Analisis Yuridis Tentang Problematika Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum Berdasarkan Peraturan Presiden RI No. 36 Tahun 2005 Dan Peraturan Presiden RI No. 65 Tahun 2006

(1)

ANALISIS YURIDIS TENTANG PROBLEMATIKA

PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM

BERDASARKAN PERATURAN PRESIDEN RI

NO. 36 TAHUN 2005 DAN PERATURAN PRESIDEN RI

NO. 65 TAHUN 2006

T E S I S

Oleh

S A N I A H

087005120 / HK

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(2)

ANALISIS YURIDIS TENTANG PROBLEMATIKA

PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM

BERDASARKAN PERATURAN PRESIDEN RI

NO. 36 TAHUN 2005 DAN PERATURAN PRESIDEN RI

NO. 65 TAHUN 2006

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora

Pada Program Studi Magister Ilmu Hukum

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

S A N I A H

087005120/HK

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Judul Tesis : ANALISIS YURIDIS TENTANG PROBLEMATIKA

PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM BERDASARKAN PERATURAN PRESIDEN RI NO. 36 TAHUN 2005 DAN PERATURAN PRESIDEN RI

NO. 65 TAHUN 2006. Nama Mahasiswa : S a n i a h

Nomor Pokok : 087005120

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H. M.S. C.N.) K e t u a

(Prof. Dr. Runtung. S.H. M. Hum.) (Dr. Pendastaren Tarigan. S.H. MS).


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 13 Agustus 2010.

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH. MS. CN

Anggota : 1. Prof. Dr. Runtung, SH. M.Hum. 2. Dr. Pendastaren Tarigan, SH. MS.

3. Dr. Faisal Akbar Nasution, SH. M.Hum. 4. Dr. Agusmidah, SH. M.Hum.


(5)

ABSTRAK

Kebutuhan akan tanah terus meningkat dari waktu ke waktu seiring dengan pesatnya pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Namun sayangnya kebutuhan akan tanah dimaksud tidak dapat dipenuhi dengan mudah oleh pemerintah, karena tanah-tanah negara yang tersedia terbatas jumlahnya. Agar pembangunan tetap dapat terpelihara, khususnya pembangunan berbagai fasilitas untuk kepentingan umum yang memerlukan tanah, maka upaya dari pemerintah untuk memperoleh tanah-tanah tersebut dapat dilakukan dengan pengadaan tanah. Untuk hal dimaksud maka terbitlah Perpres RI No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum sebagaimana kemudian diubah dengan Perpres RI No. 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Perpres RI No. 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Sebagai peraturan operasional dari kedua Perpres tersebut maka diterbitkan Peraturan Ka. BPN No. 3 Tahun 2007. Ternyata Perpres pengadaan tanah ini masih menyimpan beberapa problema.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, dengan menggunakan pendekatan perundangan-undangan. Sumber data terdiri atas bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Untuk mengumpulkan data yang diperlukan dalam penelitian ini digunakan teknik penelitian kepustakaan (library research) dan alat yang dipakai untuk mengumpulkan data dimaksud adalah studi dokumen. Analisa data dilakukan dengan metode kualitatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlindungan hak-hak pemilik tanah dalam hal ganti rugi tanah untuk kepentingan umum menurut Perpres RI No. 36 Tahun 2005 dan Perpres RI No. 65 Tahun 2006 belum terlindungi sebab ganti rugi yang diberikan kepada pemilik tanah masih sebatas ganti rugi terhadap kerugian yang bersifat fisik, untuk kerugian yang sifatnya non fisik, peraturan pengadaan tanah dimaksud tidak menjelaskan apa dan bagaimana bentuk ganti kerugiannya. Selain itu Peraturan Ka. BPN No. 3 Tahun 2007 juga belum memberikan perlindungan kepada pemilik tanah dalam hal ganti rugi tanah, karena dinyatakan bahwa pembayaran ganti rugi dalam bentuk uang diberikan dalam waktu paling lama 60 (enam puluh ) hari sejak tanggal keputusan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi, akan tetapi peraturan Ka. BPN tersebut tidak menjelaskan bagaimana jika batas waktu tersebut terlampaui, sehingga dalam kondisi seperti ini pemilik tanah tidak mendapatkan kepastian hukum. Demi menunjang kelancaran jalannya pembangunan, keberadaan lembaga konsinyasi dalam pengadaan tanah masih diperlukan, namun penggunaannya disertai dengan alasan-alasan agar tidak merugikan pihak yang berhak atas ganti rugi.

Kata Kunci : Problematika, Pengadaan Tanah, Kepentingan Umum, Perpres RI No.36 Tahun 2005, Perpres RI No. 65 Tahun 2006.


(6)

ABSTRACT

The need for land keeps increasing from to time because of the rapid development implemented by the government. Unfortunately, this need for land cannot be easily met by the government because the availability of state-owned land is limited. In order to maintain the development, especially the development of various facilities for public use which needs lots of land, the attempt done by the government to obtain the land can be done through land provision. For this reason, the government issued the Presidential Regulation No. 36/2005 on Land Provision for the Implementation of Development for Public Use which was then amended with The Presidential Regulation No. 65/2006 on the Amendment of the Presidential Regulation No. 36/2005 on Land Provision for the Implementation of Development for Public Use. As the operational regulation for the two Presidential Regulations, the Regulation of Head of National Land Board (BPN) No.3/2007 was issued. In fact, this Presidential Regulation on land provision still has several problems.

This is a normative legal study with legislation-based approach. The data for this study consisted of primary, secondary and tertiary legal materials which were obtained through documentation study (library research). The data obtained were then analyzed through qualitative method.

The result of this study showed that the protection of the rights of the land owners in terms of land to be used for public use as The Government Issued The Presidential Regulation No. 36 Tahun 2005 and The Government Issued The Presidential Regulation No. 65 Tahun 2006, has not been protected, because the compensation given to the land owners is still in the compensation for physical loss, but not for the non physicall loss, is not explained. Biside, The Regulation of Head of National Land Board (BPN) No.3/2007 has not protected the land owner either in terms of compensation for land. Stating that the payment of compensation in the forms of cash is paid at the latest 60 days after the date of issuance of the decision about the form and the amount of the compensation. This regulation does not explain what if this deadline is exceeding that in this circumstance the land owner does not get legal certainty. To support the acceleration of development, the establishment of consignation institution in land provision is still needed; yet, its implementation must be based on the reasons which will never inflict a loss upon those who have the right to receive any compensation.

Key words: Problem, Land Provision, Public Interest, Presidential Regulation No. 36/2005, Presidential Regulation No. 65/2006


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah Yang Maha Kuasa yang telah mencurahkan Rahmah kasih sayang Nya dan berkat ridhoNya jualah penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini yang diberi judul “Analisis Yuridis Tentang Problematika Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum Bardasarkan Peraturan Presiden RI No. 36 Tahun 2005 Dan Peraturan Presiden RI No. 65 Tahun 2006”.

Pada kesempatan ini dengan rasa penuh hormat disertai dengan kerendahan hati, diucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada :

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc(CTM), Sp.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk dapat mengikuti pendidikan pada Program Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairunnisa. B. MSc, selaku Direktur Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara atas kesempatan yang diberikan menjadi salah satu mahasiswa pada Program Magister di Sekolah Pasca Sarjana.

3. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H. M. Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan juga sebagai anggota komisi pembimbing penulis, atas arahan dan bimbingan yang diberikan hingga akhirnya penulis dapat merampungkan penulisan tesis ini.

4. Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Bismar, Nst. S.H. M.H, atas segala arahan yang diberikan selama menuntut ilmu di Program Studi Magister Ilmu Hukum.


(8)

5. Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Ibu Prof. Dr. Sunarmi. S.H. M Hum, atas segala perhatian dan bimbingan yang diberikan selama menjadi mahasiswa pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin. S.H. M.H, C.N, selaku Ketua Komisi Pembimbing, ditengah kesibukannya masih meluangkan waktu dan mencurahkan perhatian untuk memberikan arahan serta bimbingan hingga akhirnya tesis ini dapat diselesaikan.

7. Bapak Dr. Pendastaren Tarigan. S.H. MS, selaku Anggota Komisi Pembimbing, ditengah-tengah kesibukannya bersedia meluangkan waktu dan mencurahkan perhatian untuk memberikan bimbingan, hingga akhirnya penulisan tesis ini dapat dirampungkan.

8. Bapak Dr. Faisal Akbar, Nst. S.H. M. Hum dan Ibu Dr. Agusmidah. S.H. M.Hum, selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan kritikan dan masukan.

9. Rekan-rekan seangkatan tahun 2008 dan rekan sejurusan Hukum Perdata, Nurhilmiyah, Dwi Hafni Meileni dan Rahmad Hidayat, Hrp yang tiada bosannya memberikan dukungan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.

Selanjutnya pada kesempatan ini diaturkan ucapan terima kasih dan sembah sujud kepada Ayah anda alm. H. OK. Madjrul dan Ibunda Hj. Aziah yang telah mendidik dan membina penulis dengan tulus ikhlas dan kasih sayang yang tidak terhingga dengan iringan doa yang tiada hentinya.


(9)

Kepada suami tercinta Mahfuz Azali yang telah memberi dorongan moril maupun materil kepada penulis untuk terus melanjutkan studi, diucapkan terima kasih yang tak terhingga.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada kakak, abang, adik-adik penulis : 1. dr. Nurhayati Madjrul. M.Kes.

2. O.K. Nazrin Madjrul. S.H.

3. Dr. Dra. Nurlela Madjrul. M. Hum. 4. Nurleli Madjrul, S.E.

5. Maziah Madjrul. S.E.

6. O.K. Fairuddin Madjrul. S.H. 7. Asnita Yani Madjrul. SKM.

8. Wiwik Nuraina Madjrul. S.Sos. yang tetap memberikan semangat, dukungan dan mendoakan penulis, hingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan studi.

Penulis menyadari sepenuhnya akan kekurangan yang terdapat di dalam penulisan tesis ini, masih sangat terbatas referensi yang ditelaah serta masih dangkalnya analisa yang dilakukan, oleh karenanya kritik dan saran yang konstruktif tetap diharapkan demi kesempurnaannya.

Akhir kata kepada Allah Yang Maha Sempurna penulis berserah diri semoga tesis ini ada manfaatnya.

Medan, Agustus 2010 Penulis,


(10)

RIWAYAT HIDUP

Nama : S a n i a h

Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 06 Desember 1960 Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Dosen Kopertis Wil. I DPK Pada STIE Nusa Bangsa

M e d a n

Status : Menikah

Agama : Islam

Alamat : Jl. Pasar II Kompleks TPI Blok AA No. 5

Tj. Sari Medan.

PENDIDIKAN FORMAL

1. SD. Dwiwarna Medan. Tamat Tahun 1972. 2. SMP Negeri III Medan. Tamat Tahun 1975 3. SMA Negeri V Medan. Tamat Tahun 1979.


