Latar Belakang Notaris Syahril Sofyan, SH, MKn

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sesuai dengan kodrat alam manusia sejak lahir sampai meninggal dunia hidup bersama-sama dengan manusia lain, atau manusia tidak dapat hidup menyendiri, terpisah dari kelompok manusia lainnya. 1 Sejak dahulu kala pada diri manusia terdapat hasrat untuk berkumpul dengan sesamanya dalam suatu kelompok. Di samping itu, manusia juga punya hasrat untuk bermasyarakat. Manusia sebagai mahluk individu bisa saja mempunyai sifat untuk hidup menyendiri tetapi manusia sebagai mahluk sosial tidak dapat hidup menyendiri. Manusia harus hidup bermasyarakat, sebab ia lahir, hidup berkembang, dan meninggal dunia di dalam masyarakat. 2 Pola hidup tersebut merupakan susunan daripada kaidah-kaidah yang mencakup kaidah-kaidah kepercayaan, kesusilaan, sopan santun dan hukum. Tidak jarang bahwa suatu kepentingan manusia dilindungi oleh keempat macam kaidah tersebut, walaupun ada perbedaan-perbedaan yang hakiki dari kaidah-kaidah tersebut. Untuk menelaah perbedaan-perbedaannya, maka kaidah-kaidah tersebut perlu dihubungkan dengan adanya dua aspek hidup, yaitu pribadi dan hidup antar pribadi. 3 Setelah dewasa, keinginan untuk melakukan perkawinan telah terbayang di dalam pikirannya. Kemauan ini semakin terasa apabila manusia tersebut telah 1 Chainur Arrasjid, Dasar-dasar Ilmu Hukum, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan 3, 2004, hal. 1. 2 Ibid. 3 Purnadi Purbacaraka, Pengantar Ilmu Hukum, Fakultas Ilmu-ilmu Sosial, Universitas Indonesia, Jakarta, 1989, hal. 3. 1 Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008 mempunyai penghasilan dan mampu untuk membiayai kehidupan rumah tangga sendiri. Perkawinan adalah hubungan hukum yang merupakan pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang wanita yang telah memenuhi syarat-syarat perkawinan, untuk jangka waktu yang selama mungkin. 4 Di samping itu perkawinan merupakan ikatan lahir dan bathin antara seorang pria dengan seorang perempuan yang telah dewasa menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan bersifat kekal dan abadi menuju kehidupan rumah tangga yang bahagia dan sejahtera. Perkawinan menyangkut banyak segi yang melibatkan kedua belah pihak suami-isteri, keturunan mereka dalam garis lurus ke bawah dan ke atas, harta benda, menyangkut hubungan masyarakat melalui kontak sosial, hubungan hukum melalui kontak negara. Tidak mengherankan bila perkawinan melahirkan berbagai masalah hukum baik perdata maupun pidana yang tidak mungkin dicakup secara keseluruhan pada saat sekarang ini. Perkawinan secara umum dilaksanakan berdasarkan hukum agama atau hukum adat yang juga bercampur dengan hukum agama. Perkawinan yang tertua di Indonesia adalah berdasarkan hukum agama Hindu, Budha, Islam dan hukum adat untuk suku-suku yang tidak menganut agama Hindu, Budha dan Islam. Sungguhpun demikian, karena agama Islam kemudian dianut oleh mayoritas penduduk, maka hukum perkawinan yang banyak diikuti adalah Hukum Islam. 4 Rien G. Kartasapoetra, Pengantar Ilmu Hukum Lengkap, Penerbit Bina Aksara, Jakarta, Cetakan I, 1988, hal. 97. Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008 Bagi masyarakat Indonesia, sudah menjadi pegangan hidup atau pandangan hidup mereka sejak dahulu bahwa mengenai perkawinan, kelahiran dan kematian adalah sangat dipengaruhi oleh ketentuan-ketentuan agama. 5 Orang yang taat pada agamanya tidak mudah berbuat sesuatu yang melanggar larangan agamanya dan kepercayaannya. Selain larangan-larangan, agamanya juga mempunyai peraturan- peraturan yang memuat perintah-perintah yang wajib dan harus ditaati. 6 Perkawinan merupakan suatu peristiwa yang besar dalam kehidupan seseorang, juga bagi orang tua anak gadis, perkawinan anaknya itu sangat mengharukan, dimana orang tua tersebut melepaskan anak mereka yang dicintainya itu, lalu berangkat menempuh hidup baru bersama suaminya. 7 Hampir dalam semua tradisi hukum, baik civil law, common law, maupun Islamic law, perkawinan adalah sebuah kontrak berdasarkan persetujuan sukarela yang bersifat pribadi antara seorang pria dan wanita untuk menjadi suami- isteri. 