menghasilkan pelepasan N-NH
4 +
yang merupakan bentuk akhir dari senyawa N dan bersifat stabil dalam lapisan tereduksi. Dalam tanah tergenang, laju
mineralisasi N sisa-sisa tanaman yang diberikan ke dalam tanah ditentukan terutama oleh nisbah LN-nya Becker et al., 1994.
Suplai N melalui mineralisasi bahan organik tanah telah diteliti oleh Stanford dan Smith 1972. Mereka melakukan percobaan di laboratorium untuk
menentukan besarnya N yang dimineralisasi atau dilepaskan dari bahan organik tanah. Smith et al. 1977 juga telah melakukan percobaan di lapang dengan
mengukur jumlah N mineral dalam pot-pot yang berisi tanah tanpa tanaman yang dibenamkan ke dalam tanah. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa potensi
mineralisasi N tanah di lapang sesuai dengan hasil pengukuran dari percobaan laboratorium. Percobaan ini menunjukkan bahwa sebagian dari N dalam tanah
berasal dari proses mineralisasi senyawa N yang mudah dimineralisasi, dan sisanya diasumsikan sebagai bentuk senyawa N yang tidak tersedia dan tetap
berada dalam bahan organik tanah yang relatif stabil.
2.3.3. Nitrogen terlarut dan dapat dipertukarkan
Nitrogen terlarut dan dapat dipertukarkan N-tersedia merupakan fraksi N yang sangat penting sebagai nutrisi tanaman. Sumber utama dari N-tersedia
berasal dari pupuk dan N hasil mineralisasi. Nitrogen-NH
4 +
yang dibebaskan selama pelapukan sisa-sisa tanaman, dengan cepat dijerap pada kompleks
pertukaran kation dan berada dalam keseimbangan dengan N-NH
4 +
dalam larutan tanah. Proporsi relatif dari kedua bentuk N tersebut sebagian besar diatur oleh
kapasitas pertukaran kation KTK tanah Mikkelsen, 1987; Ando et al., 1996 dan sifat dari kompleks pertukaran kation Nagarajah, 1997. Beberapa dari N-
NH
4 +
juga berada dalam bentuk tidak dapat dipertukarkan terperangkap dalam kisi-kisi mineral liat. Proses ini terjadi dalam tanah yang banyak mengandung
mineral liat 2:1 seperti vermikulit dan illit. Setelah beberapa hari penggenangan, konsentrasi N-NH
4 +
dapat dipertukarkan dalam tanah dapat meningkat karena mineralisasi bahan organik
tanah dan pelepasan N-NH
4 +
yang terfiksasi dalam kisi mineral liat. Menurut Mikkelsen 1987 pemberian jerami padi akan menurunkan tingkat N tersedia
karena imobilisasi, segera setelah diberikan ke dalam tanah. Tetapi setelah
periode waktu tertentu N yang terimobilisasi tersebut akan dilepaskan kembali melalui mineralisasi sehingga menjadi tersedia bagi tanaman padi.
2.3.4. Penambatan Fiksas i N
2
Secara Biologi
Dalam sistem pertanian subsisten di banyak bagian dari Asia tropis, usaha tani padi sawah telah dilakukan secara terus menerus selama berabad-abad
tanpa pemberian pupuk N tanpa memperlihatkan penurunan konsentrasi N tanah yang nyata. Di antara proses-proses yang turut menyumbang suplai N di lahan
sawah, penambatan N
2
secara biologi dianggap sebagai faktor penting dalam mempertahankan kesuburan N tanah. Data neraca N dari beberapa percobaan
jangka panjang di lapang menunjukkan bahwa sumbangan penambatan N secara biologi ke dalam tanah selama musim pertanaman padi sawah berkisar dari 19
sampai 38 kg N ha
-1
di Jepang, dan 30 sampai 52 kg N ha
-1
di Philipina. Sumbangan N ini terutama berasal dari jasad renik asli indigenous yang bersifat
asosiatif dan penambat N
2
yang hidup bebas, yang meliputi bakteri heterotrof dan fototrof serta cyanobakteri alga hijau-biru yang ada dalam sistem tanah-
tanaman-air genangan lahan sawah Kundu dan Ladha, 1995. Sumber unsur hara N terbesar adalah N
2
udara yang merupakan 80 dari atmosfer bumi. Akan tetapi sebagian besar organisme hanya dapat menggunakan
