Landasan Hukum Pengadaan Tanah.

BAB II GANTI RUGI DI DALAM PENGADAAN TANAH

A. Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum.

1. Landasan Hukum Pengadaan Tanah.

Kebutuhan akan tanah terus meningkat dari waktu ke waktu seiring dengan pertambahan penduduk dan semakin pesatnya pembangunan fisik di berbagai bidang yang dilakukan oleh pemerintah. Namun sayangnya kebutuhan akan tanah dimaksud tidak dapat dipenuhi dengan mudah oleh negara, karena tanah-tanah negara yang tersedia terbatas jumlahnya. Oleh karenanya tidak terelakkan lagi masyarakat diharapkan dapat berperan serta untuk merelakan tanah yang dimilikinya diambil oleh pemerintah untuk pembangunan demi kepentingan umum tersebut. Pengambilan tanah-tanah masyarakat dimaksud harus dilakukan dengan landasan hukum yang jelas. Di dalam perkembangannya, landasan hukum pembebasanpengadaan tanah telah mengalami proses perkembangan sejak unifikasi UUPA No. 5 Tahun 1960. Diawali dengan diundangkannya UU No. 20 Tahun 1961 yang mengatur tentang pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya. UU No. 20 Tahun 1961 ini merupakan peraturan pelaksana pasal 18 UUPA No. 5 Tahun 1960, yang menyatakan “Untuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang”. Dengan kata lain kehadiran UU No. 20 Tahun 1961 ini tidak lain karena instruksi pasal 18 UUPA No. 5 tahun 1960 untuk segera menerbit undang-undang tentang pencabutan hak atas tanah. Universitas Sumatera Utara Dengan berlakunya UU No. 20 Tahun 1961 ini, maka Onteigeningsordonnantie yang dimuat dalam S. 1920 No. 574, sebagaimana yang telah beberapa kali diubah dan ditambah dinyatakan dicabut. 55 Penggunaan UU No. 20 Tahun 1961 dilakukan jika tanah yang bersangkutan diperlukan untuk menyelenggarakan kepentingan umum, dan tidak dimungkinkan menggunakan tanah yang lain, sedangkan musyawarah yang dilakukan tidak berhasil mencapai kesepakatan, dapat dilaksanakan pengambilan secara paksa, dalam arti tidak memerlukan persetujuan pemegang haknya. Dalam seminar hukum pertanahan yang diselenggarakan oleh HKTI pada tahun 1978, dikatakan bahwa “Dalam praktek, penggunaan UU No. 20 Tahun 1961 jarang sekali dilaksanakan disebabkan adanya kemungkinan proses untuk mendapatkan tanah tersebut menjadi lama dan adanya usaha-usaha untuk menghindari tindakan-tindakan yang bersifat memaksa”. 56 Dalam sejarah pencabutan hak atas tanah, UU No. 20 Tahun 1961 pernah digunakan yaitu dengan mencabut hak atas tanah atas daerah di Kec. Taman Sari yang terkenal dengan kompleks Yen Pin. Pencabutan dimaksud dilakukan dengan Keppres No. 2 tahun 1970 tanggal 06 januari 1970. 57 Sebagai peraturan pelaksana UU No. 20 Tahun 1961 tersebut diterbitkan Instruksi Presiden RI No. 9 Tahun 1973 tanggal 17 – 11 – 1973. Seterusnya pada tahun 1975 diterbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri PMDN No. 15 Tahun 1975 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata Cara 55 Pasal 12 UU No. 20 Tahun 1961. 56 Adrian Sutedi. Op cit. Hal : 60. 57 AP. Parlindungan. Pencabutan Dan Pembebasan Hak AtasTanah Suatu Studi Perbandingan. Cet. I. Mandar Maju : Bandung. 1993. Hal :32. Universitas Sumatera Utara Pembebasan Tanah. Dilanjutkan kemudian dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri PMDN No. 2 Tahun 1976 tentang Penggunaan Acara Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Pemerintah Bagi Pembebasan Tanah Oleh Pihak Swasta. Menyusul kemudian Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 1985 tentang Tata Cara Pengadaan Tanah Untuk Keperluan Proyek Pembangunan di Wilayah Kecamatan. Dengan diterbitkannya PMDN No. 15 Tahun 1975 ini, telah dicabut Bijblad No. 11372 jo. No. 12476 yang mengatur tentang aparat yang melaksanakan pembebasan dan pemberian ganti rugi atas tanah yang diperlukan. 58 Keberadaan PMDN No. 15 Tahun 1975 ini sejak semula sudah diperdebatkan keabsahannya dan sudah ramai dibicarakan mengenai kemungkinan untuk mengganti peraturan tersebut dengan suatu Keppres. 59 Pada seminar “Segi-Segi Hukum Pembinaan Kota dan Daerah” yang diadakan di Ambon oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional bekerjasama dengan Pemerintah Daerah Tk. I Maluku dan Fak. Hukum Univ. Pattimura pada tanggal 28 hingga 30 Nopember 1977, dikemukakan beberapa pendapat atau pandangan sebagai berikut : 60 a. PMDN No. 15 Tahun 1975 baik ditinjau dari segi formilnya yang tidak memenuhi persyaratan yuridis maupun ditinjau dari segi materiilnya yaitu berupa perlindungan kepada anggota masyarakat yang akan dicabut haknya adalah batal menurut hukum. b. Apabila PMDN itu diuji kepada doktrin bahwa ada pembatasan wewenang dari badan negara untuk membuat undang-undang dalam arti materil dengan anggaban bahwa pembebasan tanah adalah sama dengan pencabutan hak, maka PMDN 58 Pasal 14 PMDN No. 15 Tahun 1975. 59 Abdurrahman. Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.Op cit. Hal : 3. 