8 Dalam hal ini, perkawinan selalu dipandang sebagai dasar bagi unit keluarga 5 Rusdi Malik, Peranan Agama Dalam Hukum Perkawinan di Indonesia, Penerbit Universitas Trisakti, 1990, Jakarta, hal. 11. 6 Chainur Arrasjid, Op.Cit., hal. 5. 7 Retnowulan Sutanto, Wanita dan Hukum, Himpunan Karangan Hukum yang Penting Bagi Kaum Wanita, Penerbit Alumni, Bandung, 1979, hal. 35. 8 Rifyal Ka’bah, Hakim Agung MARI, Permasalahan Perkawinan, Varia Peradilan No. 271, Makalah, Juni 2008, hal. 7. Perkawinan disebut juga pernikahan, dari kata nikah yang berarti ‘aqd kontrak, tetapi kemudian berarti jima’ persetubuhan. Di Indonesia kontrak atau perjanjian disebut akad nikah perjanjian, pernikahan atau perkawinan. Sebagai perjanjian atau kontrak, maka pihak-pihak terikat dengan perjanjian atau kontrak berjanji akan membina rumah tangga yang bahagia lahir-batin dengan melahirkan anak-cucu yang meneruskan cita-cita mereka. Bila ikatan lahir dan batin tidak lagi dapat dirujuskan dalam perkawinan, misalnya tidak lagi dapat melakukan hubungan seksual, atau tidak dapat melahirkan keturunan, atau masing-masing sudah mempunyai tujuan yang berbeda, maka perjanjian dapat dibatalkan melalui pemutusan perkawinan perceraian atau paling tidak ditinjau kembali melalui perkawinan kembali setelah terjadi perceraian. Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008 yang mempunyai arti penting bagi penjagaan moral atau akhlak masyarakat dalam pembentukan peradaban. Mulai secara tradisional, suami dalam semua sistem tersebut bertugas menyiapkan tempat tinggal, memenuhi kebutuhan rumah tangga dan melindungi keluarga secara umum. Sementara itu isteri berkewajiban mengurus rumah tangga, tinggal di rumah, melakukan hubungan seksual dengan suami dan memelihara anak-anak. Konsep perkawinan sebagai kontrak yang sah seperti ini sampai sekarang belum berubah, tetapi karena perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat mengikuti hukum kehidupan maka kewajiban- kewajiban pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak tersebut tidak lagi persis seperti pada masa lalu. 9 Maka perkawinan bukanlah barang mainan yang suatu waktu dapat diganti dan ditukar dengan yang lain. Untuk melangsungkan suatu perkawinan, undang- undang telah menentukan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh para pihak. Di dalam undang-undang perkawinan ditetapkan beberapa azas dan prinsip, salah satunya adalah azas untuk mempersulit terjadinya penyimpangan, karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Dalam suasana dimana masyarakat menghadapi perubahan sosial ekonomi yang serba cepat, perhatian tidak lagi diarahkan pada seputar penggarapan hukum sebagai suatu sistem peraturan yang logis dan konsisten, akan tetapi hukum lebih dikaitkan dengan perubahan-perubahan sosial. Dalam sebuah keluarga, suami wajib melindungi dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya dan isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya, karena suami adalah kepala keluarga dan tugas isteri adalah sebagai ibu rumah tangga dalam keluarga. 10 9 Ibid., hal. 7. 10 Bambang Sunggono, Hukum dan Kebijaksanaan Publik, Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan I, 1994, hal. 1. Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008 Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan berumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. 11 Akan tetapi pembagian peran sebagaimana terdapat dalam ketentuan Pasal 31 ayat 3 dan Pasal 34 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan selanjutnya ditulis UUP bahwa hak dan kedudukan laki-laki dan perempuan adalah seimbang. Menurut Soerjono Soekanto bahwa Hukum dengan tegas mengatur perbuatan- perbuatan manusia yang bersifat lahiriah, dan hukum mempunyai sifat untuk menciptakan keseimbangan antar kepentingan-kepentingan para warga masyarakat. 12 Dari kenyataan tersebut, maka pembuat Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu Pasal 2 Ayat 1. Agama yang dimaksud adalah merujuk kepada Pasal 29 Ayat 2 UUD 1945 : Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya dan kepercayaannya masing-masing. 13 Pembagian tugas sebagaimana diatur secara jelas dalam undang-undang tersebut nampaknya memang mengkekalkan apa yang selama ini dianut oleh sebagian besar masyarakat dan justru pembagian tugas inilah yang sedang mengalami proses perubahan dalam lingkup yang luas. Banyak rumah tangga sekarang ini suami bukan 11 Retnowulan Sutanto, Op.Cit., hal. 35. 