(11)

DAFTAR ISI

ABSRAK ……… i

ABSTRACT ………. ii

KATA PENGANTAR ………... iii

RIWAYAT HIDUP ………... vii

DAFTAR ISI ……… viii

BAB I : PENDAHULUAN ………. 1

A. Latar Belakang ……… 1

B. Perumusan Masalah ………... 10

C. Tujuan Penelitian ……… 11

D. Manfaat Penelitian ……….. 11

E. Keaslian Penelitian ………. 12

F. Kerangka Teori Dan Konsepsional…... .……… 14

1. Kerangka Teori ………. 14

2. Konsepsional ………... 27

G. Metode Penelitian ………... 27

1. Sifat Dan Metode Pendekatan Penelitian ………. 27

2. Sumber Data ………… ……… 28

3. Teknik Dan Alat Pengumpul Data ……….. 29

4. Analisa Data ………. 29


(12)

BAB II : GANTI RUGI DI DALAM PENGADAAN TANAH 30

A. Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum ………….. 30

1. Landasan Hukum Pengadaan Tanah ……… 30

2. Asas-Asas Dalam Pengadaan Tanah ……… 36

3. Tata Cara Dalam Pengadaan Tanah ………. 41

B. Pengertian Dan Dasar Hukum Ganti Rugi ……… 57

C. Bentuk-Bentuk Ganti Rugi Dalam Pengadaan Tanah…… 61

D. Musyawarah Sebagai Dasar Penentuan Ganti Rugi …….. 70

E. Dasar Perhitungan Ganti Rugi ……… 78

BAB III : PENGATURAN TENTANG KONSINYASI ……… 87

A. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ……….. 87

1. Pengertian Dan Dasar Hukum ……… 87

2. Syarat-Syarat Sah Konsinyasi……… 89

3. Akibat Hukum Konsinyasi ……… 92

B. Konsinyasi Dalam Pengadaan Tanah ………. 94

BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN ………. 110

A. Kesimpulan ……….. 110

B. Saran ……… 111

DAFTAR PUSTAKA ………. 112


(13)

ABSTRAK

Kebutuhan akan tanah terus meningkat dari waktu ke waktu seiring dengan pesatnya pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Namun sayangnya kebutuhan akan tanah dimaksud tidak dapat dipenuhi dengan mudah oleh pemerintah, karena tanah-tanah negara yang tersedia terbatas jumlahnya. Agar pembangunan tetap dapat terpelihara, khususnya pembangunan berbagai fasilitas untuk kepentingan umum yang memerlukan tanah, maka upaya dari pemerintah untuk memperoleh tanah-tanah tersebut dapat dilakukan dengan pengadaan tanah. Untuk hal dimaksud maka terbitlah Perpres RI No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum sebagaimana kemudian diubah dengan Perpres RI No. 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Perpres RI No. 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Sebagai peraturan operasional dari kedua Perpres tersebut maka diterbitkan Peraturan Ka. BPN No. 3 Tahun 2007. Ternyata Perpres pengadaan tanah ini masih menyimpan beberapa problema.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, dengan menggunakan pendekatan perundangan-undangan. Sumber data terdiri atas bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Untuk mengumpulkan data yang diperlukan dalam penelitian ini digunakan teknik penelitian kepustakaan (library research) dan alat yang dipakai untuk mengumpulkan data dimaksud adalah studi dokumen. Analisa data dilakukan dengan metode kualitatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlindungan hak-hak pemilik tanah dalam hal ganti rugi tanah untuk kepentingan umum menurut Perpres RI No. 36 Tahun 2005 dan Perpres RI No. 65 Tahun 2006 belum terlindungi sebab ganti rugi yang diberikan kepada pemilik tanah masih sebatas ganti rugi terhadap kerugian yang bersifat fisik, untuk kerugian yang sifatnya non fisik, peraturan pengadaan tanah dimaksud tidak menjelaskan apa dan bagaimana bentuk ganti kerugiannya. Selain itu Peraturan Ka. BPN No. 3 Tahun 2007 juga belum memberikan perlindungan kepada pemilik tanah dalam hal ganti rugi tanah, karena dinyatakan bahwa pembayaran ganti rugi dalam bentuk uang diberikan dalam waktu paling lama 60 (enam puluh ) hari sejak tanggal keputusan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi, akan tetapi peraturan Ka. BPN tersebut tidak menjelaskan bagaimana jika batas waktu tersebut terlampaui, sehingga dalam kondisi seperti ini pemilik tanah tidak mendapatkan kepastian hukum. Demi menunjang kelancaran jalannya pembangunan, keberadaan lembaga konsinyasi dalam pengadaan tanah masih diperlukan, namun penggunaannya disertai dengan alasan-alasan agar tidak merugikan pihak yang berhak atas ganti rugi.

Kata Kunci : Problematika, Pengadaan Tanah, Kepentingan Umum, Perpres RI No.36 Tahun 2005, Perpres RI No. 65 Tahun 2006.


(14)

ABSTRACT

The need for land keeps increasing from to time because of the rapid development implemented by the government. Unfortunately, this need for land cannot be easily met by the government because the availability of state-owned land is limited. In order to maintain the development, especially the development of various facilities for public use which needs lots of land, the attempt done by the government to obtain the land can be done through land provision. For this reason, the government issued the Presidential Regulation No. 36/2005 on Land Provision for the Implementation of Development for Public Use which was then amended with The Presidential Regulation No. 65/2006 on the Amendment of the Presidential Regulation No. 36/2005 on Land Provision for the Implementation of Development for Public Use. As the operational regulation for the two Presidential Regulations, the Regulation of Head of National Land Board (BPN) No.3/2007 was issued. In fact, this Presidential Regulation on land provision still has several problems.

This is a normative legal study with legislation-based approach. The data for this study consisted of primary, secondary and tertiary legal materials which were obtained through documentation study (library research). The data obtained were then analyzed through qualitative method.

The result of this study showed that the protection of the rights of the land owners in terms of land to be used for public use as The Government Issued The Presidential Regulation No. 36 Tahun 2005 and The Government Issued The Presidential Regulation No. 65 Tahun 2006, has not been protected, because the compensation given to the land owners is still in the compensation for physical loss, but not for the non physicall loss, is not explained. Biside, The Regulation of Head of National Land Board (BPN) No.3/2007 has not protected the land owner either in terms of compensation for land. Stating that the payment of compensation in the forms of cash is paid at the latest 60 days after the date of issuance of the decision about the form and the amount of the compensation. This regulation does not explain what if this deadline is exceeding that in this circumstance the land owner does not get legal certainty. To support the acceleration of development, the establishment of consignation institution in land provision is still needed; yet, its implementation must be based on the reasons which will never inflict a loss upon those who have the right to receive any compensation.

Key words: Problem, Land Provision, Public Interest, Presidential Regulation No. 36/2005, Presidential Regulation No. 65/2006


(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dewasa ini masyarakat Indonesia sedang giat-giatnya melaksanakan pembangunan, sehingga kebutuhan akan tanah semakin meningkat pula. Kegiatan pembangunan terutama sekali pembangunan di bidang fisik baik di kota maupun di desa banyak memerlukan tanah sebagai tempat penampungan kegiatan pembangunan tersebut. Kebutuhan akan tersedianya tanah untuk keperluan pembangunan tersebut memberi peluang terjadinya pengambilalihan tanah untuk berbagai proyek, baik untuk kepentingan negara/kepentingan umum maupun untuk kepentingan bisnis, dalam skala besar maupun kecil.1 Karena tanah negara yang tersedia sudah tidak memadai lagi jumlahnya, maka untuk mendukung berbagai kepentingan tersebut di atas yang menjadi objeknya adalah tanah-tanah hak, baik yang dipunyai oleh orang perorangan, badan hukum, maupun masyarakat adat.2

Ada berbagai kepentingan yang kelihatannya saling bertentangan antara satu dengan yang lain berkenaan dengan persoalan tanah dalam pembangunan itu. Disatu pihak pembangunan sangat memerlukan tanah sebagai sarana utamanya, sedangkan dilain pihak sebagian besar dari warga masyarakat memerlukan juga tanah sebagai tempat pemukiman dan tempat mata pencahariannya.3 Bilamana tanah tersebut diambil begitu saja dan dipergunakan untuk keperluan pembangunan, maka jelas kita harus

1

Maria Sumardjono. Tanah Dalam Persfektif Hak Ekonomi SosialDan Budaya. Jakarta : Buku Kompas. 2007. Hal : 256.

2

Ibid.

3

Abdurrahman. Masalah Pencabutan Hak-Hak AtasTanah Dan Pembebasan Tanah Di Indonesia. Edisi Revisi. Bandung : Citra Aditya Bakti. 1991. Hal :9.


(16)

mengorbankan hak asasi warga masyarakat yang seharusnya jangan sampai terjadi dalam negara yang menganut prinsip “rule of law” , akan tetapi bilamana hal ini dibiarkan saja maka usaha - usaha pembangunan akan terhambat.

Agar pembangunan tetap dapat terpelihara, khususnya pembangunan berbagai fasilitas untuk kepentingan umum yang memerlukan tanah, maka upaya hukum dari pemerintah untuk memperoleh tanah-tanah tersebut dapat dilakukan diantaranya dengan pengadaan tanah.

Sebagai landasan hukum pengadaan tanah saat ini adalah Peraturan Presiden Republik Indonesia (Perpres) No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Perpres ini dimaksudkan sebagai pengganti Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1993, sebagaimana disebutkan pada konsideran huruf b “Bahwa pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum sebagaimana ditetapkan dengan Keppres No. 55 Tahun 1993 sudah tidak sesuai lagi sebagai landasan hukum dalam rangka melaksanakan pembangunan untuk kepentingan umum”.

Perpres RI No. 36 Tahun 2005 ini memperoleh reaksi luas dari masyarakat karena berbagai kelemahannya4, Peraturan Presiden yang baru ini mencerminkan sikap pemerintah yang represif dan otoriter karena secara paksa pemerintah dapat mencabut hak atas tanah milik rakyat, dengan mengatasnamakan kepentingan umum.5 Untuk selanjutnya Perpres RI No. 36 Tahun 2005 ini mengalami perubahan pada beberapa pasalnya, dengan diterbitkannya Perpres RI No. 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas

4

Maria. Sumardjono. Tanah Dalam Persfektif Hak Ekonomi Sosial Dan Budaya. Op cit. Hal : 280.

5

Tinjauan Yuridis PerPres No. 65 Tahun 2006 Perubahan Atas PerPres No. 36 Tahun 2005

Sebagai Peraturan Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan. Http : //blog Komunitas hukum.


(17)

Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Sebagai ketentuan pelaksana Perpres pengadaan tanah ini, maka pada tanggal 21 Mei 2007 diterbitkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional (Ka. BPN) No. 3 Tahun 2007, tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum sebagai telah diubah dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Yang dimaksud dengan pengadaan tanah ialah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah.6

Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah ialah kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti rugi atas dasar musyawarah.7

Ternyata Perpres tentang pengadaan tanah yang baru ini masih menyimpan beberapa problematika yang seharusnya jangan sampai terjadi. Salah satu diantara beberapa persoalan pokok yang sering dipermasalahkan di dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum adalah yang berkenaan dengan ganti rugi.

Dalam realitas empris harus diakui bahwa pelaksanaan pengadaan tanah masih ada persoalan yang sering menganjal, yaitu sulitnya menentukan harga ganti rugi tanah. Menurut Achmad Rubaie, alasannya karena pemilik tanah atau pemegang hak atas tanah

6

Pasal 1 angka 3 PerPres RI No. 65 Tahun 2006.

