air mempengaruhi perubahan beberapa sifat fisika maupun kimia air seperti perubahan kelarutan berbagai gas dalam air (O2, CO2, N2 dan CH4), sehingga berdampak terhadap aktifitas fisiologis

organisme yang hidup didalamnya. Peningkatan suhu air dapat mengakibatkan penurunan kelarutan gas dalam air seperti O2, CO2, N2 dan CH4 (Haslam, 1995).

Suhu merupakan faktor pembatas utama kehidupan di air, dimana setiap jenis organisme memilki kisaran toleransi yang berbeda-beda terhadap suhu media tempat hidupnya. Ada organisme akuatik yang memiliki kisaran toleransi luas terhadap perubahan suhu lingkungan (euritermal) dan ada organisme akuatik


(54)

mempunyai kisaran toleransi suhu yang sempit (stenotermal). Jadi suhu merupakan faktor pengendali (controlling factor) bagi proses respirasi dan metabolisme biota akuatik yang berlanjut terhadap pertumbuhan dan proses fisiologis serta siklus reproduksinya (Hutabarat dan Evans, 1984). Selain itu, menurut Stumn dan Morgan (1981), suhu air juga dapat mempengaruhi proses dan keseimbangan reaksi-reaksi kimia yang terjadi dalam ekosistem perairan.

Parameter kualitas air yang berinteraksi dengan konsentrasi amonia adalah suhu, suhu yang lebih tinggi mengakibatkan peningkatan perpaduan amonia, oksigen terlarut dan kadar garam (Booth, 1999). Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari permukaan laut, sirkulasi udara, tutupan awan, dan aliran air serta kedalaman badan air. Pada danau-danau di daerah tropik, air danau mempunyai kisaran suhu yang cukup tinggi yaitu antara 20-300C, dan secara vertikal menunjukkan adanya penurunan suhu air seiiring dengan bertambahnya kedalaman, oleh karena itu dapat terbentuk stratifikasi air yang mantap sepanjang tahun. Sebagai akibatnya, pada danau yang amat dalam massa air cenderung hanya sebagian yang dapat bercampur (Effendi, 2003).

2.6.1.2 Derajat Keasaman (pH)

Derajat keasaman merupakan gambaran dari jumlah atau aktivitas ion hidrogen di dalam air. Secara umum nilai pH air menggambarkan keadaan seberapa besar tingkat keasaman atau kebasaan suatu perairan. Perairan dengan nilai pH = 7 berarti kondisi air bersifat netral, pH < 7 berarti kondisi air bersifat asam, sedangkan pH > 7 berarti kondisi air bersifat basa (Effendi, 2003). Keberadaan senyawa karbonat, bikarbonatdan hidroksida dalam air akan


(55)

menaikkan kebasaan air, sementara keberadaan asam mineral bebas dan asam karbonat menaikkan keasaman suatu perairan. Selanjutnya, Pescod (1973) menjelaskan bahwa nilai pH air dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu fotosintesis, respirasi organisme akuatik, suhu dan keberadaan ion-ion di perairan tersebut.

Nilai pH dapat mempengaruhi spesiasi senyawa kimia dan toksisitasdari unsur-unsur renik yang terdapat di perairan, sebagai contoh H2S yang bersifat

toksik banyak ditemui di perairan yang tercemar dan perairan dengan nilai pH rendah. Perairan dengan kondisi asam kuat akan menyebabkan unsur logam berat seperti aluminium memilki mobilitas yang meningkatdan karena logam ini bersifat toksik maka dapat mengancam kehidupan biota. Demikian juga bila pH air terlalu basa maka keseimbangan amoniumdan amoniak akan terganggu, dalam hal ini kenaikan pH di atas netral akan meningkatkan konsentrasi amoniak yang juga bersifat toksik terhadap biota akuatik. Selain itu, pH air juga mempengaruhi parameter BOD5 dan kandungan nutrien dalam air seperti fosfat, nitrogen dan

nutrien lainnya (Dojildo dan Best, 1992). Selain itu Mahida (1993) menyatakan bahwa limbah buangan industri dan rumah tangga dapat mempengaruhi nilai pH perairan.

