merupakan bahasa melayu yang telah dijadikan bahasa resmi Republik Indonesia dan bahasa persatuan bangsa Indonesia.
2.2 Bahasa Indonesia Yang Baik
Bahasa Indonesia yang baik adalah bahasa Indonesia yang digunakan sesuai dengan norma kemasyarakatan yang berlaku. Misalnya,
dalam situasi santai dan akrab, seperti di warung kopi, di pasar, di tempat arisan, dan di lapangan sepak bola hendaklah digunakan bahasa Indonesia
yang santai dan akrab yang tidak terlalu terikat oleh patokan. Dalam situasi resmi dan formal, seperti dalam kuliah, dalam seminar, dalam
sidang DPR, dan dalam pidato kenegaraan hendaklah digunakan bahasa Indonesia yang resmi dan formal, yang selalu memperhatikan norma
bahasa.
2.3 Bahasa Indonesia Yang Benar
Bahasa Indonesia yang benar adalah bahasa Indonesia yang digunakan sesuai dengan aturan atau kaidah bahas Indoneia yang berlaku.
Kaidah bahasa Indonesia itu meliputi kaidah ejaan, kaidah pembentukan kata, kaidah penyusunan kalimat, kaidah penyusunan paragraf, dan kaidah
penataan penalaran. Jika kaidah ejaan digunakan dengan cermat, kaidah pembentukan kata ditaati dengan konsisten, pemakaian bahasa Indonesia
dikatakan benar. Sebaliknya, jika kaidah-kaidah bahasa itu kurang ditaati, pemakaian bahasa tersebut dianggap tidak benartidak baku.
Oleh karena itu, kaidah yang mengatur pemakaian bahasa itu meliputi kaidah pembentukan kata, pemilihan kata, penyusunan kalimat,
pembentukan paragraf, penataan penalran, serta penerapan ejaan yang disempurnakan. Kaidah-kaidah itu diungkapkan lebih lanjut pada bagian
lain, dengan dilengkapi contoh yang salah dan contoh yang benar.
6
2.4 Bahasa Indonesia Yang Baik dan Benar
Bahasa Indonesia yang baik dan benar adalah bahasa Indonesia yang digunakan sesusai dengan norma kemasyarakatan yan berlaku dan
sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Indonesia. Jika bahasa diibaratkan pakaian, kita akan menggunakan pakaian renang
pada saat akan berenang di kolam renang sambil membimbing anak-anak belajar berenang. Akan tetapi, tentu kita akan mengenakan pakaian yang
disetrika rapi, sepatu yang mengkilat, dan seorang laki-laki mungkin akan menambahkan dasi yang bagus pada saat ia menghadiri suatu pertemuan
resmi, pada saat menghadiri pesta perkawinan rekan sejawat, atau pada saat menghadiri sidang DPR.
Akan sangat ganjil bukan, jika pakaian yang disetrika, sepatu mengkilap, dasi, dan sebagainya itu digunakan untuk berenang. Demikian
juga kita akan dinilai sebagai orang yang kurang adab jika menghadiri acara dengar pendapat di DPR dengan pakaian renang karena di sana ada
ketentuan yang sudah disepakati bahwa siapa pun yang akan menghadiri acara resmi di DPR harus berpakaian rapi. Barangkali kita masih ingat
kasus seorang pengusaha sukses, yang oleh petugas protokol ditolak menghadiri acara dengar pendapat di DPR karena pengusaha yang
nyentrik itu tidak menggunakan pakian rapi. Kalau contoh itu dianalogikan dengan pemakaian bahasa, betapa
ganjilnya percakapan seorang suami dengan istrinya jika berlangsung seperti berikut:
Suami :Bu, bolehkan Bapak bertanya, apakah Ibu sudah menyiapakan hidangan
untuk makan
siang hari
ini? Istri :Ya tentu saja. Saya sudah masak nasi lengkap dengan sayur
kesenangan Bapak, dan sekarang silakan Bapak menikmati hidangan
itu. Silakan Bapak menikmati hidangan yang sudah
7
disiapkan. Suami :Mari Bapak cicipi makanan ini. Oh, menurut hemat Bapak,
seandainya Ibu menambahkan sedikit garam ke dalam sayur ini, pasti sayur
tersebut akan
lebih lezat.
Istri :Mudah-mudahan pada kesempaan lain Ibu dapat membuat sayur
yang lebih enak sesuai dengan saran Bapak. Sebaliknya, bagaimana pendapat Anda jika seorang mahasiswa
pembicara bertanya kepada seorang dosen pendengar tentang materi kuliah yang diberikan dosen objek, pada saat kuliah waktu, di kampus
tempat, dalam situasi belajar-mengajar resmi sebagai berikiut: Maaf Mas, gue kepengen usul, coba jelasin dulu dong garis besar kuliah kita,
apa dah sesuai kurikulum universitas kita? Kedua contoh rekaan itu dapat dikatakan tidak tepat. Contoh
pertama sangat menggelikan karena pada situasi santai digunakan bahasa yang resmi sehingga terasa kaku; kasus kedua juga sangat tidak tepat
karena pada situasi formal digunkan kata-kata dialek dan struktur yang tidak baku ditetak miring sehingga mirip percakapan di warung kopi.
Kedua contoh itu tidak baik dan tidak benar karena bahasa yang digunakan tidak seuai dengan situasi pemakaian, lagi pula tidak sesuai dengan kaidah
bahasa. Begitu pula dengan pemakaian lafal daerah, seperti lafal bahasa
Jawa, Sunda, Bali, Batak, dan Banjar dalam bahasa Indonesia pada situasi resmi dan formal sebaiknya dikurangi.
Kata memuaskan diucapkan memuasken; pendidikan yang dilafalkan pendidian bukan lafal bahasa Indonesia. Kata kakak yang
dilafalkan kakak?; kata mie dilafalkan me tidak cocok dengan lafal bahasa Indonesia.
8
Pemakaian lafal asing sama saja salahnya dengan pemakaian lafal daerah. Ada orang yang sudah terbiasa mengucakan kata logis dan
sosiologi menajdi lohis dan sosiolohi. Ada lagi yang melafalkan kata sukses menjadi sakses; produk menjadi prodak; dan sebagainya.
Dalam sebuah papan nama tertulis, Dana Proyek ini berasal dari dana yang di himpun dari pajak yang anda bayar, imbuhan di pada kata di
himpun ditulis terpisah, padahal seharus serangkai yakni dihimpun. Sapaan anda seharusnya diawali dengan huruf besar; Anda.
Pemakaian kata daripada dalam kalimat, Saya tahu persis daerah ini merupakan basis daripada PKI tidak tepat. Ungkapan basis daripada
PKI termasuk ungkapan yang menyatakan milik tidak perlu menggunakan daripada. Begitu juga dalam kepemilikikan yang lain, seperti Pemimpin
daripada PLO, ketua dairpada KUD, pintu daripada rumah dan seterusnya.
Dalam bahasa Indonesia daripada digunakan dalam perbandingan, seperti Sikap Pemimpim PLO lebih keras daripada sikap Presiden Mesir
dalam menghadapi Israel.
2.5 Letak Penggunaan Bahasa Indonesia Dalam Kehidupan Sehari-hari