7


(18)

meminta harga yang sangat tinggi melebihi harga pasaran dan nilai jual objek pajak (NJOP),8 namun disisi lain tidak sedikit pemegang hak atas tanah terpaksa menerima ganti rugi dibawah nilai jual objek pajak (NJOP), misalnya terjadi pada proyek pengadaan tanah untuk kepentingan Mako Brimob Polda Sulawesi Selatan, dan proyek jalan tol Ujung Pandang.9

Pasal 1 angka 11 Perpres RI No. 36 Tahun 2005 menyatakan “Ganti rugi adalah penggantian terhadap kerugian baik bersifat fisik dan/atau non fisik sebagai akibat pengadaan tanah kepada yang mempunyai tanah, bangunan, tanaman, dan/atau benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah yang dapat memberikan kelangsungan hidup yang lebih baik dari tingkat kehidupan sosial ekonomi sebelum terkena pengadaan tanah”.

Rumusan ganti rugi pada pasal 1 angka 11 tersebut di atas, ada menyebutkan tentang ganti rugi yang bersifat non fisik. Jika dibandingkan dengan Keppres RI No. 55 Tahun 1993 melihatkan bahwa Perpres ini lebih maju dengan memperluas makna ganti rugi bahwa ganti rugi tidak hanya sebatas ganti rugi yang sifatnya kerugian fisik tetapi juga kerugian yang non fisik, hanya saja Perpres tentang pengadaan tanah ini tidak berhasil memberikan penjelasan lebih lanjut bentuk ganti rugi non fisik tersebut.

Pasal 13 PerPres RI No. 65 Tahun 2006 menyatakan “Bentuk ganti rugi dapat berupa : a). uang, dan/atau b). tanah pengganti, dan/atau c). pemukiman kembali, dan/atau d). gabungan dari 2 atau lebih ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam

8

Achmad Rubaie. Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum. Ed. Pertama. Cet. Pertama. Malang : Bayumedia Publishing. 2007. Hal : 11.

9

Aminuddin Salle. Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum. Cet. Pertama. Jogjakarta : Kreasi Total Media. 2007. Hal : 174.


(19)

huruf a, huruf b, dan huruf c, e). bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan”.

Pasal 45 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 2007 menyatakan :

Ganti rugi dalam bentuk selain uang sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 44 ayat 1 huruf b diberikan dalam bentuk :

a. tanah dan/atau bangunan pengganti atau pemukiman kembali, sesuai yang dikehendaki pemilik dan disepakati instansi pemerintah yang memerlukan tanah; b. tanah dan/atau bangunan dan/atau fasilitas lainnya dengan nilai paling kurang

sama dengan harta benda wakaf yang dilepaskan, bagi harta benda wakaf;

c. recognisi berupa pembangunan fasilitas umum atau bentuk lain yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat setempat, untuk tanah ulayat, atau;

d. sesuai keputusan pejabat yang berwenang, untuk tanah Instansi Pemerintah atau Pemerintah Daerah.

Perpres RI No. 65 Tahun 2006 dan Peraturan Ka. BPN No. 3 Tahun 2007, ada menyebutkan tentang bentuk ganti rugi yang berupa pemukiman kembali. Akan tetapi baik Perpres maupun Peraturan Ka. BPN No. 3 Tahun 2007 tersebut tidak memberikan perincian lebih lanjut tentang hal tersebut.

Berkaitan dengan bentuk ganti rugi yang berupa pemukiman kembali ini, perlu menjadi perhatian diantaranya bahwa pemilihan lokasi sedapat mungkin haruslah merupakan hasil kesepakatan atau musyawarah dengan pihak-pihak yang akan dipindahkan, kemudian lokasi yang baru tersebut haruslah dilengkapi dengan sarana dan prasarana atau fasilitas umum, sehingga dengan demikian akan dapat memberikan rasa aman dan nyaman kepada mereka yang akan memasuki pemukiman baru.

Masalah lain dari Perpres pengadaan tanah yang baru ini juga menarik untuk dicermati adalah persoalan lembaga penitipan uang ganti rugi kepada Pengadilan Negeri setempat atau yang selalu disebut dengan konsinyasi.


(20)

Pasal 10 Perpres RI No. 65 Tahun 2006 menyatakan :

1. Dalam hal kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak dapat dialihkan atau dipindahkan secara tehnis tata ruang ke tempat atau ke lokasi lain, maka musyawarah dilakukan dalam jangka waktu paling lama 120 hari (seratus dua puluh hari) kalender terhitung sejak tanggal undangan pertama.

2. Apabila setelah diadakan musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak tercapai kesepakatan, panitia pengadaan tanah menetapkan besarnya ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 huruf a dan menitipkan uang ganti rugi kepada pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi lokasi tanah yang bersangkutan.

3. Apabila terjadi sengketa kepemilikan setelah penetapan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat 2, maka panitia menitipkan uang ganti rugi kepada Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi lokasi tanah yang bersangkutan.

Lembaga konsinyasi adalah merupakan salah satu cara untuk menghapuskan perikatan sebagaimana diatur dalam pasal 1404 KUHPerdata yang merumuskan:

1. Jika kreditur menolak pembayaran, debitur dapat melakukan penawaran pembayaran tunai atas apa yang harus dibayarnya, dan jika kreditur juga menolaknya, maka debitur dapat menitipkan uang atau barangnya ke pengadilan. 2. Penawaran demikian, yang diikuti dengan penitipan, membebaskan debitur, dan

berlaku baginya sebagai pembayaran, asal penawaran itu dilakukan menurut undang-undang, sedangkan apa yang dititipkan secara demikian adalah atas tanggungan kreditur.

Penerapan dan penggunaan lembaga konsinyasi haruslah memperhatikan atau memenuhi persyaratan yang diatur dalam pasal 1405 KUHPerdata yaitu :

1. Bahwa ia dilakukan kepada seorang berpiutang atau kepada seorang yang berkuasa menerimanya untuk dia;

2. Bahwa ia dilakukan oleh seorang yang berkuasa membayar;

3. Bahwa ia mengenai semua uang pokok dan bunga yang dapat ditagih, beserta biaya yang telah ditetapkan dan mengenai sejumlah uang untuk biaya yang belum ditetapkan, dengan tidak mengurangi penetapan terkemudian;

4. Bahwa ketetapan waktu telah tiba, jika itu dibuat untuk kepentingan si berpiutang;

5. Bahwa syarat dengan mana utang telah dibuat, telah terpenuhi;

6. Bahwa penawaran dilakukan ditempat, dimana menurut perjanjian pembayaran harus dilakukan, dan jika tiada suatu perjanjian khusus mengenai itu, kepada si


(21)

berpiutang pribadi atau di tempat tinggal yang sungguh-sungguh atau di tempat tinggal yang telah dipilihnya;

7. Bahwa penawaran itu dilakukan oleh seorang Notaris atau Juru Sita, kedua-duanya disertai dua orang saksi.

Berpedoman kepada pasal 1404 KUHPerdata dan pasal 1405 KUHPerdata, Gunanegara memberikan pendapatnya, tidaklah tepat kedua pasal tersebut dijadikan dasar analogi sebagaimana dianut oleh pasal 10 Perpres RI No. 65 Tahun 2006, dengan alasan yuridis bahwa ketentuan pasal 1404 KUHPerdata dan pasal 1405 KUHPerdata adalah : 1). pengaturan untuk utang piutang dan tidak untuk pembayaran ganti rugi dalam rangka pengadaan tanah, 2). bahwa proses ganti rugi tidak ditetapkan sebelumnya dalam perjanjian tertulis, tetapi menggunakan mekanisme musyawarah yang apabila tercapai kata sepakat baru dirumuskan dalam Berita Acara Penetapan Gant Rugi.10

Menurut Maria Sumardjono, “Perpres pengadaan tanah ini telah keliru menerapkan konsep penitipan ganti kerugian pada pengadilan yang dianalogkan dengan konsep penitipan yang terkait utang piutang dalam pasal 1404 KUHPerdata”11, karena pengadaan tanah merupakan perbuatan pemerintah untuk memperoleh tanah dan bukan hubungan keperdataan antara para pihak.12 Disamping itu lembaga konsinyasi ini memperlihatkan adanya pemaksaan kehendak oleh panitia pengadaan tanah, serta mengabaikan prinsip kesetaraan antara pemegang hak atas tanah dengan pihak yang memerlukan tanah.13

10

Gunanegara. Rakyat Dan Negara Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan. Cet. Pertama. Jakarta : Tatanusa. 2008. Hal : 227.

11 Maria Sumardjono. Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan Implementasi. Edisi Revisi. Cet. Ke IV. Jakarta : Buku Kompas. 2006. Hal : 105.

12

Maria Sumardjono. Tanah Dalam Persfektif Hak Ekonomi SosialDan Budaya. Op cit. Hal : 275.

13

Syafruddin Kalo. Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Cet. I. Jakarta : Pustaka Bangsa. 2004. Hal : 109.


(22)

Berdasarkan pasal 10 Perpres RI No. 65 Tahun 2006 tersebut di atas bahwa penitipan uang ganti rugi kepada Pengadilan Negeri didasarkan pada dua alasan, yaitu kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum tidak dapat dipindahkan secara tehnis tata ruang ke lokasi lain dan musyawarah telah berjalan selama 120 hari kalender, namun tidak tercapai kata sepakat.

Selain itu konsinyasi hanya dapat dilakukan dalam hal-hal :14

a. yang berhak atas ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam pasal 43 ayat 1 tidak diketahui keberadaannya;

b. tanah, bangunan, tanaman, dan/atau benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah, sedang menjadi objek perkara di pengadilan dan belum memperoleh putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap;

c. masih dipersengketakan kepemilikannya dan belum ada kesepakatan penyelesaian dari para pihak, dan

d. tanah, bangunan, tanaman dan/atau benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah, sedang diletakkan sita oleh pihak yang berwenang.

Menurut Abdurrahman, “Konsinyasi lazimnya terjadi di dalam praktek dilakukan justru sebelum ada kesepakatan mengenai besar dan jumlah ganti kerugian yang dibayarkan dalam hal tidak terdapat kesepakatan antara panitia/pihak yang memerlukan tanah dengan pemegang hak atas tanah telah menitipkan sejumlah uang yang dihitung menurut taksiran mereka di kepaniteraan Pengadilan Negeri”.15

Dengan demikian sesungguhnya tidak dimungkinkan penitipan uang ganti rugi ke Pengadilan Negeri setempat jika pemegang hak atas tanah tidak menerima uang ganti rugi karena alasan-alasan tertentu.16

14

Pasal 48 ayat 1 Peraturan Ka. BPN No. 3 Tahun 2007.

15

Abdurrahman. Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Cet. Ke -1. Bandung : Citra Aditya Bakti. 1994. Hal : 66.

16

Ediwarman. Perlindungan Hukum Bagi Korban Kasus-Kasus Pertanahan. Medan : Pustaka Bangsa Press. 2003. Hal : 104.


(23)

Didasarkan kepada uraian-uraian di atas, menarik perhatian penulis untuk menganalisis lebih lanjut problematika pengadaan tanah tersebut yang didasarkan kepada Perpres RI No. 36 Tahun 2005 sebagaimana telah diubah dengan Perpres RI No. 65 Tahun 2006, dalam bentuk penelitian hukum normatif.