60 AP. Parlindungan. Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria. Bandung. Alumni. 1980. Hal : 48. Universitas Sumatera Utara termaksud adalah batal karena : a. Menteri Dalam Negeri tidak mempunyai wewenang membuat peraturan yang mengikat umum tanpa adanya pedelegasian wewenang. b. Mengenai pencabutan hak, UU No. 20 Tahun 1961 telah menunjuk Presiden sebagai instansi yang berwenang memutus. c. PMDN mengatur suatu soal yang telah diatur oleh UU No. 20 Tahun 1961 dan isi peraturan PMDN tersebut bertentangan dengan isi undang-undang termaksud. Selanjutnya di dalam perjalanannya, PMDN No. 15 Tahun 1975 ini ternyata selalu manuai kritik dari berbagai pihak, dinilai banyak kalangan sebagai instrumen hukum yang dalam implementasinya dijalankan secara refresif dan menyengsarakan para pemilik tanah, 61 sehingga akhirnya Presiden Soeharto pada tanggal 17 Juni 1993 menetapkan berlakunya Keppres No. 55 Tahun 1993, tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Dasar dikeluarkannya Keppres No. 55 Tahun 1993 tersebut dinyatakan dalam konsideran menimbang, yaitu : a. Bahwa pembangunan nasional, khususnya pembangunan berbagai fasilitas untuk kepentingan umum memerlukan bidang tanah yang cukup dan untuk itu pengadaannya perlu dilakukan sebaik-baiknya; b. Bahwa pelaksanaan pengadaan tanah tersebut dilakukan dengan memperhatikan peran tanah dalam kehidupan manusia dan prinsip penghormatan terhadap hak- hak yang sah atas tanah; c. Bahwa atas dasar pertimbangan tersebut, pengadaan tanah untuk kepentingan umum diusahakan dengan cara yang seimbang dan untuk tingkat pertama ditempuh dengan musyawarah langsung dengan para pemegang hak atas tanah. Maria Sumardjono memandang Keppres No. 55 Tahun 1993 ini dibuat dengan maksud untuk menampung aspirasi berbagai kalangan dalam masyarakat sebagai reaksi terhadap ekses-ekses pembebasan tanah yang selama ini terjadi. 62 61 Gunanegara. Op cit. Hal : 164. 62 Maria Sumardjono. Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan Implementasi.Op cit. Hal : 72. Universitas Sumatera Utara Dengan berlakunya Keppres No. 55 Tahun 1993 tersebut, maka PMDN No. 15 Tahun 1975 tentang Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah, PMDN No. 2 Tahun 1976 tentang Penggunaan Acara Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Pemerintah Bagi Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Pemerintah Bagi Pembebasan Tanah Oleh Pihak Swasta, dan PMDN No. 2 Tahun 1985 tentang Tata Cara Pengadaan Tanah Untuk Keperluan Proyek Pembangunan Di Wilayah Kecamatan, dinyatakan tidak berlaku lagi. Tidak hanya peraturan yang diubah oleh Keppres No. 55 Tahun 1993 tersebut, tetapi istilah yang dipergunakan pun turut diubah. Istilah “Pembebasan Tanah” yang dikenal dalam PMDN No. 15 Tahun 1975 diganti dengan istilah “Pengadaan Tanah” oleh Keppres tersebut, walaupun sesungguhnya terminologi “Pengadaan Tanah” telah dikenal sebelumnya lewat PMDN No. 2 Tahun 1985, hanya saja di dalam PMDN ini tidak diberikan rumusan apa yang dimaksud dengan pengadaan tanah tersebut. Definisi pengadaan tanah kemudian diberikan oleh Keppres No. 55 Tahun 1993, bahwa pengadaan tanah ialah “Setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut”. 63 Supaya Keppres No. 55 Tahun 1993 dapat dioperasionalkan, maka Menteri AgrariaKepala Badan Pertanahan Nasional menerbitkan Peraturan Menteri Agraria Kapala Badan Pertanahan Nasional No. 1 tahun 1994 sebagai peraturan tehnis pelaksanaan Keppres No. 55 tahun 1993. Seiring dengan berjalannya waktu ditambah dengan derasnya laju pembangunan, Keppres No. 55 Tahun 1993 ini tidak dapat lagi dipakai sebagai pijakan hukum yang memadai untuk melakukan akselerasi atau percepatan dan kelancaran pengadaan tanah 63 Pasal 1 angka 1 Keppres No. 55 Tahun 1993. Universitas Sumatera Utara untuk kepentingan umum disamping sejumlah kelemahan yang dimilikinya, diantaranya tentang list provition atau daftar kegiatan yang mengatur kepentingan umum demikian luasnya, kemudian kehadiran lembaga konsinyasi yang di dalam implementasinya menyimpang dari maksud dan tujuan lembaga tersebut. Akhirnya oleh Presiden diterbitkan Perpres RI No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Dibentuknya Perpres RI No. 36 Tahun 2005 ini yang lahir di era reformasi telah melahirkan kembali beragam kontroversi dan reaksi dari berbagai kalangan, disebabkan bermacam kelemahan yang ada di dalamnya, diantaranya makna kepentingan umum yang diartikan terlalu umum sehingga dapat melahirkan multi tafsir, bidang kegiatan yang bersifat kepentingan umum juga terlalu luas, dan lain sebagainya. Menanggapi kontroversi dan berbagai kritikan, akhirnya beberapa pasal dari Perpres RI No. 36 Tahun 2005 tersebut direvisi dengan diterbitkannya Perpres RI. No. 65 Tahun 2006 yang mulai berlaku pada tanggal 05 Juni 2006.

2. Asas-Asas Dalam Pengadaan Tanah.