12 Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia, Penerbit UI-Press, Jakarta, Cetakan 3, 1983, hal. 4. 13 Rifyal Ka’bah, Op.Cit., hal. 8. Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008 satu-satunya pencari nafkah, isteri bekerja dan karena itu mempunyai waktu lebih sedikit atau bahkan tidak punya waktu sama sekali untuk mengurus rumah tangga. Beragamnya kepentingan antar manusia dapat terpenuhi secara damai, tetapi juga menimbulkan konflik jika tata cara pemenuhan kepentingan tersebut dilakukan tanpa ada keseimbangan sehingga akan melanggar hak-hak orang lain. 14 Dalam perkembangannya, perceraian dalam sebuah ikatan perkawinan tidak dapat dihindari, alasan pengajuan perceraian sangat bervariasi seperti: masuknya orang ketiga dalam perkawinan, adanya perbedaan pandangan mengenai kewajiban suami isteri dalam rumah tangga, dan seringnya isteri ditinggal suami, perubahan peran suami isteri, serta pertengkaran dan konflik yang berkepanjangan sehingga tidak mungkin lagi kerukunan dan kebahagiaan rumah tangga itu dapat dipertahankan. Hal ini menunjukkan adanya kecenderungan nilai-nilai yang mengatur hubungan antara suami isteri dalam keluarga mulai berubah. Jika memang ada kecenderungan pergeseran nilai, maka formulasi nilai-nilai tersebut dalam bentuk undang-undang perlu ditinjau kembali. Oleh karena itu nampaknya perlu dilihat apakah proses itu benar terjadi dan kalau seandainya terjadi hanya bersifat sementara saja atau sesuatu yang semakin lama semakin cenderung meningkat. Setiap pasangan tidak selamanya dapat menyelesaikan konflik-konflik yang mereka alami, dan mengundang orang yang dianggap lebih tua menjadi penengah belum tentu efektif karena pertimbangannya berbeda. Oleh karena itu mungkin 14 SP. Wasis, Pengantar Ilmu Hukum, UMM Press, Malang, Cetakan I, 2002, hal. 7. Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008 dibutuhkan semacam lembaga yang memberi pelayanan konsultasi yang sungguh- sungguh mengerti perubahan yang terjadi dan tidak hanya mempertimbangkan aspek normatif saja. Kualifikasi yang sama mungkin juga dibutuhkan oleh orang-orang yang karena pekerjaannya menangani konflik keluarga seperti hakim, pengacara dan sebagainya. Pada kenyataannya perceraian tidak juga dapat dihindarkan, walaupun berbagai usaha dan upaya telah dikerahkan ke arah itu. Padahal perceraian sedapat mungkin harus dihindarkan mengingat perbuatan tersebut adalah dilarang dan aib sifatnya kecuali dalam keadaan benar-benar terpaksa. Keterlibatan hukum yang semakin aktif ke dalam persoalan-persoalan yang menyangkut perubahan sosial, justru memunculkan permasalahan yang mengarahkan pada penggunaan hukum secara sadar dan aktif sebagai sarana untuk turut menyusun tata kehidupan yang baru tersebut. 15 Di samping itu, perkembangan dan perubahan yang sangat besar akibat peranan teknologi dan industrialisasi menghendaki agar hukum melakukan adaptasi pada keadaan demikian itu. Akibatnya, hampir semua aspek dalam kehidupan ditemui adanya peraturan-peraturan hukum. 16 Akibatnya lembaga-lembaga peradilan pada hakekatnya tidak begitu saja dengan mudah mengabulkan gugatan perceraian walaupun alasan-alasan perceraian tersebut telah dipenuhi oleh salah satu pihak. Hakim pada dasarnya berusaha agar kedua belah pihak merenungkan kembali dan disarankan agar sejauh mungkin 15 Bambang Sunggono, Op.Cit., hal. 1. 16 Ibid., hal. 2. Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008 perceraian dihindarkan karena berakibat luas, apabila keluarga tersebut telah mempunyai keturunan anak. Tetapi apabila usaha dan upaya itu gagal, maka dengan terpaksa gugatan tentang perceraian harus diputus dengan beberapa pertimbangan- pertimbangan. Masalah perceraian ini di dalam peraturan perundang-undangan telah mengatur tentang lembaga-lembaga yang berwenang menerima, memeriksa, dan memutus perkara tersebut. Bagi bangsa Indonesia yang beragama Islam, lembaga yang berwenang memeriksa dan memutusnya adalah Pengadilan Agama untuk peradilan tingkat pertama, Pengadilan Tinggi Agama untuk peradilan tingkat banding dan Mahkamah Agung untuk tingkat kasasi, sedangkan beragama lain peradilan yang berhak memeriksa adalah Pengadilan Negeri dimana tergugat bertempat tinggal. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 adalah merupakan hasil produk perundang-undangan nasional, yang telah disesuaikan dengan perkembangan zaman dan kepribadian bangsa Indonesia. Maka hukum agama dan hukum adat yang merupakan hukum yang hidup dan dipertahankan oleh bangsa Indonesia yang sesuai dengan kepribadian nasional dimana hukum adat yang dapat diterima untuk dimasukkan ke dalam undang-undang perkawinan tersebut adalah hukum adat yang dapat menyesuaikan diri serta dapat mengikuti perkembangan zaman menuju kepada negara yang maju dan modern. Di dalam undang-undang tersebut memang tidak tegas digunakan istilah hukum adat, namun tidak berarti bahwa undang-undang ini terlepas sama sekali dari hukum adat. Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008 Hal ini dapat dilihat misalnya pada Bab VII Pasal 35-37 UUP tentang harga benda di dalam perkawinan masih juga digunakan istilah Harta Bersama dan Harta Bawaan. Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama itu diatur menurut hukumnya masing-masing. Di dalam penjelasannya disebutkan yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing ialah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya. Secara keseluruhan undang-undang perkawinan maupun aturan pelaksanaannya hanya mengenal dua jenis proses perceraian yaitu perceraian dengan talak dan cerai gugat. Selanjutnya dalam Pasal 16 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dikatakan bahwa tujuan sidang pengadilan dimaksud dalam Pasal 14 PP tersebut hanyalah untuk menyaksikan perceraian tersebut. Dalam Pasal 17 PP tersebut dikatakan bahwa sesaat setelah dilakukan sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian, Ketua Pengadilan membuat surat keterangan tentang terjadinya perceraian. Dari ketentuan tersebut di atas jelaslah bahwa yang diajukan suami bukanlah surat permohonan, akan tetapi surat pemberitahuan bahwa ia akan bercerai menceraikan isterinya dan untuk itu ia meminta kepada pengadilan di tempat tinggalnya untuk mengadakan sidang menyaksikan perceraian itu. Dan jika sudah terjadi perceraian di muka pengadilan, maka Ketua Pengadilan membuat surat keterangan tentang terjadinya perceraian bukan surat penetapan atau putusan. Ketentuan mengenai akibat perceraian yang diatur oleh Pasal 41 ayat b dan c UUP mengatakan suami yang bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan untuk itu, jika suami dalam kenyataan tidak dapat Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008 memberi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan danatau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri. Beban akibat perceraian terutama yang bersifat finansial yang sekarang ini terutama menjadi kewajiban suami, nampaknya perlu juga dipertimbangkan. Dalam kenyataan cukup banyak isteri yang berpenghasilan lebih banyak atau sama dengan suami. Undang-Undang perkawinan mengantisipasi perubahan-perubahan sosial dalam masyarakat saat ini, seperti yaitu pengaturan pembagian peran antara suami isteri, dan gugatan perceraian isteri yang meminta cerai. Kalaupun banyak perceraian yang diajukan oleh pihak isteri, tidak menyebabkan bertambah rendahnya perceraian yang diajukan isteri. Oleh karena itu mempersulit prosedur tidak menjadi alasan untuk mengurangi angka perceraian. Undang-undang perkawinan yang mengatur antara lain soal peran suami isteri dan prosedur perceraian sudah perlu dipertimbangkan kembali setidak-tidaknya di dalam penerapannya. Pengadilan Negeri Siak Sri Indrapura yang dulunya merupakan wilayah dari Pengadilan Negeri Bengkalis. Pengadilan Negeri ini diresmikan oleh Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dan berfungsi sejak 23 Pebruari 2006. Dengan berfungsinya Pengadilan Negeri ini, tentunya para penegak hukum khususnya hakim sangat diharapkan profesionalnya dalam mengadili perkara yang masuk ke Pengadilan Negeri, khususnya perkara perceraian. Dari uraian di atas yang menjadi fokus pembahasan adalah perceraian yang diputus oleh Pengadilan Negeri Siak Sri Indrapura. Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

B. Permasalahan