B. Perumusan Masalah.

Berdasarkan kepada latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan di dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana perlindungan hak-hak pemilik tanah dalam hal ganti rugi tanah untuk kepentingan umum menurut Perpres RI No. 36 Tahun 2005 dan Perpres RI No. 65 Tahun 2006 ?.

2. Bagaimana keberadaan lembaga konsinyasi di dalam pengadaan tanah menurut Perpres RI No. 36 Tahun 2005 dan Perpres RI No. 65 Tahun 2006.

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan di atas, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui perlindungan terhadap hak-hak pemilik tanah dalam hal ganti rugi tanah karena pengadaan tanah untuk kepentingan umum berdasarkan Perpres No. 36 Tahun 2005 dan Perpres No. 65 Tahun 2006.

2. Untuk mengetahui keberadaan lembaga konsinyasi di dalam pengadaan tanah berdasarkan Perpres RI No. 36 Tahun 2005 dan Perpres RI No. 65 Tahun 2006.


(24)

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat baik secara teoritis maupun secara praktis.

1. Secara teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu hukum, khususnya yang berkaitan dengan hukum pertanahan.

2. Secara praktis

Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai bahan masukan di dalam pembuatan undang-undang atau peraturan yang berkaitan dengan pengadaan tanah untuk kepentingan umum.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pemeriksaan terhadap hasil-hasil penelitian sebelumnya yang dilalukan oleh Perpustakaan Program Magister Ilmu Hukum, sepanjang pengetahuan penulis, penelitian dengan judul dan permasalahan yang persis sama belum ada ditemukan. Akan tetapi ada beberapa penelitian sebelumnya yang melakukan penelitian yang berkaitan dengan pembebasan atau pengadaan tanah antara lain :

1. EDIWARMAN, Mahasiswa Program Pasca Sarjana Jurusan Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, dengan judul tesis “ Pelaksanaan Ganti Rugi Tanah Dan Kaitannya Dengan Victimologi “ (Study Kasus di Kota Madya Medan). Tahun 1997.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan ganti rugi tanah di Kotamadya Medan ditinjau dari segi hukum belum sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, karena pembebasan tanah tidak dilakukan secara langsung oleh perusahaan kepada


(25)

pemilik tanah, tapi dilakukan dengan perantaraan calo. Sehingga musyawarah yang dilakukan dengan masyarakat cenderung kepada pemaksaan dan intimidasi. Disamping itu ganti rugi yang diterima oleh masyarakat belum sesuai dengan harga umum setempat. 2. JENDA INGAN MEHULI. Mahasiswa Program Pasca Sarjana, Jurusan Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, dengan judul tesis “Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Peusangan 1 Dan 2 Di. Kab. Aceh Tenggara”. Tahun 2001.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan pengadaan tanah untuk Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Peusangan 1 dan 2 menunjukkan bahwa mekanisme pengadaan tanah yang ditentukan oleh Keppres No. 55 Tahun 1993 tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya, musyawarah yang merupakan esensi dari pengadaan tanah tidak sebagaimana mestinya dilakukan. Penentuan bentuk dan besarnya ganti kerugian ditentukan dahulu, baru dimusyawarahkan sehingga ada sebagian pemilik hak atas tanah tidak mau menerima ganti rugi.

Faktor yang menjadi penghambat dalam pelaksanaan pengadaan tanah ini adalah para responden bermata pencaharian dari bertani dan berkebun, sehingga bila tanah mereka diambil, maka mereka tidak dapat lagi bekerja untuk menghidupi keluarga mereka, tanah merupakan jiwa mereka yang mereka yakini merupakan nilai magis religius.

3. LINDAWATI LEONARDI. Mahasiswa Program Pasca Sarjana, Jurusan Magister Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara, dengan judul tesis “Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum” (Study Mengenai Ganti Rugi Pengadaan Tanah Proyek Kanal (Flood Way) Sei. Deli – Sei Percut Medan ). Tahun 2005.


(26)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses musyawarah dalam menentukan bentuk dan besarnya ganti rugi tidak mencapai kesepakatan, masyarakat secara yuridis telah menerima bentuk dan besarnya ganti rugi, namun secara implisit mereka merasa kecewa dan diperlakukan tidak adil. Hambatan yang dihadapi dalam pengadaan tanah Proyek Kanal (Flood Way) Sei. Deli – Sei. Percut Medan ada 2 , yaitu hambatan non tehnis dan hambatan tehni. Hambatan non tehnis antara lain, berupa surat kepemilikan hak atas tanah yang akan diganti rugi kurang lengkap, dalam hal pemilik tanah, bangunan dan tanaman yang akan dibebaskan tidak berada ditempat, nilai ganti rugi dirasakan sebagian masyarakat pemegang hak atas tanah kurang sesuai dengan harga pasar, sehingga masyarakat melakukan upaya hukum, terhadap tanah yang dibebaskan sedang diikat dengan hak tanggungan, masih ada masyarakat yang menguasai secara fisik tanpa ada alas hak, ketidak akuratan pihak Panitia Pengadaan Tanah dalam melakukan inventarisasi. Hambatan tehnis antara lain adanya perobahan desain Proyek Kanal (Flood

Way) Sei. Deli – Sei. Percut Medan, terlalu cepatnya dilakukan pembayaran ganti rugi

sementara masyarakat masih ada yang tetap bertahan di lokasi, sehingga terjadi penggusuran dari proyek, proses pengukuran yang memakan waktu cukup lama dari pelaksanaan inventarisasi samapai kepada pembayaran ganti rugi, adanya tenggang waktu yang cukup lama dari penetapan lokasi sampai kepada realisasinya, dan adanya salah satu industri kertas yang terkena proyek.

E. Kerangka Teori dan Konsepsional 1. Kerangka Teori


(27)

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis si penulis mengenai sesuatu kasus atau permasalah (problem) yang dijadikan bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin ia setuju ataupun tidak disetujuinya yang dijadikan masukan dalam membuat kerangka berpikir dalam penulisan.17

Teori yang dipergunakan dalam penelitian tesis ini adalah teori hak menguasai negara dan teori keadilan yang dikemukan oleh Arsitoteles khusus keadilan distributif, yang dapat dijadikan sebagai pisau analisis pembahasan substansi tesis ini.

Untuk melaksanakan tujuan negara RI, negara mempunyai hubungan hukum dengan tanah diseluruh wilayah RI atas nama bangsa melalui peraturan perundang-undangan, yaitu UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960) dan peraturan pelaksanaannya.18 Hubungan hukum tersebut dinamakan hak menguasai negara. Hak ini tidak memberi kewenangan secara fisik dan menggunakannya seperti hak atas tanah, karena sifatnya semata-mata sebagai kewenangan publik sebagaimana dirumuskan dalam pasal 2 UUPA.19

Negara diberikan kewenangan untuk mengatur tanah dan unsur-unsur sumber daya alam lainnya yang merupakan kekayaan nasional. Dalam hal ini negara berwenang mengatur persediaan, perencanaan, penguasaan, dan penggunaan tanah, serta pemeliharaan tanah atas seluruh tanah di wilayah Republik Indonesia dengan tujuan agar dapat dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kewenangan tersebut

17

M. Solly, Lbs. Filsafat Ilmu Dan Penelitian. Cet. Ke- 1. Bandung : Mandar Maju. 1994. Hal : 80.

18

Penjelasan Umum UUPA.

19

Arie Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan. Kewenangan Pemerintah Di Bidang


(28)

dilaksanakan negara dalam kedudukannya sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat Indonesia atau berkedudukan sebagai badan penguasa.20

Pasal 2 ayat 2 UUPA No. 5 Tahun 1960 memberikan penjabaran lebih lanjut tentang pengertian hak menguasai negara yaitu :

a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa,

b. menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa,

c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan antara orang-orang dan perbuatan hukum mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Berdasarkan kepada pasal 2 UUPA tersebut di atas dapat diartikan bahwa UUPA menganut konsep negara menguasai, bukan memiliki dalam hubungan antara negara dengan tanah.21 Bachsan Mustapa mengatakan, “Istilah dikuasai yang digunakan oleh pasal 2 ayat 1 UUPA bukan berarti dimiliki, sebab negara tidak berfungsi sebagai pemilik tanah”.22

Hak menguasai negara meliputi seluruh tanah dalam wilayah Republik Indonesia, baik tanah-tanah yang tidak atau maupun sudah dihaki dengan hak perorangan. Tanah yang belum dihaki dengan hak perorangan oleh UUPA disebut dengan tanah-tanah yang dikuasai langsung negara atau tanah negara. Tanah-tanah yang sudah dipunyai dengan hak atas tanah disebut tanah hak.23 Dengan demikian tidak ada sejengkal tanah pun di

20

Boedi Harsono dalam Arie Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan. Ibid. Hal : 24.

21

Maria. S.W. Soemardjono. Kasus-Kasus Pengadaan Tanah Dalam Putusan Pengadilan Suatu

Tinjauan Yuridis. Mahkamah Agung RI. 1996. Hal : 88. 22

Bachsan Mustafa. Hukum Administrasi Negara Indonesia. Cet. Ke – 1. Bandung : Citra Aditya Bakti. 2001. Hal : 136.

23

http :// pengurusan – hat. Blog spot. Com /2008/08/ hak menguasai negara. Html. Diakses 29 – 03 – 2010.


(29)

negara ini merupakan apa yang disebut “res nullius” atau tanah tak bertuan atau tanah liar ( woeste gronden).24

Beranjak dari hak menguasai negara dan sebagai perwujudan asas fungsi sosial hak atas tanah, negara mempunyai kewenangan untuk kepentingan pembangunan demi kepentingan umum, mengambil hak atas tanah yang dimiliki atau dikuasai oleh masyarakat melalui lembaga pengadaan tanah. Pengadaan tanah hanya merupakan salah satu cara negara untuk memenuhi kebutuhan tanah guna melaksanakan pembangunan dan ditempuh negara ketika perbuatan hukum keperdataan mengalami kebuntuan.

Gunanegara mengatakan, “Adalah keliru apabila negara tidak mempunyai hak, karena pada dasarnya negara adalah pemegang hak (hak publik)”.25 J.J.Rosseau mengatakan bahwa “Ketika individu yang satu bergabung dengan individu yang lain, maka jadilah mereka masyarakat, dan ketika masyarakat yang satu bergabung dengan masyarakat yang lain jadilah mereka suatu negara, maka secara konseptual mereka telah menyerahkan sebagian hak individualnya kepada negara untuk diatur guna memberikan harmoni diantara mereka atau social order”.26

Konsep hak menguasai negara menurut teori perjanjian masyarakat ( du Contract

Social) sebagaimana dikemukakan oleh J.J. Rosseau yang didukung pendapat M. Kaser

dan P.B.J Wubbe menyatakan, “Bahwa milik perseorangan atas tanah diserahkan berdasarkan perjanjian masyarakat yang dijelmakan dengan hukum. Dalam kehidupan bernegara, seluruh kekayaan yang ada adalah milik publik dan dikuasakan oleh negara.

24

Syafruddin Kalo. Kapita Selekta Hukum Pertanahan Studi Tanah Perkebunan Di Sumatera

Utara. Medan : USU Press. 2005. Hal : 124. 25

Gunanegara. Rakyat Dan Negara Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan. Cet. Pertama. Jakarta : Tata Nusa. 2008. Hal : 18.