N yang bersenyawa dengan atom-atom lainnya untuk membentuk suatu ion seperti NH
4 +
atau NO
3 -
. Bentuk N sebagai N
2
tidak dapat digunakan secara langsung oleh sebagian besar tanaman karena adanya ikatan rangkap tiga yang membuatnya
menjadi molekul yang bersifat inert Deacon, 2003. Gas N
2
ini sangat stabil dan tersedia melimpah bagi organisme yang mampu memanfaatkannya. Penambatan
atau fiksasi N
2
secara biologi dapat mengkonversikan gas N
2
menjadi N organik melalui aktivitas organisme tertentu, baik aerob maupun anaerob, yang memiliki
enzim nitrogenase. Dengan demikian penambatan N
2
secara biologi menjadi sumber N utama bagi lahan sawah dalam system pertanian padi sawah yang
bersifat tradisional dan subsisten. Nitrogenase merupakan enzim yang sangat sensitif terhadap O
2
Bergesen, 1980. Ekosistem sawah sangat cocok untuk proses fiksasi N
2
karena tegangan O
2
dalam ekosistem sawah rendah. Fiksasi N
2
dapat terjadi dalam air genangan, lapisan tanah aerob, lapisan tanah anaerob, rhizosfer tanaman yang oksidatif, pada
permukaan daun dan batang tanaman Reddy dan Graetz, 1988. Fiksasi N
2
pada kondisi sawah dapat dilakukan oleh bakteri non-simbiotik alga hijau-biru, dan
pada kondisi lahan kering dilakukan oleh bakteri simbiotik dari genus Rhizobium, atau oleh aktinomisetes. Roger dan Watanabe 1986 mengklasifikasikan
organisme penambat N
2
secara ekologi menjadi : 1 tiga kelompok jasad renik autotrof yang terdiri dari bakteri fotosintetik, alga hijau biru yang hidup bebas
non-simbiotik, dan Anabaena azollae sp. yang berasosiasi dengan tanaman paku air Azolla, dan 2 tiga kelompok jasad renik heterotrof yang terdiri dari bakteri
penambat N
2
dalam tanah aerob, anaerob fakultatif dan anaerob obligat yang hidup bebas, bakteri penambat N
2
yang berasosiasi dengan akar-akar tanaman padi, dan organisme yang bersimbiose dengan legum Rhizobium. Sampai saat
ini hanya tanaman legum yang mampu menambat N
2
dan pupuk hijau Azolla yang digunakan sebagai sumber N bagi tanaman padi melalui penambatan N
2
secara biologi Mikkelsen et al., 1995.
Menurut Kundu dan Ladha 1995 tanah yang sangat reduktif yang tercipta karena penggenangan secara terus -menerus selama masa pertumbuhan
tanaman padi dan pelumpuran yang intens memberikan pengaruh yang kurang baik bagi bakteri penambat N asli indigenous dalam tanah sawah. Oleh karena
itu, sistem yang dapat mendorong atau meningkatkan penambatan N
2
akan sangat membantu mempertahankan kesuburan N pada tanah-tanah sawah Ladha dan
Kundu, 1997. Selain pemberian pupuk hijau dari tanaman yang mampu menambat N
2
seperti Sesbania dan Azolla, pemberian sisa tanaman dengan nisbah CN yang besar seperti halnya jerami padi juga dapat meningkatkan penambatan
N
2
. Jerami padi merupakan sumber energi yang baik bagi bakteri heterotrof, dan pengembalian jerami padi ke dalam lahan sawah secara nyata dapat meningkatkan
fiksasi N
2
oleh bakteri heterotrof maupun fototrof Matsuguchi, 1979; Ventura et al., 1986; Adachi et al., 1997. Roger dan Ladha 1990 juga menyatakan bahwa
pemberian jerami ke dalam tanah dapat memberikan N sebesar 2-4 kg N untuk setiap ton jerami. Hal ini menurut Ponnamperuma 1984 karena pemberian
jerami padi dan N mineral meningkatkan populasi bakteri aerob penambat N
2
. Selain itu Greenland 1997 menyatakan bahwa aktivitas bakteri penambat N
2
dan alga hijau-biru ditentukan oleh kondisi lingkungan tempat tumbuhnya. Aktivitas
mereka sebagian besar tergantung pada ketersediaan fosfor P dalam tanah sawah tetapi konsentrasi N yang tinggi dalam tanah sawah cenderung menghambat
fiksasi N
2
. 2.3.5.