2.6.2 Faktor Kimia Perairan

2.6.2.1 Biochemical Oxygen Demand (BOD)

Secara spesifik, BOD diartikan sebagai banyaknya oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh mikroorganisme aerobik untuk dapat mendegradasikan senyawa-senyawa organik yang terdapat pada perairan. Karena oksidasi aerobik yang


(56)

dilakukan mikroorganisme terjadi dengan memanfaatkan oksigen yang terlarut dalam air, maka oksidasi bahan organik berakibat terhadap penurunan konsentrasi oksigen terlarut (DO). Penurunan konsentrasi DO dapat terjadi sampai pada tingkat konsentrasi terendah, tergantung pada banyaknya senayawa organik yang didegradasikan. Berdasarkan hal tersebut, maka nilai BOD merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui tingkat pencemaran bahan organik pada suatu perairan (Lee et al., 1978).

Perairan dengan nilai BOD yang tinggi mengindikasikan bahwa kondisi perairan telah mengalami pencemaran oleh bahan-bahan organik, dan sebaliknya perairan dengan nilai BOD yang rendah mengindikasikan bahwa kondisi perairan miskin akan bahan organik sehingga diindikasikan tidak tercemar oleh limbah-limbah organik.

Menurut Barus (2004) bahwa ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi nilai BOD, yaitu jumlah senyawa organik yang diuraikan, tersedianya organisme aerob yang mampu menguraikan senayawa organik tersebut dan tersedianya sejumlah oksigen yang dibutuhkan dalam proses penguraian tersebut.

2.6.2.2 Chemical Oxygen Demand (COD)

Dalam suatu perairan tidak semua senyawa organik dalama air dapat diuraikan secara biologi, sehingga untuk mengukur oksigen yang dibutuhkan dalam penguraian keseluruhan senyawa organik dalama air dilakukan dengan analisis COD dengan menggunakan oksidator kuat kalium dikromat dan asam sulfat. COD adalah gambaran dari jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk


(57)

mengoksidasi bahan organik secara kimiawi, baik senyawa organik yang dapat di degradasi secara biologi maupun yang sukar atau tidak dapat didegradasi secara biologi (Effendi, 2003). Berdasarkan hal tersebut maka nilai COD dianggap paling baik digunakan untuk menggambarkan tingkat pencemaran keseluruhan bahan-bahan organik pada suatu perairan.

2.6.2.3 Dissolved Oxygen (DO)

Oksigen terlarut (DO) adalah konsentrasi gas oksigen yang terlarut dalam air yang berasal dari hasil fotosintesis fitoplankton dan tumbuhan air serta hasil difusi dari udara (APHA, 1989). Sebagian besar dari oksigen terlarut pada perairan danau dan waduk adalah merupakan hasil sampingan dari aktivitas fotosintesis. Proses difusi oksigen dari atmosfer ke perairan pada hakekatnya berlangsung relatif lambat, dimana proses ini hanya dapat terjadi secara langsung pada kondisi air yang diam (stagnant) atau terjadi karena pergolakan massa air (agitasi) yang diakibatkan adanya gelombang atau angin.

Jeffries dan Mills (1996) menyatakan bahwa kelarutan oksigen perairan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu : suhu air, salinitas, turbulensi air, dan tekanan atmosfer. Selanjutnya masih menurut Jeffries dan Mills (1996), bahwa kandungan oksigen terlarut dalam air akan berkurang seiiring dengan meningkatnya suhu air, ketinggian tempat, dan berkurangnya tekanan atmosfer. Penyebaran oksigen penting untuk kebutuhan langsung berbagai organisme, mempengaruhi kelarutan dan ketersediaan unsur hara, oleh karena itu akan mempengaruhi produktivitas ekosistem perairan (Lukman et al., 2010).


(58)

Keberadaan oksigen terlarut dalam air sangat penting bagi kehidupan semua organisme aerob perairan termasuk mikroorganisme dekomposer. Oksigen terlarut diperlukan untuk proses respirasi, dalam ahl ini pembakaran terhadap bahan organik untuk menghasilkan energi. Sehubungan dengan hal tersebut, maka oksigen terlarut mempunyai peranan yang sangat penting dalam penguraian bahan-bahan organik oleh berbagai jenis mikroorganisme aerobik (APHA, 1989), sehingga keberadaan oksigen terlarut sangat erat kaitannya dengan keberadaan senyawa organik dalam air dan dapat digunakan sebagai indikator adanya pencemaran limbah organik pada suatu perairan (Lee et al., 1978). Secara umum suatu badan air yang telah mengalami proses eutrofikasi dapat ditandai adanya

penurunan konsentrasi oksigen terlarut pada lapisan hipolimnion (Suryono et al., 2010).