26


(30)

Hal ini berlaku pula terhadap setiap hubungan hukum termasuk negara sehingga negara mempunyai kewenangan hukum atas kepunyaan negara”.27

Dengan demikian, hubungan teori perjanjian masyarakat yang dikemukakan oleh

J.J. Rosseau dihubungkan dengan kewenangan negara untuk mengambil tanah-tanah

masyarakat melalui lembaga pengadaan tanah tidak lain adalah sebagai implementasi hak menguasai negara, tentunya pengambilan tanah-tanah tersebut dimanfaatkan untuk pembangunan demi kepentingan umum.

Berbicara masalah kepentingan umum bukanlah hal yang mudah untuk memberikan rumusannya, karena penilaiannya sangat subjektif yang terlalu abstrak untuk memahaminya.28 Selain itu istilah kepentingan umum merupakan suatu konsep yang bersifat begitu umum yang belum memberikan penjelasan secara lebih spesifik dan terinci untuk operasionalnya sesuai dengan makna yang terkandung di dalam istilah tersebut.29

Persoalan mengenai kepentingan umum secara konsepsional memang sulit untuk dirumuskan dan lebih-lebih kalau dilihat secara operasionalnya. Akan tetapi dalam rangka pengambilan tanah-tanah masyarakat, penegasan tentang kepentingan umum yang akan menjadi dasar dan kriterianya perlu ditentukan secara tegas sehingga pengambilan tanah-tanah dimaksud benar-benar sesuai dengan landasan hukum yang berlaku.30 Jika tidak dirumuskan atau diberikan kriteria dengan tegas, dikhawatirkan dapat menimbulkan penafsiran yang beragam.

27

Achmad Rubaie. Op cit. Hal : 14 – 15.

28

Achmad Rusyaidi. Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum : Antara Kepentingan Umum

Dan Perlindungan HAM. http : // prp makasar. Wordpress –Com/2009/02/13. Diakses 11 Maret 2010. 29

AA. OK. Mahendra. Menguak Masalah Hukum Demokrasi Dan Pertanahan. Cet. 1. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan. 1996. Hal : 279.

30

Abdurrahman. Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Cet. Ke- 1. Bandung : Citra Aditya Bakti. 1994. Hal : 36.


(31)

Pasal 1 angka 5 Perpres No. 36 Tahun 2005 menyatakan “Kepentingan umum adalah kepentingan sebagian besar masyarakat”.

Jika dicermati rumusan kepentingan umum tersebut di atas, definisi yang diberikan masih belum tuntas, batasannya tidak dirumuskan dengan tegas, masih memerlukan penjelasan lebih lanjut siapa yang dimaksud dengan sebagian besar lapisan masyarakat itu.31 Maria Sumardjono mengatakan “Rumusan kepentingan umum pada Perpres pengadaan tanah tersebut tanpa pembatasan”. JanGijssel mengemukakan pendapatnya bahwa “Kepentingan umum tidak mudah dirumuskan, karena kepentingan umum itu merupakan pengertian yang kabur (vage begrif) sehingga tidak mungkin diinstusionalisasikan ke dalam suatu norma hukum, yang apabila dipaksakan akibatnya akan menjadi norma kabur (vage normen)”.32

J.J.H. Bruggink menyatakan, “Bahwa kepentingan umum sebagai suatu pengertian yang kabur artinya suatu pengertian yang isinya tidak dapat ditetapkan secara tepat, sehingga lingkupnya tidak jelas”.33 Menurut Gunanegara cara cepat untuk mengenali arti kepentingan umum hanya dengan cara menemukan kriteria-kriteria dari kepentingan umum itu sendiri, dengan memberikan kriteria kepentingan umum yang tepat, maka kepentingan umum dalam pengadaan tanah tidak lagi berkembang atau dikembangkan sesuai kepentingan negara semata.34

Ada tiga prinsip yang dapat disimpulkan bahwa suatu kegiatan benar-benar untuk kepentingan umum, yaitu :35

31

Eka Irene Sihombing. Segi-Segi Hukum Tanah Nasional Dalam Pengadaan Tanah Untuk

Pembangunan. Cet. Ke. Dua. Jakarta : Universitas Trisakti. 2009. Hal : 141. 32

Jan Gijssel dalam Gunanegara. Op cit. Hal : 11.

33

Ibid.

34

Ibid. Hal : 12.

35

Adrian Sutedi. Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah Untuk


(32)

a. kegiatan pembangunan tersebut benar-benar dimiliki oleh pemerintah, b. kegiatan pembangunan tersebut dilakukan oleh pemerintah,

c. kegiatan pembangunan tersebut tidak mencari keuntungan ( non profit ).

Mengenai bentuk-bentuk kegiatan pembangunan yang mempunyai sifat kepentingan umum, disebutkan dalam pasal 5 Perpres RI No. 36 Tahun 2005 yaitu :

a. jalan umum, jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang atas tanah, ataupun di ruang bawah tanah), saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi;

b. bendungan, irigasi, dan bangunan pengairan lainnya; c. rumah sakit umum dan pusat kesehatan masyarakat; d. pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api dan terminal; e. peribadatan;

f. pendidikan atau sekolah; g. pasar umum;

h. fasilitas pemakaman umum; i. fasilitas keselamatan umum; j. pos dan telekomunikasi; k. sarana olah raga;

l. penyiaran radio, televisi dan sarana pendukungnya,

m. kantor pemerintah, pemerintah daerah, perwakilan negara asing, Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan atau lembaga-lembaga internasional di bawah naungan PBB. n. Fasilitas Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia

sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya; o. lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan; p. rumah susun sederhana;

q. tempat pembuangan sampah; r. cagar alam dan budaya; s. pertamanan;

t. panti sosial;

u. pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik.

Selanjutnya pasal 5 tersebut di atas telah mengalami perubahan yaitu dengan diterbitkannya Perpres RI No. 65 Tahun 2006. Pasal 5 Perpres RI No. 65 Tahun 2006 menyebutkan pembangunan untuk kepentingan umum yang dilaksanakan pemerintah atau pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, yang selanjutnya dimiliki atau akan dimilki oleh pemerintah atau pemerintah daerah, meliputi :


(33)

a. jalan umum dan jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang atas tanah, atau pun di ruang bawah tanah), saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi;

b. waduk, bendungan, bendungan irigasi dan bangunan pengairan lainnya; c. pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api, dan terminal;

d. fasilitas keselamatan umum, seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar, dan lain bencana;

e. tempat pembuangan sampah ; f. cagar alam dan budaya;

g. pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik.

Di Malaysia dalam akta Pengambilan Tanah disebutkan “Bahwa tanah dapat diambil untuk prasarana umum yang meliputi : 1). jalan, 2). transportasi kereta api, 3). penyediaan air, 4). gas perpipaan, 5). telekomunikasi, 6). penerangan jalan, 7). sistem pembuangan air limbah, 8). pekerjaan publik, 9). dan pelayanan publik sejenis”.36

Menurut The Acquisition of land Act 1967, Queensland, Australia, menentukan tanah dapat diambil alih untuk tujuan kepentingan umum antara lain : “ 1). pembangunan sekolah, 2). rumah sakit, 3). pelabuhan, 4). jembatan, 5). penerbangan, 6). lapangan parkir, 7). jalan, 8). saluran pembuangan limbah”.37

Kegiatan pembangunan nasional khususnya pembangunan berbagai fasilitas untuk kepentingan umum memerlukan bidang tanah yang cukup. Usaha-usaha pengembangan perkotaan baik berupa perluasan, pembukaan tempat pemukiman baru di pinggir kota, senantiasa membutuhkan tanah, hanya saja kebutuhan tersebut tidak dengan mudah dapat dipenuhi.

Untuk memenuhi kebutuhan akan pembangunan fisik tersebut, masyarakat sebagai pemegang hak atas tanah diharapkan dapat berperan serta dengan cara merelakan tanah yang dimilikinya untuk diserahkan kepada pihak yang membutuhkan, tentunya

36

Gunanegara. Op cit. Hal : 49.

37


(34)

dengan mengikuti ketentuan yang ada, sebab pada asasnya hak atas tanah itu mempunyai fungsi sosial, sebagaimana disebutkan di dalam pasal 6 UUPA No. 5 Tahun 1960.

Fungsi sosial berarti sesuatu dapat dimanfaatkan oleh orang lain dalam kehidupan sosial atau kehidupan bersama. Fungsi sosial hak atas tanah maksudnya adalah setiap hak atas tanah dapat dimanfaatkan oleh orang lain kalau dibutuhkan, bukan hanya oleh pemiliknya sendiri.38

Menurut Adrian Sutedi “Konsep fungsi sosial hak atas tanah menurut UUPA tidaklah berpangkal pada hak yang bersifat individualistis, tetapi UUPA beranggaban bahwa konsepsi fungsi sosial itu adalah sebagai jalan kompromi antara kepentingan individu dengan kepentingan masyarakat. Ini lah sifat hak atas tanah yang dualistis”.39

AP. Parlindungan berpendapat bahwa “Prinsip yang terdapat dalam pasal 6 UUPA No. 5 Tahun 1960 tersebut adalah prinsip dwi tunggal, artinya di dalam hak seseorang itu terkandung juga hak masyarakat, semakin kuat tekanan dari masyarakat (kepentingan umum) maka kepentingan perorangan harus mengalah”.40

Walaupun hak atas tanah yang dipunyai oleh seseorang atau badan hukum berfungsi sosial, hak atas tanah tersebut sesuai dengan hukum tanah nasional dilindungi dari gangguan pihak mana pun dan hak atas tanah tersebut tidak boleh dirampas dengan sewenang-wenang serta dengan secara melawan hukum termasuk oleh penguasa.

Perlindungan hukum terhadap hak atas tanah seseorang, dapat dicermati dari pasal 28 H ayat 4 UUD 1945 menyebutkan “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun”.

38

Maria. S.W. Soemardjono dan Martin Samosir. Hukum Pertanahan Dalam berbagai Aspek. Medan : Bina Media. 2000. Hal : 60.

39

Adrian Sutedi. Op cit. Hal : 80.

40

AP. Parlindungan. Bunga Rampai Hukum Agraria Serta Pelaksanaan Landreform. Bahagian I, Cet. Ke- 1. Bandung : Mandar Maju. 1989. Hal : 192.


(35)

Pasal 28 G ayat 1 UUD 1945 menyatakan “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”.

Apabila pemerintah menginginkan hak atas tanah masyarakat yang akan dipergunakan untuk pembangunan berbagai fasilitas bagi kepentingan umum, maka pengambilannya harus berpedoman kepada peraturan yang ada, sehingga dapat dirasakan adil oleh masyarakat. Menjadi pertanyaan apakah peraturan pengadaan tanah yang ada tersebut telah memenuhi rasa keadilan masyarakat yang tanahnya diambil atau dilepaskan ?.

Berbicara tentang keadilan, Aristoteles sebagai seorang murid Plato yang paling termasyhur41 memberikan sumbangan yang sangat besar bagi pemikiran tentang hukum dan keadilan serta membedakan keadilan satu diantaranya ialah keadilan distributif .