Volatilisasi Amonia
Volatilisasi ammonia NH
3
merupakan mekanisme kehilangan N yang penting dalam sistem pertanaman yang dipupuk. Menurut Mikkelsen 1987
faktor-faktor dominan yang memengaruhi volatilisasi NH
3
adalah pH tanah dan pe - log konsentrasi elektron, tekanan parsial CO
2
p CO
2
dan kimia karbonat, sifat pertukaran kation dan aktivitas jasad renik. Selain itu, kecepatan angin,
konsentrasi NH
3
terlarut dan tekanan parsial NH
3
dalam air dan udara, suhu udara dan radiasi langsung juga memengaruhi volatilisasi NH
3
. Menurut Zhenghu dan Honglang 2000 laju volatilisasi ammonia berkorelasi positif dengan pH tanah,
kandungan CaCO
3
, dan garam total, tetapi berorelasi negatif dengan kandungan bahan organik, KTK, dan kandungan liat. Dari ketiga faktor yang berkorelasi
negatif, KTK merupakan faktor yang korelasinya sangat tinggi dengan volatilisasi ammonia, sedangkan faktor pH tanah merupakan faktor yang dominan di antara
ketiga faktor yang berkorelasi positif. Menurut Zhenghu dan Honglang 2000 bahan organik berpengaruh secara tidak langsung pada penurunan volatilisasi
ammonia melalui pengaruhnya terhadap penurunan pH tanah dan meningkatnya KTK tanah karena adanya pembentukan berbagai asam-asam organik dan humus
selama proses dekomposisi bahan organik. Amonia yang dihasilkan dalam sistem karbonat aquatik melibatkan reaksi berikut Mikkelsen et al., 1978:
NH
4 +
+ OH
-
NH
3 aq
+ H
2
O NH
4 +
+ HCO
3 -
NH
3 aq
+ H
2
O + CO
2
2NH
4 +
+ CO
3 2-
2NH
3 aq
+ H
2
O + CO
2
Volatilisasi ammonia terjadi bila pH air genangan meningkat di atas pH 7,5 Greenland, 1997. Hilangnya gas CO
2
yang meningkat karena meningkatnya suhu air genangan pada siang hari dapat menyebabkan pH meningkat. Akan
tetapi penyebab utama peningkatan pH dalam air genangan tanah sawah adalah pertumbuhan alga atau adanya proses biologi yang berlawanan yaitu fotosintesis
dan respirasi Greenland, 1997. Respirasi dan fotosintesis menyebabkan
perubahan tekanan parsial CO
2
dalam air genangan, dan sistem karbonat ini sangat menentukan pH air. Nilai pH air genangan ditentukan oleh konsentrasi CO
2
dalam air Manahan, 1994. Sistem karbonat atau sistem CO
2
- HCO
3 -
- CO
3 2-
dalam air digambarkan oleh reaksi berikut dan konstanta kesetimbangannya Manahan,
1994: CO
2
+ H
2
O HCO
3 -
+ H
+
K
1
= 4,45 x 10
-7
pK
1
= 6,35 HCO
3 -
CO
3 2-
+ H
+
K
2
= 4,69 x 10
-11
pK
2
= 10,33 Dari persamaan di atas, bila fotosintesis aktif maka akan terjadi penurunan
konsentrasi CO
2
dalam sistem dan hal ini menyebabkan persentase fraksi mol asam karbonat meningkat, akibatnya pH sistem meningkat. Tingkat perubahan
pH yang disebabkan oleh jasad renik ditentukan oleh jumlah, jenis dan aktivitas organisme yang ada. Korelasi antara pH air dan sistem asam karbonat bersifat
kompleks dan tidak dapat digambarkan secara lengkap tanpa mempertimbangkan sejumlah variabel. Dengan memperhatikan reaksi biokimia dari jasad renik
aquatik, reaksi yang paling sederhana adalah : fotosintesis
n CO
2
+ n H
2
O CH
2
On + n O
2
respirasi Setiap hari terjadi fluktuasi pH dalam air genangan dari 7,5 – 9,5 dan nilai pH
maksimum terjadi kira-kira pada pukul 14.00 dan menurun sepanjang sore hari. Pola perubahan pH ini sesuai dengan siklus fotosintesis dan respirasi dari jasad
renik aquatik Mikkelsen, 1987. Amonia dan bentuk ionnya NH
4 +
merupakan hasil dekomposisi bahan organik tanah dan sisa-sisa tanaman yang terjadi dalam perairan alami.
Penggunaan pupuk N pada lahan sawah juga menyebabkan konsentrasi garam N- NH
4 +
terlarut meningkat. Pupuk ammonium dalam air dapat berdisosiasi langsung, atau seperti urea terdekomposisi melalui hidrolisis katalitik
menghasilkan ion-ion NH
4 +
. Ion-ion NH
4 +
, yang memiliki ikatan sangat lemah dengan molekul air, dominan dalam air dengan pH di atas 7,2. Dengan
meningkatnya konsentrasi ion hidroksil OH
-
dalam air, maka terjadi peningkatan perubahan ion NH
4 +
menjadi NH
3
yang dapat menghilang dari air dalam bentuk gas Mikkelsen et al., 1978. Ventura dan Yoshida 1977 mengukur volatilisasi
NH
3
dari sumber N yang berbeda pada tanah liat tergenang, dan menyatakan bahwa kehilangan NH
3
pada dasarnya terjadi selama sembilan hari pertama setelah pemberian pupuk N. Kehilangan tersebut kecil bila pH tanah di bawah
7,4. Percobaan lapang yang mereka lakukan menunjukkan bahwa kehilangan N setelah pemberian 100 kg Nha dengan cara disebar adalah sebesar 3,8 untuk
ammonium sulfat ZA dan 8,2 dengan pemberian urea. Menurut Vlek dan Stumpe 1978 volatilisasi NH
3
dari tanah yang dipupuk urea lebih besar daripada tanah yang dipupuk ammonium sulfat. Hal ini terjadi karena hidrolisis urea dalam
tanah mendorong terciptanya lingkungan yang ideal untuk volatilisasi, yaitu alkalinitas dan pH yang tinggi. Volatilisasi ammonia berkurang 50 bila pupuk
dimasukkan ke dalam tanah.
2.3.6. Nitrifikasi dan Denitrifikasi