2.6.2.4.Kandungan Nutrien (N dan P) 2.6.2.4.1 Nitrogen (N)

Nitrogen merupakan salah satu unsur yang esensial dalam tubuh semua makhluk hidup, yang berperan sebagai komponen dasar penyusun molekul asam amino dan protein. Selanjutnya, protein mempunyai bermacam-macam fungsi, yang antara lain adalah sebagai penyusun enzym dan hormon. Dalam air, amonia terjadi dalam dua bentuk, yang secara bersama-sama disebut Nitrogen Amoniak total. Secara kimiawi kedua bentuk ini direpresentasikan sebagai NH4+ dan NH3.

NH4+ disebut Amonia terionisasi karena memiliki muatan listrik positif, dan NH3

disebut Amonia yang tidak gtetionisasi (Mason,1988).

Secara alami senyawa nitrogen di perairan berasal dari hasil metabolisme organisme air dan dari hasil proses dekomposisi bahan-bahan organik oleh


(59)

bakteri. Kandungan nitrogen yang tinggi di suatu perairan dapat disebabkan oleh adanya masukan limbah seperti limbah domestik, perikanan, pertanian, peternakan dan limbah industri ke perairan tersebut. Pada perairan, senyawa nitrogen biasanya ditemukan dalam bentuk gas nitrogen (N2), nitri (NO2), nitrat

(NO3) dan amonia (NH3), dan amonium (NH4)+ serta beberapa senyawa nitrogen

organik kompleks (Haryadi, 2003). Biasanya pada perairan yang alami, senyawa nitrit ditemukan dalam konsentrasi yang sangat rendah, di mana kadarnya lebih rendah dari pada senyawa nitrat. Hal ini disebabkan karena nitrit bersifat tidak stabil, sehingga jika terdapat oksigen yang cukup akan teroksidasi menjadi senyawa nitrat. Senyawa nitrit merupakan bentuk peralihan antara amonia dan nitrat serta antara nitrat dan gas nitrogen (N2) yang biasa dikenal dengan proses

nitrifikasi dan denitrifikasi (Effendi, 2003).

Proses nitrifikasi terjadi melalui dua tahap reaksi yaitu reaksi oksidasi amonia (NH3)menjadi nitrit dan selanjutnyareaksi oksidasinitrit menjadi nitrat.

Reaksi tersebut melibatkan bakteri-bakteri aerobseperti Nitrosomonasdan Nitrobacter. Proses nitrifikasi dapat berlangsung optimal apabila berada pada lingkungan dengan pH = 8 dan akan berkurang secara nyata apabila pada pH < 7 dan juga terjadi pada suhu antara 250 – 250 C

Dari semua jenis parameter tentang kualitas air yang mempengaruhi kehidupan ikan, selain oksigen, amonia merupakan parameter yang juga paling penting. Lebih lanjut dinyatakan bahwa dalam jumlah kecil, amonia menyebabkan stres dan kerusakan insang, dan untuk waktu yang lebih lama lebih rentan terhadap infeksi bakteri, memiliki pertumbuhan yang buruk. Amonia adalah pembunuh jika terdapat dalam konsentrasi yang lebih tinggi.


(60)

2.6.2.4.2 Fosfor (P)

Unsur Pospor merupakan salah satu bahan kimia yang keberadaannya sangat penting bagi semua makhluk hidup, terutama dalam pembentukan protein dan transfer energi di dalam sel seperti ATP dan ADP. Pada ekosistem perairan, fosfor terdapat dalam bentuk senyawa fosfor, yaitu : a) fosfor anorganik; b) fosfor organik dalam protoplasma tumbuhan dan hewan dan c) fosfor oragnik terlarut dalam air, yang terbentuk dari proses penguraian sisa-sisa organisme (Barus, 2004).