Keadilan distributif ialah menyangkut soal pembagian barang dan kehormatan kepada masing-masing orang sesuai dengan tempatnya dalam masyarakat. Ia menghendaki agar orang-orang yang mempunyai kedudukan sama memperoleh perlakuan yang sama pula dihadapan hukum.42 Menurut M. Solly keadilan distributif (distributive justice) berprinsip “Bahwa setiap orang harus mendapatkan apa yang menjadi haknya atau jatahnya”.43

Penulis memandang bahwa keadilan distributif sebagaimana yang dikemukakan oleh Aristoteles dan didukung oleh pendapat M. Solly. Lbs, dapat dijadikan pisau

41

Theo Huijbers. Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah. Jogjakarta : Kanisius. 1982. Hal : 25.

42

Friedman, 1953 dalam Satjipto Rahardjo. Ilmu Hukum. Cet. Ke IV. Bandung : Citra Aditya Bakti. 1996. Hal : 258.

43


(36)

analisis di dalam penelitian ini. Bahwa di dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum pemilik atau pemegang hak atas tanah harus mendapatkan apa yang menjadi haknya yaitu ganti rugi yang adil tatkala mereka telah melepaskan hak atas tanahnya.

Maria Sumardjono mengatakan, ganti rugi dapat disebut adil apabila keadaan setelah pengambilalihan tanah paling tidak kondisi sosial ekonominya setara dengan keadaan sebelumnya, disamping itu ada jaminan terhadap kelangsungan hidup mereka yang tergusur.44

Sejalan dengan apa yang dikemukakan di atas Achmad Rubaie mengatakan, “Asas keadilan dikonkritkan dalam pemberian ganti rugi, artinya dapat memulihkan kondisi sosial ekonomi mereka minimal setara atau setidaknya masyarakat tidak menjadi miskin dari sebelumnya”.45

Dalam kegiatan pengadaan tanah tersangkut kepentingan dua pihak, yaitu instansi pemerintah yang memerlukan tanah dan masyarakat yang tanahnya diperlukan untuk kegiatan pembangunan dimaksud. Oleh karena itu pengadaan tanah dimaksud haruslah dilakukan melalui proses yang menjamin tidak adanya pemaksaan kehendak dari satu pihak terhadap pihak yang lain, pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan tersebut harus dilakukan dengan mengindahkan asas keadilan.46

Dengan asas keadilan dimaksudkan bahwa kepada masyarakat yang terkena dampak diberikan ganti kerugian yang dapat memulihkan kondisi sosial ekonominya, minimal setara dengan keadaan semula, dengan memperhitungkan kerugian terhadap

44

Maria Soemardjono. Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan Implementasi. Op. cit Hal : 89.

45

Achmad Rubaie. Op cit. Hal : 31.

46

Maria Soemardjono. Tanah Dalam Persfektif Hak Ekonomi Sosial Dan Budaya. Op cit. Hal : 282.


(37)

faktor fisik maupun non fisik.47 Kerugian yang bersifat non fisik misalnya, hilangnya bidang usaha atau sumber penghasilan, hilangnya pekerjaan, dll. Disisi lain prinsip keadilan juga harus meliputi pihak yang membutuhkan tanah agar dapat memperoleh tanah sesuai dengan rencana peruntukkannya dan memperoleh perlindungan hukum.48

Dengan ditempatkannya asas keadilan di dalam peraturan pengadaan tanah, hal tersebut mencerminkan keadilan distributif sebagaimana dikemukakan oleh Aristoteles.

2. Konsepsional

Untuk mendapatkan pengertian yang sama terhadap istilah yang ditemui pada judul penelitian dan permasalahan, maka berikut ini akan dijabarkan definisi dari beberapa istilah yang digunakan.

a. Problematika adalah berbagai masalah di dalam pengadaan tanah. b. Pengadaan tanah adalah pengadaan tanah untuk kepentingan umum.

c. Kepentingan umum adalah suatu kepentingan yang menyangkut hajat hidup orang banyak yang bersifat non profit.

d. Ganti rugi adalah penggantian atas kerugian yang diderita oleh pemilik tanah yang diberikan terhadap hak atas tanah, bangunan, tanam-tanaman dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah sebagai akibat pengadaan tanah.

e. Perlindungan hak-hak pemilik tanah adalah perlindungan yang diberikan oleh Perpres RI No. 36 Tahun 2005 dan Perpres RI No. 65 Tahun 2006 terhadap hak-hak pemilik tanah.

f. Konsinyasi adalah penitipan uang ganti rugi di dalam pengadaan tanah kepada Pengadilan Negeri setempat.

47

Ibid.

48

Syafruddin Kalo. Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Op cit. Hal : 156.


(38)

F. Metode Penelitian.

1. Sifat dan Metode Pendekatan Penelitian.

Penelitian ini bersifat preskriptif, artinya suatu penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan saran-saran mengenai apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah tertentu.49 Pendekatan yang dipergunakan adalah pendekatan perundangan (statute approach). Pendekatan ini dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan permasalahan yang sedang diteliti.50

2. Sumber Data.

Di dalam penelitian ini sumber data terdiri atas :

a. Bahan hukum primer, yakni bahan hukum yang terdiri atas peraturan perundangan-undangan.51

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang terdiri atas buku-buku teks (text

books), jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum,

jurisprudensi, dan hasil-hasil simposium mutahir, yang berkaitan dengan permasalahan penelitian.52

c. Bahan hukum tersier, adalah bahan-bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Misalnya

49

Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Cet. Ke – 3. Jakarta : Universitas Indonesia. 1986. Hal : 10.

50

Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum. Cet. Ke – 3. Jakarta : Kencana Prenada Media Group. 2007. Hal : 93.

51

Jhony Ibrahim. Teori Dan Penelitian Hukum Normatif. Malang : Bayumedia Publising. 2006. Hal : 295.


(39)

abstrak perundang-undangan, eksiklopedi hukum, indeks majalah hukum, dan lain-lain.53

3. Tehnik dan Alat Pengumpul Data.

Untuk mengumpulkan data yang diperlukan dalam penelitian ini digunakan teknik penelitian kepustakaan (library research). Alat yang dipakai untuk mengumpulkan data adalah studi dokumen.

4. Analisa Data.

Analisa data di dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif. Dengan metode kualitatif dimaksudkan yaitu hasil penelitian diungkapkan dengan cara menggambarkan dengan kata-kata atau kalimat.54

53

Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Cet. Ke empat. Jakarta : Raja Grafindo Persada. 1995. Hal : 33.

54

Suharsimi Arikunto. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek Edisi Revisi III. Cet. Kesepuluh. Jakarta : Rineka Cipta. 1996. Hal : 243.


(40)

BAB II

GANTI RUGI DI DALAM PENGADAAN TANAH

A. Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum.

1. Landasan Hukum Pengadaan Tanah.

Kebutuhan akan tanah terus meningkat dari waktu ke waktu seiring dengan pertambahan penduduk dan semakin pesatnya pembangunan fisik di berbagai bidang yang dilakukan oleh pemerintah. Namun sayangnya kebutuhan akan tanah dimaksud tidak dapat dipenuhi dengan mudah oleh negara, karena tanah-tanah negara yang tersedia terbatas jumlahnya. Oleh karenanya tidak terelakkan lagi masyarakat diharapkan dapat berperan serta untuk merelakan tanah yang dimilikinya diambil oleh pemerintah untuk pembangunan demi kepentingan umum tersebut.

Pengambilan tanah-tanah masyarakat dimaksud harus dilakukan dengan landasan hukum yang jelas. Di dalam perkembangannya, landasan hukum pembebasan/pengadaan tanah telah mengalami proses perkembangan sejak unifikasi UUPA No. 5 Tahun 1960.

Diawali dengan diundangkannya UU No. 20 Tahun 1961 yang mengatur tentang pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya. UU No. 20 Tahun 1961 ini merupakan peraturan pelaksana pasal 18 UUPA No. 5 Tahun 1960, yang menyatakan “Untuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang”. Dengan kata lain kehadiran UU No. 20 Tahun 1961 ini tidak lain karena instruksi pasal 18 UUPA No. 5 tahun 1960 untuk segera menerbit undang-undang tentang pencabutan hak atas tanah.


(41)

Dengan berlakunya UU No. 20 Tahun 1961 ini, maka Onteigeningsordonnantie yang dimuat dalam S. 1920 No. 574, sebagaimana yang telah beberapa kali diubah dan ditambah dinyatakan dicabut.55

Penggunaan UU No. 20 Tahun 1961 dilakukan jika tanah yang bersangkutan diperlukan untuk menyelenggarakan kepentingan umum, dan tidak dimungkinkan menggunakan tanah yang lain, sedangkan musyawarah yang dilakukan tidak berhasil mencapai kesepakatan, dapat dilaksanakan pengambilan secara paksa, dalam arti tidak memerlukan persetujuan pemegang haknya.

Dalam seminar hukum pertanahan yang diselenggarakan oleh HKTI pada tahun 1978, dikatakan bahwa “Dalam praktek, penggunaan UU No. 20 Tahun 1961 jarang sekali dilaksanakan disebabkan adanya kemungkinan proses untuk mendapatkan tanah tersebut menjadi lama dan adanya usaha-usaha untuk menghindari tindakan-tindakan yang bersifat memaksa”.56

Dalam sejarah pencabutan hak atas tanah, UU No. 20 Tahun 1961 pernah digunakan yaitu dengan mencabut hak atas tanah atas daerah di Kec. Taman Sari yang terkenal dengan kompleks Yen Pin. Pencabutan dimaksud dilakukan dengan Keppres No. 2 tahun 1970 tanggal 06 januari 1970.57 Sebagai peraturan pelaksana UU No. 20 Tahun 1961 tersebut diterbitkan Instruksi Presiden RI No. 9 Tahun 1973 tanggal 17 – 11 – 1973.

Seterusnya pada tahun 1975 diterbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (PMDN) No. 15 Tahun 1975 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata Cara

55

Pasal 12 UU No. 20 Tahun 1961.

56

Adrian Sutedi. Op cit. Hal : 60.

57

AP. Parlindungan. Pencabutan Dan Pembebasan Hak AtasTanah Suatu Studi Perbandingan. Cet. I. Mandar Maju : Bandung. 1993. Hal :32.


(42)

Pembebasan Tanah. Dilanjutkan kemudian dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri (PMDN) No. 2 Tahun 1976 tentang Penggunaan Acara Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Pemerintah Bagi Pembebasan Tanah Oleh Pihak Swasta. Menyusul kemudian Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 1985 tentang Tata Cara Pengadaan Tanah Untuk Keperluan Proyek Pembangunan di Wilayah Kecamatan.

Dengan diterbitkannya PMDN No. 15 Tahun 1975 ini, telah dicabut Bijblad No. 11372 jo. No. 12476 yang mengatur tentang aparat yang melaksanakan pembebasan dan pemberian ganti rugi atas tanah yang diperlukan.58

Keberadaan PMDN No. 15 Tahun 1975 ini sejak semula sudah diperdebatkan keabsahannya dan sudah ramai dibicarakan mengenai kemungkinan untuk mengganti peraturan tersebut dengan suatu Keppres.59

Pada seminar “Segi-Segi Hukum Pembinaan Kota dan Daerah” yang diadakan di Ambon oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional bekerjasama dengan Pemerintah Daerah Tk. I Maluku dan Fak. Hukum Univ. Pattimura pada tanggal 28 hingga 30 Nopember 1977, dikemukakan beberapa pendapat atau pandangan sebagai berikut :60

a. PMDN No. 15 Tahun 1975 baik ditinjau dari segi formilnya (yang tidak memenuhi persyaratan yuridis) maupun ditinjau dari segi materiilnya (yaitu berupa perlindungan kepada anggota masyarakat yang akan dicabut haknya) adalah batal menurut hukum. b. Apabila PMDN itu diuji kepada doktrin (bahwa ada pembatasan wewenang dari

badan negara untuk membuat undang-undang dalam arti materil) dengan anggaban bahwa pembebasan tanah adalah sama dengan pencabutan hak, maka PMDN

58

Pasal 14 PMDN No. 15 Tahun 1975.

59

Abdurrahman. Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan

Umum.Op cit. Hal : 3. 60

AP. Parlindungan. Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria. Bandung. Alumni. 1980. Hal : 48.


(43)

termaksud adalah batal karena : a.) Menteri Dalam Negeri tidak mempunyai wewenang membuat peraturan yang mengikat umum tanpa adanya pedelegasian wewenang. b). Mengenai pencabutan hak, UU No. 20 Tahun 1961 telah menunjuk Presiden sebagai instansi yang berwenang memutus. c). PMDN mengatur suatu soal yang telah diatur oleh UU No. 20 Tahun 1961 dan isi peraturan PMDN tersebut bertentangan dengan isi undang-undang termaksud.

Selanjutnya di dalam perjalanannya, PMDN No. 15 Tahun 1975 ini ternyata selalu manuai kritik dari berbagai pihak, dinilai banyak kalangan sebagai instrumen hukum yang dalam implementasinya dijalankan secara refresif dan menyengsarakan para pemilik tanah,61 sehingga akhirnya Presiden Soeharto pada tanggal 17 Juni 1993 menetapkan berlakunya Keppres No. 55 Tahun 1993, tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Dasar dikeluarkannya Keppres No. 55 Tahun 1993 tersebut dinyatakan dalam konsideran menimbang, yaitu :

a. Bahwa pembangunan nasional, khususnya pembangunan berbagai fasilitas untuk kepentingan umum memerlukan bidang tanah yang cukup dan untuk itu pengadaannya perlu dilakukan sebaik-baiknya;

b. Bahwa pelaksanaan pengadaan tanah tersebut dilakukan dengan memperhatikan peran tanah dalam kehidupan manusia dan prinsip penghormatan terhadap hak-hak yang sah atas tanah;

c. Bahwa atas dasar pertimbangan tersebut, pengadaan tanah untuk kepentingan umum diusahakan dengan cara yang seimbang dan untuk tingkat pertama ditempuh dengan musyawarah langsung dengan para pemegang hak atas tanah.

Maria Sumardjono memandang Keppres No. 55 Tahun 1993 ini dibuat dengan maksud untuk menampung aspirasi berbagai kalangan dalam masyarakat sebagai reaksi terhadap ekses-ekses pembebasan tanah yang selama ini terjadi.62

61

Gunanegara. Op cit. Hal : 164.

62


(44)

Dengan berlakunya Keppres No. 55 Tahun 1993 tersebut, maka PMDN No. 15 Tahun 1975 tentang Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah, PMDN No. 2 Tahun 1976 tentang Penggunaan Acara Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Pemerintah Bagi Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Pemerintah Bagi Pembebasan Tanah Oleh Pihak Swasta, dan PMDN No. 2 Tahun 1985 tentang Tata Cara Pengadaan Tanah Untuk Keperluan Proyek Pembangunan Di Wilayah Kecamatan, dinyatakan tidak berlaku lagi.

Tidak hanya peraturan yang diubah oleh Keppres No. 55 Tahun 1993 tersebut, tetapi istilah yang dipergunakan pun turut diubah. Istilah “Pembebasan Tanah” yang dikenal dalam PMDN No. 15 Tahun 1975 diganti dengan istilah “Pengadaan Tanah” oleh Keppres tersebut, walaupun sesungguhnya terminologi “Pengadaan Tanah” telah dikenal sebelumnya lewat PMDN No. 2 Tahun 1985, hanya saja di dalam PMDN ini tidak diberikan rumusan apa yang dimaksud dengan pengadaan tanah tersebut. Definisi pengadaan tanah kemudian diberikan oleh Keppres No. 55 Tahun 1993, bahwa pengadaan tanah ialah “Setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut”.63

Supaya Keppres No. 55 Tahun 1993 dapat dioperasionalkan, maka Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional menerbitkan Peraturan Menteri Agraria/ Kapala Badan Pertanahan Nasional No. 1 tahun 1994 sebagai peraturan tehnis pelaksanaan Keppres No. 55 tahun 1993.

Seiring dengan berjalannya waktu ditambah dengan derasnya laju pembangunan, Keppres No. 55 Tahun 1993 ini tidak dapat lagi dipakai sebagai pijakan hukum yang memadai untuk melakukan akselerasi atau percepatan dan kelancaran pengadaan tanah

63


(45)

untuk kepentingan umum disamping sejumlah kelemahan yang dimilikinya, diantaranya tentang list provition atau daftar kegiatan yang mengatur kepentingan umum demikian luasnya, kemudian kehadiran lembaga konsinyasi yang di dalam implementasinya menyimpang dari maksud dan tujuan lembaga tersebut. Akhirnya oleh Presiden diterbitkan Perpres RI No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Dibentuknya Perpres RI No. 36 Tahun 2005 ini yang lahir di era reformasi telah melahirkan kembali beragam kontroversi dan reaksi dari berbagai kalangan, disebabkan bermacam kelemahan yang ada di dalamnya, diantaranya makna kepentingan umum yang diartikan terlalu umum sehingga dapat melahirkan multi tafsir, bidang kegiatan yang bersifat kepentingan umum juga terlalu luas, dan lain sebagainya.

Menanggapi kontroversi dan berbagai kritikan, akhirnya beberapa pasal dari Perpres RI No. 36 Tahun 2005 tersebut direvisi dengan diterbitkannya Perpres RI. No. 65 Tahun 2006 yang mulai berlaku pada tanggal 05 Juni 2006.

2. Asas-Asas Dalam Pengadaan Tanah.

Kegiatan pelaksanaan pengadaan tanah melibatkan dua pihak, yaitu masyarakat pemegang hak atas tanah yang tanahnya akan dipakai dalam pembangunan dan instansi pemerintah yang memerlukan tanah dimaksud. Menjadi kewajiban bagi masyarakat untuk merelakan tanah yang dimiliki jika tanah tersebut diperlukan untuk menunjang kegiatan pembangunan, namun demikian kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat tersebut jangan sampai menjadi lebih menurun dari keadaan sebelumnya setidak-tidaknya setara dengan


(46)

kondisi sebelum tanahnya dipakai oleh pihak lain untuk mendukung pembangunan. Oleh karena itu, pengadaan tanah dilakukan dengan mengindahkan asas-asas yang ada.

Achmad Rubaie mengatakan “Asas-asas tersebut dimaksudkan untuk melindungi hak setiap orang atas tanahnya agar tidak dilanggar atau dirugikan ketika berhadapan dengan keperluan negara atas tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum”.64

Asas-asas dimaksud adalah : a. Asas Kesepakatan.

Dengan asas kesepakatan dimaksudkan bahwa seluruh kegiatan pengadaan tanah dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pihak yang memerlukan tanah dan pemegang hak atas tanah.65 Kesepakatan dilakukan atas dasar persesuaian kehendak kedua belah pihak tanpa adanya unsur paksaan, kekhilapan, dan penipuan.66 Hal ini berarti bahwa kegiatan pembangunan fisik baru dapat dilakukan jika telah terjadi kesepakatan antara para pihak yaitu pihak yang memerlukan dan dengan pemilik tanah serta ganti rugi telah dibayarkan.

b. Asas Kemanfaatan.

Dengan dilakukannya pengadaan tanah diharapkan mendatangkan manfaat positif bagi pihak yang memerlukan tanah, masyarakat yang terkena dampak dan masyarakat luas. Manfaat dari hasil kegiatan pembangunan tersebut harus dapat dirasakan oleh masyarakat secara keseluruhan.67

c. Asas Keadilan.

64

Achmad Rubaie. Op cit. Hal : 29.

65

Maria Sumardjono. Tanah Dalam Persfektif Hak EkonomiSosial Dan Budaya. Op cit. Hal : 282.

66

Achmad Rubaie. Op cit . Hal : 30.

67


(47)

Dengan asas keadilan ini dimaksudkan bahwa kepada masyarakat yang terkena pembebasan tanah atau pengadaan tanah diberikan ganti rugi yang dapat memulihkan kondisi sosial ekonominya, minimal setara dengan keadaan semula, dengan memperhitungkan kerugian terhadap faktor fisik maupun non fisik.68 Disisi lain keadilan juga harus meliputi pihak yang membutuhkan tanah agar dapat memperoleh tanah sesuai dengan rencana peruntukannya dan memperoleh perlindungan hukum.69

d. Asas Kepastian Hukum.

Pelaksanaan pengadaan tanah harus memenuhi asas kepastian hukum, yaitu dilakukan dengan cara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dimana semua pihak dapat mengetahui dengan pasti hak dan kewajibannya masing-masing.70 Kepastian hukum juga harus terdapat dalam hukum itu sendiri, dimana tiada satu pun kalimat atau bahasa yang terdapat dalam undang-undang menimbulkan penafsiran yang berbeda.71 e. Asas Keterbukaan.

Dengan asas keterbukaan ini dimaksudkan bahwa dalam proses pengadaan tanah, rencana pengadaan tanah untuk pembangunan demi kepentingan umum harus dikomunikasikan kepada masyarakat pemilik tanah mengenai tujuan, peruntukan tanah, dan besarnya ganti rugi, serta tata cara pembayaran ganti rugi dan keseluruhan proses administrasi atas pelepasan tanah tersebut.72 Asas keterbukaan ini mempunyai arti penting dalam setiap pelaksanaan pengadaan tanah untuk menghindari kekeliruan yang dapat menimbulkan konfik. Keterbukaan dalam menyampaikan informasi tentang

68

Ibid.

69

Syafruddin Kalo. Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Op cit. Hal : 156.

70

Achmad Rubaie. Op cit. Hal : 32.

71

Syafruddin Kalo. Op cit. Hal : 154.

72


(48)

rencana pengadaan tanah dapat dilakukan misalnya melalui penyuluhan atau media informasi lainnya. Pasal 7 huruf c Perpres RI No. 65 Tahun 2006 menyatakan :

Tugas Panitia Pengadaan Tanah adalah memberikan penjelasan atau penyuluhan kepada masyarakat yang terkena rencana pembangunan dan/atau pemegang hak atas tanah mengenai rencana dan tujuan pengadaan tanah tersebut dalam bentuk konsultasi publik baik melalui tatap muka, media cetak, maupun media elektronik agar dapat diketahui oleh seluruh masyarakat yang terkena rencana pembangunan dan/atau pemegang hak atas tanah.

Selanjutnya pasal 19 ayat 1 Peraturan Ka. BPN No. 3 Tahun 2007 menyatakan “Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten/Kota bersama instansi pemerintah yang memerlukan tanah melaksanakan penyuluhan untuk menjelaskan manfaat, maksud dan tujuan pembangunan kepada masyarakat serta dalam rangka memperoleh kesediaan dari para pemilik”.