Secara alami, senyawa fosfat yang terdapat pada perairan bersumber dari hasil pelapukan batuan mineral seperti Fluoropatite (Ca5(PO4)3F), Hydroxylapatite

(Ca5(PO4)3 OH) dan Whytlockite (Ca3(PO4)2) dan dari hasil dekomposisi sisa-sisa

organisme di dalam air. Selain sumber alami, senyawa fosfat juga dapat bersumber dari faktor antropogenik yang antara lain berasal dari limbah rumah tangga seperti deterjen, limbah pertanian (pupuk), limbah perikanan dan limbah industri. Sawyer dan Mc.Carty (1978) menyatakan bahwa senyawa fosfor anorganik yang terdapat pada perairan berada dalam dua bentuk, yakni : a) dalam bentuk ortofosfat, yang terdiri dari trinatrium fosfat (Na3PO4), dinatrium fosfat

(Na2HPO4), mononatrium fosfat (NaH2HPO4) dan diamonium fosfat

(NH3)2HPO4): b) dalam bentuk polyfosfat, yang terdiri dari natrium

hexametafosfat (Na3(PO3)6) dan natrium tripolifosfat (Na5P3O10).

Orthofosfat merupakan bentuk senyawa fosfat yang dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan akuatik secara langsung sebagai sumber fosfat, sedangkan poly fosfat merupakan senyawa yang tidak dapat dimanfaatkan tumbuhan secara


(1)

46.3 8 N- Total 0,

34 0, 31 0, 21 0, 29 0, 17 0, 41 0, 25 0, 31 0, 23 mg/ L JIS K0102-45.2 POSISI C N O PARAM ETER 0 - 0 0 - 4 0 - 8 15 0 15 - 4 15 - 8 30 - 0 30 - 4 30 - 8 Satu an Metode

1 pH 6,

16 6, 14 6, 16 6, 14 6, 14 6, 15 6, 73 6, 73 6, 73 Potensio metri

2 Suhu 25

,1 25 ,2 25 ,0 25 ,2 25 ,2 25 ,2 25 ,0 25 ,0 25 ,0 0

C Potensio metri 3 TDS 64 60 64 62 64 61 61 61 64 mg/

L

Kondukti metri

4 DO 5,

9 5, 9 5, 7 5, 7 5, 7 5, 7 5, 9 5, 9 5, 9 mg/ L Gravimet ri

5 BOD 0,

61 0, 74 0, 74 0, 61 0, 86 0, 61 0, 61 0, 74 0, 74 mg/ L JIS K0102-21

6 COD 1,

04 1, 25 1, 25 1, 04 1, 46 1, 04 1, 04 1, 25 1, 25 mg/ L Colorime tri Determin ation 7 T-PO4 <0

,1 <0 ,1 <0 ,1 <0 ,1 <0 ,1 <0 ,1 <0 ,1 <0 ,1 <0 ,1 mg/ L JIS K0102-46.3 8 N- Total 0,

38 0, 38 0, 36 0, 43 0, 34 0, 32 0, 32 0, 55 0, 41 mg/ L JIS K0102-45.2 POSISI D N O PARAM ETER 0 - 0 0 - 4 0 - 8 15 0 15 - 4 15 - 8 30 - 0 30 - 4 30 - 8 Satu an Metode

1 pH 6,

21 6, 21 6, 21 6, 31 6, 31 6, 30 6, 19 6, 19 6, 19 Potensio metri

2 Suhu 25

,2 25 ,2 25 ,2 26 ,1 26 ,1 26 ,1 25 ,2 25 ,2 25 ,2 0

C Potensio metri 3 TDS 61 61 64 61 64 61 61 64 64 mg/

L

Kondukti metri

4 DO 5,

5 5, 5 5, 4 5, 4 5, 4 5, 3 5, 1 5, 2 5, 1 mg/ L Gravimet ri

5 BOD 0,

48 0, 97 1, 21 0, 74 0, 85 0, 85 1, 09 1, 09 0, 12 mg/ L JIS K0102-21


(2)

82 64 05 23 43 43 84 84 20 L tri Determin ation 7 T-PO4 <0

,1 <0 ,1

<0 ,1

<0 ,1

<0 ,1

<0 ,1

<0 ,1

<0 ,1

<0 ,1

mg/ L

JIS K0102-46.3 8 N- Total 0,

36 0, 37

0, 57

0, 34

0, 38

0, 29

0, 31

0, 30

0, 46

mg/ L

JIS K0102-45.2


(3)

(4)

(5)

(6)