Asas keterbukaan tersebut di atas dihubungkan dengan pasal 19 ayat 1 Peraturan Ka. BPN No. 3 Tahun 2007, mengesankan bahwa penyuluhan itu hanya merupakan komunikasi satu arah, menjelaskan manfaat berarti berisikan penjelasan hal-hal yang positif saja.

f. Asas Partisipasi.

Peran serta seluruh pihak yang terkait secara aktif dalam setiap tahap pengadaan tanah mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi, diperlukan agar menimbulkan rasa ikut memiliki dan hal ini dapat meminimalkan penolakan masyarakat terhadap kegiatan yang bersangkutan.73

g. Asas Kesetaraan.

73

Maria Sumardjono. Tanah Dalam Persfektif Hak Ekonomi Sosial Dan Budaya. Op cit. Hal : 283.


(49)

Asas ini dimaksudkan untuk menempatkan posisi pihak yang memerlukan tanah dan pihak yang tanahnya akan dilepaskan harus diletakkan sejajar dalam seluruh proses pengambilalihan tanah.74Asas ini jika dihubungkan dengan Perpres pengadaan tanah, memperlihatkan posisi pemilik tanah dengan instansi pengguna tanah tidak setara. Ketidak setaraan ini terlihat dari masih dikenalnya lembaga penitipan uang ganti rugi atau konsinyasi.

h. Asas Minimalisasi Dampak dan Kelangsungan Kesejahteraan Ekonomi.

Dengan asas ini dimaksudkan dampak negatif pengadaan tanah sedapat mungkin diminimalkan, disertai dengan upaya untuk memperbaiki taraf hidup masyarakat yang terkena dampak sehingga kegiatan sosial ekonomi masyarakat tidak mengalami kemunduran.75 Kalau memungkinkan, terjadi peningkatan taraf hidup masyarakat menjadi lebih baik pasca dilakukannya pelepasan hak.

Mengingat asas-asas hukum tersebut merupakan unsur terpenting dari peraturan hukum, jantungnya hukum dari peraturan tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum, Achmad Rubaie memandang, “Aparat penegak hukum, panitia pengadaan tanah, anggota legistatif dan eksekutif, investor, dan setiap anggota masyarakat harus memahami asas-asas tersebut guna menjadi pedoman dan spirit hukum dalam prakterk pengadaan tanah untuk kepentingan umum”.76

Apabila asas-asas pengadaan tanah tersebut di atas dapat dijadikan pedoman oleh pihak-pihak yang terkait dalam pengadaan tanah, maka ekses-ekses negatif yang selalu timbul dalam pengadaan tanah dapat dihindari sehingga pelaksanaan pengadaan tanah

74

Achmad Rubaie. Op cit. Hal : 35.

75

Maria Sumardjono. Tanah Dalam Persfektif Hak Ekonomi Sosial Dan Budaya. Op cit. Hal : 284.

76


(1)

menjadi objek perkara di pengadilan, tanah dimaksud masih dipersengketakan kepemilikannya serta tanah sedang diletakkan sita oleh pihak yang berwenang. B. Saran

1. Perpres RI No. 36 Tahun 2005 dan Perpres RI No. 65 Tahun 2006 perlu memberikan ganti rugi yang sifatnya non fisik dan menjelaskan lebih lanjut apa dan bagaimana ganti rugi yang bersifat non fisik tersebut, selain itu menetapkan sanksi bagi instansi pemerintah yang memerlukan tanah bila tenggang waktu pembayaran uang ganti rugi menyimpang dari apa yang telah ditetapkan oleh peraturan Ka. BPN No. 3 Tahun 2007.

2. Penggunaan lembaga konsinyasi di dalam pengadaan tanah hendaknya hanya dipergunakan pada kondisi-kondisi yaitu yang berhak atas ganti rugi tidak diketahui keberadaannya, tanah dimaksud sedang menjadi objek perkara di pengadilan dan belum memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan tetap, masih dipersengketakan kepemilikannya, serta tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah, sedang diletakkan sita oleh yang berwenang. Di luar alasan-alasan tersebut sebaiknya dihindari, yang diperlukan bagaimana mengefektifkan asas musyawarah di dalam pengadaan tanah secara maksimal dalam menentukan bentuk dan besarnya ganti rugi.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Edisi Revisi III. Cet. Kesepuluh. Jakarta : Rineka Cipta. 1996.

Abdurrahman. Masalah Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah Dan Pembebasan Tanah Di Indonesia. Edisi Revisi. Bandung : Citra Aditya Bakti. 1991.

. Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Cet. Ke – 1. Bandung : Citra Aditya Bakti. 1994.

Husein, Ali Sofwan. Konflik Pertanahan. Cet . 1. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan. 1997. Bakri, Muhammad. Hak Menguasai Tanah Oleh Negara Paradigma Baru auntuk

Reformasi Agraria. Cet. 1. Jogyakarta : Citra Media. 2007.

Darus, Mariam. KUHPerdataBuku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan. Bandung : Alumni. 1983.

Darus, Mariam. dkk. Kompilasi Hukum Perikatan Dalam Rangka Memperingati Memasuki Masa Purna BaktiUsia 70 Tahun. Cet. : 1. Bandung : Citra Adya Bakti. 2001.

Ediwarman. Perlindungan Hukum Bagi Korban Kasus-Kasus Pertanahan. Medan : Pustaka Bangsa. 2003.

Gunanegara. Rakyat Dan Tanah Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan. Cet. Pertama. Jakarta : Tatanusa. 2008.

Huijbers, Theo. Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah. Jogjakarta : Kanisius. 1982. Hutagalung, Arie Sukanti dan Markus Gunawan. Kewenangan Pemerintah Di Bidang


(3)

Harahap, Yahya. Segi-Segi Hukum Perjanjian. Cet. II. Bandung : Alumni. 1986.

Hutagalung, Ulam Raya. Pengaruh Pembangunan Jalan Lingkar Luar (Outer Ring Road) Pada Pengembangan Kota Medan studi Kasus Jalan Ngumban Surbakti. Tesis. Prody PWD. Program Pasca Sarjana USU Medan. 2003.

Harsono, Budi. Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan UUPA Isi Dan Pelaksanaannya. Edisi Revisi. Cet. 8. Jakarta : Jambatan. 1999.

Ibrahim, Jhony. Teori Dan Penelitian Hukum Normatif. Malang : Bayumedia Publising. 2006.

Kalo, Syafruddin. Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Cet. I. Jakarta : Pustaka Bangsa. 2004.

. Kapita Selekta Hukum Pertanahan Studi Tanah Perkebunan Di Sumatera Utara. Medan : USU Press. 2005.

Lubis, M. Solly. Filsafat Ilmu Dan Penelitian. Cet. Ke- 1. Bandung : Mandar Maju. 1994.

. Diktat Kuliah Teori Hukum. 2006.

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Cet. Ke – 3. Jakarta : Kencana Prenada Media Group. 2007.

Mahendra, A.A.OK. Manguak Masalah Hukum Demokrasi Dan Pertanahan. Cet. Ke : 1. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan. 1996.

Parlindungan, AP. Bunga Rampai Hukum Agraria Serta Landreform. Bahagian I. Cet. Ke – 1. Bandung : Mandar Maju. 1989.

. Pencabutan dan Pembebasan Hak Atas Tanah Suatu Study Perbandingan. Cet. Ke 1. Bandung : Mandar Maju. 1993.


(4)

. Pencabutan Hak Atas Tanah Menurut Sistem UUPA. Cet. II. Bandung : Mandar Maju. 1990.

Raharjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Cet. Ke. IV. Bandung : Citra Aditya Bakti. 1996.

Rubaie, Achmad. Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum. Ed. Pertama. Cet. Pertama. Malang : Bayu Media Publishing. 2007.

Sumardjono, Maria. Tanah Dalam Persfektif Hak Ekonomi Sosial Dan Budaya. Jakarta : Buku Kompas. 2007.

. Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan Implementasi. Ed. Revisi. Cet. Ke- IV. Jakarta : Buku Kompas. 2006.

Sumardjono, Maria dan Martin Samosir. Hukum Pertanahan Dalam Berbagai Aspek. Medan : Bina Media. 2000.

Sihombing, Eka Irene. Segi-Segi Hukum Tanah Nasional Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan. Cet. Ke – dua. Jakarta : Universitas Trisakti. 2009.

Sutedi, Adrian. Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan. Cet. Ke dua. Jakarta : Sinar Grafika. 2008.

Salle, Aminuddin. Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum. Cet. Pertama. Jogjakarta : Kreasi Total Media. 2007.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Cet. Ke – 3. Jakarta : Universitas Indonesia. 1986.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamuji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Cet. Ke empat. Jakarta : Raja Grafindo Persada. 1995.


(5)

Sauni, Herawan dan M. Yamani Komar ( Editor ). Hukum Agraria Beberapa Pemikiran Dan Gagasan Prof. AP. Parlindungan. Ed. Pertama. Cet. Pertama. Medan : USU Press. 1998.

Salindeho, John. Masalah Tanah Dalam Pembangunan. Cet. Ketiga. Jakarta : Sinar Grafika. 1993.

Tarmizi. Segi-Segi Hukum Penggunaan Konsinyasi Dalam Pembebasan Tanah Di Kota Medan. Tesis. PPs Prody Ilmu Hukum. USU. 1995.

Wijaya, Gunawan dan Kartini Muljadi. Hapusnya Perikatan. Edisi 1. Cet. 1. Jakarta : Raja Grafindo Persada. 2003.

http ://blog Komunitas Hukum. Blog spot. Com. Diakses tanggal 08 Maret 2010. http : //prp makasar. Word press. Com Diakses tanggal 11 Maret 2010.

http ://pengurusan –hat . blogspot.com /2008/08/hak menguasai negara. html. Di akses tanggal 29 Maret 2010.

http ://www. ham.line.edu/apa kabar/1996/II/18/0203. html. Di akses 17 Mei 2010. http ://cahwaras.wordpress.com/2010/14/25 pengadaan –

tanah-bagi-pelaksanaan-pembangunan-untuk-kepentingan-bagi-umum.Dalam Tinjauan Sosiologi. Di akses 17 Mei 2010.

http ://geografiana.com/nasional/politik/opini perpres pengadaan-tanah-3. Di akses : 19 Mei 2010.

Blog : http //www-pewarta-kabarindonesia . blog spot.Com. Di akses : 18 Mei 2010. http ://www. berita.8. com/news.php. Di akses : 17 Mei 2010.

http ://gagasan hukum. wordpress. Com/2009/011/19/konsinyasi dan –penggusuran. Di akses 18 Mei 2010.


(6)

http ://www.adb. org/dokuments/translation/Indonesia/resettlement. Di akses 11 Mei 2010.

http ://library. USU. ac. id/down load/FH/Pidana-Syafruddin. Di akses : 11 Mei 2010. http ://cahwaras. Wordpress. Com/2010/04/05. Pengadaan Tanah- bagi pelaksanaan

pembangunan –Untuk.K. Di akses 11 Mei 2010.

http ://muslim.abdurrahman.blogspot.com/2009. Di akses : 17 Juli 2010. Waspada, 07 Maret 2006.

Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960. UU RI. No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

Peraturan Presiden RI No. 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Peraturan Presiden RI N0. 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Peraturan Ka. Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia No. 3 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Pelaksana Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Sebagaimana Telah Diubah Dengan Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.